Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=393
OS LUSIADES (canto X)
Luís Vaz de Camões
Di bawah sayap terkembang dari pagi menyala,
Lihat, tebaran pulau menghias laut cemerlang!
Tengah ratusan, walau belum bernama, lihat Ternate!
Kala siang, berliput gemawan tinggi bukit-bukitnya,
Kala malam, panji-panji api, bagai ombak menggulung,
Berkibar di laut dan giat menjulang ke langit tinggi
Di sini burung keemasan senantiasa melayangi
Angkasa, mencumbu Surya dengan warna gemilang,
Dan habis makan, terus membumbung masuk udara;
Dan baru kembali menyentuh bumi, bila habis nafasnya.
Di sini kepulauan Banda menerawang rendah indahnya
Dari ragam buahan, warna lazuwardi, merah dan putih;
Dan margasatwa -serbaindah warnanya - melagakkan
Bulunya kilau-kemilau; kala menjelajah puncak-puncak
Buih dan pucuk-pucuk pohon, ditandai sayapnya giat,
Untuk memungut upeti dari taman rempah-rempah.
Borneo pun mengembangkan dadanya yang kaya-raya,
Diselubungi oleh alam dengan hutan kapur barus.
Getah berharga yang dari pepohonan merintik,
Membubuskan panas sehat, ya; pembarut berisi penawar.
Indahnya gugusan Timur dengan tamannya beraturan!
Semua kali menggamit dalam bayangan serba wangi
Dan dalam dadanya cerah meriap rimbun pohon:
Cendana, penuh restu bahan obat yang mujarab.
Di mana dataran bumi yang luas meliku ke selatan,
Ke sana kerajaan Sunda menjangkaukan lengan kuasa
Dan dari sini peziarah membawa kabar-kabar ajaib,
Tentang suatu sungai yang merintih di lembah kering
(sekitarnya batu belaka) dan pohon apapun juga
Yang tumbang ke dalamnya, tak ayal menjadi batu.
Lihat, di udara: menggemilang biru Sumatera indah,
Bangkit nyala menggigil dari kawah suatu gunung;
Di sini pohon-pohon memelukan getah aneka wangi
Dan sumber-sumber ajaib membersitkan minyak paling halus.
Bukan itu semata penghasilan pulau bahagia ini.
Halus emasnya sukar ditanding dan sutranya kilau-kemilau.
Luís Vaz de Camões, lahir di Portugal 1525. Lulusan universitas di kota Coimbra. Berpendidikan klasik dan pengetahuan bahasanya luas. Tahun 1542-1546 hidup di Lissabon, menggubah sajak dan dramanya. Kekasihnya Dona Caterina de Athayde, seorang dayang istana Raja Portugal. Karena melanggar tatacara istana, Luis dibuang selama dua tahun jadi serdadu di Afrika, mata kanannya buta dalam pertempuran laut di Ceuta. Kembali ke Lissabon terbit perkelahian dengan pegawai istana, dihukum penjara lalu dibebaskan dengan syarat meninggalkan Portugal berangkat ke India (Goa) sebagai serdadu. Tahun 1556 dikirim ke Macao, melalui Malaka serta kepulauan Maluku, karena banyak halangan baru tahun 1558 sampai di Macao menjadi pekerja sipil. Dituduh korup lantas diungsikan ke India (dalam perjalanan kapalnya tenggelam di Kamboja), dirinya selamat, masih menjalani hukuman penjara di India, setelah bebas berangkat ke Mozambique menetap dua tahun menggubah sajaknya: Goa: Babel dan Si Anak Hilang. Tahun 1570 sampai di Portugal, menerbitkan buku Os Lusiades juga Rimas. Luis ialah penyair terbesar Portugis, meninggal tahun 1589. {dari buku Puisi Dunia, jilid I, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}.
***
Sastrawan akan temukan bahasanya, kudu relakan diri bersusah payah, serupa ujaran para orang utama; ilmu hanya bisa diperoleh dengan bersungguh menempuh lapar dahaga.
Riwayat Luis menggetarkan onak duri lika-liku penjegalan ke alam puitika, dunia keterkejuran pandang melesat dari nurani, atas indra lembut menangkap warna lain bentukan mata.
Nilai-nilai sejukkan jiwa oleh jerit pembuangan dalam penjara, peperangan serta fitnah. Seakan tuhan mengangkat derajat insan asal kerasnya usaha pada terpaan badai laut amukan sejarah.
Tiada jera menggelinjak sekobaran api keabadian tertanam ke sukma, keseimbangan tercapai sebab syukur keagungan perjalanan ke Malaka, Maluku, jua mendengar kabar keindahan pulau sekitarnya.
Tak keliru pengakuan tersemat namanya penyair terbesar Portugis; ketabahan menjalahi hidupnya memunguti nilai-nilai tersebar di jalan kembara, ialah kekayaan menempa hayat penuh paripurna.
Di bawah ini kucoba kembarai puisinya, demi mengingat dekap kekayaan Nusantara tercinta:
Keindahan alam tak sekadar lukisan tentramkan jiwa, rerautnya menawan menggoda diterjemah lebih kepada Sang Pencipta.
Menetaskan gairah hidup bertujuan kilauan masa, tanjakan bukit-bukit menandaskan tingkatan usia pun boleh diartikan berbeda.
Keayuan menambahkan faham melalui bahasa santun nan jernih, alam merestui insan menghabrurkan hidup bersama bayu hayati memaknai.
Antara perih angin laut binaran cahaya harapan, awan-gemawan menuntun pelaku tidak lekas tenang ada kewaspadaan, sedang gemintang mengukur kesejatian bathin kembara.
Ketika tercebur lamunan lumat menikmati indrawi, biji mata turut syahdu menuliskan samudera pengetahuan yang membentang selangit biru.
Waktu bermelodi hangat, kiranya dinyayikan rasa syukur, dipersembah untuk generasi selanjutnya.
Burung-burung berharap terus kembara, melayang terapung ikuti ritme terpaan bayu, kesemangatan mengejawantah yang terjelma kepakan sayap.
Merentang sambil saksikan pesona lawatannya, dan cahaya surya menerobos gemawan kadang serasa teguran. Perasaan dihardik pula bersalam damai, laksana tingkatan pelajari ilmu di ruang perpustakaan.
Tak kenyang kalau berhasrat penerbangan jauh, oleh bisa memberatkan kepakan. Berkecukupan menerima menghantar sahaja, dari sinilah nafas kaidah meluncur serupa penerbangan elok dalam udara kebebasan berkarya.
Keadiluhungan pertiwi sepantasnya dirawat melestari, tidakkah buah-buahan berlimbah sejumlah gemintang tak terhitung di angkasa.
Hewan-gemewan tetumbuhan tegak berwibawa menjaga harmoni alam raya, tinggal insan pandai mengolah waspada, agar tak disusupi sifat serakah yang membuyarkan tatanan dunia.
Wewarna bunga berjenis kekupu juga lebah madu, menandakan surga mensyukuri tingkatan bijaksana. Tiada rerumputan mati oleh rimbun daun-daun pohonan, semua dapati limpahan cahaya surya adil merata.
Lewat jemari terampil pepucuk harapan sampai, sabar mengaduk bencah berkesuburan purna, tabah naik-turun gelombang musim-musim edarkan bencana pula kekayaan berlimpah.
Dada-dada bidang pekerja tangguh, dada-dada segar perawan lugu, terserap dalam nilai-nilai luhur warisan leluhur.
Berjalan serasi selenggokan bidadari menarikan selendang pelagi, kesakralan menjaga wibawa, hilang rasa malu perhangus segala.
Oh sungguh berat merawat kekayaan, jikalau hati ada decak kagum lantas saling berebut kuasa.
Hasrat tak terarah jelmaan srigala di hutan belantara menyusupi senjakala. Maka kesedihan bagi belum mampu memaknai, kiranya tekun kembarai yang belum diwedarkan para pujangga.
Siapa tahu ketulusan cencangan akal gayuhan rindu; pernah ada kejelian pandang menghidupi nafas bumi putra. Ikhtiar kuat manis rasanya, tatkala sejenak istirah sambil meneguk ridho-Nya.
Negeri Timur Jauh taman mimpi bayang-bayangnya menjelma pancaran cahaya kalbu fikiran, menggali yang diedarkan perubahan.
Masa-masa makin harum semerbak bermusim kembang seteguh menggenggam yang diyakini.
Inilah obat mujarab alam memberi restui nafas-nafas melahirkan kefitrian bathin mengangkat kebahagiaan pengajaran.
Kebudayaan terindah menghiasi peradaban, selingkar kalung mutiara pada leher jenjang, yang haus dahaga ruapan kesejatian.
Kekisah kerajaan di Nusantara, para rajanya tampan berwibawa, pengawalnya gagah berani, putra-putra makhota memancarkan kharisma.
Tak kalah indah permaisuri dan dayang-dayangnya dibalut kemakmuran, rakyatnya patuh menziarahi kubur leluhur ngalap berkah pepundi ketentraman.
Ialah siklut halus bertautan alam penghuninya, sekabutan melindungi dari marabahaya, juga tiada tertandingi syair para pujangganya bersimpan dinaya yang sanggup meramal kejadian kan datang.
Sungguh gugusan bumi dikaruniai kesuburan berlimpah, keajaiban-keajaiban tersiar sesurat kabar ke negeri seberang.
Gunung-gemunungnya setegar jiwa petapa, ini bukan cerita dibaluti keindahan semata, ada ruh membuncah tafsirkan nafas kalimah.
Hanya penerimaan baik getarkan indra pamungkas, menjelma kidungan selalu digubah, sebagai prasasti kekayaan dunia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 13 Februari 2010
Kisah Perempuan di Hindia Belanda
Ageng Wuri R. A.*)
http://oase.kompas.com/
Judul Buku : Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda
Penulis : Tineke Hellwig
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007
Cetakan : Edisi Pertama
Tebal : xii + 122 halaman
Harga : Rp. 24.000,00
Kaum perempuan pada masa lalu digambarkan hanya sebagai pemuas kebutuhan seksual pria saja. Mereka pada masa lalu dipandang sebelah mata oleh kaum pria. Namun, dengan tergerusnya zaman kaum perempuan dapat menyetarakan dirinya dengan kaum pria dan ikut berperan diberbagai bidang. Seperti, R. A. Kartini (1879-1904), seorang perempuan pribumi istimewa yang hidup di pulau Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda mampu membela hak-hak perempuan untuk pendidikan. R. A. Kartini hanyalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban dari sistem kolonial Hindia Belanda.
Penggambaran kaum perempuan dalam teks-teks kesusastraan yang berkenaan dengan masyarakat kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ditulis oleh Tineke Hellwig dalam buku berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Secara terbuka, penulis (Tineke Hellwig) dalam buku tersebut memaparkan dan menguraikan kaum perempuan dalam teks-teks kesusastraan dalam bahasa Melayu dan Belanda. Pengarang teks-teks kesusastraan dalam bahasa Belanda, yaitu Louis Couperus (1863-1923), P. A. Daum (1850-1898), Annie Foore (1847-1890), Melati Van Java (1853-1927) dan Therese Hoven (1860-1941). Sedangkan, pengarang yang menulis dalam bahasa Melayu sangat terbatas, yaitu Gou Peng Liang (1869-1928), Phoa Tjoen Huat (1883-1928), Thio Tjin Boen (1885-1940), Njoo Cheong Seng (1902-1962), Herman Kommer (1873-19XX), dan G. Francis (1860-1915).
Sekitar tahun 1900-an perubahan-perubahan besar terjadi dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam konteks sosial dan ekonomi yang berlangsung pada abad ke-19. Pada masa itu masyarakat Hindia terdiri dari orang-orang pribumi yang terbagi dalam berbagai kelompok masyarakat etnis, golongan Indo, golongan Eropa serta yang dinamakan golongan Timur Asing (Cina, India, dan Arab).
Jumlah orang Eropa di Hindia meningkat. Secara bersamaan, pendidikan Barat untuk rakyat Indonesia telah menumbuhkan kesadaran politik mereka. Orang-orang Indo dan Cina didesak untuk menempati posisi-posisi yang lebih sempit. Dalam masyarakat majemuk ini terjadi tegangan antara warga pelbagai kelompok yang berbeda.
Banyak dampak bangsa Eropa dirasakan oleh masyarakat yang hidup di Kepulauan Nusantara ini. Salah satunya adalah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830 dicetuskan oleh Gubernur Van Den Bosch. Sistem tanam paksa membuat seluruh penduduk sangat menderita, karena tanah digunakan untuk menghasilkan tanaman komersil. Selain masalah ekonomi, sosial pun menjadi sebuah polemik di tengah-tengah penderitaan penduduk, khususnya kaum perempuan. Dengan munculnya sistem feodal, berkenaan dengan hubungan antara orang-orang berlainan jenis. Perempuan dianggap lebih rendah dari pria, sekalipun kaum perempuan memegang peranan penting.
Pada masa VOC muncul pergundikan, yang pada waktu itu terkenal dengan sebutan nyai. Budak perempuan biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang paling miskin. Pejabat-pejabat di kalangan VOC lebih tinggi umumnya memiliki hubungan lebih erat dengan perempuan-perempuan setempat, baik sebagai istri maupun gundik. Seorang nyai dapat dikatakan tidak mempunyai hak apa pun, antara lain tidak punya hak atas anaknya maupun tidak atas posisinya sendiri. Yang menarik, walau seringkali perkawinan campuran tidak dapat diterima oleh masyarakat, namun dalam kehidupan sehari-hari seorang istri tidak resmi, secara lahiriah diperlakukan sama terhormatnya dengan istri sah.
Pencitraan Kaum Perempuan di Hindia Belanda dalam Karya Sastra
Tineke melihat di dalam novel-novel Belanda umumnya menguraikan inti cerita berkisar sekitar tokoh-tokoh Eropa, yaitu orang Belanda dan Indo. Seringkali orang pribumi dan orang Tionghoa tidak memegang peranan penting, orang pribumi menjadi pembantu, kuli, atau warga terjajah, yang tidak bertindak ataupun berbicara. Sifat problematik masyarakat Hindia Belanda dengan pengucilan rasialnya menggema di hampir kebanyakan kisah.
Dua tema lain yang berulang muncul dalam novel-novel Belanda, yaitu pertama sifa misterius yang meliputi dunia khatulistiwa di Asia (dunia gaib) dan kedua, moralitas seksual dengan standar gandanya yang mencangkup masalah gundik dan voorkinderen (anak hasil hubungan luar perkawinan antara lelaki Eropa dan nyai-nya). Tema tersebut terdapat dalam karya Couperus dengan judul De Stille Kracht, karya De Familie van de Resident (Keluarga Sang Residen) oleh Melati Van Java, kisah Indische Toestanden (1897, Keadaan di Hindia, dari negeri Pohon Kelapa) karya Therese Hoven, kisah Willie’s Mama (1895) dalam koleksi Indische Huwelijken (Perkawinan di Hindia) oleh Annie Foore, dan novel Nummer Elf (1893, Nomor Sebelas) karya P. A. Daum yang sangat dipuji-puji orang.
Dalam kisah-kisah karya sastra yang telah disebutkan di atas, betapa besar trauma bagi perempuan yang menerima kehidupan masa lampau suaminya dengan seorang nyai, terutama jika ia mempunyai beberapa orang voorkinderen. Jelas bahwa konfrontasi utama diutarakan dalam kisah-kisah Belanda terjadi di antara bangsa Eropa kulit putih dengan orang-orang Indo dan anak-anak voorkinderen yang menimbulkan masalah adalah Indo.
Berbeda dengan novel-novel dalam bahasa Melayu. Tineke melihat pencitraan kaum perempuan terdapat di beberapa karya sastra bahasa Melayu, yaitu Tjerita Njai Dasima (1813) karya G. Francis, Tjerita Nji Paina (1900) karya H. Kommer, kisah Sarinten sebagai nyai Jonkheer Adriaan Malheure dalam Tjerita Controleur Malheure (1912) oleh Th. H. Phoa, Njai Warsih (tanpa tahun) karya Thio Tjin Boen, Tjerita Nona Diana (1920) karya Gouw Peng Liang, dan cerita Nona Olanda sebagi Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng.
Kisah-kisah bahasa Melayu ini menyajikan sosok perempuan dalam berbagai peranan dan posisi. Mereka menjadi nyai dan istri, sering dalam hubungan multirasial yang menjadi pusat alur cerita. Jelas bahwa hubungan kolonial dalam masyarakat hindia menyebabkan banyak perasaan tidak puas dan memerlukan sangat banyak usaha penyesuaian. Karena kekuasaan kolonial dapat diidentifikasikan dengan lelaki kulit putih, maka perempuan menduduki tempat lebih rendah.
Dengan membaca buku yang berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, para pembaca diajak untuk meneropong peranan yang dimainkan perempuan di tengah kancah perubahan sosial pada kehidupan Kolonial Hindia Belanda. Dengan menelaah sejumlah karya sastra yang melukiskan kehidupan kolonial di Hindia, Tineke berhasil menguak pelbagai ketidakseimbangan yang terjadi pada era masa lalu, khususnya pada kaum perempuan.
*) Penulis Lepas, Mahasiswi Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI)
http://oase.kompas.com/
Judul Buku : Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda
Penulis : Tineke Hellwig
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007
Cetakan : Edisi Pertama
Tebal : xii + 122 halaman
Harga : Rp. 24.000,00
Kaum perempuan pada masa lalu digambarkan hanya sebagai pemuas kebutuhan seksual pria saja. Mereka pada masa lalu dipandang sebelah mata oleh kaum pria. Namun, dengan tergerusnya zaman kaum perempuan dapat menyetarakan dirinya dengan kaum pria dan ikut berperan diberbagai bidang. Seperti, R. A. Kartini (1879-1904), seorang perempuan pribumi istimewa yang hidup di pulau Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda mampu membela hak-hak perempuan untuk pendidikan. R. A. Kartini hanyalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban dari sistem kolonial Hindia Belanda.
Penggambaran kaum perempuan dalam teks-teks kesusastraan yang berkenaan dengan masyarakat kolonial Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ditulis oleh Tineke Hellwig dalam buku berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Secara terbuka, penulis (Tineke Hellwig) dalam buku tersebut memaparkan dan menguraikan kaum perempuan dalam teks-teks kesusastraan dalam bahasa Melayu dan Belanda. Pengarang teks-teks kesusastraan dalam bahasa Belanda, yaitu Louis Couperus (1863-1923), P. A. Daum (1850-1898), Annie Foore (1847-1890), Melati Van Java (1853-1927) dan Therese Hoven (1860-1941). Sedangkan, pengarang yang menulis dalam bahasa Melayu sangat terbatas, yaitu Gou Peng Liang (1869-1928), Phoa Tjoen Huat (1883-1928), Thio Tjin Boen (1885-1940), Njoo Cheong Seng (1902-1962), Herman Kommer (1873-19XX), dan G. Francis (1860-1915).
Sekitar tahun 1900-an perubahan-perubahan besar terjadi dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam konteks sosial dan ekonomi yang berlangsung pada abad ke-19. Pada masa itu masyarakat Hindia terdiri dari orang-orang pribumi yang terbagi dalam berbagai kelompok masyarakat etnis, golongan Indo, golongan Eropa serta yang dinamakan golongan Timur Asing (Cina, India, dan Arab).
Jumlah orang Eropa di Hindia meningkat. Secara bersamaan, pendidikan Barat untuk rakyat Indonesia telah menumbuhkan kesadaran politik mereka. Orang-orang Indo dan Cina didesak untuk menempati posisi-posisi yang lebih sempit. Dalam masyarakat majemuk ini terjadi tegangan antara warga pelbagai kelompok yang berbeda.
Banyak dampak bangsa Eropa dirasakan oleh masyarakat yang hidup di Kepulauan Nusantara ini. Salah satunya adalah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830 dicetuskan oleh Gubernur Van Den Bosch. Sistem tanam paksa membuat seluruh penduduk sangat menderita, karena tanah digunakan untuk menghasilkan tanaman komersil. Selain masalah ekonomi, sosial pun menjadi sebuah polemik di tengah-tengah penderitaan penduduk, khususnya kaum perempuan. Dengan munculnya sistem feodal, berkenaan dengan hubungan antara orang-orang berlainan jenis. Perempuan dianggap lebih rendah dari pria, sekalipun kaum perempuan memegang peranan penting.
Pada masa VOC muncul pergundikan, yang pada waktu itu terkenal dengan sebutan nyai. Budak perempuan biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang paling miskin. Pejabat-pejabat di kalangan VOC lebih tinggi umumnya memiliki hubungan lebih erat dengan perempuan-perempuan setempat, baik sebagai istri maupun gundik. Seorang nyai dapat dikatakan tidak mempunyai hak apa pun, antara lain tidak punya hak atas anaknya maupun tidak atas posisinya sendiri. Yang menarik, walau seringkali perkawinan campuran tidak dapat diterima oleh masyarakat, namun dalam kehidupan sehari-hari seorang istri tidak resmi, secara lahiriah diperlakukan sama terhormatnya dengan istri sah.
Pencitraan Kaum Perempuan di Hindia Belanda dalam Karya Sastra
Tineke melihat di dalam novel-novel Belanda umumnya menguraikan inti cerita berkisar sekitar tokoh-tokoh Eropa, yaitu orang Belanda dan Indo. Seringkali orang pribumi dan orang Tionghoa tidak memegang peranan penting, orang pribumi menjadi pembantu, kuli, atau warga terjajah, yang tidak bertindak ataupun berbicara. Sifat problematik masyarakat Hindia Belanda dengan pengucilan rasialnya menggema di hampir kebanyakan kisah.
Dua tema lain yang berulang muncul dalam novel-novel Belanda, yaitu pertama sifa misterius yang meliputi dunia khatulistiwa di Asia (dunia gaib) dan kedua, moralitas seksual dengan standar gandanya yang mencangkup masalah gundik dan voorkinderen (anak hasil hubungan luar perkawinan antara lelaki Eropa dan nyai-nya). Tema tersebut terdapat dalam karya Couperus dengan judul De Stille Kracht, karya De Familie van de Resident (Keluarga Sang Residen) oleh Melati Van Java, kisah Indische Toestanden (1897, Keadaan di Hindia, dari negeri Pohon Kelapa) karya Therese Hoven, kisah Willie’s Mama (1895) dalam koleksi Indische Huwelijken (Perkawinan di Hindia) oleh Annie Foore, dan novel Nummer Elf (1893, Nomor Sebelas) karya P. A. Daum yang sangat dipuji-puji orang.
Dalam kisah-kisah karya sastra yang telah disebutkan di atas, betapa besar trauma bagi perempuan yang menerima kehidupan masa lampau suaminya dengan seorang nyai, terutama jika ia mempunyai beberapa orang voorkinderen. Jelas bahwa konfrontasi utama diutarakan dalam kisah-kisah Belanda terjadi di antara bangsa Eropa kulit putih dengan orang-orang Indo dan anak-anak voorkinderen yang menimbulkan masalah adalah Indo.
Berbeda dengan novel-novel dalam bahasa Melayu. Tineke melihat pencitraan kaum perempuan terdapat di beberapa karya sastra bahasa Melayu, yaitu Tjerita Njai Dasima (1813) karya G. Francis, Tjerita Nji Paina (1900) karya H. Kommer, kisah Sarinten sebagai nyai Jonkheer Adriaan Malheure dalam Tjerita Controleur Malheure (1912) oleh Th. H. Phoa, Njai Warsih (tanpa tahun) karya Thio Tjin Boen, Tjerita Nona Diana (1920) karya Gouw Peng Liang, dan cerita Nona Olanda sebagi Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng.
Kisah-kisah bahasa Melayu ini menyajikan sosok perempuan dalam berbagai peranan dan posisi. Mereka menjadi nyai dan istri, sering dalam hubungan multirasial yang menjadi pusat alur cerita. Jelas bahwa hubungan kolonial dalam masyarakat hindia menyebabkan banyak perasaan tidak puas dan memerlukan sangat banyak usaha penyesuaian. Karena kekuasaan kolonial dapat diidentifikasikan dengan lelaki kulit putih, maka perempuan menduduki tempat lebih rendah.
Dengan membaca buku yang berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, para pembaca diajak untuk meneropong peranan yang dimainkan perempuan di tengah kancah perubahan sosial pada kehidupan Kolonial Hindia Belanda. Dengan menelaah sejumlah karya sastra yang melukiskan kehidupan kolonial di Hindia, Tineke berhasil menguak pelbagai ketidakseimbangan yang terjadi pada era masa lalu, khususnya pada kaum perempuan.
*) Penulis Lepas, Mahasiswi Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI)
Putu Wijaya di Mata Para Seniman
Stevani Elisabeth
http://www.sinarharapan.co.id/
Putu Wijaya meraih penghargaaan Akademi Jakarta di tahun 2009 ini. Penghargaan itu akan diberikan kepada Putu Wijaya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang biasa dikenal dengan Putu Wijaya (65) telah mengabdikan hidupnya dalam dunia seni dan budaya. Pria yang lahir pada 11 April 1944 ini telah menghasilkan sedikitnya 30 novel, 40 naskah drama, dan ribuan cerpen. Bahkan beberapa naskah drama dia sutradarai sendiri untuk dipanggungkan di dalam dan di luar negeri.
Di mata para seniman, Putu merupakan sosok yang pantas untuk menerima penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 2009. Menurut Ketua Dewan Juri Rizaldi Siagian, Putu telah menunjukkan totalitasnya sebagai seniman, pelopor, dan pekerja keras, dengan disertai produktivitas cetusan pemikiran pembaharuan dalam sastra, drama, dan sinema.
”Di bidang sastra, dia pelopor cerpen absurd dan surealis yang menjungkirbalikkan realitas. Kritikus dan akademisi sastra menyebut cerpen-cerpen absurd Putu sebagai cerpen teror mental karena menghadirkan adegan-adegan yang tidak masuk akal dan tak terduga yang menteror pembaca,” ujarnya kepada SH di Jakarta, Kamis (17/12).
Novel-novelnya seperti Telegram (1972) dinilai menampilkan corak baru dalam gaya novel Indonesia yang objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.
”Gaya demikian juga nampak pada drama-drama yang dibuatnya yang menampilkan ornamen-ornamen seni tradisi untuk mengemas persoalan-persoalan manusia terkini dengan gaya bercerita yang baru,” lanjut Rizaldi.
Dia menambahkan, akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada Putu agar apresiasi terhadap kesungguhannya dalam kesenian makin lengkap, kerja keras, dedikasi, dan etos kreatifnya dapat diteladani oleh generasi muda.
Perintis Teater Nonverbal
Musisi Dwiki Darmawan menilai, generasi muda saat ini memerlukan kehadiran sosok Putu. ”Saya
membayangkan jika ada program yang lebih dari apa yang telah dijalankan dengan pendidikan seni Nusantara yang lalu ke sekolah-sekolah dari napas, energi, dan sentuhan Putu Wijaya, Indonesia ke depan akan lebih baik,” ujarnya.
Sementara itu, seniman Adi Kurdi menilai, Putu Wijaya meski dilahirkan di Bali yang kuat dengan kesenian dia tidak terikat dengan tradisi. Menurut Adi, tradisi tetap menjadi inspirasinya.
Dosen Seni Tari Akademi Jakarta Julianti Parani menilai Putu sebagai perintis dalam menampilkan
teater nonverbal dengan simbol-simbol tradisi menjadi teater modern. ”Dia menabrak dikotomi dalam pendidikan seni. Pentas dia adalah pentas yang total. Dia verbalis yang kuat karena banyak buku yang ditulis. Teater Putu cukup menegangkan,” ujar Julianti.
Para seniman kawakan ini menilai sudah selayaknya Putu Wijaya memperoleh penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 2009. Direncanakan, Akademi Jakarta akan memberikan penghargaan kepada Putu Wijaya pada Senin (21/12) mendatang.
http://www.sinarharapan.co.id/
Putu Wijaya meraih penghargaaan Akademi Jakarta di tahun 2009 ini. Penghargaan itu akan diberikan kepada Putu Wijaya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang biasa dikenal dengan Putu Wijaya (65) telah mengabdikan hidupnya dalam dunia seni dan budaya. Pria yang lahir pada 11 April 1944 ini telah menghasilkan sedikitnya 30 novel, 40 naskah drama, dan ribuan cerpen. Bahkan beberapa naskah drama dia sutradarai sendiri untuk dipanggungkan di dalam dan di luar negeri.
Di mata para seniman, Putu merupakan sosok yang pantas untuk menerima penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 2009. Menurut Ketua Dewan Juri Rizaldi Siagian, Putu telah menunjukkan totalitasnya sebagai seniman, pelopor, dan pekerja keras, dengan disertai produktivitas cetusan pemikiran pembaharuan dalam sastra, drama, dan sinema.
”Di bidang sastra, dia pelopor cerpen absurd dan surealis yang menjungkirbalikkan realitas. Kritikus dan akademisi sastra menyebut cerpen-cerpen absurd Putu sebagai cerpen teror mental karena menghadirkan adegan-adegan yang tidak masuk akal dan tak terduga yang menteror pembaca,” ujarnya kepada SH di Jakarta, Kamis (17/12).
Novel-novelnya seperti Telegram (1972) dinilai menampilkan corak baru dalam gaya novel Indonesia yang objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.
”Gaya demikian juga nampak pada drama-drama yang dibuatnya yang menampilkan ornamen-ornamen seni tradisi untuk mengemas persoalan-persoalan manusia terkini dengan gaya bercerita yang baru,” lanjut Rizaldi.
Dia menambahkan, akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada Putu agar apresiasi terhadap kesungguhannya dalam kesenian makin lengkap, kerja keras, dedikasi, dan etos kreatifnya dapat diteladani oleh generasi muda.
Perintis Teater Nonverbal
Musisi Dwiki Darmawan menilai, generasi muda saat ini memerlukan kehadiran sosok Putu. ”Saya
membayangkan jika ada program yang lebih dari apa yang telah dijalankan dengan pendidikan seni Nusantara yang lalu ke sekolah-sekolah dari napas, energi, dan sentuhan Putu Wijaya, Indonesia ke depan akan lebih baik,” ujarnya.
Sementara itu, seniman Adi Kurdi menilai, Putu Wijaya meski dilahirkan di Bali yang kuat dengan kesenian dia tidak terikat dengan tradisi. Menurut Adi, tradisi tetap menjadi inspirasinya.
Dosen Seni Tari Akademi Jakarta Julianti Parani menilai Putu sebagai perintis dalam menampilkan
teater nonverbal dengan simbol-simbol tradisi menjadi teater modern. ”Dia menabrak dikotomi dalam pendidikan seni. Pentas dia adalah pentas yang total. Dia verbalis yang kuat karena banyak buku yang ditulis. Teater Putu cukup menegangkan,” ujar Julianti.
Para seniman kawakan ini menilai sudah selayaknya Putu Wijaya memperoleh penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 2009. Direncanakan, Akademi Jakarta akan memberikan penghargaan kepada Putu Wijaya pada Senin (21/12) mendatang.
Membaca Ensiklopedi Aceh, Mengulang Dongeng Lama
Peresensi: Herman RN
http://blog.harian-aceh.com/
Judul buku : ENSIKLOPEDI ACEH
Adat Hikayat dan Sastra
Penulis : L.K. Ara dan Medri (editor)
Tebal buku : 468 + xvi
Penerbit : Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ) bekerja sama BRR-Badan
Arsip dan Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO
Edisi : Cetakan Pertama, April 2008
Setelah Aceh mengalami sejarah panjang dengan derai air mata, maka menjadi sebuah kepatutan mendokumentasikan segala yang pernah ada di sini, baik yang telah hilang maupun masih tersisa. Salah satu upaya mendokumentasikan tersebut dapat berupa menuliskannya menjadi sebuah buku lalu menerbitkannya.
Adalah L.K. Ara dan Medri, mereka mendokumentasikan sejumlah hal sekitar sastra dan budaya dalam sebuah buku bertadjuk “Ensiklopedi Aceh” Adat Hikayat dan Sastra. L.K. Ara adalah seorang penyair dari Tanah Gayo, Aceh Tengah. Sedangkan Medri merupakan seorang sastrawan asal Riau yang menjadi salah seorang peneliti di Balai Bahasa Banda Aceh sejak tahun 2001—karena lama berkiprah dan menulis di media-media Aceh, dia mulai akrab juga disapa sebagai sastrawan Aceh.
Melalui buku dengan tebal 468 halaman lebih ini, kedua sastrawan Aceh itu mencoba membuka cakrawala tentang Aceh, adat budayanya, juga sastra dan sastrawan yang pernah ada di Bumi Iskandar Muda. Mereka–Ara dan Medri–yang mengeditori buku ini, patut diberikan aplus, sebab Aceh dan sejarahnya yang pernah jaya pada masa Iskandar Muda hingga bergelut tsunami dan pasca-perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah dicoba-rangkum Ara dan Medri, yang mana nantinya akan menjadi panduan atau semacam pedoman bagi orang-orang yang hendak mengetahui tentang Aceh. Karena itu, buku ini diberi judul besar “Ensiklopedi Aceh”.
Ensiklopedi atau disebut juga ensiklopedia, berasal dari bahasa Yunani, “enkyklios paideia” (????????? ???????), yang berarti sebuah lingkaran atau pengajaran yang lengkap. Ensiklopedi menurut wikipedia, dianggap juga sebagai sejumlah buku yang berisi penjelasan setiap cabang ilmu pengetahuan yang terususun menurut huruf abjad. Karena itu, sebuah ensiklopedi sering dianggap sebagai kamus atau pendamping kamus dan awalnya ensiklopedi memang berasal dari kamus.
Dengan demikian, pengertian “Ensiklopedi Aceh” dapat dipahami sebagai sesuatu isitilah tentang segala hal yang ada di Aceh. Jadi, buku ini hendaknya mencakup hal-hal dimaksud. Apalagi dibubuhi judul kecil “Adat Hikayat dan Sastra”, maka seyogianya buku ini memuat penjelasan tentang peristilahan adat, hikayat, dan sastra Aceh.
Buku yang mendapat tanda tangan dan setempel basah dari pemimpin Aceh—Gubernur Irwandi dan Wagub Muhammad Nazar—ini memang dapat dijadikan sebagai salah satu arsip, yang suatu bila, bagi peneliti atau siapa saja yang hendak mengetahui tentang Aceh; adat, hikayat, satrawan, dan karyanya, mungkin buku ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan.
Layaknya sebuah kamus, Ensiklopedi Aceh (selanjutnya disingkat EA) ini disusun berdasarkan abjad juga. Di dalamnya termuat tentang biografi ulama, sastrawan, peneliti, pemimpin, istilah tentang adat dan tradisi masyarakat Aceh, kesenian, dan karya-karya orang Aceh yang pernah diterbitkan di Aceh, atau diterbitkan di luar Aceh tetapi ditulis oleh orang Aceh atau bercerita tentang Aceh. Semua itu disusun secara apik. Layaknya sebuah kamus, buku ini pun memiliki indeks guna mempermudah pembaca melacak istilah-istilah di dalamnya.
Kopi Paste Buku Lama
Buku “Ensiklopedi Aceh” sebagai buku baru menjadi kemestian memuat informasi baru tentang apa yang hendak diungkapkan, semisal tentang biografi sastrawan Aceh. Namun, buku ini kelihatan hanya kopi paste dari buku-buku yang sudah diterbitkan. Di sini letaknya mirisnya.
Banyak memang informasi tentang sastrawan dan karya yang baru lahir di Aceh dalam EA, tetapi data-datanya sama seperti yang terdapat dalam buku-buku yang pernah diterbitkan sebelumnya. Sejumlah data tentang sastrawan Aceh misalnya, lebiih sebagian diambil dari buku “Seulawah, Antologi Sastra Aceh” terbitan Yayasan Nusantara (1995). Bahkan, dalam “Seulawah” yang tebalnya hingga 727 halaman itu, pemuatan tentang sastrawan Aceh lebih rinci. Di sana dipilah sastrawan menurut abjad nama pertamanya berdasarkan bidang sastra yang dia geluti, misalnya penyair, dikhususkan pada halaman syair, disusun berdasarkan abjad yang sesuai.
Nah, EA juga mencoba memuat serupa itu, tetapi yang namanya kopi paste dari buku sebelumnya, kesempurnaan dalam buku ini masih disayangkan. Sejatinya, sebagai sebuah buku yang ditulis baru, meskipun sejumlah data diambil dari buku yang sudah pernah ada, mestinya “Ensiklopedi Aceh” lebih baik dari yang sudah-sudah. Karenanya, sungguh sangat disayangkan banyak data yang diambil secara utuh dari buku sebelumnya, lalu diedit, bahkan ada yang hilang dalam pengeditannya, sehingga bukan bertambah lengkap, melainkan semakin ‘hancur’.
Sebagai contoh, pada biodata sastrawan bernama Zulfikar Sawang. Tentunya sangat mudah menemui biodata sastrawan satu ini, karena abjad awal namanya yang berfonem [Z] sehingga dilampirkan pada halaman terakhir isi buku. Biodata Zul kelihatan sekali diambil dari file lama yang dicoba edit kembali. Sayangnya, pengeditan telah menghilangkan beberapa hal tentang Zul. Misalnya, tempat lahir Zul ditiadakan dalam buku tersebut dan usianya disebutkan masih 32 tahun. Padahal, Zulfikar Sawang yang sekarang sudah menjadi Anggota Dewan di DPR Aceh telah berusia 36 tahun, tentang jabatannya sebagai Anggota Dewan pun tidak disebutkan dalam buku EA tersebut.
Contoh kedua, pada biodata Mustafa A. Glanggang, dituliskan bahwa dia (Mustafa) sejak 2002 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Bupati Bureuen. Masa iya sih, Mustafa Glanggang masih menjabat bupati? Kelihatan sekali biodata satu ini dikopi paste dari buku “Celoteh Budaya Politik” karangan Mustafa (DKB, 2003). Mustafa sudah tidak lagi menjabat sebagai bupati sejak akhir tahun 2006. Jelas, upaya L.K. Ara dan Medri dalam EA bukan memberikan informasi terbaru kepada pembaca, melainkan ‘mendongengkan’ hal yang sudah pernah ditulis/ diterbitkan orang.
Tidak Dimuat
Di samping dua contoh kasus di atas, ada pula biodata sastrawan Aceh yang tidak dimuat sama sekali dalam EA. Mungkin jika sastrawan dimaksud adalah sastrawan baru muncul pasca-MoU Helsinky, masih dapat dimaklumi. Namun, terdapat juga biodata sastrawan senior yang sudah menerbitkan beberapa buku.
Adalah Hilmi Hasballah, seorang sastrawan Aceh yang dua tahun lalu menerbitkan sebuah kumpulan hikayat. Dia juga tercatat sebagai salah seorang penerima Award Sastra Aceh dari Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh tahun 2007, tetapi dia maupun “Hikayat Tsunami”-nya tidak dimuat dalam EA. Padahal, teman-teman dekat Hilmi seperti Harun Al-Rasyid dan D. Keumalawati, tertera dalam EA. Saya tidak tahu, apakah ada upaya deskriminasi standar kelayakan untuk dimuat dalam EA oleh L.K Ara dan Medri sehingga hal ini terjadi. Yang jelas, sejumlah data lainnya masih banyak yang tak tertera, yang menurut banyak orang (sastrawan dan pengamat sastra di Aceh), mereka mesti disertakan juga, sebab buku ini adalah sebuah ensiklopedi.
Beberapa nama sastrawan Aceh lainnya yang sempat tercatat pada saya, tidak disertakan dalam EA adalah Alfi Rahman (seorang sastrawan dari FLP Aceh yang masih produktif), sedangkan istrinya (Cut Januarita) disertakan. Musmarwan Abdullah juga tidak diterakan, tetapi buku dia “Pada Tikungan Berikutnya” ada. Taufik Al Mubarak juga tidak ada, tetapi teman seperjuangannya, Muhammad Nazar, disertakan dalam EA. Selanjutnya, Alimuddin (sastrawan muda dari FLP Aceh) yang masih produktif menulis hingga ke media nasional tidak juga dilampirkan, sedangkan Ferhat (teman dekat Alimuddin) ada.
Hal yang sangat disayangkan adalah ketiadaan data tentang Muhklis A. Hamid dalam buku tersebut. Padahal, baik L.K.Ara maupun Medri, sama-sama tahu, Mukhlis adalah satu-satunya (untuk saat ini) dipercayakan sebagai kritikus sastra di Aceh.
Kemudian, dari segi kesenian tari juga banyak yang dilupakan EA. Tatkala tari seudati dilampirkan, tetapi tari likok pulo, rapai geleng, ratep meuseukat, tidak ada. Bahkan, tari ranub lampuan yang sudah mentradisi sebagai tarian penyambut tamu yang sudah dipamerkan hingga ke luar negeri, juga luput dalam EA. Tambah lagi, alat-alat kesenian tradisi Aceh, sebagian kecil diterakan, selebihnya yang masih patut dijaga seperti seurunei kale tidak ada.
Tak cukup sampai di situ, sejumlah nama lembaga kebudayaan yang juga dimuat dalam EA masih banyak ditulis salah. Misalnya, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh ditulis menjadi “Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh”–kata “Adat” hilang–(halaman 193). Padahal, JKMA Aceh merupakan salah satu lembaga penyokong terbitanya buku ini. Sungguh dangat disayangkan.
Sebagai sebuah buku yang ditulis ulang, sejatinya memuat data-data terbaru dari yang dituliskan. Hal ini guna menghindari diri istilah “Mengejar Buku Proyek” yang sementara ini sangat akrab di Aceh. Namun, yang terkesan dalam EA, memang ‘kejar terbit’.
Terakhir, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah tentang pembubuhan nama (logo) penerbit yang sudah bekerja sama dengan YMAJ menerbitkan buku ini. Sejumlah lembaga yang bekerja sama menerbitkan EA adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)-Badan Arsip, Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO. Namun, beberapa buku itu hanya melampirkan logo BRR tanpa lembaga lainnya, sebagian lainnya hanya membubuhkan logo JKMA dan ICCO, tanpa BRR. Sebagian lainnya pula hanya ada tulisan YMAJ tanpa lembaga lainnnya yang bekerja sama menerbitkan buku tersebut. (Ada apa ini?).
Terlepas dari semua itu, buku ini masih layak dibaca, kendati mungkin hanya untuk pengulangan pembacaan dari buku-buku sebelumnya sebagai sebuah ‘dongeng’ sebelum menulis buku.
*) Penikmat sastra. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyah.
http://blog.harian-aceh.com/
Judul buku : ENSIKLOPEDI ACEH
Adat Hikayat dan Sastra
Penulis : L.K. Ara dan Medri (editor)
Tebal buku : 468 + xvi
Penerbit : Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ) bekerja sama BRR-Badan
Arsip dan Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO
Edisi : Cetakan Pertama, April 2008
Setelah Aceh mengalami sejarah panjang dengan derai air mata, maka menjadi sebuah kepatutan mendokumentasikan segala yang pernah ada di sini, baik yang telah hilang maupun masih tersisa. Salah satu upaya mendokumentasikan tersebut dapat berupa menuliskannya menjadi sebuah buku lalu menerbitkannya.
Adalah L.K. Ara dan Medri, mereka mendokumentasikan sejumlah hal sekitar sastra dan budaya dalam sebuah buku bertadjuk “Ensiklopedi Aceh” Adat Hikayat dan Sastra. L.K. Ara adalah seorang penyair dari Tanah Gayo, Aceh Tengah. Sedangkan Medri merupakan seorang sastrawan asal Riau yang menjadi salah seorang peneliti di Balai Bahasa Banda Aceh sejak tahun 2001—karena lama berkiprah dan menulis di media-media Aceh, dia mulai akrab juga disapa sebagai sastrawan Aceh.
Melalui buku dengan tebal 468 halaman lebih ini, kedua sastrawan Aceh itu mencoba membuka cakrawala tentang Aceh, adat budayanya, juga sastra dan sastrawan yang pernah ada di Bumi Iskandar Muda. Mereka–Ara dan Medri–yang mengeditori buku ini, patut diberikan aplus, sebab Aceh dan sejarahnya yang pernah jaya pada masa Iskandar Muda hingga bergelut tsunami dan pasca-perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah dicoba-rangkum Ara dan Medri, yang mana nantinya akan menjadi panduan atau semacam pedoman bagi orang-orang yang hendak mengetahui tentang Aceh. Karena itu, buku ini diberi judul besar “Ensiklopedi Aceh”.
Ensiklopedi atau disebut juga ensiklopedia, berasal dari bahasa Yunani, “enkyklios paideia” (????????? ???????), yang berarti sebuah lingkaran atau pengajaran yang lengkap. Ensiklopedi menurut wikipedia, dianggap juga sebagai sejumlah buku yang berisi penjelasan setiap cabang ilmu pengetahuan yang terususun menurut huruf abjad. Karena itu, sebuah ensiklopedi sering dianggap sebagai kamus atau pendamping kamus dan awalnya ensiklopedi memang berasal dari kamus.
Dengan demikian, pengertian “Ensiklopedi Aceh” dapat dipahami sebagai sesuatu isitilah tentang segala hal yang ada di Aceh. Jadi, buku ini hendaknya mencakup hal-hal dimaksud. Apalagi dibubuhi judul kecil “Adat Hikayat dan Sastra”, maka seyogianya buku ini memuat penjelasan tentang peristilahan adat, hikayat, dan sastra Aceh.
Buku yang mendapat tanda tangan dan setempel basah dari pemimpin Aceh—Gubernur Irwandi dan Wagub Muhammad Nazar—ini memang dapat dijadikan sebagai salah satu arsip, yang suatu bila, bagi peneliti atau siapa saja yang hendak mengetahui tentang Aceh; adat, hikayat, satrawan, dan karyanya, mungkin buku ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan.
Layaknya sebuah kamus, Ensiklopedi Aceh (selanjutnya disingkat EA) ini disusun berdasarkan abjad juga. Di dalamnya termuat tentang biografi ulama, sastrawan, peneliti, pemimpin, istilah tentang adat dan tradisi masyarakat Aceh, kesenian, dan karya-karya orang Aceh yang pernah diterbitkan di Aceh, atau diterbitkan di luar Aceh tetapi ditulis oleh orang Aceh atau bercerita tentang Aceh. Semua itu disusun secara apik. Layaknya sebuah kamus, buku ini pun memiliki indeks guna mempermudah pembaca melacak istilah-istilah di dalamnya.
Kopi Paste Buku Lama
Buku “Ensiklopedi Aceh” sebagai buku baru menjadi kemestian memuat informasi baru tentang apa yang hendak diungkapkan, semisal tentang biografi sastrawan Aceh. Namun, buku ini kelihatan hanya kopi paste dari buku-buku yang sudah diterbitkan. Di sini letaknya mirisnya.
Banyak memang informasi tentang sastrawan dan karya yang baru lahir di Aceh dalam EA, tetapi data-datanya sama seperti yang terdapat dalam buku-buku yang pernah diterbitkan sebelumnya. Sejumlah data tentang sastrawan Aceh misalnya, lebiih sebagian diambil dari buku “Seulawah, Antologi Sastra Aceh” terbitan Yayasan Nusantara (1995). Bahkan, dalam “Seulawah” yang tebalnya hingga 727 halaman itu, pemuatan tentang sastrawan Aceh lebih rinci. Di sana dipilah sastrawan menurut abjad nama pertamanya berdasarkan bidang sastra yang dia geluti, misalnya penyair, dikhususkan pada halaman syair, disusun berdasarkan abjad yang sesuai.
Nah, EA juga mencoba memuat serupa itu, tetapi yang namanya kopi paste dari buku sebelumnya, kesempurnaan dalam buku ini masih disayangkan. Sejatinya, sebagai sebuah buku yang ditulis baru, meskipun sejumlah data diambil dari buku yang sudah pernah ada, mestinya “Ensiklopedi Aceh” lebih baik dari yang sudah-sudah. Karenanya, sungguh sangat disayangkan banyak data yang diambil secara utuh dari buku sebelumnya, lalu diedit, bahkan ada yang hilang dalam pengeditannya, sehingga bukan bertambah lengkap, melainkan semakin ‘hancur’.
Sebagai contoh, pada biodata sastrawan bernama Zulfikar Sawang. Tentunya sangat mudah menemui biodata sastrawan satu ini, karena abjad awal namanya yang berfonem [Z] sehingga dilampirkan pada halaman terakhir isi buku. Biodata Zul kelihatan sekali diambil dari file lama yang dicoba edit kembali. Sayangnya, pengeditan telah menghilangkan beberapa hal tentang Zul. Misalnya, tempat lahir Zul ditiadakan dalam buku tersebut dan usianya disebutkan masih 32 tahun. Padahal, Zulfikar Sawang yang sekarang sudah menjadi Anggota Dewan di DPR Aceh telah berusia 36 tahun, tentang jabatannya sebagai Anggota Dewan pun tidak disebutkan dalam buku EA tersebut.
Contoh kedua, pada biodata Mustafa A. Glanggang, dituliskan bahwa dia (Mustafa) sejak 2002 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Bupati Bureuen. Masa iya sih, Mustafa Glanggang masih menjabat bupati? Kelihatan sekali biodata satu ini dikopi paste dari buku “Celoteh Budaya Politik” karangan Mustafa (DKB, 2003). Mustafa sudah tidak lagi menjabat sebagai bupati sejak akhir tahun 2006. Jelas, upaya L.K. Ara dan Medri dalam EA bukan memberikan informasi terbaru kepada pembaca, melainkan ‘mendongengkan’ hal yang sudah pernah ditulis/ diterbitkan orang.
Tidak Dimuat
Di samping dua contoh kasus di atas, ada pula biodata sastrawan Aceh yang tidak dimuat sama sekali dalam EA. Mungkin jika sastrawan dimaksud adalah sastrawan baru muncul pasca-MoU Helsinky, masih dapat dimaklumi. Namun, terdapat juga biodata sastrawan senior yang sudah menerbitkan beberapa buku.
Adalah Hilmi Hasballah, seorang sastrawan Aceh yang dua tahun lalu menerbitkan sebuah kumpulan hikayat. Dia juga tercatat sebagai salah seorang penerima Award Sastra Aceh dari Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh tahun 2007, tetapi dia maupun “Hikayat Tsunami”-nya tidak dimuat dalam EA. Padahal, teman-teman dekat Hilmi seperti Harun Al-Rasyid dan D. Keumalawati, tertera dalam EA. Saya tidak tahu, apakah ada upaya deskriminasi standar kelayakan untuk dimuat dalam EA oleh L.K Ara dan Medri sehingga hal ini terjadi. Yang jelas, sejumlah data lainnya masih banyak yang tak tertera, yang menurut banyak orang (sastrawan dan pengamat sastra di Aceh), mereka mesti disertakan juga, sebab buku ini adalah sebuah ensiklopedi.
Beberapa nama sastrawan Aceh lainnya yang sempat tercatat pada saya, tidak disertakan dalam EA adalah Alfi Rahman (seorang sastrawan dari FLP Aceh yang masih produktif), sedangkan istrinya (Cut Januarita) disertakan. Musmarwan Abdullah juga tidak diterakan, tetapi buku dia “Pada Tikungan Berikutnya” ada. Taufik Al Mubarak juga tidak ada, tetapi teman seperjuangannya, Muhammad Nazar, disertakan dalam EA. Selanjutnya, Alimuddin (sastrawan muda dari FLP Aceh) yang masih produktif menulis hingga ke media nasional tidak juga dilampirkan, sedangkan Ferhat (teman dekat Alimuddin) ada.
Hal yang sangat disayangkan adalah ketiadaan data tentang Muhklis A. Hamid dalam buku tersebut. Padahal, baik L.K.Ara maupun Medri, sama-sama tahu, Mukhlis adalah satu-satunya (untuk saat ini) dipercayakan sebagai kritikus sastra di Aceh.
Kemudian, dari segi kesenian tari juga banyak yang dilupakan EA. Tatkala tari seudati dilampirkan, tetapi tari likok pulo, rapai geleng, ratep meuseukat, tidak ada. Bahkan, tari ranub lampuan yang sudah mentradisi sebagai tarian penyambut tamu yang sudah dipamerkan hingga ke luar negeri, juga luput dalam EA. Tambah lagi, alat-alat kesenian tradisi Aceh, sebagian kecil diterakan, selebihnya yang masih patut dijaga seperti seurunei kale tidak ada.
Tak cukup sampai di situ, sejumlah nama lembaga kebudayaan yang juga dimuat dalam EA masih banyak ditulis salah. Misalnya, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh ditulis menjadi “Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh”–kata “Adat” hilang–(halaman 193). Padahal, JKMA Aceh merupakan salah satu lembaga penyokong terbitanya buku ini. Sungguh dangat disayangkan.
Sebagai sebuah buku yang ditulis ulang, sejatinya memuat data-data terbaru dari yang dituliskan. Hal ini guna menghindari diri istilah “Mengejar Buku Proyek” yang sementara ini sangat akrab di Aceh. Namun, yang terkesan dalam EA, memang ‘kejar terbit’.
Terakhir, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah tentang pembubuhan nama (logo) penerbit yang sudah bekerja sama dengan YMAJ menerbitkan buku ini. Sejumlah lembaga yang bekerja sama menerbitkan EA adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)-Badan Arsip, Perpustakaan NAD, JKMA-ICCO. Namun, beberapa buku itu hanya melampirkan logo BRR tanpa lembaga lainnya, sebagian lainnya hanya membubuhkan logo JKMA dan ICCO, tanpa BRR. Sebagian lainnya pula hanya ada tulisan YMAJ tanpa lembaga lainnnya yang bekerja sama menerbitkan buku tersebut. (Ada apa ini?).
Terlepas dari semua itu, buku ini masih layak dibaca, kendati mungkin hanya untuk pengulangan pembacaan dari buku-buku sebelumnya sebagai sebuah ‘dongeng’ sebelum menulis buku.
*) Penikmat sastra. Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyah.
Kisah Pelancong Prancis di Indonesia
Judul Buku:Orang Indonesia & Orang Prancis Abad XVI sampai dengan Abad XX
Judul Asli: Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle
Penulis: Bernard Dorléans
Penerjemah: Parakitri T. Simbolon dan Tim
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: I, Oktober 2006
Tebal: xlii + 644 Halaman
Peresensi: Tasyriq Hifzhillah
http://www.ruangbaca.com/
Claude G. Bowers (1878-1958), sejarawan dan diplomat Amerika, pernah berkata, “Sejarah adalah obor yang dimaksudkan untuk menerangi masa lampau, untuk mencegah kita mengulangi kekeliruan yang pernah kita buat.” Bowers betul ketika mengatakan itu karena sejarah mengajarkan kita agar mempelajari kemajuan ataupun kemunduran dari berbagai peristiwa.
Dalam konteks sejarah Nusantara, kedatangan orang Eropa mengandung unsur positif dalam hal penulisan sejarah, karena ada di antara petualang Barat itu yang meninggalkan kisah tertulis mengenai pelayarannya ke Nusantara. Yang terkenal di antaranya Suma Oriental yang ditulis pelancong asal Portugis, Tome Pires, pada 1512-1515 di Malaka. Namun, pendekatan ini diejek oleh Van Leur sebagai sejarah yang dilihat dari “dek kapal dan jendela loji”. Pendekatan neerlando-sentris meskipun dapat dipertanggungjawabkan dengan metode yang kritis dan rasional, praktis menempatkan pribumi dalam kedudukan marginal atau sebagai latar belakang dari pentas sejarah tempat kaum kolonialis beraksi.
Pendekatan yang dilakukan Bernard Dorléans melalui buku berjudul asli Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle ini sangat berbeda. Dorléans adalah sejarawan dari Universitas Sorbonne, Prancis, yang sejak 1986 tinggal di Indonesia dan menikah dengan seorang putri Jawa. Sebagian kisah dalam buku ini merupakan hasil telaah ilmiah sumber-sumber primer yang juga pernah terbit di majalah Archipel Prancis.
Membaca buku setebal 644 halaman, terbagi dalam 50 bab, yang berisi catatan perjalanan orang-orang Prancis selama empat abad di Indonesia ini, kita seperti berkaca pada cermin sejarah diri, bagaimana sebenarnya kita dahulu. Sebanyak 298 gambar dan foto yang menyertai catatan-catatan perjalanan dalam buku ini tidak saja menarik, tapi juga membuat peristiwanya makin terasa hidup. Buku ini juga memaparkan kesaksian yang dituturkan orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di Prancis.
Perlu digarisbawahi, meskipun para pencerita yang disusun Dorléans dalam buku ini adalah orang-orang Prancis yang bertindak di luar perlindungan atau tanpa disponsori penguasa di negerinya, namun kesan marginal terhadap pribumi tetap saja muncul. Ini berbeda dengan orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang kemudian tidak saja menguasai perdagangan, tapi juga menjadi penjajah di wilayah Hindia Barat dan Hindia Timur.
Ini bisa kita lihat dari catatan pelayaran Verrazane dan Pierre Caunay dari Honfleur ke Sumatera (1526-1529) yang menyiratkan bahwa betapa buruknya imaji orang “Barat” terhadap orang “Timur”. Dalam catatannya, orang Prancis itu menulis, “Sikap orang Melayu berubah-ubah, penjilat, pengolok-olok, dan merupakan pedagang yang lebih menyebalkan daripada orang-orang Skotlandia” (hlm. 9).
Meski terurai juga dalam catatan itu bahwa orang Melayu memperlihatkan sikap bersahabat selama kunjungan tersebut, orang-orang Prancis sama sekali tidak berhasil berniaga dengan mereka karena, menurut orang-orang Prancis, orang Melayu sama sekali tak mau berkompromi. Akhirnya, dengan rasa kesal mereka bertolak ke Indrapura, dan harus kehilangan Permentier bersaudara dan Jean serta Raoul, juga setengah jumlah awak kapal lain, sebelum akhirnya tiba di Pulau Sainte-Helene.
Catatan perjalanan selanjutnya juga menggambarkan budaya Indonesia dahulu. Kerajaan Aceh, misalnya, diceritakan mempunyai tindak hukum yang unik, seperti memotong tangan bagi para pencuri. Cerita lain yang terbilang asyik adalah catatan mengenai orang Makassar. Temperamen kasar dan cenderung brutal juga diperlihatkan. Ini tertera pada catatan Claude de Forbin (1686) mengenai kunjungannya di Batavia yang turut menumpas persekongkolan orang-orang Makassar melawan raja Siam. Dalam catatannya Forbin menerangkan mengenai kecamuk perang dengan orang Makassar di Siam. Kisah orang Makassar lain yang menarik mungkin mengenai kisah pengembaraan dua pangeran Makassar di Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.
Kemudian pulau-pulau di bagian Jawa menjadi titik tolak berikutnya. Tercatat pula perjalanan ke Timor yang unik, mulai dari perjalanan Francois Peron dan Charles Lesueur pada catatan perjalanan berjudul “Berburu Buaya di Timor” (1803-1804). Dan Louis-Isidore Duperrey meneruskan eksplorasi ke Papua antara 1822-1825. Catatan perjalanan Duperrey ini menjadi rekor tersendiri, karena inilah pertama kalinya pelayaran ilmiah yang dilakukan Prancis beserta semua awak kapalnya dapat kembali ke Prancis dalam keadaan selamat.
Kisah pelukis Basuki Abdullah dan Raden Saleh juga tercatat dalam buku ini. Raden Saleh tercatat pernah disambut oleh Raja Prancis, Louis-Phillippe d’Orleans di Paris. Raden Saleh sempat tinggal di Prancis selama beberapa tahun, dan memberikan satu lukisan berjudul “Berburu Kijang di Pulau Jawa” kepada sang raja.
Pada bagian “Gamelan Jawa dan Pengaruhnya pada Musik Claude Debussy”, dikisahkan bahwa Claude Debussy, pemusik klasik tenar Prancis kala itu, justru merasa rendah diri, usai mendengar lantunan gending Jawa. Dalam catatannya Debussy menulis, “Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling” (hlm. 521).
Secara umum, selain kisah tentang Herman Willem Daendels, dalam buku ini tercatat juga deskripsi mengenai Batavia “Tempoe Doeloe”, catatan kenangan tentang Bali, dan perjalanan imajiner sastrawan Prancis, Honoré de Balzac, dari Paris ke Jawa pada 1832. Bahkan kisah perjalanan Arthur Rimbaud, sastrawan ternama Prancis, yang pernah datang ke pulau Jawa sebagai anggota tentara Belanda pada 1876 juga dihadirkan. Dan buku ini ditutup dengan artikel “Kesaksian Akhir Prancis pada Akhir Penjajahan selama Empat Abad” yang melukiskan hilangnya surga Kafka di bumi Nusantara.
Menurut penilaian Adrian B. Lappian, dalam pengantar buku ini, jasa Dorléans terutama ialah ia berhasil mengumpulkan segala jenis bahan yang dijadikannya sumber untuk menulis cerita sejarah dalam berbagai bentuk laporan perjalanan petualangan, laporan ekspedisi ilmiah, kesaksian pengunjung wisata, dan pelayaran penuh risiko dari Prancis ke wilayah Hindia Timur yang kini adalah wilayah Indonesia, dan semua itu disajikan dalam suatu uraian kronologis yang rapi dan apik, mulai 1526 hingga 1961. Tak mengherankan bila kisah-kisah tersebut terasa sangat segar, bahkan tidak jarang amat kocak.
Namun, perlu juga dicatat peringatan Adrian B. Lappian agar kita tidak lantas beranggapan bahwa kita sudah memperoleh gambaran yang lengkap mengenai berbagai situasi yang dikemukakan dalam kisah-kisah yang ditulis orang-orang Prancis di bumi Nusantara itu. Tentu saja masih banyak hal yang lolos dari perhatian mereka: “Bahkan ada pula yang mungkin keliru karena ketidaktahuan mengenai keadaan dan kebiasaan tempat yang dikunjungi. Belum lagi unsur-unsur prasangka dan persepsi etnosentris yang cenderung masuk dalam teks catatan perjalanan tersebut” (hlm. xviii).
Lepas dari itu, catatan perjalanan yang terkumpul dalam buku ini memberi gambaran lain daripada yang kita kenal dalam historiografi Indonesia sebelumnya sehingga bisa melengkapi gambaran kita mengenai masa lampau Indonesia. Tak berlebihan jika kehadiran buku ini dalam bahasa Indonesia menjadi amat penting sebagai upaya mengingatkan masyarakat dewasa ini bahwa masa lalu merupakan cermin untuk melihat wajah kita yang sesungguhnya. Ini akan bermanfaat untuk meniti masa depan yang lebih baik.
*) Peminat sejarah, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Yogyakarta.
Judul Asli: Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle
Penulis: Bernard Dorléans
Penerjemah: Parakitri T. Simbolon dan Tim
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Cetakan: I, Oktober 2006
Tebal: xlii + 644 Halaman
Peresensi: Tasyriq Hifzhillah
http://www.ruangbaca.com/
Claude G. Bowers (1878-1958), sejarawan dan diplomat Amerika, pernah berkata, “Sejarah adalah obor yang dimaksudkan untuk menerangi masa lampau, untuk mencegah kita mengulangi kekeliruan yang pernah kita buat.” Bowers betul ketika mengatakan itu karena sejarah mengajarkan kita agar mempelajari kemajuan ataupun kemunduran dari berbagai peristiwa.
Dalam konteks sejarah Nusantara, kedatangan orang Eropa mengandung unsur positif dalam hal penulisan sejarah, karena ada di antara petualang Barat itu yang meninggalkan kisah tertulis mengenai pelayarannya ke Nusantara. Yang terkenal di antaranya Suma Oriental yang ditulis pelancong asal Portugis, Tome Pires, pada 1512-1515 di Malaka. Namun, pendekatan ini diejek oleh Van Leur sebagai sejarah yang dilihat dari “dek kapal dan jendela loji”. Pendekatan neerlando-sentris meskipun dapat dipertanggungjawabkan dengan metode yang kritis dan rasional, praktis menempatkan pribumi dalam kedudukan marginal atau sebagai latar belakang dari pentas sejarah tempat kaum kolonialis beraksi.
Pendekatan yang dilakukan Bernard Dorléans melalui buku berjudul asli Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle ini sangat berbeda. Dorléans adalah sejarawan dari Universitas Sorbonne, Prancis, yang sejak 1986 tinggal di Indonesia dan menikah dengan seorang putri Jawa. Sebagian kisah dalam buku ini merupakan hasil telaah ilmiah sumber-sumber primer yang juga pernah terbit di majalah Archipel Prancis.
Membaca buku setebal 644 halaman, terbagi dalam 50 bab, yang berisi catatan perjalanan orang-orang Prancis selama empat abad di Indonesia ini, kita seperti berkaca pada cermin sejarah diri, bagaimana sebenarnya kita dahulu. Sebanyak 298 gambar dan foto yang menyertai catatan-catatan perjalanan dalam buku ini tidak saja menarik, tapi juga membuat peristiwanya makin terasa hidup. Buku ini juga memaparkan kesaksian yang dituturkan orang-orang Indonesia yang pernah tinggal di Prancis.
Perlu digarisbawahi, meskipun para pencerita yang disusun Dorléans dalam buku ini adalah orang-orang Prancis yang bertindak di luar perlindungan atau tanpa disponsori penguasa di negerinya, namun kesan marginal terhadap pribumi tetap saja muncul. Ini berbeda dengan orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang kemudian tidak saja menguasai perdagangan, tapi juga menjadi penjajah di wilayah Hindia Barat dan Hindia Timur.
Ini bisa kita lihat dari catatan pelayaran Verrazane dan Pierre Caunay dari Honfleur ke Sumatera (1526-1529) yang menyiratkan bahwa betapa buruknya imaji orang “Barat” terhadap orang “Timur”. Dalam catatannya, orang Prancis itu menulis, “Sikap orang Melayu berubah-ubah, penjilat, pengolok-olok, dan merupakan pedagang yang lebih menyebalkan daripada orang-orang Skotlandia” (hlm. 9).
Meski terurai juga dalam catatan itu bahwa orang Melayu memperlihatkan sikap bersahabat selama kunjungan tersebut, orang-orang Prancis sama sekali tidak berhasil berniaga dengan mereka karena, menurut orang-orang Prancis, orang Melayu sama sekali tak mau berkompromi. Akhirnya, dengan rasa kesal mereka bertolak ke Indrapura, dan harus kehilangan Permentier bersaudara dan Jean serta Raoul, juga setengah jumlah awak kapal lain, sebelum akhirnya tiba di Pulau Sainte-Helene.
Catatan perjalanan selanjutnya juga menggambarkan budaya Indonesia dahulu. Kerajaan Aceh, misalnya, diceritakan mempunyai tindak hukum yang unik, seperti memotong tangan bagi para pencuri. Cerita lain yang terbilang asyik adalah catatan mengenai orang Makassar. Temperamen kasar dan cenderung brutal juga diperlihatkan. Ini tertera pada catatan Claude de Forbin (1686) mengenai kunjungannya di Batavia yang turut menumpas persekongkolan orang-orang Makassar melawan raja Siam. Dalam catatannya Forbin menerangkan mengenai kecamuk perang dengan orang Makassar di Siam. Kisah orang Makassar lain yang menarik mungkin mengenai kisah pengembaraan dua pangeran Makassar di Prancis, pada masa kekuasaan Louis XIV dan Louis XV, yaitu Daeng Ruru dan Daeng Tulolo.
Kemudian pulau-pulau di bagian Jawa menjadi titik tolak berikutnya. Tercatat pula perjalanan ke Timor yang unik, mulai dari perjalanan Francois Peron dan Charles Lesueur pada catatan perjalanan berjudul “Berburu Buaya di Timor” (1803-1804). Dan Louis-Isidore Duperrey meneruskan eksplorasi ke Papua antara 1822-1825. Catatan perjalanan Duperrey ini menjadi rekor tersendiri, karena inilah pertama kalinya pelayaran ilmiah yang dilakukan Prancis beserta semua awak kapalnya dapat kembali ke Prancis dalam keadaan selamat.
Kisah pelukis Basuki Abdullah dan Raden Saleh juga tercatat dalam buku ini. Raden Saleh tercatat pernah disambut oleh Raja Prancis, Louis-Phillippe d’Orleans di Paris. Raden Saleh sempat tinggal di Prancis selama beberapa tahun, dan memberikan satu lukisan berjudul “Berburu Kijang di Pulau Jawa” kepada sang raja.
Pada bagian “Gamelan Jawa dan Pengaruhnya pada Musik Claude Debussy”, dikisahkan bahwa Claude Debussy, pemusik klasik tenar Prancis kala itu, justru merasa rendah diri, usai mendengar lantunan gending Jawa. Dalam catatannya Debussy menulis, “Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling” (hlm. 521).
Secara umum, selain kisah tentang Herman Willem Daendels, dalam buku ini tercatat juga deskripsi mengenai Batavia “Tempoe Doeloe”, catatan kenangan tentang Bali, dan perjalanan imajiner sastrawan Prancis, Honoré de Balzac, dari Paris ke Jawa pada 1832. Bahkan kisah perjalanan Arthur Rimbaud, sastrawan ternama Prancis, yang pernah datang ke pulau Jawa sebagai anggota tentara Belanda pada 1876 juga dihadirkan. Dan buku ini ditutup dengan artikel “Kesaksian Akhir Prancis pada Akhir Penjajahan selama Empat Abad” yang melukiskan hilangnya surga Kafka di bumi Nusantara.
Menurut penilaian Adrian B. Lappian, dalam pengantar buku ini, jasa Dorléans terutama ialah ia berhasil mengumpulkan segala jenis bahan yang dijadikannya sumber untuk menulis cerita sejarah dalam berbagai bentuk laporan perjalanan petualangan, laporan ekspedisi ilmiah, kesaksian pengunjung wisata, dan pelayaran penuh risiko dari Prancis ke wilayah Hindia Timur yang kini adalah wilayah Indonesia, dan semua itu disajikan dalam suatu uraian kronologis yang rapi dan apik, mulai 1526 hingga 1961. Tak mengherankan bila kisah-kisah tersebut terasa sangat segar, bahkan tidak jarang amat kocak.
Namun, perlu juga dicatat peringatan Adrian B. Lappian agar kita tidak lantas beranggapan bahwa kita sudah memperoleh gambaran yang lengkap mengenai berbagai situasi yang dikemukakan dalam kisah-kisah yang ditulis orang-orang Prancis di bumi Nusantara itu. Tentu saja masih banyak hal yang lolos dari perhatian mereka: “Bahkan ada pula yang mungkin keliru karena ketidaktahuan mengenai keadaan dan kebiasaan tempat yang dikunjungi. Belum lagi unsur-unsur prasangka dan persepsi etnosentris yang cenderung masuk dalam teks catatan perjalanan tersebut” (hlm. xviii).
Lepas dari itu, catatan perjalanan yang terkumpul dalam buku ini memberi gambaran lain daripada yang kita kenal dalam historiografi Indonesia sebelumnya sehingga bisa melengkapi gambaran kita mengenai masa lampau Indonesia. Tak berlebihan jika kehadiran buku ini dalam bahasa Indonesia menjadi amat penting sebagai upaya mengingatkan masyarakat dewasa ini bahwa masa lalu merupakan cermin untuk melihat wajah kita yang sesungguhnya. Ini akan bermanfaat untuk meniti masa depan yang lebih baik.
*) Peminat sejarah, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Yogyakarta.
Musik Sastra Ananda Sukarlan
Ismi Wahid
http://www.tempointeraktif.com/
Wahai pelayar malam
Tiga kapal karam
Masa mendendam
Apa lagi yang kau pendam
Sebelum semuanya tenggelam…
Ananda Sukarlan bukan seorang penyair. Namun pianis muda itu memiliki sensibilitas tinggi terhadap puisi. “Puisi itu seperti sudah bernada dan berbunyi menjadi musik,” katanya. Malam itu, di konser tunggalnya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yang bertajuk “Libertas”, ia memusikalisasi puisi-puisi yang menyentuh hatinya.
Petilan puisi di atas berjudul Bibirku Bersujud di Bibirmu. Puisi karya Hasan Aspahani itu mengingatkan kita pada mahabencana tsunami lima tahun silam. Musik mulanya mengalun runtut dan datar di indra telinga. Cara Ananda menafsirkan puisi ini menarik. Tiba-tiba piano yang dibawakannya secara trio bersama biola oleh Inez Rahardjo dan alto flute oleh Elizabeth Ashford bergemuruh, mengaduk-aduk pada wilayah nada rendah. Lalu berlanjut dengan komposisi yang menyayat. Masing-masing instrumen seperti berucap sendiri, meneriakkan kepanikan.
Lima penari garapan koreografer Chendra Panatan, pada momen itu di panggung riuh berlari ke sana-kemari sambil menggenggam kain panjang. Sebuah ilustrasi akan laut yang bergolak dan orang-orang yang terjebak dalam pusaran itu.
“Karya ini baru pertama kali dimainkan,” ujar Andy–sapaan akrab Ananda. Repertoar yang dipersiapkan selama satu bulan ini dimainkan dalam dua versi tanpa jeda, yaitu instrumen saja, dan vokal yang dibawakan oleh penyanyi sopran dengan karakter suara bening, Aning Katamsi. Meski tonalitas vokal Aning banyak bergulat pada wilayah kromatis, tetap saja liriknya mampu bercerita.
Konser yang diselenggarakan oleh Jakarta New Years Concert 2010 ini dibuka dengan piano solo oleh Ananda dengan membawakan karya Rapsodia Nusantara No. 1. Ini komposisi unik yang mengawinkan dua lagu daerah, yaitu Kicir-kicir dan Si Jali-jali. Warna khas Indonesia yang kaya akan bunyi pentatonis digubah dan dielaborasi olehnya dengan memasukkan komposisi klasik sesuai dengan latar belakang musiknya. Tentu warna Indonesia itu tak lantas tertutup dan hilang.
“Saya ini sastrawan frustrasi. Saya sangat menyukai sastra, tapi tak bisa menulisnya. Yang saya kerjakan, ya, ngobrak-abrik tulisan orang,” ujarnya. Rapsodia Nusantara No. 5 juga dimainkan Ananda dalam konser tersebut. Karya kali ini menggiring kita pada lagu daerah Makassar. Rapsodia Nusantara tercipta atas inspirasi Yazeed Djamin (almarhum). Sebelum meninggal, Yazeed berjanji untuk membuat seri Rapsodia Nusantara yang ditulis khusus untuk Ananda. Yazeed terilhami oleh karya Franz Liszt, Hungarian Rhapsodies, yang berhasil mempopulerkan lagu-lagu rakyat Hungaria ke seluruh dunia. Sayang, ia meninggal sebelum sempat menuliskan repertoar itu. Maka Ananda kemudian menulisnya dengan versi, gaya, dan interpretasinya.
Selain itu, Ananda bermain duet dengan violis Inez Rahardjo pada karya Sweet Sorrow, puisi karya Shakespeare. Lagu ini dibuat oleh Ananda, khusus untuk pianis penyandang cacat, yang hanya memiliki dua jari di tangan kanannya. Sejak 2006, ia memang terlibat dalam proyek pendidikan musik khusus anak cacat di Spanyol.
Rupanya performance itu hanya hidangan pembuka. Diselingi istirahat selama 15 menit, pertunjukan dilanjutkan dengan komposisi Libertas. Sebuah kantata untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia. Komposisi besar ini terilhami oleh karya delapan pujangga besar Indonesia maupun dunia.
Karya ini pernah dimainkan sebelumnya pada Agustus 2009 di Hotel Dharmawangsa. Konser sederhana itu dihadiri oleh Presiden RI. “Konser saat ini memang lebih lengkap instrumennya,” ujar Andy. Bersama Jakarta String Ensemble dan vokal yang dimainkan oleh ITB Choir dan Paragita (UI Choir).
Joseph Kristanto, penyanyi bariton, malam itu mengisi beberapa nomor lagu, seperti The Young Dead Soldiers, Do Not Speak puisi karya Archibald Macleish. Karya ini disandingkan dengan musikalisasi puisi Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi. Banyak pihak menuduh puisi Chairil menjiplak karya Macleish. Tapi tak semacam itu bagi Ananda. Ia berpendapat bahwa Chairil hanya semata-mata terinspirasi. “Ini sangat berbeda dengan menjiplak,” ujarnya. Ananda membuktikannya melalui bahasa musikal dengan pola melodi yang sama pada dua nomor itu. Bahkan ia berani bertaruh bahwa penonton tak akan bisa mengidentifikasinya.
Dan betul, begitulah yang terjadi. Meski polanya sama, tetapi tema lagu itu tak berkaitan dan sangat samar. Seolah-olah dua lagu tersebut berbeda satu sama lain. Itulah yang ingin disampaikan Ananda bahwa dua puisi bisa saja bertema sama, tetapi pilihan kata, struktur, maupun ritmenya bisa saja berbeda. Sama-sama eksis.
Puisi karya W.S. Rendra (almarhum) yang berjudul Ia Telah Pergi juga tak lolos dari incaran Ananda. Karya itu menjadi nomor terpendek karena berdurasi kurang-lebih 30 detik saja. Selain itu, nomor-nomor lain yang tak kalah memukau adalah Kita Ciptakan Kemerdekaan, puisi karya Sapardi Djoko Damono. Lalu ada Palestina karya Hasan Aspahani, Bentangkan Sayapmu, Indonesia! karya Ilham Malayu, I Understand the Large Hearts of Heroes karya Walt Whitman dan A Un Poeta Muerto karya Luis Cernuda.
http://www.tempointeraktif.com/
Wahai pelayar malam
Tiga kapal karam
Masa mendendam
Apa lagi yang kau pendam
Sebelum semuanya tenggelam…
Ananda Sukarlan bukan seorang penyair. Namun pianis muda itu memiliki sensibilitas tinggi terhadap puisi. “Puisi itu seperti sudah bernada dan berbunyi menjadi musik,” katanya. Malam itu, di konser tunggalnya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yang bertajuk “Libertas”, ia memusikalisasi puisi-puisi yang menyentuh hatinya.
Petilan puisi di atas berjudul Bibirku Bersujud di Bibirmu. Puisi karya Hasan Aspahani itu mengingatkan kita pada mahabencana tsunami lima tahun silam. Musik mulanya mengalun runtut dan datar di indra telinga. Cara Ananda menafsirkan puisi ini menarik. Tiba-tiba piano yang dibawakannya secara trio bersama biola oleh Inez Rahardjo dan alto flute oleh Elizabeth Ashford bergemuruh, mengaduk-aduk pada wilayah nada rendah. Lalu berlanjut dengan komposisi yang menyayat. Masing-masing instrumen seperti berucap sendiri, meneriakkan kepanikan.
Lima penari garapan koreografer Chendra Panatan, pada momen itu di panggung riuh berlari ke sana-kemari sambil menggenggam kain panjang. Sebuah ilustrasi akan laut yang bergolak dan orang-orang yang terjebak dalam pusaran itu.
“Karya ini baru pertama kali dimainkan,” ujar Andy–sapaan akrab Ananda. Repertoar yang dipersiapkan selama satu bulan ini dimainkan dalam dua versi tanpa jeda, yaitu instrumen saja, dan vokal yang dibawakan oleh penyanyi sopran dengan karakter suara bening, Aning Katamsi. Meski tonalitas vokal Aning banyak bergulat pada wilayah kromatis, tetap saja liriknya mampu bercerita.
Konser yang diselenggarakan oleh Jakarta New Years Concert 2010 ini dibuka dengan piano solo oleh Ananda dengan membawakan karya Rapsodia Nusantara No. 1. Ini komposisi unik yang mengawinkan dua lagu daerah, yaitu Kicir-kicir dan Si Jali-jali. Warna khas Indonesia yang kaya akan bunyi pentatonis digubah dan dielaborasi olehnya dengan memasukkan komposisi klasik sesuai dengan latar belakang musiknya. Tentu warna Indonesia itu tak lantas tertutup dan hilang.
“Saya ini sastrawan frustrasi. Saya sangat menyukai sastra, tapi tak bisa menulisnya. Yang saya kerjakan, ya, ngobrak-abrik tulisan orang,” ujarnya. Rapsodia Nusantara No. 5 juga dimainkan Ananda dalam konser tersebut. Karya kali ini menggiring kita pada lagu daerah Makassar. Rapsodia Nusantara tercipta atas inspirasi Yazeed Djamin (almarhum). Sebelum meninggal, Yazeed berjanji untuk membuat seri Rapsodia Nusantara yang ditulis khusus untuk Ananda. Yazeed terilhami oleh karya Franz Liszt, Hungarian Rhapsodies, yang berhasil mempopulerkan lagu-lagu rakyat Hungaria ke seluruh dunia. Sayang, ia meninggal sebelum sempat menuliskan repertoar itu. Maka Ananda kemudian menulisnya dengan versi, gaya, dan interpretasinya.
Selain itu, Ananda bermain duet dengan violis Inez Rahardjo pada karya Sweet Sorrow, puisi karya Shakespeare. Lagu ini dibuat oleh Ananda, khusus untuk pianis penyandang cacat, yang hanya memiliki dua jari di tangan kanannya. Sejak 2006, ia memang terlibat dalam proyek pendidikan musik khusus anak cacat di Spanyol.
Rupanya performance itu hanya hidangan pembuka. Diselingi istirahat selama 15 menit, pertunjukan dilanjutkan dengan komposisi Libertas. Sebuah kantata untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia. Komposisi besar ini terilhami oleh karya delapan pujangga besar Indonesia maupun dunia.
Karya ini pernah dimainkan sebelumnya pada Agustus 2009 di Hotel Dharmawangsa. Konser sederhana itu dihadiri oleh Presiden RI. “Konser saat ini memang lebih lengkap instrumennya,” ujar Andy. Bersama Jakarta String Ensemble dan vokal yang dimainkan oleh ITB Choir dan Paragita (UI Choir).
Joseph Kristanto, penyanyi bariton, malam itu mengisi beberapa nomor lagu, seperti The Young Dead Soldiers, Do Not Speak puisi karya Archibald Macleish. Karya ini disandingkan dengan musikalisasi puisi Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi. Banyak pihak menuduh puisi Chairil menjiplak karya Macleish. Tapi tak semacam itu bagi Ananda. Ia berpendapat bahwa Chairil hanya semata-mata terinspirasi. “Ini sangat berbeda dengan menjiplak,” ujarnya. Ananda membuktikannya melalui bahasa musikal dengan pola melodi yang sama pada dua nomor itu. Bahkan ia berani bertaruh bahwa penonton tak akan bisa mengidentifikasinya.
Dan betul, begitulah yang terjadi. Meski polanya sama, tetapi tema lagu itu tak berkaitan dan sangat samar. Seolah-olah dua lagu tersebut berbeda satu sama lain. Itulah yang ingin disampaikan Ananda bahwa dua puisi bisa saja bertema sama, tetapi pilihan kata, struktur, maupun ritmenya bisa saja berbeda. Sama-sama eksis.
Puisi karya W.S. Rendra (almarhum) yang berjudul Ia Telah Pergi juga tak lolos dari incaran Ananda. Karya itu menjadi nomor terpendek karena berdurasi kurang-lebih 30 detik saja. Selain itu, nomor-nomor lain yang tak kalah memukau adalah Kita Ciptakan Kemerdekaan, puisi karya Sapardi Djoko Damono. Lalu ada Palestina karya Hasan Aspahani, Bentangkan Sayapmu, Indonesia! karya Ilham Malayu, I Understand the Large Hearts of Heroes karya Walt Whitman dan A Un Poeta Muerto karya Luis Cernuda.
Sastra dan Rasa Kebangsaan
Eriyanti
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Perdebatan karya sastra hampir sebanding dengan perdebatan soal membangun karakter bangsa. Namun tidak dimungkiri, pemerintah sebagai lembaga yang berkompeten membangun karakteristik bangsa, seringkali tidak melibatkan karya sastra dalam penyusunan berbagai kebijakan.
Namun, pada kondisi paling ekstrem, justru kesusastraan seringkali dicurigai akan merusak dan menghancurkan bangsa itu sendiri. Pada era sebelum merdeka, buku-buku yang diterbitkan penerbitan swasta dipantau ketat oleh penerbit Balai Pustaka yang mewakili pemerintah.
Namun, kenyataan lain menunjukkan, era reformasi yang membukakan banyak kebebasan termasuk dalam penerbitan karya-karya sastra, justru cenderung paradoks. Di satu sisi, karya-karya sastra bertumbuh sangat pesat. Namun, di sisi lain, tidak menjamin bertumbuhnya karya sastra itu diikuti kualitas karya yang baik. Malah, muncul kecenderungan siapa pun dapat menulis apa pun.
Keadaan ini semakin parah karena tidak adanya ruang kritik. Karya lahir begitu saja dan nyaris tanpa wacana. Keberadaan sastra seakan tidak ada keterkaitan antara karya sastra dan pembentukan karakteristik bangsa yang dapat ditempuh lewat kritik sastra.
Pada kondisi inilah, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) merasa penting untuk mengadakan Konferensi Internasional Kesusastraan XX. Guna membaca kembali fungsi-fungsi sosial sastra dalam menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan. Bertempat di Isola Hotel, Kampus UPI Bandung, hadir berbagai pemakalah dari dalam dan luar negeri.
**
UNTUK memetakan kembali kesusastraan, Melani Budianta mendefinisikan bahwa sastra adalah seni yang menggunakan medium bahasa. Dalam kaitan berbangsa, sastra adalah sesuatu yang mendukung, melawan, dan bersikap ambigu, terhadap wacana dominan. Sastra juga menyuarakan kelompok yang terpinggirkan dan atau menjadi “hati nurani”. Sastra memberikan kritik terhadap tatanan sosial politik ekonomi, membangun wawasan alternatif, membayangkan dunia yang berbeda, dan menjadi modal budaya (aset) dan pengayaan intelektual.
Melani mengatakan, melalui karya rekaan sastra kita membayangkan dan menghadirkan berbagai wilayah satu negara, sehingga pembaca dapat mengalami dan merasa memiliki. Melalui sastra pula masyarakat merajut berbagai acuan budaya, mitos, legenda, dan bahasa-bahasa nusantara, sehingga terjadi “hibriditas lintas budaya”.
Pada dasarnya sastra adalah mengolah interaksi lintas budaya dan persoalan-persoalan Indonesia membangun wacana tentang keindonesiaan atau mimpi (termasuk kritik dan mimpi buruk) Indonesia; menggali warna lokal, mitos, legenda rural dan urban dalam dinamika lokal-global; mengangkat persoalan identitas budaya (agama, suku, gender dan seksualitas, kelas) dalam proses mengindonesia yang tak pernah selesai.
Kendati begitu, sastra memberi sistem yang demokratis. Memberi ruang bagi kebebasan berekspresi. Dan dengan kebebasan berekspresi, terjadi demokratisasi sastra yang digambarkan. Pengarang mempunyai kebebasan berekspresi, sedangkan pembaca dan penerbitan mempunyai kebebasan memilih.
Maka pada kondisi kesusastraan kini, Sapardi Djoko Damono menilai, adalah sah bila kemudian masyarakat justru memilih kesusastraan yang lebih “ringan” dan mudah dicerna. Pasalnya, ketika industri menggasak semua lini, tidak ketinggalan dunia sastra telah terjadi perubahan sosial yang tidak saja mengubah karakteristik masyarakat, tetapi juga “mencerabut” masyarakat itu dari asal-muasalnya.
Orang-orang yang datang ke kota “menciptakan” kebudayaan baru yang belum dikenal sebelumnya. Akan tetapi kota menyediakan ruang bagi mereka untuk merasa aman tinggal di dunia yang mengasingkan mereka. Sebagai warga kota, orang-orang ini tidak lagi mengenal kebudayaan desa, tetapi juga mendapat kesulitan untuk mengenal kebudayaan kota. Mereka masuk pada situasi yang memaksa mereka untuk mengembangkan kebudayaan baru yang mudah dicerna.
Dalam kaitannya dengan kesusastraan, masyarakat seperti ini memerlukan bacaan yang lebih “ringan” dari jenis yang sebelumnya berkembang. Waktu luang mereka untuk belajar membaca, tidak cukup mengubah kebanyakan dari mereka untuk mampu bergabung dengan kalangan elite.
Sementara itu, Riris Toha K. Sarumpaet, memandang kesusastraan kini, tidak lebih dari kesusastraan seragam. Masyarakat industri yang dikatakan Sapardi sudah menjadi manusia dengan kebudayaan baru yang bukan kebudayaan masa lalu ataupun masa yang akan datang, tersihir pola global yang mengerutkan manusia pada satu dunia, satu selera.
Sihir Harry Potter sebagai satu di antara produk yang mendunia, telah merontokkan cerita-cerita lain di setiap daerah dan di setiap negara. Hal sama terjadi jauh sebelumnya ketika dongeng Cinderella menjadi sangat “di sini” dan sebagai “kita”.
Terpinggirkannya selera kesusastraan pada yang lebih populer atau lebih mendunia, menurut Riris, dilegalisasi dengan sistem pendidikan yang notabene hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif para siswa. Pesan dan nilai-nilai yang disampaikan dalam karya sastra, hanya menjadi anatomi kosa kata yang dipecah menjadi huruf-huruf.
Hibriditas sastra yang dipandang Melani memunculkan pluralisme yang demokratis, Riris justru memandangnya lebih sebagai penyeragaman. Dongeng Cinderella, tidak saja dihafal semua anak, remaja, bahkan orang tua di seantero dunia tetapi tata nilai, sikap, dan ideologi yang disampaikan Cinderella, diterima dan diyakini semua orang. Pendek kata, dongeng Cinderella ataupun Harry Potter telah melahirkan satu sikap dan ideologi yang sama bangsa-bangsa di dunia.
Kendati begitu, Sapardi menegaskan, tidak mungkin karya sastra itu disensor. Masyarakat yang telah berubah dan lebih menyukai bacaan yang populer adalah kenyataan yang tidak dapat dilarang. Persoalannya sekarang, kata Sapardi maupun Riris, mampukah sastra hibrid yang dimaksud oleh Melani itu dibuat para pengarang dan penulis Indonesia, dengan versi baru yang lebih mengindonesia?
**
ADALAH Acep Zamzam Noor, penyair dengan Sanggar Sastra Tasik (SST) yang dikembangkannya, justru telah lebih dulu membumikan sastra hibrid ini dalam ke-Indonesiaan yang tak pernah selesai dengan karut-marutnya.
Rasa kebangsaan atau nasionalisme yang sering disebut sebagai “an awareness of membership in a nation together with a desire to achieve, maintain, and perpetuate the identity, prosperity, and power of the nation” (suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan, dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa), bagi Acep dan SST adalah sikap yang diwujudkan dalam bentuk tindakan, untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan.
Nasionalisme seperti ini, dimanifestasikan Acep melalui berbagai kegiatan–kalau tidak mau disebut sebagai pergerakan–SST. Hal itu dapat dilihat dari keanggotaan orang yang bergabung dengan SST adalah orang-orang teater dan seni rupa, sejumlah siswa SMA, mahasiswa, dosen, guru, ibu rumah tangga, pemusik, penganggur, pedagang kaki lima, kepala desa, serta penarik becak. Termasuk RSPD FM sebagai radio daerah setempat yang dijadikan media publikasi SST.
Untuk pluraritas keanggotaan ini, Acep bersama SST dan Tasikmalaya tempat komunitas ini tinggal, telah meruntuhkan asumsi bahwa seniman/penyair seringkali “terasing” dari lingkungannya.
Yang menarik, gerakan yang dikembangkan kemudian adalah selalu merespons setiap keadaan dan peristiwa dengan langsung “masuk” ke dalam keadaan dan peristiwa yang sedang terjadi itu. Contoh, ketika bahasa para pejabat dan birokrat sudah seragam dan tidak mempunyai “ruh” dari setiap yang disampaikannya, komunitas ini gencar memasang berbagai spanduk dan pamflet yang menggunakan bahasa-bahasa membumi dengan masyarakat.
Pada gerakan ini, Acep bersama SST bukan cuma sedang mengajari para birokrat ini dalam berbahasa, tetapi juga sedang merayakan puisi bersama masyarakat. Pun demikian ketika komunitas ini merespons perhelatan Pemilu 2004. SST tidak sebatas menggelar mimbar puisi, tetapi juga melakukan workshop berupa investigasi terhadap nama-nama dan “track record” caleg dari partai-partai peserta pemilu, khususnya untuk daerah pemilihan Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.
Dari investigasi itu nyaris dapat disimpulkan, tidak ada caleg yang bisa dipercaya, semuanya adalah nama-nama lama yang perilakunya sudah diketahui umum. Dari workshop ini lahirlah puisi-puisi kontekstual yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan, yakni kecenderungan yang sangat kuat pada “golput”.
Puisi-puisi ini kemudian dibacakan dalam suatu pergelaran yang bertajuk “Penyair Memilih Puisi dalam Pemilu 2004″, di Gedung Kesenian Tasikmalaya. Untuk memantapkan ekspresi ketidakpercayaan ini, dua hari menjelang pencoblosan, digelar “Karnaval Golput” yang melibatkan komunitas-komunitas kesenian yang lain.
Dari apa yang sudah dilakukan Acep dengan komunitasnya, kita dapat menangkap suatu formula bahwa mengapresiasi sastra sebagai upaya menumbuhkan rasa kebangsaan adalah dengan terjun langsung pada masyarakat itu sendiri. Komunitas ini tidak menjadikan sastra dan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai satu yang terpisah dari kesusastraan, tetapi justru sebagai satu kesatuan yang di dalamnya adalah para penyair, birokrat, rakyat, bahkan sampai ke tukang bandros penikmat lagu-lagu dangdut.
Uniknya, ketika kesusastraan menjadi tak terpisahkan dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri, para penyair yang notabene menurut Riris Sarumpaet adalah minoritas, tetap intens dalam mendewasakan karya-karyanya. Hal ini dapat disimak pada kegiatan “tradisi enam” yang dijalankan SST. Tradisi ini membagi anggota SST ke dalam grup-grup kecil yang masing-masing berjumlah enam orang.
Grup-grup kecil ini diberi waktu untuk membuat workshop intern, menyiapkan dan mematangkan karya-karya mereka, mengusahakan penerbitan antologi sederhana dan kemudian menyelenggarakan acara berupa pembacaan puisi yang disertai diskusi dengan pembahas dari luar.
Sebagai upaya pemicu kreativitas, kegiatan ini cukup menarik. Ada persaingan yang sehat antargrup, terutama dalam penyelenggaraan acara. Ada juga persaingan antaranggota masing-masing grup, khususnya dalam kreativitas dan produktivitas. Setiap grup diberi nama yang sesuai dengan kecenderungan puisi maupun karakter dari anggota grup itu sendiri, seperti “Enam Penyair Menembus Udara”, “Enam Penyair Membentur Tembok”, “Enam Penyair Meminum Aspal”, dan “Enam Penyair Mengisap Knalpot”. Nama dari grup-grup tersebut sekaligus juga menjadi judul antologi puisi mereka.
Jadi, fenomena hibriditas sastra yang dituding tidak lagi memberi “impact” terhadap munculnya rasa kebangsaan, justru hanya muncul ketika para pelaku sastra berjarak dengan masyarakat pembacanya. Ketika para penyair hanya sibuk mencari penerbit untuk menerbitkan buku puisinya dan ketika para akademisi “anteng” meneliti sastra dengan kondisi masyarakat yang justru jauh telah berubah, atau kalangan birokrasi hanya mengejar angka-angka dari pola didik yang dijalankannya.
Maka adalah sah, bila konferensi ini melahirkan delapan butir rekomendasi. Di antaranya bahwa kesusastraan memiliki peran sangat penting dan strategis dalam pembentukan nilai dan sikap kebangsaan, bahkan terlibat langsung dalam pembentukan negara dan bangsa, sehingga kurikulum pendidikan perlu ditinjau ulang karena cenderung mengarahkan pengajaran sastra kepada aspek pembangunan pengetahuan (kognitif).
Kurikulum sebagai kebijakan pemerintah memang sangat politis dan dapat memengaruhi berbagai kebijakan di bawahnya. Namun rekomendasi ini juga menggarisbawahi adalah keharusan pula bila Hiski dan lembaga terkait lainnya, mampu merumuskan berbagai materi ajar dan model pengajaran yang tepat untuk berbagai tingkat pendidikan sehingga rasa kebangsaan akan tetap menggelora dalam situasi apa pun.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Perdebatan karya sastra hampir sebanding dengan perdebatan soal membangun karakter bangsa. Namun tidak dimungkiri, pemerintah sebagai lembaga yang berkompeten membangun karakteristik bangsa, seringkali tidak melibatkan karya sastra dalam penyusunan berbagai kebijakan.
Namun, pada kondisi paling ekstrem, justru kesusastraan seringkali dicurigai akan merusak dan menghancurkan bangsa itu sendiri. Pada era sebelum merdeka, buku-buku yang diterbitkan penerbitan swasta dipantau ketat oleh penerbit Balai Pustaka yang mewakili pemerintah.
Namun, kenyataan lain menunjukkan, era reformasi yang membukakan banyak kebebasan termasuk dalam penerbitan karya-karya sastra, justru cenderung paradoks. Di satu sisi, karya-karya sastra bertumbuh sangat pesat. Namun, di sisi lain, tidak menjamin bertumbuhnya karya sastra itu diikuti kualitas karya yang baik. Malah, muncul kecenderungan siapa pun dapat menulis apa pun.
Keadaan ini semakin parah karena tidak adanya ruang kritik. Karya lahir begitu saja dan nyaris tanpa wacana. Keberadaan sastra seakan tidak ada keterkaitan antara karya sastra dan pembentukan karakteristik bangsa yang dapat ditempuh lewat kritik sastra.
Pada kondisi inilah, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) merasa penting untuk mengadakan Konferensi Internasional Kesusastraan XX. Guna membaca kembali fungsi-fungsi sosial sastra dalam menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan. Bertempat di Isola Hotel, Kampus UPI Bandung, hadir berbagai pemakalah dari dalam dan luar negeri.
**
UNTUK memetakan kembali kesusastraan, Melani Budianta mendefinisikan bahwa sastra adalah seni yang menggunakan medium bahasa. Dalam kaitan berbangsa, sastra adalah sesuatu yang mendukung, melawan, dan bersikap ambigu, terhadap wacana dominan. Sastra juga menyuarakan kelompok yang terpinggirkan dan atau menjadi “hati nurani”. Sastra memberikan kritik terhadap tatanan sosial politik ekonomi, membangun wawasan alternatif, membayangkan dunia yang berbeda, dan menjadi modal budaya (aset) dan pengayaan intelektual.
Melani mengatakan, melalui karya rekaan sastra kita membayangkan dan menghadirkan berbagai wilayah satu negara, sehingga pembaca dapat mengalami dan merasa memiliki. Melalui sastra pula masyarakat merajut berbagai acuan budaya, mitos, legenda, dan bahasa-bahasa nusantara, sehingga terjadi “hibriditas lintas budaya”.
Pada dasarnya sastra adalah mengolah interaksi lintas budaya dan persoalan-persoalan Indonesia membangun wacana tentang keindonesiaan atau mimpi (termasuk kritik dan mimpi buruk) Indonesia; menggali warna lokal, mitos, legenda rural dan urban dalam dinamika lokal-global; mengangkat persoalan identitas budaya (agama, suku, gender dan seksualitas, kelas) dalam proses mengindonesia yang tak pernah selesai.
Kendati begitu, sastra memberi sistem yang demokratis. Memberi ruang bagi kebebasan berekspresi. Dan dengan kebebasan berekspresi, terjadi demokratisasi sastra yang digambarkan. Pengarang mempunyai kebebasan berekspresi, sedangkan pembaca dan penerbitan mempunyai kebebasan memilih.
Maka pada kondisi kesusastraan kini, Sapardi Djoko Damono menilai, adalah sah bila kemudian masyarakat justru memilih kesusastraan yang lebih “ringan” dan mudah dicerna. Pasalnya, ketika industri menggasak semua lini, tidak ketinggalan dunia sastra telah terjadi perubahan sosial yang tidak saja mengubah karakteristik masyarakat, tetapi juga “mencerabut” masyarakat itu dari asal-muasalnya.
Orang-orang yang datang ke kota “menciptakan” kebudayaan baru yang belum dikenal sebelumnya. Akan tetapi kota menyediakan ruang bagi mereka untuk merasa aman tinggal di dunia yang mengasingkan mereka. Sebagai warga kota, orang-orang ini tidak lagi mengenal kebudayaan desa, tetapi juga mendapat kesulitan untuk mengenal kebudayaan kota. Mereka masuk pada situasi yang memaksa mereka untuk mengembangkan kebudayaan baru yang mudah dicerna.
Dalam kaitannya dengan kesusastraan, masyarakat seperti ini memerlukan bacaan yang lebih “ringan” dari jenis yang sebelumnya berkembang. Waktu luang mereka untuk belajar membaca, tidak cukup mengubah kebanyakan dari mereka untuk mampu bergabung dengan kalangan elite.
Sementara itu, Riris Toha K. Sarumpaet, memandang kesusastraan kini, tidak lebih dari kesusastraan seragam. Masyarakat industri yang dikatakan Sapardi sudah menjadi manusia dengan kebudayaan baru yang bukan kebudayaan masa lalu ataupun masa yang akan datang, tersihir pola global yang mengerutkan manusia pada satu dunia, satu selera.
Sihir Harry Potter sebagai satu di antara produk yang mendunia, telah merontokkan cerita-cerita lain di setiap daerah dan di setiap negara. Hal sama terjadi jauh sebelumnya ketika dongeng Cinderella menjadi sangat “di sini” dan sebagai “kita”.
Terpinggirkannya selera kesusastraan pada yang lebih populer atau lebih mendunia, menurut Riris, dilegalisasi dengan sistem pendidikan yang notabene hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif para siswa. Pesan dan nilai-nilai yang disampaikan dalam karya sastra, hanya menjadi anatomi kosa kata yang dipecah menjadi huruf-huruf.
Hibriditas sastra yang dipandang Melani memunculkan pluralisme yang demokratis, Riris justru memandangnya lebih sebagai penyeragaman. Dongeng Cinderella, tidak saja dihafal semua anak, remaja, bahkan orang tua di seantero dunia tetapi tata nilai, sikap, dan ideologi yang disampaikan Cinderella, diterima dan diyakini semua orang. Pendek kata, dongeng Cinderella ataupun Harry Potter telah melahirkan satu sikap dan ideologi yang sama bangsa-bangsa di dunia.
Kendati begitu, Sapardi menegaskan, tidak mungkin karya sastra itu disensor. Masyarakat yang telah berubah dan lebih menyukai bacaan yang populer adalah kenyataan yang tidak dapat dilarang. Persoalannya sekarang, kata Sapardi maupun Riris, mampukah sastra hibrid yang dimaksud oleh Melani itu dibuat para pengarang dan penulis Indonesia, dengan versi baru yang lebih mengindonesia?
**
ADALAH Acep Zamzam Noor, penyair dengan Sanggar Sastra Tasik (SST) yang dikembangkannya, justru telah lebih dulu membumikan sastra hibrid ini dalam ke-Indonesiaan yang tak pernah selesai dengan karut-marutnya.
Rasa kebangsaan atau nasionalisme yang sering disebut sebagai “an awareness of membership in a nation together with a desire to achieve, maintain, and perpetuate the identity, prosperity, and power of the nation” (suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan, dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa), bagi Acep dan SST adalah sikap yang diwujudkan dalam bentuk tindakan, untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan.
Nasionalisme seperti ini, dimanifestasikan Acep melalui berbagai kegiatan–kalau tidak mau disebut sebagai pergerakan–SST. Hal itu dapat dilihat dari keanggotaan orang yang bergabung dengan SST adalah orang-orang teater dan seni rupa, sejumlah siswa SMA, mahasiswa, dosen, guru, ibu rumah tangga, pemusik, penganggur, pedagang kaki lima, kepala desa, serta penarik becak. Termasuk RSPD FM sebagai radio daerah setempat yang dijadikan media publikasi SST.
Untuk pluraritas keanggotaan ini, Acep bersama SST dan Tasikmalaya tempat komunitas ini tinggal, telah meruntuhkan asumsi bahwa seniman/penyair seringkali “terasing” dari lingkungannya.
Yang menarik, gerakan yang dikembangkan kemudian adalah selalu merespons setiap keadaan dan peristiwa dengan langsung “masuk” ke dalam keadaan dan peristiwa yang sedang terjadi itu. Contoh, ketika bahasa para pejabat dan birokrat sudah seragam dan tidak mempunyai “ruh” dari setiap yang disampaikannya, komunitas ini gencar memasang berbagai spanduk dan pamflet yang menggunakan bahasa-bahasa membumi dengan masyarakat.
Pada gerakan ini, Acep bersama SST bukan cuma sedang mengajari para birokrat ini dalam berbahasa, tetapi juga sedang merayakan puisi bersama masyarakat. Pun demikian ketika komunitas ini merespons perhelatan Pemilu 2004. SST tidak sebatas menggelar mimbar puisi, tetapi juga melakukan workshop berupa investigasi terhadap nama-nama dan “track record” caleg dari partai-partai peserta pemilu, khususnya untuk daerah pemilihan Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.
Dari investigasi itu nyaris dapat disimpulkan, tidak ada caleg yang bisa dipercaya, semuanya adalah nama-nama lama yang perilakunya sudah diketahui umum. Dari workshop ini lahirlah puisi-puisi kontekstual yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan, yakni kecenderungan yang sangat kuat pada “golput”.
Puisi-puisi ini kemudian dibacakan dalam suatu pergelaran yang bertajuk “Penyair Memilih Puisi dalam Pemilu 2004″, di Gedung Kesenian Tasikmalaya. Untuk memantapkan ekspresi ketidakpercayaan ini, dua hari menjelang pencoblosan, digelar “Karnaval Golput” yang melibatkan komunitas-komunitas kesenian yang lain.
Dari apa yang sudah dilakukan Acep dengan komunitasnya, kita dapat menangkap suatu formula bahwa mengapresiasi sastra sebagai upaya menumbuhkan rasa kebangsaan adalah dengan terjun langsung pada masyarakat itu sendiri. Komunitas ini tidak menjadikan sastra dan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai satu yang terpisah dari kesusastraan, tetapi justru sebagai satu kesatuan yang di dalamnya adalah para penyair, birokrat, rakyat, bahkan sampai ke tukang bandros penikmat lagu-lagu dangdut.
Uniknya, ketika kesusastraan menjadi tak terpisahkan dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri, para penyair yang notabene menurut Riris Sarumpaet adalah minoritas, tetap intens dalam mendewasakan karya-karyanya. Hal ini dapat disimak pada kegiatan “tradisi enam” yang dijalankan SST. Tradisi ini membagi anggota SST ke dalam grup-grup kecil yang masing-masing berjumlah enam orang.
Grup-grup kecil ini diberi waktu untuk membuat workshop intern, menyiapkan dan mematangkan karya-karya mereka, mengusahakan penerbitan antologi sederhana dan kemudian menyelenggarakan acara berupa pembacaan puisi yang disertai diskusi dengan pembahas dari luar.
Sebagai upaya pemicu kreativitas, kegiatan ini cukup menarik. Ada persaingan yang sehat antargrup, terutama dalam penyelenggaraan acara. Ada juga persaingan antaranggota masing-masing grup, khususnya dalam kreativitas dan produktivitas. Setiap grup diberi nama yang sesuai dengan kecenderungan puisi maupun karakter dari anggota grup itu sendiri, seperti “Enam Penyair Menembus Udara”, “Enam Penyair Membentur Tembok”, “Enam Penyair Meminum Aspal”, dan “Enam Penyair Mengisap Knalpot”. Nama dari grup-grup tersebut sekaligus juga menjadi judul antologi puisi mereka.
Jadi, fenomena hibriditas sastra yang dituding tidak lagi memberi “impact” terhadap munculnya rasa kebangsaan, justru hanya muncul ketika para pelaku sastra berjarak dengan masyarakat pembacanya. Ketika para penyair hanya sibuk mencari penerbit untuk menerbitkan buku puisinya dan ketika para akademisi “anteng” meneliti sastra dengan kondisi masyarakat yang justru jauh telah berubah, atau kalangan birokrasi hanya mengejar angka-angka dari pola didik yang dijalankannya.
Maka adalah sah, bila konferensi ini melahirkan delapan butir rekomendasi. Di antaranya bahwa kesusastraan memiliki peran sangat penting dan strategis dalam pembentukan nilai dan sikap kebangsaan, bahkan terlibat langsung dalam pembentukan negara dan bangsa, sehingga kurikulum pendidikan perlu ditinjau ulang karena cenderung mengarahkan pengajaran sastra kepada aspek pembangunan pengetahuan (kognitif).
Kurikulum sebagai kebijakan pemerintah memang sangat politis dan dapat memengaruhi berbagai kebijakan di bawahnya. Namun rekomendasi ini juga menggarisbawahi adalah keharusan pula bila Hiski dan lembaga terkait lainnya, mampu merumuskan berbagai materi ajar dan model pengajaran yang tepat untuk berbagai tingkat pendidikan sehingga rasa kebangsaan akan tetap menggelora dalam situasi apa pun.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar