Rakhmat Giryadi
http://www.surabayapost.co.id/
Jika ke huma membawa pepah
Pepah bertiti berpagar duri.
Alamnya indah rakyatnya ramah
Inilah Negeri Laskar Pelangi
PANTUN di atas diucapkan Gubernur Bangka Belitung H Eko Maulana Ali pada awal sambutan. Sontak ruang Mahligai Serumpun Sebalai riuh rendah oleh tepuk tangan hadirin, para sastrawan seluruh Indonesia.
Sang gubernur pun melanjutkan pantunnya, ”Andai tumbuh bunga di laman, Semat pinang mari menari. Wahai tuan para sastrawan, Selamat datang di negeri kami.” Pantun ini juga disambut tepuk tangan.
Ruang Mahligai Serumpun Sebalai merupakan bagian dari Gedung Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Air Itam. Letaknya di Jl Pulau Mendanau, sekitar 1 km dari Kota Pangkalpinang. Di tempat itulah, ’’Temu Sastrawan Indonesia II 2009’’ dibuka Kamis (30/7 malam dan berakhir Minggu (2/8) besok.
”Di tangan para sastrawan perkembangan peradaban bangsa dapat ditentukan. Sastrawan punya tanggungjawab besar untuk membantu proses pembangunan bangsa,” tutur Gubernur Eko Maulana Ali dalam kesempatan ramah tamah.
Malam itu, Gubernur Eko Maulana Ali menyambut para sastrawan dengan kekhasannya sebagai orang Melayu. Gubernur menyatakan, kehadiran sastrawan di Babel akan menjadi agent of change yang berperan membangun Bumi Serumpun Sebalai, Negeri Laskar Pelangi.
Selain musik gambus berirama Melayu, duet pantun Saad Toyid dan Karyo Kurawa menghibur para sastrawan. Keduanya dikenal duet pemantun yang sudah cukup dikenal di ranah Melayu. Kedua pemantun ini sempat meraih prestasi pemantun terbaik se-Asia Tenggara. Kehebatannya dalam berpantun ditunjukkan saat berbalas pantun dengan cerpenis Hamsad Rangkuti. Hamsad pun ’’knock out’’ di tengah jalan, karena kehabisan kata-kata untuk merangkai pantun.
Tidak kalah menariknya pembacaan puisi bahasa daerah Bangka oleh Wahar Saxsono. Meski sulit dicerna, pembacaan Wahar mendapat sambutan dari para sastrawan, karena penampilannya yang ekspresif.
Inilah yang kemudian dikatakan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Babel, Yan Megawandi, bahwa sastra lokal mempunyai andil besar dalam perkembangan sastra kontemporer Indonesia. Eksistensi sastra lokal, kata Yan Megawandi, harus dipertahankan sebagai bagian dari khazanah dan peta sastra Indonesia kini.
Usai perang pantun dan sambutan dari Yan Megawandi, para sastrawan disuguhi makanan khas Bangka. Kemplang (kerupuk), pantiaw, model, empek-empek, panekuk, otak-otak, dan tekwan yang disajikan secara prasmanan, ludes dilahap undangan.
Sebenarnya, nuansa Melayu sudah ditawarkan sejak menyambut sastrawan datang di Bandara Pangkalpinang, Depati Amir. Dengan pakaian adat khas Bangka Belitung, penjemput membentangkan karton bertuliskan ”Temu Sastrawan Indonesia 2.” Di lobi penjemputan bandara yang dikelola PT Angkasa Pura II dan baru dibuka tahun 2007 lalu itu, dipasang bener bertuliskan Visit Bangka Belitung Archiphelago 2010.
Meski hanya memiliki satu trak, bandara Depati Amir tergolong sibuk. Dalam sehari, terdapat sepuluh kedatangan pesawat dari Jakarta. Sriwijaya air saja misalnya, Jakarta-Pangkalpinang pulang pergi mempunyai jadwal 4 kali penerbangan. Sementara maskapai yang lain, rata-rata mempunyai jadwal penerbangan 2 kali dalam sehari.
Sementara itu di hari tertentu dua maskapai lain datang dan pergi dari Palembang-Pangkalpinang. Inilah yang unik, mereka yang datang dari Riau, Lampung, Padang, yang datang dengan pesawat terbang, terpaksa harus lewat Jakarta baru terbang kembali ke Babel. ”Kalau lewat laut, bisa sampai 8 jam perjalanan,” cerita Tarmizi sastrawan Batam, Kepulauan Riau.
Temu Sastrawan Indonesia II diawali hari Jumat (31/7), membahas tiga tema besar. Antara lain ”Merumuskan Kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas”, ”Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial”, dan ”Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subjek Pascakolonial”.
Dalam diskusi hari pertama kemarin, memang tidak terusmuskan kembali sastra Indonesia baik dalam definisi, sejarah, maupun identitasnya. Dalam kesempatan itu muncul pertanyaan sekaligus gugatan terhadap kanonisasi sastra yang dihembuskan oleh kelompok tertentu.
Kanonisasi sastra merupakan bentuk ’koloni’ baru bagi sastra Indonesia. Menurut Saut Situmorang, kanonisasi sastra Indonesia memiliki agenda politik terselubung, yaitu eklusivitas sastra. ”Politik ini menaifkan karya yang berada di luar kanon,” kata Saut.
Agus R Sarjono juga ragu-ragu merumuskan sastra Indonesia pascakolonial seperti apa. Persoalannya pembacaan sastra pascakolonial begitu rumit. Para ahli pun, menurut Agus, banyak berbeda pendapat mengenai istilah pasca, kolonial, dan pascakolonial.
Agus malah menggambarkan sastra Indonesia didominasi gambaran rumah yang hilang, retak, hancur, atau tak tergapai. Artinya, kata Agus, selepas kolonialisme para sastrawan Indonesia sebagaian besar tak berumah.
Kajian atas lahirnya bangsa sebagaimana direpresentasikan dalam novel Keluarga Gerilya (Paramudya Ananta Toer) dan Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), menurut Agus, berakhir pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri tanpa rumah.
Keragu-raguan Agus berakhir pada harapan, ”Selepas pertemuan ini, ada baiknya para akademisi mulai bersungguh-sungguh mengkaji masalah ini agar kita mendapat gambaran memadai atas status pascakolonial sastra kita.”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 21 Mei 2010
MENEGUK SEJARAH DAN FALSAFAH
Judul Buku : Bung Sultan
Pengarang : RPA Suryanto Sastroatmodjo
Jenis Buku : Bunga Rampai Esai
Penerbit : Adi Wacana, Juni 2008
Tebal Buku : xxxiv + 230 hlm; 15 x 21 cm
Peresensi : Imamuddin SA.
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Wartawan, penulis, sastrawan, budayawan dan siapa saja yang mengabdikan diri dalam bidang tulis-menulis, semuanya pastilah memunguti batu-batu peristiwa yang berserakan di tepian hidupnya untuk dijadikan konsep dasar karyanya dan sebagai suatu kesaksian kecil dalam sejarah kehidupan umat manusia. Meskipun bersikap kecil, jika batu-batu itu dikumpulkan secara terus-menerus, seseorang akan mampu membuat rumah sejarah, bukit sejarah, bahkan gunung sejarah.
Bung Sultan merupakan sebuah karya yang patut kita selami dan kita teguk setetes demi setetes bening air kesaksian serta pemikiran pengarangnya. Karya ini digurat dari serpihan peristiwa yang tertangkap oleh indrawi pengarangnya. Pengarangnya tidak lain adalah seorang tokoh yang fenomenal yang dimiliki bangsa ini, terlebih-lebih bagi keraton Yogyakarta. Dialah KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur).
Mas Sur adalah seorang redaktur surat kabar, sastrawan, serta budayawan. Dalam buku bunga rampai esai ini, beliau banyak menggoreskan falsafah hidup sebagai suatu wacana kehidupan bagi umat manusia. Selain itu, di dalamnya merupakan saksi sejarah bagi daerah Yogyakarta dan sekitarnya kala bergerak mengikuti siklus modernisasi. Falsafah-falsafah hidup dalam buku ini diracik sedemikian rupa yang diarahkan dan dibenturkan dengan kepribadian manusia, realitas fisik daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta masyarakatnya. Fenomena tersebut juga dibumbui dengan khasanah kejawen pengarangnya selaku seorang Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan Raden Panji Anom (RPA).
Mas Sur dalam bunga rampai esai ini seolah mengingatkan kita semua akan hakekat hidup yang semestinya. Beliau menyatakan bahwa “Aja lali marang tetenger sing ana. Yen wus gumathok pathoke, yo ing kono kiwi kena digoleki punjere” (Jangan melupakan peninggalan yang ada. Manakala sudah jelas letak nisan yang dicari, maka akan lebih gampang mencari pusatnya. Apa yang disebut “tetenger” pada kalimat di atas adalah berarti sesuatu monumen yang ditinggalkan oleh tokoh tertentu yang dibanggakan oleh dunia seputar. “Pathok” yang divisualkan dalam bentuk batu nisan yang kukuh, secara langsung merupakan penunjuk dalam kehidupan di jagad ini, yang darinya suatu keturunan menapaki. Sedangkan “punjer” berarti pusat alias teleng dari nukilan sejarah yang berlangsung. Jika kita ingin sesuatu dari rantauan hakiki istilah ini, maka akan kita temukan perkataan “panjer” yang artinya senantiasa dipasang, digantungkan, dicantelkan, ditayangkan di pokoknya. Selain itu, dalam esainya yang berjudul “Jejak Menuju Cagak” beliau menegaskan definisi cagak yang gimaksus. Baginya, cagak merupakan suatu tiang-pancangan, bahkan juga berarti tonggak yang menandai suatu rangkaian peristiwa dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, dengan menyebut adanya cagak pada kehidupan ini, agaknya manusia harus menyadari dua hal. Pertama, suatu kenangan terhadap sejarah yang berada di latar belakang, yang sekaligus sebagai kerangka tindaknya. Sedangkan yang kedua, suatu kesadaran yang lebih substansial, bahwasanya hidup ini berlangsung dari periode yang satu ke periode berikutnya, seraya mengembangkan jalur-jalur “kenerdekaan ruh”-nya”. Dengan kata lain, Mas Sur dalam nuku ini mengisyarahkan akan dua hal, yaitu kesejatian hidup dan sejarah kehidupan.
Buku Bung Sultan ini cocok dinikmati oleh mereka yang gandrung dengan wacana kebudayaan serta nilai-nilai falsafah hidup. Meskipun demikian, buku ini kurang cocok dikonsumsi oleh mereka yang berusia SLTA ke bahwah. Hal itu disebabkan oleh muatan buku ini yang terlalu berat dicerna oleh mereka yang seusia itu. Bisa jadi buku ini akan terasa membosankan bagi mereka dan malah memampatkan daya minat baca mereka terhadap buku ini.
Ada tujuh belas pokok bahasan dalam buku ini yang dirangkai dalam tujuh belas judul esai. Ketujuh belas judul tersebut adalah: “Tetenger, Punjer, dan Panjer”, Tapa Wuda Asinjang Rikma, Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan, Sandiwara dan Sambiwara, Jejak-Jejak Menuju Cagak, Yang Melahap dan Yang Menggilas, Si Cacat yang Tanpa Cela, Ciri-Cira di Tengah Upacara, Tiada yang Hilang di Balik Watugilang, “Wara Ratna” Sri Pakubuwono IX, Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, Yang Lingsir di Pesisir, Yang Semi di Praja Kejawen, “Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa”, “Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh”, R.A. Kartini dan Kebudayaan, Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi, Malioborodan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?”. Selanjutnya; pemahaman tanpa rasa segalanya kan terengkuh tanpa makna. Dan akhirnya, selamat meneguk kedalaman bening air telaganya.
Pengarang : RPA Suryanto Sastroatmodjo
Jenis Buku : Bunga Rampai Esai
Penerbit : Adi Wacana, Juni 2008
Tebal Buku : xxxiv + 230 hlm; 15 x 21 cm
Peresensi : Imamuddin SA.
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Wartawan, penulis, sastrawan, budayawan dan siapa saja yang mengabdikan diri dalam bidang tulis-menulis, semuanya pastilah memunguti batu-batu peristiwa yang berserakan di tepian hidupnya untuk dijadikan konsep dasar karyanya dan sebagai suatu kesaksian kecil dalam sejarah kehidupan umat manusia. Meskipun bersikap kecil, jika batu-batu itu dikumpulkan secara terus-menerus, seseorang akan mampu membuat rumah sejarah, bukit sejarah, bahkan gunung sejarah.
Bung Sultan merupakan sebuah karya yang patut kita selami dan kita teguk setetes demi setetes bening air kesaksian serta pemikiran pengarangnya. Karya ini digurat dari serpihan peristiwa yang tertangkap oleh indrawi pengarangnya. Pengarangnya tidak lain adalah seorang tokoh yang fenomenal yang dimiliki bangsa ini, terlebih-lebih bagi keraton Yogyakarta. Dialah KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur).
Mas Sur adalah seorang redaktur surat kabar, sastrawan, serta budayawan. Dalam buku bunga rampai esai ini, beliau banyak menggoreskan falsafah hidup sebagai suatu wacana kehidupan bagi umat manusia. Selain itu, di dalamnya merupakan saksi sejarah bagi daerah Yogyakarta dan sekitarnya kala bergerak mengikuti siklus modernisasi. Falsafah-falsafah hidup dalam buku ini diracik sedemikian rupa yang diarahkan dan dibenturkan dengan kepribadian manusia, realitas fisik daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta masyarakatnya. Fenomena tersebut juga dibumbui dengan khasanah kejawen pengarangnya selaku seorang Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan Raden Panji Anom (RPA).
Mas Sur dalam bunga rampai esai ini seolah mengingatkan kita semua akan hakekat hidup yang semestinya. Beliau menyatakan bahwa “Aja lali marang tetenger sing ana. Yen wus gumathok pathoke, yo ing kono kiwi kena digoleki punjere” (Jangan melupakan peninggalan yang ada. Manakala sudah jelas letak nisan yang dicari, maka akan lebih gampang mencari pusatnya. Apa yang disebut “tetenger” pada kalimat di atas adalah berarti sesuatu monumen yang ditinggalkan oleh tokoh tertentu yang dibanggakan oleh dunia seputar. “Pathok” yang divisualkan dalam bentuk batu nisan yang kukuh, secara langsung merupakan penunjuk dalam kehidupan di jagad ini, yang darinya suatu keturunan menapaki. Sedangkan “punjer” berarti pusat alias teleng dari nukilan sejarah yang berlangsung. Jika kita ingin sesuatu dari rantauan hakiki istilah ini, maka akan kita temukan perkataan “panjer” yang artinya senantiasa dipasang, digantungkan, dicantelkan, ditayangkan di pokoknya. Selain itu, dalam esainya yang berjudul “Jejak Menuju Cagak” beliau menegaskan definisi cagak yang gimaksus. Baginya, cagak merupakan suatu tiang-pancangan, bahkan juga berarti tonggak yang menandai suatu rangkaian peristiwa dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, dengan menyebut adanya cagak pada kehidupan ini, agaknya manusia harus menyadari dua hal. Pertama, suatu kenangan terhadap sejarah yang berada di latar belakang, yang sekaligus sebagai kerangka tindaknya. Sedangkan yang kedua, suatu kesadaran yang lebih substansial, bahwasanya hidup ini berlangsung dari periode yang satu ke periode berikutnya, seraya mengembangkan jalur-jalur “kenerdekaan ruh”-nya”. Dengan kata lain, Mas Sur dalam nuku ini mengisyarahkan akan dua hal, yaitu kesejatian hidup dan sejarah kehidupan.
Buku Bung Sultan ini cocok dinikmati oleh mereka yang gandrung dengan wacana kebudayaan serta nilai-nilai falsafah hidup. Meskipun demikian, buku ini kurang cocok dikonsumsi oleh mereka yang berusia SLTA ke bahwah. Hal itu disebabkan oleh muatan buku ini yang terlalu berat dicerna oleh mereka yang seusia itu. Bisa jadi buku ini akan terasa membosankan bagi mereka dan malah memampatkan daya minat baca mereka terhadap buku ini.
Ada tujuh belas pokok bahasan dalam buku ini yang dirangkai dalam tujuh belas judul esai. Ketujuh belas judul tersebut adalah: “Tetenger, Punjer, dan Panjer”, Tapa Wuda Asinjang Rikma, Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan, Sandiwara dan Sambiwara, Jejak-Jejak Menuju Cagak, Yang Melahap dan Yang Menggilas, Si Cacat yang Tanpa Cela, Ciri-Cira di Tengah Upacara, Tiada yang Hilang di Balik Watugilang, “Wara Ratna” Sri Pakubuwono IX, Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, Yang Lingsir di Pesisir, Yang Semi di Praja Kejawen, “Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa”, “Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh”, R.A. Kartini dan Kebudayaan, Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi, Malioborodan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?”. Selanjutnya; pemahaman tanpa rasa segalanya kan terengkuh tanpa makna. Dan akhirnya, selamat meneguk kedalaman bening air telaganya.
Max Dauthendey (1867-1918)
Penyair Jerman yang Meninggal di Kota Malang
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=447
Tatkala insan dari tlatah jauh memasuki alam tropis Jawa Dwipa, meyakini keberadaannya, akan diserap suara-suara gaib.
Kehadiran suara merambahi sekujur badan jiwa, naluriah berkecambah meresapi aura keganjilan.
Nalarnya ditelan pusaran keagungan, yang dicari tapak kehakikian. Kesantausaan hayat ketulusan menebarkan budhi mengembangkan pekerti.
Mendapati restu leluhur atas bencah dipijaknya. Dinaya meruh didengarnya, bisikan tak terlihat namun sangat dekat, melebihi denyutan nadi.
Dibawa terbang menuju pengetahuan tak terhingga, pengajaran tiada di negerinya.
Hingga yakin nasib kata-katanya membuncah hadir, kala anak bangsa yang didiami melestarikan.
***
Ku persembahkan sastrawan Max Dauthendey, dari buku “Malam Biru di Berlin” penerjemah Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H., penerbit PT. Star Motors Indonesia, 1989:
Dialah penyair, pengarang prosa impresionistis, yang seringkali latar belakang karyanya eksotis. Dua kali menempuh perjalanan ke Asia, kedua di tahun 1914. Di tanah Jawa sebagai orang Jerman ditangkap tentara Belanda, sewaktu itu keadaan perang dengan Jerman. Karena terpaksa tinggal di Jawa dan merindu istrinya, Max Dauthendey meninggal di kota Malang. Marilah simak salah satu puisinya:
KEPADA CIKURAI
Oh gunung, yang nyundul angkasa,
Puncakmu nyaksikan jaman segala,
Engkau yang abadi, yang tak dapat menjadi tua,
Tahun-tahun yang berlalu tak mengganggumu jua.
Dan abad-abad yang lewat tiada pula kaurasa
Bila kau sejukkan dahi di angkasa.
Kau telah hidup waktu lelaki pertama
Merebut hati wanita yang semula.
Kau tetap akan hidup bila pasangan penghabisan
Lenyap pada peradaban penutupan.
Betapa penting kuanggap kesusahanku.
Betapa penting hari kemarin, hari ini dan esok.
Kau mengajar melihat jauh di atas keseharian,
Kau mengajar untuk percaya pada keabadian.
Garut 1915
***
Membacanya; tubuhku merinding kepercayaanku terbit, gunung paku bumi bagi orang Jawa, tertancap sudah sampai akhir masa.
Laksana badan dewata berkasih sayang diselimuti kabut dataran tinggi, melahirkan bulir-bulir iman kehidupan.
Menjadi kehendak sah tercapailah awan sebayang-bayang di mata, mengagumi pesona Dwipa.
Ukuran penerimaan nyata dari kehadiran naluri mengejawantah, disadap dirinya merindu rasa.
Jika pulang tak terbilang hari-hari di atas kapal, menyeberangi lautan derita asin garam angkasa.
Tentu merasakan air pertiwi ini betapa murni, bagaikan belaian ibunda bagi anak-anaknya.
Max diguyur derasnya perasaan, seakan lupa sekejapan seperti di negerinya sendiri.
Bathin teridamkan menggetarkan bulu-bulu, merangkum keseluruhan indra pengetahuan.
Aku saksikan kerling bola matanya pada gadis-gadis desa. Senyumnya membumi, sapaannya seperti panji-panji pujangga negeri ini.
Menorehkan kata-kata kalbu kemerah, melihat kaki-kaki lincah menanjaki pebukitan. Dirinya terpanah jantung blingsaran, rindu menggayuh.
Max masih khidmat mencium harum bunga, meski tangannya diborgol penjajah dalam penjara masa.
Mengabdikan seluruh kepada negerinya tercinta. Angin Dwipa kabarkan ketentramannya dilindungi dewata.
Jemari lembut begitu santun membelai kertas, demi mengguratkan selarik kisah. Atas segala deritanya, sampailah ke tanganku.
Pengelana yang setiap hari menuruti nafas kata dari ruh merubah maknawi, sedari getar sukma menetas balada.
Max tak kenali diriku, tapi percaya layangnya menuju naluri diugemi bencah ini, yang dirasa hingga tandas diakhir masa.
Adakah kegembiraan kali itu? Manakala dirinya menyatu getaran jiwaku. Auranya tidak kurang merambahi setiap kalbu.
Demi kabarkan negeri ini menyimpan angin semerbak wangi, anak-anaknya menghiasi kekisah penuh legenda.
Kata-kata Max menandaskan kesadaran hari-hari patut dikaji, selepas dijalani bagi tempaan lelaku jaman sejati.
Setatap mata elang mengeruk pengertian, yang hadir kesuburan faham bau kembang keadaban.
Menyaksikan kaum pribumi berjuang ke medan tempur, demi sedepa-depa ingatan sejarah;
darah air mata bumi putra, menjadi perhitungan kelak di kemudian hari merdeka.
Max tak menyangka di usianya baru enam tahun (1867-1918) di Jerman, pujangga agung tanah Jawa R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) meninggal dunia.
Dirinya seakan diawasi, lelangkah mungilnya diperhatikan; yang tertanda kali ini hembusan moyang terkisahkan.
Dedaun tropis gugur dihantarkan pulang, kering keemasan pengabdian, pepohon tegar bercerita jaman berulang.
Burung-burung menembangkan kepiluan dalam sangkar kepahitan, deritanya padaku, dan pada puncaknya berabadi.
Hatur salam dariku atas guruku, KRT. Suryanto Sastroatmodjo (1957-2007), semoga tuan bersahabat guyub dan damai di sisi-Nya…
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=447
Tatkala insan dari tlatah jauh memasuki alam tropis Jawa Dwipa, meyakini keberadaannya, akan diserap suara-suara gaib.
Kehadiran suara merambahi sekujur badan jiwa, naluriah berkecambah meresapi aura keganjilan.
Nalarnya ditelan pusaran keagungan, yang dicari tapak kehakikian. Kesantausaan hayat ketulusan menebarkan budhi mengembangkan pekerti.
Mendapati restu leluhur atas bencah dipijaknya. Dinaya meruh didengarnya, bisikan tak terlihat namun sangat dekat, melebihi denyutan nadi.
Dibawa terbang menuju pengetahuan tak terhingga, pengajaran tiada di negerinya.
Hingga yakin nasib kata-katanya membuncah hadir, kala anak bangsa yang didiami melestarikan.
***
Ku persembahkan sastrawan Max Dauthendey, dari buku “Malam Biru di Berlin” penerjemah Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H., penerbit PT. Star Motors Indonesia, 1989:
Dialah penyair, pengarang prosa impresionistis, yang seringkali latar belakang karyanya eksotis. Dua kali menempuh perjalanan ke Asia, kedua di tahun 1914. Di tanah Jawa sebagai orang Jerman ditangkap tentara Belanda, sewaktu itu keadaan perang dengan Jerman. Karena terpaksa tinggal di Jawa dan merindu istrinya, Max Dauthendey meninggal di kota Malang. Marilah simak salah satu puisinya:
KEPADA CIKURAI
Oh gunung, yang nyundul angkasa,
Puncakmu nyaksikan jaman segala,
Engkau yang abadi, yang tak dapat menjadi tua,
Tahun-tahun yang berlalu tak mengganggumu jua.
Dan abad-abad yang lewat tiada pula kaurasa
Bila kau sejukkan dahi di angkasa.
Kau telah hidup waktu lelaki pertama
Merebut hati wanita yang semula.
Kau tetap akan hidup bila pasangan penghabisan
Lenyap pada peradaban penutupan.
Betapa penting kuanggap kesusahanku.
Betapa penting hari kemarin, hari ini dan esok.
Kau mengajar melihat jauh di atas keseharian,
Kau mengajar untuk percaya pada keabadian.
Garut 1915
***
Membacanya; tubuhku merinding kepercayaanku terbit, gunung paku bumi bagi orang Jawa, tertancap sudah sampai akhir masa.
Laksana badan dewata berkasih sayang diselimuti kabut dataran tinggi, melahirkan bulir-bulir iman kehidupan.
Menjadi kehendak sah tercapailah awan sebayang-bayang di mata, mengagumi pesona Dwipa.
Ukuran penerimaan nyata dari kehadiran naluri mengejawantah, disadap dirinya merindu rasa.
Jika pulang tak terbilang hari-hari di atas kapal, menyeberangi lautan derita asin garam angkasa.
Tentu merasakan air pertiwi ini betapa murni, bagaikan belaian ibunda bagi anak-anaknya.
Max diguyur derasnya perasaan, seakan lupa sekejapan seperti di negerinya sendiri.
Bathin teridamkan menggetarkan bulu-bulu, merangkum keseluruhan indra pengetahuan.
Aku saksikan kerling bola matanya pada gadis-gadis desa. Senyumnya membumi, sapaannya seperti panji-panji pujangga negeri ini.
Menorehkan kata-kata kalbu kemerah, melihat kaki-kaki lincah menanjaki pebukitan. Dirinya terpanah jantung blingsaran, rindu menggayuh.
Max masih khidmat mencium harum bunga, meski tangannya diborgol penjajah dalam penjara masa.
Mengabdikan seluruh kepada negerinya tercinta. Angin Dwipa kabarkan ketentramannya dilindungi dewata.
Jemari lembut begitu santun membelai kertas, demi mengguratkan selarik kisah. Atas segala deritanya, sampailah ke tanganku.
Pengelana yang setiap hari menuruti nafas kata dari ruh merubah maknawi, sedari getar sukma menetas balada.
Max tak kenali diriku, tapi percaya layangnya menuju naluri diugemi bencah ini, yang dirasa hingga tandas diakhir masa.
Adakah kegembiraan kali itu? Manakala dirinya menyatu getaran jiwaku. Auranya tidak kurang merambahi setiap kalbu.
Demi kabarkan negeri ini menyimpan angin semerbak wangi, anak-anaknya menghiasi kekisah penuh legenda.
Kata-kata Max menandaskan kesadaran hari-hari patut dikaji, selepas dijalani bagi tempaan lelaku jaman sejati.
Setatap mata elang mengeruk pengertian, yang hadir kesuburan faham bau kembang keadaban.
Menyaksikan kaum pribumi berjuang ke medan tempur, demi sedepa-depa ingatan sejarah;
darah air mata bumi putra, menjadi perhitungan kelak di kemudian hari merdeka.
Max tak menyangka di usianya baru enam tahun (1867-1918) di Jerman, pujangga agung tanah Jawa R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) meninggal dunia.
Dirinya seakan diawasi, lelangkah mungilnya diperhatikan; yang tertanda kali ini hembusan moyang terkisahkan.
Dedaun tropis gugur dihantarkan pulang, kering keemasan pengabdian, pepohon tegar bercerita jaman berulang.
Burung-burung menembangkan kepiluan dalam sangkar kepahitan, deritanya padaku, dan pada puncaknya berabadi.
Hatur salam dariku atas guruku, KRT. Suryanto Sastroatmodjo (1957-2007), semoga tuan bersahabat guyub dan damai di sisi-Nya…
ORASI TERAKHIR
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
Di suatu kota tinggal keluarga yang kata orang taat beragama. Mereka hidup tentram dan damai, mereka sekeluarga baik dan sopan pada tetangga. Bahkan para tetangga sering minta bantuan kepada mereka. Pemimpin keluarga tersebut sangat berpengaruh Pak Umar sebut banyak orang dan isterinya bernama Aisyah. Mereka berdua memiliki putra yang dikasih nama Yudi. Dia masih sekolah SMU didekat rumahnya. Yudi anak yang pandai karena dia selalu belajar kepada Ayahnya tentang agama dan banyak hal tentang kehidupan.
Suatu hari pak Umar menjadi pembicara pengkajian bulanan di daerah sekitar rumahnya. Sudah kebiasanya, menjadi penceramah disuatu pengajian keagamaan. Memang dia salah satu kyai yang disegani. Pak Umar berangkat dengan mengajak Yudi. Tiba saat Pak Umar mengisi pengajian, di dalam pidatonya Dia bilang “Melihat kondisi bangsa kita saat ini, kita harus banyak interopeksi diri, dan pemerintah harus segerah memberantas korupsi. Agar bangsa kita menjadi bangsa yang diridlohi Allah Swt. Dan bangsa kita menjadi makmur”. Para pendengar menganggukkan kepala tandanya setuju dengan apa yang diucapkan Pak Umar. Dua jam berlalu, banyak sudah yang ducapkan oleh Pak Umar kepada peserta pengajian dan akhirnya mereka berdua pulang kerumah.
Seorang anak biasanya meniru kebiasaanya orang tuanya, sama halnya dengan Yudi selalu menjadi pelopor pada acara diskusi soal agama di sekolahnya, sehingga Dia dapat julukan “Ustad” dari teman-temannya. Dia sangat disukai sama teman-temannya, tak jarang temanya minta tolong sama Dia untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan soal agama dengan jawaban yang bisa diterimaolehakal.
Waktu terus melaju hingga yudi harus mengakhiri masa SMU-nya dan beralih keperguruan tinggi. Dari awal dia punya rencana masuk jalur khusus, untuk masuk di perguruan tinggi yang masih satu daerah dengan dia, tapi memilki jarak yang sangat jauh. Dan dia harus meninggalkan rumah untuk kost. Yudi mulai mengurus segalanya sendirian tanpa ditemani oleh keluarganya hingga semuanya selesai dan tinggal melaksanakan perkuliahan.
Awal kuliah, yudi sangat gembira sekali kerena mendapatkan teman yang baru dan lain seperti di SMU dulu. Di dalam kelas Dia disukai oleh teman-temannya seperti dulu di SMU-nya. Bahkan sering dimintai tolong mengajari teman-temanya dalam hal mata kuliah. Memang yudi orangnya pandai dan cerdas.
Sudah sebulan Yudi kuliah, ada sedikit janggal yang dirasakannya, Dia terus berfikir.
“Oh ya, aku belum menemukan forum diskusi”.
Biasa dari SMU memang suka diskusi apalagi soal Agama. Malam tak bisa tidur, terus berfikir dimana ada kominitas diskusi “Besok habis kuliah aku harus jalan-jalan keliling kampus dulu dan tidak boleh langsung pulang”.
Pagi sudah tiba kebetulan hari itu Cuma satu mata kuliah dan sudah tidak ada tugas, jadi rencanya bisa dijalankan. Habis kuliah dia jalan-jalan keliling kampus. Tepat didepannya agak ke kiri Yudi melihat orang bergerombol
“Sepertinya orang diskusi” dalam hatinya.
Lalu dihampirinya “Lagi diskusi ya, boleh saya bergabung”. Lalu Yudi berkenalan satu satu,
“Anton, Mira, Ahmad, Ridwan, Aisyah”.
Diskusinya berlanjut lagi, menjadi tambah banyak permasalahn dengan datangnya Yudi, hingga waktu tidak bersahabat sama mereka. “ Sudah soreh” ujar Mira, “Ya, dilanjutkan nanti malam saja” Ridwan menyahut.
“Dimana?“Yudi bertanya kemereka, serempak menjawab “ Di sekret”, “Memang kalian punya?” Tanya yudi. Ahmad menjawab dan memberi alamat ke yudi, lalu pulang bersama-sama tiba sampai depan kampus mereka berpisah.
***
Yudi lansung pulang ke kost, menaruh tasnya di kamarnya dan lansung masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. Seusai mandi Yudi mengabil buku yang dia punya, “Walaupun sedikit usang masih bisa dibaca dan tidak ketinggalan wacananya” ujar dalam hatinya. Lembar demi lembar dibukanya tak terasa adzan mahrib tiba. Sajadahnya dibentangkan dan langsung melaksanakan sholat tanpa ambil wudlu lagi, karena belum batal dari wudlu sholat ashar. Selesai sholat magrib, Yudi lansung pergi ke sekret teman-temannya tadi
“ Halloo kawan….!” Sapa Ahmad ke Yudi,
“Mana teman-teman yang lain?” Yudi menyahuti.
“Lagi makan sebentar lagi datang, itu mereka” jawab Ahmad.
Mereka diskusi lagi dan kali ini yudi agak kebinggungan karena banyak teori-teori baru yang muncul.
“Kawan aku tidak yambung” Yudi merasa binggung,
“Dengarkan aja dulu Yud nanti kamu nyambung sendiri”. Dan akhirnya mereka semua menyelesaikan diskusinya dengan banyak sekali pertanyaan bagi Yudi.
Besok paginya Yudi ketemu Ahmad
“Mau kemana, Mad?”
“Mau ke toko buku, kamu mau iku?”.
Dengan senang Yudi mengikuti Ahmad ke toko buku. Hingga sore tiba mereka pulang dengan membawa buku barunya yang tak sabar untuk dibaca.
Hari demi hari berlalu, Yudi senang mendapatkan komunitas yang baru, karena kemarin mengikuti pengkaderan sebagai syarat masuk dan menjadi anggota resmi di komunitas barunya. Hingga tak sadar dia nggak perna pulang kerumah orang tuanya hanya telfon dan kalau butuh uang minta transfer, walaupun satu kota tapi jaraknya jauh. Yudi, semua aktivis bertanya-tanya mana orangnya. Memang yudi pandai dan selalu konsisten dengan perjuangannya bahkan hampir tiap minggu tulisannya masuk di koran lokal, regional bahkan nasional juga masuk. Dengan ketelatenan dan kerajinannya membaca buku serta diskusi, menjadikan dia dikagumi oleh teman-temannya. Bahkan oleh para aktivis dari organisani kemasiswaan yang ada di kota tempat Yudi Kuliah.
***
Di rumah Yudi tinggal, Ayah dan Ibunya kangen sekali pada Yudi. Pak umar semakin terkenal dengan keahlian dan keapandaianya bercerama dihadapan publik. Hingga suatu hari ada rekanan dari politisi datang kerumahnya. Mereka memberi tawaran pada Pak Umar untuk bergabung di partainya dan langsung ditawari menjadi caleg. Tanpa berpiker panjang pak umar menyetujui. Karena itu yang menjadi keingginannya dibalik kepawaianya dan kepandaianya soal agama. Dalam hati berujar “Kesempatan untuk memasuki sistem dan merubah dari dalam prilaku politisi yang amoral”. Dan juga partai yang menawari pak Umar partai terbesar di Kotanya.
***
Masa libur kuliah telah tiba, Yudi pulang kerumah. Karena rasa kangennya terhadap kedua orang tua nya Ia cepat-cepat lari masuk kerumah, begitu di dalam rumah pak Umar dan istrinya menyambut kedatangan yudi. “ Yah, aku di rumah tidak lama, di kampus banyak kegiatan dan aku dibutuhkan sama teman-teman” bilang ke Ayahnya sambil memasuki kamarnya dan langsung merebahkan diri karena kecapean. Dua hari Yudi dirumah dan sudah waktunya kembali ke kampus.
Seminggu berlalu yudi dari rumah, di dalam organisasinya lagi sibuk menyiapkan aksi untuk mengontrol pemilu yang akan berlangsung. Sampai saat itu Yudi belum tahu kalau Ayahnya jadi Caleg dari partai terbesar di kotanya. Aktivis partai tersebut banyak melakukan dosa sosial.
Tiba di hari kampanye dengan kaget dan tersentak Yudi melihat Koran dengan Foto Ayahnya terpampam disana, dengan tulisan Caleg Jadi dari partai Pohon Kates. Saat itu juga Yudi telfon kerumah untuk memastikan tentang kebenaran apa yang barusan dilihat di koran. Dan yang menerima telfon adalah Ibunya, teryata benar itu adalah Ayahnya.
Sebulan selesai pemilahan umum yang diadakan di kotanya Ayah Yudi masuk di dewan dan jadi ketua dewan di darehanya.
***
“Bagaimana Yud, kamu masih meneruskan perjuangmu untuk melawan penindasan, walaupun kamu melawan Ayahmu sendiri” Kawan-kawan meyakinkan Yudi lagi “Setiap penindasan harus kita lawan, Ayahku sudah melakukan perselingkuhan terhadap politisi dan ini harus ditentang agar Agama tidak dijadikan komoditas politik dan membodohi rakyak”. Ujar Yudi dengan nada keras.
***
Yudi pulang kerumah pada hari libur Ayahnya, karena Dia ingin bertemu dengan Ayahnya. Sampai dirumah Dia bicara pada Ayahnya
“Yah, kenapa semua Ayah lakukan, untuk apa? Untuk Yudi, Yudi tidak butuh itu semua”
“Bukan begitu maksud Ayah, Kita harus berterima kasih pada partai Kates”,
“Apa yang perlu diterimasihkan, semua itu menjebak Ayah dengan massa yang Ayah miliki”
“Ayah sadar semua itu”
“Pokoknya Ayah harus Mengundurkan diri dan kembali lagi ke profesi Ayah sebagai pencerah Umat, kalau tidak mau Ayah berlawan dengan Yudi”
Yudi langsung berpamitan ke Ibunya untuk balik ke kampusnya.
***
Di kampus kawan Yudi menyiapkan Aksi untuk penolakan kebijakan pemerintah daerah yang tidak menguntungkan Rakyat. Dan semua itu Ayah Yudi terlibat dalam pengesahan Undang Undang yang dibuat untuk melegitimasi penindasan.
“Yud, besok kita aksi kamu jadi korlapnya kita aliansi dengan Organ Prodem yang lain”
Kawan-kawan yudi menginformasikan kepadaYudi
“Siap“ jawab Yudi.
Malam hari mempersiapkan perangkat-perangkatnya. Pagi hari Aksi dimulai, yudi berdiri paling depan dengan semangat yang berkobar-kobar. Tiba di depan kantor dewan di sana sudah di jaga ketat sekali oleh aparat Negara. Orasi bergantian menuntut pencabutan Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan. Dan meminta ketua Dewan keluar, di tunggu lama tidak keluar-keluar. Aksi pun beruba menjadi panas, terjadi dorong mendorong antara peserta Aksi dengan aparat. Yudi kena pukul Aparat kepalanya bocor dan parah sekali, langsung dibawah kerumah sakit terdekat. Aksi dibubarkan oleh Aparat dengan banyak korban dari peserta aksi tapi yang paling parah adalah Yudi.
Kawannya mengabari ke Ibu Yudi, dan seketika itu Ibu Yudi berangkat menjenguk Yudi.
“Sudahlah Nak berhentilah melakukan demontrasi begini akibatnya” Ibunya berbisik ditelinga Yudi. Dengan nada agak keras “Tidak, tidak Mau” Yudi menjawab dengan nada agak kesakitan dikepalanya, sampai-sampai teman Yudi kaget. Yudi tidak mau pulang kerumah dan tidak mau minta Uang kekeluarganya. Beberapa hari dirumah sakit dan yudi akhirnya sembuh
Aksi besar-besaran terjadi Yudi ikut lagi, saatnya Yudi mengambil posisi di depan kawan-kawannya untuk melakukan orasi “Salam perlawanan, Kawan-kawan-kawan…..” belum sempat meneneruskan kalimatnya Yudi terjatuh dari tempat untuk orasi. “ Yudi tertembak…Yudi tertembak …” teriak barisan depan aksi demontarsi,.
Berakhir sudah perjuangan Yudi, “Kawan jangan berhenti sampai sini, perjuangan harus terus dilanjutkan walaupun orang terdekat kita yang melakukan penindasan…! harus kita lawan…!” “Yud bertahanlah“
“Aku tidak kuat lagi, sampaikan kepada Ayahku, menyerah dan cepat-cepat melakukan pengakuan dosa pada masyrakat yang ditindasnya.”“
Yud, bertahanlah…”
“Kawan-kawan lanjutkan perjuangan kita sampai ketidakadilan musnah di bumi ini”.
Bunga-bunga bertebaran dimana-mana seiring kepergian Yudi. Dan Aksi menjadi semakin besar
Malang, 2004
http://www.sastra-indonesia.com/
Di suatu kota tinggal keluarga yang kata orang taat beragama. Mereka hidup tentram dan damai, mereka sekeluarga baik dan sopan pada tetangga. Bahkan para tetangga sering minta bantuan kepada mereka. Pemimpin keluarga tersebut sangat berpengaruh Pak Umar sebut banyak orang dan isterinya bernama Aisyah. Mereka berdua memiliki putra yang dikasih nama Yudi. Dia masih sekolah SMU didekat rumahnya. Yudi anak yang pandai karena dia selalu belajar kepada Ayahnya tentang agama dan banyak hal tentang kehidupan.
Suatu hari pak Umar menjadi pembicara pengkajian bulanan di daerah sekitar rumahnya. Sudah kebiasanya, menjadi penceramah disuatu pengajian keagamaan. Memang dia salah satu kyai yang disegani. Pak Umar berangkat dengan mengajak Yudi. Tiba saat Pak Umar mengisi pengajian, di dalam pidatonya Dia bilang “Melihat kondisi bangsa kita saat ini, kita harus banyak interopeksi diri, dan pemerintah harus segerah memberantas korupsi. Agar bangsa kita menjadi bangsa yang diridlohi Allah Swt. Dan bangsa kita menjadi makmur”. Para pendengar menganggukkan kepala tandanya setuju dengan apa yang diucapkan Pak Umar. Dua jam berlalu, banyak sudah yang ducapkan oleh Pak Umar kepada peserta pengajian dan akhirnya mereka berdua pulang kerumah.
Seorang anak biasanya meniru kebiasaanya orang tuanya, sama halnya dengan Yudi selalu menjadi pelopor pada acara diskusi soal agama di sekolahnya, sehingga Dia dapat julukan “Ustad” dari teman-temannya. Dia sangat disukai sama teman-temannya, tak jarang temanya minta tolong sama Dia untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan soal agama dengan jawaban yang bisa diterimaolehakal.
Waktu terus melaju hingga yudi harus mengakhiri masa SMU-nya dan beralih keperguruan tinggi. Dari awal dia punya rencana masuk jalur khusus, untuk masuk di perguruan tinggi yang masih satu daerah dengan dia, tapi memilki jarak yang sangat jauh. Dan dia harus meninggalkan rumah untuk kost. Yudi mulai mengurus segalanya sendirian tanpa ditemani oleh keluarganya hingga semuanya selesai dan tinggal melaksanakan perkuliahan.
Awal kuliah, yudi sangat gembira sekali kerena mendapatkan teman yang baru dan lain seperti di SMU dulu. Di dalam kelas Dia disukai oleh teman-temannya seperti dulu di SMU-nya. Bahkan sering dimintai tolong mengajari teman-temanya dalam hal mata kuliah. Memang yudi orangnya pandai dan cerdas.
Sudah sebulan Yudi kuliah, ada sedikit janggal yang dirasakannya, Dia terus berfikir.
“Oh ya, aku belum menemukan forum diskusi”.
Biasa dari SMU memang suka diskusi apalagi soal Agama. Malam tak bisa tidur, terus berfikir dimana ada kominitas diskusi “Besok habis kuliah aku harus jalan-jalan keliling kampus dulu dan tidak boleh langsung pulang”.
Pagi sudah tiba kebetulan hari itu Cuma satu mata kuliah dan sudah tidak ada tugas, jadi rencanya bisa dijalankan. Habis kuliah dia jalan-jalan keliling kampus. Tepat didepannya agak ke kiri Yudi melihat orang bergerombol
“Sepertinya orang diskusi” dalam hatinya.
Lalu dihampirinya “Lagi diskusi ya, boleh saya bergabung”. Lalu Yudi berkenalan satu satu,
“Anton, Mira, Ahmad, Ridwan, Aisyah”.
Diskusinya berlanjut lagi, menjadi tambah banyak permasalahn dengan datangnya Yudi, hingga waktu tidak bersahabat sama mereka. “ Sudah soreh” ujar Mira, “Ya, dilanjutkan nanti malam saja” Ridwan menyahut.
“Dimana?“Yudi bertanya kemereka, serempak menjawab “ Di sekret”, “Memang kalian punya?” Tanya yudi. Ahmad menjawab dan memberi alamat ke yudi, lalu pulang bersama-sama tiba sampai depan kampus mereka berpisah.
***
Yudi lansung pulang ke kost, menaruh tasnya di kamarnya dan lansung masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. Seusai mandi Yudi mengabil buku yang dia punya, “Walaupun sedikit usang masih bisa dibaca dan tidak ketinggalan wacananya” ujar dalam hatinya. Lembar demi lembar dibukanya tak terasa adzan mahrib tiba. Sajadahnya dibentangkan dan langsung melaksanakan sholat tanpa ambil wudlu lagi, karena belum batal dari wudlu sholat ashar. Selesai sholat magrib, Yudi lansung pergi ke sekret teman-temannya tadi
“ Halloo kawan….!” Sapa Ahmad ke Yudi,
“Mana teman-teman yang lain?” Yudi menyahuti.
“Lagi makan sebentar lagi datang, itu mereka” jawab Ahmad.
Mereka diskusi lagi dan kali ini yudi agak kebinggungan karena banyak teori-teori baru yang muncul.
“Kawan aku tidak yambung” Yudi merasa binggung,
“Dengarkan aja dulu Yud nanti kamu nyambung sendiri”. Dan akhirnya mereka semua menyelesaikan diskusinya dengan banyak sekali pertanyaan bagi Yudi.
Besok paginya Yudi ketemu Ahmad
“Mau kemana, Mad?”
“Mau ke toko buku, kamu mau iku?”.
Dengan senang Yudi mengikuti Ahmad ke toko buku. Hingga sore tiba mereka pulang dengan membawa buku barunya yang tak sabar untuk dibaca.
Hari demi hari berlalu, Yudi senang mendapatkan komunitas yang baru, karena kemarin mengikuti pengkaderan sebagai syarat masuk dan menjadi anggota resmi di komunitas barunya. Hingga tak sadar dia nggak perna pulang kerumah orang tuanya hanya telfon dan kalau butuh uang minta transfer, walaupun satu kota tapi jaraknya jauh. Yudi, semua aktivis bertanya-tanya mana orangnya. Memang yudi pandai dan selalu konsisten dengan perjuangannya bahkan hampir tiap minggu tulisannya masuk di koran lokal, regional bahkan nasional juga masuk. Dengan ketelatenan dan kerajinannya membaca buku serta diskusi, menjadikan dia dikagumi oleh teman-temannya. Bahkan oleh para aktivis dari organisani kemasiswaan yang ada di kota tempat Yudi Kuliah.
***
Di rumah Yudi tinggal, Ayah dan Ibunya kangen sekali pada Yudi. Pak umar semakin terkenal dengan keahlian dan keapandaianya bercerama dihadapan publik. Hingga suatu hari ada rekanan dari politisi datang kerumahnya. Mereka memberi tawaran pada Pak Umar untuk bergabung di partainya dan langsung ditawari menjadi caleg. Tanpa berpiker panjang pak umar menyetujui. Karena itu yang menjadi keingginannya dibalik kepawaianya dan kepandaianya soal agama. Dalam hati berujar “Kesempatan untuk memasuki sistem dan merubah dari dalam prilaku politisi yang amoral”. Dan juga partai yang menawari pak Umar partai terbesar di Kotanya.
***
Masa libur kuliah telah tiba, Yudi pulang kerumah. Karena rasa kangennya terhadap kedua orang tua nya Ia cepat-cepat lari masuk kerumah, begitu di dalam rumah pak Umar dan istrinya menyambut kedatangan yudi. “ Yah, aku di rumah tidak lama, di kampus banyak kegiatan dan aku dibutuhkan sama teman-teman” bilang ke Ayahnya sambil memasuki kamarnya dan langsung merebahkan diri karena kecapean. Dua hari Yudi dirumah dan sudah waktunya kembali ke kampus.
Seminggu berlalu yudi dari rumah, di dalam organisasinya lagi sibuk menyiapkan aksi untuk mengontrol pemilu yang akan berlangsung. Sampai saat itu Yudi belum tahu kalau Ayahnya jadi Caleg dari partai terbesar di kotanya. Aktivis partai tersebut banyak melakukan dosa sosial.
Tiba di hari kampanye dengan kaget dan tersentak Yudi melihat Koran dengan Foto Ayahnya terpampam disana, dengan tulisan Caleg Jadi dari partai Pohon Kates. Saat itu juga Yudi telfon kerumah untuk memastikan tentang kebenaran apa yang barusan dilihat di koran. Dan yang menerima telfon adalah Ibunya, teryata benar itu adalah Ayahnya.
Sebulan selesai pemilahan umum yang diadakan di kotanya Ayah Yudi masuk di dewan dan jadi ketua dewan di darehanya.
***
“Bagaimana Yud, kamu masih meneruskan perjuangmu untuk melawan penindasan, walaupun kamu melawan Ayahmu sendiri” Kawan-kawan meyakinkan Yudi lagi “Setiap penindasan harus kita lawan, Ayahku sudah melakukan perselingkuhan terhadap politisi dan ini harus ditentang agar Agama tidak dijadikan komoditas politik dan membodohi rakyak”. Ujar Yudi dengan nada keras.
***
Yudi pulang kerumah pada hari libur Ayahnya, karena Dia ingin bertemu dengan Ayahnya. Sampai dirumah Dia bicara pada Ayahnya
“Yah, kenapa semua Ayah lakukan, untuk apa? Untuk Yudi, Yudi tidak butuh itu semua”
“Bukan begitu maksud Ayah, Kita harus berterima kasih pada partai Kates”,
“Apa yang perlu diterimasihkan, semua itu menjebak Ayah dengan massa yang Ayah miliki”
“Ayah sadar semua itu”
“Pokoknya Ayah harus Mengundurkan diri dan kembali lagi ke profesi Ayah sebagai pencerah Umat, kalau tidak mau Ayah berlawan dengan Yudi”
Yudi langsung berpamitan ke Ibunya untuk balik ke kampusnya.
***
Di kampus kawan Yudi menyiapkan Aksi untuk penolakan kebijakan pemerintah daerah yang tidak menguntungkan Rakyat. Dan semua itu Ayah Yudi terlibat dalam pengesahan Undang Undang yang dibuat untuk melegitimasi penindasan.
“Yud, besok kita aksi kamu jadi korlapnya kita aliansi dengan Organ Prodem yang lain”
Kawan-kawan yudi menginformasikan kepadaYudi
“Siap“ jawab Yudi.
Malam hari mempersiapkan perangkat-perangkatnya. Pagi hari Aksi dimulai, yudi berdiri paling depan dengan semangat yang berkobar-kobar. Tiba di depan kantor dewan di sana sudah di jaga ketat sekali oleh aparat Negara. Orasi bergantian menuntut pencabutan Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan. Dan meminta ketua Dewan keluar, di tunggu lama tidak keluar-keluar. Aksi pun beruba menjadi panas, terjadi dorong mendorong antara peserta Aksi dengan aparat. Yudi kena pukul Aparat kepalanya bocor dan parah sekali, langsung dibawah kerumah sakit terdekat. Aksi dibubarkan oleh Aparat dengan banyak korban dari peserta aksi tapi yang paling parah adalah Yudi.
Kawannya mengabari ke Ibu Yudi, dan seketika itu Ibu Yudi berangkat menjenguk Yudi.
“Sudahlah Nak berhentilah melakukan demontrasi begini akibatnya” Ibunya berbisik ditelinga Yudi. Dengan nada agak keras “Tidak, tidak Mau” Yudi menjawab dengan nada agak kesakitan dikepalanya, sampai-sampai teman Yudi kaget. Yudi tidak mau pulang kerumah dan tidak mau minta Uang kekeluarganya. Beberapa hari dirumah sakit dan yudi akhirnya sembuh
Aksi besar-besaran terjadi Yudi ikut lagi, saatnya Yudi mengambil posisi di depan kawan-kawannya untuk melakukan orasi “Salam perlawanan, Kawan-kawan-kawan…..” belum sempat meneneruskan kalimatnya Yudi terjatuh dari tempat untuk orasi. “ Yudi tertembak…Yudi tertembak …” teriak barisan depan aksi demontarsi,.
Berakhir sudah perjuangan Yudi, “Kawan jangan berhenti sampai sini, perjuangan harus terus dilanjutkan walaupun orang terdekat kita yang melakukan penindasan…! harus kita lawan…!” “Yud bertahanlah“
“Aku tidak kuat lagi, sampaikan kepada Ayahku, menyerah dan cepat-cepat melakukan pengakuan dosa pada masyrakat yang ditindasnya.”“
Yud, bertahanlah…”
“Kawan-kawan lanjutkan perjuangan kita sampai ketidakadilan musnah di bumi ini”.
Bunga-bunga bertebaran dimana-mana seiring kepergian Yudi. Dan Aksi menjadi semakin besar
Malang, 2004
Sastra Kampus, Sastra Underground
Saut Situmorang
http://sautsitumorang.blogspot.com/
Dalam perbincangan tentang sastra Indonesia di dalam maupun di luar dunia akademis, terutama di media massa, kita akan selalu mendengar tentang beberapa jenis sastra dalam dunia sastra kita. Ada sastra koran, sastra majalah, sastra cyber(punk), sastra buku, sastra sufi, sastra pesantren, sastra buruh, bahkan akhir-akhir ini sastra Peranakan-Tionghoa, sastra eksil dan sastrawangi. Kalau bukan medium tempat karya sastra dipublikasikan, maka jenis manusia yang memproduksi karya merupakan kategori pembeda pada pemberian nama-nama sastra tersebut, dan nyaris tak ada definisi yang mampu diberikan sebagai bukti tentang karakter-khusus di luar kedua faktor di atas yang dimiliki jenis sastra tertentu yang akan membuatnya berbeda dari jenis sastra lainnya hingga layak mendapat kategori tertentu dimaksud. Walaupun begitu, perbincangan yang terjadi baik di kalangan sastrawan maupun “pengamat sastra” tersebut, sepanjang pengetahuan saya, selalu luput untuk juga membicarakan sebuah fenomena menarik yang eksistensinya sudah cukup lama ada dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa-sastrawan, atau apa yang saya sebut sebagai “sastra kampus” dalam esei saya ini.
Kalau kita membaca biodata para sastrawan Indonesia, baik di halaman khusus tentang itu di buku-buku para sastrawan tersebut maupun dalam buku-buku “leksikon/pintar” tentang sastra Indonesia, maka segera akan kita temukan bahwa tidak sedikit sastrawan Indonesia, khususnya sejak Angkatan 66, mulai serius mempublikasikan karya mereka waktu mereka masih berstatus mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka sudah terkenal semasa mereka masih mahasiswa. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair “Angkatan 66” berdasarkan sajak-sajak yang dikumpulkannya, bersama Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn. dan lain-lain, dalam antologi Manifestasi (1963) ?yang kemudian diterbitkan ulang sebagai antologi-tunggalnya Tirani (1966) dan Benteng (1966)? di masa dia dan Goenawan Mohamad masih berstatus mahasiswa. Goenawan Mohamad sendiri pada masa itu lebih terkenal sebagai eseis berdasarkan esei-esei sastranya yang mendapat Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1962 dan 1963). Banyak contoh lain yang bisa disebutkan terutama sejak periode 1980an.
Lantas, kenapa kita tidak pernah mendengar atau membaca pembicaraan tentang karya-karya sastra produk dunia kampus ini? Apakah kesan yang ditimbulkan oleh istilah “mahasiswa” telah membuat persepsi atas karya-karya mereka menjadi kurang begitu serius apalagi kalau dibandingkan dengan “sastra eksil” misalnya? Faktor keangkeran sebuah istilahkah yang membuat perbincangan atas istilah tertentu menjadi terasa lebih intelektual dan relevan, dan sebaliknya pada istilah lain, walau argumentasi yang disodorkan sebagai pembelaan atas penciptaan/pembicaraan atas istilah dimaksud tak lebih dan tak kurang cuma berkisar di antara kedua faktor medium publikasi dan jenis manusia penghasil produk karya belaka? Saya ambil contoh apa yang disebut sebagai “sastra eksil” Indonesia itu.
Sebuah buku bungarampai puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil diterbitkan oleh Amanah-Lontar (Jakarta) dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (Amsterdam) pada April 2002. Buku tersebut mengumpulkan sajak-sajak limabelas penyair dan diklaim oleh Asahan Alham, Ketua Dewan Redaksi buku, sebagai “sastra eksil Indonesia”. Buku tersebut secara umum bisa dikatakan sebagai satu-satunya buku yang terang-terangan mengklaim eksistensi dari apa yang disebut sebagai “sastra eksil” sebagai warga sastra Indonesia. Klaim eksistensial seperti ini, tentu saja, sah-sah saja untuk dibuat, asal ada produknya. Membaca kata pendahuluan yang ditulis oleh Asahan Alham untuk buku Di Negeri Orang tersebut ternyata tidak menjelaskan apa-apa tentang klaim eksistensialnya atas keberadaan “sastra eksil Indonesia” itu. Malah kata pendahuluannya itu terkesan cuma sebuah pleidoi editorial bernada rengekan untuk minta diakui kebenarannya. Asahan Alham misalnya belum apa-apa sudah menulis bahwa, “Kalau kita berpandangan bahwa sastra suatu bangsa adalah kekayaan bangsa itu sendiri, sudah tentu sastra eksil adalah juga sebagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena dianggap cacat tidak molek, tidak cerdas, cuma akan mempermalu diri sendiri.” Bagaimana kita yang ingin mengetahui apa itu “sastra eksil Indonesia” bisa tercerahkan dengan pernyataan seperti ini?! Bukankah, kalau saya tidak salah memahaminya, justru buku Di Negeri Orang itulah yang membuat klaim tentang adanya apa yang Dewan Redaksinya sebut sebagai “sastra eksil Indonesia” itu! “Sastra eksil Indonesia itu wujud dan akan ditulis oleh sejarah,” demikian asersi Asahan Alham, tanpa sedikitpun merasakan ironi dalam pernyataannya tersebut.
Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam kesempatan lain tentang topik yang sama, ketidakmampuan Dewan Redaksi Di Negeri Orang untuk memberikan pengertian definisi atas apa yang mereka klaim sebagai “sastra eksil Indonesia” itu telah menyebabkan terjadinya sebuah kekacauan editorial, yaitu absennya Sitor Situmorang dari daftar penyair “sastra eksil Indonesia” tanpa penjelasan apapun. Kalau definisi istilah “sastra eksil”, misalnya, dilihat dari faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing sebagai faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai “eksil” itu, di mana dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan baik oleh paksaan negara secara resmi maupun karena pilihan pribadi, maka Sitor Situmorang, dan Wing Kardjo, juga mesti dimasukkan sebagai penyair eksil Indonesia. Sajak-sajak yang mereka tulis dalam rantau di negeri orang yang cukup lama masanya itu (bahkan Wing Kardjo, seperti Agam Wispi, juga meninggal di dunia eksil) merupakan wajah lain dari dan sekaligus memperkaya sastra eksil Indonesia, ketimbang sekedar pada yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri karena perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.
Hubungan antara status sebagai “mahasiswa” dan sebagai “sastrawan” yang menjadi ciri-khas para penulis “sastra kampus” sebenarnya bisa menjadi sebuah isu penelitian yang menarik. Misalnya, adakah status sebagai “mahasiswa” perguruan tinggi di Indonesia itu membuat jenis karya yang dihasilkan cukup berbeda dari mainstream karya sastra Indonesia? Sebuah puisi, misalnya, yang ditulis oleh “mahasiswa” apakah mempunyai kecenderungan realis-sosial, lebih peduli pada apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya mungkin dikarenakan mahasiswa itu pada umumnya lebih idealis dibanding kelompok elite terpelajar lainnya? Kalau puisi yang ditulis “mahasiswa-sastrawan” memang cenderung bersifat realis-sosial, isu-isu apa saja yang merupakan isu dominannya? Korupsi, ketidakadilan sosial, kemiskinan? Dan bagaimanakah bentuk ekspresi yang dipilih dalam penulisannya: sajak protes, pamflet penyair, atau masih berbentuk puisi lirik yang masih mempedulikan fungsi bahasa metaforik ketimbang bahasa slogan?
Dari awal sejarahnya di awal abad 20 sampai awal abad 21 ini, sastra Indonesia bisa dikatakan secara umum merupakan sastra realis. Novel-novel yang ditulis oleh para “penulis Sumatera” yang kebanyakan berasal dari provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sangat kental dengan isu-isu lokal terutama dengan konflik antara tradisi dan modernitas. Novel Sitti Nurbaja Marah Roesli misalnya menjadi sangat terkenal justru karena menggambarkan kekalahan modernitas yang dibawa kolonialisme Belanda lewat dunia pendidikan yang diwakili oleh kematian tokoh-tokoh utama novel tersebut. Novel Atheis Achdiat K Mihardja yang merupakan novel pertama setelah Indonesia merdeka juga masih membela tradisi vis-Ã -vis modernitas. Kecenderungan memenangkan tradisi dalam konfliknya dengan modernitas yang dibawa kebudayaan Barat itu merupakan motif sangat dominan dalam realisme sastra Indonesia khususnya dalam novel dan mulai agak dilawan dalam novel-novel eksistensialis Iwan Simatupang dan terutama dalam karya puncak fiksi Indonesia yaitu Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.
Cerpen Indonesia juga penuh dengan konflik antara tradisi dan modernitas ini. Hanya di cerpen-cerpen berlatar Eropa Sitor Situmorang, cerpen-cerpen eksistensialis Iwan Simatupang, dan lagi-lagi dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer terjadi anomali dalam kesukaan sastrawan Indonesia membela tradisi budayanya.
Puisi Indonesia agak berbeda. Bisa dikatakan cuma puisi Indonesia dalam sastra Indonesia yang tidak membela tradisi dalam konflik tradisi-modernitas. Puisi Indonesia bahkan cenderung anti-tradisi baik dalam bentuk ekspresi maupun isinya. Kita misalnya melihat diperkenalkannya bentuk “Soneta” dari sastra Itali ke dalam sastra Indonesia oleh para penyair Pujangga Baru. Chairil Anwar memperkenalkan bentuk persajakan yang sangat bebas yang dalam sastra berbahasa Inggris akan disebut sebagai “Free Verse” dan merupakan bentuk sajak paling dominan dalam puisi lirik modern dunia. Terakhir Rendra memperkenalkan “Balada” yang juga berasal dari tradisi sastra berbahasa Inggris dimana narasi alur cerita merupakan unsur paling membedakannya dari tradisi puisi lirik yang dikembangkan Chairil Anwar, disamping bentuk orasi politik yang diberinya nama “Pamflet Penyair”.
Isi dari puisi Indonesia pun merefleksikan bentuknya yang berasal dari khazanah sastra Barat itu. Kecuali pada Amir Hamzah, puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru penuh dengan vitalitas modernitas Barat dan menjadi ajang ejekan atas kekolotan tradisi. Metafor seperti “meninggalkan laut yang tenang” dari S Takdir Alisjahbana, “Aku ini Binatang Jalang” Chairil, “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang, sampai “Abad yang berlari” dari Afrizal Malna menunjukkan betapa vitalitas modernitas merupakan benang merah dalam perpuisian Indonesia.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah motif konflik antara tradisi-modernitas ini masih bisa dilihat dalam karya para “sastrawan kampus” yang menjamur keberadaannya di Indonesia sejak kekalahan rejim Orde Baru di akhir abad 20 itu? Masih kuatkah arus realisme-sosial di karangan-karangan para intelektual muda Indonesia ini yang rata-rata hidup di dunia urban kita?
Kalau “mahasiswa-sastrawan” seperti S Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Taufiq Ismail, misalnya, menuliskan reaksi estetik mereka atas kondisi zamannya masing-masing, apakah para “mahasiswa-sastrawan” kontemporer juga merespon peristiwa-peristiwa kontemporer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat mereka? Atau mereka sudah menjadi anomali dalam sejarah realisme-sosial sastra Indonesia itu dan memilih menulis tentang hal-hal pribadi belaka karena persitiwa-peristiwa sosial besar semacam kolonialisme, kemerdekaan, konflik ideologi, sudah tidak lagi menjadi isu-isu intelektual penting bagi elite kampus kita? Kalau hal ini memang yang terjadi, lantas apakah artinya itu dalam konteks sejarah sastra kita yang usianya belum panjang itu? Kalau “mahasiswa-sastrawan” kontemporer sudah tidak tertarik lagi membicarakan isu-isu masyarakatnya yang pascakolonial dan Dunia Ketiga itu, apakah hal ini merupakan refleksi dari kecenderungan besar dalam sastra Indonesia secara umum?
Antologi pertanyaan seperti inilah yang harusnya kita ajukan waktu kita membaca karya “sastra(wan) kampus” agar jenis sastra yang sama uniknya dengan jenis-jenis sastra kita lainnya itu tidak hilang begitu saja dimakan rayap waktu walau sudah puluhan judul buku dari berbagai genre (puisi dan cerpen khususnya) dituliskan atas namanya. Sudah waktunya “sastra(wan) kampus” diangkat dari obskuritas identitasnya dan tidak lagi dianggap sebagai “sastra underground” alias sastra bawah tanah yang sengaja dilupakan. Ini juga akan sekaligus membantu mengurangi krisis kritik sastra yang sudah begitu lama menggerogoti sejarah sastra kita.
Jogjakarta, 2009
http://sautsitumorang.blogspot.com/
Dalam perbincangan tentang sastra Indonesia di dalam maupun di luar dunia akademis, terutama di media massa, kita akan selalu mendengar tentang beberapa jenis sastra dalam dunia sastra kita. Ada sastra koran, sastra majalah, sastra cyber(punk), sastra buku, sastra sufi, sastra pesantren, sastra buruh, bahkan akhir-akhir ini sastra Peranakan-Tionghoa, sastra eksil dan sastrawangi. Kalau bukan medium tempat karya sastra dipublikasikan, maka jenis manusia yang memproduksi karya merupakan kategori pembeda pada pemberian nama-nama sastra tersebut, dan nyaris tak ada definisi yang mampu diberikan sebagai bukti tentang karakter-khusus di luar kedua faktor di atas yang dimiliki jenis sastra tertentu yang akan membuatnya berbeda dari jenis sastra lainnya hingga layak mendapat kategori tertentu dimaksud. Walaupun begitu, perbincangan yang terjadi baik di kalangan sastrawan maupun “pengamat sastra” tersebut, sepanjang pengetahuan saya, selalu luput untuk juga membicarakan sebuah fenomena menarik yang eksistensinya sudah cukup lama ada dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa-sastrawan, atau apa yang saya sebut sebagai “sastra kampus” dalam esei saya ini.
Kalau kita membaca biodata para sastrawan Indonesia, baik di halaman khusus tentang itu di buku-buku para sastrawan tersebut maupun dalam buku-buku “leksikon/pintar” tentang sastra Indonesia, maka segera akan kita temukan bahwa tidak sedikit sastrawan Indonesia, khususnya sejak Angkatan 66, mulai serius mempublikasikan karya mereka waktu mereka masih berstatus mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka sudah terkenal semasa mereka masih mahasiswa. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair “Angkatan 66” berdasarkan sajak-sajak yang dikumpulkannya, bersama Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn. dan lain-lain, dalam antologi Manifestasi (1963) ?yang kemudian diterbitkan ulang sebagai antologi-tunggalnya Tirani (1966) dan Benteng (1966)? di masa dia dan Goenawan Mohamad masih berstatus mahasiswa. Goenawan Mohamad sendiri pada masa itu lebih terkenal sebagai eseis berdasarkan esei-esei sastranya yang mendapat Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1962 dan 1963). Banyak contoh lain yang bisa disebutkan terutama sejak periode 1980an.
Lantas, kenapa kita tidak pernah mendengar atau membaca pembicaraan tentang karya-karya sastra produk dunia kampus ini? Apakah kesan yang ditimbulkan oleh istilah “mahasiswa” telah membuat persepsi atas karya-karya mereka menjadi kurang begitu serius apalagi kalau dibandingkan dengan “sastra eksil” misalnya? Faktor keangkeran sebuah istilahkah yang membuat perbincangan atas istilah tertentu menjadi terasa lebih intelektual dan relevan, dan sebaliknya pada istilah lain, walau argumentasi yang disodorkan sebagai pembelaan atas penciptaan/pembicaraan atas istilah dimaksud tak lebih dan tak kurang cuma berkisar di antara kedua faktor medium publikasi dan jenis manusia penghasil produk karya belaka? Saya ambil contoh apa yang disebut sebagai “sastra eksil” Indonesia itu.
Sebuah buku bungarampai puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil diterbitkan oleh Amanah-Lontar (Jakarta) dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (Amsterdam) pada April 2002. Buku tersebut mengumpulkan sajak-sajak limabelas penyair dan diklaim oleh Asahan Alham, Ketua Dewan Redaksi buku, sebagai “sastra eksil Indonesia”. Buku tersebut secara umum bisa dikatakan sebagai satu-satunya buku yang terang-terangan mengklaim eksistensi dari apa yang disebut sebagai “sastra eksil” sebagai warga sastra Indonesia. Klaim eksistensial seperti ini, tentu saja, sah-sah saja untuk dibuat, asal ada produknya. Membaca kata pendahuluan yang ditulis oleh Asahan Alham untuk buku Di Negeri Orang tersebut ternyata tidak menjelaskan apa-apa tentang klaim eksistensialnya atas keberadaan “sastra eksil Indonesia” itu. Malah kata pendahuluannya itu terkesan cuma sebuah pleidoi editorial bernada rengekan untuk minta diakui kebenarannya. Asahan Alham misalnya belum apa-apa sudah menulis bahwa, “Kalau kita berpandangan bahwa sastra suatu bangsa adalah kekayaan bangsa itu sendiri, sudah tentu sastra eksil adalah juga sebagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena dianggap cacat tidak molek, tidak cerdas, cuma akan mempermalu diri sendiri.” Bagaimana kita yang ingin mengetahui apa itu “sastra eksil Indonesia” bisa tercerahkan dengan pernyataan seperti ini?! Bukankah, kalau saya tidak salah memahaminya, justru buku Di Negeri Orang itulah yang membuat klaim tentang adanya apa yang Dewan Redaksinya sebut sebagai “sastra eksil Indonesia” itu! “Sastra eksil Indonesia itu wujud dan akan ditulis oleh sejarah,” demikian asersi Asahan Alham, tanpa sedikitpun merasakan ironi dalam pernyataannya tersebut.
Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam kesempatan lain tentang topik yang sama, ketidakmampuan Dewan Redaksi Di Negeri Orang untuk memberikan pengertian definisi atas apa yang mereka klaim sebagai “sastra eksil Indonesia” itu telah menyebabkan terjadinya sebuah kekacauan editorial, yaitu absennya Sitor Situmorang dari daftar penyair “sastra eksil Indonesia” tanpa penjelasan apapun. Kalau definisi istilah “sastra eksil”, misalnya, dilihat dari faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing sebagai faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai “eksil” itu, di mana dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan baik oleh paksaan negara secara resmi maupun karena pilihan pribadi, maka Sitor Situmorang, dan Wing Kardjo, juga mesti dimasukkan sebagai penyair eksil Indonesia. Sajak-sajak yang mereka tulis dalam rantau di negeri orang yang cukup lama masanya itu (bahkan Wing Kardjo, seperti Agam Wispi, juga meninggal di dunia eksil) merupakan wajah lain dari dan sekaligus memperkaya sastra eksil Indonesia, ketimbang sekedar pada yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri karena perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.
Hubungan antara status sebagai “mahasiswa” dan sebagai “sastrawan” yang menjadi ciri-khas para penulis “sastra kampus” sebenarnya bisa menjadi sebuah isu penelitian yang menarik. Misalnya, adakah status sebagai “mahasiswa” perguruan tinggi di Indonesia itu membuat jenis karya yang dihasilkan cukup berbeda dari mainstream karya sastra Indonesia? Sebuah puisi, misalnya, yang ditulis oleh “mahasiswa” apakah mempunyai kecenderungan realis-sosial, lebih peduli pada apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya mungkin dikarenakan mahasiswa itu pada umumnya lebih idealis dibanding kelompok elite terpelajar lainnya? Kalau puisi yang ditulis “mahasiswa-sastrawan” memang cenderung bersifat realis-sosial, isu-isu apa saja yang merupakan isu dominannya? Korupsi, ketidakadilan sosial, kemiskinan? Dan bagaimanakah bentuk ekspresi yang dipilih dalam penulisannya: sajak protes, pamflet penyair, atau masih berbentuk puisi lirik yang masih mempedulikan fungsi bahasa metaforik ketimbang bahasa slogan?
Dari awal sejarahnya di awal abad 20 sampai awal abad 21 ini, sastra Indonesia bisa dikatakan secara umum merupakan sastra realis. Novel-novel yang ditulis oleh para “penulis Sumatera” yang kebanyakan berasal dari provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sangat kental dengan isu-isu lokal terutama dengan konflik antara tradisi dan modernitas. Novel Sitti Nurbaja Marah Roesli misalnya menjadi sangat terkenal justru karena menggambarkan kekalahan modernitas yang dibawa kolonialisme Belanda lewat dunia pendidikan yang diwakili oleh kematian tokoh-tokoh utama novel tersebut. Novel Atheis Achdiat K Mihardja yang merupakan novel pertama setelah Indonesia merdeka juga masih membela tradisi vis-Ã -vis modernitas. Kecenderungan memenangkan tradisi dalam konfliknya dengan modernitas yang dibawa kebudayaan Barat itu merupakan motif sangat dominan dalam realisme sastra Indonesia khususnya dalam novel dan mulai agak dilawan dalam novel-novel eksistensialis Iwan Simatupang dan terutama dalam karya puncak fiksi Indonesia yaitu Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.
Cerpen Indonesia juga penuh dengan konflik antara tradisi dan modernitas ini. Hanya di cerpen-cerpen berlatar Eropa Sitor Situmorang, cerpen-cerpen eksistensialis Iwan Simatupang, dan lagi-lagi dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer terjadi anomali dalam kesukaan sastrawan Indonesia membela tradisi budayanya.
Puisi Indonesia agak berbeda. Bisa dikatakan cuma puisi Indonesia dalam sastra Indonesia yang tidak membela tradisi dalam konflik tradisi-modernitas. Puisi Indonesia bahkan cenderung anti-tradisi baik dalam bentuk ekspresi maupun isinya. Kita misalnya melihat diperkenalkannya bentuk “Soneta” dari sastra Itali ke dalam sastra Indonesia oleh para penyair Pujangga Baru. Chairil Anwar memperkenalkan bentuk persajakan yang sangat bebas yang dalam sastra berbahasa Inggris akan disebut sebagai “Free Verse” dan merupakan bentuk sajak paling dominan dalam puisi lirik modern dunia. Terakhir Rendra memperkenalkan “Balada” yang juga berasal dari tradisi sastra berbahasa Inggris dimana narasi alur cerita merupakan unsur paling membedakannya dari tradisi puisi lirik yang dikembangkan Chairil Anwar, disamping bentuk orasi politik yang diberinya nama “Pamflet Penyair”.
Isi dari puisi Indonesia pun merefleksikan bentuknya yang berasal dari khazanah sastra Barat itu. Kecuali pada Amir Hamzah, puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru penuh dengan vitalitas modernitas Barat dan menjadi ajang ejekan atas kekolotan tradisi. Metafor seperti “meninggalkan laut yang tenang” dari S Takdir Alisjahbana, “Aku ini Binatang Jalang” Chairil, “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang, sampai “Abad yang berlari” dari Afrizal Malna menunjukkan betapa vitalitas modernitas merupakan benang merah dalam perpuisian Indonesia.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah motif konflik antara tradisi-modernitas ini masih bisa dilihat dalam karya para “sastrawan kampus” yang menjamur keberadaannya di Indonesia sejak kekalahan rejim Orde Baru di akhir abad 20 itu? Masih kuatkah arus realisme-sosial di karangan-karangan para intelektual muda Indonesia ini yang rata-rata hidup di dunia urban kita?
Kalau “mahasiswa-sastrawan” seperti S Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Taufiq Ismail, misalnya, menuliskan reaksi estetik mereka atas kondisi zamannya masing-masing, apakah para “mahasiswa-sastrawan” kontemporer juga merespon peristiwa-peristiwa kontemporer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat mereka? Atau mereka sudah menjadi anomali dalam sejarah realisme-sosial sastra Indonesia itu dan memilih menulis tentang hal-hal pribadi belaka karena persitiwa-peristiwa sosial besar semacam kolonialisme, kemerdekaan, konflik ideologi, sudah tidak lagi menjadi isu-isu intelektual penting bagi elite kampus kita? Kalau hal ini memang yang terjadi, lantas apakah artinya itu dalam konteks sejarah sastra kita yang usianya belum panjang itu? Kalau “mahasiswa-sastrawan” kontemporer sudah tidak tertarik lagi membicarakan isu-isu masyarakatnya yang pascakolonial dan Dunia Ketiga itu, apakah hal ini merupakan refleksi dari kecenderungan besar dalam sastra Indonesia secara umum?
Antologi pertanyaan seperti inilah yang harusnya kita ajukan waktu kita membaca karya “sastra(wan) kampus” agar jenis sastra yang sama uniknya dengan jenis-jenis sastra kita lainnya itu tidak hilang begitu saja dimakan rayap waktu walau sudah puluhan judul buku dari berbagai genre (puisi dan cerpen khususnya) dituliskan atas namanya. Sudah waktunya “sastra(wan) kampus” diangkat dari obskuritas identitasnya dan tidak lagi dianggap sebagai “sastra underground” alias sastra bawah tanah yang sengaja dilupakan. Ini juga akan sekaligus membantu mengurangi krisis kritik sastra yang sudah begitu lama menggerogoti sejarah sastra kita.
Jogjakarta, 2009
Kemerdekaan di Tengah Kemiskinan
Catatan Pentas Monolog ”Merdeka” Putu Wijaya
Ribut Wijoto*
http://www.jawapos.com/
Dengan sedikit tertatih, Putu Wijaya memasuki panggung dengan memanggul kursi. Ia lontarkan beberapa sindiran. ”Umur saya telah seratus tahun. Tapi saya masih kuat. Itu karena saya tidak memiliki apa-apa. Saya hanya memiliki satu kursi. Saya tak pernah korupsi.”
Di atas panggung sisi kiri, ada tiang berbendera merah putih. Ditancapkan sedikit miring. Di sisi kanan, dua buah sapu lidi berdiri tegak. Dan tepat di atas panggung, tergantung sangkar. Isinya bukan burung, tetapi kantong plastik tepung. Putu lantas meletakkan kursi tepat di bawah sangkar.
”Cucu saya, yang masih SD, bertanya. Kek, apakah kita telah merdeka? Tentu saya heran, ini anak SD apa kerasukan setan. Tiba-tiba mempertanyakan kemerdekaan,” ujarnya setengah melompat ke belakang.
Adegan bermuatan sindiran tersebut mengawali pentas monolog Putu Wijaya di Gedung Serbaguna Unair, Rabu (19/11) malam. Pendiri Teater Mandiri itu kemudian memerankan dialog seorang kakek dengan cucunya. Sebuah dialog yang janggal.
Mengapa janggal? Ini terkait dengan logika tekstual. Seorang bocah SD, apalagi zaman sekarang, mempertanyakan kemerdekaan adalah sesuatu yang tidak lazim. Tidak logis. Terlebih, si cucu itu memaparkan makna kemerdekaan di tengah situasi politik yang tak jelas. Kemerdekaan dikontraskan dengan kemiskinan yang mendominasi kondisi rakyat Indonesia. ”Benarkah kita telah merdeka, Kek. Padahal kemiskinan kian merajalela.”
Si anak terlalu cerdas untuk ukuran kewajaran. Pertanyaan maupun pendapat seperti itu lebih layak keluar dari mulut mahasiswa. Setidaknya mulut pelajar SMA yang memiliki perhatian pada wacana nasionalisme. Seliar apa pun, tidak mungkin keluar dari mulut atau pikiran siswa SD.
Pembukaan dialog yang dimainkan Putu terkesan klise. Tanpa dasar. Dan, selebihnya omong kosong. Putu gagal menurunkan pemikirannya ke dalam tataran praktis. Padahal, lelaki kelahiran Tabanan Bali, 11 April 1944, itu tampaknya hendak mengungkapkan makna kemerdekaan melalui dialog keseharian dalam keluarga. Obrolan ringan yang memiliki makna mendalam.
Tapi, memang, kegagalan serupa kerap menghampiri tradisi tekstual di Indonesia. Itu seperti kefatalan yang menimpa tubuh teks Pengakuan Pariyem karya mendiang Linus Suryadi A.G. Prosa liris yang memaparkan dunia batin seorang babu kraton bernama Pariyem. Mana ada seorang babu mampu menguraikan pemikiran Jawa secara detail dan sublim. Merepresentasikan filosofi kehidupan secara mendalam, babu karangan Linus terlalu cerdas. Ia lebih mungkin sebagai mahasiswa filsafat daripada seorang babu, meskipun ia hidup di lingkungan kraton.
Bandingkan dengan penokohan yang digarap Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah. Sang tokoh diberi identitas gelandangan. Namun sebelumnya, dia adalah bekas pejuang. Dia juga mantan siswa seminari yang gagal menjadi pastor. Sang tokoh mengelandang bukan karena tertimpa kemiskinan. Tetapi memang itulah pilihan hidupnya. Dia hendak mencari kebebasan.
Bersandar dari identitas tersebut, sang tokoh menjadi logis ketika memaparkan berbagai persoalan filsafat, nasionalisme, maupun teologi. Artinya, ada kesesuaian antara latar belakang tokoh dengan pembicaraan yang dilontarkan. Hasilnya adalah keutuhan penokohan. Tokoh berbicara sesuai dengan kapasitasnya.
Pada monolog Putu, kegagalan membangun logika tekstual itu diperparah dengan paparan-paparan sang kakek terhadap cucunya. Bagi ukuran keseharian, jawaban-jawaban sang kakek lebih mirip kuliah dosen mata kuliah Kewiraan di hadapan mahasiswa. Bayangkan saja, si kakek dengan penuh semangat mendeskripsikan kebobrokan yang melanda birokrasi Indonesia. Membedah beragam efek ketimpangan sosial. Mengolok-olok sikap pemerintah yang tidak menghargai pahlawan. Dan, oleh pertanyaan si cucu, sang kakek seperti tersadarkan bahwa Indonesia belum layak dianggap merdeka.
Ini sungguh tidak masuk akal. Bahkan, tokoh kritis sekelas Arif Budiman pun tidak akan melakukan hal konyol seperti dalam pentas Putu Wijaya. Untungnya, logika tekstual bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan sebuah pentas monolog. Ada aspek-aspek lain yang turut signifikan. Putu Wijaya memang gagal mengembangkan logika tekstual. Tapi, perlu banyak catatan, tokoh teater yang pernah 7 bulan berkeliling pelosok Jepang untuk bermain drama ini sukses menyuguhkan drama komikal yang menghipnotis pengunjung. Selama satu jam, pengunjung tak lepas dari sajian panggung Putu.
Putu Wijaya berhasil mengatur ritme emosi dan simpati penonton. Pada kriterium ini, Putu memamerkan kapasitasnya sebagai dramawan tangguh. Di usianya yang telah 64 tahun, Putu mampu memainkan monolog secara stabil. Staminanya tak pernah kendur. Mulai tengah babak, suara Putu memang terdengar serak. Tapi, suara serak itu tertutupi oleh olah vokalnya yang prima.
Putu kadang bersuara lirih. Kadang datar. Berteriak. Kadang malah berteriak lantang dengan ritme cepat. Apakah ada dramawan setangguh dia di Jawa Timur? Bisa jadi tak ada.
Putu juga melompat. Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kayu. Berlarian. Merentangkan tangan lebar-lebar. Kesemuanya dalam porsi yang tepat. Kesemuanya memperlihatkan ketangguhan seorang aktor kawakan. Menghasilkan artistik yang terukur. Terencana. Dan, selebihnya menghipnotis. Sama sekali tidak terlihat ia letih atau kedodoran.
Kesederhanaan properti di atas panggung mampu diisi dengan mobilitas pemeranan. Bloking yang mengisi seluruh ruang. Bahkan, pada bebeberapa momen, Putu turun dari panggung. Membawakan dialognya dekat dengan penonton terdepan. Putu tiba-tiba juga menubruk kain belakang panggung hingga menimbulkan kesan terjatuh. Saat-saat tertentu, Putu berdiri tegak di atas kursi. Pada saat yang lain, Putu melemparkan kursi ke udara. Pada batasan tertentu, Putu memang jagoan di ranah monolog.
Segala properti menjadi tidak sia-sia. Eksplorasi Putu melibatkan seluruh benda yang ada di atas panggung. Dia bergerak ke kiri untuk menciumi bendera, menarik-nariknya, mengibas-kibaskannya. Sekejap, dia berlari berlutut dan bersujud di lantai. Secara apik pula, dia juga mengekplorasi tongkat, sapu lidi, sangkar, dan kursi. Di bagian akhir adegan, Putu memukul-mukul sangkar dengan tongkat. Hingga sangkar tercerai berai. Berhamburan. Dan, kesemuanya menghasilkan efek artistik yang manis.
Dramawan yang juga menghasilkan lusinan cerpen, beberapa novel, naskah drama, dan rajin menulis ulasan seni pertunjukan ini juga berhasil membangun komunikasi interaktif dengan penonton. Beberapa kali dia melontarkan dialog yang seakan-akan improvisasi. Semisal memarahi bagian properti yang mengepulkan asap ke panggung. ”Asapnya jangan sampai terlambat, saya potong honor kamu nanti,” katanya.
Dia juga menegur bagian properti yang tidak segera menurunkan dan menaikkan tali sangkar. ”Ini akibatnya kalau latihan hanya dua hari. Telat terus,” ujarnya. Mendengar komentar Putu, tak ayal, penonton pun terbahak.
Tak berhenti sampai di situ. Putu beberapa kali juga menyapa penonton. Bahkan mengajak penonton menirukan suara burung perkutut. Oleh sebab sajian Putu yang menghipnotis, penonton pun serempak menirukan suara perkutut. Berkali-kali.
Hasilnya, hubungan antara panggung dengan penonton menjadi cair. Berbagai kritik sosial yang dilontarkan Putu bisa diterima penonton tanpa perlu mengerutkan dahi. Kritik sosial Putu memang dikemas dan diperankan secara komedian. Menuntun penonton untuk tertawa. Semisal, tiba-tiba Putu berceletuk. ”Asap jangan dikeluarkan terlalu banyak. Harus dihemat. BBM mahal,” ujar Putu kepada bagian properti panggung.
Begitulah Putu Wijaya, sang dramawan yang tak henti berkarya. Tak mau tinggal diam melihat beragam ketimpangan sosial. Melihat kemacetan kinerja birokrasi. Melihat makna kemerdekaan yang terus dipangkas. Menyaksikan kemiskinan kian merajalela. Pemerintah yang tak bisa menyelesaikan persoalan kenegaraan. Justru sebaliknya, pemerintah kerap kali justru bertindak blunder dengan kebijakan-kebijakan non-progresif.
Tapi, apakah Putu Wijaya memberi solusi atas berbagai persoalan yang dia ungkap? Tidak. Putu sebatas memaparkan persoalan-persoalan di negeri Merah Putih ini. Dia hanya memakai ketimpangan sosial untuk menggambarkan kegalauan hati seorang kakek yang pernah berjuang memerdekakan negerinya. (*)
*) Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Surabaya dan Komunitas Teater Gapus Surabaya.
Ribut Wijoto*
http://www.jawapos.com/
Dengan sedikit tertatih, Putu Wijaya memasuki panggung dengan memanggul kursi. Ia lontarkan beberapa sindiran. ”Umur saya telah seratus tahun. Tapi saya masih kuat. Itu karena saya tidak memiliki apa-apa. Saya hanya memiliki satu kursi. Saya tak pernah korupsi.”
Di atas panggung sisi kiri, ada tiang berbendera merah putih. Ditancapkan sedikit miring. Di sisi kanan, dua buah sapu lidi berdiri tegak. Dan tepat di atas panggung, tergantung sangkar. Isinya bukan burung, tetapi kantong plastik tepung. Putu lantas meletakkan kursi tepat di bawah sangkar.
”Cucu saya, yang masih SD, bertanya. Kek, apakah kita telah merdeka? Tentu saya heran, ini anak SD apa kerasukan setan. Tiba-tiba mempertanyakan kemerdekaan,” ujarnya setengah melompat ke belakang.
Adegan bermuatan sindiran tersebut mengawali pentas monolog Putu Wijaya di Gedung Serbaguna Unair, Rabu (19/11) malam. Pendiri Teater Mandiri itu kemudian memerankan dialog seorang kakek dengan cucunya. Sebuah dialog yang janggal.
Mengapa janggal? Ini terkait dengan logika tekstual. Seorang bocah SD, apalagi zaman sekarang, mempertanyakan kemerdekaan adalah sesuatu yang tidak lazim. Tidak logis. Terlebih, si cucu itu memaparkan makna kemerdekaan di tengah situasi politik yang tak jelas. Kemerdekaan dikontraskan dengan kemiskinan yang mendominasi kondisi rakyat Indonesia. ”Benarkah kita telah merdeka, Kek. Padahal kemiskinan kian merajalela.”
Si anak terlalu cerdas untuk ukuran kewajaran. Pertanyaan maupun pendapat seperti itu lebih layak keluar dari mulut mahasiswa. Setidaknya mulut pelajar SMA yang memiliki perhatian pada wacana nasionalisme. Seliar apa pun, tidak mungkin keluar dari mulut atau pikiran siswa SD.
Pembukaan dialog yang dimainkan Putu terkesan klise. Tanpa dasar. Dan, selebihnya omong kosong. Putu gagal menurunkan pemikirannya ke dalam tataran praktis. Padahal, lelaki kelahiran Tabanan Bali, 11 April 1944, itu tampaknya hendak mengungkapkan makna kemerdekaan melalui dialog keseharian dalam keluarga. Obrolan ringan yang memiliki makna mendalam.
Tapi, memang, kegagalan serupa kerap menghampiri tradisi tekstual di Indonesia. Itu seperti kefatalan yang menimpa tubuh teks Pengakuan Pariyem karya mendiang Linus Suryadi A.G. Prosa liris yang memaparkan dunia batin seorang babu kraton bernama Pariyem. Mana ada seorang babu mampu menguraikan pemikiran Jawa secara detail dan sublim. Merepresentasikan filosofi kehidupan secara mendalam, babu karangan Linus terlalu cerdas. Ia lebih mungkin sebagai mahasiswa filsafat daripada seorang babu, meskipun ia hidup di lingkungan kraton.
Bandingkan dengan penokohan yang digarap Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah. Sang tokoh diberi identitas gelandangan. Namun sebelumnya, dia adalah bekas pejuang. Dia juga mantan siswa seminari yang gagal menjadi pastor. Sang tokoh mengelandang bukan karena tertimpa kemiskinan. Tetapi memang itulah pilihan hidupnya. Dia hendak mencari kebebasan.
Bersandar dari identitas tersebut, sang tokoh menjadi logis ketika memaparkan berbagai persoalan filsafat, nasionalisme, maupun teologi. Artinya, ada kesesuaian antara latar belakang tokoh dengan pembicaraan yang dilontarkan. Hasilnya adalah keutuhan penokohan. Tokoh berbicara sesuai dengan kapasitasnya.
Pada monolog Putu, kegagalan membangun logika tekstual itu diperparah dengan paparan-paparan sang kakek terhadap cucunya. Bagi ukuran keseharian, jawaban-jawaban sang kakek lebih mirip kuliah dosen mata kuliah Kewiraan di hadapan mahasiswa. Bayangkan saja, si kakek dengan penuh semangat mendeskripsikan kebobrokan yang melanda birokrasi Indonesia. Membedah beragam efek ketimpangan sosial. Mengolok-olok sikap pemerintah yang tidak menghargai pahlawan. Dan, oleh pertanyaan si cucu, sang kakek seperti tersadarkan bahwa Indonesia belum layak dianggap merdeka.
Ini sungguh tidak masuk akal. Bahkan, tokoh kritis sekelas Arif Budiman pun tidak akan melakukan hal konyol seperti dalam pentas Putu Wijaya. Untungnya, logika tekstual bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan sebuah pentas monolog. Ada aspek-aspek lain yang turut signifikan. Putu Wijaya memang gagal mengembangkan logika tekstual. Tapi, perlu banyak catatan, tokoh teater yang pernah 7 bulan berkeliling pelosok Jepang untuk bermain drama ini sukses menyuguhkan drama komikal yang menghipnotis pengunjung. Selama satu jam, pengunjung tak lepas dari sajian panggung Putu.
Putu Wijaya berhasil mengatur ritme emosi dan simpati penonton. Pada kriterium ini, Putu memamerkan kapasitasnya sebagai dramawan tangguh. Di usianya yang telah 64 tahun, Putu mampu memainkan monolog secara stabil. Staminanya tak pernah kendur. Mulai tengah babak, suara Putu memang terdengar serak. Tapi, suara serak itu tertutupi oleh olah vokalnya yang prima.
Putu kadang bersuara lirih. Kadang datar. Berteriak. Kadang malah berteriak lantang dengan ritme cepat. Apakah ada dramawan setangguh dia di Jawa Timur? Bisa jadi tak ada.
Putu juga melompat. Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kayu. Berlarian. Merentangkan tangan lebar-lebar. Kesemuanya dalam porsi yang tepat. Kesemuanya memperlihatkan ketangguhan seorang aktor kawakan. Menghasilkan artistik yang terukur. Terencana. Dan, selebihnya menghipnotis. Sama sekali tidak terlihat ia letih atau kedodoran.
Kesederhanaan properti di atas panggung mampu diisi dengan mobilitas pemeranan. Bloking yang mengisi seluruh ruang. Bahkan, pada bebeberapa momen, Putu turun dari panggung. Membawakan dialognya dekat dengan penonton terdepan. Putu tiba-tiba juga menubruk kain belakang panggung hingga menimbulkan kesan terjatuh. Saat-saat tertentu, Putu berdiri tegak di atas kursi. Pada saat yang lain, Putu melemparkan kursi ke udara. Pada batasan tertentu, Putu memang jagoan di ranah monolog.
Segala properti menjadi tidak sia-sia. Eksplorasi Putu melibatkan seluruh benda yang ada di atas panggung. Dia bergerak ke kiri untuk menciumi bendera, menarik-nariknya, mengibas-kibaskannya. Sekejap, dia berlari berlutut dan bersujud di lantai. Secara apik pula, dia juga mengekplorasi tongkat, sapu lidi, sangkar, dan kursi. Di bagian akhir adegan, Putu memukul-mukul sangkar dengan tongkat. Hingga sangkar tercerai berai. Berhamburan. Dan, kesemuanya menghasilkan efek artistik yang manis.
Dramawan yang juga menghasilkan lusinan cerpen, beberapa novel, naskah drama, dan rajin menulis ulasan seni pertunjukan ini juga berhasil membangun komunikasi interaktif dengan penonton. Beberapa kali dia melontarkan dialog yang seakan-akan improvisasi. Semisal memarahi bagian properti yang mengepulkan asap ke panggung. ”Asapnya jangan sampai terlambat, saya potong honor kamu nanti,” katanya.
Dia juga menegur bagian properti yang tidak segera menurunkan dan menaikkan tali sangkar. ”Ini akibatnya kalau latihan hanya dua hari. Telat terus,” ujarnya. Mendengar komentar Putu, tak ayal, penonton pun terbahak.
Tak berhenti sampai di situ. Putu beberapa kali juga menyapa penonton. Bahkan mengajak penonton menirukan suara burung perkutut. Oleh sebab sajian Putu yang menghipnotis, penonton pun serempak menirukan suara perkutut. Berkali-kali.
Hasilnya, hubungan antara panggung dengan penonton menjadi cair. Berbagai kritik sosial yang dilontarkan Putu bisa diterima penonton tanpa perlu mengerutkan dahi. Kritik sosial Putu memang dikemas dan diperankan secara komedian. Menuntun penonton untuk tertawa. Semisal, tiba-tiba Putu berceletuk. ”Asap jangan dikeluarkan terlalu banyak. Harus dihemat. BBM mahal,” ujar Putu kepada bagian properti panggung.
Begitulah Putu Wijaya, sang dramawan yang tak henti berkarya. Tak mau tinggal diam melihat beragam ketimpangan sosial. Melihat kemacetan kinerja birokrasi. Melihat makna kemerdekaan yang terus dipangkas. Menyaksikan kemiskinan kian merajalela. Pemerintah yang tak bisa menyelesaikan persoalan kenegaraan. Justru sebaliknya, pemerintah kerap kali justru bertindak blunder dengan kebijakan-kebijakan non-progresif.
Tapi, apakah Putu Wijaya memberi solusi atas berbagai persoalan yang dia ungkap? Tidak. Putu sebatas memaparkan persoalan-persoalan di negeri Merah Putih ini. Dia hanya memakai ketimpangan sosial untuk menggambarkan kegalauan hati seorang kakek yang pernah berjuang memerdekakan negerinya. (*)
*) Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Surabaya dan Komunitas Teater Gapus Surabaya.
SUDAMALA, SENI, DAN BEDA: KE ARAH TAFSIR LAIN TENTANG KEINDAHAN
Goenawan Mohamad
http://terpelanting.wordpress.com
Sebentar lagi kita akan menyaksikan sebuah pertunjukan Slamet Gundono, yang kebetulan pernah saya tonton beberapa waktu yang lalu: Sudamala, atau Uma, Nyanyi Sendon Keloloran.
Dalam kesempatan ini, saya akan bertolak dari lakon itu untuk membicarakan setidaknya dua anggapan, atau salah anggapan, yang dewasa ini acap kita jumpai ketika orang berbicara tentang kesenian. Pada hemat saya, diskusi mengenai hal itu penting sekarang. Kita hidup di sebuah masa yang ditandai oleh tuntutan yang berlebihan kepada manusia – baik melalui kekuatan dalam pasar, maupun kekuatan dalam masyarakat, yang makin mengasingkan dunia kehidupan dari kesempatan untuk bebas, mengalir, dan berbeda.
Dalam kondisi itu, kesenian adalah bagian dari dunia kehidupan yang masih vital, betapapun terkucil. Tak mengherankan bahwa ketiga anggapan yang akan saya uraiakan ini sangat kuat berakar.
Pertama, kesenian umumnya serta merta dikaitkan dengan keindahan, tanpa orang berpikir bagaimana keindahan lahir, siapa yang menentukan “indah” atau “tak indah”, mengapa satu ekspresi kesenian sebuah masa tak jarang ditampik oleh ekspresi kesenian dari masa sesudahnya, mengapa ada generasi baru yang menafikan generasi seni sebelumnya, walaupun tetap ada karya-karya seni yang tak henti-hentinya memberikan makna baru. Dengan kata lain, benarkah keindahan adalah sesuatu yang begitu penting, dan benarkah ia sesuatu yang universal?
Kedua, kesenian umumnya dikaitkan dengan “kebenaran”, tetapi hampir tak pernah kita persoalkan bagaimana kebenaran lahir dalam karya seni, dan benarkah (serta mungkinkah) ada pegangan yang sudah siap tentang “kebenaran” itu? Tidakkah “kebenaran” ditentukan oleh mekanisme kekuatan atau kekuasaan yang berada di balik wacana kebenaran itu? Juga, bagaimana ia, yang lahir dari konteks tertentu dan masalah tertentu, bisa akan bersifat universal?
Malam ini saya akan menyinggung – meskipun mungkin tak akan membahasnya sampai tuntas – dua persoalan di atas, seraya memberi pengantar sedikit tentang apa yang akan disajikan Slamet Gundono dengan lakonnya. Tentu saja saya berharap, saya tak akan membuat anda semua kehilangan nikmatnya kejutan ketika lakon Sudamala itu disajikan nanti.
***
Sebagaimana kita baca dari lembaran program, kali ini Slamet Gundono menyebut teaternya kali ini “wayang lindur”. Kita ingat Slamet sebelumnya pernah mementaskan “wayang suket” dan “wayang air” di samping kadang-kadang ia menjadi dalang “wayang kulit” atau “wayang purwa.”
Kita bisa saja bertanya apa arti “wayang” dan apa pula arti “wayang lindur”; kita mungkin akan memperoleh jawab. Tapi saya tidak yakin, perlu benarkah jawab itu bagi seseorang untuk menikmati pertunjukan ini. Slamet Gundono justru menunjukkan, bahwa seni tidak dimulai dari definisi dan taksonomi. Pengalaman artistik, ketika menikmati sebuah karya seni, adalah momen ketika kita masuk ke dalam pengalaman yang mengalir, ibarat turun ke sebuah sungai yang tak kita ketahui apa namanya, tak kita ketahui di mana pula hilir dan hulunya. Sungai adalah air — tapi tak hanya air — yang bergerak tak henti-hentinya, menampung rakit dan jukung, melindungi ikan dan ular, dalam perubahan cuaca dan saat.
Menikmati pertunjukan ini adalah menikmati gerak yang yang tak henti-henti melintasi identitas itu. Di sini, batasan makna hanyut. Pakem dipakai sebagai dasar, tetapi sekaligus diterjang. Seperti dapat kita baca dari sinopsisnya, lakon ini berangkat dari satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, atau Batara Guru, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Parvati, atau Durga. Tapi apabila dalam kisah yang kita temukan di India (dan juga Bali) Uma atau Parvati adalah tokoh perempuan yang mencintai dan mengabdi, dalam Sudamala Slamet Gundono, Uma adalah isteri yang tak setia, atau, menurut sinopsis, “tak pernah tunggal memahami cinta.”. Dan bila menurut “pakem” Syiwa adalah sosok yang perkasa karena ia dewa, dalam kisah Gundono tokoh ini sempat dirundung bimbang dan kesedihan.
Pada saat yang sama, Slamet Gundon menampilkan ki dalang sebagai wayang: dia, ki dalang, juga sekaligus Manikmaya. Sejumlah aktor yang juga pemain gamelan bermain bersama satu atau dua helai wayang dari kulit. Seorang penari perempuan dalam kostum seorang nyonya muda kota besar juga hadir sebagai Uma, yang berjalan dari lantai ke lantai di sebuah mall. Seorang aktor perempuan yang juga menembang dan menari berlaku sebagai lawan dialog yang menentang Manikmaya. Dan di bagian depan pentas yang bersahaja, seorang tukang batu sedang membuat tembok. Kita kemudian akan tahu tembok itu tak akan pernah selesai.
Yang juga tak lazim adalah latar dan tempat dan perpindahan yang tak disangka-sangka dari satu lokasi ke lokasi lain. Gundono bahkan memasang ceritanya berdampingan dengan cerita lain, tentang pertemuan antara sang “aku” dengan seorang biksu pelarian dari Tibet di tepi sebuah jalan di Berlin. Tak ada alur yang urut, dan tak akan terdengar “pesan moral” yang lazim kita dapatkan dalam pertunjukan wayang.
Yang kita saksikan adalah loncatan-loncatan ruang dan waktu, pembauran antara benda sehari-hari dan elemen-elemen fantasi. Yang melankoli berselang seling dengan yang lucu, dialog bahasa Tegal bersilang dengan bahasa Indramayu. Tapi kita akan mengikutinya dengan asyik, bukan sebagai satu karya banyolan, melainkan sesuatu yang mengisyaratkan kehidupan manusia yang tak satu segi, dan di antara itu kita juga dapat merasakan saat-saat yang menyentuh hati.
Bagi saya, yang menakjubkan bukanlah campur aduk yang tak terduga-duga itu. Yang menakjubkan ialah bahwa semua itu mendekatkan kita kepada khaos, kepada “kekacauan,” tanpa kita menampiknya.Bahkan kita menerimanya dehgan asyik. Serta merta, di hadapan lakon ini, kita seakan-akan kena pesona untuk menanggalkan obsesi kita yang mendahulukan ketertiban. Mereka yang mau serba tertib akan kehilangan sesuatu yang berharga dari lakon ini.
***
Mungkin demikianlah umumnya yang terjadi dalam pertemuan kita dengan sebuah karya seni – terutama bentuk-bentuk kesenian yang tak mengikuti semangat klasik. Di hadapan karya Gundono, sebagaimana di hadapan kanvas Affandi, kita tak bisa memuja garis batas yang serba rapi. Kita mau tak mau akan terbawa oleh pesona arus yang mengalir dan bergejolak dalam sebuah situasi artistik. Situasi kesenian, kata pemikir Prancis Alain Badiou, “menyarankan kepada kita satu hubungan antara kecenderungan (disposition) khaotik dari sensibibitas, dengan apa yang dapat diterima sebagai sebuah bentuk.”
Dengan kata lain, tiap situasi artistik berada dalam ketegangan antara “kecenderungan khaotik dari sensibilitas” di satu sisi, dan bayang-bayang “sebuah bentuk” di sisi lain.
Persoalannya tentu, kenapa “khaotik”? Kenapa “kekacauan” adalah bagian dari sebuah proses kreatif? Untuk menjelaskannya, saya akan melanjutkan memakai argumentasi Badiou.
Sebuah karya seni bermula dengan apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” (atau l’événement). “Kejadian” itu cuma berlangsung sekilas; dalam pengalaman estetik, kita misalnya tersentak di saat kita, pada sebuah malam yang jarang, menyaksikan bulan terpacak di langit di atas kuburan, seperti pernah “direkam” dalam sebuah sajak Sitor Situmorang. Seakan-akan meneguhkan sifat “sekilas” dari kejadian itu, sajak Sitor itu hanya terdiri dari dua kalimat: satu baris untuk judul, satu baris lagi untuk yang diberi judul:
MALAM LEBARAN
Bulan di kuburan
Kita tahu bahwa di malam lebaran bulan tak akan tampak — tapi di saat itu, kita tak mempersoalkan apakah bulan itu benar ada di sana, atau ia hanya sebuah ilusi. Kita terpesona, dan pesona itu menghadirkan realitas. Yang perlu saya tekankan di sini: pesona itu tak akan bisa diulangi lagi. Ia saat yang singular. Bila kita nanti melihat bulan lagi, dan kita terpesona sekali lagi, yang terjadi bukanlah sebuah repetisi. Mungkin kaena kita juga mengalami sesuatu yang tak terhingga: sajak satu kalimat singkat itu seakan-akan menyisakan sesuatu yang kosong, menjauh, tak terjangkau. Maka tiap kali kita terpesona akan bulan lagi, yang terjadi adalah sesuatu yang kembali baru, seakan-akan kita melihatnya buat pertama kalinya dalam hidup kita. Badiou mengutip Heidegger: “Penyair selalu berkata seakan-akan yang-ada diutarakan buat pertama kalinya.”
Saya kira kita dapat merasakan kejadian itu, pesona yang seakan-akan buat pertama kalinya itu, dalam sajak Chairil Anwar ini, dari sebuah malam di pegunungan:
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Ada perasaan terkesima di dalam sajak itu, ada sesuatu yang enigmatik bak teka-teki yang menyelimuti saat seperti itu. Sang penyair mencoba mencari jawab, tapi jangan-jangan tak tepat untuk mempersoalkan sebab dan akibat pengalaman estetik seperti itu. Lebih tepat adalah masuk ke dalamnya, bermain di dalam suasana itu, seperti anak kecil yang di bawah bulan itu “main kejaran dengan bayangan”.
Sebab kita tak akan “dapat jawab”, betapapun kita “terlalu sangat” kepingin. Dari sebuah kejadian, kita tak mendapatkan “pengetahuan” – sesuatu yang sudah tersusun rapi bagaikan dalam sebuah rumus atau ensklopedia. Momen kejadian, momen pengalaman estetik, adalah sebuah “proses-kebenaran”, kata Badiou. Dengan itu, kebenaran datang ke pikiran kita bukan sebagai sebuah keputusan, melainkan sebagai sebuah proses yang tak seluruhnya dapat diutarakan dalam bahasa, sebuah proses dalam sebuah kancah yang mengandng kesadaran dan ketidak-sadaran, yang tak dapat ditangkap penuh oleh tata simbolik.
Pengetahuan, bagi Badiou, berbeda dengan Kebenaran. Pengetahuan hanya memberi kita ulangan, hanya berkaitan dengan apa yang sudah di sana. Sementara itu, Kebenaran tampil sama sekali bukan sebagai repetisi, melainkan sebagai kejutan dari yang baru, melalui “suplemen” (supplément événementiel) yang tak terduga, yang tak dapat diperhitungkan, dan berada di luar jangkauan dari yang sudah ada. Seperti ketika seseorang jatuh cinta dan cinta itu mengubah dirinya. Seperti ketika Chairil dalam sajak di atas bersua, seakan-akan buat pertama kalinya, malam di pegunungan dengan bulan yang seakan-akan “membikin dingin” dan membuat rumah jadi pucat dan menyebabkan pohon-pohon jadi kaku.
Pada momen estetik seperti itu, yang mewedarkan sesuatu yang baru dan sebab itu terasa beda sama sekali, bahasa, sebagai hasil konvensi, belum siap menampungnya. Pada momen seperti itulah kita tahu, seperti dikemukakan Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain: ‘ada tetap yang tidak terucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah’.
Yang tetap “tak terucapkan” itulah yang oleh Badiou disebut “yang tak ternamai”, sesuatu yang “begitu singular dalam singularitasnya, begitu intimnya dalam situasi itu”. Dalam saat itulah kita mengalami sesuatu yang “khaotik”.
***
Tapi dalam sebuah karya seni, yang “khaotik” hadir selamanya bersama bentuk. Persoalan yang harus kita jawab adalah apa gerangan yang disebut “bentuk” dalam sebuah karya seni?
Dalam percaturan telaah seni, “bentuk” sering disebut dalam perbandingannya dengan “isi”: “bentuk”-lah yang mewadahi “isi”. Kita memang dapat mengatakan, sebuah syair adalah sebuah “bentuk”, dan di dalamnya ada isi “petuah” atau “hikayat” atau “cerita jenaka.
Pemisahan yang tegas antara “bentuk” dan “isi” memang lazim dalam kesenian klasik dan tradisional. Demikian pula halnya dalam karya-karya yang dimaksudkan untuk menyampaikan isi – karya sastra yang didaktis, misalnya, atau seni rupa yang dimaksudkan untuk memberi informasi atau propaganda. Di sana, “bentuk” adalah semacam kemasan belaka – yang tak perlu dan tak niscaya bertaut senyawa dengan “isi” yang dibawakannya. Syair tentang kota Singapura yang dimakan api punya bentuk yang sama dengan syair yang berisi nasihat perkawinan.
Tapi hubungan antara “bentuk” dan “isi” tak selamanya berlaku demikian. Dalam mantra, umpamanya, bunyi dalam rima dan pengulangan beberapa patah kata, dan pilihan nama yang tak pernah jelas perannya sama sekali tak dapat dipisahkan dari daya magis yang terkandung di dalam tubuh mantra itu. Hal yang sama kita temukan dalam suluk yang ditembangkan dalang dalam wayang purwa: “isi” suluk itu adalah suasana yang terbangun dari gabungan antara kata, bunyi kata, dan lagunya. Kita dapat juga menyebut puisi modernis seperti sajak-sajak Chairil Anwar: sajak Doa, misalnya, mengandung bunyi yang praktis lahir dari suasana hati yang terasa dari dalam sajak. Dengarkanlah bunyi “u” dan “uh” dalam kalimat-kalimat ini, dan kita akan merasakan suasana murung dan lelah:
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Dalam sajak itu, seperti dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri yang memakai mantra sebagai model, “bentuk” bukanlah wadah atau kemasan makna; ia adalah makna tersendiri. Dengan kata lain, sebenarnya tak selamanya gampang memisahkan “bentuk” dari “isi”. Bahkan dapat dikatakan, dalam karya-karya yang berhasil, baik dalam sastra, seni rupa, seni musik ataupun seni pertunjukan, yang disebut “bentuk” acapkali tumbuh dari dalam proses kreatif, bukan sesuatu yang dipasang sebelum atau sesudah proses itu. Jika kita dengarkan Requiem karya Tony Prabowo, misalnya, dengan perkusi yang berdentam beruang-ulang di antara viola, kita akan bersua dengan sebuah sikap lain tentang kematian dan perkabungan dari tema yang sama dari Ligetti. “Bentuk” adalah bagian, atau buah, dari proses kreatif itu sendiri.
Itulah sebabnya, penilaian tentang bentuk sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah siap di luar proses penciptaan pada akhirnya akan meleset. Namun salah sangka ini memang sudah lama bertahan. Bentuk dalam sebuah karya seni — umumnya diartikan sebagai sesuatu yang dapat dicerap oleh pancaindera atau ditangkap oleh intuisi – seringkali diharapkan menghadirkan sebuah ke-satu-an, suatu Gestalt, atau bahkan keselarasan. Tetapi pandangan seperti ini dapat digugat, terutama menghadapi karya-kaya dewasa ini.
Salah satu acara Art Summit di Jakarta baru-baru ini adalah pementasan kelompok Dorky Park, sebuah grup tari dari Berlin dengan sutradara asal Argentina, Constanza Macras. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta saya menonton bagian kedua dari nomor I’m not the Only One, yang pernah dipentaskan di Volkbühne di Berlin, Januari 2007. Yang saya saksikan adalah sebuah pementasan dengan gaya “pasca-Pina Bausch”: gerak mengelak dari struktur, apalagi struktur yang elegan; pentas seakan-akan diisi oleh bermacam coretan yang acak dan tak padu; tak nampak ada komposisi dalam ruang, dan sedikit sekali efek pencahayaan; ada suasana ceroboh dan tak serius, juga dalam peran video yang disorotkan ke layar. Pada satu saat, dalam semacam klimaks yang bukan klimaks, pentas kacau balau: hampir tiap pemain menirukan adegan slapstick dalam film Holywood yang klise (kue tart dijejalkan ke muka orang sampai belepotan), hingga permukaan panggung dihamburi cipratan. Saya merasakannya sebagai kehendak menegaskan diri dalam posisi “anti-anti klise”. Ada dialog, ada nyanyi, tapi tak berarti apa-apa, suara-suara itu seakan-akan tak saling menyahut. Tak ada pertumbuhan dari saat ke saat ke arah akhir. Lelucon dan ironi menyeruak, tapi tak berarah.
Dengan segera kita merasakan, inilah koreografi yang antikoreografi, bentuk yang antibentuk. Tak ada Gestalt, apalagi keselarasan. Tak ada pula ditampakkan keunggulan teknik, kepintaran mengatur panggung. Saya coba membandingkannya dengan pementasan Sudamala: di dalam karya Slamet Gundono, kita juga akan menemukan hal-hal yang tak koheren; misalnya agak di depan, ada seseorang yang membangun dinding dari bata dan campuran semen, persis seperti tukang batu yang ketinggalan, ketika cerita berlangsung. Tapi setidaknya Slamet Gundono, dengan sosok dan kehadirannya yang tak tertandingi, berhasil membentuk pusat. Panggung Dorky Park justru sepenuhnya menghancurkan pusat. Di sini, yang “khaotik” tak punya kutub lain yang berbeda dan melawannya, dan dengan demikian bisa membuat khaos itu tidak total, hingga terbit keretakan dan suspens dalam pementasan. Tapi agaknya I’m not the Only One juga menafikan bahkan suspens sekalipun. Ia bisa terasa datar.
Bukan maksud saya menilai karya Dorky Park itu di sini. Dalam pembicaraan kita malam ini, saya hanya ingin menunjukkan: sebuah pementasan yang menyatakan diri anti-bentuk seperti itu bukan saja menggugat pandangan ala Aristoteles yang mengunggulkan “kesatuan” atau koherensi. Dan jika koherensi sebuah karya seni memberinya satu nilai artistik yang lebih tinggi, yang dibawakan Dorky Park justru menolak untuk mendapatkan nilai itu. Tapi toh karya kelompok tari yang anti nilai artistik ini diakui sebagai sebuah karya seni yang sah. Dan jika I’m not the Only One sah, (kita tahu ia disertakan dalam Art Summit 2007), sejauh mana sebenarnya keindahan – yang hendak dicapai oleh suatu ikhtiar artistik — penting bagi sebuah karya seni?
***
Hampir semenjak tahun 1917, hubungan karya seni dan “keindahan” diguncang. Saya memakai tahun itu, sebab itulah tahun ketika Marchel Duchamp membuat sejarah dengan cara yang termashur itu: ke pameran seni rupa yang diselenggarakan The Society of Independent Artists di kota New York, ia menyerahkan sebuah “karya” untuk disertakan. Yang ia serahkan adalah sebuah urinal, sebuah torpis (sentoran pipis), model yang baku dan biasasaja. Ia tidak membuat torpis itu. Ia memperolehnya dengan membeli. Benda itu diletakkannya terbalik, dan di permukannnya ia tuliskan sederet huruf, “R. Mutt 1917”.
Apa yang dilakukan Duchamp, yang sebelumnya telah terlibat dengan gerakan Dadaisme, mungkin sebuah lelucon, mungkin sebuah caranya untuk mempersoalkan: apa sebenarnya sebuah karya seni? Mengapa harus ada identitas yang dipatok ketat dalam pengertian itu? Jika sebagai syarat mutlak karya seni adalah hadirnya unsur keindahan, apa gerangan yang dimaksud dengan “keindahan” itu?
Ada sebuah sajak Emily Dickinson yang mencoba menjawab itu:
The Definition of Beauty is
That Definition is none —
Pada akhirnya, definisi apapun – apalagi tentang keindahan – akan tak memadai. Salah satu kritik kepada usaha merumuskan “keindahan” ditembakkan ke arah sejarah selera manusia untuk yang indah dan tidak.
Kita memang dengan tanpa kesulitan melihat, bahwa ada yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “modal kultural” yang menentukan sebuah selera. Buruh tani yang hidup tiap hari dengan jerih payah tak akan cukup punya waktu untuk membiasakan diri dengan kehalusan tari srimpi, yang berkembang di rumah-rumah bangsawan. Untuk menetapkan bahwa tari srimpi adalah ekspresi keindahan yang bisa dan layak diterima siapa saja adalah sebuah penjajahan selera.
Sebab itulah, sejak tahun 1976, saya menentang pengertian yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantoro untuk kebudayaan nasional sebagai himpunan “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Sebab dalam pengertian “puncak”, ada peran yang mementukan dan memilih – dan umumnya, peran itu dipegang oleh mereka yang mempunyai “modal kultural” yang cukup. Penilaian tentang yang “puncak” dan tidak, yang “indah” dan “buruk”, bukanlah sesuatu yang universal.
Sejak tahun 1917, dunia kesenian mengakui pentingnya sebuah ironi: torpis yang hendak diikut-sertakan Duchamp untuk pameran seni rupa di New York itu, yang dalam jumlah yang amat banyak bisa ditemukan di kakus-kakus di dunia, akhirnya diterima sebagai karya seni, meskipun mula-mula ia ditolak. Di sini telah terjadi apa yang bisa disebut demokratisasi – ada yang menyebutnya sebagai “demokratisasi jenius” – karena kini hampir siapa saja dapat membuat atau memperkenalkan sebuah karya seni, ketika apa yang indah dan yang tidak merupakan keputusan masing-masing.
Dalam konteks seni pertunjukan di Indonesia, dengan akar Jawa, “demokratisasi” juga yang kiranya akan kita saksikan dalam Sudamala. Lakon ini tak menampilkan wayang sebagai sesuatu yang angker dan adiluhung, yang merupakan bagian dari pemegang aristokrasi selera. Slamet Gundono dengan sadar, dan saya kira juga dengan berhasil, membawakan apa yang pinggiran – yang dalam leksikon kebudayaan Jawa disebut sebagai “pasisiran” – ke sebuah proses kreatif yang memikat dan menyentuh hati. Janturan dan dialog tak disampaikan dalam bahasa Jawa yang dikenal di Kraton Yogyakarta dan Surakarta, melainkan di kalangan rakyat di pantura: bahasa Tegal yang selama ini dianggap “buruk” dan “kampungan”, yang dibawakan oleh Gundono sendiri, dan bahasa Indramayu, yang dibawakan oleh Wangi.
Yang menarik dari Sudamala ialah bahwa ia bisa terbebas dari kontradiksi yang kita temukan dalam paradigma Duchamp. Apapun niat Duchamp, hasil perbuatannya tak dapat disimpulkan hanya sebagai proses “demokratisasi.” Ada yang mengatakan, bahwa yang terjadi justru kembalinya sifat otoriter dalam seni, sebab sebuah benda akan langsung menjadi benda seni, bila seorang pelukis atau seniman terkenal memaklumkannya demikian, meskipun benda itu berupa sebatang cabang yang tertinggal kering di pantai. Dalam hal karya Slamet Gundono, saya bisa menduga, bahwa ia tak membutuhkan pengakuan dari nama dan institusi besar: suksesnya akan tercapai ketik ia bisa diteriima oleh siapa saja, dari kelas sosial mana saja – sesuatu yang tak mustahil, sebab dalam Sudamala kita menemukan banyak anasir keyakyatan yang muncul secara wajar.
Saya kira soalnya agak lain dengan kasus Dork Park. Kita memang tak tahu, sebenarnya, mungkinkah pementasan seperti yang disajikan oleh kelompok termashur dari Berlin ini akan dapat diterima dalam Art Summit, seandainya tak ada nama “Dorky Park” di sana. Kebanyakan karya yang mewarisi semangat Dadaisme umumnya membutuhkan wacana penunjang untuk bisa mendapatkan legitimasi.
Tapi seorang teman mengingatkan saya, bahwa posisi otoriter sang seniman dalam seni setelah Duchamp tidaklah sepenuhnya benar. Penonton karya Constanza Macras punya hak dan kekuatan yang taj kalah poenting ketimbang sang penggubah. Mereka toh dapat menampiknya dengan meninggalkan ruang teater, misalnya, seperti konon yang pernah terjadi di Paris. Bahkan karya itu sendiri, dengan corat-coret yang acak, dengan sebuah struktur yang tanpa pusat, tanpa fokus, memberi kesempatan seorang penonton untuk memilih, bagian mana yang hendak dinikmatinya.
Tapi dengan demikian, memang masih tergantung-gantung sebuah persoalan: bisakah kita mengandalkan sifat universal dari kesenian? Problem ini terutama terlontar ke depan kita di zaman ini, ketika kesenian sering dikaitkan dengan “ke-ber-arti-an”. Kesenian dianggap harus membawakan suatu makna (“arti”) yang dapat ditawarkan untuk mencapai dan membentuk konsensus. Kesenian juga dianggap harus punya guna, tujuan, atau peran (pendeknya “berarti”), bagian bagian instrumental dari sebuah mesin besar yang disebut “kemajuan.”
Untuk menjawab persoalaan itu, saya ingin menawarkan satu tafsir baru tentang universalitas dalam karya seni. Saya ingin kembali ke apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” – ketika pengalaman estetik terjadi, dan kita mengalami pertemuan dengan sesuatu yang singular. Badiou telah menyebutnya juga sebagai “yang tak ternamai.” Dalam penafsiran saya, itu di dalamnya tersirat “yang tak terhingga” – yang jejaknya muncul dalam tiap karya seni, tapi hanya jejak yang sementara. Di sanalah kita mungkin berbicara tetang yang universal, yang terus menerus mengimbau tiap proses kreatif.
Saya menemukannya dalam Sudamala ketika lakon berakhir, ketika Manikmaya, yang juga Slamet Gundono, berseru memanggil-mangil nama seorang sahabat yang dikenalnya sebentar di jalan, tapi dengan dia terjalin pertemuan yang melintasi ruang dan waktu: “Monha…! Monha…!”. Yang dipanggil tak menyahut, tapi dalam keterbatasan Slamet Gundono, ia tak henti-hentinya menjangkau yang tak terbatas – yang universal itu.
Saya kira dengan itu, karya seni jadi berarti. Ia jadi bagian pembebasan dari kepungan yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di hari ini, kekuatan yang menyebabkan seseorang tak bisa terketuk hati oleh “yang-lain” di luar dirinya.
Terima kasih.
*) Orasi Goenawan Mohamad untuk Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya, 25 Nopember 2007.
http://terpelanting.wordpress.com
Sebentar lagi kita akan menyaksikan sebuah pertunjukan Slamet Gundono, yang kebetulan pernah saya tonton beberapa waktu yang lalu: Sudamala, atau Uma, Nyanyi Sendon Keloloran.
Dalam kesempatan ini, saya akan bertolak dari lakon itu untuk membicarakan setidaknya dua anggapan, atau salah anggapan, yang dewasa ini acap kita jumpai ketika orang berbicara tentang kesenian. Pada hemat saya, diskusi mengenai hal itu penting sekarang. Kita hidup di sebuah masa yang ditandai oleh tuntutan yang berlebihan kepada manusia – baik melalui kekuatan dalam pasar, maupun kekuatan dalam masyarakat, yang makin mengasingkan dunia kehidupan dari kesempatan untuk bebas, mengalir, dan berbeda.
Dalam kondisi itu, kesenian adalah bagian dari dunia kehidupan yang masih vital, betapapun terkucil. Tak mengherankan bahwa ketiga anggapan yang akan saya uraiakan ini sangat kuat berakar.
Pertama, kesenian umumnya serta merta dikaitkan dengan keindahan, tanpa orang berpikir bagaimana keindahan lahir, siapa yang menentukan “indah” atau “tak indah”, mengapa satu ekspresi kesenian sebuah masa tak jarang ditampik oleh ekspresi kesenian dari masa sesudahnya, mengapa ada generasi baru yang menafikan generasi seni sebelumnya, walaupun tetap ada karya-karya seni yang tak henti-hentinya memberikan makna baru. Dengan kata lain, benarkah keindahan adalah sesuatu yang begitu penting, dan benarkah ia sesuatu yang universal?
Kedua, kesenian umumnya dikaitkan dengan “kebenaran”, tetapi hampir tak pernah kita persoalkan bagaimana kebenaran lahir dalam karya seni, dan benarkah (serta mungkinkah) ada pegangan yang sudah siap tentang “kebenaran” itu? Tidakkah “kebenaran” ditentukan oleh mekanisme kekuatan atau kekuasaan yang berada di balik wacana kebenaran itu? Juga, bagaimana ia, yang lahir dari konteks tertentu dan masalah tertentu, bisa akan bersifat universal?
Malam ini saya akan menyinggung – meskipun mungkin tak akan membahasnya sampai tuntas – dua persoalan di atas, seraya memberi pengantar sedikit tentang apa yang akan disajikan Slamet Gundono dengan lakonnya. Tentu saja saya berharap, saya tak akan membuat anda semua kehilangan nikmatnya kejutan ketika lakon Sudamala itu disajikan nanti.
***
Sebagaimana kita baca dari lembaran program, kali ini Slamet Gundono menyebut teaternya kali ini “wayang lindur”. Kita ingat Slamet sebelumnya pernah mementaskan “wayang suket” dan “wayang air” di samping kadang-kadang ia menjadi dalang “wayang kulit” atau “wayang purwa.”
Kita bisa saja bertanya apa arti “wayang” dan apa pula arti “wayang lindur”; kita mungkin akan memperoleh jawab. Tapi saya tidak yakin, perlu benarkah jawab itu bagi seseorang untuk menikmati pertunjukan ini. Slamet Gundono justru menunjukkan, bahwa seni tidak dimulai dari definisi dan taksonomi. Pengalaman artistik, ketika menikmati sebuah karya seni, adalah momen ketika kita masuk ke dalam pengalaman yang mengalir, ibarat turun ke sebuah sungai yang tak kita ketahui apa namanya, tak kita ketahui di mana pula hilir dan hulunya. Sungai adalah air — tapi tak hanya air — yang bergerak tak henti-hentinya, menampung rakit dan jukung, melindungi ikan dan ular, dalam perubahan cuaca dan saat.
Menikmati pertunjukan ini adalah menikmati gerak yang yang tak henti-henti melintasi identitas itu. Di sini, batasan makna hanyut. Pakem dipakai sebagai dasar, tetapi sekaligus diterjang. Seperti dapat kita baca dari sinopsisnya, lakon ini berangkat dari satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, atau Batara Guru, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Parvati, atau Durga. Tapi apabila dalam kisah yang kita temukan di India (dan juga Bali) Uma atau Parvati adalah tokoh perempuan yang mencintai dan mengabdi, dalam Sudamala Slamet Gundono, Uma adalah isteri yang tak setia, atau, menurut sinopsis, “tak pernah tunggal memahami cinta.”. Dan bila menurut “pakem” Syiwa adalah sosok yang perkasa karena ia dewa, dalam kisah Gundono tokoh ini sempat dirundung bimbang dan kesedihan.
Pada saat yang sama, Slamet Gundon menampilkan ki dalang sebagai wayang: dia, ki dalang, juga sekaligus Manikmaya. Sejumlah aktor yang juga pemain gamelan bermain bersama satu atau dua helai wayang dari kulit. Seorang penari perempuan dalam kostum seorang nyonya muda kota besar juga hadir sebagai Uma, yang berjalan dari lantai ke lantai di sebuah mall. Seorang aktor perempuan yang juga menembang dan menari berlaku sebagai lawan dialog yang menentang Manikmaya. Dan di bagian depan pentas yang bersahaja, seorang tukang batu sedang membuat tembok. Kita kemudian akan tahu tembok itu tak akan pernah selesai.
Yang juga tak lazim adalah latar dan tempat dan perpindahan yang tak disangka-sangka dari satu lokasi ke lokasi lain. Gundono bahkan memasang ceritanya berdampingan dengan cerita lain, tentang pertemuan antara sang “aku” dengan seorang biksu pelarian dari Tibet di tepi sebuah jalan di Berlin. Tak ada alur yang urut, dan tak akan terdengar “pesan moral” yang lazim kita dapatkan dalam pertunjukan wayang.
Yang kita saksikan adalah loncatan-loncatan ruang dan waktu, pembauran antara benda sehari-hari dan elemen-elemen fantasi. Yang melankoli berselang seling dengan yang lucu, dialog bahasa Tegal bersilang dengan bahasa Indramayu. Tapi kita akan mengikutinya dengan asyik, bukan sebagai satu karya banyolan, melainkan sesuatu yang mengisyaratkan kehidupan manusia yang tak satu segi, dan di antara itu kita juga dapat merasakan saat-saat yang menyentuh hati.
Bagi saya, yang menakjubkan bukanlah campur aduk yang tak terduga-duga itu. Yang menakjubkan ialah bahwa semua itu mendekatkan kita kepada khaos, kepada “kekacauan,” tanpa kita menampiknya.Bahkan kita menerimanya dehgan asyik. Serta merta, di hadapan lakon ini, kita seakan-akan kena pesona untuk menanggalkan obsesi kita yang mendahulukan ketertiban. Mereka yang mau serba tertib akan kehilangan sesuatu yang berharga dari lakon ini.
***
Mungkin demikianlah umumnya yang terjadi dalam pertemuan kita dengan sebuah karya seni – terutama bentuk-bentuk kesenian yang tak mengikuti semangat klasik. Di hadapan karya Gundono, sebagaimana di hadapan kanvas Affandi, kita tak bisa memuja garis batas yang serba rapi. Kita mau tak mau akan terbawa oleh pesona arus yang mengalir dan bergejolak dalam sebuah situasi artistik. Situasi kesenian, kata pemikir Prancis Alain Badiou, “menyarankan kepada kita satu hubungan antara kecenderungan (disposition) khaotik dari sensibibitas, dengan apa yang dapat diterima sebagai sebuah bentuk.”
Dengan kata lain, tiap situasi artistik berada dalam ketegangan antara “kecenderungan khaotik dari sensibilitas” di satu sisi, dan bayang-bayang “sebuah bentuk” di sisi lain.
Persoalannya tentu, kenapa “khaotik”? Kenapa “kekacauan” adalah bagian dari sebuah proses kreatif? Untuk menjelaskannya, saya akan melanjutkan memakai argumentasi Badiou.
Sebuah karya seni bermula dengan apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” (atau l’événement). “Kejadian” itu cuma berlangsung sekilas; dalam pengalaman estetik, kita misalnya tersentak di saat kita, pada sebuah malam yang jarang, menyaksikan bulan terpacak di langit di atas kuburan, seperti pernah “direkam” dalam sebuah sajak Sitor Situmorang. Seakan-akan meneguhkan sifat “sekilas” dari kejadian itu, sajak Sitor itu hanya terdiri dari dua kalimat: satu baris untuk judul, satu baris lagi untuk yang diberi judul:
MALAM LEBARAN
Bulan di kuburan
Kita tahu bahwa di malam lebaran bulan tak akan tampak — tapi di saat itu, kita tak mempersoalkan apakah bulan itu benar ada di sana, atau ia hanya sebuah ilusi. Kita terpesona, dan pesona itu menghadirkan realitas. Yang perlu saya tekankan di sini: pesona itu tak akan bisa diulangi lagi. Ia saat yang singular. Bila kita nanti melihat bulan lagi, dan kita terpesona sekali lagi, yang terjadi bukanlah sebuah repetisi. Mungkin kaena kita juga mengalami sesuatu yang tak terhingga: sajak satu kalimat singkat itu seakan-akan menyisakan sesuatu yang kosong, menjauh, tak terjangkau. Maka tiap kali kita terpesona akan bulan lagi, yang terjadi adalah sesuatu yang kembali baru, seakan-akan kita melihatnya buat pertama kalinya dalam hidup kita. Badiou mengutip Heidegger: “Penyair selalu berkata seakan-akan yang-ada diutarakan buat pertama kalinya.”
Saya kira kita dapat merasakan kejadian itu, pesona yang seakan-akan buat pertama kalinya itu, dalam sajak Chairil Anwar ini, dari sebuah malam di pegunungan:
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Ada perasaan terkesima di dalam sajak itu, ada sesuatu yang enigmatik bak teka-teki yang menyelimuti saat seperti itu. Sang penyair mencoba mencari jawab, tapi jangan-jangan tak tepat untuk mempersoalkan sebab dan akibat pengalaman estetik seperti itu. Lebih tepat adalah masuk ke dalamnya, bermain di dalam suasana itu, seperti anak kecil yang di bawah bulan itu “main kejaran dengan bayangan”.
Sebab kita tak akan “dapat jawab”, betapapun kita “terlalu sangat” kepingin. Dari sebuah kejadian, kita tak mendapatkan “pengetahuan” – sesuatu yang sudah tersusun rapi bagaikan dalam sebuah rumus atau ensklopedia. Momen kejadian, momen pengalaman estetik, adalah sebuah “proses-kebenaran”, kata Badiou. Dengan itu, kebenaran datang ke pikiran kita bukan sebagai sebuah keputusan, melainkan sebagai sebuah proses yang tak seluruhnya dapat diutarakan dalam bahasa, sebuah proses dalam sebuah kancah yang mengandng kesadaran dan ketidak-sadaran, yang tak dapat ditangkap penuh oleh tata simbolik.
Pengetahuan, bagi Badiou, berbeda dengan Kebenaran. Pengetahuan hanya memberi kita ulangan, hanya berkaitan dengan apa yang sudah di sana. Sementara itu, Kebenaran tampil sama sekali bukan sebagai repetisi, melainkan sebagai kejutan dari yang baru, melalui “suplemen” (supplément événementiel) yang tak terduga, yang tak dapat diperhitungkan, dan berada di luar jangkauan dari yang sudah ada. Seperti ketika seseorang jatuh cinta dan cinta itu mengubah dirinya. Seperti ketika Chairil dalam sajak di atas bersua, seakan-akan buat pertama kalinya, malam di pegunungan dengan bulan yang seakan-akan “membikin dingin” dan membuat rumah jadi pucat dan menyebabkan pohon-pohon jadi kaku.
Pada momen estetik seperti itu, yang mewedarkan sesuatu yang baru dan sebab itu terasa beda sama sekali, bahasa, sebagai hasil konvensi, belum siap menampungnya. Pada momen seperti itulah kita tahu, seperti dikemukakan Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain: ‘ada tetap yang tidak terucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah’.
Yang tetap “tak terucapkan” itulah yang oleh Badiou disebut “yang tak ternamai”, sesuatu yang “begitu singular dalam singularitasnya, begitu intimnya dalam situasi itu”. Dalam saat itulah kita mengalami sesuatu yang “khaotik”.
***
Tapi dalam sebuah karya seni, yang “khaotik” hadir selamanya bersama bentuk. Persoalan yang harus kita jawab adalah apa gerangan yang disebut “bentuk” dalam sebuah karya seni?
Dalam percaturan telaah seni, “bentuk” sering disebut dalam perbandingannya dengan “isi”: “bentuk”-lah yang mewadahi “isi”. Kita memang dapat mengatakan, sebuah syair adalah sebuah “bentuk”, dan di dalamnya ada isi “petuah” atau “hikayat” atau “cerita jenaka.
Pemisahan yang tegas antara “bentuk” dan “isi” memang lazim dalam kesenian klasik dan tradisional. Demikian pula halnya dalam karya-karya yang dimaksudkan untuk menyampaikan isi – karya sastra yang didaktis, misalnya, atau seni rupa yang dimaksudkan untuk memberi informasi atau propaganda. Di sana, “bentuk” adalah semacam kemasan belaka – yang tak perlu dan tak niscaya bertaut senyawa dengan “isi” yang dibawakannya. Syair tentang kota Singapura yang dimakan api punya bentuk yang sama dengan syair yang berisi nasihat perkawinan.
Tapi hubungan antara “bentuk” dan “isi” tak selamanya berlaku demikian. Dalam mantra, umpamanya, bunyi dalam rima dan pengulangan beberapa patah kata, dan pilihan nama yang tak pernah jelas perannya sama sekali tak dapat dipisahkan dari daya magis yang terkandung di dalam tubuh mantra itu. Hal yang sama kita temukan dalam suluk yang ditembangkan dalang dalam wayang purwa: “isi” suluk itu adalah suasana yang terbangun dari gabungan antara kata, bunyi kata, dan lagunya. Kita dapat juga menyebut puisi modernis seperti sajak-sajak Chairil Anwar: sajak Doa, misalnya, mengandung bunyi yang praktis lahir dari suasana hati yang terasa dari dalam sajak. Dengarkanlah bunyi “u” dan “uh” dalam kalimat-kalimat ini, dan kita akan merasakan suasana murung dan lelah:
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Dalam sajak itu, seperti dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri yang memakai mantra sebagai model, “bentuk” bukanlah wadah atau kemasan makna; ia adalah makna tersendiri. Dengan kata lain, sebenarnya tak selamanya gampang memisahkan “bentuk” dari “isi”. Bahkan dapat dikatakan, dalam karya-karya yang berhasil, baik dalam sastra, seni rupa, seni musik ataupun seni pertunjukan, yang disebut “bentuk” acapkali tumbuh dari dalam proses kreatif, bukan sesuatu yang dipasang sebelum atau sesudah proses itu. Jika kita dengarkan Requiem karya Tony Prabowo, misalnya, dengan perkusi yang berdentam beruang-ulang di antara viola, kita akan bersua dengan sebuah sikap lain tentang kematian dan perkabungan dari tema yang sama dari Ligetti. “Bentuk” adalah bagian, atau buah, dari proses kreatif itu sendiri.
Itulah sebabnya, penilaian tentang bentuk sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah siap di luar proses penciptaan pada akhirnya akan meleset. Namun salah sangka ini memang sudah lama bertahan. Bentuk dalam sebuah karya seni — umumnya diartikan sebagai sesuatu yang dapat dicerap oleh pancaindera atau ditangkap oleh intuisi – seringkali diharapkan menghadirkan sebuah ke-satu-an, suatu Gestalt, atau bahkan keselarasan. Tetapi pandangan seperti ini dapat digugat, terutama menghadapi karya-kaya dewasa ini.
Salah satu acara Art Summit di Jakarta baru-baru ini adalah pementasan kelompok Dorky Park, sebuah grup tari dari Berlin dengan sutradara asal Argentina, Constanza Macras. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta saya menonton bagian kedua dari nomor I’m not the Only One, yang pernah dipentaskan di Volkbühne di Berlin, Januari 2007. Yang saya saksikan adalah sebuah pementasan dengan gaya “pasca-Pina Bausch”: gerak mengelak dari struktur, apalagi struktur yang elegan; pentas seakan-akan diisi oleh bermacam coretan yang acak dan tak padu; tak nampak ada komposisi dalam ruang, dan sedikit sekali efek pencahayaan; ada suasana ceroboh dan tak serius, juga dalam peran video yang disorotkan ke layar. Pada satu saat, dalam semacam klimaks yang bukan klimaks, pentas kacau balau: hampir tiap pemain menirukan adegan slapstick dalam film Holywood yang klise (kue tart dijejalkan ke muka orang sampai belepotan), hingga permukaan panggung dihamburi cipratan. Saya merasakannya sebagai kehendak menegaskan diri dalam posisi “anti-anti klise”. Ada dialog, ada nyanyi, tapi tak berarti apa-apa, suara-suara itu seakan-akan tak saling menyahut. Tak ada pertumbuhan dari saat ke saat ke arah akhir. Lelucon dan ironi menyeruak, tapi tak berarah.
Dengan segera kita merasakan, inilah koreografi yang antikoreografi, bentuk yang antibentuk. Tak ada Gestalt, apalagi keselarasan. Tak ada pula ditampakkan keunggulan teknik, kepintaran mengatur panggung. Saya coba membandingkannya dengan pementasan Sudamala: di dalam karya Slamet Gundono, kita juga akan menemukan hal-hal yang tak koheren; misalnya agak di depan, ada seseorang yang membangun dinding dari bata dan campuran semen, persis seperti tukang batu yang ketinggalan, ketika cerita berlangsung. Tapi setidaknya Slamet Gundono, dengan sosok dan kehadirannya yang tak tertandingi, berhasil membentuk pusat. Panggung Dorky Park justru sepenuhnya menghancurkan pusat. Di sini, yang “khaotik” tak punya kutub lain yang berbeda dan melawannya, dan dengan demikian bisa membuat khaos itu tidak total, hingga terbit keretakan dan suspens dalam pementasan. Tapi agaknya I’m not the Only One juga menafikan bahkan suspens sekalipun. Ia bisa terasa datar.
Bukan maksud saya menilai karya Dorky Park itu di sini. Dalam pembicaraan kita malam ini, saya hanya ingin menunjukkan: sebuah pementasan yang menyatakan diri anti-bentuk seperti itu bukan saja menggugat pandangan ala Aristoteles yang mengunggulkan “kesatuan” atau koherensi. Dan jika koherensi sebuah karya seni memberinya satu nilai artistik yang lebih tinggi, yang dibawakan Dorky Park justru menolak untuk mendapatkan nilai itu. Tapi toh karya kelompok tari yang anti nilai artistik ini diakui sebagai sebuah karya seni yang sah. Dan jika I’m not the Only One sah, (kita tahu ia disertakan dalam Art Summit 2007), sejauh mana sebenarnya keindahan – yang hendak dicapai oleh suatu ikhtiar artistik — penting bagi sebuah karya seni?
***
Hampir semenjak tahun 1917, hubungan karya seni dan “keindahan” diguncang. Saya memakai tahun itu, sebab itulah tahun ketika Marchel Duchamp membuat sejarah dengan cara yang termashur itu: ke pameran seni rupa yang diselenggarakan The Society of Independent Artists di kota New York, ia menyerahkan sebuah “karya” untuk disertakan. Yang ia serahkan adalah sebuah urinal, sebuah torpis (sentoran pipis), model yang baku dan biasasaja. Ia tidak membuat torpis itu. Ia memperolehnya dengan membeli. Benda itu diletakkannya terbalik, dan di permukannnya ia tuliskan sederet huruf, “R. Mutt 1917”.
Apa yang dilakukan Duchamp, yang sebelumnya telah terlibat dengan gerakan Dadaisme, mungkin sebuah lelucon, mungkin sebuah caranya untuk mempersoalkan: apa sebenarnya sebuah karya seni? Mengapa harus ada identitas yang dipatok ketat dalam pengertian itu? Jika sebagai syarat mutlak karya seni adalah hadirnya unsur keindahan, apa gerangan yang dimaksud dengan “keindahan” itu?
Ada sebuah sajak Emily Dickinson yang mencoba menjawab itu:
The Definition of Beauty is
That Definition is none —
Pada akhirnya, definisi apapun – apalagi tentang keindahan – akan tak memadai. Salah satu kritik kepada usaha merumuskan “keindahan” ditembakkan ke arah sejarah selera manusia untuk yang indah dan tidak.
Kita memang dengan tanpa kesulitan melihat, bahwa ada yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “modal kultural” yang menentukan sebuah selera. Buruh tani yang hidup tiap hari dengan jerih payah tak akan cukup punya waktu untuk membiasakan diri dengan kehalusan tari srimpi, yang berkembang di rumah-rumah bangsawan. Untuk menetapkan bahwa tari srimpi adalah ekspresi keindahan yang bisa dan layak diterima siapa saja adalah sebuah penjajahan selera.
Sebab itulah, sejak tahun 1976, saya menentang pengertian yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantoro untuk kebudayaan nasional sebagai himpunan “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Sebab dalam pengertian “puncak”, ada peran yang mementukan dan memilih – dan umumnya, peran itu dipegang oleh mereka yang mempunyai “modal kultural” yang cukup. Penilaian tentang yang “puncak” dan tidak, yang “indah” dan “buruk”, bukanlah sesuatu yang universal.
Sejak tahun 1917, dunia kesenian mengakui pentingnya sebuah ironi: torpis yang hendak diikut-sertakan Duchamp untuk pameran seni rupa di New York itu, yang dalam jumlah yang amat banyak bisa ditemukan di kakus-kakus di dunia, akhirnya diterima sebagai karya seni, meskipun mula-mula ia ditolak. Di sini telah terjadi apa yang bisa disebut demokratisasi – ada yang menyebutnya sebagai “demokratisasi jenius” – karena kini hampir siapa saja dapat membuat atau memperkenalkan sebuah karya seni, ketika apa yang indah dan yang tidak merupakan keputusan masing-masing.
Dalam konteks seni pertunjukan di Indonesia, dengan akar Jawa, “demokratisasi” juga yang kiranya akan kita saksikan dalam Sudamala. Lakon ini tak menampilkan wayang sebagai sesuatu yang angker dan adiluhung, yang merupakan bagian dari pemegang aristokrasi selera. Slamet Gundono dengan sadar, dan saya kira juga dengan berhasil, membawakan apa yang pinggiran – yang dalam leksikon kebudayaan Jawa disebut sebagai “pasisiran” – ke sebuah proses kreatif yang memikat dan menyentuh hati. Janturan dan dialog tak disampaikan dalam bahasa Jawa yang dikenal di Kraton Yogyakarta dan Surakarta, melainkan di kalangan rakyat di pantura: bahasa Tegal yang selama ini dianggap “buruk” dan “kampungan”, yang dibawakan oleh Gundono sendiri, dan bahasa Indramayu, yang dibawakan oleh Wangi.
Yang menarik dari Sudamala ialah bahwa ia bisa terbebas dari kontradiksi yang kita temukan dalam paradigma Duchamp. Apapun niat Duchamp, hasil perbuatannya tak dapat disimpulkan hanya sebagai proses “demokratisasi.” Ada yang mengatakan, bahwa yang terjadi justru kembalinya sifat otoriter dalam seni, sebab sebuah benda akan langsung menjadi benda seni, bila seorang pelukis atau seniman terkenal memaklumkannya demikian, meskipun benda itu berupa sebatang cabang yang tertinggal kering di pantai. Dalam hal karya Slamet Gundono, saya bisa menduga, bahwa ia tak membutuhkan pengakuan dari nama dan institusi besar: suksesnya akan tercapai ketik ia bisa diteriima oleh siapa saja, dari kelas sosial mana saja – sesuatu yang tak mustahil, sebab dalam Sudamala kita menemukan banyak anasir keyakyatan yang muncul secara wajar.
Saya kira soalnya agak lain dengan kasus Dork Park. Kita memang tak tahu, sebenarnya, mungkinkah pementasan seperti yang disajikan oleh kelompok termashur dari Berlin ini akan dapat diterima dalam Art Summit, seandainya tak ada nama “Dorky Park” di sana. Kebanyakan karya yang mewarisi semangat Dadaisme umumnya membutuhkan wacana penunjang untuk bisa mendapatkan legitimasi.
Tapi seorang teman mengingatkan saya, bahwa posisi otoriter sang seniman dalam seni setelah Duchamp tidaklah sepenuhnya benar. Penonton karya Constanza Macras punya hak dan kekuatan yang taj kalah poenting ketimbang sang penggubah. Mereka toh dapat menampiknya dengan meninggalkan ruang teater, misalnya, seperti konon yang pernah terjadi di Paris. Bahkan karya itu sendiri, dengan corat-coret yang acak, dengan sebuah struktur yang tanpa pusat, tanpa fokus, memberi kesempatan seorang penonton untuk memilih, bagian mana yang hendak dinikmatinya.
Tapi dengan demikian, memang masih tergantung-gantung sebuah persoalan: bisakah kita mengandalkan sifat universal dari kesenian? Problem ini terutama terlontar ke depan kita di zaman ini, ketika kesenian sering dikaitkan dengan “ke-ber-arti-an”. Kesenian dianggap harus membawakan suatu makna (“arti”) yang dapat ditawarkan untuk mencapai dan membentuk konsensus. Kesenian juga dianggap harus punya guna, tujuan, atau peran (pendeknya “berarti”), bagian bagian instrumental dari sebuah mesin besar yang disebut “kemajuan.”
Untuk menjawab persoalaan itu, saya ingin menawarkan satu tafsir baru tentang universalitas dalam karya seni. Saya ingin kembali ke apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” – ketika pengalaman estetik terjadi, dan kita mengalami pertemuan dengan sesuatu yang singular. Badiou telah menyebutnya juga sebagai “yang tak ternamai.” Dalam penafsiran saya, itu di dalamnya tersirat “yang tak terhingga” – yang jejaknya muncul dalam tiap karya seni, tapi hanya jejak yang sementara. Di sanalah kita mungkin berbicara tetang yang universal, yang terus menerus mengimbau tiap proses kreatif.
Saya menemukannya dalam Sudamala ketika lakon berakhir, ketika Manikmaya, yang juga Slamet Gundono, berseru memanggil-mangil nama seorang sahabat yang dikenalnya sebentar di jalan, tapi dengan dia terjalin pertemuan yang melintasi ruang dan waktu: “Monha…! Monha…!”. Yang dipanggil tak menyahut, tapi dalam keterbatasan Slamet Gundono, ia tak henti-hentinya menjangkau yang tak terbatas – yang universal itu.
Saya kira dengan itu, karya seni jadi berarti. Ia jadi bagian pembebasan dari kepungan yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di hari ini, kekuatan yang menyebabkan seseorang tak bisa terketuk hati oleh “yang-lain” di luar dirinya.
Terima kasih.
*) Orasi Goenawan Mohamad untuk Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya, 25 Nopember 2007.
LUDRUK; KESENIAN DAN PERLAWANAN KAUM MARGINAL
Gugun El-Guyanie
http://www.sastra-indonesia.com/
Kemarin rakyat digemparkan dengan isu “reog Ponorogo” yang diklaim oleh Malasyia. Sekarang kita munculkan wacana seni ludruk yang sama-sama dari Jawa Timur sebagaimana Reog dilahirkan. Ini kita maknai sebagai suatu sikap kultural-apresiatif terhadap kekayaan warisan seni lokal di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi marilah mengangkat dengan hormat produk seni nenek moyang yang diinjak-injak anak cucunya sendiri. Juga mencintai dan merasa memiliki (sense of belonging) karya-karya tradisional yang dianggap kampungan (subaltern).
Masih adakah generasi sekarang ini yang mengenal kesenian khas Jawa Timur yang bernama Ludruk? Sungguh nasionalisme generasi muda abad 21, diuji bukan karena tidak mengenal bahasa persatuan, tidak hormat pada merah putih atau tentang pancasila. Tetapi karena mereka sudah kehilangan kesadaran historis untuk sekedar ingat pada karya-karya tradisional khas daerah masing-masing. Kaum muda Indonesia saat ini sudah tercerabut dari akar-akar kearifan budaya lokal yang menyimpan khazanah eksotisme dan heroisme kaum tradisionalis marginal. Salah satu khazanah penting yang sedang meredup dan dilupakan oleh para pewarisnya adalah ludruk. Ludruk bagi penulis semenjak berkenalan dengannya bukan saja memiliki nilai kesenian khas rakyat, namun juga menanamkan spirit perlawanan dan kritik sosial khas orang pinggiran yang tertindas dan terhisap.
Untuk melacak akar historis seni ludruk sebenarnya tidak sulit. Walaupun banyak terjadi perbedaan tentang asal muasalnya, pada prinsipnya memiliki substansi yang sama. Salah satunya adalah hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus “Javanansch Nederduitssch Woordenboek” karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, BPE Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 M di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.
Ada yang menyatakan bahwa embrio kesenian ludruk menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar sebagai fenomena lucu dan menarik, sehingga dia bertanya mengapa laki-laki kok mengenakan busana perempuan. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain menyatakan bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.
Dari berbagai narasumber, pada kesimpulannya bahwa Jombang sebagai tanah air yang melahirkan kesenian ludruk yang benih-benihnya sudah tertanam di akhir abad 19. Hingga tumbuh berkembang dengan subur dari periode pemerintahan ke periode pemerintahan selanjutnya. Dari zaman kolonialisme Belanda sampai zaman Jepang, dan berlanjut hingga zaman pembangunanisme Orde Baru. Secara kultural geografis, ludruk melakukan ekspansi dari Jombang ke daerah lain di wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Madiun, Madura dsb. Dengan tetap lahir dari rahim kesenian masyarakat kelas marginal yang kurang terpelajar, kelompok ekonomi miskin dan kelas sosial terpinggirkan.
Cak Durasim dan Ludruk
Menyebut-nyebut ludruk tanpa nama Cak Durasim ibarat berbicara Proklamasi tanpa menyebut nama Soekarno, atau sama halnya berbicara Reog dengan meninggalkan nama kota Ponorogo. Cak Durasim hidup sezaman dengan dr. Sutomo, tokoh politik pada zaman itu yang populer dengan peristiwa 10 November Surabaya atau kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO), merintis pementasan ludruk berlakon, yang kemudian amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa itu memiliki multifungsi. Pertama, berfungsi sebagai hiburan dan kesenian rakyat. Kedua, sebagai alat penerangan atau pencerahan rakyat pinggiran yang jauh dari informasi. Ketiga, fungsi politis yaitu sebagai media menumbuhkan nasionalisme daan provokasi perlawanan terhadap penjajah. Peristiwa puncaknya akibat kidungan “Jula Juli” yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro. Tuku klepon ndhu stasiun, Melok Nippon gak oleh pensiun”. Akibatnya cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang hingga wafat setelah sekian lama keluar dari penjara.
Kemudian menginjak masa Kemerdekaan (1945-1965), ludruk berperan informatif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Ludruk yang terkenal pada zaman tersebut adalah ludruk Marhaen milik Partai Komunis Indonesia yang juga sekaligus digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pemberontakan. Terbukti ludruk benar-benar dekat di hati rakyat atau wong cilik di wilayah Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk Tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk Marhein lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G30S/PKI Ludruk ini bubar. Peristiwa G30S/PKI benar-benar memporak porandakan grup-grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Hingga terjadi kevakuman antara 1965-1968, dan sesudah itu muncullah kebijakan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1968-1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Dan setelah tahun 1975, ludruk kembali menjadi milik rakyat yang independen.
Ternyata Indonesia mengenal Jombang bukan hanya karena menjadi ibu kota pesantren yang memiliki ratusan ribu santri yang mendalami ilmu agama. Atau juga bukan hanya ada intelektual Islam Nurcholis Madjid, tokoh sekaliber Gusdur sampai ke bapaknya (A Wahid Hasyim), bahkan ke kakeknya sang pendiri Nahdlatul Ulama (KH Hasyim Asy¢arie). Dan juga bukan hanya ketenaran budayawan kondang Emha Ainun Nadjib sampai spirit jihadnya Abu Bakar Ba¢asyir, yang semua tokoh tadi dilahirkan dari Jombang. Indonesia dan kita semua harus melihat Jombang dari satu pintu lagi, yaitu pintu seni kerakyatan yang bernama ludruk. Karena di dalamnya kita temukan local wisdom, nasionalisme, heroisme, eksotisme estetis dan nilai-nilai kerakyatan yang dalam.
Kita menghidupkan kesenian rakyat daerah bukan untuk tujuan primordialisme-etnosentrisme yang sempit. Tetapi memasuki samudera NKRI melalui pintu-pintu kerakyatan yang termarginalkan, mencintai tanah air dengan menengok kampung halaman tempat kita dilahirkan. Karena seni yang diciptakan nenek moyang kita, memiliki nilai sakral untuk menuju Tuhan dan menyelamatkan bangsa yang sedang tenggelam dalam kemurkaan-Nya.
http://www.sastra-indonesia.com/
Kemarin rakyat digemparkan dengan isu “reog Ponorogo” yang diklaim oleh Malasyia. Sekarang kita munculkan wacana seni ludruk yang sama-sama dari Jawa Timur sebagaimana Reog dilahirkan. Ini kita maknai sebagai suatu sikap kultural-apresiatif terhadap kekayaan warisan seni lokal di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi marilah mengangkat dengan hormat produk seni nenek moyang yang diinjak-injak anak cucunya sendiri. Juga mencintai dan merasa memiliki (sense of belonging) karya-karya tradisional yang dianggap kampungan (subaltern).
Masih adakah generasi sekarang ini yang mengenal kesenian khas Jawa Timur yang bernama Ludruk? Sungguh nasionalisme generasi muda abad 21, diuji bukan karena tidak mengenal bahasa persatuan, tidak hormat pada merah putih atau tentang pancasila. Tetapi karena mereka sudah kehilangan kesadaran historis untuk sekedar ingat pada karya-karya tradisional khas daerah masing-masing. Kaum muda Indonesia saat ini sudah tercerabut dari akar-akar kearifan budaya lokal yang menyimpan khazanah eksotisme dan heroisme kaum tradisionalis marginal. Salah satu khazanah penting yang sedang meredup dan dilupakan oleh para pewarisnya adalah ludruk. Ludruk bagi penulis semenjak berkenalan dengannya bukan saja memiliki nilai kesenian khas rakyat, namun juga menanamkan spirit perlawanan dan kritik sosial khas orang pinggiran yang tertindas dan terhisap.
Untuk melacak akar historis seni ludruk sebenarnya tidak sulit. Walaupun banyak terjadi perbedaan tentang asal muasalnya, pada prinsipnya memiliki substansi yang sama. Salah satunya adalah hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus “Javanansch Nederduitssch Woordenboek” karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, BPE Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 M di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.
Ada yang menyatakan bahwa embrio kesenian ludruk menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar sebagai fenomena lucu dan menarik, sehingga dia bertanya mengapa laki-laki kok mengenakan busana perempuan. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain menyatakan bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.
Dari berbagai narasumber, pada kesimpulannya bahwa Jombang sebagai tanah air yang melahirkan kesenian ludruk yang benih-benihnya sudah tertanam di akhir abad 19. Hingga tumbuh berkembang dengan subur dari periode pemerintahan ke periode pemerintahan selanjutnya. Dari zaman kolonialisme Belanda sampai zaman Jepang, dan berlanjut hingga zaman pembangunanisme Orde Baru. Secara kultural geografis, ludruk melakukan ekspansi dari Jombang ke daerah lain di wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Madiun, Madura dsb. Dengan tetap lahir dari rahim kesenian masyarakat kelas marginal yang kurang terpelajar, kelompok ekonomi miskin dan kelas sosial terpinggirkan.
Cak Durasim dan Ludruk
Menyebut-nyebut ludruk tanpa nama Cak Durasim ibarat berbicara Proklamasi tanpa menyebut nama Soekarno, atau sama halnya berbicara Reog dengan meninggalkan nama kota Ponorogo. Cak Durasim hidup sezaman dengan dr. Sutomo, tokoh politik pada zaman itu yang populer dengan peristiwa 10 November Surabaya atau kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO), merintis pementasan ludruk berlakon, yang kemudian amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa itu memiliki multifungsi. Pertama, berfungsi sebagai hiburan dan kesenian rakyat. Kedua, sebagai alat penerangan atau pencerahan rakyat pinggiran yang jauh dari informasi. Ketiga, fungsi politis yaitu sebagai media menumbuhkan nasionalisme daan provokasi perlawanan terhadap penjajah. Peristiwa puncaknya akibat kidungan “Jula Juli” yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro. Tuku klepon ndhu stasiun, Melok Nippon gak oleh pensiun”. Akibatnya cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang hingga wafat setelah sekian lama keluar dari penjara.
Kemudian menginjak masa Kemerdekaan (1945-1965), ludruk berperan informatif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Ludruk yang terkenal pada zaman tersebut adalah ludruk Marhaen milik Partai Komunis Indonesia yang juga sekaligus digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pemberontakan. Terbukti ludruk benar-benar dekat di hati rakyat atau wong cilik di wilayah Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk Tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk Marhein lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G30S/PKI Ludruk ini bubar. Peristiwa G30S/PKI benar-benar memporak porandakan grup-grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Hingga terjadi kevakuman antara 1965-1968, dan sesudah itu muncullah kebijakan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1968-1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Dan setelah tahun 1975, ludruk kembali menjadi milik rakyat yang independen.
Ternyata Indonesia mengenal Jombang bukan hanya karena menjadi ibu kota pesantren yang memiliki ratusan ribu santri yang mendalami ilmu agama. Atau juga bukan hanya ada intelektual Islam Nurcholis Madjid, tokoh sekaliber Gusdur sampai ke bapaknya (A Wahid Hasyim), bahkan ke kakeknya sang pendiri Nahdlatul Ulama (KH Hasyim Asy¢arie). Dan juga bukan hanya ketenaran budayawan kondang Emha Ainun Nadjib sampai spirit jihadnya Abu Bakar Ba¢asyir, yang semua tokoh tadi dilahirkan dari Jombang. Indonesia dan kita semua harus melihat Jombang dari satu pintu lagi, yaitu pintu seni kerakyatan yang bernama ludruk. Karena di dalamnya kita temukan local wisdom, nasionalisme, heroisme, eksotisme estetis dan nilai-nilai kerakyatan yang dalam.
Kita menghidupkan kesenian rakyat daerah bukan untuk tujuan primordialisme-etnosentrisme yang sempit. Tetapi memasuki samudera NKRI melalui pintu-pintu kerakyatan yang termarginalkan, mencintai tanah air dengan menengok kampung halaman tempat kita dilahirkan. Karena seni yang diciptakan nenek moyang kita, memiliki nilai sakral untuk menuju Tuhan dan menyelamatkan bangsa yang sedang tenggelam dalam kemurkaan-Nya.
Menggugat Sejarah Indonesia **
Judul Buku : Membongkar Manipulasi Sejarah Indonesia; Kontroversi Pelaku dan Peristiwa
Penulis : Asvi Warman Adam
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : xi + 257 halaman
Peresensi : Sungatno *
awanaksara.blogspot.com
Penulis : Asvi Warman Adam
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : xi + 257 halaman
Peresensi : Sungatno *
awanaksara.blogspot.com
‘Mejong Ilat’, Sebuah Nilai Tradisi
Oky Sanjaya*
http://www.lampungpost.com/
MASYARAKAT Lampung sedang mengalami krisis identitas terutama perilaku masyarakat marganya. Seiring globalisasi, nilai-nilai budaya juga mengalami penyusutan , semula merupakan nilai-nilai sakral, kini mengarah ke nilai kepentingan kelompok tertentu. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya pemahaman masyarakat marga terhadap marganya sendiri, tanpa terkecuali mereka yang berada di dalam sistem marga tersebut.
Kurangnya pemahaman tersebut diakibatkan sebagian dari punyimbang adat tidak tinggal lagi di tempat tegaknya kepunyimbangan adatnya. Akibatnya, pewarisan nilai-nilai luhur yang seharusnya diberikan (diberi pendidikan budaya) kepada anak keturunannya mengalami perubahan nilai sebab anak tidak lagi menjadi pelaku budaya tetapi jauh dari budayanya.
Lingkungan menyebabkan sang anak jadi orang lain atau orang Lampung yang tidak Lampung. Meski sebenarnya proses tersebut dapat diatasi asalkan ada kalanya anak diajak bersentuhan langsung dengan budaya leluhurnya, yang terjadi sebaliknya, sebagian besar anak-anak dari para punyimbang tidak bisa berbahasa Lampung. Hal tersebut juga bisa terjadi sebagai akibat dari komunikasi kultural dan atau komunikasi bahasa yang tidak membumi di lingkungan keluarga. Selain itu juga, Kota Bandar Lampung, yang seharusnya menjadi proyek percontohan bagi kabupaten dan kota provinsi lainnya, tidak menunjukkan adanya komunikasi kultural terutama di pemerintah kota, di lingkungan pendidikan, dan di pasar, yang seharusnya menjadi tempat terjadinya lahan yang cukup baik untuk pembibitan Bahasa Lampung secara profesional.
Namun demikian, upaya pemerintah daerah untuk memperkenalkan budaya Lampung dengan jalan pariwisata tetap perlu mendapat perhatian. Perhatian tersebut berpusat pada masyarakat Lampung sendiri. Lampung sebagai daerah yang multietnis, selayaknya dinilai sebagai satu bumi dihuni oleh dua nilai budaya; budaya Lampung dan budaya pendatang, dan budaya pendatang mengalami trasformasi budaya ke-Lampung-an itu sendiri sehingga menghasilkan nilai budaya yang padu.
Sebagai sebuah nilai budaya yang padu, masyarakat Lampung adalah “masyarakat terpengaruh” oleh penyebab-penyebab perubahan nilai budaya terutama di bidang ekonomi. Dari bidang ekonomi penyebab-penyebab perubahan merambah ke bidang sosial, agama, pendidikan, dan lain-lain. Keterkaitan bidang sosial dan ekonomi misalnya dapat kita lihat pada beberapa pasar tradisional yang ada di Lampung, sebagai contoh pasar kuncoro yang ada di Desa Kuncoro, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung, di mana interaksi bahasa (orang Lampung terpaksa menggunakan bahasa Jawa [yang pada akhirnya terbiasa]) terjadi. Pemicu utama karena rasa saling membutuhkan antara kedua masyarakat yang berbeda meski sering terjadi penyimpangan sosial antara keduanya.
Perilaku sosial ekonomi masyarakat kadang mengalami kesenjangan terhadap perilaku budaya yang beragam. Yang akhirnya timbul saling tak ingin mempelajari budaya di daerah multietnis ini sehingga identitas budaya pribumi pun terabaikan apalagi bila kita mengingat pendapat Anton Kurniawan, penyair Lampung, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tidak berlaku bagi orang Jawa,” yang disampaikan pada FGD (focus group discussion) tentang pengawetan bahasa Lampung yang diadakan Lampung Post bekerja sama dengan Kantor Bahasa beberapa waktu lalu di Kantor Bahasa (dalam hal ini, pemerintah, sebagai pihak tergugat tidak hadir). Pendapat ini memberikan kesan kepada kita enggannya “ulun Lampung” meresapi nilai spiritual Lampung .
Marga Semuong adalah salah satu contoh marga yang mulai kehilangan nilai-nilai luhur budayanya, seperti yang dikatakan secara tersirat oleh Tamong Hasbulloh yang tinggal di Pekon Raja Basa, Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kabupaten Tanggamus, Lampung, sekitar 4 jam perjalanan dari Bandar Lampung, sanak tano, anak sekarang, begitu dia melanjutkan pembicaraan kami setelah menceritakan beberapa tata adat yang jarang digunakan lagi (terutama ngebabarau dan dadi).
“Bacak tan joget jak haga bulajar dadi, ngebabarau, ngias, tari kipas, nasib, rik ngenal adat rik pakayan kak ketatang wat gawi (mereka lebih suka joget daripada belajar dadi, ngebabarau, ngias, tari kipas, nasib, dan mengenal adat dan pakaian ketika akan diadakan nayuh/pesta adat perkawinan, yang secara keseluruhan merupakan ziarah dan introspeksi perilaku keseharian masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya musyawarah, gotong royong, dan pendidikan khususnya bagi muli-mekhanai (pemudi-pemuda) Lampung.
Dadi, ngebabarau, ngias, dan sebagainya, merupakan sastra lisan Lampung yang perlu mendapat perhatian di daerah ini terutama dari pemerintah daerah; menyadarkan masyarakat Marga Semuong untuk melestarikan budayanya. Dan mengingatkan mereka pada kejayaan nilai-nilai luhur yang pernah ada di daerah ini, dalam garis kesakralan yang juga perlu dibicarakan bersama antara pemerintahan daerah dan para tokoh adat.
Sebagai pelaku budaya di daerah ini, Tamong Hasbulloh, pun perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
Tanggung Jawab ‘Mekhanai’
Ilat dalam Bahasa Lampung merupakan bahasa khusus yang digunakan untuk mengatakan apai (tikar); belum diketahui secara pasti asal kata tersebut. Kekhususan tersebut disebabkan ilat sebagai simbol kehormatan masyarakat saibatin tertentu yang diemban oleh seorang mekhanai (bujang) terpilih dari masyarakat saibatin itu, biasanya mekhanai yang paham dengan adat dalam marganya (catatan: di daerah Lampung Semaka, marga terdiri dari beberapa masyarakat Saibatin yang dipimpin oleh seorang pengiran).
Konsekuensi dari gagalnya menjaga ilat; ilat diduduki oleh mekhanai dari masyarakat saibatin lain, adalah hilangnya ke-Saibatin-an masyarakat itu. Selain itu juga meranai tersebut dilarang masuk ke masyarakatnya sampai cakak pepadun terjadi; yaitu pemulihan kedudukan masyarakat Saibatin itu terhadap masyarakat Saibatin lain. Cakak pupadun dilaksanakan dengan resepsi pemotongan kerbau.
Mejong ilat dilaksanakan pada malam pangan yaitu hari ke-7 dari pelaksanaan adat perkawinan. Acara diawali dengan mengan pelambaran (makan bersama dengan duduk saling berhadapan) antara muli-mekhanai baya dengan muli-mekhanai jebus (muli-mekhanai di luar masyarakat Saibatin Nayuh namun masih dalam rumpun masyarakat marganya sebab ada juga muli-mekhanai jebus selang semitang yaitu muli-mekhanai bukan dalam rumpun marganya) yang dimulai dengan ngebabarau terlebih dahulu oleh perwakilan mekhanai baya.
Kemudian dengan selang waktu yang cukup dari selesainya mengan pelambaran, dilanjutkan dengan meranai baya baca dadi (“bujang saifulhajad”membaca dadi) secara bergantian sampai pada meranai jebus urutan terakhir saibatin marga. Dalam masyarakat Lampung Semaka (masyarakat yang terdiri dari beberapa marga), cacak ilat atau pembacaan dadi urutannya adalah sebagai berikut: a. mekhanai Padang Ratu, 2. mekhanai Kunyayan, 3. mekhanai Way Kerap, 4. mekhanai Raja Basa, 5. mekhanai Sanggi, 6. mekhanai Padang Manis, 7. mekhanai Negeri Ngarip, 8. mekhanai Suka Bandung, 9. mekhanai Bandar Suka Bumi, 10. mekhanai Penanggungan, 11. mekhanai Raja Basa Lupak, 12. mekhanai Gunung Doh, 14. mekhanai Gunung Aji, 14. mekhanai Raja Basa Lama. Setelah selesai cacak ilat, selanjutnya memperbolehkan mekhanai jebus selang semitang masuk, dan dadi pun dilanjutkan kembali. Acara tersebut dimulai 19.00 WIB sampai 04.00 WIB. Kemudian pagi pangan (08.00) mulai ngias, dst.
Ada yang menarik untuk kita ketahui berkaitan urutan cacak ilat yang terus dilakukan sampai akhirnya punah ditahun 1985-an (ini didasarkan perkiraan penulis terhadap beberapa informasi) bahwa setiap pekon (kampung) memiliki rumpun adat yang meninjau asal dan perserikatan adat. Dari setiap pekon diklasifikasikan ke dalam rumpun adat rumpun adat yang selanjutnya penulis sebut sementara sebagai marga dilihat dari kesamaan dan keyakinan masyarakat dari asal mereka. Marga tersebut meliputi: 1. Marga Padang Ratu terdiri dari Pekon Padang Ratu, 2. Marga Suoh terdiri dari pekon Way Kerap, Pekon Padang Manis, Pekon Suka Bandung, dan Pekon Bandar Suka Bumi, 3. Marga Semuong terdiri dari, Pekon Raja Basa, Pekon Sanggi, Pekon Penanggungan, Pekon Raja Basa Lupak, Pekon Gunung Doh, Pekon Gunung Aji, dan Pekon Raja Basa Lama (sebagai catatan pekon yang dimaksud di sini adalah kampung yang tidak dilihat secara administratif negara melainkan garis asal.
Perlu perhatian.
*) Penyair, bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL).
http://www.lampungpost.com/
MASYARAKAT Lampung sedang mengalami krisis identitas terutama perilaku masyarakat marganya. Seiring globalisasi, nilai-nilai budaya juga mengalami penyusutan , semula merupakan nilai-nilai sakral, kini mengarah ke nilai kepentingan kelompok tertentu. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya pemahaman masyarakat marga terhadap marganya sendiri, tanpa terkecuali mereka yang berada di dalam sistem marga tersebut.
Kurangnya pemahaman tersebut diakibatkan sebagian dari punyimbang adat tidak tinggal lagi di tempat tegaknya kepunyimbangan adatnya. Akibatnya, pewarisan nilai-nilai luhur yang seharusnya diberikan (diberi pendidikan budaya) kepada anak keturunannya mengalami perubahan nilai sebab anak tidak lagi menjadi pelaku budaya tetapi jauh dari budayanya.
Lingkungan menyebabkan sang anak jadi orang lain atau orang Lampung yang tidak Lampung. Meski sebenarnya proses tersebut dapat diatasi asalkan ada kalanya anak diajak bersentuhan langsung dengan budaya leluhurnya, yang terjadi sebaliknya, sebagian besar anak-anak dari para punyimbang tidak bisa berbahasa Lampung. Hal tersebut juga bisa terjadi sebagai akibat dari komunikasi kultural dan atau komunikasi bahasa yang tidak membumi di lingkungan keluarga. Selain itu juga, Kota Bandar Lampung, yang seharusnya menjadi proyek percontohan bagi kabupaten dan kota provinsi lainnya, tidak menunjukkan adanya komunikasi kultural terutama di pemerintah kota, di lingkungan pendidikan, dan di pasar, yang seharusnya menjadi tempat terjadinya lahan yang cukup baik untuk pembibitan Bahasa Lampung secara profesional.
Namun demikian, upaya pemerintah daerah untuk memperkenalkan budaya Lampung dengan jalan pariwisata tetap perlu mendapat perhatian. Perhatian tersebut berpusat pada masyarakat Lampung sendiri. Lampung sebagai daerah yang multietnis, selayaknya dinilai sebagai satu bumi dihuni oleh dua nilai budaya; budaya Lampung dan budaya pendatang, dan budaya pendatang mengalami trasformasi budaya ke-Lampung-an itu sendiri sehingga menghasilkan nilai budaya yang padu.
Sebagai sebuah nilai budaya yang padu, masyarakat Lampung adalah “masyarakat terpengaruh” oleh penyebab-penyebab perubahan nilai budaya terutama di bidang ekonomi. Dari bidang ekonomi penyebab-penyebab perubahan merambah ke bidang sosial, agama, pendidikan, dan lain-lain. Keterkaitan bidang sosial dan ekonomi misalnya dapat kita lihat pada beberapa pasar tradisional yang ada di Lampung, sebagai contoh pasar kuncoro yang ada di Desa Kuncoro, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung, di mana interaksi bahasa (orang Lampung terpaksa menggunakan bahasa Jawa [yang pada akhirnya terbiasa]) terjadi. Pemicu utama karena rasa saling membutuhkan antara kedua masyarakat yang berbeda meski sering terjadi penyimpangan sosial antara keduanya.
Perilaku sosial ekonomi masyarakat kadang mengalami kesenjangan terhadap perilaku budaya yang beragam. Yang akhirnya timbul saling tak ingin mempelajari budaya di daerah multietnis ini sehingga identitas budaya pribumi pun terabaikan apalagi bila kita mengingat pendapat Anton Kurniawan, penyair Lampung, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tidak berlaku bagi orang Jawa,” yang disampaikan pada FGD (focus group discussion) tentang pengawetan bahasa Lampung yang diadakan Lampung Post bekerja sama dengan Kantor Bahasa beberapa waktu lalu di Kantor Bahasa (dalam hal ini, pemerintah, sebagai pihak tergugat tidak hadir). Pendapat ini memberikan kesan kepada kita enggannya “ulun Lampung” meresapi nilai spiritual Lampung .
Marga Semuong adalah salah satu contoh marga yang mulai kehilangan nilai-nilai luhur budayanya, seperti yang dikatakan secara tersirat oleh Tamong Hasbulloh yang tinggal di Pekon Raja Basa, Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kabupaten Tanggamus, Lampung, sekitar 4 jam perjalanan dari Bandar Lampung, sanak tano, anak sekarang, begitu dia melanjutkan pembicaraan kami setelah menceritakan beberapa tata adat yang jarang digunakan lagi (terutama ngebabarau dan dadi).
“Bacak tan joget jak haga bulajar dadi, ngebabarau, ngias, tari kipas, nasib, rik ngenal adat rik pakayan kak ketatang wat gawi (mereka lebih suka joget daripada belajar dadi, ngebabarau, ngias, tari kipas, nasib, dan mengenal adat dan pakaian ketika akan diadakan nayuh/pesta adat perkawinan, yang secara keseluruhan merupakan ziarah dan introspeksi perilaku keseharian masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya musyawarah, gotong royong, dan pendidikan khususnya bagi muli-mekhanai (pemudi-pemuda) Lampung.
Dadi, ngebabarau, ngias, dan sebagainya, merupakan sastra lisan Lampung yang perlu mendapat perhatian di daerah ini terutama dari pemerintah daerah; menyadarkan masyarakat Marga Semuong untuk melestarikan budayanya. Dan mengingatkan mereka pada kejayaan nilai-nilai luhur yang pernah ada di daerah ini, dalam garis kesakralan yang juga perlu dibicarakan bersama antara pemerintahan daerah dan para tokoh adat.
Sebagai pelaku budaya di daerah ini, Tamong Hasbulloh, pun perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
Tanggung Jawab ‘Mekhanai’
Ilat dalam Bahasa Lampung merupakan bahasa khusus yang digunakan untuk mengatakan apai (tikar); belum diketahui secara pasti asal kata tersebut. Kekhususan tersebut disebabkan ilat sebagai simbol kehormatan masyarakat saibatin tertentu yang diemban oleh seorang mekhanai (bujang) terpilih dari masyarakat saibatin itu, biasanya mekhanai yang paham dengan adat dalam marganya (catatan: di daerah Lampung Semaka, marga terdiri dari beberapa masyarakat Saibatin yang dipimpin oleh seorang pengiran).
Konsekuensi dari gagalnya menjaga ilat; ilat diduduki oleh mekhanai dari masyarakat saibatin lain, adalah hilangnya ke-Saibatin-an masyarakat itu. Selain itu juga meranai tersebut dilarang masuk ke masyarakatnya sampai cakak pepadun terjadi; yaitu pemulihan kedudukan masyarakat Saibatin itu terhadap masyarakat Saibatin lain. Cakak pupadun dilaksanakan dengan resepsi pemotongan kerbau.
Mejong ilat dilaksanakan pada malam pangan yaitu hari ke-7 dari pelaksanaan adat perkawinan. Acara diawali dengan mengan pelambaran (makan bersama dengan duduk saling berhadapan) antara muli-mekhanai baya dengan muli-mekhanai jebus (muli-mekhanai di luar masyarakat Saibatin Nayuh namun masih dalam rumpun masyarakat marganya sebab ada juga muli-mekhanai jebus selang semitang yaitu muli-mekhanai bukan dalam rumpun marganya) yang dimulai dengan ngebabarau terlebih dahulu oleh perwakilan mekhanai baya.
Kemudian dengan selang waktu yang cukup dari selesainya mengan pelambaran, dilanjutkan dengan meranai baya baca dadi (“bujang saifulhajad”membaca dadi) secara bergantian sampai pada meranai jebus urutan terakhir saibatin marga. Dalam masyarakat Lampung Semaka (masyarakat yang terdiri dari beberapa marga), cacak ilat atau pembacaan dadi urutannya adalah sebagai berikut: a. mekhanai Padang Ratu, 2. mekhanai Kunyayan, 3. mekhanai Way Kerap, 4. mekhanai Raja Basa, 5. mekhanai Sanggi, 6. mekhanai Padang Manis, 7. mekhanai Negeri Ngarip, 8. mekhanai Suka Bandung, 9. mekhanai Bandar Suka Bumi, 10. mekhanai Penanggungan, 11. mekhanai Raja Basa Lupak, 12. mekhanai Gunung Doh, 14. mekhanai Gunung Aji, 14. mekhanai Raja Basa Lama. Setelah selesai cacak ilat, selanjutnya memperbolehkan mekhanai jebus selang semitang masuk, dan dadi pun dilanjutkan kembali. Acara tersebut dimulai 19.00 WIB sampai 04.00 WIB. Kemudian pagi pangan (08.00) mulai ngias, dst.
Ada yang menarik untuk kita ketahui berkaitan urutan cacak ilat yang terus dilakukan sampai akhirnya punah ditahun 1985-an (ini didasarkan perkiraan penulis terhadap beberapa informasi) bahwa setiap pekon (kampung) memiliki rumpun adat yang meninjau asal dan perserikatan adat. Dari setiap pekon diklasifikasikan ke dalam rumpun adat rumpun adat yang selanjutnya penulis sebut sementara sebagai marga dilihat dari kesamaan dan keyakinan masyarakat dari asal mereka. Marga tersebut meliputi: 1. Marga Padang Ratu terdiri dari Pekon Padang Ratu, 2. Marga Suoh terdiri dari pekon Way Kerap, Pekon Padang Manis, Pekon Suka Bandung, dan Pekon Bandar Suka Bumi, 3. Marga Semuong terdiri dari, Pekon Raja Basa, Pekon Sanggi, Pekon Penanggungan, Pekon Raja Basa Lupak, Pekon Gunung Doh, Pekon Gunung Aji, dan Pekon Raja Basa Lama (sebagai catatan pekon yang dimaksud di sini adalah kampung yang tidak dilihat secara administratif negara melainkan garis asal.
Perlu perhatian.
*) Penyair, bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL).
Surat dari Mei
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/
AKU membaca surat yang kau kirim padaku seminggu yang lalu. Setelah lama kau tak ada kabarnya. Sempat waktu itu, aku bertanya pada semua kawanmu. Tetapi mereka diam tak memberi jawaban, di mana keberadaanmu.
Dua tahun kau menghilang tanpa jejak. Sehabis Aku meninggalkan kota tempat menyelesaikan kuliah. Pergi mengadu nasib di Ibu kota. Mencari pekerjaan demi memperbaiki hidup yang layak. Tapi aku tak tahan di Ibu kota, akhirnya aku putuskan untuk pulang kembali. Aku lebih suka di kota yang sudah lama aku singgahi, dan akan sering bertemu dengamu yakni kota Malang. Nama kota seperti nama nasibnya.
Membaca suratmu, penyesalanku kembali datang. Kenapa aku dulu harus pergi ke Ibu Kota, padahal kau sangat membutuhkanku. Aku merasa bersalah, meninggalkanmu sendirian tanpa kawan. Kau pendiam dan kritis dan tentu saja manis. Sehingga kawan-kawan sekerjamu takut berkawan denganmu atau sekedar mendekat kepadamu padahal mereka terpesona dengan kecantikanmu. Seperti aku, tetapi bukan hanya kecantikanmu juga sikap dan pendirianmu.
Terakhir kita bertemu. Kau bilang ada yang tidak beres di perusahaan, tempatmu bekerja.
“Kenapa gaji karyawan tidak sepadan dengan pendapatan perusahaan, ini jelas mereka menghisap para karyawan. Harusnya pemerintah ambil bagian dalam masalah ini, tetapi malah membela pemilik perusahaan. Atau memang takut, penanam modalnya akan kabur. Perusahaanku sudah dikuasai orang-orang asing.” Wajahmu memerah padam ketika kau bercerita kepadaku, sambil kau mengepal-ngepalkan tangan. Kejengkelanmu memuncak.
“Bila ada masalah, bilang padaku. Tetapi harus ada data-data yang kuat. Kawan-kawanku banyak yang aktivis, mereka juga ada yang memperjuangkan hak-hak buruh. Lebih baik kau cari data-data untuk meperkuat pendapatmu” sambil aku menepuk punggungmu dan membelai rambut panjangmu.
“Hem… tidak salah kau menjadi kekasihku, tidak pernah makan bangku kampus. Tapi kau tahu itu teori Marx, tentang nilai lebih yang harus diperjuangkan sebab itu adalah hak buruh.” Aku menenangkanmu untuk bertindak tidak gegabah dan berfikir jernih.
***
Surat yang kau kirim seminggu yang lalu, masih aku pandangi. Aku benar-benar menyesal. Atas kepergianku waktu itu. Aku berkali-kali baca pada halaman ke dua ?yang tak habis aku pikir?kau nekat sekali
” Mas, sudah dua tahun kurang satu minggu aku di penjara. Seminggu ketika Mas pergi ke Ibu Kota. Aku meprotes gaji yang tak adil. Aku mendapatkan data-data yang aku curi dari komputer bagian keuangan ketika aku kerja lembur. Membuatku menjadi geram tak tertahan. Aku tak inggat lagi nasehat Mas untuk membawa data tersebut ke teman-teman Mas yang aktivis buruh. Aku tak kuat Mas, melihat ketidakadilan itu. Apalagi buat karyawan kontrak yang sudah lama bekerja tak juga diangkat menjadi pkerja tetap. Sengaja aku tak pulang. Aku tidur di ruang iastirahat. Hingga pagi tiba dan kebetulan waktu itu ada rapat besar para steak holder perusahaanku. Aku masuk ruang rapat mereka dan berteriak-teriak. Anehnya teman-temanku tidak ada satupun yang membela aku. Mereka takut, kalau dikeluarkan dari perusahaanku. Sebab kau tahu kan Mas, mencari kerja sangatlah susah di Negeri ini”.
Aku menghela nafas, betapa nekatnya dirimu.
“Tiba-tiba kepala perusahaan, memerintahkan untuk pulang seluruh karyawan. Tinggal aku sendiri yang tak pulang. Berharap mendapat jawaban dari pimpinan perusahaan. Tetapi, yang datang malah dua orang petugas polisi. Mereka menangkapku. katanya aku membuat ketidaknyamanan ditempat umum, merisaukan para karyawan yang lain.”
Mei, air mataku menetes. Aku ternyata orang tolol, tak bisa berbuat apa-apa pada kekasihnya yang mengalami ketidakadilan. Kepadamu saja aku tidak bisa menolong, apalagi pada orang lain.
Benar-benar harus dipertanyakan pengabdianku pada mereka yang tidak dipihak oleh keadaan?politik, sosial, budaya dan agama.
Mei, sebenarnya aku ingin menjengukmu walau seminggu lagi kau pulang. tapi kalimat dalam suratmu tidak mengijinkan aku mengunjungimu. Rinduku yang selama ini tak tahu jalan kini ada cahaya terang. Tapi bagaimana aku memulangkannya. Pintamu tak mengharap aku datang.
***
Sejak semasa kuliah, aku menjadi aktivis yang sering demontrasi. Menyuarakan hak-hak kemanusian. Itu yang menjadi awal perkenalanku dengamu. Saat demontrasi memperingati hari buruh. Tepatnya tanggal 1 Mei empat tahun yang lalu. Aku bersama kawan-kawanku Mahasiswa bergabung dengan kelompok buruh. Kau menghampiri aku sehabis aku berorasi
Kau terpukau dengan isi dan orasiku.
“Kau mirip Soekarno mas, saat dipodium tadi.” Sambil memberi minum air gelas meniral padaku.
Aku mengira kau anak kuliahan sama denganku. Sebab kau tak pakai kaos seragam kerja seperti buruh-buruh lain yang bergabung saat demonstarsi. Kau mengenalkan dirimu adalah buruh dari perusahaan terbesar di kota Malang. Kau membolos kerja padahal harusnya tidak libur. Kau juga mengeluh, teman sekerjamu tidak ada yang mau ikut menyuarakan hak buruh. Sebab ada peringatan dari perusahaan, barang siapa yang akan ikut merayakan hari buruh akan dapat surat peringatan. Jika sudah dapat peringatan tiga kali. maka akan dikeluarkan dari perusahaan.
Kau bilang sudah mendapat surat peringatan sekali dan masih ada dua kali lagi perusahaan dapat mengeluarkanmu. Sebentar lagi dua kali, kau tetap tersenyum, tak ada risau sama sekali. Kau berharap ketika hari buruh tiba, semua perusahaan meliburkan karyawannya atau mengadakan semacam refleksi atas perjuangan buruh. Sayangnya itu masih isapan jempol di perusahaanmu. Karena libur pada tanggal 1 Mei masih menjadi tuntutan untuk diperjuangakan, juga demontrasi kali ini.
Ketika itu aku bertanya tentang asal usulmu. Kau menjawab “Namaku Mei, lahir di bulan Mei pada tanggal 1, aku ulang tahun Mas”
Aku jabat tanganmu kedua kalinya sambil mengucapkan
“Selamat ulang tahun”.
Entah ada apa dengan kata Mei. Nama bulan juga namamu serasa ganjil mendengarnya.
Lalu kita istirahat sambil makan rujak di sebelah stadion sepak bola. Kau menaljutkan ceritamu “Aku anak desa yang mencoba mengadu nasib ke kota. Sebenarnya aku ingin kuliah. Tapi kandas di tengah jalan. Sebab orang tuaku tak punya biaya. Sebenarnya Aku berharapan ingin melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan hukum dan cita-citaku ingin mengabdi pada negara dengan memperbaiki hukum yang tak pernah jelas di negara kita ini, mas”.
***
Mei, sekarang hari kau pulang. Para buruh telah menantimu. “Kau harus bersuara dengan lantang di hadapan kawan-kawanmu” Gumamku ketika hendak pergi bersiap-siap demontrasi peringatan hari buruh. Aku masih inggat pesanmu dalam surat yang kau kirim padaku. Untuk menunggumu di kerumunan para buruh demontrasi. Kau akan datang dan melambaikan tangan.
Para buruh sudah berdatangan, para Mahasiswa sudah berdatangan. Orasi sudah bergantian. Suara-suara buruh kian menggelegar di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kota. Aku terus memandang kesana kemari, tak juga ada lambaian tanganmu.
Demontrasi telah usai, kau tak tampak juga. Lalu aku putuskan untuk menjemputmu. Tapi, ketika sipir yang menjaga rumah tahanan aku tanya.
“Bu, apa ada tahanan yang keluar dari sini hari ini?” Lama tak ada jawaban, sambil mebuka-buka buku arsip Ibu sipir menjawab
“Tak ada mas”.
“Coba lihat lagi Bu, namanya Mei”
“Oh, Mei. Dia sudah keluar kemarin dan dijemput oleh mobil”
“Ibu tahu kemana perginya?”
“Kami di sini tidak tahu. Sebab setelah tahanan keluar dari sini, bukan urusan kami”
Langkahku gontai, sambil cepat-cepat aku ambil telepon genggam menghubungi kawan-kawanku untuk membongkar kasus Mei.
Kita datangi perusahaan Mei. Tapi hasilnya kosong. Sebab tak ada catatan dan data bahwa Mei pernah bekerja di perusahaan tersebut. Aku mayakinkan kawan-kawanku dengan surat yang aku simpan di kantongku. Tapi, itu bukan bukti yang cukup kuat. Adapun bukti kuat adalah teman-teman sekerja sama Mei. Tentu mereka juga akan bumkam. Sebab takut untuk di keluarkan dari perusahaan.
Mei, telah hilang seperti nasib Marsinah, Seperti Nasib Wiji Tukul, seperti Nasib Kawan-kawanku yang tak tahu rimbahnya. Mereka menguap seperti asap, tak ada jejak. Serupa tuntutan buruh ketika berdemonstrasi, tak pernah ada jawab.
Malang, 21 April – 1 Mei 2010
http://www.sastra-indonesia.com/
AKU membaca surat yang kau kirim padaku seminggu yang lalu. Setelah lama kau tak ada kabarnya. Sempat waktu itu, aku bertanya pada semua kawanmu. Tetapi mereka diam tak memberi jawaban, di mana keberadaanmu.
Dua tahun kau menghilang tanpa jejak. Sehabis Aku meninggalkan kota tempat menyelesaikan kuliah. Pergi mengadu nasib di Ibu kota. Mencari pekerjaan demi memperbaiki hidup yang layak. Tapi aku tak tahan di Ibu kota, akhirnya aku putuskan untuk pulang kembali. Aku lebih suka di kota yang sudah lama aku singgahi, dan akan sering bertemu dengamu yakni kota Malang. Nama kota seperti nama nasibnya.
Membaca suratmu, penyesalanku kembali datang. Kenapa aku dulu harus pergi ke Ibu Kota, padahal kau sangat membutuhkanku. Aku merasa bersalah, meninggalkanmu sendirian tanpa kawan. Kau pendiam dan kritis dan tentu saja manis. Sehingga kawan-kawan sekerjamu takut berkawan denganmu atau sekedar mendekat kepadamu padahal mereka terpesona dengan kecantikanmu. Seperti aku, tetapi bukan hanya kecantikanmu juga sikap dan pendirianmu.
Terakhir kita bertemu. Kau bilang ada yang tidak beres di perusahaan, tempatmu bekerja.
“Kenapa gaji karyawan tidak sepadan dengan pendapatan perusahaan, ini jelas mereka menghisap para karyawan. Harusnya pemerintah ambil bagian dalam masalah ini, tetapi malah membela pemilik perusahaan. Atau memang takut, penanam modalnya akan kabur. Perusahaanku sudah dikuasai orang-orang asing.” Wajahmu memerah padam ketika kau bercerita kepadaku, sambil kau mengepal-ngepalkan tangan. Kejengkelanmu memuncak.
“Bila ada masalah, bilang padaku. Tetapi harus ada data-data yang kuat. Kawan-kawanku banyak yang aktivis, mereka juga ada yang memperjuangkan hak-hak buruh. Lebih baik kau cari data-data untuk meperkuat pendapatmu” sambil aku menepuk punggungmu dan membelai rambut panjangmu.
“Hem… tidak salah kau menjadi kekasihku, tidak pernah makan bangku kampus. Tapi kau tahu itu teori Marx, tentang nilai lebih yang harus diperjuangkan sebab itu adalah hak buruh.” Aku menenangkanmu untuk bertindak tidak gegabah dan berfikir jernih.
***
Surat yang kau kirim seminggu yang lalu, masih aku pandangi. Aku benar-benar menyesal. Atas kepergianku waktu itu. Aku berkali-kali baca pada halaman ke dua ?yang tak habis aku pikir?kau nekat sekali
” Mas, sudah dua tahun kurang satu minggu aku di penjara. Seminggu ketika Mas pergi ke Ibu Kota. Aku meprotes gaji yang tak adil. Aku mendapatkan data-data yang aku curi dari komputer bagian keuangan ketika aku kerja lembur. Membuatku menjadi geram tak tertahan. Aku tak inggat lagi nasehat Mas untuk membawa data tersebut ke teman-teman Mas yang aktivis buruh. Aku tak kuat Mas, melihat ketidakadilan itu. Apalagi buat karyawan kontrak yang sudah lama bekerja tak juga diangkat menjadi pkerja tetap. Sengaja aku tak pulang. Aku tidur di ruang iastirahat. Hingga pagi tiba dan kebetulan waktu itu ada rapat besar para steak holder perusahaanku. Aku masuk ruang rapat mereka dan berteriak-teriak. Anehnya teman-temanku tidak ada satupun yang membela aku. Mereka takut, kalau dikeluarkan dari perusahaanku. Sebab kau tahu kan Mas, mencari kerja sangatlah susah di Negeri ini”.
Aku menghela nafas, betapa nekatnya dirimu.
“Tiba-tiba kepala perusahaan, memerintahkan untuk pulang seluruh karyawan. Tinggal aku sendiri yang tak pulang. Berharap mendapat jawaban dari pimpinan perusahaan. Tetapi, yang datang malah dua orang petugas polisi. Mereka menangkapku. katanya aku membuat ketidaknyamanan ditempat umum, merisaukan para karyawan yang lain.”
Mei, air mataku menetes. Aku ternyata orang tolol, tak bisa berbuat apa-apa pada kekasihnya yang mengalami ketidakadilan. Kepadamu saja aku tidak bisa menolong, apalagi pada orang lain.
Benar-benar harus dipertanyakan pengabdianku pada mereka yang tidak dipihak oleh keadaan?politik, sosial, budaya dan agama.
Mei, sebenarnya aku ingin menjengukmu walau seminggu lagi kau pulang. tapi kalimat dalam suratmu tidak mengijinkan aku mengunjungimu. Rinduku yang selama ini tak tahu jalan kini ada cahaya terang. Tapi bagaimana aku memulangkannya. Pintamu tak mengharap aku datang.
***
Sejak semasa kuliah, aku menjadi aktivis yang sering demontrasi. Menyuarakan hak-hak kemanusian. Itu yang menjadi awal perkenalanku dengamu. Saat demontrasi memperingati hari buruh. Tepatnya tanggal 1 Mei empat tahun yang lalu. Aku bersama kawan-kawanku Mahasiswa bergabung dengan kelompok buruh. Kau menghampiri aku sehabis aku berorasi
Kau terpukau dengan isi dan orasiku.
“Kau mirip Soekarno mas, saat dipodium tadi.” Sambil memberi minum air gelas meniral padaku.
Aku mengira kau anak kuliahan sama denganku. Sebab kau tak pakai kaos seragam kerja seperti buruh-buruh lain yang bergabung saat demonstarsi. Kau mengenalkan dirimu adalah buruh dari perusahaan terbesar di kota Malang. Kau membolos kerja padahal harusnya tidak libur. Kau juga mengeluh, teman sekerjamu tidak ada yang mau ikut menyuarakan hak buruh. Sebab ada peringatan dari perusahaan, barang siapa yang akan ikut merayakan hari buruh akan dapat surat peringatan. Jika sudah dapat peringatan tiga kali. maka akan dikeluarkan dari perusahaan.
Kau bilang sudah mendapat surat peringatan sekali dan masih ada dua kali lagi perusahaan dapat mengeluarkanmu. Sebentar lagi dua kali, kau tetap tersenyum, tak ada risau sama sekali. Kau berharap ketika hari buruh tiba, semua perusahaan meliburkan karyawannya atau mengadakan semacam refleksi atas perjuangan buruh. Sayangnya itu masih isapan jempol di perusahaanmu. Karena libur pada tanggal 1 Mei masih menjadi tuntutan untuk diperjuangakan, juga demontrasi kali ini.
Ketika itu aku bertanya tentang asal usulmu. Kau menjawab “Namaku Mei, lahir di bulan Mei pada tanggal 1, aku ulang tahun Mas”
Aku jabat tanganmu kedua kalinya sambil mengucapkan
“Selamat ulang tahun”.
Entah ada apa dengan kata Mei. Nama bulan juga namamu serasa ganjil mendengarnya.
Lalu kita istirahat sambil makan rujak di sebelah stadion sepak bola. Kau menaljutkan ceritamu “Aku anak desa yang mencoba mengadu nasib ke kota. Sebenarnya aku ingin kuliah. Tapi kandas di tengah jalan. Sebab orang tuaku tak punya biaya. Sebenarnya Aku berharapan ingin melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan hukum dan cita-citaku ingin mengabdi pada negara dengan memperbaiki hukum yang tak pernah jelas di negara kita ini, mas”.
***
Mei, sekarang hari kau pulang. Para buruh telah menantimu. “Kau harus bersuara dengan lantang di hadapan kawan-kawanmu” Gumamku ketika hendak pergi bersiap-siap demontrasi peringatan hari buruh. Aku masih inggat pesanmu dalam surat yang kau kirim padaku. Untuk menunggumu di kerumunan para buruh demontrasi. Kau akan datang dan melambaikan tangan.
Para buruh sudah berdatangan, para Mahasiswa sudah berdatangan. Orasi sudah bergantian. Suara-suara buruh kian menggelegar di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kota. Aku terus memandang kesana kemari, tak juga ada lambaian tanganmu.
Demontrasi telah usai, kau tak tampak juga. Lalu aku putuskan untuk menjemputmu. Tapi, ketika sipir yang menjaga rumah tahanan aku tanya.
“Bu, apa ada tahanan yang keluar dari sini hari ini?” Lama tak ada jawaban, sambil mebuka-buka buku arsip Ibu sipir menjawab
“Tak ada mas”.
“Coba lihat lagi Bu, namanya Mei”
“Oh, Mei. Dia sudah keluar kemarin dan dijemput oleh mobil”
“Ibu tahu kemana perginya?”
“Kami di sini tidak tahu. Sebab setelah tahanan keluar dari sini, bukan urusan kami”
Langkahku gontai, sambil cepat-cepat aku ambil telepon genggam menghubungi kawan-kawanku untuk membongkar kasus Mei.
Kita datangi perusahaan Mei. Tapi hasilnya kosong. Sebab tak ada catatan dan data bahwa Mei pernah bekerja di perusahaan tersebut. Aku mayakinkan kawan-kawanku dengan surat yang aku simpan di kantongku. Tapi, itu bukan bukti yang cukup kuat. Adapun bukti kuat adalah teman-teman sekerja sama Mei. Tentu mereka juga akan bumkam. Sebab takut untuk di keluarkan dari perusahaan.
Mei, telah hilang seperti nasib Marsinah, Seperti Nasib Wiji Tukul, seperti Nasib Kawan-kawanku yang tak tahu rimbahnya. Mereka menguap seperti asap, tak ada jejak. Serupa tuntutan buruh ketika berdemonstrasi, tak pernah ada jawab.
Malang, 21 April – 1 Mei 2010
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar