Selasa, 20 April 2010

Globalitas dan Lokalitas dalam “Membayangkan Indonesia”:

Sebuah Kritik Pascakolonial

Saut Situmorang
http://www.sastra-indonesia.com/

Adalah studi terkenal dari Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben(edict) Anderson tentang nasionalisme yang membuat kita sadar bahwa konsep “nasionalisme” bukanlah lahir begitu saja dari langit biru di atas kepala, tapi merupakan sebuah realitas yang diciptakan oleh imajinasi di dalam kepala – sesuatu yang dibayangkan, sebuah konstruk kultural. Atau dalam definisi Hugh Seton-Watson yang dikutip Anderson dalam bukunya “Imagined Communities” dimaksud: “. . . [Sebuah] bangsa eksis ketika sejumlah penting anggota sebuah komunitas menganggap diri mereka membentuk sebuah bangsa, atau berlaku seakan-akan mereka membentuk sebuah bangsa” [italic saya]. Mengikuti anjuran Anderson, kita bisa menerjemahkan “menganggap diri mereka” sebagai “membayangkan diri mereka” pada kutipan di atas.

Apa yang tentu saja masih bisa dipertanyakan lagi tentang definisi “bangsa” sebagai “sebuah komunitas politik yang dibayangkan” itu adalah soal “siapakah” yang melakukan kegiatan “membayangkan” tersebut? Anderson menyatakan bahwa bangsa itu dibayangkan sebagai sebuah “komunitas” karena, “tidak persoalan kemungkinan adanya ketidaksetaraan dan eksploitasi yang aktual di dalamnya, bangsa selalu dipercayai merupakan sebuah persaudaraan yang mendalam dan horisontal”. Dari pernyataan tersebut bukankah tersirat atau terbayangkan adanya sebuah kelompok tertentu yang menganggap dirinya mempunyai hak karena, mungkin, merasa bertanggungjawab, berkewajiban untuk mewakili, menjadi penyambung lidah kelompok-kelompok lain dalam komunitas tersebut? Kelompok yang mendominasi ini – bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti garis keturunan, kelas sosial, dan tingkat pendidikan – percaya, disadari atau tidak, bahwa merekalah yang pantas untuk merepresentasikan kelompok-kelompok lain dalam komunitas dimaksud. Tentu saja rasa percaya mereka ini masih juga bisa dipertanyakan lagi kenetralannya: tidak mungkinkah ada kepentingan politik tertentu yang menjadi alasan dari timbulnya rasa percaya mereka itu? Tidak mungkinkah pula kepentingan politik tersebut berbeda dari kepentingan politik kelompok-kelompok lain dalam komunitas yang mereka representasikan sebagai “bangsa” tersebut?

Antologi pertanyaan semacam ini, saya yakin, cukup relevan dilontarkan dalam konteks pembentukan sebuah wacana (discourse) yang implikasinya menyangkut kepentingan beragam kelompok sosial seperti “bangsa” atau “nasionalisme” itu. Saya akan mengambil sebuah contoh dari dunia budaya pop kita.

Kita tentu masih ingat sebuah iklan Extra Joss di televisi sewaktu berlangsungnya Piala Dunia Sepakbola di Jepang/Korea beberapa tahun lalu. Iklan tersebut dimulai dengan sebuah shot seorang laki-laki muda Indonesia berpakaian seragam sepakbola di sebuah lapangan kosong yang kemudian memandang close up ke kamera dan bertanya, “Kapan sepakbola Indonesia ikut Piala Dunia?” Adegan berikutnya terjadi di ruang ganti pakaian di mana laki-laki muda tadi hendak mengambil minuman kaleng dari sebuah mesin minuman. Jendela kaca mesin minuman tersebut tiba-tiba berubah menjadi sebuah layar (televisi?) dan di situ muncul seorang pemain bola terkenal dari Italia, Del Fiero, yang menggapai ke arah laki-laki Indonesia tadi untuk masuk ke dalamnya. Laki-laki Indonesia itu masuk ke dalam layar tersebut. Kita kemudian menyaksikan betapa laki-laki Indonesia itu dipermainkan sebelum akhirnya dipantati keluar layar oleh Del Fiero. Del Fiero lalu mengucapkan sesuatu yang terjemahannya dalam subtitle di layar televisi kita berbunyi, “Jangan putus asa”. Apa yang muncul dalam kepala saya sehabis menonton iklan Extra Joss tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan seperti: Untuk penonton mana iklan itu dibuat? Siapa yang membuat iklan tersebut? Siapa pemilik Extra Joss yang diiklankan itu? Kalau jawaban atas ketiga pertanyaan ini adalah “orang Indonesia”, maka saya berkesimpulan sudah terjadi sesuatu pada pandangan orang Indonesia atas dirinya sendiri. Representasi “Indonesia” yang dibuat orang Indonesia untuk konsumsi orang Indonesia seperti pada iklan Extra Joss itu adalah sebuah sadomasokhisme nasionalisme, karena para konsumennya pun ternyata tidak merasa “terhina” melihat dirinya dipermainkan pemain asing dalam sebuah permainan sepakbola, dipantati keluar dari permainan dan dinasehati untuk tidak putus asa!

Dalam iklan Extra Joss tersebut saya melihat sebuah isu lama tapi yang masih tetap hangat didebatkan ditawarkan kepada penontonnya, yaitu isu “kita” dan “mereka”, “Timur” dan “Barat”, atau apa yang saya sebut sebagai Lokalitas dan Globalitas dalam esei saya ini. “Kita” ketinggalan jauh dalam hal persepakbolaan dibanding “mereka”, makanya sudah pantas kalau “kita” dipermainkan “mereka”. Dari sini bisa juga ditarik sebuah kesimpulan, walau sangat umum, bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal”.

Tentu saja pendapat bahwa yang “global” itu lebih baik dibanding yang “lokal” tidak selalu mendominasi di Indonesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita akan menemukan justru yang sebaliknyalah yang sering terjadi, yaitu yang “lokal” dianggap jauh lebih baik daripada yang “global”, “Timur” lebih bernilai positif dibanding “Barat”.

Dalam sejarah pemikiran kebudayaan kita, perdebatan penting tentang isu “globalitas” dan “lokalitas”, tentang “Barat” dan “Timur”, pernah terjadi di tahun 1930an, 1960an, dan 1980an, yaitu apa yang kita kenal sekarang sebagai Polemik Kebudayaan, Polemik Lekra/Manikebu (Prahara Budaya?!), dan Perdebatan Sastra Kontekstual. Saya melihat terdapat sebuah benang merah pemikiran yang menghubungkan ketiga peristiwa penting tersebut yaitu bagaimana “sekelompok elite intelektual” berusaha “membayangkan” apa yang mereka representasikan sebagai “Indonesia” itu sebagai sebuah realitas yang sesungguhnya, paling tidak sebuah realitas yang paling ideal.

***

Adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan pemikir lokal pertama yang melontarkan isu “globalitas” dan “lokalitas”, dalam konteks sebuah usaha “membayangkan Indonesia”, lewat sebuah esei kontroversial yang dipublikasikannya di majalah yang didirikan dan dipimpinnya “Pujangga Baru” pada 1935. Dalam esei berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang akhirnya menimbulkan apa yang oleh Achdiat K Mihardja disebut sebagai “Polemik Kebudayaan” tersebut (yang melibatkan tokoh-tokoh penting saat itu: Sanusi Pane, Dr Poerbatjaraka, Dr Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr M Amir, dan Ki Hajar Dewantara), Sutan Takdir memajukan tesisnya bahwa sejarah sesuatu yang bernama “Indonesia” itu harus dibedakan atas dua zaman, yaitu zaman “Indonesia” kontemporer abad duapuluh – yang dikarakterisasikannya sebagai “ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya”– dan zaman sebelum itu, zaman hingga penutup abad sembilanbelas, “zaman prae-Indonesia, zaman jahilliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain”.

Kita bisa membayangkan “ahistorisme” pasti akan dituduhkan atas pemahaman sejarah yang terkesan patah-patah macam begini. Tapi apa yang lebih memperparah “ahistorisme” Sutan Takdir di mata lawan-lawan polemiknya adalah pernyataan tegasnya bahwa:

“Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya, agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch, mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas.

Maka telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropah, Amerika, Jepang.

Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”

“Timur” statis makanya mati dan “Barat” dinamis makanya hidup, maka sudah waktunya kita berkiblat ke “Barat” untuk menghidupkan kembali “Timur” yang sudah mati itu, demikianlah kira-kira Sutan Takdir “membayangkan” komunitas “Indonesia” yang dilihatnya “sedang terjadi sekarang ini” itu. Polarisasi “Timur dan Barat” seperti ini akan kita temukan dengan kadar yang lebih kuat lagi pada pandangan lawan-lawan polemik Sutan Takdir, terutama Sanusi Pane dan Dr Sutomo. Tapi bedanya, mereka terutama kedua yang terakhir ini justru memandang “Barat” sebagai yang negatif makanya mesti dihindarkan, demi kemurnian “Timur” yang adiluhung itu.

Sanusi Pane dalam “Persatuan Indonesia”, tulisan tanggapannya atas esei polemis Sutan Takdir tersebut, menyatakan, dengan tidak kalah tegasnya pula, bahwa:

“Barat. . .mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani.

Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”

Walaupun Sanusi Pane beranggapan bahwa sesuatu yang ideal adalah “menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme”, kita masih bisa merasakan justru sifat idealisme-utopis yang mustahil untuk diwujudkan dari konsep penyatuan Faust/Arjuna itulah yang membuat dia akhirnya masih percaya bahwa “Timur, lebih baik” karena “materialisme, intellectualisme dan individualisme” – yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan (“ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan”) – boleh dikatakan tidak diperlukan. “Manusia merasa dirinya satu dengan dunia sekelilingnya,” demikianlah alasan Sanusi Pane dalam memilih “Timur” ketimbang “Barat”.

Cara memandang “Timur” secara mistik begini terefleksi juga pada isi beberapa prasaran dalam Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang berlangsung di Solo pada tahun yang sama, yang membuahkan kritik yang bahkan jauh lebih keras lagi dari Sutan Takdir. Kritik Sutan Takdir yang diberi judul “Semboyan yang Tegas” itu ditujukan pada apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sikap “anti-intellectualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialisme” – atau anti-Barat secara umum karena isme-isme inilah yang dianggap sebagai dasar-dasar budaya Barat oleh kalangan elite intelektual kita saat itu, seperti juga sekarang – pada pidato sejumlah besar pembicara pada Kongres tersebut. Ki Hajar Dewantara misalnya menyatakan bahwa kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan berpengaruh kuat atas tumbuhnya egoisme dan materialisme, sementara mengasah intelek 8 jam di sekolah menimbulkan intelektualisme yang memisahkan sekolah dari hidup keluarga hingga “sia-sialah usaha pendidikan budi pekerti dan budi khalayak di ruang keluarga itu”! Dr Sutomo mencela sistem pendidikan kolonial karena “terutama mementingkan kecerdasan akal”! Dr Wediodiningrat malah mengecam habis-habisan “kecerdasan otak cara sekarang” yang dikatakannya menciptakan “perasaan pertempuran antara ‘aku’ yang satu dengan ‘aku’ yang lain”. Untuk mencegah terjadinya “kekacauan bagi dunia” maka dianjurkannya “peleburan perasaan ‘aku’” tersebut. Bagi Sutan Takdir, sikap anti atas isme-isme di atas merupakan sikap yang mengada-ada, tidak relevan, karena mengesankan seolah-olah isme-isme tersebut sudah mapan, sudah mentradisi makanya mulai menjadi negatif pengaruhnya di negeri kepulauan ini, padahal:

“Kalau kita timbang benar-benar, soal bangsa kita bukannya soal intellectualisme, bukanlah soal egoisme, bukan pula soal materialisme. Kalau kita analyseeren masyarakat kita dan sebab-sebabnya kalah bangsa kita dengan perlombaan bangsa-bangsa di dunia, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statischnya, menjadi matinya, tiada berjiwanya masyarakat bangsa kita ialah karena berabad-abad itu kurang memakai otaknya, kurang egoisme (yang saya maksudi bahagiannya yang sehat), kurang materialisme.”

Sambil sekaligus membantah Sanusi Pane, Sutan Takdir percaya bahwa “sesungguhnya soal bangsa kita yang sebenar-benarnya soal kekurangan intellect, soal kurang hidupnya individu, soal terlampau pemurahnya (kurang egoismenya) tiap-tiap orang, soal kurang giatnya orang mengumpulkan harta dunia”. Sutan Takdir mengunci kritiknya itu dengan sebuah serangan balik yang telak dalam bentuk sebuah isu baru yang sekali lagi dialah yang pertama melontarkannya untuk diperdebatkan di kalangan intelektual kita: “Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita telah mulai dynamisch dalam dua tiga puluh tahun yang akhir ini. Sebabnya ialah pendidikan Barat yang diejekkan intellectualistisch, individualistisch, egoistisch, dan materialistisch itu”.

***

Peristiwa “membayangkan” apa itu kolektivitas bernama “Indonesia” tentu saja sudah pernah terjadi sebelum Polemik Kebudayaan seperti yang bisa kita saksikan pada didirikannya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka dengan konsep sastra Melayu Tinggi-nya itu. Atau pada pertemuan para intelektual muda kolonial yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu pada 28 Oktober 1928. Tapi baru pada peristiwa Polemik Kebudayaan terlihat dengan jelas untuk pertama kalinya polarisasi konseptual antara globalitas dan lokalitas di kalangan kaum intelektual Indonesia dalam “membayangkan Indonesia”.

Terlepas dari setuju-tidaknya kita atas pandangan Sutan Takdir Alisjahbana dan lawan-lawan polemiknya tentang apa itu “Barat” dan “Timur”, apa yang menarik adalah bahwa polemik tersebut terjadi di kalangan mereka yang rata-rata memperoleh “pendidikan Barat”, sampai ke tingkat perguruan tinggi malah. Mereka adalah alumni pertama dari sistem pendidikan Barat dalam sejarah perkembangan intelektual kita. Tapi satu hal yang sangat mengherankan: walau bagaimanapun kerasnya (bahasa) kedua pihak membela diri sambil menyerang lawan polemik, tidak satu pun dari mereka pernah dengan kritis membicarakan kondisi masyarakat mereka saat itu, yaitu kolonialisme Belanda itu sendiri!

Perdebatan tentang “Barat” dan “Timur”, tentang yang “Universal” dan yang “Kontekstual”, tentang yang “Global” dan yang “Lokal” di sebuah masyarakat seperti Indonesia tidak bisa melupakan satu hal yang umum dimiliki oleh negeri-negeri Dunia Ketiga seperti Indonesia, yaitu kondisi pascakolonialnya, pascakolonialitasnya. Dunia Ketiga adalah dunia (bekas) jajahan Barat, yaitu Eropa Barat dan Amerika Serikat. Membicarakan segala sesuatu tentang Dunia Ketiga tidak akan memuaskan tanpa juga mempertimbangkan efek-efek kultural dari penjajahan, yang rata-rata berumur panjang itu. Dalam eseinya yang pertama, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, yang jadi pemicu terjadinya perdebatan intelektual penting pertama dalam sejarah pemikiran modern Indonesia itu, Sutan Takdir Alisjahbana sebenarnya sudah menyinggung soal-soal yang saat ini dikenal sebagai isu-isu penting masyarakat pascakolonial, seperti mimikri dan hibriditas identitas, tapi satu hal pokok yang justru menjadi sebab dari kondisi pascakolonial tersebut anehnya luput dari pembicaraannya, yaitu realitas kolonialisme yang sedang dialami “Indonesia” yang sedang dibayangkan itu. Membaca kumpulan tulisan mereka dalam buku “Polemik Kebudayaan” yang disusun oleh Achdiat K Mihardja, tidak ada tertinggal kesan pada kita bahwa mereka itu sebenarnya hidup sebagai manusia terjajah di negerinya sendiri, padahal beberapa di antara mereka, menurut buku-buku sejarah, sangat terlibat dengan gerakan melawan penjajahan Belanda di negeri ini. Bangsa adalah sebuah masyarakat yang dikhayalkan, “imagined community”, yang berfungsi sebagai sebuah kekuatan resistensi terhadap kekuasaan hegemonik kolonialisme yang mendominasi masyarakat dimaksud, menurut Ben Anderson. Bukankah sesuatu yang ironis bahwa “kekuasaan hegemonik kolonialisme” itu sendiri sampai “terlupakan” dalam sebuah perdebatan di mana konsep “apa itu Indonesia” merupakan isu yang paling penting. Elitisme sekelompok terpelajar dari keluarga bangsawan atau kelas sosial tinggi justru terkesan sangat kuat mewarnai pandangan mereka walau mereka memakai kosakata yang menyebut-nyebut “bangsa”, “masyarakat”, dan “rakyat” malah.

***

Ada sebuah anekdot terkenal tentang seorang tokoh yang dianggap sebagai representasi dari segala sesuatu yang secara esensialis merupakan nilai keadiluhungan budaya Timur, Mahatma Gandhi. Dalam kunjungannya ke Inggris untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar India Kedua pada 1931, Gandhi mendapat sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang wartawan setibanya di kota London: “Mr Gandhi, what do you think of Western civilization?” Jawaban Gandhi berikut ini membuat anekdot tersebut menjadi begitu terkenal, “I think it would be a very good idea”.

Cerita anekdot semacam ini telah menciptakan sebuah mitos “anti-Barat” pada diri Gandhi, apalagi kalau dihubungkan dengan konsep-konsep “anti-materialis”nya seperti swadesi, ahimsa, dan satyagraha, tapi di sisi lain melupakan identitas biografisnya sebagai seorang subjek pascakolonial par excellent.
Seperti diuraikan Robert Young dalam bukunya yang sangat bagus tentang pascakolonialisme, “Postcolonialism: An Historical Introduction”, warisan dari kritik Gandhi atas modernitas, dan atas pemakaian ide-ide Barat secara derivatif tanpa kritis, masih merupakan kekuatan besar dalam pemikiran beberapa pemikir kontemporer India seperti Partha Chatterjee, tanpa melihat paradoks betapa Gandhi mencapai semuanya itu sebagian besar melalui sintesis eklektik dari pemikiran para pemikir counter-culture Barat. Konsep hidup-mandiri swadesi, misalnya, banyak dipengaruhi oleh bacaannya atas pemikiran sosialisme utopia Barat dan teori ekonomi John Ruskin. Bahkan dari ideologi perjuangan nasionalis Irlandia, Sinn Féin, dan gerakan suffragette perempuan Inggris. Henry David Thoreau, Tolstoy, dan Edward Carpenter adalah pemikir-pemikir Barat lain yang sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pemikiran “ke-Timur-an” yang diklaim sebagai “asli” ciptaan Gandhi. Seperti yang disimpulkan Young, sekaligus sebagai respons terhadap pemikir pascakolonial Amerika Serikat asal India, Gayatri C Spivak, “Gandhi adalah bukti hidup bahwa kaum subaltern bisa, dan bahkan sudah, bicara”.

Kondisi pascakolonial macam inilah yang gagal disadari oleh lawan-lawan polemik Sutan Takdir yang masih sibuk dengan romantisme “esensialisme” budaya “Timur” atau “lokal” yang mereka anggap masih utuh seperti sebelum terjadinya kolonialisme. Sementara pada Sutan Takdir “kesadaran” akan kondisi pascakolonial itu tidak benar-benar berdasarkan pemahaman akan hibriditas identitas subjek pascakolonial itu sendiri, seperti pada pemikir Aljeria asal Martinique, Frantz Fanon, atau Minke dalam Novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, tapi lebih kepada usaha untuk “mensejajarkan diri” dengan “Barat” yang sedang mendominasi tersebut. Atau dalam istilah Asrul Sani dkk lebih dari satu dekade kemudian: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. “Kesejajaran status dengan Barat” (Belanda); makanya mesti dicapai lewat pendidikan Barat – seakan-akan pendidikan Barat memang jaminan untuk itu, seakan-akan tidak ada politik alternatif lain di luar politik pendidikan yang bisa juga memungkinkan terjadinya kondisi kesetaraan tersebut. Makanya juga tidak terdapat pembicaraan yang kritis atas (politik) kolonialisme yang sedang dihadapi. Kesalahkaprahan Sutan Takdir ini kita lihat diulang lagi akhir-akhir ini dengan munculnya ide untuk membentuk apa yang disebut sebagai “Pusat Kebudayaan Indonesia” di luar Indonesia, hanya sebagai kenaifan untuk ikut-ikutan dalam sebuah perlombaan imperialisme kebudayaan ketimbang benar-benar demi kepentingan kebudayaan itu sendiri.

***

Pascakolonialitas masyarakat Dunia Ketiga, dalam konteks pembicaraan globalitas dan lokalitas dalam identitasnya, mungkin bisa dijelaskan secara umum seperti berikut ini.

Ekspansi kapitalisme-awal Barat berjalan mulus setelah terjadi dan menjadi kokohnya kolonialisme Barat di Asia, Afrika, dan benua Amerika. Sementara itu, untuk bisa hidup langgeng happily ever after, kolonialisme memerlukan terjadinya proses regenerasi, seperti organisme hidup lainnya. Khas watak kapitalisme, ideologi ongkos-produksi minimum dengan keuntungan sebesar-besarnya membuat para kapitalis-kolonialis memanfaatkan sumber daya manusia, setelah mengeruk sumber daya alam, negeri jajahan masing-masing. “Pendidikan kaum tertindas” pun dimulai, dengan mendirikan “sekolah rakyat” walau terbatas hanya untuk “para priyayi” – untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih murah ketimbang mendatangkan pekerja dari negeri asal kaum kolonial itu sendiri. Alasan untuk memilih hanya kelompok “para priyayi” karena mereka ini memang yang paling banyak berkepentingan, sebagai kelas sosial yang berkuasa (sebelum dan bahkan sesudah terjadinya kolonialisme), untuk/atas terciptanya sebuah “kolaborasi penjajah-terjajah”, lewat pendidikan dan pekerjaan. Kolaborasi inilah yang akhirnya melahirkan “kaum elite koloni”. Mereka ini jugalah yang kelak di kemudian hari bermetamorfosis menjadi “the founding fathers” itu, seperti presiden atau perdana menteri pertama negeri-negeri koloni yang berhasil memperoleh “kemerdekaan”nya. Karena asalnya memang metamorfosis “kolaborasi penjajah-terjajah”, para “the founding fathers” negeri-negeri bekas koloni adalah subjek hibrid pascakolonial, fisiknya Bumiputra tapi “selera”nya Eropa Barat atau Amerika Serikat. Black skin, white masks, kata Fanon.

Ironisnya, justru setelah “merdeka” dan untuk “mengisi” kemerdekaan tersebut, menjadi pakem kebijaksanaan administrasi negara dan politik luar negeri setiap negeri pascakolonial untuk harus menggarisbesarkan orientasi eksistensinya ke kiblat Eropa Barat atau Amerika Serikat, kekuasaan yang pernah lama bercokol jadi hegemoni dominan di masing-masing negeri bekas koloni, yang telah berubah menjadi kekuatan hegemonik neo-kolonialisme politik, ekonomi dan budaya itu. Terutama lewat apa yang secara eufemistik disebut sebagai “globalisasi” ekonomi itu. Karena diciptakan di bumi budaya Barat, mau tak mau istilah “globalisasi ekonomi” tentu sarat dengan kandungan ideologi budaya Barat. Politik ekonomi tidak mungkin tidak memiliki politik budaya. Akhirnya, “pendidikan kaum tertindas” ternyata cuma awal dari “globalisasi” nilai-nilai budaya kaum kolonial belaka. Inilah paradoks dari “nasionalisme” hibriditas identitas subjek pascakolonial itu. La Trahison des Clercs?

Sastra Remaja: Aset Luarbiasa

Evi Idawati*
http://www.kr.co.id/

POPULER adalah cara gampang yang diburu remaja sekarang untuk mempunyai eksistensi yang diakui oleh masyarakat luas. Wajah dikenal banyak orang, kaya raya serta banyak dipuja remaja-remaja seantero nusantara. Untuk sampai pada kata populer banyak remaja yang berusaha keras, mencoba berbagai hal untuk mengembangkan potensi dan menemukan jati diri. Sastra menjadi satu pilihan di antara sekian. Ajang lomba nyanyi, pemilihan top model serta berbagai festival pelajar, baik kompetisi mata pelajaran atau kreativitas. Semua menjadi cara untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi diri sendiri dan juga bagi orang-orang yang dikasihi.

Pandangan orang tentang sastra dulu dan sekarang sangat berbeda. Tetapi karena efek dari globalisasi yang menimbulkan keterbukaan informasi menjadikan remaja sekarang sanggup menjadikan sastra seperti bagian dari gaya hidup dan kebanggaan mereka. Forum lingkar pena yang mengasah dan menghasilkan para penulis muda. Fenomena ciklit dan kepopuleran yang didapat para penulis di usia muda sanggup mengilhami sekian remaja di Indonesia untuk bertarung masuk di dunia sastra. Bagi saya pribadi tidak penting apakah mereka akan sampai pada pencapaian puncak untuk menghasilkan karya luar biasa. Karena proses setiap orang berbeda dan saya termasuk orang yang menghargai proses individual. Lepas dari itu, kegairahan tersebut harus didukung sepenuhnya untuk membuka dan memberi wacana baru bagi perkembangan sastra Indonesia.

Remaja pecinta sastra adalah aset yang luar biasa bagi Sastra Indonesia. Mereka tidak hanya menjadi market dari buku-buku sastra, tetapi juga akan memberikan kontribusi bagi perkembangan Sastra Indonesia ke depan. Berkali-kali jika saya kedatangan tamu atau bertemu dengan seseorang di acara resmi maupun tidak resmi, baik remaja, ibu-ibu dan juga bapak-bapak, mereka sering menanyakan pada saya, bagaimana menulis itu, tapi mereka menambahkan bahwa sudah menyimpan sekian puluh tulisan tapi takut salah karena merasa jelek sehingga tidak pede untuk mempublikasikannya. Terus terang saya heran, meski manusiawi tapi pertanyaan muncul juga di benak saya, kenapa orang takut salah dalam menulis, takut dicap jelek tulisannya, padahal mereka mampu menghasilkan tulisan yang disimpan sendiri. Jadi, menulis bagi saya, bukan persoalan bakat atau tidak. Yang terpenting adalah kemauan.

Menulis bagi saya adalah kebutuhan. Dan saya berharap, begitupun remaja kita. Bukan hanya menulis sastra tetapi apa saja. Sehingga kita bisa belajar mendokumentasi perasaan dan pikiran-pikiran kita karena satu peristiwa atau lain hal. Lihatlah bagaimana tokoh-tokoh dunia melakukan hal yang sama. Menulis. Semua orang top di dunia, melengkapi dirinya dengan menulis. Mahatma Gandhi, Jawaharar Nehru, Soekarno, Bill Clinton, adalah sedikit di antara tokoh-tokoh dunia yang merasakan bagaimana dunia ada dalam genggamannya, tapi mereka tetap ”merasa perlu” melengkapi dirinya dengan tulisan-tulisan untuk mendokumentasi dan memberikan sesuatu bagi generasi di bawahnya. Untuk itu, mulailah menulis sekarang, apa saja. Agar kita bisa membuat catatan untuk dibaca diri kita sendiri, oleh orang lain yang akan bisa mengambil hikmah dan juga makna dari apa yang kita tuliskan.

Sungguh bukan hal yang mudah untuk berubah dan memulai sesuatu yang baru. Tetapi tekad yang kuat menjadi suplemen yang luar biasa untuk menyemangati diri maju dan berkembang menuju cita-cita dan impian. Saya salut ketika anak-anak KASAT bercerita pada saya. Sekarang memang jarang ada komunitas sastra di sekolah. Tidak banyak juga sanggar-sanggar di luar yang mengkhususkan diri pada pembelajaran tentang sastra. Saya berharap teman-teman Komunitas Sastra Teladan (KASAT) bisa menjadi pelopor untuk tumbuh dan berkembangnya komunitas sastra di sekolah-sekolah. Tahun lalu ketika saya diundang Pusat Bahasa untuk ke Kendari, di sana saya bertemu anak-anak SMA dan mereka mengeluhkan bahwa mereka menjadi kelompok yang elite karena minat mereka pada sastra dan teater. Meski di sekolah belum terbentuk komunitasnya, tetapi Taman Budaya dan Balai Bahasa memberikan ruang bagi mereka untuk berekspresi dan mengembangkan diri.

Sudah saatnya, remaja menjadikan sastra sebagai gaya hidup dan kebanggaan. Dengan begitu apa yang terjadi sekarang (merebaknya karya-karya remaja yang dibukukan) tidak hanya booming sesaat tetapi bisa berlanjut, dan semakin banyak untuk memberi warna bagi sastra Indonesia. Saya mengucapkan selamat datang dan memasuki dunia sastra. Salam!

*) Penyair, Cerpenis, Novelis

Penyair Muda Yogya Sekarat?

Mahwi Air Tawar
http://www.kr.co.id/

SEBAGAIMANA pernah disinggung dalam sebuah pertemuan oleh penyair Raudal Tanjung Banua dan cerpenis Joni Ariadinata. Bahwa, kini Yogya telah kehilangan penulis puisi yang benar-benar berkualitas karyanya. Terlepas benar dan tidaknya anggapan di atas, sejauh ini karya-karya penulis muda Yogya yang kadang-kadang nampang di media, sepertinya memang biasa-biasa saja. Justru, yang sangat pesat perkembangannya, baik secara kualitas maupun produktivitas ada di daerah lain. Penyair Yogya harus mengakui hal itu, bahwa daerah lain, seperti Lampung misalnya, jauh lebih bermutu karyanya ketimbang Yogya, yang konon pernah melahirkan banyak penyair kenamaan di jagad sastra nasional.

Namun bertolak dari anggapan penyair dan cerpenis di atas, bukan berarti kesusastraan di Yogya sekarat. Justru sebaliknya. Kini, di sini semakin menjamur penulis-penulis prosa (novel maupun cerpen), yang telah banyak dibukukan. Dan tentu saja, mun-culnya prosa maupun novel dari penulis muda Yogya itu terlepas dari standar kualitas sebuah karya sastra.

Saya tidak tahu pasti, kenapa mesti novel dan cerpen yang menjamur dan seakan berlomba dibukukan. Namun sepintas, penerbitan atas prosa, terutama novel, tak lebih hanya sekadar angin-anginan saja. Asal laris terjual di pasaran, dapat dipastikan karya tersebut akan dicetak ulang. Percayalah. Menggiurkan, bukan?

Lalu puisi? Geliat penyair muda Yogya, kini di ambang kematian. Marilah kita bertandang, sebelum napas kreativitasnya benar-benar sekarat. Biar sama-sama tahu sebab musababnya, meski tidak utuh, setidaknya kita tahu, ada apa dengan penyair muda Yogya.

Tapi sebelumnya, izinkan saya menyapa mereka dulu: Hei, Penyair Muda Yogya, apa kabar? Sehat-sehatkah kalian? Semoga tidak sekarat!

Sebenarnyalah, kalau kita mau menilik lebih jauh tentang penulis-penulis muda Yogya, sangatlah tak terhitung jumlahnya. Terlepas dari kualitas. Sekadar menyebut. Ada Lingkar Sastra Lepas, yang dimotori Ahmad Muhklis Amrin. Sarkem UNY, yang rutin mengadakan sidang puisi seminggu sekali, bertindak sebagai lurahnya An Ismanto, KUTUB diasuh oleh Zainal Arifin Thoha. Bengkel Sastra Yogya, Sanggar Sastra Gunung Gamping, Rumah Poetika, Studio Pertunjukan Sastra (SPS) yang beberapa bulan lalu menggelar Mimbar Penyair Muda Yogya. Perlu juga diketahui, SPS ini dimotori oleh Hari Leo. Dan masih banyak lagi. Termasuk yang berproses secara individu, misal, Agus Munaji dan lain sebagainya.

Nah, merujuk pada beberapa kantong komunitas sastra di atas dan individu, salah kaprah bila kita beranggapan, dengan merujuk pada penerbitan buku dan media (koran) atas karya-karya mereka. Bahwa penulis muda Yogya di ambang kematian, lantaran karyanya tidak pernah nampang di media, atau diterbitkan dalam bentuk buku.

Disadari atau tidak, memang ada penulis (penyair) lebih memilih tidak mempublikasikan karyanya ke media atau menerbitkannya dalam bentuk buku. Tentu bukan berarti karya mereka tak layak muat. Sebab layak dan tidaknya itu subjektif, tergantung selera redaktur budaya sebuah media, di samping memang dari kualitasnya sendiri. (Tapi sebentar, bolehkah saya bertanya. Adakah puisi yang sering dipublikasikan di media, secara kualitas sudah teruji?) Relatif tentu saja.

Jangan-jangan dari penulis puisi yang tidak mempublikasikan karyanya itu, atau yang tak pernah dimuat, karyanya jauh lebih dahsyat ketimbang yang sudah dimuat di koran, atau dibukukan? Oleh karenanya, menarik untuk diikuti, sebuah event yang diprakarsai oleh salah satu sekumpulan penulis muda yang bernaung di Rumah Poetika.

Kegiatan itu bertema Temu Penyair Muda 4 Kota, Yogya, Bandung, Bali dan Padang, yang akan dilangsungkan di Yogyakarta, pada 29-30 Desember 2006. Agendanya: Pertama, Membaca Peta Sastra Nusantara dari 4 Kota. Melibatkan penyair-penyair muda dari 4 daerah, baik yang berproses lewat komunitas maupun individu. Kedua,: Pengaruh Sastra Daerah di kancah Sastra Nasional.

Anda berminat mengikuti? Kirimkan karya Anda, dan mari berbagi, tentang proses berkarya dalam sebentuk tulisan, kirimkan ke alamat ini: Jalan Adisucipto, Gang Kunti No 84, RT 01 RW 01, Dusun Ambarrukmo atau di email kami: rumah_poetika@yahoo.com. Lalu, berkabarlah, bahwa kita belum sekarat!

*) Penulis adalah Koordinator Penyair Muda untuk Yogya dan pelaku sastra alapola.

Sabtu, 17 April 2010

AMBRADOOZZZ

Sabrank Suparno

Hari ini aku ingin lelah
Dan memijit mijit punggungku. Terasa memang ada gumpalan, benjolan cinta terkurung salju
Di lorong rimbun melesat gelap, giat mengayuh sejarah, meski serpihan bongkah berkelebat.
Di pusat sulfur ternyata ribuan cacing hidup makmur. Ouw..di titik beku es saja penguin hidup di kutub kok.. Tapi dia… lelaki setengah renta itu keluar kampung, menyeret bangkai sapi. Sang pemuda malah berteriak! Aku selalu membuat dinding fitnah di setiap face book dan internet saya..!’’.
“Kamu ingat cewek berkacamata itu?’’. Dia mengaku keluar dari persembunyiannya. Langkahnya hanya menghunus amarah. ”Mas.! kenapasih setiap orang merasa bangga, kalau aku lagi kena marah? Mereka puas ya dengan kesalahanku..!”. Seru tanya wanita itu. Merytcomplex..yahh.. merytcomplex. Memamah-pamah, mengumbar benci di sekalian saja.
Itu lho..gundukan sampah! Dan lalat berkerubung berterbangan. Weng..!weng..!.Apakah secanggih lalat kecepatan take of pesawat tempur Amerika. Laba-laba lebih cerdik menagkap bau narkoba ketimbang mesin detector.

Hitung jenis cara hidup di bumi. Ada hewan melatah, selebihnya terbang di angkasa. Keduanya sama-sama memakai empat reseptor otak. Namun karena terlalu lama melatah, terlalu sengsara, terlalu didesak ekosistem alam, terlalu terhimpit kepentingan, dan terlalu berjuang dengan kontemplasi jiwanya sendiri, maka mereduplah, pudar, lemah dua bagian reseptor otaknya. Yang ia lakukan tinggalah melihat dan merasa untuk memahami ma’na. Sedangkan yang terbang tidaklah menurun kapasitas merawat kelebihan dirinya. Burung masih mengerti ilmu spectrum warna, yang tak dapat dilihat lagi bagi kawanan melata. Burung mengetahui kalau di balik daun ada seekor ulat. Camar super pra peka di beberapa menit lagi ikan nenggak ke permukaan meski sejenak. Hingga incaran bidiknya, penyergapannya, jarak tempuhnya tepat.

Aku ingin lelah saja…
` Mandi berbalur keputusasaan
Sebatang sabun bleng-bleng
Dengan busa kerancuhan
Tiba tiba a menjadi i, dan o menjadi u. Tiada lagi atap langit, atas bawah, karna di bolak-balik atas bawah sama saja. Bukankah setiap karya harus”bilboril..! Ditarik ke kanan~obsesi dunia. Ditarik ke kiri~bertemu di puncak sufi. Ataukah hilang lebur di nol. Angka dengan nilai tinggi dari sembilan. Apa? Apa yang terasa, jika sudah tak lagi laki-
laki, dan tak lagi wanita. Setelah beberapa detik lalu telanjang di ruang cinta.

Saat kerikil jatuh bergulir ke kubang telaga. Sepasang mata mencurinya dari balik dedaunan. Clungg..,riak gelombang melingkar-lingkar. Dari bulatan kecil menjadi lebar.Berkali-kali dan hilang di tepi.Yang mana?..kecil, kengah, atau besar? Tentu saja yang besar..paling kasar sebagai tampilan wajah.Meskipun yang kecil terus dapat dibagi dan dibelah. Gelombang transfersal hilang menjadi wajah. Satu lingkaran gelombang satu wajah. Dan hanya ada satu lingkaran besar dari ribuan tak terbatas lingkaran kecil.
Waktu terus mengajari kita bertepuk tangan. Melunasi hutang tujuh musim. Kemarau, hujan, gugur, semi, musim gempa, stunami, dan demonstrasi.

Setiap saat selalu ada yang datang mengunjungi sejarah. Meski tak pernah faham, lega juga rasanya. Kehausannya terhadap waktu membuat mereka menggerogoti sebungkul memori. Cucu imut itu berseru tanya. ”Ada apasih Kek dengan alang-alang dan sumur tua ini. Kok Kakek sering mengajakku ketempat ini?”.”Ooo..ditempat ini dahulu Kakek bertemu Nenek”. Meski setengah faham si mungil segera melipat jawaban kakeknya di balik lembar permainan.
Kala mata menatap angkasa, tidaklah tercatat di langit dan kitab suci, yakni rindu kampung halaman. Rindu ingin pulang.

-Aku ingin lelah saja
-Sebab kuat tak lagi menyangga.

Betapa tidak lelah! Kolom-kolom harian surat kabar tak cukup memuatnya. Dimana rumus dibikin buntu. Gerak dibikin kaku. Ruang dibikin kerucut. Imajenasi, edial, jenial absurt. Padahal di belahan sana, atom berputar semakin cepat, semakin aus pula suatu benda.

Bimsalabim habragadabra.
Apa yang bisa kau hasilkan dari puisi dizaman yang tidak menentu ini? Aabragadabraa.Ribuan kolang-kaleng berubah menjadi emas. ”Ambil semua jika inginmu jarah dunia”. ”Tida..kk!Betapa tolol jka kuambil emas itu. Tidakkah aku gaet yang bisa ubah kolang-kaleng. Bukankah yang bisa segalanya Maha Kaya dari seluruh inginku”.

Ambradoozz..Ambradoozz
Sebuah mesin usai dirancang. Tinggal terap, tinggal pasang. Dari sebuah bilik kecil ditengah hutan Amazone. Sambil berguru pada tingkah harimau, si raja rimba. Stiegholder..yah stiegholder. Bukan sejenis anjing bengis. Hanya otak yang anjing bengis. Desain miniature file komputernya. Tuhan diacak lakonkan games. Desir lirih bibirnya. ”Tuhan sibuk urusi alam semesta, biar aku bantu bentangkan benua dan tujuh samudra. Negara A bermain petak umpet. Negara B obak shoutdoor, dan C ongkong-ongkong bolong.”.
“Indonesai bagaimana tuan?”. Ha ha ha..Indonesia itu bagai wanita gemulai, bermata binal, pantat bahenol, tidur terlentang tak pakai BH. Dan enjoinya..! Beredia disetubuhi siapa saja dan kapan saja ha..ha..ha..Pejabat dan para pelaku sejarah di Indonesia sana memang ingin bangkit. Tapi dari lingkungannya. Dan bukan dari negaranya. Mereka adalah anak-anak yang lahir dijaman susah. Dan ketika besar kemiskinan menghantuinya. Kelaparan yang mereka tanam berpuluh puluh tahun dipanen dengan keranjang keserakahan.
Kumparan kutub. Gerakan hidup, hanyalah microkosmos. Berputar diujung remote. Dalam ruang mikro bersemayam makro. Daaan..saat makro memusat ..jadilah mikro.

-Aku ingin lelah saja
-Larut bersama putaran roda

Ambillah titik! Tarik garis diagonal, ke-atas bawah, dan samping. Seberapa tinggi dari titik, sedalam itu pula jatuh. Apakah benda benda bisa tidur? Bukankah hanya bersiap untuk tertidur. Sebelum di tidurkan untuk selesaikan telah. Titik kuntum energi pusat. Nol itu bukan bulat. Tetapi kosong tak berlingkaran. Imajinasi terka mulai meramba? Makluk kah itu? Bukan jin , syaitan , malaikat , dewa bahkan manusia .Ia bersemayam di lempengan bumi dan daya gravitasi. Ia lahir sedetik kemudian , saat kuantum terpecah bersamaan dengan gagang cambuk di tangan perkasa. Ujungnya meliuk di angkasa.daan! “cetheearr, jedhearrr berkilauan-kilatan cahaya. Menyambar- nyambar pyung…pyung … pyung kertip- kertip, kertip- kertip. Bertaburan di sekitar pusat jegleran. Ke arah itu sang Semorobumi angkat telunjuk. Nuding menunjuk tapi bukan pada siapa- siapa. Hanya pada dirinya. Yahh pada dirinya sendiri. Itulah cakrawala dan jagat raya.Membekunya pyung.. pyung .. menjadi benda.Alam semesta itu luaass, tapi masih jauhh. Bahkan masih sangat jauuhh dari gagang pecut .Apalagi pemegangnya. Titik pusat cetheeran itu berbentuk alsion. Alsion adalah suatu ruang gelap di tengah ganesa yang ruangnya tak selesai di tembus dalam perjalanan berjuta tahun cahaya. Bulatan ruang hitam itu dilapisi suasana kabut. Yang luasnyapun tak selesai di ukur. Arus deras arus dahsyat. Tak satupun kekuatan mengelak. Seluruh energi gravitasi pergerakan cakrawakla terserap padanya. Satu titik ke hanya satu titik . yakni pusat ketidak berdayaan. Keruang ini setiap ruh di sadap.

Berterbangan dan berseliweran. Ruh mikroba. tengu, cacing, gugusan ganesa, super classter, tak ada yg tersisah. Rancangan besar tersusun sempurna.Agar ada alasan untuk berkilah “ meskipun aku bangun alam semesta ini dengan main- main, tetapi aku tak main-main silahkan hidup semaumu, termasuk surga atau neraka.

Berguru dari burung terciptalah pesawat terbang. Melihat angsa jadilah kapal. Kreta api menyerupai kluding. Satu benda satu wajah. Replikasi prototype. Manusia dan peradabannya meniru siapa? Tidak lain dan tidak bukan, tidak salah dan mungkin benar, tidak curiga dan pasti nyata hanyalah semata meniru Alloh Sang Maha Mereferentasi. Hanya saja yang perlu kita ragukan adalah apakah yang kita tiru selama ini benar dan tepat seperti yang kita inginkan? Ataukah masih salah dan bahkan penuh kecacatan.

Dari abad nol hingga kini, telah kita temukan gelaran mode, dekaden, zaman, sejarah, dan peradaban. Namun pentas panggung yang diperankan manusia penuh dengan kenakalan, padat dengan kecacatan. Sehaingga yang kita temukan adalah manusia manusia yang mengalami kegagalan replikasi dari Tuhan ke peradabannya,sehingga yang sanggup kita bangun adalah manusia cacat, masyarakat cacat, Negara cacat, pemerintahan cacat, hati cacat, akal cacat, mental cacat, moral cacat, kebatinan cacat, thoriqoh cacat.

*)Cerpenis, kolomnis, menulis esai, puisi. Aktif di Jama,ah Padhag mBulan, tergabung dalam komunitas penulis Jombang, berkreasi di Lincak Sastera dowong, beralamat di:Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang. Jawa Timur.Hp:081-359-913-627

Kamis, 01 April 2010

Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo

Ahda Imran
http://www.pikiran-rakyat.com/

SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan eksplorasi kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan arah dan tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa. Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan, seperti termaktub dalam website mereka www. freedom-instute.org.

Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan yang dipilih oleh Freedom Institute, yang diberikan pada mereka yang dianggap telah menunjukkan dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama kedokteran, sains, penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah ini mengandaikan dirinya sebagai “Hadian Nobel” Indonesia. Tradisi pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S. Rendra (2006), dan Putu Wijaya (2007).

Pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski menerima anugerah tersebut, W.S. Renda dalam pidato penerimaannya dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan. Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah berbagai kritik.

Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti sebelumnya, sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima Sutardji Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang “presiden” penyair Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu dan uang Rp 150 juta!
**

TENTU saja ini menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda. Menurut kritikus Adi Wicaksono, berbicara kesusastraan Indonesia sangatlah tidak mungkin meniadakan atau melewatkan nama Sutardji.

Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 yang dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan penghargaan yang sifatnya politis. “Moralitas menerima atau menolak saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti tahun lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama, banyak kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika kasus Lapindo benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda kalau, misalnya, Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo jadi sorotan khalayak dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji menerima anugerah itu, sebagai penghargaan sastra dia memang layak menerimanya, ” ujarnya.

Senada dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa Sutardji pantas mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga pemberinya belumlah pantas memberinya karena ada yang lebih pantas diberi dan diurus, yakni korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami ketika Sutardji menerima anugerah tersebut, baik dalam konteks realitas finansial maupun bersebab pada langkanya penghargaan bagi sastrawan di negeri ini. Publik sastra Indonesia mungkin ada yang berharap bahwa Sutardji akan menolak penghargaan tersebut.

“Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya Tardji menolaknya. Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara finasial, orang-orang yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak menolak,” tutur Agus.

Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor menyebut sangatlah wajar Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal lembaga yang memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut tidaklah akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. “Kasus lumpur Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang penuh kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua, menerima atau menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan terganggu. Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang Rp 150 juta!” Katanya.

Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan, Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.

Berbeda dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur Lapindo dan Bakrie Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal justru memandang keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini pula, ia menganggap bahwa wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih besar seandainya ia menolak anugerah tersebut. “Yah, terserah dia kalau mau menggadaikan wibawa kepenyairannya pada uang 150 juta. Sebagai penyair seharusnya dia menghitung itu,” ujar Afrizal.
**

ketika dihubungi, Jumat (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14 Agustus 2008 itu menerima dua penghargaan sekaligus, Penghargaan Budaya Bintang Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan mengapa orang tidak mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari negara tapi justru mempermasalahkan Bakrie Award 2008?

“Mengapa kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari negara itu tak ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara yang berat sebelah? Saya muak dengan hal itu! ” ujarnya.

Seolah menjawab pernyataan Afrizal, Sutardji menambahkan, “Saya tidak dibentuk oleh orang-orang yang menyukai atau oleh orang-orang yang membenci saya. Saya dibentuk oleh diri saya sendiri!”

Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya menerima Bakrie Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah tentu ada kebaikan dan keburukannya.

Lalu, seolah hendak menjawab para pengkritiknya yang mengaitkan anugerah tersebut dengan isu lumpur Lapindo, Sutardji menegaskan bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai penyair, ia bukanlah petarung sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan tidaklah dimestikan sebagai reaksi atas realitas sosial yang tengah terjadi seperti kasus lumpur Lapindo.

“Kalau mau semacam itu sejak zaman Soeharto saya sudah ditangkap. Saya bukan petarung sosial, tapi petarung kata-kata. Pertarungan saya adalah dengan kata-kata, dengan ide dan air mata. Puisi saya bukan puisi dekrit!” katanya.***

Kota, Buku Puisi, dan Sastra Pinggiran*

Fahrudin Nasrulloh

Puisi adalah sebuah kota yang sedang berperang – Hans Chinowski –

Begitulah kiranya gambaran sebuah kota yang berkobar dalam benak penyair Hans Chinowski, si tokoh absurd dalam novel Factotum, karya Charles Bukowski. Kota, ya sebuah kota, sebujur fosil dari kampung silam dan seiring menderasnya waktu perlahan tersulap oleh deru zaman dan modernitas menjadi sebuah wilayah yang menawarkan pilihan hidup tidak sekadar hidup. Di sana, hidup tidak semata mengalir seperti air, namun lautan yang menyimpan selapang harapan juga bayangan yang mungkin dapat “terampas” dan “terbuang”.

Bisakah sepotong puisi kuasa merayap dalam gemerlap kota dan memberikan spirit hidup bagi seorang penyair, bahkan manusia lainnya? Tentu secara kasat mata puisi tidak bisa menyulap si miskin jadi berharta. Puisi tak dapat menghalau rangsekan tank atau menyerap luapan banjir atau menyedot lumpur Lapindo yang kini kian tak tertanggulangi itu. Bahkan kitab suci pun tak kuasa melakukan itu. Tapi puisi juga bersemayam dalam kitab suci. Bahwa di sana bersemat semacam kehidupan, organisme, meski teramat rahasia, yang menggerakkan pencinta kitab suci, juga puisi, untuk meneruskan hidup dengan sumeleh dan sumringah: bersama Tuhan dengan segenap pengharapan. Juga impian untuk senantiasa mewujudkan perubahan demi kemajuan dan cita-cita bersama.

Di situlah sebuah kota menjadi ajang bagi yang hidup. Kota yang menetaskan sejarah. Menorehkan selaksa cerita lewat kisah manusia. Lantas bagaimanakah sebuah kota dicita-citakan mampu membangkitkan spirit bagi para penyair yang menghidupinya? Sebut saja sebagai misal: kota Mojokerto. Inilah kota tilas sejarah dari peradaban mahabesar kerajaan Majapahit yang pengaruhnya selama ratusan tahun silam menjangkau seluruh Nusantara hingga wilayah manca.

Inilah kabar dari sebuah kota yang nyaris tak terdengar gaung para penyairnya. Namun munculnya antologi Mojokerto dalam Puisi (DKM, 2006, Mojokerto) merupakan salah satu bukti nyata bahwa di kota ini gairah berpuisi tidak bisa diremehkan begitu saja bila dibandingkan dengan kota ikon budaya lainnya semisal Yogyakarta, Solo, Semarang, Jakarta, dan Surabaya. Kendati gerakan revitalisasi sastra pinggiran telah tamat beberapa tahun lampau. Namun, masih saja para penyair, dan kreator seni pada umumnya, bermekaran bak jamur hujan. Inikah bukti bahwa puisi tidak sekadar kata-kata, tapi serupa ruh yang mengada yang menjiwai pada semacam kitab suci? Seakan ada sesuatu yang mengekal dan terus lahir dari sana.

Antologi tersebut memuat 14 penyair yang terdiri dari Aming Aminoedhin, Andi Nurkholis, Chamim Khohari, Gatot Sableng, Hardjono WS, Max Arifin, Moh. Misbakh, Mugianto, Faqih, Saiful Bakri, Suliadi, Suyitno Ethexs, Tausikal, dan Umi Salamah. Dalam kata pengantar, yang ditulis oleh Dwi Astuti Abdul Gani, tertoreh beberapa larik sambutan, mungkin serupa puisi, yang cukup menggugah dan inspiratif: Hari ini kubelah/Udara kotaku/Dengan kata-kataku/Yang menyanjungmu/Atau mungkin mencacimu/Karena cintaku padamu Mojokerto/Dan kini, telah kusiapkan/14 mata tombak/Pembelah udaramu.

Baris-baris di atas begitu lantang, seperti tombak runcing yang berkelebatan di sebuah kota yang sedang berperang; mengisyaratkan bahwa 14 penyair itu lagi mempertaruhkan kreativitas mereka lewat puisi. Adakah mereka berperang dengan pekik Kita guyah lemah/Sekali tetak tentu rebah seperti teriak Chairil Anwar? Tentu waktu yang kelak menguji kesungguhan itu. Bahwa hidup dan proses kreatif penyair sejatinya dihadapkan pada dua hal: ia terkutuk demi kata untuk hidup-mati berkarya atau jadi penulis puisi sekadar untuk pelepas penat dari hidup yang nelangsa dan berputus harap. Lantaran itu, kita membutuhkan “Penyair-penyair ‘beneran’ dan bukan penyair-penyair ‘kebeneran’”, demikian seruan dalam pengantar antologi puisi bersama Surat Di Jalan Berdebu (DKM, 1998, Mojokerto).

Lebih dari itu, para penyair Mojokerto terus bergerak, berbaris, sembari mengibarkan puisi-puisi mereka. Antologi demi antologi terus berlahiran. Sebut saja: Selamat Pagi Ngoro Industri (Hulig-Hulig Indie Press, 2002); Bulan Dalam Bingkai (Swaramas Press, 2002); Indonesia Adalah Aku (Forsamo, 2002) dan Goblok (2006) karya Suyitno Ethexs; Kidung Perjalanan (2002) karya Heru Budianto; dan Berita Basi (DKM, 2004) karya Saiful Bakri.

Seberapa jauh para penyair ini (atau penulis puisi?) menakar sekaligus mengokohkan kualitas kepenyairan mereka? Tentu jawabannya ada pada kritikus sastra yang menggeluti proses kreatif mereka dan seberapa getol mereka bersabung-tanding dalam ajang besar di gelanggang perpuisian Indonesia yang “batu-uji”nya adalah media massa, baik di koran maupun majalah sastra misalnya. Hal ini menjadi penting. Sebab, tanpa semangat demikian, para penyair ini cuma ber”solilokui” dalam sumur pengap yang mereka sangka di dalamnya mereka telah hidup dan mempertarungkan puisi-puisi mereka di jagat perpuisian Indonesia.

Penyair harus mencari jalan kembaranya sendiri. Karena selama ini sudah tak terhitung penyair yang berhenti atau disibukkan dengan urusan-urusan di luar puisi dan proses kreatif. Karena itu, salah satu sebab yang menurut Afrizal Malna sangat membahayakan adalah ketika, “Banyak penyair bermunculan dan melihat kepenyairan hanya sebuah perjalanan untuk mendapatkan legitimasi. Ruang eksistensi untuk banyak pergulatan kian menghilang. Petualangan lebih banyak bermain dalam wilayah hubungan-hubungan legitimatis seperti ini.”

Kita pun berharap, sebuah kota seperti Mojokerto tetaplah memberikan spirit pertarungan kreatif, apapun bentuknya. Bukan seperti kota Utara Kuru (dalam kisah pewayangan) yang seolah hidup seolah mati, kendati menjanjikan ketenangan yang melenakan. Dan “Kita tidak ingin hidup di kota seperti itu,” tentang Bung Karno ketika bicara soal jati diri bangsa. Tersebab itu, dalam konteks negeri yang kian tak menentu ini: bisakah para penyair “pinggiran” tersebut dapat menyorong “perubahan baru” dalam arus besar perpuisian Indonesia?

*) Jurnal Kebudayaan Banyumili, Mojokerto, edisi April 2007.

Teks Buku Motivasi v Konteks Sosial

Husni Anshori
http://www.jawapos.com/

Item buku motivasi serasa begitu marak beberapa waktu belakangan. Entah itu besutan anak bangsa maupun impor atawa terjemahannya. Selain itu, bejibun pula karangan sejumlah motivator dadakan yang sebenarnya juga hanya menjajal peruntungan mengamini kecenderungan pasar. Siapa tahu bernasib mujur dapat memulung omzet melimpah. Jangan heran bila stoknya lumayan mendominasi aneka dagangan gerai pustaka di berbagai tempat. Orang-orang pun kesemsem pada remik-remik komoditas literasi musiman tersebut.

Jamaknya buku motivasi berkitar-kitar memacu dorongan psikis masyarakat untuk senantiasa istiqamah berupaya melejitkan endapan potensi diri, cerdas meretas rintangan apa pun demi kesuksesan, serta pantang menyerah dalam menyibak tiras kemungkinan penggapaian impian (kebahagiaan) hidup. Bertolak dari sekelumit liku-liku rekam jejak pribadi, biasanya sang penganggit keukeuh berbagi pengalaman tentang kiat-kiat menapak pencerahan dengan segudang kemusykilannya. Ditambah sugesti layaknya adagium: banyak jalan menuju Roma; senyampang ada kemauan pasti angan dapat terwujud nyata; dalam kerumitan tersembunyi serpihan kemudahan; dan sebagainya; lewat adonan kata-kata yang sengaja diracik sedemikian menyihir pikiran.

Dengan begitu hadirnya yang sempat booming telah menoreh kesan tersendiri, seiring jagat perbukuan yang terasa ikut bertambah merona. Pilihan literatur untuk sekalian bukumania juga menjadi lebih variatif. Sebagian elemen masyarakat pun terlipur lantaran mungkin eksistensinya dirasa sebagai ”teman curhat” semata wayang –tatkala empati antarindividu seolah kian langka– guna memperbincangkan problematika yang teramat memasung asa. Utamanya bagi kebanyakan sesama yang kerap dirajam sial bertubi-tubi dan berulang-ulang terjerembab ke deretan liang kegagalan, hingga tertatih-tatih sekadar ingin nimbrung menyeruput nikmatnya seteguk oase dunia fana. Kasihan deh lu!

Yang menggiurkan, konon saban eksemplarnya mengemas khasiat suplemen pembugar batin dalam rangka meneruskan episode kelana meraih seonggok cita. Praktis, sebagian penikmatnya kadang termotivasi ngudar kembali capaian berikut ”PR” yang tertunda kemarin, membikin perhitungan baru, menggenapi bekal (wawasan, keterampilan, mental, serta spiritual), lantas bertekad menggiatkan ikhtiar yang makin progresif usai mendarasnya. Sedangkan mereka yang telah sekian kali menyesap buah keberuntungan dengan gelimang duniawi selama ini, tidak mustahil terlecut pula meraup lebih banyak kepuasan lainnya.

Namun bukan tidak mungkin di antara khalayak memendam apresiasi berbeda soal buku motivasi. Dalam rubrik ini, beberapa pekan silam, misalnya, mencungul tulisan yang memertanyakan senarai bagiannya. Lepas dari itu, upaya mencerap esensinya memang butuh penelaahan kritis. Jika ditelisik, gaya penulisan rerata keluarannya cenderung menggurui. Lalu wacananya terkesan sebatas legit secara idealisme, aplikasinya rada susah dicerna pemikiran masyarakat awam. Sensasinya yang semula cukup meyakinkan akan datangnya kenyataan manis sewaktu-waktu pun tak jarang kemudian seakan membuai hasrat belaka.

Lebih dari itu, muatan gagasan di dalamnya belum sepenuhnya menghadirkan win-win solution terutama untuk menolong kalangan yang bermasalah mentas dari keterpurukan. Meski lazimnya berbalur cerita perjuangan merengkuh kesentosaan hidup pengampunya maupun orang-orang sukses ternama yang mengharu-biru sebagai penguat, tapi masih terbilang sangat normatif, umum, bahkan subjektif. Hendaknya diingat bahwa karakteristik jumlah, tingkat keruwetan, faktor-faktor penyebab, dan jalan keluar persoalan serta kompetensi problem solving masing-masing person tentu berlainan; sehingga bantuan pemecahannya kudu spesifik dan kiranya tak cukup semata dengan menyemburkan motivasi yang bersifat pukul rata.

Anehnya lagi, bias pesona gugusan teks umumnya buku motivasi sering kontras dengan rona konteks sosial pada tataran realitas kontemporer. Coba tengok, kala para sedulur dimotivasi untuk tetap selalu optimistis melakoni keseharian betapa pun peliknya, fakta-fakta empiris kondisi dalam negeri kesannya terus merangsang buncahan rasa pesimistis. Hampir semua aspek kehidupan bangsa ini masih jauh panggang dari api. Wabah pragmatisme, egosentris, atau individualistis gampang banget menjangkiti siapa pun tiap saat. Jajaran elite penguasa beserta pemimpin tampak semakin rentan mengalami ekstasis kekuasaan, kekayaan, serta kesenangan syahwat. Parahnya, eksploitasi ketidakberdayaan rakyat jelata perlahan menjadi tren miris searah penularan life style kapitalis.

Sementara, tak sedikit penulis bacaan macam itu, setelah menuai berkahnya, tergiur perkoncoan elitis sembari keranjingan menelurkan sekuel karya –galibnya kalau sudah diterbitkan berbandrol relatif mahal– di sela-sela kesibukan meladeni permintaan jasa konsultasi, pelatihan, dan sebagainya di berbagai forum eksklusif dengan salam tempel segepok. Mungkin bisa dihitung jari mereka yang menghibahkan sebagian buku torehannya atau bergiat menularkan inspirasi secara gratis kepada kaum duafa yang sempoyongan menghadapi kemelut takdir. Bukan bermaksud underestimate, tapi di manakah mereka ketika –sebagaimana dirilis koran ini sebelumnya– ribuan kawula marginal terjangkit depresi di tengah ingar-bingar derap perkotaan semisal Jakarta dan tidak tertutup kemungkinan sama halnya kota-kota besar lainnya? Adakah mereka getol turut menggelorakan optimisme segenap korban semburan lumpur Lapindo yang bertahun-tahun merana ‘’sebatang kara” memperjuangkan masa depan yang terampas hingga detik sekarang?

Pada gilirannya serangkum indikasi demikian membersitkan ekspektasi musim buku motivasi bisa dinikmati oleh semua komunitas tak kecuali mayoritas wong cilik, tak hanya dimonopoli segelintir golongan berduit. Sebab, rasanya kelompok awal itulah yang lebih memerlukan motivasi dan juga uluran tangan. Alangkah lebih –menukil istilah Pak Bondan ”Mak Nyus” Winarno, sang begawan kuliner– top-markotop lagi andaikan penulisnya (motivator) sudi meluangkan sedikit kerepotan ”turun gunung” untuk menebar kesejukan sekaligus merebakkan ghirah peningkatan kualitas nasib civitas akar rumput.

Bagaimana pun sebuah karya yang kaya makna dan faedah ialah curahan ide yang bukan hanya berdimensi kepentingan artifisial, melainkan lebih merepresentasikan dimensi sosial bahkan andil konkrit pencetusnya demi kemaslahatan seluruh umat. Selebihnya, motivasi terkeren menyemburat dari lubuk diri sendiri. Wallahu a’lam!

Kontroversi KLA 2008

Asep Sambodja
http://kompas.co.id/

Pada 20 September 2008, saya mendapat email (dari milis Apresiasi Sastra), yang berisi pengumuman hasil seleksi tahap pertama (Longlist) Khatulistiwa Literary Award 2008 dari Panitia KLA 2008. Ada 10 nomine di bidang prosa dan 10 nomine di bidang puisi.

Kesepuluh nomine di bidang prosa adalah Danarto (Kacapiring), Junaedi Setiyono (Glonggong), Dyah Merta (Peri Kecil di Sungai Nipah), Ayu Utami (Bilangan Fu), Mohamad Sobary (Sang Musafir), Mashuri (Hubbu), Lan Fang (Lelakon), E.S. Ito (Rahasia Meede), Helvy Tiana Rosa (Bukavu), dan Arswendo Atmowiloto (Blakanis).

Sementara 10 nomine di bidang puisi adalah Saut Situmorang (Otobiografi), Oka Rusmini (Pandora), Afrizal Malna (Teman-temanku dari Atap Bahasa), Sutardji Calzoum Bachri (Atau Ngit Cari Agar), M. Aan Mansyur (Aku Hendak Pindah Rumah), Binhad Nurrohmat (Demonstran Sexy), Nirwan Dewanto (Jantung Lebah Ratu), Hasan Aspahani (Orgasmaya), Wendoko (Sajak-sajak Menjelang Tidur), dan trio Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi (antologi puisi Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan). Pemenang utama masing-masing genre yang akan menerima uang Rp 150 juta itu akan diumumkan di Atrium Plaza Senayan, Jakarta Selatan, pada 13 November 2008.

Pada keesokan harinya, 21 September 2008, saya mendapat email (dari milis Penyair), yang berupa press release yang berisi penolakan Saut Situmorang atas Khatulistiwa Literary Award. Yang menarik dari rilis itu adalah, pertama, Saut Situmorang memperlihatkan sikapnya yang tegas, apa yang dilakukannya sesuai dengan ucapannya. Artinya, manusia ini tidak mencla-mencle. Jelas dan tegas. Kedua, penolakan itu disertai alasan-alasan yang cukup kritis, bahkan cenderung tajam.

Sebelumnya, melalui short message service (SMS), Saut Situmorang juga mengkritik tajam Sutardji Calzoum Bachri yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award 2008 dan mengantongi uang Rp150 juta. Saya kira kenapa Saut Situmorang mengkritik Sutardji demikian keras cukup jelas alasannya, yakni penyandang dana Ahmad Bakrie Award adalah Aburizal Bakrie, pemilik PT Lapindo Brantas Inc., sebuah perusahaan yang kini menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo, Jawa Timur, karena tiga desa dan 15 pabrik tertutup lumpur—yang kini dinamai Lumpur Lapindo.

Uang dan idealisme. Itulah persoalan utamanya. Apakah kita akan memilih uang dengan mengabaikan idealisme? Atau kita akan mempertahankan idealisme dengan risiko miskin karena tak punya uang? Setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua pilihan ekstrem itu. Tapi, dunia tidak hitam putih. Manusia bahkan memiliki kebebasan untuk tidak memilih pilihan itu, meskipun pilihannya hanya dua.

Ada enam sastrawan yang telah menerima Ahmad Bakrie Award sejak penghargaan itu diberikan pada 2003, yakni Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan Sutardji Calzoum Bachri. Ketika kasus Lumpur Lapindo mencuat pada 2006, kegamangan antara menerima atau tidak menerima penghargaan berupa uang Rp 150 juta dari keluarga Bakrie itu mulai terjadi. Hal ini dirasakan Putu Wijaya dan juga Rendra, yang dalam pidato penganugerahannya tetap mengkritik tajam keluarga Bakrie agar bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan PT Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo. Sementara Sutardji Calzoum Bachri, yang pada tahun yang sama juga menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Bintang Budaya Parama, menerima penghargaan itu dengan alasan ia tidak bisa menolak apresiasi yang diberikan oleh orang lain atau oleh suatu institusi.

Saya bersimpati dan mungkin juga berempati kepada para sastrawan yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award, karena sejauh ini nyaris tidak ada lembaga resmi yang memperhatikan nasib dan kehidupan sastrawan. Karya besar Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan Sutardji Calzoum Bachri mungkin hanya menghiasi ruang perpustakaan semata. Mereka tidak diperhatikan nasibnya oleh Negara, meskipun jasa mereka dalam memperkaya kebudayaan Indonesia demikian besar. Ketika ada lembaga yang memberi penghargaan dengan jumlah materi yang besar, dalam hati saya bersyukur, masih ada yang memperhatikan karya dan nasib sastrawan.

Sutardji berpegang pada apresiasi. Ya, apresiasi. Sastrawan tidak bisa menolak apresiasi yang diberikan oleh pembaca, siapa pun pembaca itu. Apakah dicaci-maki atau diberi uang jutaan rupiah. Keduanya merupakan ujud dari apresiasi.

Tapi, dunia ini tidak akan menjadi indah kalau tidak ada orang seperti Romo Frans Magnis-Suseno. Siapa pun yang memiliki hati nurani, pasti akan memberi hormat yang luar biasa pada Romo Magnis. Saya pun menaruh hormat yang dalam pada Romo Magnis, yang sama tingginya dengan hormat saya pada Romo Y.B. Mangunwijaya, penulis Burung-burung Manyar yang membela masyarakat girli di Kali Code Yogyakarta dan masyarakat korban pembangunan Waduk Kedungombo.

Kepada Sutardji, saya berempati, karena saya sadar, bahwa nama besar tidak selamanya diikuti dengan kemakmuran. Memilih penyair, sastrawan, dramawan, atau seniman sebagai profesi merupakan pilihan gila, karena dilihat dari perspektif ekonomi sama sekali tidak produktif. Jasa sastrawan besar, tapi tidak diberi reward yang besar pula. Itulah yang saya katakan nasib. Kalau sekarang Sutardji dapat Rp150 juta, artinya nasib baik sedang berpihak kepada penyair. Mungkin dia bisa hidup 100 bulan lagi.

Kepada Romo Magnis, saya bersimpati, karena pelajaran yang Romo Magnis dan Romo Mangun berikan kepada saya itu sangat mahal harganya. Sama sekali tidak terukur dengan uang. Jauh lebih tinggi nilainya dari Rp 150 juta.

Saya sebenarnya juga bersimpati pada KLA (yang mulai hadir pada 2001). Apa dasarnya? Karena penghargaan yang diberikan lembaga yang dikomandoi Richard Oh ini memberikan penghargaan yang demikian cukup besar kepada sastrawan. Dari semula Rp30 juta sekarang melambung menjadi Rp 150 juta.

Dan saya pernah tiga kali menjadi juri tahap pertama KLA, yakni pada 2003, 2005, dan 2007. Dari tiga kali menjadi juri tahap pertama, baru sekali saya menggolkan “jagoan” saya, yakni pada 2005, ketika Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan Rp 100 juta dari KLA berkat novel Kitab Omong Kosong. Pada 2007, saya sekali lagi menjagokan Seno melalui novel Kalatidha, namun tidak lolos ke tahap berikutnya. Tapi, ketika majalah Tempo melakukan survey tentang buku fiksi dan nonfiksi terbaik pada 2007, saya tetap pada keyakinan saya, bahwa novel Kalatidha merupakan novel terbaik pada 2007.

Kalau saya dipilih panitia KLA menjadi juri tahap pertama pada 2008 ini, saya akan memasukkan Otobiografi karya Saut Situmorang sebagai nomine pertama untuk kategori puisi, terlepas apakah buku itu ada di list yang diberikan panitia atau tidak. Setelah itu diikuti Nirwan Dewanto, Hasan Aspahani, Oka Rusmini, dan Afrizal Malna. Karena apa? Alasan utama saya karena puisi-puisi Saut Situmorang itu sangat bergizi. Sebenarnya pula saya ingin melihat “pertarungan” antara Saut ‘the drunker master’ Situmorang melawan Nirwan ‘the monkey king’ Dewanto seperti dalam film The Forbidden Kingdom di mata para juri tahap kedua dan ketiga. Mungkin tidak ada pemenangnya, karena keduanya sama-sama jago, sama-sama memiliki ilmu kanuragan tinggi, tapi beda gaya.

Sayangnya saya tidak menjadi juri tahap pertama lagi, ya, sudah, tidak apa-apa. Itu artinya saya juga tidak dapat honor Rp1 juta. Artinya lagi, itu bukan rezeki saya.

Terlepas dari itu, saya ingin memberi masukan, bahwa menilai novel maupun cerpen relatif mudah, karena novel yang ditulis sastrawan dalam satu tahun periode penilaian juri KLA, tidak akan muncul lagi pada tahun berikutnya. Demikian pula dengan kumpulan cerpen. Meskipun pengulangan munculnya cerpen yang sama dalam kumpulan cerpen di tahun berikutnya masih memungkinkan.

Nah, untuk menilai kumpulan puisi, ada pengecualian. Saya, misalnya, memiliki semua kumpulan puisi karya Saut Situmorang. Tapi, bisa jadi ada juri yang tidak memiliki buku Catatan Subversif atau Saut Kecil Bicara dengan Tuhan. Hal semacam ini bisa saja terjadi, apalagi kalau kumpulan puisi pertama dan kedua diterbitkan oleh penerbit indie dan tidak didistribusikan melalui jalur distribusi yang diatur dan didominasi oleh Toko Buku Gramedia. Contoh buku Saut memang masih bisa ditemui di Gramedia. Tapi, bagaimana dengan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit indie dan kemudian puisi-puisi yang ada di buku itu diterbitkan ulang ke dalam buku kumpulan puisi yang lebih komplet dan diterbitkan Grasindo, misalnya?

Dengan kata lain, harus fleksibel dalam menilai buku kumpulan puisi. Untuk diketahui, sayalah yang mengusulkan atau menominasikan buku Warna Kita karya Oka Rusmini pada 2007 dengan alasan mutu sajaknya yang bagus. Saya pula yang memasukkan buku Guru Matahari Abdurrahman Faiz ke dalam longlist pada 2005 karena memang tidak ada kriteria usia penyair. Ketika saya menganggap puisi Abdurrahman Faiz bagus, ya, saya nilai bagus, tanpa melihat usianya. Toh, ada penyair tua (maaf tidak saya sebutkan namanya) yang puisinya kurang bagus.

Kepada Saut, saya salut. Di mata saya, Saut adalah penyair besar Indonesia. Tapi, izinkan saya tetap bersimpati pada KLA yang memberi penghargaan cukup besar kepada sastrawan. Biarkan KLA menggunakan sistem penilaiannya sendiri. Biarkan pula Pena Kencana menggunakan sistem penilaian seperti Indonesian Idol, yang menggunakan SMS. Biarkan pula Yayasan Ramon Magsaysay menggunakan kriteria dan sistem penilaiannya sendiri. Sehingga, ketika Pramoedya Ananta Toer mendapatkan penghargaan Magsaysay pada 1995, kita tidak usah menandatangani surat pernyataan penolakan pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, seperti yang dilakukan Taufik Ismail, Mochtar Lubis, dan kawan-kawannya itu. Saya setuju dengan KH A Mustofa Bisri yang menolak ajakan Taufik Ismail untuk menandatangani surat pernyataan penolakan pemberian penghargaan hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Padahal saya tahu, Gus Mus adalah sahabat baik Taufik Ismail.
Sastra Indonesia, insyaallah, akan sehat walafiat. ***

Bahan Bakar Sastra

Eriyandi Budiman
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Tragedi lumpur Lapindo, penyerangan terhadap aliran keagamaan yang berbeda, hingga beragam tragedi yang menimpa bangsa Indonesia lainnya, berbaris seperti jutaan kendaraan bermotor di jalur “leher botol”. Memadat. Beragam kejadian aneh hingga yang remeh-temeh ini, menjadi menu baru bagi pengamatan sosiopsikologis, yang membutuhkan pengamatan ekstra tinggi.

Bagi dunia sastra, yang banyak berkubang dengan persoalan-persoalan tragis, beragam kejadian itu, tentu menjadi bahan bakar, yang dapat memompa semangat berkarya. Dalam artian, untuk turut menjadikan beragam kejadian itu, sebagai pintu masuk imajinasi, sekaligus memompakan semangat kelahiran moralitas baru.

Bahan bakar ini, tentu bukan untuk sekali dilahap kemudian melahirkan karya. Perlu perenungan panjang dan mendalam, agar karya yang dihasilkan benar-benar berkualitas.

Kumpulan cerpen Manusia Kamar, Saksi Mata, hingga novel Negeri Senja karya Seno Gumira Adjidarma, merupakan contoh karya yang berbahan bakar fenomena sosial di Indonesia, yang diolah menjadi karya-karya berkualitas.

Bahan bakar sastra, memang dapat dibuat secara implisit maupun eksplisit, tergantung selera eksplorasi masing-masing sastrawannya. Namun kecenderungan karya yang implisit atau metaforistik, memang lebih dominan. Sejak tahun 60-an, karya-karya seacam ini memang menguat, lalu meledak di tahun 70-an, lalu menguat kembali pada generasi 80-an hingga 2000-an. Hal ini memang sejalan dengan perkenalan dengan bahan bakar sastra yang lebih luas, selain karya-karya sastra global yang menyerbu pelataran ranah perbukuan sastra di tanah air. Naiknya jumlah sastrawan kelas menengah, dalam artian melek baca dan tidak gagap teknologi, juga menguatkan gaya-gaya metaforistik yang makin beragam dalam dunia sastra kita.

Para sastrawan muda kini mempunyai pandangan yang lebih luas, serta pergaulan dalam memahami karya-karya yang lebih ruwet, kompleks, serta multi disiplin. Bisa dikatakan, bahan bakar yang mereka cerna juga kian kompleks dan akseleratif. Tentu karena bahan bakarnya juga kian akseleratif. Jumlah penyakit hingga jenis makanan saja bertambah, apalagi problem-problem sosial dan psikologis. Kelahiran sastra cyber, percakapan SMS, bentuk-bentuk e-mail, kelahiran novel grafis, dan lain sebagainya, merupakan cara ungkap baru dalam mengikuti akselerasi bahan bakar sastra itu. Cara itu, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi budaya, bagaimana karya-karya sastra terkini, dapat masuk ke wilayah pemahaman publik barunya pula. Sederetan publik yang diasumsikan hidup dalam masyarakat postmodern, yang rakus dalam mengonsumsi apa pun yang bernama produk baru.

Sayangnya, karya-karya dengan kecenderungan baru ini, baru terserap di tataran yang tinggi, dan belum menyebar ke berbagai pelosok. Hanya beberapa toko buku besar serta toko buku alternatif, dan sedikit perpustakaan di kampus-kampus, yang memajang karya mereka.

Padahal, karya-karya seperti ini membutuhkan daya dukung distribusi yang kuat. Ini disebabkan banyak karya-karya sastra diterbitkan penerbit-penerbit kecil, yang akses distribusinya lemah. Sedangkan beberapa penerbit besar, terutama yang juga mempunyai jaringan toko buku, hanya berada di kota-kota besar. Sehingga bahan bakar yang telah mendorong kelahiran sastra-sastra baru ini, menumpuk di gudang atau terbanting oleh dorongan buku-buku lain yang kian banyak. Karena umumnya, toko besar mempunyai jangka waktu tertentu untuk memajang sebuah buku. Sedangkan toko-toko kecil lebih banyak memajang karya-karya pop atau daur ulang cerita rakyat.

Tumbuhnya kembali pengadaan buku oleh pemerintah, baik lewat dana BOS, Bapusda (Badan Perpustakaan Daerah), serta DAK (Dana Alokasi Khusus), belum dapat sepenuhnya menyalurkan karya-karya bermutu ini ke perpustakaan. Dana BOS bisa kita maklumi karena hanya membeli buku pelajaran. Namun pada dua pendanaan lain, sebetulnya peluang itu ada. Hanya, masalahnya, para penerbit projekan ini lebih banyak yang masih buta dalam dunia sastra.

Pada tataran ini, karya-karya (khususnya yang berada pada ranah budaya), masih didominasi cerita anak-anak yang dibuat dalam kualitas yang kurang memadai. Baik dari unsur alur, penokohan, dan terutama bahasa. Begitu pula penampilan ilustrasi dan gambar sampul yang sering tampak serampangan. Desain gambar sampul banyak terabaikan. Sehingga, ada kecenderungan bahwa buku-buku sastra yang masuk ke projek pemerintah ini, kurang menarik untuk dibaca. Lalu untuk tingkat sekolah menengah dan atas, karya-karya sastra lebih terabaikan lagi. Karena karya-karya yang masuk lebih banyak untuk tingkat SD.

Maka, tak heran, banyak para pelajar juga guru sastranya, terutama karena akses mereka yang terbatas terhadap dunia perbukuan, juga minat dan daya juangnya yang rendah, tak mengenal karya-karya para sastrawan baru ini. Sehingga mereka tidak merasa melihat bahwa bahan bakar sastra yang ada, yang mereka rasakan, tidak ada dalam karya sastra. Pengadaan buku bahasa dan sastra Sunda yang baru dimulai, untungnya lebih baik dibanding bahasa dan sastra Indonesia .

Ke depan, saya yakin, akan banyak karya-karya sastrawan baru ini yang masuk ke dalam pengadaan buku oleh pemerintah.

Jejak Pemikiran Kritis Sang Kiai Selebritas

Akhmad Sekhu*
http://www.tempointeraktif.com/
Judul buku: Jejak Tinju Pak Kiai
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: September 2008
Tebal: xiii + 240 halaman

Emha Ainun Nadjib adalah sebuah fenomena. Pemikirannya sangat fleksibel, bisa masuk ke berbagai ranah kehidupan: sosial, budaya, politik, keagamaan, bahkan dunia selebritas. Namun, Cak Nun–demikian sapaan akrabnya–tetap giat dalam berbagai acara rutin yang diasuhnya, yaitu Padang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), dan Obor Ilahi (Malang).

Bahkan, bersama grup musik Kiai Kanjeng yang didirikannya, ia kerap diundang ke berbagai negara, antara lain Mesir dan Malaysia. Bersama Kiai Kanjeng pula ia mengadakan rangkaian tur keliling di Benua Eropa, seperti di Inggris, Jerman, Skotlandia, dan Italia. Pada akhir 2006 ia melakukan serangkaian perjalanan ke Finlandia dalam acara Amazing Asia dan Culture Forums atas undangan Union for Christian Culture.

Buku Jejak Tinju Pak Kiai ini menghimpun kumpulan tulisan Emha Ainun Nadjib yang tersebar di berbagai media massa. Dalam buku ini Emha menuliskan kegelisahannya soal reog, batik, dan lagu Rasa Sayange yang diakui sebagai kebudayaan Malaysia.

Tak hanya itu. Emha juga menulis masalah rakyat kecil: kegelisahannya tentang Pasar Turi di Surabaya, nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, hingga masalah Lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Ada juga tulisan lain, seperti “Austranesia”, “Pecel Suriname”, “Buto Kempung”, “Tanah Halal Air Halal”, “Mudik Keluarga Mudik Bangsa”, dan sebagainya.

Buku setebal 240 halaman ini terdiri atas enam bagian. Di bagian pertama, bertema Manunggaling Kawula lan Gusti, ia lebih banyak menyoroti kondisi Indonesia yang kacau dengan berbagai terminologi. Misalnya saja lewat peristiwa pingsannya Pak Kiai akibat menonton tinju, atau tentang kesabaran orang-orang kampung menghadapi masalah, hingga tentang pilkada yang cenderung memicu kekisruhan di pelbagai wilayah.

Bagian kedua, Gondes, Bleksor, dan Buto Kampung, menyoroti pemakaian bahasa Indonesia. Dengan gaya khasnya, ia memilah bahwa ternyata bahasa Indonesia bukan hanya terdiri atas yang baik dan yang benar, tapi juga yang enak. Ada juga pandangan Sang Kiai tentang narkoba, pengemis, hingga konflik partai.

Bagian ketiga, Makhluk Halal, Makhluk Haram, berisi kritik Cak Nun terhadap makna tanah air, institusi negara, kehidupan bernegara dan beragama, serta mempertanyakan tentang nasionalisme 2009.

Ada yang khusus di bagian keempat. Cak Nun tampaknya ingin memberi porsi istimewa bagi Jawa Timur, tempatnya bermukim selama ini. Dalam bagian tulisan “Nyunggi Wakul”, ia membahas mengenai Daerah Istimewa Surabaya. Idenya tentang bagaimana idealnya mensurabayakan Surabaya dibahas tuntas.

Secara mikro ia berbicara tentang kepedulian Jawa Timur, masing-masing pada tulisan tentang Pasar Turi, Gerakan Majnun Internasional, hingga adanya Jaringan Mahasiswa Revolusioner Indonesia Baru.

Dalam bagian kelima, “Indon”, dan “Reog Malaysia”, ia mengungkapkan buah pikirannya tentang hal-hal yang lebih besar. Mulai dari tragedi Kasan-Kusen, cucu Nabi Muhammad yang meninggal begitu amat sangat tragis dengan kepala dipenggal, atau tentang Irak-Amerika. Hingga tentang Austranesia, sebuah wacana penggabungan dua negara bertetangga, yaitu Australia dan Indonesia. Hubungan kedua negara menurut Cak Nun selalu penuh dengan pertentangan untuk kemudian saling bermesraan.

Atau tentang Malaysia, yang membuat masyarakat seluruh Indonesia marah karena kasus pengakuan reog, batik, dan lagu Rasa Sayange. Tapi tampaknya cuma Cak Nun yang seperti memaklumi kelakuan negara jiran ini. Meski tentu saja dalam kerangka sebuah kritik untuk hubungan kedua negara yang bertetangga yang tetap terjalin baik.

Terakhir, bagian keenam, “Ijtihad, Ittiba, Taqlid”, dimulai dari pembahasan Cak Nun tentang nabi yang pernah membakar masjid akibat ulah oknum takmir masjid sehingga membuat masjid itu menimbulkan mudarat lebih besar dibanding manfaat; tentang kritik terhadap departemen agama; tentang perbedaan berbagai ormas Islam dalam menentukan waktu Hari Raya yang kontroversial tapi dirinya justru menginginkan semoga perbedaan itu sepanjang masa; tentang puasa; tentang mudik.

Sampai pembahasan tentang “Islamic Valentine Day”, sebuah istilah dari Cak Nun yang ngawur bila ditinjau dari sudut apa pun, bahkan perayaan Valentine Day selalu kontroversial, tapi tampaknya di sini ada itikad baik tentang cinta dan kemanusiaan.

Akhirnya kita dapat menyimpulkan keseluruhan tulisan dalam buku ini bermuara pada bagaimana perlunya bersikap arif dan melatih kesabaran, perlunya menjadi makhluk wajib yang berguna bagi sesama, meninggalkan kesombongan, fanatisme berlebihan, serta mencanangkan rasa nasionalisme. Walau demikian, dalam memandang berbagai persoalan, Cak Nun tidak terkesan menggurui, justru memberikan solusi dan daya tambah untuk melapangkan dada dan membeningkan hati dan pikiran.

Tampaknya tak seorang pun yang dapat memahami pemikiran Cak Nun selain H. Halimah, ibunya, satu-satunya orang yang mengajarinya membaca Al-Quran. Sebab, Cak Nun kecil tak mau diajari qira’at oleh siapa pun kecuali oleh ibunya sendiri. Tapi, lewat buku ini, kita akan mendapat titik terang penelusuran panjang mengenai jejak pemikiran kritis sang kiai selebritas.

*)Pengamat buku, tinggal di Jakarta.

Sastra Wangi Aroma Selangkangan

Agus Sulton*
http://oase.kompas.com/

Kemunculan para penulis wanita untuk meramaikan dunia sastra memang bisa dibilang memberikan warna tersendiri bagi dunia kesastraan. Tapi disisi lain terjadi pergeseran orientasi dalam dunia sastra Indonesia dan banyak orang awam mengatakan, karya mereka adalah sesuatu yang tabu. Bisa dibilang mereka adalah generasi sastra dunia ketiga—menolak tabu dalam budaya patriarki yang membelenggu kaum hawa, membuka sebuah kejujuran, menolak kritik penelaah tertentu, dan menolak larangan-larangan yang ditetapkan untuk kaum perempuan. Walaupun sebelumnya Nh Dini, Dayu Oka Rusmini, Ratna Indraswari Ibrahim, dan lain-lain sudah menyuarakan gender atau semacam usaha perempuan untuk bicara sebagai suatu percikan dari gelombang ideologi dan paradigma feminisme.

Seperti juga yang disuarakan, pemimpin kritikus sastra feminis, seperti Helene Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigaray. Pemikir feminis ini menolak kategorisasi didasarkan pada oposisi biner yang pada akhirnya, karya-karya perempuan terpinggirkan (The Jakarta Post, A. Junaidi). Menurut klasifikasi kutub ini, jiwa yang berharga dan tubuh kurang begitu; putih dipisahkan dari hitam—sebagai laki-laki dan perempuan.

Dan, Ayu Utami, Saman (DKJ, 1998) adalah awal mula tonggak dominasi genre sastra baru di dunia ketiga, yaitu ”sastra wangi” tahun 2000-an. Namun kedatangan sastra wangi banyak yang memperdebatkan. Karena sastra wangi itu sendiri adalah hal baru, dimulai oleh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan berderet nama yang berkedok feminisme—menyatakan hak asasi berbicara masalah diri sendiri, termasuk di dalamnya; Fira Basuki, Nukila Amal, Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Dinar Rahayu, dan sebagainya. Ibnu Wahyudi (Dosen UI) menulis dalam salah satu jurnal mengatakan sastra wangi adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi perempuan yang mengandalkan tubuh. Dari definisi tersebut nampak jelas, bahwa penulis perempuan tersebut tidak hanya mengandalkan karyanya, tapi kecantikan dan seksinya penulis (lihat Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu).

Suatu Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, dinamika kesastraan di Indonesia beberapa tahun belakangan ini diramaikan oleh para pengarang wanita. Dari situlah kehidupan sastra Indonesia semakin riuh—dengan munculnya beberapa penulis wanita—yang usianya relatif cukup muda, dan dengan kecenderungan berkarya yang kian beragam, bebas , dan berani. Sehingga banyak pemikir dan penikmat sastra, mereka disebut-sebut sebagai sastra wangi. Karena merujuk pada karya sastra yang diciptakan kaum perempuan (Lampung Post, Soroso). Tetapi hal yang lebih dasar lagi dari sastra wangi adalah seringnya diwarnai tema seks yang bahkan sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar belakang yang menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas ekonomi atas) dibarengi dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi. Seperti yang pernah ditulis oleh Saut Situmorang dalam ”Politik Kanoniasi Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi.

Memang karya sastra adalah sebuah cerminan zaman yang penulis alami, suatu refleksi atas suatu pengalaman dan menulis dijadikan sebagai jalan perenungan. Tapi kedatangannya karya mereka di dunia sastra Indonesia tidak lepas hanya sebuah cerminan fiktif. Akan tetapi, dunia fiktif ini bisa jadi mengandung nilai-nilai yang menjadi alternatif dari nilai-nilai yang selama ini mendominasi di dunia nyata. Nilai-nilai yang disodorkan dalam karya sastra ini bisa jadi baik atau bahkan lebih buruk, tergantung dari masyarakat yang mengkonsumsi karya sastra yang dimaksud. Penulis hanya memainkan parodi, paradok, dan ironi, sehingga tidak bisa memaksa masyarakat untuk menganut nilai-nilai dan norma-norma sosial tertentu. Namun, apa yang ditulisnya bisa menyuguhkan sesuatu yang up to date dan sedikit banyak bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat, walaupun dari segi emosional.

Jelas, itu semua hanyalah sebagai kekuatan karya sastra. Walaupun seperti itu, mereka bisa dibilang fanatisme yang begitu berani dan menjadi suatu hal yang dahsyat untuk perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Seperti ada nuansa baru yang intens dikalangan sastra muda Indonesia. Umar Kayam menyebutnya, para penulis-penulis muda banyak yang lebih berbakat bahkan kaum tua susah menandinginya, ada yang mengatakan kata-katanya bagaikan bercahaya seperti kristal (Ignas Kleden). Tapi disisi lain karya-karya dari sastra wangi; Ayu Utami, Dinar Rahayu, dan Djenar Maesa Ayu pernah dituding penetrasi kapitalisme ke dalam dunia sastra. Seks muncul sebagai tema, semata-mata karena tema itu laku di pasaran. Tudingan ini sebetulnya sungguh bukan tanpa alasan. Karena, para pengarang karya sastra kita memang tidak mungkin terlepas dari dimensi pasar dalam pembuatan karya sastra mereka. Selalu ada unsur kapitalisme dalam karya sastra, karena karya sastra harus dipasarkan. Itulah sebabnya, di setiap masa, selalu ada kecenderungan karya sastra ke arah model dan tema tertentu. Menuduh sebuah karya sastra sukses karena penetrasi kapitalisme adalah benar, sebab nyatanya semua karya sastra tidak kuasa melepaskan diri darinya (Surealisme, Sek, Kapitalisme: Karya sastra kaum muda, Saidiman). Kendati demikian, tentu publik pembaca karya sastra tidak seragam, bahkan semakin hari semakin beragam.

Terlepas dari kapitalisme dalam karya sastra, toh kalangan penulis perempuan telah memberikan wacana baru mengenai posisi perempuan di masyarakat. Perempuan selama ini dianggap tidak berhak untuk menyuarakan potensi seksual tubuh mereka, tetapi para penulis ini telah menawarkan satu pandangan baru, bahwa seks juga milik perempuan. Sampai-sampai Tufik Ismail menyebut karya mereka sebagai sastra selakangan, karena banyak mengungkap bagian ”jeroan” begitu vulgar—tanpa dinding pembatas. Seperti pada kutipan; ”Padahal saya sudah rindu. Tapi ayah malah menyangkal ! Katanya ia tidak pernah menyusui saya dengan penisnya.” (Manyusu Ayah, Djenar Maesa Ayu).

”Dan aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus” (Saman, Ayu Utami)

Sedikit kutipan di atas jelas memberikan suatu fenomena sastra yang mengangkat tokoh perempuan dan kemudian ingin menunjukkan bahwa perempuan bisa memerkosa dan berinisiatif. Perempuan bisa saja berniat untuk melakukan hubungan seksual sebagai subjek, bukan sebagai objek. Hal semacam ini juga pernah ditulis oleh Motinggo Boesye, sastrawan tahun 70-an menulis kisah-kisah yang menceritakan hubungan seks yang menggairahkan, namun belum sampai berani mengarah sekitar selakangan.

Memang selama ini para novelis yang banyak mengeksplorasi seks ke dalam karya sastra beranggapan bahwa kultur di Indonesia, baik budaya daerah atau agama, selalu memposisikan perempuan sebagai objek (Eksplorasi seks dalam sastra, Irfan Hidayatullah).

Sebenarnya banyak novel yang berbau seksual, tapi tidak sevulgar novel-novel dari sastra wangi. Begitu eksplisitnya penggambaran tentang bagian selakangan, tanpa rasa malu. Sehingga bisa dipastikan karya-karya dari sastra wangi banyak yang menyengat aroma selakangan dan seks dijadikan permasalahan utama dalam penulisan. Kalau dimasukkan dalam jajaran segmen, jelas karya mereka sudah pasti masuk dalam segmen pembaca dewasa.

Bukan hanya seks dan kevulgaran dalam pendeskripsian. Ditengok dari sudut pandang lain penulis sastra wangi juga banyak mengangkat ajaran moral yang baik, kritikan terhadap pemerintah, dan pernyataan gender. Tetapi ajaran gender tidak begitu difokuskan dalam ajaran moralnya. Mungkin bisa dilihat konflik yang terjadi dalam novel Saman.

An sich

Walaupun seperti itu, Ayu Utami sudah mampu menunjukkan pesona kepada pembaca—dari sudut ceritanya yang menawan, juga terpuaskan dengan sajian bahasa, bentuk, dan ungkapan yang indah, seperti kristal yang belum pernah dicoba sebelumnya. Disamping itu, pembaca juga dapat menikmati kefulgaran dunia seksualitas yang bisa bikin gerrr (baik bagi laki-laki maupun perempuan), bahkan pengikut ajaran pembelaan sastra kepada kaum tertindas—juga bisa menjadikan karya Ayu Utami tersebut sebagai instrumen perjuangan.

*) Lahir di Jombang, 1986. Status sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Penggiat di Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS, komunitas tulis dan apresiasi sastra) Ngoro-Jombang.
Kumpulan puisi pribadinya ”Tetesan Tinta Air Mata” (ditulis dari tahun 2002-2005), ”Sketsa Tak Bermantra 1” (ditulis dari tahun 2004-2006), ”Berhias Mata Kaca” (ditulis dari tahun 2006-2008), dan “Kantin Pelatuk Naga” 2010. Karya lainnya berupa cerpen, esai, dan 1 novel pribadi ”Rembulan Bernyanyi”. Saat ini tinggal dan berkarya, di Desa Rejoagung, Kec Ngoro, Kab Jombang JATIM

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar