Rabu, 18 Agustus 2010

Kursi Legislatif Penulis

Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/

Penulis adalah jiwa yang merdeka. Dengan menulis, kegelisahan jiwanya tak terbelenggu. Semua dapat di nukilkan dalam tulisan. Demikian juga hasil karya sebuah tulisan, kontruksi model kepenulisannya tidak jauh dari biografi penulisnya: teknik penulisan, pilihsn diksi, penuangan alur ketika menghanyutkan karya pada sebuah arus tertentu.

Novelis MD. Atmaja menyundulkan novel terbarunya kepermukaan belantara sastra. Buku setebal 355 halaman dan 53 seri ini, 70% lebih digarap dengan asosiasi politik. Adapun romantisme percintaan diperankan tokoh-tokohnya dalam tingkat kewajaran.

Kelebihan novel ini justru terbangun pada dialek sepasang kekasih Rina dan Agung. Ceplas-ceplos sepasang kekasih itu bersifat surrealis, ambiguitas, yang tak gampang di telan sebagai sosok kenyamanan makna.

Aroma kental Yogyakarta terasa menyengat. Bantul sebagai pusat kerajaan Imogiri zaman dulu merupakan kantung terkuat sentral agama jawa masih diwariskan antar tokoh dalam beberapa celetuk dialek novel ini. Pada kalimat “memangku wahyu keprabon,(hal:245), ajining rogo soko busono//ajining diri soko ing lati//(hal:202). Tak ubahnya dengan Umar Kayam yang happy anjoy dengan dialektika Jawanya dalam cerpen Sri Sumarah.

Wilayah sastra yang luas juga terjadi peperangan. Penulis senior, masih kerap mengasah gobang argumennya untuk menumbangkan musuh sebidang. Ironi memang, sedewasa ini dengan fasilitas facebook ataupun Even Organiser (EO) acara sastra difungsikan para senior untuk menyusun kubu. Kubu-kubu sastrawan kini mulai kentara. Musuh bebuyutan antara Lekra dan Manikebu masih berlangsung sengit. Perseteruan antar komunitas kian ricuh dengan lahirnya poros tengah difihak independen. Peseteruan inilah yang menugaskan MD. Atmaja selaku penulis muda mengibarkan warna bendera baru.

Pemicu utama perseteruan adalah backing ideologi. Tanpa sadar, ideologi yang sesungguhnya fatamorga itu dihadirkan secara hina untuk menjebak diri sendiri atas dalih “mendudukan perkara pada tempatnya”. Kebebasan berekspresi dalam berkarya, diartifisialkan atas nama kebebasan itu sendiri. Dan bukannya mengangkat nilai dalam kebebasan tersebut.

Novel Pembunuh di Istana Negara, dihadirkan MD. Atmaja atas sensibilitasnya. Bahwa ideologi layaknya diterapkan 20% saja dalam hidup. Selebihnya adalah lentur dan tidak mekongkong terhadap refleksi alam.

Beranjak dari pemikiran demikian, novel ini berperan secara utuh melibatkan dirinya dalam kancah politik praktis. Berbeda dengan Ciuman di Bawah Hujan karya terbaru Lang Fang. Keterlibatan novel Lang Fang hanya menyentil sisi kritisdalam berpolitik dengan bermetafora sesosok tikus yang rakus bagi aparat birokratif.

Sosok Agung yang ditampilkan sebagai tokoh dalam novel ini, melakukan tindakan riel untuk mengingatkan kesembronoan Presiden. “Dor.…!Dor….!” Tembakan dua kali itu sengaja dilepaskan Agung tepat pada lengan kiri Presiden. Adegan penembakan itu diawali dengan penyergapan terlebih dahulu dihadapan puluhan wartawan yang meliput konfrensi pers. Paspampres tidak menyangka, tiba-tiba kaptennya menodong Presiden. Peristiwa penodongan yang dilakukan kapten paspampres sesaat setelah Presiden berkomentar panjang lebar mengenai keadilan yang merata bagi seluruh rakyat (hal:246-246). Ketersinggungan Agung memuncak sejak cuti beberapa minggu sebelumnya. Agung meluangkan waktu untuk mengunjungi pacarnya (Rina) di kampung. Kesusahan hidup Rina dan keluarganya sebagai petani, disebabkan kebijakan Presiden yang tidak memihak rakyat, Dan Agung sudah mengingatkan Presiden, namun tak digubaris.

Novel beralur politik ini sarat dengan muatan ilmiah. Meskipun teknik penuangannya dikontruks dengan penalaran imajinasi, konsep ilmiah dibentangkan penulis saat tokoh bergelut serius mencari rumusan tentang filosofi dasar dasar demokrasi. Pemahaman tentang wacana demokrasi dimaksudkan utuk memperkuat arus cerita. Diagram segitiga serta titik-titik kordinat disertakan. Dengan harapan imajinasi pembaca dapat mudah memahami rentetan cerita. Tidak banyak kita jumpai novelis yang penggarapannya sedemikian detail dengan menyertakan bagan diagram. Inilah kuwalitas intelektual MD. Atmaja saat menyusun gagasan. Teori dasar pemahaman demokrasi yang meletakkan Tuhan pada posisi utama, Rakyat pada posisi kedua, dan Negara pada tingkat kepentingan terendah (hal:296) disertakan juga.

MD. Atmaja patut diperhitungkan sebagai pendatang baru dibelantara kesusastraan. Pilihan yang diambil merupakan rapatan radikalisme tersendiri. Ditengah alam politik negara yang gersang keadilan dan kejujuran, tidak lantas menjadikan dirinya sebagai teroris yang ingin merubah tatanan pemerintah dengan jihat dan korban bergelimpangan. Kekuatan intelektualitas MD. Atmaja memungkinkan ide dalam karyanya memasuki banyak pintu untuk merubah ketimpangan dalam pemerintahan. Yang lebih efektif ialah tidak mengorbankan banyak orang. Novel ini merupakan bom sastra yang diledakkan MD. Atmaja dari dalam dadanya. Dengan harapan demo aspirasinya tepat menuju sasaran. Meskipun tanpa duduk di kursi legislatif, para penulis lainpun getol menjadikan karyanya sebagai kursi untuk mewakili aspirasinya.

Kamis, 05 Agustus 2010

Hegemoni Sastra: Media Pengkultusan dan Perlawanan

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Karya sastra sebagai lembaga masyarakat yang bermediumkan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya. Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan nuansa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang tersebut, di dalamnya merangkum berbagai macam kondisi dimana sang pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik yang sedang bergejolak, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan di dalam proses penulisan karya sastra dapat dikatakan sebagai media yang tidak bersifat individual, melainkan di dalamnya mengandung sifat evolusi-sosial.

Hampir selama lebih dari 30 tahun, murid sekolah dan mahasiswa telah disuguhi karya sastra yang notabene telah diakui oleh pemerintah yang berkuasa (Baca: Orde Baru) dan karya sastra itu (oleh pemerintah) dikatakan sebagai sastra yang bernilai tinggi apabila di dalamnya mengandung nilai yang mendukung proses pembangunan. Sehingga, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai karya yang memiliki nilai sosial dan nilai estetik melainkan nilai karya sastra terkadang ditentukan oleh haluan politik yang termanifestasikan di dalamnya. Di masa itu, sastrawan yang berada di luar paham politik pemerintah akan mendapatkan tekanan dan penyempitan ruang gerak.

Fenomena ini sudah terjadi semenjak Negara Kesatuan Republik Indonesia ini belum dilahirkan, yaitu pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan. Atau juga terdapat di dalam proses masuknya agama-agama non pribumi masuk ke nusantara yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Pada masa ini, sastra (dan juga seni secara umum) menempati posisi sebagai media untuk membantu proses penyebaran agama atau salah satu faham. Misalnya, pada masa kerajaan yang para sastrawannya secara penuh mendapatkan perlindungan dari para raja yang kemudian diminta (baca juga: diperintahkan) untuk menuliskan sejarah besar dari kerjaan raja tersebut. Proses kerja semacam ini, seolah-olah bahwa sastra dijadikan sebagai media pengkultusan akan kekuasaan seorang raja.

Kondisi sosial masyarakat memberikan arahan yang nyata bagi para pengarang dalam proses penciptaan. Dalam teori yang dikemukakan oleh Gramsci mengenai teori hegemoni, bahwa seni (dan sastra) digunakan sebagai alat untuk melakukan hegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melakukan gerakan kontrol sosial.

Pemahaman semacam ini, menempatkan sastra sebagai media pendidikan (juga sebagai propaganda) dalam usaha melakukan hememoni politik dan ideologi. Sastra dapat dijadikan sebagai media membunuh kreatifitas seseorang yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa. Walau demikian, pada dasarnya, sastra (dapat dikatakan harus) memiliki tendensi dan menensasi sebab penciptaan sebuah karya sastra merupakan proses kreatifitas dari intuisi, persepsi dan imajinasi yang bergantung pada kondisi kejiwaan serta kerohanian pengarang.

Tendensi dan manensasi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk melakukan pendidikan politik, sosial, keagamaan, budaya, dan lain sebagainya, kepada masyarakat pembaca. Maksud (tendensi) yang terdapat di dalam sebuah karya sastra biasanya dipengaruhi oleh ideologi pengarang.

Misalnya, karya-karya seniman Lekra, tendensi yang diemban melalui karya mereka biasanya sebagai peneguhan dan sekaligus penyebaran ajaran marxisme-leninisme dengan landasan filsafat MDH. Tendensi di sastra marxis memiliki filsafat yang normatif, dengan peninjauan permasalahan secara epistemologi. Pesan yang dikandungnya pun menjurus pada realisme sosialis, yang mana dijelaskan bahwa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Tendensi tidak dibawa secara eksplisit, melainkan melakukan penggambaran secara historis atas konflik sosial yang dilukiskan.

Karya sastra tidak dilahirkan secara murni dari ide dan pemikiran seorang penulis di dalam kondisi terkekang. Sastra lahir berdasarkan mekanisme yang dialektis dengan melihat kondisi sosio-kultural. Pandangan yang menyatakan bahwa sastra sebagai pandangan dunia, dapat ditinjau dari dasar bahwa sastra memiliki ide dan pemikiran, pesan dan tujuan, tema dan amanat, dan juga seluruh deferensi kultural yang ada di dalam kehidupan masyarakat.

Dilihat dari fungsi sosial yang dibawa karya sastra, dia dapat dijadikan sebagai media hegemoni sosial yang pernah dilakukan pada zaman dahulu, yaitu zaman kerajaan dan Orde Baru. Sastra dapat dijadikan juga sebagai media propaganda untuk membangkitkan kesadaran, yang sekaligus mengajak masyarakat pembaca untuk melawan dominasi ideologi penguasa (yang belum tentu bahwa penguasa mengemban ideologi negara).

Bantul, 30 Juli 2010
Studio Semangat Desa Sejahtera

Spirit Revitalisasi Dalam Mengungkap Teks

Agus Sulton
http://www.radarmojokerto.co.id/

/1/
Kepulauan nusantara sejak kurun waktu yang lampau memiliki beragam sejarah peradaban dan peninggalan. Masing-masing daerah mempunyai ciri khas dalam bahasa dan jenis aksaranya. Lewat berbagai temuan dan analisis isi manuskrip diberbagai daerah di nusantara akhirnya dapat diketahui bahwa setiap daerah mempunyai kekayaan intelektual dalam berbagai dasar ilmu. Kekayaan inilah yang menarik perhatian para penjajah sumber budaya untuk memburu manuskrip di pelosok-pelosok nusantara. Tujuannya tidak lain adalah untuk lebih mengetahui adat istiadat dan mempelajari budaya nusantara masa lampau guna memperluas wilayah jajahan dan akhirnya pengakuan hak paten.

Manuskrip itu merupakan salah satu peninggalan masa lalu dalam bentuk tertulis yang diturunkan secara turun temurun—-sejak dulu sampai sekarang ini. Penulisannya menggunakan tulis tangan di atas kertas, daun lontar, bambu, kayu, batang tebu dan sebagainya. Sebagian besar manuskrip tersebut tersimpan di perpustakaan atau meseum, baik di dalam negeri ataupun di luar negeri, bahkan beberapa manuskrip masih banyak yang disimpan oleh masyarakat sebagai koleksi pribadi.

Dalam pengkajian lebih lanjut, karya tulis nenek moyang kita itu—-diindikasikan banyak mengandung informasi yang berlimpah. Isi manuskrip tidak hanya sebatas pada kesusastraan, tetapi menyangkut berbagai bidang seperti: pengobatan, hukum adat istiadat, mitologi, tauhid, silsilah (keturunan raja, tariqat, keluarga), primbon, dan sebagainya. Siti Chamamah Soeratna, dalam Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya (2003) mengatakan, secara teoritis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Oleh sebab itu, para ahli dari beberapa disiplin ilmu setidaknya bisa menjadikan manuskrip sebagai data untuk menggali suatu informasi. Para sejarawan misalnya sudah lama memanfaatkan sejarah babad sebagai bagian bukti otentik dalam mengetahui hari jadi sebuah daerah atau kota.

Ada banyak hal yang lebih berguna apabila merefleksikan kembali ke masa lalu lewat manuskrip. Bisa jadi diperlukan untuk menaklukan dunia hiperrealitas sebagai dampak kekeliruan zaman modern. Atas dasar itulah manuskrip perlu untuk digali sebagai jembatan penghubung masa lampau dengan masa sekarang. Manuskrip itu sendiri adalah saksi sejarah yang terjadi pada zamannya. Hal ini, harus diperlakukan seadil-adilnya jika memang identitas suatu bangsa berkeinginan menjadi bangsa yang hebat.

/2/
Dalam perkembangannya, aspek sejarah ini berkaitan dengan aspek sosial, sehingga ajaran nilai budi pekerti sebagaian mendominasi dalam menyampaikan gagasan atau amanat dari berbagai aspek kehidupan. Seperti yang diungkapkan dari beberapa hasil penelitian terhadap manuskrip kuno oleh para filolog Indonesia dan dunia pada sebagian naskah Nusantara. Karya-karya yang ditulis orang pendahulu kita sangat kaya dengan aspek-aspek nilai instrumental—dengan memiskinkan unsur hiburan, walaupun ada nilai hiburan—itupun bukan dominasi primer, bahkan bisa dijadikan jembatan untuk melemahkan pemikiran si pembaca yang dikemas dalam bentuk cerita hiburan. Karena tulisan orang masa lampau bisa jadi sebuah pesan ideologi untuk mempengarui masyarakat—yang pada saat itu mudah untuk terprofokasi, termasuk metode dalam penyabaran agama Islam yang di dalam ajarannya sarat berbagai lukisan kehidupan, buah pikiran, tuntunan, nasehat dan sebagainya.

Sikap-sikap itulah yang dijadikan sebagai tonggak umat manusia sejak dulu sampai sekarang—untuk diterima dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dalam setiap tindakan manusia harus mempertimbangkan baik dan buruknya suatu tindakan, serta tidak melanggar etika dan norma yang berlaku dilingkungan sekitarnya. Sikap ini dinamakan dengan budi pekerti. Budi pekerti merupakan landasan moral bagi manusia dalam menapaki hidup.

Salah satu manuskrip yang mengajarkan nilai budi pererti adalah Syair Kanjeng Nabi yang terdiri dari 26 halaman bolak-balik ditulis dengan huruf Arab (pegon) berharakat, berbentuk syair. Manuskrip tersebut tersimpan di perpustakaan pribadi Agus Sulton bernomor AS. Ar. 12. Diduga naskah ini terdiri atas berbagai macam bahasa, ada bahasa Sunda, bahasa Makasar, bahasa Bugis, dan bahasa Aceh dengan nama Nabi Meucuko.

Manuskrip Syair Kanjeng Nabi secara umum berisi tentang Nabi Muhammad dalam peristiwa dicukur oleh malaikat Jibril atas dasar perintah Tuhan. Jibril turun ke bumi dengan membawa daun kastuba dan diantar oleh 20.000 malaikat. Daun itu akan dipakai sebagai topi Nabi Muhammad setelah dicukur.

Dari sudut pandang lain, kandungan teks syair ini juga menyimpan khasiat doa yang berjumlah 28 macam. Serta menggambarkan kehidupan Nabi Muhammad, yaitu kehidupan di antara masyarakat Jahiliyah yang berperan sebagai manyampai wahyu kepada umatnya. Dalam hal ini, memberitahukan manakah yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan mudharat dan mana yang halal dan yang haram.

Seperti yang terdapat dalam kutipan teks Syair Kanjeng Nabi berikut:
aja kasi kufur ing Allah jangan sampai kufur kepada Allah
lan muga-muga Allah nulungi dan semoga Allah membantu
ing wong kang gelek maca kepada orang yang sering membaca (syair)

Sedikit ungkapan teks syair tersebut merupakan peringatan bahwa dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun, kita harus taat kepada Allah dan bersyukur. Kekuatan yang paling tinggi hanyalah kekuatan dari Allah. Itulah sebabnya, Allah akan memberikan kemudahan (membantu) bagi manusia yang tetap menjalankan pada ajaran Islam (teks dalam syair) dan menjauhi dari segala larangan-Nya.

Seiring dengan itu, ungkapan nilai teks Syair Kanjeng Nabi bisa juga di jadikan alternatif atau pedoman dalam kehidupan berkepribadian budi pekerti atau bisa jadi sebagai alat pengendali, dalam arti untuk membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kufur kepada Allah. Orang yang berbudi pekerti secara tidak langsung akan dapat terhindar dari sifat-sifat tercela seperti rasa dengki dan iri hati.

Kombinasi sinergis antara nilai-nilai budi pekerti dan manuskrip lama merupakan suatu muatan intensitas dalam jati diri suatu masyarakat atau bangsa sebagai revitalisasi dalam mengungkap teks manuskrip sehingga karakter seseorang bisa dijadikan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal karakter dideskripsikan sebagai nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Untuk itu, nilai budi pekerti merupakan dasar pengetahuan yang perlu dipelajari dan dilaksanakan. Dari situlah nilai budi pekerti akan tetap teraktualisasi dalam kehidupan seseorang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan.

Melestarikan Pantun, Menjaga Tamadun Melayu

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Menjaga kelestarian peradaban - tamadun - budaya Melayu adalah hal positif, terutama bagi penyair atau pun penulis pantun. Namun, kaidah kesusastraan Melayu harus tetap dijaga. Tujuannya, agar “pakem” itu tak disalahpahami generasi muda pembaca buku pantun dan syair.

Hal itu diutarakan sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, salah satu pembicara dalam acara bedah buku syair dan pantun Bual Kedai Kopi karya duet Martha Sinaga dan Suryatati A Manan yang digelar di Hotel Mitra, Bandung, Sabtu (15/5). Ungkapan itu berkaitan dengan pembedahan setiap pantun dan syair Martha maupun Suryatati setelah dikaitkan dengan aturan dan pola dalam pantun.

Pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang dikenal luas di seantero Nusantara. Lazimnya, pantun terdiri dari empat larik, dengan pola a-b-a-b atau a-a-a-a. Semua pantun terdiri atas dua bagian, sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, juga bagian kedua yang menyampaikan maksud, selain mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut. Selain itu, baik sampiran maupun isi, selain logis, juga wajib memiliki suku kata yang sama. Hal itu diperlukan untuk menjaga keindahan pengucapan dan keindahan bunyi. “Pantun adalah budaya lisan yang cukup berharga, karenanya upaya pelestarian syair diperlukan agar budaya Melayu sebagai budaya tinggi bisa tetap lestari,” papar Ahmadun.

Ahmadun kemudian mengatakan bahwa, pantun juga syair, dalam beberapa karya Suryatati terutama Martha, dirasakan kurang taat asas. Selain memberikan kritik pada salah satu pantun, misalnya pada pantun karya Martha berjudul “Oh” (Bual Kedai Kopi, terbitan Yayasan Kalpataru Jakarta, halaman 79) pada baris pertamanya menghadirkan isi namun tanpa sampiran. Selain itu, ungkapan yang berpanjang-panjang, tak tepat antara isi dan sampiran pun dikritik Ahmadun.

“Jika mungkin, sangat arif dan bijaksana jika buku ini diedit lagi. Bila tidak, saya khawatir ini menjadi preseden buruk bagi pengajaran pantun di kalangan pelajar,” tegas Ahmadun. Dia kemudian menyebutkan nama Tusiran Suseno, seorang yang mengerti soal aturan dan kaidah baik di syair maupun pantun Melayu yang tinggal di Kepulauan Riau, seharusnya bisa dimintai pandangannya untuk buku ini. Menanggapi itu, baik Martha maupun Suryatati mengakui bahwa saran Ahmadun dapat menjadi masukan dalam teknik dan estetika berpantun.

Tema Sosial

Sebelum pembahasan Ahmadun, pembicara lainnya, sastrawan Sides Sudyarto DS lebih menelaah buku Bual Kedai Kopi melalui tema dan latar sosial. Di syair maupun pantun, menurut Sides, Suryatati sebagai Wali Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, kerap terlibat di birokrasi. Juga Martha Sinaga yang berlatar belakang jurnalis, mempunyai perbedaan sudut pandang.

“Persamaannya, keduanya mencoba bicara secara jujur dan terbuka, mereka hanya berbicara apa yang mereka ketahui, mereka tak berbicara apa yang mereka tak ketahui. Hasilnya, keluguan yang disampaikan dalam bahasa yang merakyat, komunikatif, mudah dicerna oleh kalangan atas hingga yang paling bawah,” ujar Sides.

Dalam makalah bertajuk “Suryatati A Manan dan Martha Sinaga: dalam Kesaksian dan Kritik Sosial” itu, menurut Sides, Bual Kedai Kopi bukanlah sebuah bualan, melainkan kesaksian dua pribadi mengenai realitas sosial yang dikemas dalam pantun dan syair. “Mereka melestarikan bentuk pantun dan syair sebagai genre sastra kita, di sisi lain menjadi sumbangsih berupa keprihatinan menyangkut lingkungan manusia dan lingkungan hidup kita yang meradang akibat ulah sesama,” ujar Sides.

Matdon, penyair dan wartawan, yang ikut membahas acara bedah buku Bual Kedai Kopi, melontarkan bahwa karya sastra yang menyadari estetika lokal, akan memperkaya bahasa Indonesia. Selain itu, Matdon memperbandingkan dengan pantun dari Sunda. Pengertian pantun Melayu, di Sunda, kerap disebut sisindiran, yang cara menulisnya sama-sama berupa sampiran dan isi.

“Sastra mampu menyampaikan pesan bagi kondisi masyarakat, urusan penyair tak sekadar menulis puisi, pantun dan syair, tapi juga peduli pada lingkungan di luar kepenyairan dan karyanya. Jika kedua penulis memakai dan sangat mengagungkan lokalitas bahasa itu bagus dan patut dicontoh,” ujarnya.
Baik Suryatati A Manan maupun Martha Sinaga, papar Matdon, memilih wilayah perhatian tersendiri. Wilayah sosial, politik dan ekonomi, menjadi bagian dari hampir semua karya yang mereka tulis.

Sepuluh Novel Terbongkar-bangkir

Kurniawan
http://majalah.tempointeraktif.com/

SEBAGAI Kepala Subbidang Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa, ruang kerja Dad Murniah terkesan sesak. Dengan luas sekitar 2 x 3 meter, ruang itu diisi dua rak penuh buku dan seperangkat komputer. Meja kerjanya pun dihiasi tumpukan kertas dan buku.

Dari ruang itulah lahir semua buku terbitan Pusat Bahasa, termasuk sepuluh novel karya para sastrawan yang diluncurkan pada akhir Oktober lalu. Buku-buku itu adalah Arjunawijaya karya Hamsad Rangkuti, Lubdaka yang Berkelebat karya Yanusa Nugroho, Kundangdya karya Oka Rusmini, Gandamayu: Cerita Perempuan Terkutuk karya Putu Fajar Arcana, Kisah Tuhu dari Tanah Melayu karya Abidah el-Khalieqy, Mengasapi Rembulan karya Agus R. Sarjono, Kakawin Gajah Mada karya Kurnia Effendi, Mundinglaya Dikusumah karya Gola Gong, Rara Beruk karya Suyono Suyatno, dan Janji yang Teringkari karya Imam Budi Utomo.

Sepuluh novel itu bagian dari proyek Pusat Bahasa untuk menghidupkan lagi cerita-cerita lama dari berbagai pelosok Nusantara agar dikenal oleh para pelajar masa kini. “Tujuannya agar cerita itu dapat menambah wawasan anak sekolah dasar tentang kebaikan dan muatan lokal di daerah itu, misalnya peribahasa setempat,” kata Dad.

Lubdaka yang Berkelebat, misalkan, diangkat dari Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung; Kundangdya dipungut dari Kidung Kundangdya yang diterjemahkan I Ketut Nuarca; Gandamayu diangkat dari kisah klasik Bali, Gaguritan Sudamala; dan Kisah Tuhu dari Tanah Melayu disadur bebas dari kitab Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Mengasapi Rembulan disadur dari Sawerigading, cerita rakyat Sulawesi Selatan di kitab La Galigo; Kakawin Gajah Mada diceritakan kembali dari naskah berjudul sama karya Ida Cokorda Ngurah; dan Janji yang Teringkari mengangkat Tor Sibual-buali, salah satu cerita rakyat Tapanuli yang dikumpulkan Hasjmi Dalimunthe dalam Dolok Hela.

Proyek buku ini dimulai pada 1980-an. Menurut Dad, program ini lahir dari menumpuknya naskah cerita rakyat hasil penelitian dan pendokumentasian para peneliti dari 22 kantor dan balai bahasa di berbagai provinsi. “Bila naskah yang terkumpul itu tidak disampaikan ke masyarakat, ia akan hilang,” kata peneliti bahasa yang pernah memimpin Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara itu.

Pusat Bahasa lantas menggelar sayembara dengan mengundang karyawannya yang mencapai 300 orang untuk menulis kembali cerita itu. “Misalkan, Babad Pacitan. Babad itu tidak diambil seluruhnya, mungkin hanya sebagian kecil, dan diceritakan kembali,” kata Dad.

Naskah mereka kemudian dikumpulkan dan dinilai oleh suatu tim, anggotanya termasuk Sapardi Djoko Damono dan Riris K. Toha-Sarumpaet. Karya yang terpilih kemudian diterbitkan dan penulisnya mendapat honor Rp 1-1,5 juta. Pada 2006, ada kenaikan anggaran dan honornya menjadi Rp 2,5 juta. Naskah itu dicetak 500-1.000 eksemplar dan dibagi-bagikan ke semua perpustakaan daerah dan sekolah secara bergiliran.

Setiap tahun, lembaga yang mengurusi bahasa dan sastra Indonesia itu menerbitkan sepuluh judul buku cerita untuk sekolah dasar dan sepuluh judul untuk sekolah menengah pertama. Tebalnya 50-100 halaman dan ditulis dalam bahasa yang sederhana. Beberapa judul buku itu adalah Satria Pamungkas Majapahit: Cerita Rakyat Jawa Timur (2007) karya Imam Budi Utomo, yang disadur secara bebas dari cerita karya Tony Ismoyo yang dicuplik dari Babad Pacitan dan dimuat di majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat. Ada pula Mimpi Prau Darum Marjum (2008) karya Lustantini Septiningsih, yang disadur dari Syair Bandarsela, karya sastra lama berbahasa Lombok, dan Bung Santri Gagal (2007) karya Zaenal Hakim, yang dipungut dari Ki Santri Gagal, buku tanpa nama pengarang yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1920-an.

Setelah hampir 20 tahun berjalan, proyek pengadaan buku itu tak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Dari beberapa survei kecil, Dad menemukan bahwa anak-anak tak tertarik pada karya tersebut. “Mereka bete, enggak enjoy, tuh,” katanya.

Gambar sampulnya, misalnya, dibuat ala kadarnya dengan cat air dan spidol-kualitasnya sangat jauh dibanding buku dongeng yang dijajakan berbagai penerbit di toko buku. Di dalamnya banyak narasi yang tak perlu sehingga terkesan berpanjang-panjang kata saja. Bahkan, antara satu kalimat dan kalimat lainnya sering tak logis. Misalkan, pada Geliga Sakti karya Imelda, ada paragraf yang dibuka dengan kalimat, “Kampung itu bernama Kelang”, tapi pada paragraf berikutnya disebut, “Negeri Kelang diperintah oleh seorang raja”. Apakah itu berarti kerajaan tersebut hanya sebesar kampung?

Pada 2007, Dad berbincang-bincang dengan Sapardi, sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, dan Achadiati Ikram, pemimpin Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa). Dalam perbincangan itu muncul gagasan menyerahkan naskah kuno tersebut ke sastrawan. Lalu para sastrawan diminta menceritakan kembali isinya dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami generasi muda dalam bentuk novel.

Menurut Dad, Sapardi bahkan berharap bila nanti mendapat tanggapan bagus dari masyarakat, novel itu dapat menjadi buku acuan di sekolah-sekolah menengah atas yang selama ini hanya mengenal roman-roman karya pengarang Angkatan Balai Pustaka, seperti Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan.

Dad ragu, karena dana Pusat Bahasa cekak, hanya Rp 50 juta untuk 20 naskah. “Kalau bayar para sastrawan profesional, honornya kan pasti tinggi,” ujarnya.

Naskah-naskah yang akan dijadikan novel lalu diseleksi di Manasa, sastrawan yang hendak menulis dengan imbalan minim pun ditentukan. “Hanya Rp 5 juta, lo, Mas. Bayangin aja,” kata Dad.

Menjaring para pengarang itu tidaklah mudah. “Ada sastrawan yang mau, ada yang tidak,” kata Ahmadun. Akhirnya terpilih sepuluh nama sastrawan. Mereka yang terpilih lalu menuliskan kembali naskah-naskah itu dalam bentuk novel 150 halaman. Novel itu, kata Ahmadun, diharapkan memenuhi beberapa syarat, seperti mutu sastra dan bahasa serta menghidupkan kembali kearifan dalam cerita lama.

Putu Fajar Arcana bercerita, ia menerima permintaan menulis ulang naskah Gaguritan Sudamala dalam tempo dua bulan pada akhir September 2007. Untuk mengejar tenggat, Putu menulis setiap hari, biasanya pagi dan malam seusai kerja. “Saya harus menulis minimal dua halaman setiap hari untuk mencapai jumlah sekitar 120 halaman dalam dua bulan,” katanya.

Kurnia Effendi mendapat penugasan itu April, tapi baru memulainya sekitar Agustus. Dia kebagian bahan berupa kakawin (puisi empat baris) tentang perjalanan hidup Gajah Mada. Dia bersedia terlibat dengan dua alasan. “Dari sisi ‘tugas’, saya mencoba memanfaatkan kepercayaan Pusat Bahasa dan ingin memberikan sumbangsih sebaik-baiknya bagi khazanah bacaan siswa. Dari sisi materi, (bahan ini) jauh berbeda dengan yang tercatat dalam sejarah,” katanya.

Dalam kakawin dia menemukan masih banyak mitos dan Majapahit hanya disebut sekali, selebihnya menggunakan nama Majalangu (pahit itu bermakna rasa, langu itu cenderung aroma tak sedap). “Dalam kakawin itu juga tak tersebut nama Tribhuana Tunggadewi sebagai bunda Hayam Wuruk. Tapi saya tetap setia dengan kakawin itu,” kata penulis kumpulan cerpen Kincir Api itu.

Setelah semua naskah itu dicetak, kritik ternyata bermunculan. Pengarang Veven Sp. Wardhana, misalkan, mencela rancangan sampul buku yang kurang menarik. Guru besar sastra Universitas Indonesia, Riris K. Toha Sarumpaet, mengecam banyaknya kesalahan ejaan. Remy Sylado, novelis dan penelaah bahasa, menilai bahasa novel-novel itu masih centang-perenang. “Padahal, baru pertama kali ini, lo, kami meluncurkan novel-novel itu,” kata Dad Murniah pada akhir November lalu.

“Kami terima naskah dari sastrawan itu sudah mepet, Desember 2007. Belum sempat kami serahkan ke Sapardi dan Ahmadun untuk dibaca kembali, sudah dikejar-kejar Bagian Rumah Tangga untuk segera diterbitkan,” Dad berkilah.

Sebagai lembaga pemerintah, pencetakan buku itu harus melalui lelang yang dilakukan pada awal Januari 2008. Dad dan stafnya kemudian buru-buru menata letak halaman buku itu dengan penyuntingan terbatas pada pemenggalan suku kata saja. Namun, ketika hendak dicetak, jumlah halamannya lebih banyak daripada yang tercantum pada perjanjian saat lelang, sehingga susunan itu dibongkar kembali untuk disesuaikan. “Karena diubah dalamnya, pemenggalannya juga terganggu. Pada akhirnya amburadul banget hasilnya, bahkan nama Gola Gong hilang dari sampul bukunya,” katanya.

Para pengarang pun kecewa. “Saya turut menyesalkan proses (tanpa) penyuntingan itu. Apa pun alasannya, ini tetap merupakan kesalahan,” kata Kurnia.

Dad menerima berbagai kritik itu sebagai masukan untuk penyempurnaan pada edisi berikutnya. “Sebetulnya buku itu kan belum sempurna. Untuk penyempurnaannya nanti, kami menunggu masukan ini,” katanya.

Diah Hadaning: Dewi Penumbuh Benih

Iwan Gunadi*
http://www.lampungpost.com/

Buku setebal 700 halaman yang memuat 700 puisi itu diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat siang, 7 Mei lalu. Jumlah puisi tersebut tentu berkaitan dengan 70 tahun usia penulisnya.

Penerbitan dan peluncuran buku itu tentu juga salah satu cara merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Ulang tahunnya sendiri sudah berlalu beberapa hari sebelumnya. Tepatnya 4 Mei 2010. Jumlah 700 puisi itu membuktikan produktivitas yang luar biasa seorang Diah Hadaning. Karena buku terbitan Pustaka Yashiba, Jakarta, itu bertajuk 700 Puisi Pilihan Perempuan yang Mencari, kata pilihan tersebut tentu menunjukkan bahwa puisi yang pernah ditulis perempuan bernama lengkap Sinaryu Indiah Hadaning ini lebih dari itu atau bahkan jauh lebih dari itu.

Boleh jadi, belum ada satu buku pun besutan seorang perempuan penyair di Tanah Air yang setebal itu dan memuat puisi sebanyak itu. Tak heran jika Museum untuk Rekor Dunia-Indonesia (MURI) menasbihkannya sebagai penulis buku puisi tertebal pada usia tertua pada saat peluncuran buku itu.

Perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, ini seolah tak pernah lelah memadu-padankan kata menjadi karya sastra, khususnya puisi. Sejak puisinya pertamanya dipublikasikan di harian Simfoni pada 1973 hingga sekarang, lebih dari 40 buku telah ditulisnya. Belasan di antaranya merupakan buku antologi puisi tunggal. Tujuh di antaranya terbit pada tahun ini: selain buku puisi tadi, enam lainnya adalah Tembang Tanah Merdeka, Dunia Dongeng, Antara Jogja dan Bali, Mozaik Jakarta, Ada Bara Api di Jakarta, serta Elegi Muria dan Semak Bakau. Semuanya terbitan Pustaka Yashiba.

Boleh jadi pula, belum ada seorang pun perempuan penyair atau bahkan termasuk lelaki penyair yang buku antologi puisinya diterbitkan dalam jumlah sebanyak itu dan dalam rentang waktu sependek itu. Fakta tersebut seperti ingin menabrak fakta lain bahwa buku puisi—siapa pun penulisnya—merupakan produk tak laku yang tak jemu diproduksi.

Mbak Diha, begitu banyak orang menyapanya, juga seolah tak pernah lelah melangkah. Menyambangi pelbagai acara sastra di berbagai pelosok Nusantara, baik karena diundang maupun lantaran keinginan sendiri. Wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan umum pun tak menghalangi langkahnya. Entah ketika langit masih terang atau ketika gelap sudah mengepung sejauh mata memandang.

Di sela-sela kunjungannya ke berbagai tempat, jebolan Sekolah Pekerjaan Sosial Atas, Semarang, pada 1960 ini selalu membuka diri atau menyempatkan diri memotivasi dan membimbing bakat-bakat muda yang sedang belajar menulis karya sastra. Cara menjelaskannya yang sederhana, tutur katanya yang halus, serta sikapnya yang santun dan ngemong memang membuat mereka senang dan nyaman berbincang dan menggali ilmu penulisan dan kehidupan darinya. Sepanjang pergaulan dengannya sejak 1996 hingga sekarang, saya tak pernah mendengar satu kata kasar pun dilontarkan perempuan yang pernah bekerja di Bahagian Bimbingan dan Penyuluhan Sosial, Kantor Wilayah Departemen Sosial Semarang selama 1960-1965 ini.

Peran mantan guru di Sekolah Tuna Netra Dristarastra, Cawangan, Semarang, selama 1962-1963 ini sebagai talent scouter bermula–kalau tak salah ingat–dari posisinya sebagai redaktur mingguan Swadesi terbitan Jakarta sepanjang sebelas tahun (1987-1998). Melalui koran tersebut, Mbak Diha menyediakan sejumlah rubrik yang tak jauh berbeda dengan yang disediakan Umbu Landu Paranggi di mingguan Pelopor terbitan Yogyakarta pada 1970-an, lalu dilakoninya kembali di harian Bali Post terbitan Denpasar, Bali, pada 1980-an. Begitu pula yang dilakukan Saini K.M. sejak 1979 melalui harian Pikiran Rakyat terbitan Bandung, Jawa Barat.

Yang membedakan mereka, Mbak Diha berdialog secara tertulis dengan para “mitra”-nya, sapaan yang kerap diucapkan atau ditulisnya untuk mengawali perbincangan di ruang publik. Selain menjawab dan atau membahas surat-surat konsultasi sastra yang datang dari pelbagai penjuru Tanah Air dalam rubrik bertajuk “Warung Sastra Diha”, penyair yang menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ini pun lumayan rajin memberi konsultasi lewat surat-surat balasan yang dikirim secara pribadi. Bahkan, sejak 1988, Rubrik “Warung Sastra Diha” dikembangkannya menjadi suatu komunitas sastra untuk mendukung aktivitas dan perannya di dunia sastra Indonesia.

Setelah mingguan Swadesi tak lagi terbit sejak 1999, perannya sebagai talent scouter tak surut. Malah, kesempatannya untuk lebih sering mengunjungi para “mitra”-nya di berbagai daerah menjadi lebih luas. Lebih-lebih para “mitra” di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) yang memang berada pada orbit yang dekat dengan tempat tinggalnya di Cimanggis, Bogor. Kalau Umbu dapat disebut sebagai dewa penumbuh dan pemelihara benih di Yogyakarta serta Saini di Jawa Barat, di Jabodetabek, Mbak Dihalah dewinya. Banyak pekerja sastra sering menyebutnya sebagai ibu penyair Jabodetabek.

Mungkin, dialah satu-satunya perempuan yang menjalani peran talent scouter secara intens dan tak kenal lelah di dunia sastra Indonesia. Sebuah peran yang tak diminati banyak orang. Hanya sedikit orang yang melakukannya. Itu pun kebanyakan lelaki. Selain yang fenomenal seperti Umbu dan Saini, beberapa lelaki lain dapat dijadikan contoh, yakni Herman Ks. di Medan, Sumatra Utara, pada 1970-an; Victor G. Rusdiyanto di Semarang pada 1980-an; Korrie Layun Rampan di Jakarta sekitar 1980-an, serta Piek Ardijanto Soeprijadi dan Widjati di Tegal dan sekitarnya pada era yang kurang lebih sama.

Awal 2000-an, karena merasa sudah sepuh, Mbak Diha pernah mengungkapkan niatnya untuk tak lagi wara-wiri dalam pelbagai kegiatan sastra. Sebagai salah satu anggota Presidium Dewan Pengurus Komunitas Sastra Indonesia (KSI) periode 2001-2004, dia juga mengajukan surat pengunduran diri. Salah seorang pendiri KSI ini ingin menjalani sisa hidupnya di Kaliurang, Yogyakarta, bersama keluarganya. Tapi, penyair yang gemar berpakaian serbahitam ini bertekad akan terus menulis karya sastra hingga napas terakhir, tapi perannya dalam kegiatan sastra hanya dilakoninya dari jauh. Tak terlibat langsung.

Namun, masa istirahat tersebut tak berlangsung lama. Mbak Diha kembali wara-wiri untuk membaca puisi dan mengayomi para pemula di dunia sastra. Di KSI, dia lebih aktif menggerakkan sejumlah kegiatan. Sejak Juni 2009, Warung Sastra Diha juga hadir di dunia maya melalui www.warungsastradiha.blogspot.com. Bahkan, penyair yang pernah meraih Anugerah Puisi dari Gapena Anugrah Puisi, Malaysia, pada 1980 untuk manuskrip buku puisi Surat dari Kota ini dipercaya sebagai salah satu anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.

Semua itu bisa dijalaninya lantaran hidupnya telah diserahkannya kepada dunia sastra tanpa melupakan perannya sebagai istri, ibu, sekaligus nenek. Yang tak kalah penting adalah dukungan ketangguhan fisik perempuan yang pernah menawarkan satu jam paduan pertunjukan puisi, teater, gending Jawa, tari, dan tembang dengan tajuk Kesaksian Anak Perempuan Ki Suto Kluthuk asal ada orang yang berani membayarnya Rp1 miliar ini.

Perihal vitalitasnya tersebut, Mbak Diha pernah mengungkapkan resepnya kepada sastrawan Kurnia Effendi: “Minum tirta-baskara, Dik.” Ketika Kurnia mengartikan tirta sebagai air dan baskara sebagai matahari, Mbak Diha membenarkannya: “Saya menyimpan air dalam botol warna hijau yang dijemur seharian, kemudian diembunkan sepanjang malam di luar rumah. Nah, pada pagi hari berikutnya, kita minum. Itu untuk vitalitas. Jika Adik kurang darah atau darah rendah, gunakan botol warna merah.” Resep tersebut telah dijalaninya sejak usia 35 tahun.

Kepada Kurnia pula, Mbak Diha pernah menyampaikan satu obsesinya yang mulia dan belum terlaksana: “Dik, seandainya Tuhan memberi saya umur dan diparingi kekuatan, saya ingin memiliki padepokan kecil di pinggiran Jakarta atau Bogor yang dapat mewadahi kegiatan sastra dan budaya. Juga, untuk menampung para seniman yang masih terlantar di jalanan.” Semoga panjang umur, Mbak Diha dan keinginan itu menjadi kenyataan.

*) pemerhati komunitas sastra, salah seorang pendiri Komunitas Sastra Indonesia (KSI)

Ragam Ekologi Sastra

Abdul Aziz Rasjid
http://www.lampungpost.com/

DENGAN adanya ragam ekologi yang bergeser dari penguasaan laut, ditembusnya desa, pembangunan kota yang melibatkan kontradiksi lembaga militer, agama sampai instansi pendidikan dan birokrasi politik; pada akhirnya, ragam ekologi sastra dapat dibaca sebagai bagian pembacaan kritis terhadap alur perkembangan konteks sosial historis bangsa pada suatu masa.

Dalam buku bertajuk Sastra Hindia Belanda dan Kita (Balai Pustaka: 1983) yang ditulis Subagio Sastrowardoyo dijelaskan bahwa terjadi pengulangan pola cerita desa di dalam sastra Hindia Belanda, sastra Melayu Modern, dan sastra Balai Pustaka. Pola cerita desa itu selalu berpangkal dari hubungan asmara pemuda-pemudi desa yang dekat sejak kecil. Hubungan asmara mereka yang romantik di tengah kedamaian desa, selalu berujung pada perpisahan yang tragis karena adanya gangguan yang berasal dari luar desa, semisal: tentara Belanda, China lintah darat, bangsawan, dan punggawa dari kota.

Gejala seragamnya pola cerita mengenai kehidupan desa dalam sastra Hindia Belanda berawal pada pertengahan abad sembilan belas. Kazat en Ariza dalam kumpulan Nieuwu Indische verhalen en herinneringen uit vroegen et lateren tijd atau Cerita dan Kenangan Baru tentang Hindia Belanda Zaman Dahulu dan Kemudian (1854) karya W.L. Ritter, De Doch ter van den bekel atau Anak Perempuan Kepala Kampung (1854) yang terkumpul dalam tulisan J.F.G. Brumund bertajuk Indiana (1854), dan tentu juga cerita Saijah dan Adinda yang merupakan bagian dari roman Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (terbit pertama kali pada tahun 1860, baru terbit dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 1972) karya Multatuli adalah karya-karya sastra yang kemudian digolongkan sebagai genre cerita desa (1983: 30-31).

Desa: Korban Imperial atas Laut

Pola cerita desa ini tetap berkembang dan berlanjut dalam periode sastra melayu modern sampai periode Balai Pustaka. H. Kommer yang menulis dalam bahasa melayu umum, mengisahkan Nyi Sarikem dan Cerita Siti Aisah (ketiganya terbit tahun 1900), atau di dalam karya satra yang dianggap bacaan liar oleh kolonial Belanda kita juga dapat menemukan cerita gadis desa Maloko bernama Ardinah yang hidup miskin bersama ayahnya dalam Hikayat Kadiroen (1920) karya Semaoen.

Kisah-kisah dari desa itu setidaknya mewartakan bahwa ekspansi kolonial kepada kehidupan pribumi telah makin meluas sampai ke pelosok desa dan menyebabkan penderitaan rakyat. Jejak awal ditembusnya wilayah desa itu, setidaknya dapat ditelusuri sebagai akibat terjadinya imperial atas laut oleh kolonial seperti yang terceritakan dalam Arus Balik yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.

Dalam Arus Balik, secara luas dapat kita baca bahwa terjadi perubahan orientasi kekuatan militer di kerajaan Nusantara; terutama Demak pascakepemimpinan Pati Unus yang digantikan Sultan Trenggana. Peralihan kekuatan Pati Unus yang dahulu bertumpu pada kuatnya navalisme (militerisme di laut) untuk merebut Malaka, pada masa Trenggana beralih pada kekuatan militer darat untuk menyukseskan perluasan kekuasaan tanah dalam memerangi raja-raja.

Kondisi ini, di mana kerajaan di Nusantara menjadi saling bentrok, membuat laut sebagai pintu gerbang menjadi terbuka. Sedang di sisi lain, bangsa kolonial semakin memperkuat modal ekspansinya dengan memperkuat navalisme. Navalisme kolonial yang terus meningkat menjadikan pelabuhan-pelabuhan Nusantara goyah. Tak mengejutkan kemudian, bila daratan di mana desa berada menjadi relatif lebih mudah untuk ditembus sebagai konsekuensi dari kerapuhan kekuatan navalisme.

Singkatnya, baru tiga abad lebih Nusantara dapat lepas sebagai wilayah koloni. Proklamasi 17 agustus 1945, mengantarkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Di masa kemerdekaan, masyarakat lalu berhadapan dengan keberbagaian tegangan sosial politik —perpecahan masyarakat terjadi melalui polarisasi partai—dalam kehidupan demokrasi terpimpin. Meletusnya G30S/PKI menjadi puncak runtuhnya desakan “imajinasi komunalisme” dan memasifkan perlawanan yang mengharapkan ruang lebih longgar bagi ekspresi yang mandiri.

Dalam kecamuk politik itu, mahasiswa lalu menjadikan kampus sebagai basis penggalangan kekuatan untuk melakukan perlawanan-perlawanan dalam bentuk demonstrasi. Tirani (1966) dan Benteng (1966) karya Taufiq Ismail hadir sebagai reaksi dari kampus yang ikut membakar semangat pembebasan dari indoktrinasi revolusi dan mengembalikan kampus sebagai mimbar akademis. Dalam puisi berjudul Mimbar Taufik Ismail memandang ekologi kampus semacam ini: “Di kampus ini/ Telah dipahatkan/ Kemerdekaan// Segala d’spot dan tirani/ Tidak bisa merobohkan/ mimbar kami”.

Revolusi Perkotaan

Setelah Orde Lama tumbang lewat keterlibatan demonstrasi mahasiswa, Indonesia lantas dibangun dengan visi pembangunan di tangan Orde Baru. Sistem kota berlangsung dengan penaklukan sebagai syarat utama terkumpulnya modal komunal. Haluan sosial dan politik kota dibagi-bagi dalam tatanan-tatanan pembagian kerja yang kemudian dikenal sebagai instansi atau birokrasi. Gurita birokrasi dalam bentuknya yang negatif, lalu menyuburkan kedestruktifan dan keserakahnnya karena menjalankan segala sesuatu berdasar pada panji keuntungan untuk kepentingan pribadi dengan cara ikut serta bermain dalam arus perdagangan pasar. Maka tak mengherankan bila merajalelanya korupsi terjadi, seperti yang ditulis oleh Rendra dalam Sajak Ibunda, ini:

“Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu./ Demikian pula koruptor, tiran, facist,/ wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,/ mereka pun juga punya ibu// …Apakah sang anak akan berkata pada ibunya:/ ”Ibu, aku telah menjadi antek modal asing,/ yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi/ kemelaratan rakyat// …Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu./ Kamu adalah tugu kehidupanku, /yang tidak dibikin-bikin hambar seperti Monas dan/ Taman mini.”

Ekologi perkotaan dalam puisi itu secara psikologis mengemuka seperti yang dikatakan oleh Lewis Mumfort (dalam Fromm, Akar Kekerasan. 2000 : 224) bahwa masyarakat kota di satu sisi bersifat cermat dan efisien, tapi di sisi lain acap destruktif, sadis, dan cenderung suka membangga-banggakan monumen-monumen seakan prestasi yang tertandingi. Padahal monumen itu malah menunjukkan kemegahan yang timpang dengan keadaan ekonomi mayoritas masyarakat. Dengan nada sinis, Wiji Thukul menggambarkan kejelataan dan kekerasan lewat Monumen Bambu Runcing: Monumen bambu Runcing/ di tengah kota/ menuding dan berteriak merdeka/ di kakinya tak jemu juga/ pedagang kaki lima berderet-deret/ walau berulang-ulang/ dihalau petugas ketertiban.

Dengan adanya ragam ekologi yang bergeser dari penguasaan laut, ditembusnya desa, pembangunan kota yang melibatkan kontradiksi lembaga militer, agama sampai instansi pendidikan dan birokrasi politik; pada akhirnya, ragam ekologi sastra dapat dibaca sebagai bagian pembacaan kritis terhadap alur perkembangan konteks sosial historis bangsa pada suatu masa. Ragam ekologi sastra juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia–sebelum dan setelah merdeka–ternyata belum beranjak sebagai bangsa yang untuk ke sekian kalinya menjadi korban eksploitasi dari keserakahan, kepentingan-kepentingan kekuasaan yang acap berujung pada kekerasan, penderitaan, dan jatuhnya korban.

*) Peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto.

Berpadunya Ilmu Silat dan Ilmu Surat

Aris Kurniawan
http://www.lampungpost.com/
Judul : Nagabumi (buku kesatu: Jurus Tanpa Bentuk)
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, November 2009
Tebal : 809 halaman

AKU sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan–tapi mereka terus memburuku bahkan sampai ke dalam mimpi. Apakah yang belum kulakukan untuk menghukum diriku sendiri, atas nama masa laluku yang jumawa, dan penuh semangat penaklukan, setelah mengasingkan diri begitu lama, dan memang begitu lama sehingga semestinyalah kini tiada seorang manusia pun mengenal diriku lagi?

Demikian Seno Gumira Ajidarma membuka novel silat Nagabumi– Buku Kesatu Jurus Tanpa Bentuk. Sebuah pembuka dengan kalimat khas Seno yang segera membetot pembaca untuk terus mengikuti kisah sampai tuntas. Kalimat-kalimat panjang tapi sama sekali tidak bertele-tele sehingga amat efektif untuk sebuah novel silat berketebalan lebih dari 800 halaman yang sebelumnya dimuat secara bersambung di sebuah harian lokal Semarang.

Jurus pembuka yang tidak hanya indah secara gaya bahasa, tapi juga langsung menghidupkan imajinasi kita tentang dunia persilatan yang tak pernah kita lihat dalam dunia keseharian tapi entah bagaimana caranya terasa begitu nyata seolah kita pernah mengalaminya langsung.

Meski tidak pernah mengalami dunia persilatan, bagi kita yang pernah hidup di era populernya sandiwara radio Saur Sepuh, Tutur Tinurlar, Babad Tanah Leluhur, dan sejenisnya tentulah “akrab” dengan dunia persilatan. Sandiwara radio dengan latar cerita masa kebangkitan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara, tak syak lagi telah menghidupkan imajinasi kita tentang kehidupan di dunia rimba persilatan.

Apalagi bagi yang gemar dengan bacaan cerita silat yang juga populer kala itu, macam karya Asmaran S. Kho Ping Ho, Wiro Sableng, Panji Wungu, dan lain-lain. Adegan pertarungan seru, kejar-kejaran dengan ilmu meringkan tubuh, melenting dari bubungan rumah ke ranting pohon. Sabetan dan benturan pedang, luncuran anak panah, ledakan api dari benturan tenaga dalam, serta rangkaian ketegangan lainnya, bagai tertanam abadi dalam imajinasi kita.

Kisah-kisah persilatan tidak melulu mengetengahkan pertarungan-pertarungan seru, tapi juga intrik politik, bahkan ungkapan-ungkapan filsafat tak sedikit berhamburan di sana secara bersahaja. Maka, manakala membaca novel ini, kita seperti kembali pada masa-masa itu. Imajinasi kita tentang dunia persilatan mekar lagi dengan riang gembira. Kita seperti menemukan dunia yang sempat hilang itu. Dan kini ia hadir makin mengasyikkan, bukan saja lantaran logika ceritanya yang terjalin baik dengan kompleksitas yang meyakinkan, tapi juga ditulis dengan sentuhan bahasa sastra yang menghanyutkan.

Kisahnya berpusat dari Pendekar Tanpa Nama yang terpaksa harus turun gunung dari pertapaanya lantaran sepasukan rajya-pariraksa atau pengawal kotaraja memburu dan hendak membunuhnya di dalam gua pertapaan. Bahkan pendekar-pendekar top dari sungai telaga dunia persilatan turut mengejarnya dengan maksud sama. Rajya-Pariraksa dengan mudah dilumpuhkannya cuma dengan ludahnya yang semprotkan ke mata mereka.

Dalam buku pertama ini belum terungkap apa sebenarnya yang melatarbelakangi para pendekar dan pasukan khusus istana memburunya. Bahkan asal usul Pendekar Tanpa Nama pun masih gelap. Selain bahwa ia diselamatkan oleh pasangan pendekar bernama Sepasang Naga dari Celah Kledung dalam gendongan perempuan yang diduga bukan orang tuanya yang dirampok di tengah perjalanan menggunakan pedati.

Melalui perjalanan menyusuri ingatan di masa muda sang Pendekar Tanpa Nama itu pula kita mengetahui karut marut perpolitikan masa itu yang penuh intrik, perebutan pengaruh dan kekuasaan yang mengatasnamakan agama. Kedatangan kepercayaan baru yang menyisihkan kepercayaan lama.

Novel ini terdiri dari 100 bab. Setiap bab rata-rata terdiri dari 6 sampai 8 halaman. Strategi pembagian bab ini kiranya sangat efektif sebagai jeda untuk memberi napas pada pembaca. Halaman akhir setiap bab nyaris selalu menyisakan adegan pertarungan atau kelebat bayangan yang sungguh-sungguh seru, menegangkan dan bikin penasaran. Sampai tanpa terasa sampai di halaman terakhir. Dan mendapati diri kita tak tahan menunggu buku kedua.

Aris Kurniawan, sastrawan

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar