Minggu, 27 Juni 2010

Upaya Mengelola Spirit Neo-Primitif

Sebuah Gagasan Teater Tutur

S.Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

MENYAKSIKAN tiap bentuk pertunjukkan, seringkali kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan—apa pesan yang dituturkan pertunjukan tadi? Lebih aneh lagi apabila pertanyaan itu kerap muncul justru di akhir pagelaran. Kalau mau jujur boleh dikata, pertanyaan semacam itu tak lebih dari pengakuan (disertai tuntutan) memperoleh kegunaan dari setiap menonton pertunjukkan.

Di sinilah kemudian pesan jadi barang mahal untuk di dapat, apalagi bagi tontonan yang kurang berhasil karena tidak adanya kesadaran yang tinggi untuk menuju ke sana. Begitu mahalnya sehingga makin sulit untuk menggerakkan pesan-pesan seperti itu ke arah yang lebih dalam ke dalam bentuk kesan.

Menghadirkan pesan dan menghidupkan kesan tampaknya hingga kini terus dijadikan pergulatan dalam tradisi tutur kita—dan barangkali bermula dari sini pulalah cikalbakal kesulitan akan berkembangnya seni tradisi kita. Sehingga Tradisi Tutur seperti jadi bulan-bulanan sebagai korban yang menyebabkan seni tradisional berpotensi mati yang sebenarbenarnya mati tanpa sebutir pun bekas—kalaupun ada tak lebih hanya nostalgia yang fatalnya cukup laris dijual di pasar pariwisata bagi orang yang sebetulnya tengah kebingungan mencari dirinya sendiri berada di tengah hirukpikuk zaman.

Lagi, sulit berkembangnya seni tradisi tutur kita akibat serbuan model dan sarana penuturan lain yang lebih efektif makin mengubur dalam dalam nasib buruk tradisi tutur itu sendiri. Belakangan yang muncul ke permukaan adalah pertanyaan bagaimana memperjuangkan tradisi tutur yang notabene telanjur memilih menggunakan media bahasa lisan sebagai ‘penyambung lidah’ pesan tersebut?

Lantas apakah pesan dan kesan itu penting dan tepat diwujudkan dengan kosakata sebagai barang mahal? Memperjuangkan—bukan berarti membela mati-matian—tradisi seni tutur kita boleh dikata diawali dari berpegang pada pentingnya pesan dan kesan tersebut sebagai kunci. Karena tradisi tutur atau oral tradition sebetulnya lebih bertitik tolak secara historis dari adanya pesan tersebut yang dikemukakan dalam konteks tahap kebudayaan mitologis menurut istilah Van Peursen.

Meski demikian tradisi tutur, oral tradition alias tradisi lisan tak melulu berupa hal-hal yang berkaitan dalam gaya penyampaian tutur (verbal) belaka. Terlebih pada saat tradisi lisan itu memasuki ranah seni yang pada mulanya tumbuh subur sebagai sebuah upacara ternyata ada bentuk tarian di samping syair serta wayang dan kemudian menuju teater. Tentang yang terakhir disebut ini, banyak dituding mulai adanya campur tangan pola pikir barat ditandai sejak sandiwara (sandi dan swara?) Dardanela, meski di sisi lain orang barat macam Antonim Artaud justru menggali teater tradisi di Bali. Kesemuanya terus hidup hingga di zaman yang bukan lagi pre-historis tetapi pada saat orang mulai gemar menulis.

***

TEATER TUTUR adalah cerita itu sendiri adalah dongeng, mithologi, monolog dari colectif-conciusnes (kesadaran kolektif). Pertanyaannya, bagaimana itu terjelaskan di atas pentas? Sedyawati (1998) mengklasifikasikan tradisi lisan sejak dari yang paling murni bersifat sastra hingga ke pertunjukkan teater, antara lain: pertama, murni pembacaan sastra, seperti mebasan pada orang Bali dan macapatan pada orang Jawa, kedua pembacaan sastra disertai gerak-gerak sederhana atau iringan musik terbatas, seperti pada Cekepung dan Kentrung, ketiga, penyajian cerita disertai gerakan-gerakan tari seperti randai pada orang Minang dan keempat, penyajian cerita-cerita melalui aktualisasi adegan-adegan dengan pemeran-pemeran yang melakukan dialog dan menari disertai iringan musik.

Berawal dari catatan singkat bahwa tradisi tutur tak musti dengan bahasa verbal, tampaknya bisa lebih menajam bila memakai teropong pada perbincangan dari tinjauan bahasa sebagai alat penyampaian pesan (komunikasi). Bahasa kemudian bisa berwujud sebagai bahasa dalam pengertian teater, ada tari dan gesture (body language). Dengan kata lain, di dalam masyarakat yang belum mengenal tradisi menulis sebagai bagian dari kebudayaannya, tradisi lisan menjadi alat atau sarana yang sangat penting dalam transmisi nilai, norma dan hukum dari generasi ke generasi yang lain. ”Mithos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok orang (pemiliknya) yang tidak hanya dituturkan, tapi juga dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang,” kata Van Peursen. Tak cuma itu, dalam perkembangan selanjutnya atau tahap kebudayaan fungsional bahasa terkait dengan alat penyampaian pesan bukan mustahil bisa terus dicoba ke wilayah lebih luas termasuk di dalamnya film—seperti pernah dicoba sineas ternama Garin Nugroho ke dalam bahasa gambar. Satu hal yang ditawarkan di situ film minus bahasa verbal akan tetapi sukses tidak meninggalkan nuansa tutur sebagai tradisi.

Pertanyaan berikutnya, lantas dimana teater atau khususnya monolog bisa mengambil peran? Melalui penelusuran epistemologis dan etimologi maupun terminologi simpul pelbagai gagasan yang terkait tutur atau lisan, teater dan monolog adalah pada semangat untuk kembali menyampaikan pesan. Kalau zaman baheula, mitologi hidup subur justru karena keterbatasan-keterbatasannya, bagaimana sekarang bisa memaknai kembali sebuah mitologi dan sejenisnya—ada upacara ritual maupun mistik? Terang saja yang tersebut belakangan ini sulit untuk hidup kembali di ranah ini meski di sejumlah wilayah dalam kontek tertentu masih nyata-nyata begitu dipercaya kelompok masyarakat.

Kelompok masyarakat dalam catatan ini jadi semacam syarat mutlak untuk bisa memahami bahasa-bahasa mereka sendiri dalam sebuah kesepakatan. Jadi makna hanya dapat dipahami dan ditangkap masyarakat penciptanya sebagai konteks sosial teater itu lahir dan kemudian hidup. Seolah kelompok itu berkata ‘Ini hanya untuk kami sendiri, yang lain silakan tak perlu ikut-ikut. Percuma saja.’ Di sinilah kemudian pemahaman kontektual teater jadi lebih memiliki arti yang sulit untuk didekati kelompok lain di luarnya, tetapi gampang menggugah semangat bagi mereka yang ‘senasib sepenanggungan.’ Di situlah tranformasi makna dan pesan dalam Teater Tutur dari pelaku ke audiens (penonton) mengalir melalui proses komunikasi baik verbal maupun non-verbal pada saat sadar diri menjadi seni pertunjukkan—bentuk komunikasi yang sudah dikombinasikan dengan aspek visual, kinesthetic dan aesthetic dari gerakan manusia. Dalam bahasa lainnya seni yang seperti ini mustahil bisa didekati secara universal, meskipun seni teater itu sendiri bukan hal yang muskil kemunculannya memang universal. Sehingga dari aspek komunikatifnya, konsekuensi pilihan mutlak teater seperti ini audiensinya harus memahami pesan budaya yang dilakukan dengan gerakan manusia di dalam waktu dan ruang. Terkait dengan hal ini, makna teater tidaklah didapatkan dengan sendirinya oleh masyarakat pendukungnya, akan tetapi melalui suatu proses sosialisasi atau proses kontinuitas dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun konteks ruang, waktu dan sosial (audience) yang berbeda akan memberikan kontribusi bagi perubahan makna untuknya.

Tentu saja catatan ini dengan penuh kesadaran, mengatakan teater yang dihidupkan petani, peladang, buruh atau pengangguran cq mahasiswa jurusan kesenian sekalipun, bisa diganti dengan teater yang digagas seniman, intelektual dan ilmuwan. Titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia. Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk “menghibur.” Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat memaknai diri di tengah samudera alam semesta—sekecil apapun makna itu baginya—inilah kreativitas. Perjuangan seperti ini pun telah dilakukan manusia primitif sejak zaman baheula untuk memecahkan kerumitan hidup sejak sebelum ada religi, ritual atau agama dan pengetahuan lain seperti seni dan moral. Dengan kata lain proses budaya mereka adalah sesuatu yang dihasilkan dari proses kreativitas yang digerakkan oleh badan manusia di dalam ruang dan waktu tertentu.

***

ENTAH ini sebuah pandangan yang tepat ataukah tidak, jadi masih semacam dugaan-dugaan yang sifatnya perlu analisa dan eksperimen lebih lanjut. Bahwa di samping problem yang sudah melekat dalam diri manusia di semesta ini, lantas perasaan senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan bangsa yang bertahun-tahun didera akibat masa kelam, penderitaan, tekanan dan kepahitan, secara tidak langsung juga turut membentuk sebuah tradisi lisan dalam arti kita lebih suka “diceritai” dari pada jadi “pencerita yang analitis.” Atau kita lebih terbiasa jadi “pendengar” atau jadi “pendongeng” saja dengan segala percikan-percikan yang dalam perkembangan hebatnya bisa dipelihara sedemikian cerdik. Tanpa bermaksud memposisikan “pendongeng” ke dalam makna efimisme, jika pun benar betapa teater tutur yang lahir dari “zaman gelap” seperti itu sanggup berjuang dan mendapat tempat kuat di tengah masyarakat. Sebaliknya tentu saja tak memperoleh simpati jika ditinjau dari tahap fungsionalnya Van Peursen. Kita tentu masih dibuat terkagum-kagum bagaimana paiwainya Kartolo Cs atau Markeso, Cak Durasim yang sanggup memperjuangkan tradisi lisan justru di abad supercanggih seperti sekarang—menyampaikan pesan dengan rupa-rupa basa-basi verbal yang justru menurut Sindhunata mampu menghidupkan spirit hidup rakyat kecil dari hempasan penderitaan beban hidup.

Masih tentang dugaan, deraan nasib bangsa dalam “zaman gelap” seperti ini dengan kata lain turut menumbuhsuburkan monolog. Kita bisa menjumpainya bagaimana banyak penulis kita yang begitu dahsyat apabila menceritakan tentang penderitaan itu sendiri, meski tanpa suatu analisa tertulis dari disiplin keilmuan yang dalam. Yang mau saya katakan, menjadi wajar apabila tradisi tutur itu amat sulit dimusnahkan tanpa berniat untuk mempertahankan secara mati-matian tradisi yang dalam sejarahnya kini memang hidup enggan, mati tak mau itu. Pertanyaan berikutnya, jika ini benar adanya, akankah monolog itu sebuah ikatan ideologis yang bukan kebetulan di sini dipicu oleh perasaan senasib dalam sejarah? Kiranya ini sebuah persoalan amat komplek seperti halnya masalah manusia atau pelaku-pelaku budaya itu sendiri dan keseriusan berproses budaya menjadi titik tolak untuk menemukan jawabannya kendati pun sulit untuk benar-benar terpecahkan. Tentu saja hal ini termasuk di dalamnya problem budaya dengan segala tetek bengek hambatan bahkan teror kita sendiri yang jelas turut membangun berdirinya imperium tradisi tutur—yakni sulitnya memecahkan persoalan secara rasional sebagaimana tradisi barat—atau seringkali kita dicap berbelitbelit karena banyak bicara melalui simbolisasi (surrealis?) basa-basi guyonan parikeno dan tidak pragmatis. Saya tidak hendak mengatakan simbolisasi itu buruk dan rasional itu jelek atau sebaliknya rasional itu baik dan simbolis itu bagus. Keduanya bisa ada dan ditiadakan. Sama halnya dalam pertunjukkan teater saya yang tanpa mempedulikan keharusan realisme, absurditas atau simbolik, surrealisme. Kesemuanya niscaya bisa ada dan bisa pula ditiadakan. Kesemuanya punya hak untuk secara terbuka hadir dalam sebuah proses panjang berteater.

***
TEMA BESAR pertunjukan ini adalah perlawanan terhadap segala bentuk korupsi. Upaya ini sengaja dimulai dengan mengurai peristiwa terdekat diri kita yakni keluarga—menghadirkan tokoh yang mengasingkan diri untuk menjaga kebersihan hidupnya karena ia sadar mengemban misi mulia dari sang pencipta dengan segala konsekuensinya hidup dalam kemiskinan. Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat. Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi. Pilihannya ternyata sekaligus jadi sebuah cara agar bisa berbicara banyak tentang ancaman dunia luar. Utamanya perihal kebobrokan. Cara tokoh menutup pintu jelas sudah berbekal kunci bahwa segala bentuk korupsi dan kebobrokan adalah kejahatan dan bukan budaya. Pilihan tokoh seperti itu didorong kesadaran dirinya “sungguh tak mampu” mengikuti arus besar di luar rumah. Melawan pun tak bisa. Karena itu satu-satunya bentuk lain dari perlawanan adalah menjaga keluarganya sendiri dari bahaya luar, menumbuhkan sikap tak peduli, cuek dan apriori. Tema kecil pertunjukan ini adalah tentang kemiskinan dan penderitaan hidup orang biasa. Bahwa orang tak perlu takut hidup miskin dan menderita. Justru keberanian itu terletak pada kukuh mempertahankan spirit hidup untuk tidak “merusak tatanan kehidupan kosmos,”—sekecil apapun perbuatan yang disebut kejahatan.

Lelaki itu anak haram jadah. Lahir dari rahim seorang pelacur, bukanlah penghalang baginya untuk mencintai ibunya. Lelaki itu punya anak dan istri. Punya keluarga membuatnya sadar, cinta kepada ibunya telah menumbuhkan Spirit hidup lelaki itu untuk jadi manusia—bertanggungjawab pada diri, ilmu dan keluarganya—sebagaimana ajaran ibunya. Demi tujuan itu, ia menjatuhkan pilihan dengan keluar dari pekerjaan dan “menutup pintu” rumahnya kuat-kuat. Ia memilih mengurus sendiri hidup keluarganya dan menolak campur tangan siapapun, tetangga maupun negara.

Mengapa dunia luar sebagai ancaman? Tanpa sedikitpun bermaksud menganggap dunia luar itu remeh temeh, kiranya ini adalah cara pandang yang mempertimbangkan betul sisi dalam manusia itu sendiri—pengalaman sejak kecil hingga tumbuh dewasa. Dunia luar itu bukan satu-satunya ancaman, karena sebaliknya pengalaman masa kecil yang buruk bukan mustahil sanggup mendorong manusia menjatuhkan pilihan pada “merusak tatanan kehidupan kosmos”—inilah ancaman sesungguhnya yang benar-benar ancaman. Bila karena itu Nietzsche mengaku kesulitan memahami manusia dari spesies hewan, karena dorongan kodrat manusia sebagai makhluk yang selalu berkeinginan berkuasa, tapi tidak bagi saya karena di situ ada perbedaan mendasar antara “kodrat” dan “fitrah”—bahwa manusia hidup dan hadir di bumi ini sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban.

Celakanya, semua itu ada dalam diri manusia dan karena itu perjuangan untuk itu terus ditumbuhkan termasuk kepada dirinya sendiri. Begitu dahsyatnya pertarungan ini sampai kemudian Nietzsche melalui tokohnya, Zarathustra melihat kehendak berkuasa bekerja secara diam-diam di mana saja dalam sejarah moral—dalam asketisme orang-orang suci dan kecaman para tokoh moral, serta brutalitas legislator primitif. Saya tidak hendak menyalahkan Nietzsche, tapi seperti halnya kata Al Ghazali begitu banyak pandangan-pandangan filsuf yang tidak banyak berguna alias sia-sia kurang lebih ada benarnya, termasuk salah satunya kepada saudara Nietzche ini. Bagi saya, di sinilah pentingnya mengajak (mendidik) siapapun manusia untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri sebagai sebuah jalan ke arah primitif baru—proses kesenian sebagai buah tangan dan pikiran manusia tak luput dari tugas itu. Memang kedengarannya pilihan terminologi primitif baru (neo-primitif) cukup arogan. Namun mengelola sesuatu arogansi itu menurut saya adalah suatu kesenian, tentu saja dengan mempertimbangkan secara matang seluruh bentuk dan isi pikiran. Syukurlah Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, cukup lumayan ketika menyesalkan terjadinya kesalahan berpikir bahwa orang yang sungguh jahat dan destruktif pastilah setan—berwajah jahat, punya taring, tidak punya kualitas positif, dan sebagainya. Koreksi Erich Fromm, setan-setan ini memang ada, tapi celakanya, sangat jarang berpenampilan demikian. Yang lebih banyak justru setan yang memperlihatkan wajah manis dan menarik. Maka, sejauh percaya orang jahat pasti bengis dan bertaring atau bertanduk, tidak pernah akan menjumpai orang jahat di dunia.

Cukup menarik bagi saya adalah pernyataan Carl Gustav Jung, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri. Bagian bayang dari pikiran adalah bagian esensial dari bentuknya. Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan, menjadi semacam hantu. Dari sinilah kemudian, ia berpendapat pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Hal ini saya lebih cenderung menggunakan terminologi sikap terbuka dan membocorkan diri atas bahwa manusia memang memiliki sisi gelapnya sendiri, yakni kemampuan untuk melakukan kejahatan yang justru merendahkan dirinya sendiri. Ada pandangan yang “spiritualis” atau “mistis” mengemuka dari pernyataan Jung, bahwa manusia memiliki kekuatan kompleks yang memungkinkannya untuk melakukan tindakan yang meniadakan kebaikannya sendiri. Dengan membocorkan diri tentang ruang-ruang gelap, dosa-dosa, kejahatan-kejahatan, keburukan-keburukan masa lalu dalam batin manusia, maka hal itu berarti aktif menciptakan kondisi ektrem manusia tanpa lebih dulu harus ditekan dan pojokkan. Karena menurut saya, dengan cara seperti ini saya amat meyakini sebagai upaya untuk mengenali diri secara lebih dahsyat yang pada gilirannya barangkali justru akan menumbuhkan rasa percaya diri sebagai manusia menjalani fitrahnya.

***

MENJAJAGI kemungkinan bentuk teater dan wayang kampung sebagaimana selama ini saya terlibat di dalamnya dengan menyadari pelbagai kendala kemiskinan—fasilitas, dana, pekerja teater dan lainnya—jelas bukanlah penghalang utama sebuah kerja kreativitas. Saya menghadirkan elemen-elemen jagad perwayangan sejak dari dalang, lampu blencong, layar dan sebagainya meski tanpa sepotong pun sosok wayang. Kemewahan sosok wayang hanyalah perkara tokoh dan penokohan. Saya cukup mengganti tokoh wayang dengan kostum-kostum yang dipajang di depan layar. Sehingga di situ pulalah pemain bisa keluar masuk dengan ide-idenya atau “penokohan jiwanya” dalam kostum yang untuk itupun ia harus sering berganti di atas panggung. Pemain bisa jadi cuma pemain dan bisa pula jadi dalang sekaligus bagi dirinya sendiri. Pemainlah yang punya beban ide atau ideologi, bukan yang lain. Wujud wayang hanyalah soal baju saja. Selanjutnya tergantung bagaimana “mengisinya.” Bukankah kita sudah biasa dengan berganti baju lalu tiba-tiba sikap hidup kita jadi sering pula berganti? Dasar Teater Tutur bukan berarti menilai disiplin teater barat sesuatu yang abai. Mempertimbangkan Eugine Ionesco yang biasa menampilkan lelucon dan simbolik, atau Bertolt Brecht yang cenderung berpikir, lalu Grotowsky yang berusaha mempengaruhi penonton bahkan teater Rusia Okhlopkov yang sangat sosialis juga perlu. Jadi jangan heran bila pertunjukan ini mengajak menciptakan kegembiraan atau semacam pesta dengan penonton gilirannya sebagai pemain. Semuanya tidak mustahil ada di pertunjukan ini dengan penuh kesadaran menghadirkannya—ini sebuah cara untuk kemungkinan kami bisa lebih bersikap terbuka.

Untuk itu, sebelum menutup tulisan ini, sebagai sebuah gagasan teater, saya amat yakin berdiri di suatu “koma” dan jauh dari sebuah “titik.” Karena itu, alangkah baiknya kalau di tempat pencarian ini, sekaligus mengurai kerendahan hati dan mengurangi beban arogansi, saya kembali mengajukan pertanyaan penting, mungkinkah sebuah pertunjukkan mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater? Lalu, akankah dalam situasi di tengah hiruk pikuk zaman ketika dari hari ke hari, jam, menit dan detik makin banyak pula orang dan barang yang sibuk bermonolog, lantas menawarkan bentuk lain monolog sebagai sebuah ideologi dalam arti point of view (sudut pandang)? Lantas efektifkah bila “menyebarkan” sudut pandang aku yang bukan mustahil tak ada bedanya jika diganti sudut pandang kami asalkan keduanya sama-sama mempertahankan sikap sepihak? Sebagai penutup saya hanya bisa menukil satu jawaban sementara yang kami yakini dengan apa yang kami lakukan, bahwa sudut pandang kami melalui teknik tertentu dalam pertunjukkan ini sanggup menekankan pentingnya menyebarkan informasi kemungkinan bisa diterapkannya asas pembuktian terbalik di dunia hukum kita untuk memerangi korupsi. []
———————–

Kutisari, 7 Desember 2004

KADO SPESIAL

AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/

Besok; usia pernikahanku dengan Hamidah genap lima tahun. Dan selama itu, kehidupan rumah tangga kami bisa dikatakan berjalan lancar. Percekcokan kecil mungkin biasa. Tapi, percekcokan hingga menyebabkan Hamidah sampai pulang ke rumah orang tuanya, kupastikan belum pernah. Menurutku, keadaan ini disebabkan aku sangat mencintainya. Begitu pula sebaiknya.

Kami menikah dijodohkan oleh orang tua kami. Sebelumnya kami belum saling mengenal. Saat itu, umurku dua puluh empat tahun. Suatu hari, Bapak memanggilku. Di atas punggung kasur kamarnya, ia terbaring sakit. Wajahnya tampak lelah. Namun, sinar matanya menunjukkan kebahagiaan yang tercipta dari ketabahannya. Di tangannya, jalinan tasbih berputar perlahan-lahan oleh jari-jarinya yang bergerak lemah. Kata dokter, Bapak terserang kanker darah. Sementara Bulik Min, duduk di sampingnya.

“Kemari, anakku,” kata Bapak tersenyum melihatku datang. Aku mendekat. Kulihat Bulik Min membantunya untuk duduk bersandar pada kayu ranjang yang berukir. Kemudian pamit pergi. Dalam hati aku menyangka ada sesuatu yang penting yang akan dikatakan oleh Bapak.
“Duduklah.”

Ia diam sejenak sembari tersenyum padaku.

“Kau sudah besar, anakku. Kau juga sudah sarjana sekarang. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat”, ia berhenti sejenak. “O, ya, Bapak minta maaf. Bapak tidak bisa hadir pada wisudamu.”

“Tidak apa-apa, Bapak. Sekarang ini, kesembuhan Bapak adalah
kebahagian terbesar bagi saya.”

Ia mendesah pelan dengan tetap tersenyum. Sementara jalinan tasbih
di tangannya terus berputar. “Tidak, anakku. Kau sendiri tahu tentang sakit Bapak ini. Kata dokter, Bapak hanya bisa bertahan paling lama satu bulan lagi.” Bapak diam sejenak.

“Tapi, manusia pasti kembali kepada-Nya. Entah, kapanpun itu. Siapa pun manusia tak bisa mengelak ketika maut datang menjemput. Dan akhir-akhir ini, aku merasa Emakmu menginginkan agar aku segera menyusulnya ke alam sana.”

Tiba-tiba aku teringat Emak. Tiga tahunan yang lalu ia meninggal dunia. Saat itu, aku merasakan bahwa kami akan sangat kehilangan. Seorang ibu dan seorang istri yang begitu baik. Kehidupan keluarga yang begitu hangat. Aku tahu sebagaimana aku, Bapak sangat sedih ditinggal Emak. Ya, bagi seorang laki-laki seperti Bapak, anak dan istri merupakan belahan jiwa, kesayangannya. Memang keduanya mempunyai tempatnya sendiri-sendiri. Tapi, di situlah letak kesempurnaannya.

Setelah ditinggal Emak, dalam beberapa kesempatan ketika aku pulang ke rumah, sering kudapati Bulik Min menasehati Bapak untuk menikah lagi —karena waktu itu usia Bapak masih belum terlalu tua— juga dengan diam-diam berusaha mencarikan calon istri. Aku sebenarnya tak keberatan jika Bapak menikah lagi. Namun, Bapak tak berminat. Dan suatu hari, barangkali karena saking seringnya terlontar nasehat dari Bulik Min, Bapak dengan tegas memintanya untuk menghentikan usahanya. Mencarikan pengganti Emak. Saat itulah aku menyadari bahwa Bapak sangat mencintai Emak. Ya, begitu pula sebaliknya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ini yang disebut dengan pernikahan dunia sampai akherat”

“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, anakku,” katanya. Sebentar kuangkat wajahku menatap matanya tanpa berkata apa-apa.

“Kau adalah satu-satunya anakku yang masih hidup. Dan sebelum aku menyusul Emakmu, juga saudara-saudaramu, aku ingin melihat kau menikah.”

Aku tersentak. Namun sebelum sempat berbicara, Bapak sudah mendahului. “Dengarkan dulu,” katanya kemudian ia meminta untuk memanggil Bulik Min.
***

Dari Bulik Min aku tahu bahwa Bapak dan Bulik Min dengan diam-diam telah mencarikan calon istri bagiku. Dia anak gadis teman Bapak, namanya Hamidah. Bulik Min meyakinkan aku bahwa Hamidah adalah anak yang baik dan sopan. Hormat pada orang tua. Meskipun hanya lulusan madrasah setahun yang lalu, dia tergolong gadis yang cerdas.

“Semuanya tergantung padamu, San. Tapi, kau tak boleh membuat keputusan sebelum bertemu dengannya,” katanya.

“Kapan?”

“Lusa. Dan aku yakin kau akan tertarik kepadanya. Karena aku yakin bahwa Hamidah memang diciptakan untuk dirimu.”
***

Memang aku tak pernah menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis. Kecuali pertemanan biasa. Tapi, aku tak terlalu bodoh jika disuruh menilai tentang mereka satu-persatu. Jika saat itu aku menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis teman kuliah, maka barangkali aku akan mengabaikan Hamidah demi dia. Ya, aku akan memilih calon istriku sendiri. Tak perlu sampai harus dicarikan oleh orang tua.

Sore itu Bulik Min bertanya tentang keputusanku. Entah kenapa, aku segera mengiyakannya tanpa berdebat terlebih dahulu. Dalam hati, aku merasakan ada sesuatu yang menyuruhku untuk menuruti keinginan Bapak. Yang terakhir kali sebelum ia meninggal dunia. Apakah ini yang disebut pengorbanan seorang anak” Ah, kenapa aku harus berkorban begitu besar. Menyerahkan hidupku untuk hidup bersama dengan seseorang yang belum kukenal. Dan tak bijak kiranya jika orang tua menuntut pengorbanan dari anaknya untuk kebahagiaannya sendiri.

Tiba-tiba terlintas dalam kepalaku tentang kedua orang tuaku yang begitu menyayangiku. Memberikan segala yang terbaik bagiku. Mereka juga selalu mengabulkan segala keinginanku yang menurut mereka memang baik bagiku.

Dulu, ketika aku baru saja lulus dari SMA, aku mengatakan kepada mereka bahwa aku ingin kuliah di luar kota. Pada mulanya Emak tidak mengizinkanku, dengan alasan rasa sayangnya kepadaku yang membuatnya tak tega melepaskan diriku berpisah darinya. Namun, aku tetap berkeras. Akhirnya Emak memberikan izinnya.

Sebenarnya, bisa saja aku berkata; tidak. Dan jika demikian, aku yakin setelah itu Bulik Min akan datang lagi kepadaku dengan calon istri baru. Tentu saja terlebih dahulu harus melewati persetujuan Bapak. Karena Bapak telah mengganggap aku telah siap untuk menikah, selain keinginannya sebelum meninggal dunia, maka, bukan hal yang main-main untuk menetapkan langkah selanjutnya. Tapi, aku tidak melakukan hal itu. Barangkali karena hal ini juga yang membuatku mengiyakannya adalahk ketika dipertemukan dengan Hamidah, aku merasakan ada sesuatu yang menarikku kepadanya. Entah, apa itu. Apakah cinta?
***

Hari itu kami berkumpul, membahas kehidupan keluarga. Tujuh hari yang lalu Bapak meninggal dunia. Namun, dia sempat melihat aku duduk bersama Hamidah di pelaminan. Bahkan dia cukup lama bertahan dari waktu yang diperkirakan oleh Dokter.

Dalam kesempatan itu, aku sebagai ahli waris mengajukan pendapat bahwa biarlah Bulik Min dan suaminya yang mengurus usaha-usaha milik Bapak seperti sebelumnya. Juga tinggal di rumah ini. Ya, Bapak memang orang kaya di daerah kecamatan yang terpencil ini. Sudah pergi haji tiga kali. Barangkali juga terkaya. Ia mempunyai sawah di mana-mana, perkebunan jati, penggilingan padi, toko pertanian, dan sebagainya. Dan aku masih ingin melanjutkan kuliah lagi di luar kota.
***

Sudah lima tahunan ini aku menikah dengan Hamidah. Pada mulanya, aku ragu, apakah aku benar-benar mencintai Hamidah? Atau ini terjadi gara-gara sikap kompromiku sehingga aku mau menikah dengannya? Namun, akhirnya aku tahu bahwa aku memang benar-benar mencintainya. Saat itu, tiba-tiba aku teringat perkataan Bulik Min; bahwa Hamidah
diciptakan untuk diriku.

Memang aku tahu, Hamidah juga mencintaiku. Namun, aku sering terganggu dengan cintanya itu. Aku melihat ada pengorbanan yang terasa lebih besar di dalam cintanya. Penghormatan seorang wanita kepada suaminya yang lebih besar dari cinta yang wajar. Dia juga sangat menghormati orang tua. Dulu, ketika Bapak masih hidup. Hamidah menggantikan Bulik Min, mengurus Bapak yang sedang sakit.

Hampir tiap hari ketika aku ada di rumah, Hamidah sendiri yang mengurus segala keperluanku sehari-hari. Mulai dari menyiapkan makanan, mencuci baju, menyetrika, dan sebagainya.

“Kau seharusnya tak terlalu keras bekerja. Karena kau nyonya rumah ini. Biarlah pekerjaan seperti itu dikerjakan oleh pembantu,” kataku suatu hari. Ya, di rumah peninggalan Bapak ini, sejak semula memang banyak pembantu yang bekerja. Namun, dia mengatakan bahwa pekerjaan tersebut tidaklah terlalu berat baginya. Di samping itu, dia ingin melayani segala kebutuhanku dengan tangannya.

Karena aku merasa kasihan bahwa dia akan kecapekan dalam bekerja, maka aku membeli mesin cuci, kompor listrik, dan alat-alat modern lainnya. Namun, tak pernah kulihat dia menggunakannya meskipun dia sudah tahu cara menggunakannya.

Hampir tiap pagi ketika subuh telah tiba, dia membangunkanku. Dengan keadaan sudah rapi dan dandanan sederhana. Juga dengan secangkir kopi dan segelas air putih. Suatu kali aku pernah berkata kepadanya: “Sayang, pekerjaan seperti ini sesekali saja kaulakukan. Jangan tiap hari. Karena aku lebih suka kalau kautinggal dalam pelukanku hingga subuh akan kehilangan waktunya.”

“Tidak baik seorang wanita pagi-pagi bermalas-malasan..”,” katanya sembari tersenyum manis. Saat itu, aku melihat bahwa dia sangat cantik. Kalah bidadari-bidadari yang pernah tercipta dalam pikiranku. Segera kutarik dia dalam pelukanku.

Setahun setelah menikah dengan Hamidah, aku membeli rumah di luar kota tempat aku melanjutkan kuliahku. Dalam suatu kesempatan, aku mengajak dia pindah ke rumah itu. Juga menyuruhnya untuk melanjutkan pendidikannya. Kuliah. Dalam pikiranku, aku ingin dia bersentuhan dengan dunia luar. Biar dia tahu, bahwa dunia seorang wanita tidak hanya berada di sekitar rumah. Ya, aku sadar bahwa lingkungan desa yang membesarkan dirinya, daerah yang terpencil, telah membentuk pandangan hidupnya yang tidak seimbang. Di samping itu, biar dia tidak kaget bahwa ada dunia selain dunianya. Namun, dia berkeras menolak untuk pindah. Dia juga menolak untuk kuliah. Dalam hati aku berkata sendiri, bahwa hal ini harus dilakukan dengan pelan-pelan.

Di rumah peninggalan Bapak yang cukup luas, aku menjadikan salah satu ruangan kamar sebagai perpustakaan. Dengan koleksi buku yang kubeli dan cukup banyak jumlahnya, baik itu karya penulis-penulis luar negeri maupun dalam negeri. Baik penulis laki-laki maupun perempuan. Aku berharap istriku membaca buku-buku itu. Ketika pulang, setelah mendapat gelar Magister, aku menjadi dosen, aku sering meminta bantuan Hamidah untuk membacakan buku di kamar kami, terutama karya penulis wanita seperti R.A. Kartini, Fatima Mernissi, Jane Austen, Karen Amstrong dan sebagainya.

Dengan kebiasaan seperti ini, aku berharap dalam diri Hamidah tumbuh keinginan untuk membaca, belajar, menambah wawasan. Dalam kesempatan itu, aku juga kerap meminta komentar-komentarnya. Dari situ, aku pun tahu bahwa sebenarnya Hamidah perempuan cerdas. Namun, barangkali karena rasa hormatnya kepadaku, suaminya, dia tak pernah membantah ketika dengan sengaja aku membuat perdebatan dengannya.

Meskipun Hamidah tak mau diajak pindah ke luar kota, tinggal di rumah yang telah kubeli beberapa tahun yang lalu, selama ini, ia tidak pernah menolak jika kuajak tinggal beberapa hari di rumah itu. Hampir tiap tahun ketika liburan akhir kuajak dia ke sana. Sementara selisih jarak di antara keduanya mencapai seratus enam puluhan kilometer. Sekitar tiga sampai empat jam perjalanan dengan menggunakan bus atau mobil. Seperti juga hari itu, kami berdua pergi dengan naik bus. Sebenarnya, aku mempunyai mobil yang seringkali kupakai untuk perjalanan pulang-pergi seminggu sekali. Dan jika mau, maka pasti ada sopir yang mengantar kami dengan mobil tersebut.

Tapi, aku tak mau. Karena aku hanya ingin berdua dengan Hamidah tanpa seorang pun kami kenal. Sepanjang perjalanan maupun ketika tinggal di rumah di luar kota tersebut.

Sudah tiga hari kami tinggal di sana. Kami berdua banyak menghabiskan waktu untuk berkeliling kota, pergi mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di sana. Tentu saja bukan panorama pegunungan maupun pantai. Tapi, wisata permainan elektrik. Sebenarnya, Hamidah tidak terlalu suka untuk pergi-pergi dari rumah. Namun, dia tidak bisa menolak karena aku rada memaksanya dengan berpura-pura kesal.
***

Sore itu, kami kedatangan dua orang teman semasa menyelesaikan magisterku dulu. Din dan Ratna, begitulah namanya. Mereka berdua sepasang kekasih dan sama-sama merupakan fungsionaris sebuah partai politik. Mereka kerap bepergian bersama dari kota satu ke kota lainnya. Dan sepanjang yang kuketahui, mereka belum menikah.

Dulu, semasa menyelesaikan magister, Din kuajak tinggal bersamaku di rumah itu, karena Din juga merupakan teman lamaku. Di samping aku butuh teman, aku pikir lebih baik Din menggunakan uangnya untuk keperluan lainnya daripada untuk menyewa tempat tinggal. Apalagi, dia selama ini telah membiayai hidupnya sendiri.

Sepanjang yang kuketahui, Din hanya membiayai hidupnya dari menulis. Selain itu, tak pernah kutahu dia berusaha untuk mencari pekerjaan. Hari-hari luangnya diisi dengan menulis opini, artikel, untuk kemudian dikirimkan ke media massa. Meskipun tulisannya kerap dimuat, yang juga berarti dia mendapatkan honorarium, Din kerap kekurangan uang. Dia memang boros. Namun, ketika dia terang-terang mengatakan kepadaku bahwa dia butuh uang, entah kenapa, aku selalu memberikan uang yang dimintanya. Bagiku, sejumlah uang yang kuberikan kepada Din bukanlah apa-apa. Ya, aku diam-diam mengaguminya. Aku melihat dalam dirinya ada suatu karakter yang menarik bagiku. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari aku kerap merasa jengkel dengan perbuatannya yang seenaknya sendiri, tapi aku tidak bisa untuk mengusirnya atau menjauh darinya. Ya, dia adalah laki-laki yang penuh vitalitas, tegas, berjiwa pemimpin, berwibawa. Kadang-kadang aku ingin menjadi laki-laki seperti dirinya.

Suatu hari Din memperkenalkan aku dengan Ratna. Teman satu jurusan dengannya. Mereka berdua beda jurusan denganku. Pada wilayah inilah, aku kerap merasa jengkel dengan Din, karena dia sering membawa Ratna menginap di kamarnya. Aku sendiri merasa risih dengan kelakuannya ini. Di samping itu, tidak hanya aku dan Din saja yang tinggal di rumah itu. Ada dua orang pembantu yang kutarik dari pekerjaannya di rumah peninggalan Bapak. Sudah seringkali aku menasehatinya, bahkan juga menyuruhnya untuk menikah dengan Ratna, namun Din tak menghiraukannya. Untunglah, keadaan seperti ini tidak berlangsung lama karena kebetulan beberapa bulan kemudian, Din pindah ke Ibu Kota. Dia tidak meneruskan kuliahnya. Pada awalnya aku tidak enak dengan Din. Aku merasa bahwa kepergiannya disebabkan oleh sikapku.

“Tidak, San. Aku pergi karena memang aku mau pergi. Ada seorang kawan yang merekomendasikan aku sebagai salah seorang kader pada salah satu partai politik di sana. Dan kautahu sendiri, politik adalah jalanku,” katanya.

Ya, memang demikian. Dulu, ketika masih kuliah S1, Din memang terkenal sebagai aktifis mahasiswa yang sangat progresif. Pemikiran-pemikirannya kritis. Tegas dan revolusioner. Apalagi ditambah karakternya yang menawan. Maka maklumlah, banyak di antara para mahasiswa yang mengaguminya.

Hari itu, Din dan Ratna pun pergi.
***

Dari percakapan di antara kami, aku pun tahu bahwa kedatangan Din dan Ratna ke kota ini adalah untuk menghadiri seminar yang diadakan oleh sebuah organisasi perempuan. Mereka berdua termasuk pembicaranya. Sebenarnya, malam itu mereka disediakan penginapan oleh panitia. Tapi, karena aku kebetulan ada di rumah, juga dengan istriku, maka mereka berdua memutuskan untuk menginap di rumahku. Kemudian dengan telepon selulernya mereka memberitahu kepada panitia.

“Besok, ikutlah bersama kami datang ke seminar tersebut,” kata Din kepadaku dan istriku.
***

Seminar yang membicarakan tentang peranan wanita itu selesai beberapa waktu yang lalu. Banyak yang hadir dalam seminar tersebut. Ruangan seminar penuh sesak. Sebagian besar adalah kaum perempuan. Meskipun begitu, acara seminar tersebut berjalan dengan lancar. Para pembicaranya pun sangat menarik di dalam mengulas suatu permasalahan. Namun, sepanjang aku memperhatikan, di antara para pembicara, Din yang mendapatkan sambutan paling hangat dan meriah dari para peserta. Dia masih seperti yang dulu. Bahkan lebih dari yang dulu.

Sore itu, aku dan Hamidah sudah tiba di rumah. Duduk-duduk di beranda rumah sembari menikmati secangkir kopi. Juga suasana sore yang cukup cerah. Tak lupa pula bercakap-cakap tentang seminar tadi. Sementara Din dan Ratna tidak bersama kami. Di tempat seminar tadi, mereka pamit hendak mengunjungi beberapa kenalannya.

“Kapan mereka berdua kembali ke Ibu Kota?” kata Hamidah dengan tiba-tiba. Memecah diam.

“Memangnya ada apa, sayang?”
“Ehm,”. aku ingin mengundang mereka makan malam di sini. Sebelum
mereka kembali”“ katanya perlahan.

“Ide yang bagus, sayang,” aku menyambut gembira. Sebenarnya, aku merasa cukup aneh dengan sikap istriku ini. Aku membayangkan bahwa jika kami benar-benar makan malam, maka, obrolan yang terjadi akan dipenuhi dengan persoalan-persoalan mengenai dunia aktivis dan politik. Padahal selama ini, ketika aku mengajak istriku berdiskusi tentang persoalan-persoalan tersebut, dia tampak enggan. Kalaupun selama ini dia melayani, aku masih menganggap bahwa itu tak lain adalah rasa hormatnya kepadaku. Tapi, aku senang dengan kemajuan ini. Bukankah ini yang selama ini kuharapkan dari istriku” Dan sore itu juga, aku menelepon Din. Menyampaikan undangan makan malam.

Keesokan malamnya, kami makan bersama. Istriku sendiri yang menyiapkan segalanya. Mulai hidangan pembuka, menu utama, maupun hidangan penutup. Dalam kesempatan itu, Din dan Ratna memuji istriku yang tidak hanya cantik, tapi juga pandai memasak. Bahkan dengan terang-terangan Ratna minta diajari untuk memasak.

“Boleh,” kata istriku. Benar-benar saat itu aku merasa bangga
kepadanya.

Memang benar, obrolan yang terjadi selama di meja makan sebagian besar adalah persoalan-persoalan tentang dunia aktivis dan politik. Dan aku kembali merasa bangga sekaligus kaget dengan apa yang diperbuat istriku. Ia tidak hanya lebur dalam permbicaraan tersebut, tapi juga melontarkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang.

Setelah acara makan malam selesai, aku kemudian menyeret Din keluar menuju beranda, membiarkan istriku berbicara dengan Ratna. Aku ingin berbicara berdua dengan Din, terutama mengenai hubungannya dengan Ratna.

“Kapan kalian menikah”“
“Mungkin nanti setelah pemilu.”

“Aku pikir, sebaiknya cepat-cepat kaunikahi Ratna. Kasihan dia. Selama ini selalu setia menyertaimu ke manapun kau pergi. Kautahu, bagi seorang perempuan, kepastian, kejelasan status merupakan sesuatu yang amat penting.”
“Ya, aku tahu. Tapi, untuk sekarang ini aku belum siap.”

“Apalagi yang perlu kausiapkan?”
“Ya, banyak. Begitu banyak yang masih harus kuselesaikan. Dan untuk waktu dekat ini, pencalonanku dalam pemilu adalah konsentrasi utama,” katanya menekan suara. Ya, begitulah Din. Sementara di dalam rumah, terdengar istriku dan Ratna terlibat dalam percakapan yang terdengar cukup menarik.
***

Pagi hari, aku melihat istriku sudah berdandan rapi. Aku heran. Dia menggunakan busana muslim yang kubelikan beberapa tahun yang lalu. Dulu, ketika kusuruh untuk memakainya, dia tak pernah mau. Katanya busana muslim tersebut terlalu ketat Di samping itu, akan menjadi pusat perhatian jika dipakai pergi kondangan, atau pengajian.

“Iih, cantiknya. Mau ke mana, sayang”“
“Pergi,” katanya tanpa memalingkan dirinya dari kaca rias.
“Tinggallah di sini sebentar!” Dia tersenyum manja. Menggodaku.
“Apakah kau tidak mengajakku?”
“Tidak. Karena aku sudah ada janji dengan”.Mbak Ratna.”
“Memangnya mau pergi ke mana?”
“Tidak boleh tahu. Ini urusan perempuan.” Aku beranjak mendekatinya. Memeluknya dari belakang.
“Iiiiih, Mas Hasan. Nanti rusak semua, lho,” katanya sembari meronta
manja. Dua hari sudah, aku dibikin kaget oleh istriku.
***

Sepuluh hari kami tinggal di rumah itu, dan ini sudah melebihi rencana sebelumnya, tujuh hari. Pagi itu kami pulang ke rumah peninggalan Bapak. Sementara itu, Din dan Ratna juga kembali ke Ibu Kota.
***

“Apakah Mas masih berharap aku mau pindah ke rumah itu”“ kata Hamidah suatu malam ketika liburan akhir semester tinggal beberapa hari lagi.
“Kenapa? Kau ingin tinggal di sana?”
“Ya, itu kalau…”
“Tentu, sayang. Aku sangat mengharapkan hal itu. Bersamamu setiap hari.”
***

Tiga bulan sudah kami tinggal di rumah itu. Dan aku senang dengan perubahan yang terjadi pada diri istriku. Dia tidak seperti yang dulu ketika masih tinggal di rumah peninggalan Bapak, hanya berdiam diri di rumah saja. Tapi, dalam waktu tiga bulan itu, dia kerap pergi mengikuti kegiatan sebuah organisasi perempuan yang dulu pernah mengadakan seminar itu. Ketika berada di rumah, aku kerap pun melihat dia membaca di perpustakaan.

Dalam hubungannya dengan diriku, dia masih mengurus segala keperluanku sehari-hari, meskipun tidak setiap hari seperti yang dulu. Di samping itu, dia sudah menggunakan peralatan modern. Hampir tiap pagi juga ketika subuh telah tiba, dia masih sering membangunkanku, dengan keadaan sudah rapi dan dandanan sederhana. Juga dengan secangkir kopi dan segelas air putih, meskipun juga tak setiap hari seperti yang dulu.

Mengenai keadaan yang terakhir ini, entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan ada sedikit kehilangan dalam diriku. Namun, hal itu segera ditimpali oleh yang lain; bukan ini dari dulu kauharapkan dari dirinya.

Suatu hari, Din dan Ratna mengunjungi kami. Dari pembicaraan yang terjadi, aku tahu bahwa Din dicalonkan oleh partai politiknya untuk menjadi anggota dewan tingkat wilayah Propinsi ini. Bukan Ibu Kota. Dan aku, tak menolak ketika Din mengatakan bahwa dia dan Ratna untuk beberapa waktu ini tinggal di rumahku. Kuperhatikan istriku sangat bersemangat dengan kedatangan mereka ini.

Hampir tiap hari, kutemui istriku terlibat dalam percakapan di antara mereka bertiga. Kadang berdua-dua. Istriku dengan Din, juga dengan Ratna. Tidak hanya itu, mereka juga kerap bepergian selama satu hingga tiga hari mengikuti kegiatan organisasi perempuan. Ya, aku salut dengan istriku, ketika tahu bahwa dia terpilih sebagai wakil ketua. Padahal, paling lama dia aktif di sana tak lebih dari enam bulan dan kegiatan kampanye yang dilakukan oleh Din.

Suatu hari aku oleh Bulik Min diminta pulang ke rumah peninggalan Bapak. Paklik Jan, suaminya, opname di rumah sakit. Di sana aku tinggal dua hari. Ketika pulang, seperti biasa rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada dua orang pembantu. Seperti biasa pula, aku menduga bahwa Din, Ratna, dan istriku pun pergi. Namun malam itu, aku tidak tidur sendirian. Istriku ternyata pulang.

“Ke mana Ratna” Kok nggak bersama kalian?“ kataku kepada istriku.

Istriku kemudian menjawab bahwa kata Din, Ratna pagi tadi pergi ke Ibu Kota. Ada rapat Partai yang harus diikuti. Istriku juga mengatakan bahwa Ratna juga tidak pamit kepadanya. Dalam pikiran, aku merasa aneh. Apakah dia tidak menghadiri rapat? Kenapa Ratna tidak pamit kepada istriku?

Pagi itu aku menemui Din. Bertanya tentang keberadaan Ratna. Dan jawaban Din sama persis dengan apa yang dikatakan istriku.
***

Suatu siang Ratna meneleponku di kampus. Dia ingin bertemu. Katanya ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan. Dalam kepala aku jadi bertanya-tanya. Dan aku masih harus memberi kuliah terakhir.

Setelah jam kuliah berakhir, aku segera pergi menemui Ratna.
***

Ternyata benar. Sesuatu yang penting itu mengenai istriku dan Din. Ratna mengingatkan aku bahwa Din ingin memiliki istriku. Dia ingin merebutnya dariku. Sementara tentang kepergian Ratna, sebenarnya tidak ada ada rapat Partai. Dia pergi karena bertengkar dengan Din. Malam itu, Ratna mencoba mengingatkan Din bahwa Hamidah adalah istriku. Istri teman baiknya sendiri. Namun, Din malah marah-marah kepadanya.
***

Akhir-akhir ini, istriku dan Din semakin akrab. Kerap kulihat mereka berdua pergi bersama. Dan sepanjang yang aku tahu, mereka tidak pergi untuk bersenang-senang. Menghadiri kampanye atau acara lainnya. Di rumah, sering kudapati mereka mengobrol bersama. Dan ketika aku bergabung, entah kenapa kurasakan keterasingan dalam diriku.

Sehari-hari aku jarang berbicara dengan istriku. Setiap kali aku bertemu dirinya. Entah kenapa aku tak bisa menggerakkan lidahku merangkai kata untuk membuat percakapan setelah basa-basi kecil pertemuan. Telah terjadi kekakuan di antara kami. Dan inilah yang menyebabkan setiap kami bertemu, kami ingin segera menghindar. Di samping itu, istriku sama sekali sudah tidak menyiapkan kebutuhanku sehari-hari. Semua dikerjakan oleh pembantu. Dan di pagi hari, sudah tidak ada lagi segelas air putih dan secangkir kopi darinya untukku.

Suatu malam ketika hendak tidur, aku berkata kepadanya: “Aku rindu segelas air putih dan secangkir kopi di pagi hari.” Dan keesokannya, dia membuatnya untukku. Namun, keesokannya lagi, dia sudah tidak melakukannya lagi.
***

Setelah Ratna tidak bersama kami, aku merasa khawatir dengan Din. Ya, dia memang agresif. Dan apa diinginkannya, dia selalu berusaha sampai dapat. Bahkan dengan merampas pun dia tak peduli. Ini pula yang tidak diinginkan Ratna, yang menasehatiku untuk mengingatkan Din. Bahkan kalau perlu mengusirnya dari rumahku. Namun, entah kenapa ketika hendak mengingatkannya, aku selalu tidak bisa. Akhirnya, aku hanya bisa menumpuk-numpuk rasa cemburuku.
***

Sudah hampir lima tahun ini aku menikah dengan Hamidah. Namun, akhir-akhir ini aku merasa bahwa Hamidah bukan milikku. Dia tidak lagi seperti yang dulu. Dia sudah berubah. Dan menurutku, perubahan itu disebabkan oleh Din. Dulu, aku sangat menginginkan Hamidah menjadi perempuan yang aktif seperti sekarang ini. Tak bosan-bosannya aku berusaha agar Hamidah mempunyai kesadaran bahwa kehidupan seorang perempuan tidak hanya melulu berada di dalam rumah.

Kini semua telah berbeda. Memang, Hamidah telah menjadi perempuan yang aktif. Namun, kurasakan ada yang hilang di antara kami. Akhir-akhir ini, Hamidah sama sekali sudah tidak menyiapkan segala keperluanku sehari-hari. Semua ditelah dikerjakan oleh pembantu. Sementara di pagi hari, sudah tidak ada lagi segelas air putih dan secangkir kopi darinya untukku. Apakah ini? Yang menyebabkan dia seperti ini. Yang pasti bukanlah kesibukannya. Namun, cinta. Ya, hanya cinta yang mempunyai kekuatan yang membuat dirinya menjadi perempuan seperti sekarang ini. Dulu, begitu sulitnya aku ingin dia seperti sekarang ini. Namun, setelah bertemu Din. O, Tuhan, ternyata istriku memang mencintainya.
***

Besok; usia pernikahanku dengan Hamidah akan genap lima tahun. Sementara aku tak juga bisa menutup mata malam ini. Kemarin, aku terjaga dari tidur. Aku kemudian keluar rumah. Ingin duduk-duduk di luar menikmati suasana malam. Ketika hendak mencapai pintu, tiba-tiba aku mendengar sebuah ratap tangis mengalun pelan. Kucari ke asal suara. Ternyata istriku. Dia duduk menekuk lututnya di beranda samping sendirian. Aku merasa kasihan melihat dirinya seperti itu.

Perlahan-lahan kudekati dia. Kemudian kuusap kepalanya. Tiba-tiba dia memegang kedua kakiku erat sekali, seperti memohon kepadaku untuk melepaskannya. Membiarkannya terbang bebas.

Malam bertambah tinggi. Dan kini, aku ingin bebas.. Dan aku sadar bahwa untuk bebas, maka harus membebaskan. Ya, karena aku sangat mencintainya. Aku tak layak menginginkan dirinya seperti yang kuinginkan, jika dia sendiri menolak untuk itu. Biarlah Hamidah menjadi dirinya sendiri. Bahkan jika dia ingin lepas dariku. Maka, karena cintaku, aku rela melepaskannya.
***

Sebelum berangkat ke kampus pagi itu, aku mencari istriku. Ingin menyampaikan bahwa nanti malam aku ingin mengajaknya pergi makan malam. Merayakan ulang tahun pernikahan kami. Seorang pembantu mengatakan kepadaku bahwa istriku ada di ruang perpustakaan. Aku pun ke sana. Namun sebelum sampai pintu, aku mendengar istriku berkata keras sekali. Kedengarannya seperti terjadi sebuah pertengkaran. Buru-buru aku menuju pintu.

“Kau sangat memalukan. Pergi! Aku muak melihatmu! Dan asal kautahu, kupastikan tak ada yang bisa mengangkat kembali dirimu di mataku. Karena hanya bicaramu yang besar,” kata istriku.

Kulihat wajah Din memerah. Dia ingin mengucapkan sesuatu. Namun, dia mengurungkannya setelah melihat aku berdiri di belakang istriku menatapnya tajam.

“Pergi!!”
Din pun bergegas pergi.
***

Di kampus aku masih bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi antara Din dan istriku. Tiba-tiba HP-ku berdering. Ternyata, Ratna. setelah berbasa-basi sebentar, dia kemudian mengatakan bahwa kemarin sore dia pergi ke rumahku. Waktu itu di rumah hanya ada istriku dan pembantu.
***

Malam hari, aku di rumah. Duduk di hadapan meja makan yang penuh dengan hidangan. Juga kue tart dengan angka 5. Kami tidak jadi pergi. Istriku ingin merayakan ulang tahun pernikahan kami di rumah saja. Aku juga minta pembantu untuk meninggalkan rumah. Hanya untuk malam ini, karena istriku mengingkan hal itu.

Sementara menunggu istriku keluar dari kamar, aku teringat kembali pertanyaan-pertanyaan yang beredar di pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi? Tentunya yang telah terjadi di antara Din, Ratna, dan istriku. Namun kemudian, aku melupakannya. Barangkali memang lebih baik aku tak mengetahuinya. Ya, aku tak akan bertanya tentang hal itu.

Aku sudah mempunyai kado spesial untuknya. Dan itu tak lain adalah kebebasannya. Aku akan membiarkan dirinya terbang. Terbang seperti merpati. Karena aku tahu, dia pasti akan kembali kepadaku ketika dia yakin bahwa rumahnya ada di dadaku.

“Mas, ada apa?“ dia mengagetkanku. O, Tuhan. Betapa indahnya dia. (*).

Jogjakarta, 2004

BAWEAN SENANDUNG DI ATAS AWAN

Judul Buku : Buwun
Pengarang : Mardi Luhung
Jenis Buku : Kumpulan Puisi
Epilog : Beni Setia
Penerbit : PUstaka puJAngga, Februari 2010
Tebal Buku : 66 hlm. 12 x 19 cm
Peresensi : Imamuddin SA

Bahasa dan Sastra Indonesia; Objek dan Subjek Globalisasi

Anjrah Lelono Broto*
http://umum.kompasiana.com/

Sebuah Awalan

Proses globalisasi merupakan fenomena yang paling menyita perhatian dan menimbulkan efek yang besar dalam kurun waktu terakhir ini. Memasuki millenium ketiga, masyarakat di berbagai belahan dunia dihadapkan pada satu persoalan yang seragam yang memiliki keterkaitan besar dengan struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan. Proses perubahan yang mengerucut kepada globalisasi inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, pasca agrikultur (gelombang pertama) dan industrialialisasi (gelombang kedua). Perubahan ini mengakibatkan pergeseran fokus ekonomi dan kekuasaan yang pengaruhnya didominasi oleh tanah, kemudian bergeser kepada kapital, dan selanjutnya mengarah kepada penguasaan terhadap informasi dan komunikasi.

Kecemasan memandang performa proses globalisasi sebagai produk gelombang ketiga menciptakan ketakutan sehingga mempengaruhi pola pikir dan wacana publik secara holistik. Kecemasan dan ketakutan ini menjadi latar belakang langkah-langkah antisipatif yang dilakukan masyarakat dan decision maker, mereka cenderung bersifat defensif dengan membangun benteng-benteng pertahanan guna membendung arus proses globalisasi yang mengalir bagai air bah, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dank komunikasi.

Di masa pemerintahan Soeharto, negara ataupun kalangan intelektual lebih dulu menempatkan diri sebagai objek dan menjustifikasi globalisasi sebagai arus budaya asing yang menenggelamkan budaya dan tradisi Indonesia. Pemerintah menyibukkan diri dengan melancarkan seruan-seruan defensif seperti penempatan kebudayaan Indonesia sebagai filter masuknya kebudayaan asing, hingga upaya memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke luar negeri. Namun, sayang usaha yang terakhir tersebut lebih nampak sebagai promosi wisata daripada promosi keadiluhungan budaya. Hal ini berangkat dari pemahaman parsial terhadap budaya Indonesia, masyarakat maupun pemerintah terjebak dalam pemahaman kulit bukan pemahaman esensi budaya itu sendiri. Pemahaman seni tradisi berhenti pada tataran pertunjukkan (show), dan cenderung mengabaikan pesan dan simbol di balik idiomatikal yang melekat di dalamnya.

Taruhlah seni tari tradisional seperti Jaipong (Sunda), Kecak (Bali), atau Remo (Jawa Timur). Pemahamannya berhenti pada tataran pertunjukkan semata, sedangkan pesan moral, pendidikan, serta ke-khas-an etnikalnya cenderung diabaikan. Sehingga, ketika muncul trend seni pertunjukkan yang lebih menarik perhatian (termasuk yang berasal dari budaya luar), nafas kehidupan seni tari tradisional ini mengalami degradasi dari generasi ke generasi.

Lalu, apa yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia? Apakah yang terjadi dengan dirinya di tengah kederasan arus proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan masyarakat Indonesia sebagai pemilik?

Globalisasi; The Mithy

Mitos yang telanjur mewacana dalam masyarakat Indonesia selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan menyeragamkan dunia. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri kebangsaan, hingga kebudayaan lokal dan etnis. Proses globalisasi akan mengaburkan kesejarahan kolektif sehingga ikatan dalam sebuah bangsa akan mengalami perenggangan bahkan keterpecahan.

Benarkah?

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi serta informasi memang mampu menghilangkan sekat-sekat geografis maupun demografis. Jarak dan ruang budaya sebagai sekat pembatas telah hilang dan tidak bergaung. Kemajuan ini telah mengurangi hegemoni kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara pada ruang publik. Kepemilikan suatu ikatan kolektif seperti bangsa, etnik budaya, organisasi, hingga hubungan darah luntur diterjang kederasan gelombang globalisasi. Namun, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox justru memaparkan paradoks dari tema keseragaman globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Naisbitt juga memaparkan gagasan-gagasan yang paradoks sehubungan dengan permasalahan ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bertindak global.” Bahasa Inggris hanya menempati posisi sebagai bahasa kedua, sedangkan bahasa ibunya adalah bahasa masing-masing kewilayahan dan kebangsaan.

Jikalau kita mengamini pemikiran dan gagasan Naisbitt di atas, maka proses globalisasi tetap menempatkan perspektif lokal ataupun perspektif etnik (tribe) sebagai perspektif dalam menyikapi semua fenomena problematika masyarakat ataupun negara. Dalam ‘Megatrends 2000?, Naisbitt juga mengatakan bahwa masa-masa yang akan datang adalah zaman perikles bagi kesenian dan pariwisata. Masyarakat akan menemukan keindahan dan rekreasi bathiniah dengan menikmati aktifitas berkesenian dan berkebudayaan yang bersifat lokal; sebagai bagian dari proses memanusiakan kembali humanitas masing-masing individu. Peristiwa-peristiwa kesenian dan kebudayaan akan menyita perhatian publik dan mengundang simpati dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga dan politik yang sebelumnya ‘sempat’ lebih mendominasi.

“Berpikir lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, dengan sendirinya akan menempatkan bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang urgen di dalam proses globalisasi. Bahasa menjadi media untuk menyampaikan dan memahami sebuah gagasan hasil proses berpikir. Bahasa yang ‘dekat’ dengan masyarakat Indonesia, secara lokalitas, adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir yang kemudian dilanjutkan dengan proses kreatif (pengendapan), proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.

Bahasa dan Sastra Indonesia; Sebuah Perjalanan

Sejarah perjalanan bahasa Indonesia telah melewati masa-masa progresivitas yang cukup menarik. Bahasa Indonesia berangkat dari identitas bahasa Melayu-Riau dengan masyarakat pengguna yang relatif kecil. Namun, dewasa ini mampu berkembang menjadi bahasa Indonesia dengan masyarakat pengguna yang besar, tersebar Sabang hingga Merauke. Bahasa Indonesia telah menjelma menjadi bahasa nasional dan menjadi bahasa komunikasi formal dan nonformal lintas wilayah budaya. Bahasa Indonesia yang sebelumnya berakar pada tradisi budaya Melayu-Riau ini telah sukses melakukan ‘penggusuran’ sejumlah bahasa etnik-budaya lokal seperti Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bali, Bahasa Dayak, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia telah menempati posisi sebagai identitas dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam perkembangannya, bahasa Indonesia juga tidak bisa melepaskan diri dari gejala-gejala transformasi bahasa seperti alih kode maupun campur kode. Tercatat, beragam idiomatika dan susunan gramatikal bahasa-bahasa daerah hingga bahasa Arab, bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan lain-lain mewarnai dan memperkaya perbendaharaan Bahasa Indonesia. Perkembangan ini menampakkan perwajahan bahwa bahasa Indonesia mampu mengikuti perkembangan budaya, informasi, dan teknologi komunikasi sehingga senantiasa dibutuh-gunakan oleh masyarakat Indonesia.

Berpijak pada melemahnya hegemoni Barat dan perkembangan membanggakan Bahasa Indonesia maka Indonesia diramalkan akan mengambil alih posisi subjek-objek dalam proses globalisasi. Ke depan, perkembangan Bahasa Indonesia akan makin banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan dan peranan yang strategis dari masyarakat maupun kawasan strategis Indonesia. Diramalkan bahwa masyarakat di wilayah regional Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaisya, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh lagi bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Tenggara menjadi perkembangan tak terelakkan yang membanggakan. Peran besar masyarakat dan kawasan Asia Tenggara ini sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan atau bahasa Melayu) modern.

Bahasa dan sastra Indonesia telah lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnik budaya Nusantara. Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan konflik tema manusia baru (manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Diawali dengan kekuatan Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi, Nuruddin Ar-Raniri, Syamsudin Asy-Samatrani, Abdur Rauf Ibn Singkli, dan lain-lain, sastra Indonesia (Melayu) menancapkan akar perkembangannya di wilayah Asia Tenggara.

Mari kita cermati tema, konflik, maupun tokoh-tokoh dalam karya sastra Indonesia. Tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih. Ataupun tokoh-tokoh yang dihadirkan Pramoedya Ananta Toer dalam roman-romannya, yang sempat membawa pulang Ramon Magsaysay Award, tokoh-tokoh tersebut sedikit lebih gentle dalam membaca perubahan ke arah dunia baru. Belum lagi tokoh-tokoh dalam kontroversial dalam genre sastra biru yang juga kontroversial, Ayu Utami, Dee, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, dan lain-lain menghadirkan konstruksi tokoh perempuan yang lebih ‘menepuk dada’ dalam menyikapi perubahan dan masuk ke dalam tatanan dunia baru, dunia globalisme.

Sejatinya, sastra Indonesia (dan Melayu) modern adalah sastra yang mampu mengambil tempat di dalam jalan tol globalisasi. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak menemukan permasalahan dengan arus proses globalisasi. Masalahnya adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra Indonesia tersebut memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya? Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia? Sehingga Indonesia mampu melepaskan diri dari status objeknya dalam proses globalisasi, dan justru mampu mengambil posisi sebagai subjek.

Jika kita cermati gagasan-gagasan Alvin Toffler atau John Naisbitt di atas, maka bahasa dan sastra Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bahasa (dan sastra) yang mengglobal di dunia.

Mekanisme Politik Bahasa dan Sastra

Evolusi kebudayaan Indonesia yang dilatarbelakangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan pergeseran paradigma (mindset) tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Di masa-masa yang akan datang, Bahasa Indonesia berpotensi melebarkan status; bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin seringkali akan dihadapi. Perubahan dan penyesuaian berkaitan erat dengan pola komunikasi yang kian mengglobal dengan menggunakan teknologi yang lebih kekinian seperti email, tele-conference, friendster, facebook, dan sebagainya.

Mekanisme pembinaan dan pengembangan bahasa tidak layak lagi menjadi monopoli suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, dll. Tetapi akan sangat ditentukan oleh mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa akan kehilangan peran vital dengan vonis “bahasa Indonesia yang baik dan benar”, digantikan pola komunikasi nir kebakuan yang cenderung berpijak pada “saling pemahaman”. Indonesia sudah selayaknya meninggalkan Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif.

Politik kehidupan sastra hendaknya dikelola dengan manajemen kebangsaan yang mengacu pada globalisasi Sastra Indonesia harus lebih memasyarakat dan membumi, tidak semata bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam kuantitas dan kualitas yang besar. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren, maupun perguruan tinggi seyogyanya menjadi tempat indah untuk membaca dan memahami karya-karya sastra. Pengajaran sastra hendaknya berhenti sebagai materi hafalan melainkan penempatan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran, baik moral, etika, kebangsaan, humanisme, hingga religius. Fenomena penggusuran dan pengalihfungsian sanggar Teater Sansesus di SMAN 2 Jombang baru-baru ini merupakan sebuah langkah mundur dalam proses pendidikan dan pengajaran memasyarakatkan sastra Indonesia. Kehilangan investasi ini akan menjumpai tebusan yang mahal, yaitu fenomena lebih memasyarakatnya Shakespeare, Max Gogol, Anton Chekov, dll daripada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, Suyatna Anirun, dsb.

Di dalam proses globalisasi, Bahasa Indonesia hendaknya mampu mengambil posisi sebagai subjek perubahan, bukan objek perubahan. Bahasa dan sastra Indonesia berpotensi menjadi bahasa dan sastra yang “berbicara” di dunia.

Jika masyarakat Indonesia mampu hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia, bahasa dan sastranya seyogyanya mampu seiring-sejalan dengan arah perkembangan itu. Bahasa Indonesia harus siap menerima posisi dan peran yang lebih. Bahasa dan Sastra Indonesia harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme politik bahasa dan sastra yang “openhartig” (meminjam kosakata Idrus dalam cerpen ‘Open’), bukan bersifat defensif.

Memperkuat akar kemasyarakatan Bahasa dan Sastra Indonesia sekarang atau tidak sama sekali, karena (mungkin) telah terbunuh oleh air bah globalisasi.

*) Hanya seseorang mencintai membaca dan menulis, di tengah deras lunturnya budaya literasi. Penulis lepas dan mengabdikan diri di lembaga pendidikan, seni, dan budaya (Lembaga Baca-Tulis Indonesia).

Menyelamatkan Jawa, Sekarang Juga!

Sucipto Hadi Purnomo
http://suaramerdeka.com/

DI Jawalah segala beban tersangga demikian berat, hingga membuat pulau ini tampak sempoyongan. Jawalah pusat peradaban utama di Nusantara, namun di situ juga kebiadaban dalam wujudnya yang paling paripurna terpentaskan dan telah menyejarah. Perlukah dengan segera Jawa diselamatkan?

Dalam sebuah kunjungannya di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang Budi Widianarko mengemukakan komitmen lembaganya untuk lebih memerhatikan Jawa.

“Pulau Jawa berperan sangat penting bagi Indonesia tetapi memiliki masalah yang sangat serius, sehingga perlu ditelaah dari berbagai aspek,” katanya.

Karena itulah, di universitasnya lantas didirikan The Java Institute. Harapannya, institut itu menjadi pusat penelitian yang mengaji Pulau Jawa sebagai sebuah entitas keruangan, sumber daya, ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya.

Sebegitu mendesakkah untuk menyelamatkan Jawa? Sebegitu seriuskan “penyakit” yang diidap oleh pulau yang subur kang sarwa tinandur namun tata titi tentrem kerta raharja tak kunjung juga jadi nyata?

Sarat Pradoks Jawa

Jawa sungguh-sungguh sarat paradoks. Kecil tetapi kuasa. Subur namun selalu kekurangan. Tempatnya bak surga, namun setiap saat bencana siap datang melanda. Menyusahkan, toh tetap saja dicintai, didiami, bahkan dirindukan tatkala beberapa saat saja ditinggalkan pergi.

Jawa adalah pulau urutan ke kelima terbesar di Nusantara, setelah (sebagian besar) Kalimantan , Sumatera, (sebagian) Irian, dan Sulawesi . Meski luas Pulau Jawa hanya 6,95 persen luas areal Indonesia, di tanah inilah lebih dari 130 juta jiwa bermukim atau 60 persen penduduk Indonesia.

Ketika Soeharto menjadi presiden, transmigrasi dilakukan secara masif. Beribu-ribu orang dimigrasikan dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan , Papua, dan Sulawesi . Berbagai iming-iming dan jargon persuasif tak henti-henti didengungkan. Alhasil, jutaan orang hijrah dan menemukan penghidupan baru di pulau-pulau yang terhitung masih rendah tingkat kepadatannya.

Bersamaan dengan itu, program keluarga berencana (KB) juga digalakkan. Jargon “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja” kuat melekat di benak siapa pun kala itu.

Kedua program itu jelas sekali punya pertalian dengan penduduk Jawa yang telah disadari begitu padatnya. Dengan transmigrasi, kepadatan penduduk Jawa berkurang; dengan KB pertambahan penduduk (terutama Jawa) juga bisa ditekan.

Namun seiring dengan pergantian rezim, kedua program tersebut berkesan terbengkalai —paling tidak pamornya tampak meredup selama lebih dari satu dekade terakhir. Padahal, lepas dari perdebatan yang segera akan menyertai kedua hal tersebut, dari sisi kependudukan, itulah dua hal yang paling realistis dalam menyelamatkan Jawa.

Persoalan manusia yang menghuninya, juga yang telah meninggalkannya namun masih tetap kuat memiliki pertalian batin dengannya, memang segera mengemuka. Mengapa? Karena penanganan berbagai aspek sesungguhnya tidak lain dalam rangka untuk menyelamatkan manusia Jawa, termasuk yang sudah ngejawa dan yang tetap memegang kejawaannya.

Persoalan manusia, atau dalam pengertian sempit penduduk, senantiasa berimpit dengan masalah pangan, sandang, dan papan sebagai kebutuhan paling pokoknya. Pada Jawalah, lagi-lagi, hal-hal yang paradoksal itu kian tampak di situ.

Di Jawalah ketersediaan akan pangan mesti diberikan dalam porsi yang jauh lebih besar, meski wilayah ini pula yang sampai kini masih menjadi pemasok utama. Di Jawa juga pemenuhan akan tempat tinggal mesti dilakukan secara berlipat ganda, meski dengan begitu areal pemasok pangan (juga sandang) bakal kian menciut.

Itu belum lagi jika persoalannya dilebarkan pada masalah ekosistem. Di antara persoalan ekosistem, yang memiliki pertalian panjang secara historis dan juga kultural adalah hutan.

Menyelamatkan Hutan

Hutan adalah cermin peradaban. Hutan adalah tonggak kultural. Kisah tentang berdirinya sebuah negara, dalam semua cerita Jawa adalah narasi tentang babad alas. Ada Babad Wanamarta, Babad Tarik (Majapahit), Babad Glagahwangi (Demak), ada pula Babad Alas Mentaok (Mataram).

Pesona terhadap Jawa, bagi kolonial Belanda, di samping rempah-rempah —sesuatu yang selalu disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah— adalah hasil hutan. Berabad-abad sebelumnya, tak ada masalah dengan ekosistem di Jawa. Selain jumlah penduduknya relatif rendah dibandingkan dengan sekarang, kawasan hutan serta pegunungan tidak banyak yang beralih fungsi.

Namun kawasan hutan Jawa beralih fungsi semenjak kongsi dagang Belanda melakukan eksploitasi alam di Jawa dengan mendirikan perkebunan-perkebunan di daerah kawasan hutan. Malahan, disusul dengan pendirian perusahaan milik kolonial yang melakukan eksploitasi hutan alam di Jawa.

Lambat laun, kebijakan terhadap hutan di Jawa sebagai penyangga ekosistem pulau yang sangat rentan dengan perubahannya ini kian kikis. Makin pudarlah anggapan bahwa ekosistem di Jawa harus tetap dijaga agar tidak terjadi perubahan kondisi alam yang drastis. Hutan yang semestinya menjadi penjaga utama ekosistem telah diporakporandakan fungsinya akibat nafsu untuk mengeksploitasi. Menghidupi segelintir orang, namun mematikan dalam jumlah tak berbilang. Mengenyangkan “masa kini” namun siap membunuh “masa depan”.

Hutan memang pambukaning warana atas “penyakit akut” yang diidap Jawa yang paling kasat mata. Sebagai tirai pembuka, pastilah ia bisa memampangkan, betapa komplikasi penyakit lain itu telah menggerogoti setiap organ yang ada di tubuhnya, dan celakanya sakit itu lebih-lebih telah merambah pada jiwa.

Maka, kini Jawa benar-benar membutuhkan jiwa-jiwa yang sehat para penghuninya. Jawa sudah menunjukkan kemampuannya untuk selalu momor-momot, namun sepanjang sejarah peradaban (dan kebiadabannya?) terbukti tidak teteg terhadap segala bujuk rayu dan tipu muslihat.

Jadi, ketika masalah yang membelit Jawa telah demikian karut-marut, telah bersimpang selimpat, lagi-lagi, dari mana upaya untuk menyelamatkannya bisa dimulai? “Dari pendidikan!” kata Supriadi Rustad, guru besar fisika yang pernah mengkidmati Gunung Merapi sambil menambahkan, “Sekarang juga.”

—Sucipto Hadi Purnomo, dosen Budaya Jawa Universitas Negeri Semarang.

Memerdekakan Ruang Publik

Judul: Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace
Editor: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: I (Pertama), 2010
Tebal: 406 halaman
Peresensi: Humaidiy AS *)
http://oase.kompas.com/

Sejak dibukanya kran demokrasi pasca kajatuhan Orde Baru, gerakan protes, gelombang demonstrasi, protes para facebookers di cyberspace maupun berbagai penyuaraan rakyat atas realitas sosial dan politik di negeri ini menyeruak secara bebas di ruang-ruang publik. Lihat saja misalnya deretan kasus cicak-buaya KPK versus POLRI, skandal Bank Century, kasus dugaan malpraktek atas Prita Mulyasari kontra Omni Internasional maupun fenomena-fenomena lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa kita dapati di berbagai media cetak dan elektronik, hadir menjadi lanskap sehari-hari dalam kehidupan politik Indonesia pasca reformasi. Pada kenyataannya, suara publik (baca: rakyat) yang disuarakan itu, meskipun tidak selalu berhasil mempengaruhi jalannya pemerintahan, namun terbukti tidak jarang mampu mendesak para pemegang otoritas untuk merevisi kebijakan-kebijakan yang dipandang dalam “ruang publik” sebagai keputusan kontroversial.

Meskipun sangat lemah untuk menghadapi kekuatan-kekuatan birokrasi negara dan kepentingan-kepentingan industri media, kemunculan “publik” yang memberikan peran pengawasan terhadap pemerintah seperti yang terjadi dalam era reformasi ini menjadi begitu strategis. Di dalam era yang menjunjung tinggi demokratisasi ini, pemerintahan tidak lagi bisa “bermain” sendirian di atas panggung kekuasaan. Pemerintah mau tidak mau harus memperhitungkan publik dan aspirasinya justru demi legitimatas atas setiap kebijakan yang dikeluarkan. Intinya, jika sebuah negara benar-benar ingin hidup dalam alam demokrasi, pemerintahnya harus membangun kanal-kanal komunikasi dengan publik.

Partisipasi rakyat disuarakan melalui corong demokrasi kebebasan berbicara itulah yang disebut sebagai ruang publik (public shpere) dalam literatur filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Keterlibatan rakyat secara luas dan bebas dalam panggung komunikasi politik dan partisipasi demokratis dalam konteks tersebut yang coba dijelaskan buku berjudul Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace ini. Buku ini mencoba menawarkan jawaban berbagai dinamika persolan demokrasi dengan melacak persoalan partisipasi demokratis itu mulai dari zaman Yunani kuno, ketika demokrasi berlangsung dalam polis (negara kota), sampai pada masa cyberspace seperti saat ini. Secara sederhana, konsep “ruang publik” bertujuan mendorong partisipasi seluruh warga-negara untuk mengubah praktek-praktek sosial dan politik mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Sayangnya, seringkali opini umum yang dihasilkan lewat komunikasi dalam ruang publik justru dikebiri oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.

Selama kekuasaan Orde Baru, komunikasi politik di Indonesia hampir tidak pernah memperlihatkan wujudnya yang utuh. Di antara gejalanya yang dapat kita lihat adalah adanya kenyataan terbelenggunya kebebasan berpendapat, termasuk keleluasaan berekspresi politik, sehingga tidak memberikan jalan yang memadai bagi tumbuhnya partisipasi politik secara bebas dan konstruktif. Bahkan, kekuatan sosial politik pun tidak mampu menembus kebekuan komunikasi politik. Partai politik yang ada lebih dari sekadar rerpresentasi alat kekuasaan ketimbang sebagai alat demokrasi bagi upaya menyalurkan aspirasi yang tumbuh dari bawah. Demikian pula kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya, cenderung menjadi subordinasi dari proses kekuasaan yang tengah berlangsung.

Di Eropa abad ke-18, surat kabar memiliki peranan penting dalam membangun opini umum itu. Jika rezim komunis dan fasis yang menguasai suatu negara, mereka berkepentingan menunggangi media tersebut untuk melanggengkan kekuasaanya. Dengan menguasai opini dan ruang publik, pemilik pasar kapitalistik mengubahnya menjadi barang dagangan yang tunduk pada logika keuntungan semata. Ekspansi pasar kapitalis pada muaranya akan mencabik-cabik ruang publik itu dan menghapus ruang kritisnya dalam demokrasi dikarenakan komersialisasi opini publik (bab 7, hlm. 185). Habermas bahkan menyebut penguatan peran penguasa dalam mengawasi ruang publik itu sebagai “refeodalisasi” ruang publik, kenyataan yang benar-benar berlangsung dalam rezim-rezim otoriter seperti Nazi Jerman, Komunisme Uni Soviet dan Orde Baru.

Bagi masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan, pengertian ruang publik sebagai arena komunikasi sejatinya bukanlah barang asing, karena dalam sejarah kebangkitan nasioanl yang dirintis oleh Boedi Oetomo, kita dapat menemukan berbagai asosiasi warga yang telah berhasil membangun solidaritas nasional yang melampaui suku-suku bangsa dan agama-agama di Nusantara. Surat-surat kabar, pos, forum-forum — berperan menjadi media yang efektif membangun opini umum yang pada gilirannya ikut mendorong solidaritas sebaga suatu bangsa.

‘Soempah Pemoeda’ pada 28 Oktober 1928 adalah bukti nyata buah embrio ruang publik dalam sejarah masyarakat Indonesia. Bangsa adalah – seperti dikatakan Ben Anderson – merupakan imagined community, komunitas rekaan. Rekaan tersebut tidak akan berdaya untuk merekatkan suku-suku yang terpisah-pisah jika tidak berasal dari opini umum yang terbangun di antara anggota komunitas itu.

Dengan gaya penulisan yang tajam, kuat, dan mengalir, tema-tema penting seputar dinamika ruang publik dalam alam demokrasi tersebut digali, diolah, direfleksikan, dan dipaparkan dengan sangat baik oleh para penulisnya. Selain menggunakan pendekatan filsafat dalam sebagai pisau analisisnya, pendekatan sejarah, teologi, seni, arsitektur dan sosiologi turut digunakan untuk memperkaya perspektif pembaca. Dengan berbagai pendekatan itulah di berbagai bagian buku ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman bahwa ruang publik tidak hanya menjadi dominasi elit penguasa, pasar dan media massa-elektronik pun mengambil peran dominasi yang menggantikan peran“publik” itu sendiri (hlm. 269).

Dalam penyajianya, tulisan demi tulisan dalam buku ini meniscayakan bahwa demokrasi merupakan salah satu sistem yang dipilih karena mengakomodasi aspirasi politik yang menuntut keterlibatan sebanyak mungkin warga negara di satu sisi. Sementara di sisi lain, proses untuk bisa menyentuh partisipasi seluruh warga itu, akan bergantung pada fasilitas informasi dan komunikasi yang memungkinkan satu sama lain dapat berinteraksi. Buku ini tidak hanya membongkar secara komprehensif dan lengkap mengenai persoalan konseptual “ruang publik”, melainkan juga menyarankan jalan keluar yang diyakini dapat memberi “nyawa” kembali dalam memerdekakan ruang publik dari himpitan pasar dan tirani kekuasaan. Selamat membaca!

*) Peresensi adalah Pustakawan Pada MTs Ali Maksum PP. Krapyak Yogyakarta dan Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS).

Negarakretagama, Sebuah Festival

Agus Bing*
http://www.jawapos.co.id/

“APA arti sebuah nama.” Begitu kata pujangga Inggris William Shakespeare mengingatkan bahwa ”nama” sejatinya tak lebih hanya ”teks” yang disandangkan pada objek. Selain tidak memiliki korelasi dengan objek yang ditandakan, ”nama” tidak mewakili esensi objek tersebut. Karena itu, tidak terlalu penting, apakah suatu objek memiliki nama atau tidak. Yang jelas, tanpa nama, segala objek tetap bisa mewakili dirinya sendiri. Benarkah demikian? Apakah kata puitis tersebut betul-betul merepresentasikan keragu-raguan Shakespeare atas eksistensi sebuah ”teks”?

Menurut saya, sekalipun secara denotatif kalimat itu seperti menafikan pentingnya (signifikansi) suatu ”nama”, saya tidak yakin Williham Shakespeare sengaja menggugat ”nama”, yang (barangkali) diibaratkan sekadar gugusan kata yang tertempel pada objek. Justru sebaliknya, kata-kata legendaris yang diciptakan lebih dari 5 abad lalu itu (bisa jadi) adalah kritik Shakespeare atas ”teks” yang selalu dianggap tunggal, tidak punya hubungan dengan teks-teks lain.

Sebagaimana Derrida, yang memandang teks selalu intertekstualitas, Shakespeare melalui adegium ”apa arti sebuah nama” sangat mungkin juga mempertanyakan hakikat ”nama”. Bagi sebagian orang, mungkin itu dianggap tidak penting. Tetapi, oleh filsuf kenamaan itu, justru dianggap penting. Sebab, ia tidak sekadar ”teks” yang ditempelkan, lebih dari itu adalah signified kesejatian suatu objek. Karena itu, nama penting dijadikan alat mencitrakan keberadaan objek: benda, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain, tak terkecuali sebuah festival kesenian.

Teks Festival

Untuk memahami arti ”teks” sebuah festival seni, sebaiknya penting mencermati nama-nama festival yang ada. Misalnya, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), Festival Seni Surabaya (FSS), Festival Cak Durasim (FCD), Pekan Kesenian Bali (PKB), Art Summit Indonesia, Surabaya Full Music (SFM), Festival Gamelan Yogyakarta (FGY), Bukan Musik Biasa (BMB), Biennale Yogyakarta, Biennale Jawa Timur, dan lain-lain. Di antara sekian festival itu, masing-masing tentu punya spesifikasi, yang secara implisit bisa dicermati dari kosakatanya.

Festival-festival seni itu pada dasarnya mencitrakan spirit primordial karena teks yang dipakai langsung menuntun imaji pada hubungan paradigmatik. Yaitu, memicu kesadaran orang terhadap apa yang dibaca atau dilihat, kemudian dihubungkan dengan tanda serupa yang tidak kelihatan (S.T. Sunardi: Semotika Negativa). Artinya, ketika seseorang membaca judul festival tersebut, imajinasinya akan dihubungkan dengan persoalan identitas, entitas, lokalitas, maupun spirit kedaerahan lain.

Demikian juga teks Art Summit Indonesia. Sesuai makna summit yang berarti ”puncak”, festival itu langsung memberikan pemahaman bahwa seluruh karya yang ditampilkan adalah karya-karya ”puncak”. Dengan demikian, seniman yang belum dikatagorikan ”puncak” tentu tidak bisa tampil dalam forum bergengsi tersebut.

Kenyataan itu menggambarkan, betapa teks memiliki peran penting dalam suatu festival. Bahkan gara-gara teks, tidak jarang suatu festival kesenian menuai kritik karena dianggap tidak konsisten dalam implementasinya. Misalnya, Festival Seni Surabaya (FSS). Festival tersebut nyaris tidak pernah sepi dari gosip lantaran dianggap tidak pernah mewakili spirit Surabaya. Selain jarang melibatkan seniman lokal, festival itu tidak pernah menampilkan ludruk, ketoprak, wayang, kentrung, dan lain-lain. Padahal, secara tekstual, jelas-jelas festival itu mencantumkan kata ”Seni Surabaya” sebagai character building.

Hal yang sama dialami FKY 2007. Waktu itu, muncul gugatan cukup gencar dari segenap seniman dan budayawan setempat lantaran panitia dianggap sembrono mengusung ideologi seni yang keluar dari konteks. Yakni, kesenian urban yang notabene bertolak belakang dengan karakter Jogja yang kental dengan seni tradisi.

Art Summit Indonesia juga pernah dikritik lantaran tidak selektif memilih karya sehingga dianggap tak mencerminkan spirit summit. PKB Bali juga acap ricuh karena panitia dianggap tidak mencitrakan Bali, kecuali lebih menonjolkan seni hiburan. Dan, yang tidak kalah heboh adalah protes perupa-perupa Jogja terhadap Biennale Jogja 2008 yang dianggap melenceng dari konsep. Biennale yang seharusnya jadi ajang pamer karya kontemporer dan tidak untuk dijual dinilai lemah dalam kurasi dan telah dijadikan ajang transaksi jual beli. Semua itu tak lepas dari persoalan ”teks” yang melatarbelakangi suatu peristiwa.

Negarakretagama sebagai Teks

Bertolak dari kenyataan itulah, tak ada salahnya bila kemudian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur memilih teks ”nama” Negarakretagama sebagai tajuk festival berlatar sejarah: Festival Negarakretagama 2010. Festival yang berlangsung di Surabaya, 18-27 Juni, itu menampilkan aneka jenis kesenian tradisi maupun kontemporer.

Dalam festival kali pertama tersebut, penonton bakal mendapat suguhan musik jazz kontemporer Ligro (Jakarta), One Man Union (Singapura), Koko Harsoe Trio (Bali), Geliga (Riau), The Lagaligo Cyndicate (Makassar), Karinding Colabrative Project (Bandung), Prabumi (Jogjakarta), Surabaya All Star, Gondo and Fried, Berty Re-Union, Bagus Solfegio Etnic, dan Suwandi dari Surabaya.

Untuk tari, akan tampil Ery Mefri (Padang), Sukarji Sriman (Jakarta), Sobari Sofyan (Banyuwangi), Agustinus (Surabaya), serta koreografer Afrika, Malaysia, dan Kamboja. Sedangkan teater, tampil Pabrik Teater Indonesia (Bandung), Lentera (Palu), Lanjong (Kaltim), dan DAS 51 (Banyuwangi).

Selain untuk menjawab keragu-raguan publik -karena ada yang menganggap teks Negarakretagama tak lazim jadi nama festival lantaran tidak berkaitan dengan kesenian, produk hukum, dan bersifat politis-, kegiatan itu tidak sekadar ajang show of force: memamerkan ekspresi kreatif seniman. Tetapi, juga ruang pembelajaran sejarah masa lalu, yang pada perkembangannya makin dilupakan akibat selera hidup masyarakat berubah. Masyarakat yang semula hidup dalam medan sosial yang guyub akhirnya menjadi individual dan materialistis. Akibatnya, ketika menghargai suatu peninggalan bersejarah, mereka lebih mengutamakan esensi kebendaan yang tangible -hanya dilihat dari aspek kekunoannya, eksotismenya, keunikannya- daripada nilai-nilai filosofi yang intangible, yang sejatinya sarat dengan pembelajaran moral serta nilai-nilai budi pekerti.

Ironisnya, cara pandang masyarakat yang demikian tak hanya ditujukan terhadap warisan budaya yang berbentuk candi, arca, atau benda kuno lain. Namun, juga terhadap peninggalan sejarah yang berwujud ajaran filosofis para empu. Misalnya, ajaran Empu Tantular, Empu Prapanca, Patih Gajah Mada, atau Prabu Joyoboyo, yang notabene telah diakumulasikan dalam catatan filologis.

Oleh masyarakat, khususnya para generasi muda, peninggalan para empu itu tak hanya dianggap cerita usang. Namun, juga dianggap tak memiliki korelasi dengan kehidupan masa kini. Sehingga, dongeng tentang kejayaan Indonesia tempo dulu, berikut kisah-kisah heroiknya yang transenden, bagaikan musnah tergerus budaya populer yang naif sekaligus utopis. Itulah salah satu alasan teks Negarakretagama dipilih menjadi judul festival kesenian. Semua tak lepas dari upaya memunculkan kembali ikon sejarah masa lalu agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak saja hanya memahami warisan budaya dari segi kebendaan. Tetapi, juga penting mempelajari makna filosofi yang termuat di baliknya.

Selain itu, dijadikannya teks Negarakretagama sebagai judul festival tidak lepas dari upaya panitia yang ingin menegaskan kembali posisi Jawa Timur dalam konstelasi sejarah peradaban Indonesia kontemporer. Sebab, bila menilik catatan sejarah masa lalu, Jawa Timur pada dasarnya tidak hanya menjadi pusat tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar dan berpengaruh. Lebih dari itu, Jawa Timur merupakan tempat lahirnya ajaran para empu, yang tak hanya mengajarkan nilai-nilai kebajikan, tapi juga konsep-konsep kebangsaan.

Buktinya, sebagian besar simbol-simbol idiologis Indonesia diadopsi dari ajaran para empu. Misalnya, falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Secara substantif, slogan yang ditulis dalam Kitab Sutasoma oleh Empu Tantular itu mengajarkan pentingnya arti menjaga keragaman budaya serta kerukunan umat beragama. Oleh para pendiri bangsa, spirit itu kemudian diadopsi, dijadikan simbol persatuan dan kesatuan dengan semboyan: berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Demikian juga Gajah Mada. Sekalipun bukanlah termasuk jajaran empu seperti halnya Tantular, Prapanca, atau Joyoboyo, dia adalah sosok berpengaruh yang memiliki peran penting dalam pembentukan sistem kekuasaan di Indonesia. Sebab, dia adalah ikon masa lalu yang memiliki tekad mempersatukan Nusantara yang kemudian diimplementasikan dalam ikrar Sumpah Palapa. Suatu ikrar kesetiaan yang -setelah beberapa abad kemudian- juga diduplikasi menjadi konsep teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga melahirkan konsep Wawasan Nusantara.

Hal yang sama dilakukan Empu Prapanca. Melalui kitab yang ditulisnya, yakni Negarakretagama, Empu Prapanca berusaha menceritakan kepemimpinan Hayam Wuruk beserta kebijakannya atas Kerajaan Majapahit. Namun, sekalipun buku itu penuh catatan reportatif terkait dengan regulasi negara, secara komprehensif serat babat tersebut menggambarkan sistem hegemoni yang lebih mementingkan rakyat. Sebab, tak hanya membicarakan kekuasaan seorang raja, tapi juga membahas kesejarahan, ketatanegaraan, perundang-undangan, tata sosial, seni budaya hingga aturan mengenai peran wanita, perceraian, maupun harta warisan, yang sejatinya juga penting dimengerti kaum generasi muda.

Karena itu, dengan dijadikannya teks masa lalu sebagai grand design festival, masyarakat diharapkan tidak melupakan slogan Bhinneka Tunggal Ika yang dulu acap dikumandangkan bersama dengan kibaran sang dwi warna. Juga, semangat Sumpah Palapa yang dulu mengilhami kaum muda pada 28 November 1928. Atau, nilai-nilai keteladanan para pemimpin seperti didongengkan Empu Prapanca dalam kitab Negarakretagama. Semuanya dimaksudkan agar kukuh, tak gampang hanyut oleh khotbah ideologis para pemimpin yang korup, para elite politik yang gila kekuasaan, atau para pendusta yang berkedok agama. (*)

*) Pemerhati seni budaya.

Sabtu, 05 Juni 2010

Memetik hikmah dari puisi-puisi transendental, karya Moh. Gufron Chalid

Imron Tohari
http://www.sastra-indonesia.com/

“Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” ( Teeuw ).

Seperti yang dikatakan Teeuw di atas, seperti itulah yang saya temukan pada sajak-sajak Moh. Gufron Chalid yang terkumpul pada 17 sajak pilihan, yang di inbokkan ke saya untuk saya pelajari.

Setelah menelusuri setiap detak nafas sajak-sajak tadi, di sana saya dapat merasakan bagaimana penyair dalam menjalani proses pencarian jalan kebenaran melalui medium sastera.

Sebagai salah satu alat atau media untuk meletupkan rasa dan pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat mempengaruhi pola piker dan atau pola piker baru yang berdampak positip pada pribadi penyair serta penghayat selanjutnya, puisi,sajak, merupakan perwujudan yang tepat dari sekumpulan kata atau kalimat yang merupakan bagian dari yang namanya bahasa (baca: bahasa hati,bahasa piker,bahasa rasa, dll).

Bahwa Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Bahkan Jhon F Kennedy mantan presiden Amerika yang fonumenal mengkaitkan puisi dengan kehidupan bernegara: “ bila politik bengkok, maka Puisi yang akan meluruskannya”. Dari statemen tersebut, betapa penting dan berpengaruhnya puisi yang baik, tidak hanya dikaitkan dari sudut agama atau keyakinan saja, tapi juga terkait kuat (bila mau menyelaminya) bagi tatanan Bangsa,Negara, dan perbaikan pola piker positip bagi masyarakat dan atau indifidu penghayat.

Latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll, sangat berpengaruh sekali akan hasil perwujudan puisi, baik dalam kapasitas tekstual puisi maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi,sajak bersangkutan.

Dan factor-faktor seperti itu juga yang mempengaruhi karya-karya Moh. Ghufron Cholid yang terkumpul pada 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN.” Dimana nuansa transendental (kemenonjolan hal-hal yang bersifat spiritual/kerohanian) sangat menonjol pada setiap karyanya. Tidak perlu heran, karena lingkungan agamis yang kuat dari keluarganya serta atmosfir kehidupan pesantren, secara tidak langsung telah membentuk pola pikernya dalam berkarya cipta.

Seperti yang tertuang pada enam buah puisi Moh.Ghufron Cholid “ Menuju Pelabuhan, Sholat, Pertemuan, Selepas Subuh, Perempuan malam,dan Pengakuan “ yang saya anggap paling kuat dari segi alur, bunyi, pemaknaan, sehingga sangat-sangat menyita perhatian saya selaku penghayat, bila dibandingkan dengan puisi lainnya yang tergabung dalam 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN”, yang menurut saya terkesan hanya mengalir biasa saja.

Tajuk puisi ““Menuju Pelabuhan” yang sekaligus dijadikan sebagai puisi pembuka pada 17 kumpulan puisi pilihan Moh.Ghufron Cholid, begitu kental dengan nuansa transendental, betapa aku lirik beserta segala ketidak berdayaannya dalam menghadapi tipu daya pesona dunia nan fana, dengan tiga hal sifat yang senantiasa melekat pada insan Tuhan ( suka berkeluh kesah, tak pernah merasa puas, dan penyakit iri ), di sini aku lirik berusaha melawannya dengan cara mendekatkan diri pada sang pencipta, serta menyadari dengan sepenuh rendah hati, betapa tiada yang patut dia sombongkan di hadapan Illaihi Rabbi, serta berharap mendapat Ijabah dengan cara sujud yang sebenar-benar sujud atas segala kebesaran-Nya.

Dan nuansa seperti itu akan pembaca dapatkan pada Sajak “Menuju Pelabuhan” yang menjadi tajuk dan pembuka pada 17 kumpulan sajak terpilih Moh. Ghufron Cholid, saya petikan bait awal sajak tersebut, di bawah ini :

“Menuju pelabuhan kasihMu
Aku terkepung
Antara riak rindu dan ombak nafsu
Terkadang badai dan topan menerjangku
Aku serupa kapas
Berdansa di samudera lepas
Hilang arah tanpa batas”

Begitu kuatnya unsur transendental yang tersirat pada bait awal sajak tersebut. Dan saya yakin ini semua juga tidak terlepas dari pengaruh budaya hidup Moh.Ghufron Cholid yang sedikit tidak banyak dipengaruhi oleh atmosfir pesantren.

Puisi “Menuju Pelabuhan” ini, langsung mengingatkan saya dari sisi kekerabatan makna pada karya “CERITA BUAT IMANA TAHIRA” buah tangan penyair surealis spiritual Acep Zamzam Noor, yang sajak-sajak liris spiritualnya kebanyakan sering mengajak alam bawah sadar pemghayat untuk masuk ke dunia sufistik dalam mengungkap makna-makna yang bersifat transendental, melalui symbol-symbol alam, benda, cuaca, dll sebagai wujud pencitraan.

Seperti halnya “Menuju Pelabuhan”, Penyair Sepiritual Acep Zamzam Noor yang merupakan asset khasanah sastera tanah air ini, dalam “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, tersirat adanya suatu kekerabatan makna, yakni sama-sama tunduk dan tawaduk atas kebesaran Illaihi, betapa kita insan hanya serupa debu dihadapan Tuhan. Kurang lebih itu inti makna yang sama-sama ingin disampaikan. Mari kita baca dua bait yang saya kutip dari sajak Acep Zamzam Noor “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, di bawah ini :

“Memandang langit
Aku ingat wajah kekuasaan
Merah padam
Sedang menginjak bumi
Seperti kudengar suaraku yang sunyi

Di jalan setapak
Yang disediakan bumi tulus ini
Kata-kataku tumbuh dari udara
Kata-kataku membangun menara tinggi
Namun akhirnya runtuh juga” ( di petik dari sajak Acep Zamzam Noor )

Kekerabatan makna “Menuju Pelabuhan” ini juga bisa kita jumpai pada sajak “Doa” buah karya dari penyair D. Zawawi Imron, di mana pada karya “Doa”, penyair melalui aku lirik, betapa takjub akan kebesaran dan kekuasan Tuhan, dan betapa insan setiap mengingat kebesaranNya, terlihat kerdil tiada daya dibandingkan dengan segala kebesaran-Nya.

“bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
membangkitkan gelombang lautan rindu
menggebu menyala
dan lagu-Mu yang gemuruh
menyangkarku dalam garden-Mu” ( Dipetik dari sajak “Doa” D. Zawawi Imron ).

Suasana transendental juga akan kita jumpai pada karya “SHALAT” yang ada pada 17 sajak pilihan Moh. Gufron Chalid. Sajak pendek yang hanya satu bait dan terpeta terdiri 3 baris, saya rasa cukup berhasil membawa penghayat untuk masuk ke dalam dunia renung akan pentingnya menjalankan syariat Tuhan dengan sebaik-baiknya iman.
Secara makna, sajak ini mengingatkan saya pada tembang “Tamba Ati” karya Sunan Bonang yang sering saya nyanyikan saat saya masih kecil dan mengaji di mushola di desa saya Malang.

Sekali lagi saya katakana, secara makna, sajak Sholat ini sangat dalam, hanya secara puitika bahasa, karya ini terasa mengalir begitu saja, dalam arti, cengkeraman kuat yang bisa menghisap imaji penghayat kurang terbentuk, hal ini bisa jadi di karenakan puitisasi bahasanya yang terkesan standart ( umum).

Saya tidak membandingkan karya “Sholat” dengan” Tamba Ati” karya Sunan Bonang, namun saya hanya ingin menggambarkan betapa dengan pilihan diksi yang kuat dan susunan yang tepat, walau pendek, tembang “Tamba Ati” tetap mengemakan bunyi yang begitu mengesankan.

Saya petikan sajak “ Shalat “ dan “ Tamba Ati “, yang secara kekerabatan inti makna tidak jauh berbeda; yakni mengajak insan untuk menjalankan Syariat Tuhan dengan setulus-tulusnya ikhlas.

“Tuhan
Kau dan aku
Tak ada tabir rahasia”

Betapa di sini penyair dalam sajak “Sholat” ingin menyampaikan, bilamana kita menjalankan segala perintah-Nya ( Shalat ), ibarat pengantin dan atau bila dalam suatu rumah tangga, suami istri, tiada lagi penyekat untuk senantiasa berdekatan ( dalam koridor tanda kutip ). Sebuah pesan tersirat yang mengingatkan setiap insane ( penghayat ) untuk senantiasa tawaduk dan iklas dalam mendapatkan ijabah dari Tuhan, seperti yang ada pada larik lengkap tembang “ tamba Ati” karya Sunan Bonang dalam syiar islaminya.

“Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi

Kurang lebih maknanya seperti ini :

Obat hati itu ada lima macamnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan mengamalkan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga menjalin silahturahmi dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat menjalankan ibadah berpuasa, agar bisa memetik hikmah dari penderitaan kaum miskin.
Kelima sering-sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan. “

Jadi secara implisit seperti itulah pesan yang terkandung pada puisi pendek yang hanya 3 baris di luar judul, mempunyai kandungan makna seperti pemaknaan yang ada pada tembang “tamba Ati”, khususnya dalam pencapaian tingkat ijabah Tuhan “Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan”.

Terlepas dari kurang kuatnya daya hisap imaji karya, sajak “Sholat” ini patut untuk dibaca sebagai bahan renung agar kita senantiasa ingat dan bisa lebih dekat dengan Tuhan. Amin.

Dan pembaca akan semakin diajak bertilawah hati dalam menangkap pesan-pesan transendental yang ada pada 17 sajak pilihan karya Moh.Ghufron Cholid, yang dengan bahasa lugas dan membumi. Walau dalam kesederhanaan puitisasi bahasa, dan minimnya penggunaan majas metaphora, tapi ketotalan penyair dalam menjiwai setiap gores baris sajaknya, menjadikan sajak-sajak tersebut serasa punya roh untuk bercerita, serta memudahkan setiap pembaca dalam menerjemahkan pesan tekstual sajak dengan mudah. Seperti pada sajak “ SELEPAS SUBUH” yang merupakan bentuk penghormatan dan kekaguman penyair pada gurunya yang telah berpulang ke Rahmattullah, saya kutip penuh , seperti di bawah ini:

SELEPAS SUBUH
Teruntuk guru tercinta Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari

Guru
Selepas subuh
Rumput-rumput bertahlilan
Beburung membaca yasin
Di sekitar nisanmu
Lalu
Kusaksikan pohon-pohon doa semakin lebat daunnya
Lantas
Meneduhi nisanmu
Kemudian
Aku mengerti
Suatu hari nanti
Wajahku berganti nisan
Namun
Aku belum tahu
Apakah nisanku akan seteduh nisanmu
Namun
Aku belum tahu
Jika wajahku telah berganti nisan
Apakah rumput-rumput akan bertahlilan
Dan beburung akan membaca yasin
Semisal yang kusaksikan selepas subuh ini (Al-Amien, 2009)

( andai saja mau sedikit menyentuh tipograpi puitikanya/pemetaan baitnya, saya yakin sajak ini akan kian bernas dan semakin enak dibaca)

Akhir kata, terlepas dari segala plus minus karya sajak ini,tidaklah berlebihan bila saya katakan 17 karya pilihan Moh.Gufron Cholid ini layak untuk dibaca, sebagai salah satu jalan mencari kebenaran melalui pemikiran-pemikirannya yang dia tuangkan dalam sajak bernuansa spiritual.

Memang pembaca tidak akan menemukan permainan-permainan symbol bahasa/majas sekuat dan sekental karya-karya Acep Zamzam Noor dan D. Zawawi Imron pada kumpulan sajak-sajak “ Menuju Pelabuhan “ ini, namun begitu, dalam kelugasan puitisasi bahasa sajaknya, pembaca akan diajak bertilawah pada keteduhan iman yang dalam.

Biodata Penyair :

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 M dari pasangan KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh. Ia adalah salah seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), selain itu adalah seorang tenaga edukatif di MTs TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465 dan ditengah kesibukannya menjadi ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Pondok Pesantren Al-Amien, ia menjadikan menulis puisi sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang.

Karya-karyanya bisa dibaca di Antologi.Net, Puitika.Net, penulisindonesia.com, www.kopisastra.co.cc dan diberbagai situs online lainnya.

Mengasah Alief (2007),Antologi puisinya yang mendapat kata sambutan positip dari D. Zawawi Imron, KH. Moh. Idris Jauhari, dan Penyair Jerman. Selain itu Antologi Puisi Yaasin (2007), Antologi Puisi Toples (2009), merupakan karya-karyanya yang telah berhasil dia bukukan.

Salam lifespirit! 20 Maret 2010

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar