Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=354
PELAIANG*
Hermann Hesse
Malam benderang oleh cahaya kilat
Dan menggerenyet dalam sinar memutih
Dan berkedip ganas, goncang dan mencolok
Di atas hutan, sungai dan mukaku pucat.
Bersandar pada batang bambu yang sejuk
Aku berdiri dan menatap tiada henti,
Tanah pucat yang dicambuk hujan
Mendambakan ketenangan,
Dan dari masa muda yang jauh
Mendadak terdengar bagai kilat
Teriakan gembira lewat kesuraman mendung hujan,
Bahwa toh tidak semua hampa,
Bahwa toh tidak semua hambar dan gelap,
Bahwa petir masih memancar
Dan bahwa kebosanan hari-hari
Dilewati rahasia dan keajaiban buas yang membara.
Mengambil nafas dalam aku dengarkan guruh menghilang
Dan kurasakan kelembaban badai di rambutku
Dan untuk beberapa detik aku jaga bak harimau
Dan gembira, seperti pada masa muda
Yang sejak masa itu tiada pernah lagi aku rasakan.
* Pelaiang ialah nama tempat di Sumatera (Pelayang).
Hermann Hesse, penulis sajak dan prosa yang tertarik kebudayaan Asia, lahir di Calw, Jerman 1877. Di usia 18 tahun pindah ke Basel, Swiss, bekerja menjual buku serta menghabiskan sebagian hidupnya di sana. Tahun 1911 mengelilingi Asia, pengalamannya tersebut tergambar jelas dalam bukunya bertitel Aus Indien (Dari India). Ketika pernikahan pertamanya berakhir, berpindah ke Montagnola, Swiss. Novelnya antara lain Siddharta (1922). Penerima Nobel sastra 1946, meninggal dunia 1962. {Dari buku Malam Biru Di Berlin, terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989}
***
Mengingat novelnya Siddharta, kubayangkan Hesse sesosok petualang yang peka lelanggam Asia serta nilai-nilai luhur menghidupinya. Alam semesta menggoda perasaan, maha bathin tersendiri seniman menghidupi pengindraan hayati lebih berarti.
Renungan matahari mengeluarkan ribuan serpihan makna atau tak pernah puas cahaya utama, ikhtiarnya pengaruhi susunan gemintang di angkasa merubah bentukan takdir tersendiri.
Melalui jiwa perempuan menyelami keganjilan keakuan, penolakannya lebur bersama tragedi tergaris, tak masuk perubahan tetap bertahan kembarai bayu menjalankan warna pandangan.
Keingintahuan menanjak berbahan pelajaran serupa doa tak terucap tempaan laku, derita hidupnya mengajarkan tak silap percepatan bertemu kehakikian. Dikurbankan bercerai istrinya, ada garis penolakan namun harus memilih, memotong waktu di luaran tampak beringas.
Setiap langkah tersenyum kebaharuan penyeimbang di tepian sungai didatangi, ingatannya menuju karya sedari letih saat-saat mencium abadi.
Sosok kembara seolah tak kemana-mana, tapi bumi beredar di hadapannya. Ketakutan serta keriangan semata dadu, atau ayunan suatu waktu berhenti seperti benda jatuh.
Getaran firasat dari kenangan purba terbaca buku-buku, mendengar arus sungai jauh mendekati kalbu berdamai merindu, bergejolak menyampaikan bayang pendapat.
Dirinya tak dituntut gagasan namun ketinggian bathiniah, luka kecewa terpancar indah, derita tersembul kembang hidup bermekaran mengenal dunia.
Membaca sajaknya Pelaiang, kusaksikan Hesse datang di musim penghujan. Kilatan petir menyambar-nyambar diri digetarkan, suara alam bangkit dari tebing malam, mengeroyok ingatan terpojok menguatkan jiwa semuda di jalan-jalan Swiss.
Ada gundah tapi dengan senyum persahabatan alam selama ini, kian akrab menemui kesaksian raya, merasai dirinya ditakdirkan jadi insan mempuni, denting kelenengan bayang-bayang membentuk kesatuan menghadap langit.
Entah hawatir atau gembira digerakkan sesuatu yang belum menjelma, tanah India masih jauh, catatannya mengalami kebuntuan atau keraguan menghantui dari masa lampau yang tengah terhadapi juga nanti.
Adalah bongkahan padat harus ditebang nalar kelelakian tegar berbaca isyarat. Entah sebab bacaan di belahan Asia tempo dulu, menyeret takdirnya ke hutan belantara Sumatera.
Kaki-kaki berlepotan tanah, hujan mengguyur ganas beserta kilatan pedang cahaya tiada berhenti. Kejadian itu tak pernah terlupa dalam perjalanannya mendatang.
Sosok pencari tiada jera meneliti semesta nilai hayati. Pagi hari pemandangan indah, lebih segar dari kemarin, angin tropis maha santun rupawan seelok senandung pujian Timur berdengung dalam telinga kelembutan.
Keyakinannya tumbuh meremaja, pertarungan ruang-waktu di berbagai negeri memantabkan diri, kelana tak puas mencari kehadiran jiwa.
Baginya hidup memperbaharui nilai dari suara-suara jaman di belakang, menggali rahasia alam bathin menghadapi kehendak mutlak, dengan bersastra melestarikan budaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 30 Desember 2009
Menyingkap Fajar Sejarah Nusantara
Bayu Dwi Mardana
http://www.sinarharapan.co.id/
”Terus terang proses peralihan masa prasejarah ke masa sejarah Nusantara belum banyak disoroti peneliti. Padahal bila diteliti lebih jauh, pada masa ini bisa terungkap bagaimana perjuangan nenek moyang kita untuk berhubungan dengan dunia luar,” ungkap Endang Sri Hardiati, Kepala Museum Nasional, prihatin. Padahal, persentuhan dengan dunia luar itulah menghasilkan era baru dalam sejarah Indonesia. Tentu ini tak bisa kita lupakan begitu saja.
Berawal dari rasa keprihatinan tadi, Endang melontarkan ide untuk mengadakan pameran yang berusaha menyingkap proses masa peralihan tadi berdasar dari temuan-temuan yang sudah dilakukan para peneliti arkeologi. Gayung pun bersambut. Ide manis itu ditanggapi positif Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Belum lagi dukungan dari para kolega dan ahli arkeologi dalam dan luar negeri.
Selain mengadakan pameran, Museum Nasional juga menggelar seminar dengan tema yang sama. Seminar ini dilaksanakan setelah acara pembukaan pameran bertajuk ”Fajar Masa Sejarah Nusantara” pada Senin (15/10) lalu. Peserta seminar bukan saja datang dari kalangan peneliti negeri sendiri tetapi juga berhasil mendatangkan peserta dari Inggris, Perancis, Kamboja, Selandia Baru dan Vietnam.
”Pameran ini juga bertujuan untuk memberikan informasi tentang peradaban Indonesia pada awal dikenalnya tulisan yang ditandai dengan temuan arkeologis, berupa prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur,” tegas Endang.
Pameran yang rencananya digelar sampai pertengahan Desember itu menampilkan 83 koleksi antara lain peninggalan-peninggalan masa megalitik, benda-benda perunggu, manik-manik, amulet, meterai, arca-arca, prasasti sampai fragmen sisa-sisa bangunan dari situs percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat. Yang jelas seluruh materi tadi merupakan warisan budaya yang berasal dari masa prasejarah akhir dan awal masa sejarah Nusantara.
”Meski kedua periode tersebut tidak berbeda jauh, bahkan secara kronolologis menyambung, yang satu melanjutkan yang lain, tetapi warisan budaya yang dihasilkannya punya perbedaan yang besar. Terutama, yang menyangkut keberadaan aksara atau tulisan,” papar Endang dengan ramah.
Alhasil dari kedua periode tadi, penyelenggara berusaha menampilkan materi atau koleksi yang menggambarkan, kehidupan keagamaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan perdagangan kuno India-Nusantara-Cina, komoditi perdagangan kuno dari wilayah Nusantara dan sisa-sisa pemukiman.
Menurut Endang sumber koleksi-koleksi itu bukan saja dari Museum Nasional saja tetapi juga datang Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Masa Megalitik
Masa akhir zaman prasejarah disebut juga dengan Paleometalik karena pada masa ini telah dikenal teknik peleburan bijih-bijih logam dan pembuatan benda-benda dari logam. Pada masa ini pula masyarakat di Nusantara telah mengenal kepercayaan terhadap arwah nenek moyang. Sebagai perwujudannya, mereka melakukan pemujaan lewat media batu besar yang disebut megalitik.
Bukti-bukti pemujaan tadi bisa kita ketahui dari peninggalan-peninggalan megalitik yang tersebar di wilayah Nusantara, seperti Situs Pangguyangan, Sukabumi dan Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Lalu kita juga bisa lihat di Pasemah, Sumatera Selatan dan di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Hasil dari penemuan bukti-bukti arkeologis juga menunjukkan bahwa pada masa tersebut masyarakat telah memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. ”Kita bisa lihat dari sistem sosial ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kesenian yang mereka miliki,” sebut Endang.
Sistem sosial ekonomi – terutama perdagangan, telah dilakukan tak sebatas pada kawasan Asia Tenggara saja, namun sudah merambah ke Asia Daratan, seperti India dan Cina. Hal ini sudah terbukti dengan ditemukannya penyebaran nekara perunggu di Indonesia yang bermula dari Vietnam (kebudayaan Dongson). Termasuk penyebaran keramik dari masa Dinasti Han, Cina pada sekitar abad ke-2 SM.
Bukti lainnya adalah temuan arkeologis berupa gerabah roulet yang berasal dari Arikamedu, India Selatan. Munculnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha yaitu Kerajaan Tarumanegara (sekitar abad ke-5) dan Kerajaan Sriwijaya (sekitar abad ke-7) juga merupakan pengaruh dari adanya kontak masyarakat Nusantara dengan India.
Para peneliti arkeologi memperkirakan bahwa sekitar 2.000 –2.500 tahun lalu, Nusantara telah terlibat dalam perdagangan global. Penyebabnya gara-gara terjadi peningkatan kebutuhan barang-barang eksotik yang mempunyai nilai prestise di kalangan para elite di daerah Mediterania, India dan Cina. Di antara barang-barang eksotik itu adalah rempah-rempah, terutama cengkeh.
Perdagangan rempah-rempah ternyata telah mendorong terjadinya proses Indianisasi dan memfasilitasi penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Menurut Profesor I Wayan Ardika, peneliti arkeologi, perdagangan rempah-rempah juga telah menjadi pemicu munculnya sejumlah negara atau kerajaan yang terletak di sepanjang jalur komersial yang menghubungkan India dengan Mediterania. Perdagangan itu pun berhasil melibatkan orang-orang Eropa untuk pertama kalinya membangun daerah koloninya di Asia Tenggara.
Selain bukti arkeologis, I Wayan Ardika juga memaparkan data artefaktual, sumber-sumber tertulis, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri yang memberikan informasi tentang nama tempat (topomim) dan produk yang terdapat di Nusantara atau Asia Tenggara.
Bukti kitab yang cukup terkenal adalah kitab Ramayana karya Valmiki yang diperkirakan berasal dari abad ke-4 SM sampai abad ke-2 setelah Masehi menyebutkan Pulau Jawa (Javadvipa) dan Pulau Sumatra (Suvarnarupyakadvipa). Lalu ada juga kitab Periplus yang merupakan pedoman untuk berlayar di Lautan Erythrasa atau Samudra Indonesia. Kitab ini ditulis oleh seorang nahkoda Yunani-Mesir yang biasa mengadakan pelayaran antara Asia Barat dan India, dan diperkirakan berasal dari abad pertama Masehi.
Ada juga informasi lain tentang pedagang asing yang tersurat dalam prasasti Bali Kuna antara lain prasasti Bebetin AI (896 Masehi), Sembiran B (951 Masehi) dan Sembiran AII (975 Masehi). Istilah yang digunakan dalam prasasti tersebut adalah banyaga (pedagang yang mengarungi lautan) dan banigrama (perkumpulan pedagang).
Hubungan dan interaksi antara orang India dan Indonesia telah mendorong munculnya kerajaan Hindu-Buddha di negeri ini. Sentuhan budaya Hindu-Buddha dapat dipastikan telah memberi kontribusi terhadap munculnya multikulturalisme di Indonesia. Sebetulnya kalau kita teliti lebih jeli, kerajaan Hindu-Buddha hanya berkembang di kawasan Indonesia bagian barat, dari Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Sedang di wilayah timur pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha bisa dikatakan kurang signifikan, malah bisa dibilang tak ada.
http://www.sinarharapan.co.id/
”Terus terang proses peralihan masa prasejarah ke masa sejarah Nusantara belum banyak disoroti peneliti. Padahal bila diteliti lebih jauh, pada masa ini bisa terungkap bagaimana perjuangan nenek moyang kita untuk berhubungan dengan dunia luar,” ungkap Endang Sri Hardiati, Kepala Museum Nasional, prihatin. Padahal, persentuhan dengan dunia luar itulah menghasilkan era baru dalam sejarah Indonesia. Tentu ini tak bisa kita lupakan begitu saja.
Berawal dari rasa keprihatinan tadi, Endang melontarkan ide untuk mengadakan pameran yang berusaha menyingkap proses masa peralihan tadi berdasar dari temuan-temuan yang sudah dilakukan para peneliti arkeologi. Gayung pun bersambut. Ide manis itu ditanggapi positif Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Belum lagi dukungan dari para kolega dan ahli arkeologi dalam dan luar negeri.
Selain mengadakan pameran, Museum Nasional juga menggelar seminar dengan tema yang sama. Seminar ini dilaksanakan setelah acara pembukaan pameran bertajuk ”Fajar Masa Sejarah Nusantara” pada Senin (15/10) lalu. Peserta seminar bukan saja datang dari kalangan peneliti negeri sendiri tetapi juga berhasil mendatangkan peserta dari Inggris, Perancis, Kamboja, Selandia Baru dan Vietnam.
”Pameran ini juga bertujuan untuk memberikan informasi tentang peradaban Indonesia pada awal dikenalnya tulisan yang ditandai dengan temuan arkeologis, berupa prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur,” tegas Endang.
Pameran yang rencananya digelar sampai pertengahan Desember itu menampilkan 83 koleksi antara lain peninggalan-peninggalan masa megalitik, benda-benda perunggu, manik-manik, amulet, meterai, arca-arca, prasasti sampai fragmen sisa-sisa bangunan dari situs percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat. Yang jelas seluruh materi tadi merupakan warisan budaya yang berasal dari masa prasejarah akhir dan awal masa sejarah Nusantara.
”Meski kedua periode tersebut tidak berbeda jauh, bahkan secara kronolologis menyambung, yang satu melanjutkan yang lain, tetapi warisan budaya yang dihasilkannya punya perbedaan yang besar. Terutama, yang menyangkut keberadaan aksara atau tulisan,” papar Endang dengan ramah.
Alhasil dari kedua periode tadi, penyelenggara berusaha menampilkan materi atau koleksi yang menggambarkan, kehidupan keagamaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan perdagangan kuno India-Nusantara-Cina, komoditi perdagangan kuno dari wilayah Nusantara dan sisa-sisa pemukiman.
Menurut Endang sumber koleksi-koleksi itu bukan saja dari Museum Nasional saja tetapi juga datang Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Masa Megalitik
Masa akhir zaman prasejarah disebut juga dengan Paleometalik karena pada masa ini telah dikenal teknik peleburan bijih-bijih logam dan pembuatan benda-benda dari logam. Pada masa ini pula masyarakat di Nusantara telah mengenal kepercayaan terhadap arwah nenek moyang. Sebagai perwujudannya, mereka melakukan pemujaan lewat media batu besar yang disebut megalitik.
Bukti-bukti pemujaan tadi bisa kita ketahui dari peninggalan-peninggalan megalitik yang tersebar di wilayah Nusantara, seperti Situs Pangguyangan, Sukabumi dan Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Lalu kita juga bisa lihat di Pasemah, Sumatera Selatan dan di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Hasil dari penemuan bukti-bukti arkeologis juga menunjukkan bahwa pada masa tersebut masyarakat telah memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. ”Kita bisa lihat dari sistem sosial ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kesenian yang mereka miliki,” sebut Endang.
Sistem sosial ekonomi – terutama perdagangan, telah dilakukan tak sebatas pada kawasan Asia Tenggara saja, namun sudah merambah ke Asia Daratan, seperti India dan Cina. Hal ini sudah terbukti dengan ditemukannya penyebaran nekara perunggu di Indonesia yang bermula dari Vietnam (kebudayaan Dongson). Termasuk penyebaran keramik dari masa Dinasti Han, Cina pada sekitar abad ke-2 SM.
Bukti lainnya adalah temuan arkeologis berupa gerabah roulet yang berasal dari Arikamedu, India Selatan. Munculnya kerajaan bercorak Hindu-Buddha yaitu Kerajaan Tarumanegara (sekitar abad ke-5) dan Kerajaan Sriwijaya (sekitar abad ke-7) juga merupakan pengaruh dari adanya kontak masyarakat Nusantara dengan India.
Para peneliti arkeologi memperkirakan bahwa sekitar 2.000 –2.500 tahun lalu, Nusantara telah terlibat dalam perdagangan global. Penyebabnya gara-gara terjadi peningkatan kebutuhan barang-barang eksotik yang mempunyai nilai prestise di kalangan para elite di daerah Mediterania, India dan Cina. Di antara barang-barang eksotik itu adalah rempah-rempah, terutama cengkeh.
Perdagangan rempah-rempah ternyata telah mendorong terjadinya proses Indianisasi dan memfasilitasi penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Menurut Profesor I Wayan Ardika, peneliti arkeologi, perdagangan rempah-rempah juga telah menjadi pemicu munculnya sejumlah negara atau kerajaan yang terletak di sepanjang jalur komersial yang menghubungkan India dengan Mediterania. Perdagangan itu pun berhasil melibatkan orang-orang Eropa untuk pertama kalinya membangun daerah koloninya di Asia Tenggara.
Selain bukti arkeologis, I Wayan Ardika juga memaparkan data artefaktual, sumber-sumber tertulis, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri yang memberikan informasi tentang nama tempat (topomim) dan produk yang terdapat di Nusantara atau Asia Tenggara.
Bukti kitab yang cukup terkenal adalah kitab Ramayana karya Valmiki yang diperkirakan berasal dari abad ke-4 SM sampai abad ke-2 setelah Masehi menyebutkan Pulau Jawa (Javadvipa) dan Pulau Sumatra (Suvarnarupyakadvipa). Lalu ada juga kitab Periplus yang merupakan pedoman untuk berlayar di Lautan Erythrasa atau Samudra Indonesia. Kitab ini ditulis oleh seorang nahkoda Yunani-Mesir yang biasa mengadakan pelayaran antara Asia Barat dan India, dan diperkirakan berasal dari abad pertama Masehi.
Ada juga informasi lain tentang pedagang asing yang tersurat dalam prasasti Bali Kuna antara lain prasasti Bebetin AI (896 Masehi), Sembiran B (951 Masehi) dan Sembiran AII (975 Masehi). Istilah yang digunakan dalam prasasti tersebut adalah banyaga (pedagang yang mengarungi lautan) dan banigrama (perkumpulan pedagang).
Hubungan dan interaksi antara orang India dan Indonesia telah mendorong munculnya kerajaan Hindu-Buddha di negeri ini. Sentuhan budaya Hindu-Buddha dapat dipastikan telah memberi kontribusi terhadap munculnya multikulturalisme di Indonesia. Sebetulnya kalau kita teliti lebih jeli, kerajaan Hindu-Buddha hanya berkembang di kawasan Indonesia bagian barat, dari Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Sedang di wilayah timur pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha bisa dikatakan kurang signifikan, malah bisa dibilang tak ada.
Meramu Tradisi dan Modernitas
A. Yusrianto Elga*
http://www.jawapos.com/
Buku ini adalah dedikasi seorang Zamakhsyari Dhofier terhadap dunia pesantren yang telah membesarkan namanya. Sebelumnya, Pak Zam -demikian panggilan akrabnya- juga menerbitkan buku bertajuk kepesantrenan yang telah diterbitkan dalam tiga bahasa (Indonesia, Jepang, dan Inggris). Buku yang semula merupakan disertasi itu berjudul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (terbit 1982).
Studi kepesantrenan dipilih Pak Zam bukan semata karena kepentingan akademik formal. Tetapi, lebih dari itu, Pak Zam memiliki kepedulian ihwal pentingnya pendidikan di lingkungan pesantren dikembangkan agar mampu bersaing di pentas internasional. Sebab, dalam sejarah peradaban Indonesia modern, eksistensi pesantren telah memainkan peran cukup penting dan mampu mewarnai dinamika pendidikan sejak Indonesia belum merdeka. Meski demikian, waktu itu pesantren pada umumnya masih dikenal sebagai lembaga tradisional pinggiran yang selalu ditentang oleh Belanda.
Maka, di awal abad ke-19, atas saran Snouck Hurgronje, Belanda mulai memperkenalkan sekolah modern model Eropa. Tujuannya adalah memisah tradisi dan modernitas untuk menandingi pengaruh pesantren yang sudah mengakar di Nusantara. Namun, rekayasa Snouck itu tidak berjalan mulus. Sebab, Bung Karno dan Bung Hatta bergandengan tangan dengan KH A. Wahid Hasyim untuk mendirikan Depdiknas dan Depag sebagai tonggak pembangunan Indonesia Modern (hlm 153).
Kedua departemen tersebut hingga kini tidak hanya berupaya memadukan langkah kebijakan dan strategi pembangunan pendidikan nasional, tetapi juga memberikan bantuan pengembangan universitas-universitas di kompleks pesantren yang dinilai sangat potensial.
Tradisionalisme Pesantren
Meski dewasa ini banyak pesantren yang sudah menerapkan sistem pendidikan formal lebih modern, itu tidak berarti pesantren melepas begitu saja atribut tradisionalismenya. Antara tradisi dan modernitas tetap diramu untuk menghasilkan generasi-generasi andal yang berkarakter kuat. Pesantren saat ini tentu tidak ingin -meminjam bahasa Prof Yudian Wahyudi- melakukan ”bunuh diri peradaban” dengan memisah secara ekstrem antara ilmu umum dan agama. Meski disadari masih ada yang demikian, hal itu terjadi karena dilatarbelakangi minimnya tenaga pengajar dan sarana pendidikan yang tidak memadai. Di antara 21.521 pesantren di Nusantara, yang bertahan dengan sistem pendidikan tradisional murni mungkin hanya sekitar 0,5 persen.
Dengan demikian, dalam wacana pendidikan modern, tradisionalisme dalam konteks kepesantrenan tentu tidak bisa dibuang begitu saja karena ia adalah roh pesantren itu. Tradisi yang coba dipertahankan pesantren tidak berarti bermakna statis, kumuh, dan anti peradaban. Tetapi sebaliknya, dengan tradisi luhur itulah pesantren membangun karakter pendidikan yang berakar pada semangat kebersamaan, kesederhanaan, dan kepedulian kepada kaum lemah.
Dinamika pendidikan yang disuguhkan pesantren pun kini lebih segar, inklusif, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan modernitas. Setelah Indonesia merdeka, banyak intelektual pesantren (kiai atau ulama) yang berijtihad untuk menemukan pola pendidikan lebih prospektif: bagaimana meramu tradisi dan modernitas untuk mencetak generasi-generasi yang andal di bidang agama dan sains-teknologi. Ijtihad itulah yang kelak melahirkan sekolah-sekolah, institut-institut formal, atau universitas-universitas di lingkungan pesantren yang keberadaannya cukup diperhitungkan.
Peluang universitas pesantren untuk menyejajarkan diri dengan universitas-universitas bergengsi seperti UGM, UI, ITB, dan Unair sangat terbuka lebar mengingat saat ini banyak jebolan pesantren yang mampu menaklukkan panggung internasional. Mereka tentu sangat dibutuhkan untuk ikut serta mengembangkan sekolah-sekolah tinggi atau universitas di pesantren.
Pesantren dan Terorisme
Salah satu subbab cukup menarik yang ditulis Pak Zam dalam buku ini adalah tentang terorisme. Kenapa Pak Zam tertarik menyoroti masalah itu dan apa hubungannya dengan pesantren? Sebagai lembaga pendidikan yang dalam sejarahnya selalu dipandang inferior, akhir-akhir ini pesantren kerap dituduh sebagai institusi yang melahirkan sosok-sosok teroris. Apalagi sejak peristiwa bom Bali I dan II serta pengeboman-pengeboman di tempat-tempat lain, pesantren dituduh sebagai ‘’sarang teroris” karena para santri sudah termakan oleh ”doktrin jihad” yang telah diajarkan kiai atau ustad.
Atas kejadian yang tidak mengenakkan itulah, Pak Zam seperti terpanggil untuk meluruskan kembali misi luhur pesantren dalam kaitannya dengan masalah terorisme. Tradisi pesantren, menurut Pak Zam, justru bias membantu pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mengikis terorisme dengan berbagai cara.
Pertama, meningkatkan lulusan pesantren, yang pada umumnya kaum miskin di pedesaan, menjadi sarjana lulusan universitas di pesantren sehingga lebih berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Kedua, mengembangkan volume tafsir moderat. Itu melibatkan proses akulturasi: membedakan Islam dengan budaya Arab (dearabisasi) dan menjadikan budaya atau adat (’urf) Indonesia sebagai sumber hukum Islam di Indonesia dalam memecahkan persoalan yang belum diatur dalam Alquran dan hadis. Ketiga, mengarahkan jihad (dari terorisme) ke penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (hlm 150).
Masalah terorisme memang menyebabkan hubungan antara ”Islam” dan ”Barat” kembali menegang sehingga perlu dicari titik pangkalnya kenapa itu bisa terjadi. Sebab, pelaku terorisme memiliki tujuan-tujuan politis terselubung yang kerap berlindung di balik teks-teks agama sebagai alat justifikasinya. (*)
Judul Buku: Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa
Penulis: Dr Zamakhsyari Dhofier
Penerbit: Nawesea Press, Jogjakarta
Cetakan: 1, September 2009
Tebal: xii + 293 Halaman
*) Alumnus PP An-Nuqayah Sumenep, tinggal di Jogjakarta
http://www.jawapos.com/
Buku ini adalah dedikasi seorang Zamakhsyari Dhofier terhadap dunia pesantren yang telah membesarkan namanya. Sebelumnya, Pak Zam -demikian panggilan akrabnya- juga menerbitkan buku bertajuk kepesantrenan yang telah diterbitkan dalam tiga bahasa (Indonesia, Jepang, dan Inggris). Buku yang semula merupakan disertasi itu berjudul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (terbit 1982).
Studi kepesantrenan dipilih Pak Zam bukan semata karena kepentingan akademik formal. Tetapi, lebih dari itu, Pak Zam memiliki kepedulian ihwal pentingnya pendidikan di lingkungan pesantren dikembangkan agar mampu bersaing di pentas internasional. Sebab, dalam sejarah peradaban Indonesia modern, eksistensi pesantren telah memainkan peran cukup penting dan mampu mewarnai dinamika pendidikan sejak Indonesia belum merdeka. Meski demikian, waktu itu pesantren pada umumnya masih dikenal sebagai lembaga tradisional pinggiran yang selalu ditentang oleh Belanda.
Maka, di awal abad ke-19, atas saran Snouck Hurgronje, Belanda mulai memperkenalkan sekolah modern model Eropa. Tujuannya adalah memisah tradisi dan modernitas untuk menandingi pengaruh pesantren yang sudah mengakar di Nusantara. Namun, rekayasa Snouck itu tidak berjalan mulus. Sebab, Bung Karno dan Bung Hatta bergandengan tangan dengan KH A. Wahid Hasyim untuk mendirikan Depdiknas dan Depag sebagai tonggak pembangunan Indonesia Modern (hlm 153).
Kedua departemen tersebut hingga kini tidak hanya berupaya memadukan langkah kebijakan dan strategi pembangunan pendidikan nasional, tetapi juga memberikan bantuan pengembangan universitas-universitas di kompleks pesantren yang dinilai sangat potensial.
Tradisionalisme Pesantren
Meski dewasa ini banyak pesantren yang sudah menerapkan sistem pendidikan formal lebih modern, itu tidak berarti pesantren melepas begitu saja atribut tradisionalismenya. Antara tradisi dan modernitas tetap diramu untuk menghasilkan generasi-generasi andal yang berkarakter kuat. Pesantren saat ini tentu tidak ingin -meminjam bahasa Prof Yudian Wahyudi- melakukan ”bunuh diri peradaban” dengan memisah secara ekstrem antara ilmu umum dan agama. Meski disadari masih ada yang demikian, hal itu terjadi karena dilatarbelakangi minimnya tenaga pengajar dan sarana pendidikan yang tidak memadai. Di antara 21.521 pesantren di Nusantara, yang bertahan dengan sistem pendidikan tradisional murni mungkin hanya sekitar 0,5 persen.
Dengan demikian, dalam wacana pendidikan modern, tradisionalisme dalam konteks kepesantrenan tentu tidak bisa dibuang begitu saja karena ia adalah roh pesantren itu. Tradisi yang coba dipertahankan pesantren tidak berarti bermakna statis, kumuh, dan anti peradaban. Tetapi sebaliknya, dengan tradisi luhur itulah pesantren membangun karakter pendidikan yang berakar pada semangat kebersamaan, kesederhanaan, dan kepedulian kepada kaum lemah.
Dinamika pendidikan yang disuguhkan pesantren pun kini lebih segar, inklusif, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan modernitas. Setelah Indonesia merdeka, banyak intelektual pesantren (kiai atau ulama) yang berijtihad untuk menemukan pola pendidikan lebih prospektif: bagaimana meramu tradisi dan modernitas untuk mencetak generasi-generasi yang andal di bidang agama dan sains-teknologi. Ijtihad itulah yang kelak melahirkan sekolah-sekolah, institut-institut formal, atau universitas-universitas di lingkungan pesantren yang keberadaannya cukup diperhitungkan.
Peluang universitas pesantren untuk menyejajarkan diri dengan universitas-universitas bergengsi seperti UGM, UI, ITB, dan Unair sangat terbuka lebar mengingat saat ini banyak jebolan pesantren yang mampu menaklukkan panggung internasional. Mereka tentu sangat dibutuhkan untuk ikut serta mengembangkan sekolah-sekolah tinggi atau universitas di pesantren.
Pesantren dan Terorisme
Salah satu subbab cukup menarik yang ditulis Pak Zam dalam buku ini adalah tentang terorisme. Kenapa Pak Zam tertarik menyoroti masalah itu dan apa hubungannya dengan pesantren? Sebagai lembaga pendidikan yang dalam sejarahnya selalu dipandang inferior, akhir-akhir ini pesantren kerap dituduh sebagai institusi yang melahirkan sosok-sosok teroris. Apalagi sejak peristiwa bom Bali I dan II serta pengeboman-pengeboman di tempat-tempat lain, pesantren dituduh sebagai ‘’sarang teroris” karena para santri sudah termakan oleh ”doktrin jihad” yang telah diajarkan kiai atau ustad.
Atas kejadian yang tidak mengenakkan itulah, Pak Zam seperti terpanggil untuk meluruskan kembali misi luhur pesantren dalam kaitannya dengan masalah terorisme. Tradisi pesantren, menurut Pak Zam, justru bias membantu pemerintah dan rakyat Indonesia untuk mengikis terorisme dengan berbagai cara.
Pertama, meningkatkan lulusan pesantren, yang pada umumnya kaum miskin di pedesaan, menjadi sarjana lulusan universitas di pesantren sehingga lebih berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Kedua, mengembangkan volume tafsir moderat. Itu melibatkan proses akulturasi: membedakan Islam dengan budaya Arab (dearabisasi) dan menjadikan budaya atau adat (’urf) Indonesia sebagai sumber hukum Islam di Indonesia dalam memecahkan persoalan yang belum diatur dalam Alquran dan hadis. Ketiga, mengarahkan jihad (dari terorisme) ke penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (hlm 150).
Masalah terorisme memang menyebabkan hubungan antara ”Islam” dan ”Barat” kembali menegang sehingga perlu dicari titik pangkalnya kenapa itu bisa terjadi. Sebab, pelaku terorisme memiliki tujuan-tujuan politis terselubung yang kerap berlindung di balik teks-teks agama sebagai alat justifikasinya. (*)
Judul Buku: Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa
Penulis: Dr Zamakhsyari Dhofier
Penerbit: Nawesea Press, Jogjakarta
Cetakan: 1, September 2009
Tebal: xii + 293 Halaman
*) Alumnus PP An-Nuqayah Sumenep, tinggal di Jogjakarta
Sejarah Nabi Adam dan Raja-Raja
A.S. Laksana*
http://www.jawapos.com/
DI buku Babad Tanah Jawi, Nabi Adam diturunkan di tanah Jawa dan kelak menurunkan raja-raja di sini. Ia berputra Nabi Sis; Sis berputra Nurcahya; Nurcahya berputra Nurasa; Nurasa berputra Sanghyang Wening; Sanghyang Wening berputra Sanghyang Tunggal; Sanghyang Tunggal berputra Batara Guru.
Batara Guru punya ‘’simpanan” putri Kerajaan Mendang, dan dari situlah bermula skandal asmara. Salah seorang di antara lima anaknya, yakni Batara Wisnu, kelayapan ke negeri Mendang dan jatuh cinta kepada ‘’simpanan” ayahnya. Ia mengawini putri simpanan itu (Batara Wisnu tidak tahu ayahnya punya simpanan; ia menduga bahwa ayahnya adalah suami yang lurus-lurus saja). Ayahnya marah. Batara Wisnu kemudian pergi meninggalkan istri yang baru dikawininya dan bertapa di bawah beringin yang berjajar tujuh batang.
Dan seterusnya, babad ini menuturkan sejarah para raja dan skandal demi skandal yang terjadi turun-temurun. Setelah silsilah Nabi Adam, kisah dibuka dengan Prabu Watu Gunung, penguasa Giling Wesi, yang sedang tidur-tiduran di kursi gading. Bekas luka di kepalanya terlihat oleh Dewi Sinta, istri tua sang raja. Dari situ Dewi Sinta tahu bahwa suaminya tidak lain adalah anaknya sendiri, yang ia pukul dengan centong nasi di waktu kecil dan tak pulang-pulang sejak itu. Atas akal-akalan Dewi Sinta, yang menyarankan suaminya memperistri bidadari, Prabu Watu Gunung dibinasakan oleh Batara Wisnu. Dewi Sinta terbebas dari rumah tangga yang ruwet.
Lalu, Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Sesuruh, pangeran negeri Galuh yang mengembara ke Timur karena kerajaannya ditaklukkan oleh Pajajaran. Di antara raja-raja penerusnya, ada salah satu yang kawin dengan Putri China, dan itu membikin istri tuanya, Putri Cempa, cemburu. Lantas, Putri China diberikan kepada Arya Damar dengan pesan, ”Jangan ditiduri dulu karena sedang mengandung.”
Arya Damar setuju. Ia membawa Putri China ke Palembang dan menjadi raja di sana. Anak dalam kandungan Putri China lahir dan kelak menyeberang lagi ke tanah Jawa untuk mendirikan Kerajaan Demak. Nama anak itu Raden Patah.
Pada waktu itu di Majapahit ada tumenggung bernama Wila Tikta. Ia berputra seorang pejudi bernama Jaka Said. Jika kalah berjudi, Said menjadi penyamun. Oleh Sunan Bonang, pemuda itu disuruh bertapa di tepi kali. Karena itulah, ia selanjutnya dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Riwayat hidupnya pernah dibikin film dan makamnya sekarang banyak dikunjungi orang.
Tahun berganti, dinasti-dinasti datang dan pergi, skandal datang dan datang lagi. Jaka Tingkir mengalahkan 40 buaya dan menjadi menantu sultan Demak. Di negara Demak ini ada seseorang yang mahir menangkap petir, yaitu Ki Ageng Selo. Ia menangkap petir dan melepaskan lagi tangkapannya. Karena dilepaskan itulah si petir bisa berumah tangga dan punya anak. Anda tahu, namanya Gundala Putra Petir.
Adapun mengenai Jaka Tingkir, ia akhirnya menjadi raja dan memindahkan kerajaannya ke Pajang. Anak angkatnya, Raden Ngabehi Loring Pasar, menaklukkan Pajang sepeninggal Jaka Tingkir. Pemuda Loring Pasar ini mendirikan Mataram dan mengubah namanya menjadi Panembahan Senopati karena sudah tidak lagi tinggal di utara pasar. Untuk memperkuat pemerintahannya, Senopati memperistri jin penguasa lautan, yakni Nyai Roro Kidul. Bu Nyai memegang hak monopoli atas warna hijau. Konon, ia tak suka jika Anda pergi ke Pantai Parangtritis mengenakan pakaian warna hijau. Bisa dilalap ombak, Sampean.
Seiring dengan berkembangnya intrik dan gairah berkuasa, Mataram pecah menjadi dua; dan masing-masing pecahan itu pecah lagi menjadi dua. Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan akhirnya bisa dibujuk untuk menyerah. Setelah tunduk, ia dibunuh; hatinya dicacah dan dibagi-bagikan kepada para bupati dan dimakan bersama-sama. Kepalanya dijadikan keset.
Janda Trunojoyo, setelah bisa mengatasi kesedihannya, punya suami lagi dan pasangan baru ini punya anak bernama Sukra, yang tampan sejak kecil dan tumbuh menjadi pemuda paling tampan di Kartasura. Raden Adipati Anom, pangeran yang tidak tampan, memerintahkan agar Sukra ditangkap. ”Masukkan semut ke dalam matanya,” titahnya. Berdasar adegan ini, Goenawan Mohamad menulis puisi panjang berjudul Penangkapan Sukra.
Kompeni masuk, lalu berkuasa. Inggris masuk, berkuasa juga. Mereka sama-sama suka mabuk dan saling menghina. Orang-orang pribumi mendapatkan keuntungan besar atas kehadiran dua rombongan pemabuk itu: mereka menjadi penghina bayaran. Jika kompeni ingin menghina Inggris, mereka membayar pribumi. Jika orang Inggris ingin menghina kompeni, mereka membayar pribumi. Seorang China pembuat arak menggangsir terowongan bersama dua temannya untuk mengambil roti dan barang-barang berharga yang ada di dalam benteng kompeni. Mereka tersandung dan mati terbakar oleh obor yang mereka bawa.
Babad Tanah Jawi berhenti sampai tahun 1647. Mengenai pemerintahan raja-raja selanjutnya, mau tak mau saya harus melanjutkan sendiri dengan versi saya.
Singkat kata, meskipun Belanda kalah melulu di Eropa dan bolak-balik diduduki -oleh Spanyol, Jerman, dan Perancis- kompeni tetap menguasai Nusantara dan mengontrol separo dunia dari Batavia. Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen mati sakit perut karena kanal-kanal di Batavia penuh sampah dan tahi.
Asia bangkit di paro pertama abad ke-20. Tentara-tentara kate datang dan mengaku-aku sebagai saudara tua, tetapi tabiat mereka tak ubahnya saudara tiri dalam cerita-cerita penindasan. Amerika Serikat menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom. Muncul negara baru, Indonesia namanya.
Para bupati dan adipati mula-mula tidak setuju dengan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno membuat kesepakatan bahwa kekuasaan mereka tidak akan diutak-atik di bawah pemerintahan Indonesia. Mereka pun mau mendukung kemerdekaan.
Bung Karno menjadi presiden pertama dan memerintah 21 tahun. Pemerintahannya goyah oleh inflasi dan diruntuhkan oleh peristiwa berdarah. Terjadi pemotongan nilai mata uang saat itu: seribu rupiah menjadi satu rupiah. Pak Harto disambut sebagai pemimpin baru. Ia memerintah 32 tahun, tenang dan mencekam. Timor Timur dicaplok dan menjadi masalah terus-menerus. Di pengujung pemerintahannya, para aktivis diculik, sebagian dilepas dan sebagian ditumpas. Beberapa mahasiswa dan demonstran tewas ditembak.
Ketika Pak Harto dipaksa turun, Pak Habibie meneruskan pemerintahannya. Timor Timur merdeka; skandal Bank Bali meledak pada masa ini dan kita mendengar istilah ”Golkar Hitam” dan ”Golkar Putih”, entah apa bedanya. Pelaku-pelaku penting dalam skandal itu tak mendapatkan sanksi. Para politikus tetap menjadi politikus. Golkar Hitam dan Putih melebur lagi diam-diam menjadi ”Golkar Baru”.
Lalu, Gus Dur memerintah, hanya dua tahun, tetapi riuh sekali dan banyak guyon. Tukang pijit masuk istana dan menjadi orang penting dalam pemerintahan; skandal Bulog melemahkan posisinya. Presiden Gus Dur diturunkan di tengah jalan dan diganti oleh Wakil Presiden Megawati. Putri Bung Karno ini sangat pendiam ketika menjadi presiden; ia sama sekali tidak mewarisi kepintaran berpidato bapaknya. Dalam pemilihan presiden langsung yang digelar untuk kali pertama, ia kalah oleh SBY.
Pak Beye memerintah lima tahun bersama Jusuf Kalla. Banyak bencana alam, mulai tsunami di Aceh dan Nias, gempa di mana-mana, tanah longsor, gempa lagi, dan seterusnya. Ada juga kejadian lucu, yakni digembar-gemborkannya proyek blue energy -nama Indonesianya ”Minyak Indonesia Bersatu”- dan padi Super Toy.
Sampailah kita pada hari ini, sedang mengunyah-ngunyah skandal Bank Century. Sebelumnya, kita disuguhi fabel ”cicak lawan buaya”. Selamat menikmati. (*)
*) Cerpenis, aslaksana@yahoo.com
http://www.jawapos.com/
DI buku Babad Tanah Jawi, Nabi Adam diturunkan di tanah Jawa dan kelak menurunkan raja-raja di sini. Ia berputra Nabi Sis; Sis berputra Nurcahya; Nurcahya berputra Nurasa; Nurasa berputra Sanghyang Wening; Sanghyang Wening berputra Sanghyang Tunggal; Sanghyang Tunggal berputra Batara Guru.
Batara Guru punya ‘’simpanan” putri Kerajaan Mendang, dan dari situlah bermula skandal asmara. Salah seorang di antara lima anaknya, yakni Batara Wisnu, kelayapan ke negeri Mendang dan jatuh cinta kepada ‘’simpanan” ayahnya. Ia mengawini putri simpanan itu (Batara Wisnu tidak tahu ayahnya punya simpanan; ia menduga bahwa ayahnya adalah suami yang lurus-lurus saja). Ayahnya marah. Batara Wisnu kemudian pergi meninggalkan istri yang baru dikawininya dan bertapa di bawah beringin yang berjajar tujuh batang.
Dan seterusnya, babad ini menuturkan sejarah para raja dan skandal demi skandal yang terjadi turun-temurun. Setelah silsilah Nabi Adam, kisah dibuka dengan Prabu Watu Gunung, penguasa Giling Wesi, yang sedang tidur-tiduran di kursi gading. Bekas luka di kepalanya terlihat oleh Dewi Sinta, istri tua sang raja. Dari situ Dewi Sinta tahu bahwa suaminya tidak lain adalah anaknya sendiri, yang ia pukul dengan centong nasi di waktu kecil dan tak pulang-pulang sejak itu. Atas akal-akalan Dewi Sinta, yang menyarankan suaminya memperistri bidadari, Prabu Watu Gunung dibinasakan oleh Batara Wisnu. Dewi Sinta terbebas dari rumah tangga yang ruwet.
Lalu, Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Sesuruh, pangeran negeri Galuh yang mengembara ke Timur karena kerajaannya ditaklukkan oleh Pajajaran. Di antara raja-raja penerusnya, ada salah satu yang kawin dengan Putri China, dan itu membikin istri tuanya, Putri Cempa, cemburu. Lantas, Putri China diberikan kepada Arya Damar dengan pesan, ”Jangan ditiduri dulu karena sedang mengandung.”
Arya Damar setuju. Ia membawa Putri China ke Palembang dan menjadi raja di sana. Anak dalam kandungan Putri China lahir dan kelak menyeberang lagi ke tanah Jawa untuk mendirikan Kerajaan Demak. Nama anak itu Raden Patah.
Pada waktu itu di Majapahit ada tumenggung bernama Wila Tikta. Ia berputra seorang pejudi bernama Jaka Said. Jika kalah berjudi, Said menjadi penyamun. Oleh Sunan Bonang, pemuda itu disuruh bertapa di tepi kali. Karena itulah, ia selanjutnya dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Riwayat hidupnya pernah dibikin film dan makamnya sekarang banyak dikunjungi orang.
Tahun berganti, dinasti-dinasti datang dan pergi, skandal datang dan datang lagi. Jaka Tingkir mengalahkan 40 buaya dan menjadi menantu sultan Demak. Di negara Demak ini ada seseorang yang mahir menangkap petir, yaitu Ki Ageng Selo. Ia menangkap petir dan melepaskan lagi tangkapannya. Karena dilepaskan itulah si petir bisa berumah tangga dan punya anak. Anda tahu, namanya Gundala Putra Petir.
Adapun mengenai Jaka Tingkir, ia akhirnya menjadi raja dan memindahkan kerajaannya ke Pajang. Anak angkatnya, Raden Ngabehi Loring Pasar, menaklukkan Pajang sepeninggal Jaka Tingkir. Pemuda Loring Pasar ini mendirikan Mataram dan mengubah namanya menjadi Panembahan Senopati karena sudah tidak lagi tinggal di utara pasar. Untuk memperkuat pemerintahannya, Senopati memperistri jin penguasa lautan, yakni Nyai Roro Kidul. Bu Nyai memegang hak monopoli atas warna hijau. Konon, ia tak suka jika Anda pergi ke Pantai Parangtritis mengenakan pakaian warna hijau. Bisa dilalap ombak, Sampean.
Seiring dengan berkembangnya intrik dan gairah berkuasa, Mataram pecah menjadi dua; dan masing-masing pecahan itu pecah lagi menjadi dua. Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan akhirnya bisa dibujuk untuk menyerah. Setelah tunduk, ia dibunuh; hatinya dicacah dan dibagi-bagikan kepada para bupati dan dimakan bersama-sama. Kepalanya dijadikan keset.
Janda Trunojoyo, setelah bisa mengatasi kesedihannya, punya suami lagi dan pasangan baru ini punya anak bernama Sukra, yang tampan sejak kecil dan tumbuh menjadi pemuda paling tampan di Kartasura. Raden Adipati Anom, pangeran yang tidak tampan, memerintahkan agar Sukra ditangkap. ”Masukkan semut ke dalam matanya,” titahnya. Berdasar adegan ini, Goenawan Mohamad menulis puisi panjang berjudul Penangkapan Sukra.
Kompeni masuk, lalu berkuasa. Inggris masuk, berkuasa juga. Mereka sama-sama suka mabuk dan saling menghina. Orang-orang pribumi mendapatkan keuntungan besar atas kehadiran dua rombongan pemabuk itu: mereka menjadi penghina bayaran. Jika kompeni ingin menghina Inggris, mereka membayar pribumi. Jika orang Inggris ingin menghina kompeni, mereka membayar pribumi. Seorang China pembuat arak menggangsir terowongan bersama dua temannya untuk mengambil roti dan barang-barang berharga yang ada di dalam benteng kompeni. Mereka tersandung dan mati terbakar oleh obor yang mereka bawa.
Babad Tanah Jawi berhenti sampai tahun 1647. Mengenai pemerintahan raja-raja selanjutnya, mau tak mau saya harus melanjutkan sendiri dengan versi saya.
Singkat kata, meskipun Belanda kalah melulu di Eropa dan bolak-balik diduduki -oleh Spanyol, Jerman, dan Perancis- kompeni tetap menguasai Nusantara dan mengontrol separo dunia dari Batavia. Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen mati sakit perut karena kanal-kanal di Batavia penuh sampah dan tahi.
Asia bangkit di paro pertama abad ke-20. Tentara-tentara kate datang dan mengaku-aku sebagai saudara tua, tetapi tabiat mereka tak ubahnya saudara tiri dalam cerita-cerita penindasan. Amerika Serikat menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom. Muncul negara baru, Indonesia namanya.
Para bupati dan adipati mula-mula tidak setuju dengan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno membuat kesepakatan bahwa kekuasaan mereka tidak akan diutak-atik di bawah pemerintahan Indonesia. Mereka pun mau mendukung kemerdekaan.
Bung Karno menjadi presiden pertama dan memerintah 21 tahun. Pemerintahannya goyah oleh inflasi dan diruntuhkan oleh peristiwa berdarah. Terjadi pemotongan nilai mata uang saat itu: seribu rupiah menjadi satu rupiah. Pak Harto disambut sebagai pemimpin baru. Ia memerintah 32 tahun, tenang dan mencekam. Timor Timur dicaplok dan menjadi masalah terus-menerus. Di pengujung pemerintahannya, para aktivis diculik, sebagian dilepas dan sebagian ditumpas. Beberapa mahasiswa dan demonstran tewas ditembak.
Ketika Pak Harto dipaksa turun, Pak Habibie meneruskan pemerintahannya. Timor Timur merdeka; skandal Bank Bali meledak pada masa ini dan kita mendengar istilah ”Golkar Hitam” dan ”Golkar Putih”, entah apa bedanya. Pelaku-pelaku penting dalam skandal itu tak mendapatkan sanksi. Para politikus tetap menjadi politikus. Golkar Hitam dan Putih melebur lagi diam-diam menjadi ”Golkar Baru”.
Lalu, Gus Dur memerintah, hanya dua tahun, tetapi riuh sekali dan banyak guyon. Tukang pijit masuk istana dan menjadi orang penting dalam pemerintahan; skandal Bulog melemahkan posisinya. Presiden Gus Dur diturunkan di tengah jalan dan diganti oleh Wakil Presiden Megawati. Putri Bung Karno ini sangat pendiam ketika menjadi presiden; ia sama sekali tidak mewarisi kepintaran berpidato bapaknya. Dalam pemilihan presiden langsung yang digelar untuk kali pertama, ia kalah oleh SBY.
Pak Beye memerintah lima tahun bersama Jusuf Kalla. Banyak bencana alam, mulai tsunami di Aceh dan Nias, gempa di mana-mana, tanah longsor, gempa lagi, dan seterusnya. Ada juga kejadian lucu, yakni digembar-gemborkannya proyek blue energy -nama Indonesianya ”Minyak Indonesia Bersatu”- dan padi Super Toy.
Sampailah kita pada hari ini, sedang mengunyah-ngunyah skandal Bank Century. Sebelumnya, kita disuguhi fabel ”cicak lawan buaya”. Selamat menikmati. (*)
*) Cerpenis, aslaksana@yahoo.com
Mozaik Peradaban dalam Terjemahan
Bandung Mawardi*
http://www.jawapos.com/
NEGERI ini kerap alpa sejarah atau terlambat menyadari karena malas atau mungkin ketidaksanggupan untuk menulis sejarah sendiri. Pandangan ironis itu tampak pada penerbitan buku setebal bantal ini dengan sajian karangan-karangan dari para sarjana ampuh. Mayoritas 65 karangan dalam buku itu ditulis sarjana asing dengan kompetensi dan keseriusan mereka untuk membaca dan menilai Indonesia secara historis. Buku tersebut mungkin melegakan kehausan sejarah bagi pembaca, tapi juga memberi tanda seru atas kemiskinan intelektual negeri besar ini dengan ratusan juta penduduknya.
Buku ini merangkum sekian pandangan tentang terjemahan dari bahasa asing ke bahasa lokal di Nusantara mulai abad ke-9 sampai abad ke-20. Pujian pantas diberikan untuk buku ini karena telah mendokumentasikan jejak-jejak sejarah Nusantara lewat publikasi terjemahan. Konsentrasi atas proyek terjemahan memang sejak lama terabaikan dalam naluri sejarah negeri ini. Pengabaian itu hendak ditebus dengan pemberian informasi, penjelasan, bukti, dan argumentasi mengenai pernik-pernik terjemahan dalam berbagai tendensi.
Pengetahuan negeri seperti terjelaskan dalam mozaik karangan mengenai terjemahan dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Jawa, Melayu, Batak, Sunda, Bali, Sasak, Aceh, Bugis, dan Makassar. Pembaca bakal merasakan petualangan sejarah mengasyikkan karena mampir ke ruang-ruang kultural yang membentang di Nusantara. Kepakaran para penulis memang mengagumkan dipahami dari ketekunan mereka melacak dan menguraikan sekian data agar bisa ditafsirkan pada masa sekarang secara relevan dan produktif. Para pakar itu, antara lain, A.H. Johns, Vladimir Braginsky, Leo Suryadinata, Doris Jademski, Uli Kozok, Imran T. Abdullah, Ajip Rosidi, Claude Guillot, James Siegel, Roger Tol, Benedict Anderson, Johan Meuleman, Jennifer Lindsay, Henri Chambert-Loir, Mikhiro Moriyama, Keith Foulcher, Edi Sedyawati, Melani Budianta, Michael H. Bodden, dan Vincent J.H. Houben.
***
Nama-nama tersebut memiliki sugesti atas sekian fokus terjemahan dalam perspektif linguistik, sastra, politik, sosial, ekonomi, agama, dan kultural. Setiap pakar memiliki kekhasan untuk menjelaskan sejarah terjemahan dengan kerangka kerja ilmiah dan penuh data. Houben dalam karangan Menerjemahkan Jawa ke Eropa: Kiprah Keluarga Winter mengajukan konklusi bahwa para penerjemah bahasa Jawa memainkan peran sangat penting dalam menjembatani budaya kolonial Belanda awal abad ke-19 dengan budaya Jawa selama berlangsungnya transisi jangka panjang dari sebuah negara kerajaan menjadi negara yang berkebudayaan canggih. Keluarga Winter merupakan contoh model peran penerjemah dalam bayang-bayang kolonial dan hasrat membumikan modernitas di Jawa.
Peran penerjemah juga tampak dalam keluarga Hadji Muhammad Moesa dalam sastra Sunda. Mereka ikut menerjemahkan sastra Eropa ke bahasa Sunda: Robinson Crusoe, Dongeng-Dongeng Pieteungeun, Tristan and Isolde, dan lain-lain. Moriyama dalam Penerjemahan Cerita Eropa di Sunda menjelaskan bahwa proyek itu dipengaruhi revolusi mesin cetak pada abad ke-19. Faktor menentukan adalah ”banyak orang Sunda merasa perlu menemukan cara pandang baru yang dapat memberikan arti pada dunia modern di sekeliling mereka”. Proyek penerjemahan membuat masyarakat Sunda dihadapkan pada imajinasi dan fakta perubahan zaman. Hal itu memicu keinginan orang untuk menjadi modern dengan ketegangan tarikan terhadap dunia tradisional dan godaan modernitas melalui praktik budaya kolonial.
Lakon-lakon penerjemahan pada masa lalu itu selalu meninggalkan jejak atau bekas mendalam yang memberi orientasi untuk proyek-proyek lanjutan. Peran penerjemah penting dan digenapi dengan peran Balai Pustaka, media massa cetak, serta institusi pendidikan dan kebudayan pada abad ke-20. Sastra masih mendapatkan perhatian besar karena secara efektif dan efisien bisa memberikan pengaruh pada kaum elite di Hindia Belanda. Pengaruh itu berbeda dengan proyek penerjemahan kitab suci dalam bahasa-bahasa lokal. Perbedaan pengaruh juga ditentukan dari mekanisme produksi dan distribusi buku. Penerjemahan dalam perkara itu memang menjadi juru bicara untuk mempertemukan perbedaan dengan kunci bahasa.
***
Uraian memukau tampak dalam karangan Keith Foulcher berjudul Menjadi Penulis Modern: Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa Revolusi. Judul tersebut sudah menyarankan hubungan-hubungan intim antara elemen sastra, politik, dan kondisi dunia modern. Penerjemahan sastra Eropa kentara memberi pengaruh signifikan dalam membentuk konvensi estetik modernisme di Indonesia. Efek dari proyek penerjemahan oleh pengarang-pengarang ampuh pada masa revolusi adalah pemunculan kisah kelahiran kebudayaan Indonesia modern. Penerjemahan telah jadi perantara yang genit tapi menentukan.
Kondisi itu berbeda dengan keajaiban mutakhir mengenai kelimpahan penerbitan buku-buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Chambert-Loir mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi banjir buku terjemahan dari bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Prancis yang mungkin melebihi angka produksi buku bukan terjemahan. Kondisi tersebut mengagetkan jika ditilik dari jenis buku terjemahan dan pola konsumsi baca dari publik. Chamber-Loi mencatat terjemahan novel Harry Potter, novel-novel John Grisham, buku-buku Chicken Soup for the Soul dalam angka penjualan kerap lebih laris ketimbang novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, atau Saman.
Dilihat dari kisah masa silam dan masa sekarang, sudah terasa ada keganjilan dan kontras. Penerjemahan memang terus menjadi proyek tak selesai untuk menandai konstruksi peradaban Nusantara dalam persilangan pengaruh peradaban-peradaban besar. Kepakaran dalam penerjemahan adalah bukti kesadaran atas laju perubahan tanpa harus konsumtif untuk menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Ikhtiar untuk mewartakan buku-buku garapan anak negeri agar diterjemahkan ke bahasa asing juga pantas jadi agenda penting. Buku setebal bantal ini telah mengajarkan tentang ingatan sejarah dan etos dalam menekuni proyek penerjemahan sebagai salah satu fondasi peradaban. Begitu. (*)
JudulBuku: Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia)
Penyunting: Henri Chambert-Loir
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 1.160 halaman
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan pemimpin redaksi Jurnal Tempe Bosok
http://www.jawapos.com/
NEGERI ini kerap alpa sejarah atau terlambat menyadari karena malas atau mungkin ketidaksanggupan untuk menulis sejarah sendiri. Pandangan ironis itu tampak pada penerbitan buku setebal bantal ini dengan sajian karangan-karangan dari para sarjana ampuh. Mayoritas 65 karangan dalam buku itu ditulis sarjana asing dengan kompetensi dan keseriusan mereka untuk membaca dan menilai Indonesia secara historis. Buku tersebut mungkin melegakan kehausan sejarah bagi pembaca, tapi juga memberi tanda seru atas kemiskinan intelektual negeri besar ini dengan ratusan juta penduduknya.
Buku ini merangkum sekian pandangan tentang terjemahan dari bahasa asing ke bahasa lokal di Nusantara mulai abad ke-9 sampai abad ke-20. Pujian pantas diberikan untuk buku ini karena telah mendokumentasikan jejak-jejak sejarah Nusantara lewat publikasi terjemahan. Konsentrasi atas proyek terjemahan memang sejak lama terabaikan dalam naluri sejarah negeri ini. Pengabaian itu hendak ditebus dengan pemberian informasi, penjelasan, bukti, dan argumentasi mengenai pernik-pernik terjemahan dalam berbagai tendensi.
Pengetahuan negeri seperti terjelaskan dalam mozaik karangan mengenai terjemahan dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Jawa, Melayu, Batak, Sunda, Bali, Sasak, Aceh, Bugis, dan Makassar. Pembaca bakal merasakan petualangan sejarah mengasyikkan karena mampir ke ruang-ruang kultural yang membentang di Nusantara. Kepakaran para penulis memang mengagumkan dipahami dari ketekunan mereka melacak dan menguraikan sekian data agar bisa ditafsirkan pada masa sekarang secara relevan dan produktif. Para pakar itu, antara lain, A.H. Johns, Vladimir Braginsky, Leo Suryadinata, Doris Jademski, Uli Kozok, Imran T. Abdullah, Ajip Rosidi, Claude Guillot, James Siegel, Roger Tol, Benedict Anderson, Johan Meuleman, Jennifer Lindsay, Henri Chambert-Loir, Mikhiro Moriyama, Keith Foulcher, Edi Sedyawati, Melani Budianta, Michael H. Bodden, dan Vincent J.H. Houben.
***
Nama-nama tersebut memiliki sugesti atas sekian fokus terjemahan dalam perspektif linguistik, sastra, politik, sosial, ekonomi, agama, dan kultural. Setiap pakar memiliki kekhasan untuk menjelaskan sejarah terjemahan dengan kerangka kerja ilmiah dan penuh data. Houben dalam karangan Menerjemahkan Jawa ke Eropa: Kiprah Keluarga Winter mengajukan konklusi bahwa para penerjemah bahasa Jawa memainkan peran sangat penting dalam menjembatani budaya kolonial Belanda awal abad ke-19 dengan budaya Jawa selama berlangsungnya transisi jangka panjang dari sebuah negara kerajaan menjadi negara yang berkebudayaan canggih. Keluarga Winter merupakan contoh model peran penerjemah dalam bayang-bayang kolonial dan hasrat membumikan modernitas di Jawa.
Peran penerjemah juga tampak dalam keluarga Hadji Muhammad Moesa dalam sastra Sunda. Mereka ikut menerjemahkan sastra Eropa ke bahasa Sunda: Robinson Crusoe, Dongeng-Dongeng Pieteungeun, Tristan and Isolde, dan lain-lain. Moriyama dalam Penerjemahan Cerita Eropa di Sunda menjelaskan bahwa proyek itu dipengaruhi revolusi mesin cetak pada abad ke-19. Faktor menentukan adalah ”banyak orang Sunda merasa perlu menemukan cara pandang baru yang dapat memberikan arti pada dunia modern di sekeliling mereka”. Proyek penerjemahan membuat masyarakat Sunda dihadapkan pada imajinasi dan fakta perubahan zaman. Hal itu memicu keinginan orang untuk menjadi modern dengan ketegangan tarikan terhadap dunia tradisional dan godaan modernitas melalui praktik budaya kolonial.
Lakon-lakon penerjemahan pada masa lalu itu selalu meninggalkan jejak atau bekas mendalam yang memberi orientasi untuk proyek-proyek lanjutan. Peran penerjemah penting dan digenapi dengan peran Balai Pustaka, media massa cetak, serta institusi pendidikan dan kebudayan pada abad ke-20. Sastra masih mendapatkan perhatian besar karena secara efektif dan efisien bisa memberikan pengaruh pada kaum elite di Hindia Belanda. Pengaruh itu berbeda dengan proyek penerjemahan kitab suci dalam bahasa-bahasa lokal. Perbedaan pengaruh juga ditentukan dari mekanisme produksi dan distribusi buku. Penerjemahan dalam perkara itu memang menjadi juru bicara untuk mempertemukan perbedaan dengan kunci bahasa.
***
Uraian memukau tampak dalam karangan Keith Foulcher berjudul Menjadi Penulis Modern: Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa Revolusi. Judul tersebut sudah menyarankan hubungan-hubungan intim antara elemen sastra, politik, dan kondisi dunia modern. Penerjemahan sastra Eropa kentara memberi pengaruh signifikan dalam membentuk konvensi estetik modernisme di Indonesia. Efek dari proyek penerjemahan oleh pengarang-pengarang ampuh pada masa revolusi adalah pemunculan kisah kelahiran kebudayaan Indonesia modern. Penerjemahan telah jadi perantara yang genit tapi menentukan.
Kondisi itu berbeda dengan keajaiban mutakhir mengenai kelimpahan penerbitan buku-buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Chambert-Loir mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi banjir buku terjemahan dari bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Prancis yang mungkin melebihi angka produksi buku bukan terjemahan. Kondisi tersebut mengagetkan jika ditilik dari jenis buku terjemahan dan pola konsumsi baca dari publik. Chamber-Loi mencatat terjemahan novel Harry Potter, novel-novel John Grisham, buku-buku Chicken Soup for the Soul dalam angka penjualan kerap lebih laris ketimbang novel Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, atau Saman.
Dilihat dari kisah masa silam dan masa sekarang, sudah terasa ada keganjilan dan kontras. Penerjemahan memang terus menjadi proyek tak selesai untuk menandai konstruksi peradaban Nusantara dalam persilangan pengaruh peradaban-peradaban besar. Kepakaran dalam penerjemahan adalah bukti kesadaran atas laju perubahan tanpa harus konsumtif untuk menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Ikhtiar untuk mewartakan buku-buku garapan anak negeri agar diterjemahkan ke bahasa asing juga pantas jadi agenda penting. Buku setebal bantal ini telah mengajarkan tentang ingatan sejarah dan etos dalam menekuni proyek penerjemahan sebagai salah satu fondasi peradaban. Begitu. (*)
JudulBuku: Sadur (Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia)
Penyunting: Henri Chambert-Loir
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 1.160 halaman
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan pemimpin redaksi Jurnal Tempe Bosok
Sastra-Sejarah Mencegah Mitos
Fauzan Santa*
http://blog.harian-aceh.com/
Seharusnya kita tak membuang semangat masa silam/bermain dalam dada/setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai disini – Ebiet G. Ade
Tersebab bermula sastra jika ditanya orang kita adalah fiksi maka kerap orang kita menempatkan karya tekstual tersebut sebagai hiburan lokal yang penting cuma sewaktu soal-soal kehidupan lain sedang butuh jeda dari rutin seharian daripada menjadi sebuah ruang pergulatan juga pertaruhan ruhani untuk menaklukan sejumlah fakta dimana sebenarnya kejernihan sesungguhnya bisa dibicarakan dan diberi makna kembali demi menemukan kesalahan-kesalahan masa silam untuk tak diulang serta menemukan kebenaran-kebenaran untuk terus diperjuangkan sampai kelak sebagai suara dari sebabak kurun yang hiruk gemuruh walau para pesastra tinggal nama diatas nisan.
Jurnalisma sampai titik tertentu mesti berhenti menyusun fakta -seperti sastrawan-wartawan Seno Gumira Ajidarma yang pernah menulis himpunan cerpen Saksi Mata (1995) karena kebebasan pers dibekap kekuasaan pada dekade akhir abad 20 kemarin– maka sastra akan mengambil alih estafeta perjuangan tekstual yang tak sanggup dipikul media massa dengan kekuatan fiksional dimana semua fakta segera menjadi bayang-bayang yang menyarukan kebenaran kemana suka serupa anak-anak jiwa dalam kembara menjadi catatan-catatan kaki sejarah resmi yang tak putus harus dijenguk supaya tafsir atas masa lampau jadi sempurna memperkaya khazanah masa mendatang karena sejarah dalam hal ini serupa dua cermin spion kiri-kanan untuk menjalankan sebuah mobil ke depan maka ia tak boleh buram agar mobil tak dikutuk celaka dua belas kali di kubangan itu-itu saja.
Pun Pramoedya Ananta Toer sastrawan terkemuka kita yang bertubi selalu masuk jajaran para nominator peraih Nobel Sastra jauh sudah merekam serbaneka getir perjuangan bertahan hidup para korban melawan kekerasan negara di kurun Kolonial Belanda masuk Fasis Jepang hingga Orba dengan menciptakan harapan cemerlang “Nak, meski kalah tapi kita sudah berjuang sebaik-baiknya” dalam sekian ribu narasi para tokoh novelnya terutama hasil karangan semasa di Pulau Buru yang selalu menenun fakta-fakta kecil dalam anyaman fiksi yang gagah sebab ia juga tukang kliping koran dan majalah paling berwibawa selama bertahun-tahun yang dari kliping itu sempat kemudian terbit menjadi beberapa jilid buku tebal bertajuk Kronik Revolusi Indonesia (1999) yang mengupas detil fakta secara horisontal dalam ruang sejarah Nusantara dimana peristiwa-peristiwa sederhana di daerah-daerah dari kesenian sampai olahraga yang terjadi setanggal-sehari yang sama dengan kejadian politik di Pusat terburai lengkap guna menegaskan bahwa revolusi atau kesadaran nasional tak pernah terjadi sendiri begitu saja mengalir dari pusat kekuasaan melainkan tumbuh utuh dalam deru ‘semesta yang bergerak’ melawan penindasan dan penjajahan.
Terlalu kaya detil fakta jika kajian heuristik melebar hingga ke wilayah sinkronik yang membikin sejarah tak pernah ada tokoh tunggal atau ‘orang besar’ seperti yang dipraktikkan pendekatan sejarah diakronik dimana urutan waktu cuma sesuai peristiwa besar semata dan dalam diakronika sejarah model begitu sesungguhnya banyak terjadi penggelapan saat mana banyak orang dalam masyarakat -tokoh tak tercatat- luput diberi tempat apatah dicatat dari riwayat-riwayat sederhana tapi strategis misalkan siapa komandan armada tank yang dikirim dari Bireuen untuk menghalau Belanda dalam pertempuran Medan Area pada 1948 atau sosok yang berhasil menyeludupkan perangkat radio dari Penang hingga selamat sampai ke Pebukitan Rimba Raya di negeri Antara yang kemudian berjasa memberitakan ‘Serangan Oemoem 1 Maret” di Jogjakarta ke seluruh dunia dalam enam bahasa serta telak sudah kemudian mematahkan provokasi radio-radio Belanda hingga Indonesia pun selamat dalam Perundingan Meja Bundar pada Desember 1949 di Den Haag Nederland.
Efek berantai dari pendekatan diakronik kemudian sejarah sering tak jujur dan kerap menjadi kesimpulan dari narasi besar kekuasaan penuh misteri yang sekadar melahirkan oposisi-biner antara pahlawan-pecundang tanpa perlu ditelisik lebih dalam kenapa semua itu bisa terjadi dan karena itulah detil fakta para korban setelah sebuah orde tumbang senantiasa akan menuai pertanyaan kepada orde kekuasaan berikutnya demi keadilan dan kehormatan kemanusiaan yang dulu banyak tersaru dalam kemelut revolusi dan pembangunan sebagaimana terbukti dengan bertumpuk luar biasa penerbitan buku memoar dari para pelaku sejarah yang selama ini dibungkam untuk tampil ke hadapan sidang pembaca generasi terkini dalam orde reformasi demi memberi kesaksian sehingga buku-buku mata pelajaran sejarah resmi pun penting disesuaikan kembali untuk meletakkan ‘orang-orang yang dikalahkan’ pada posisi yang seimbang dan semua sama penting sebagai aktor sejarah sebagai bentuk rekonsiliasi atau rujuk kemanusiaan yang utuh.
Betapa tidak adil umpama babakan sejarah itu dianggap semacam jajaran bilik-bilik dengan pintu tertutup dari sebuah apartemen dimana sesama tetangga tak pernah saling kenal sehingga dari amsal itu jelas membuat para korban dalam satu bilik orde tetap sebagai korban dan tak bisa membela diri lagi saat kekuasaan berganti ruang-waktu sebab mereka telah dianggap masa lalu saja padahal pasti mereka menanggung kepiluan panjang akibat luka serta ingatan silam sementara para ‘pemenang’ akan menjadi pahlawan tanpa bisa ditolak sebab pintu masa lalu sudah digembok rapat-rapat yang membikin segala peristiwa-tokoh-alur terjebak di dalamnya tanpa kemungkinan rehabilitasi buat menemukan keadilan serta kejernihan faktual melalui misalkan kesaksian yang diberikan oleh para pihak petikai dan kehampaan macam ini berisiko tak ada lagi kata sesal atau maaf bahkan cenderung selalu mengulang model peristiwa kelam yang sama secara siklitis dengan pelaku yang beda di hari kemudian.
Model pemahaman positivistik macam itu yang kemudian populer disebut historisisme darimana kemudian melahirkan istilah hukum besi (iron law) sejarah dalam teori seorang ilmuwan sosial Jerman Karl Popper tetapi untuk melawan hukum yang sistematis mengajarkan cara berlupa itu maka orang masih sampai hari ini terus menuntut pengungkapan kasus-kasus lampau secara adil juga proporsional semisal aspirasi kuat pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh sebagai pernah sukses dalam damai meski dengan capaian beda di Afrika Selatan semasa Presiden Nelson Mandela yang berbudi disamping tak terbilang penerbitan buku-buku biografi dan sastra berbasis sejarah sebagai pengimbang fakta diakronik yang membesi itu.
Tujuan indah dari pengungkapan tak bukan seperti pesan mantap sebuah film dokumenter-drama Puisi Tak Terkuburkan (2000) dimana seorang penyair Didong dari dataran tinggi Takengon yang dituduh terlibat peristiwa 1965 tapi akhirnya terbukti tak bersalah namun karena insiden itu justru Ibrahim Kadir menyimpan trauma serta kesedihan panjang maka ketika ia harus menceritakan itu kepada anak cucu bukan sama sekali bermaksud untuk “mewariskan dendam silam tapi demi masa depan penghormatan atas cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab” meskipun awalnya memang sangat berat dan berurat proses-proses pengungkapan itu bak sepotong sajak Joko Pinurbo (2005) yang bertajuk Seperti Apa Terbebas Dari Dendam Derita dimana selarik singkat berbunyi “Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka”.
Itulah sebab Martin Aleida seorang sastrawan asal Tanjung Balai Sumatra Utara memakai prosa untuk mengungkap fakta-fakta sinkronik dalam buku baik yang disebut oleh para penyuntingnya ini sebagai ‘sastra kesaksian’ atas peristiwa 1965 walau lebih dari seorang saksi tapi juga korban yang selalu merasa diawasi gerak-geriknya seperti terkisah dalam cerpen memoar Ratusan Mata Dimana-mana (hal. 111) atau cerita Abdullah Peureulak yang karena peristiwa getir itu harus bertahan dengan identitas palsu yang tak pernah diungkap bahkan kepada istri tercinta yang tengah sekarat dalam cerpen Liontin Dewangga (hal. 49) dan melalui cerpen-cerpen dalam buku berlapik lukisan ekspresionisma karya Ipong Purnamasidhi ini -selain sebagai pernah diutarakan Melani Budianta pada sampul belakang novel Jamangilak Tak Pernah Menangis yang juga karya Martin Aleida pada 2004 dimana “terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita” -kita selalu diajak kritis pada sejarah negeri terkasih ini demi mencari dan mengupas lapis-lapis kebenaran historis agar terutama hukum besi sejarah tak sampai melempar jauh para korban ke dalam sunyi panjang sebuah kebisuan yang lamat-lamat menjadi bongkahan mitos dan karena pengungkapan itu pula kita akan bisa hidup bersama secara lebih tulus serta selamat dalam damai menjadi mulia sebelum pada akhirnya semoga kita semua dengan sepenuh cinta berharap akan “mati baik-baik”. Demikian maka jawab sastra sebagai fiksi jika ditanya orang kita.
Judul : Mati Baik-Baik, Kawan
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Akar Indonesia
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 144 halaman
Peresensi: Sekretaris dewan redaksi Jurnal Kebudayaan Gelombang Baru.
http://blog.harian-aceh.com/
Seharusnya kita tak membuang semangat masa silam/bermain dalam dada/setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai disini – Ebiet G. Ade
Tersebab bermula sastra jika ditanya orang kita adalah fiksi maka kerap orang kita menempatkan karya tekstual tersebut sebagai hiburan lokal yang penting cuma sewaktu soal-soal kehidupan lain sedang butuh jeda dari rutin seharian daripada menjadi sebuah ruang pergulatan juga pertaruhan ruhani untuk menaklukan sejumlah fakta dimana sebenarnya kejernihan sesungguhnya bisa dibicarakan dan diberi makna kembali demi menemukan kesalahan-kesalahan masa silam untuk tak diulang serta menemukan kebenaran-kebenaran untuk terus diperjuangkan sampai kelak sebagai suara dari sebabak kurun yang hiruk gemuruh walau para pesastra tinggal nama diatas nisan.
Jurnalisma sampai titik tertentu mesti berhenti menyusun fakta -seperti sastrawan-wartawan Seno Gumira Ajidarma yang pernah menulis himpunan cerpen Saksi Mata (1995) karena kebebasan pers dibekap kekuasaan pada dekade akhir abad 20 kemarin– maka sastra akan mengambil alih estafeta perjuangan tekstual yang tak sanggup dipikul media massa dengan kekuatan fiksional dimana semua fakta segera menjadi bayang-bayang yang menyarukan kebenaran kemana suka serupa anak-anak jiwa dalam kembara menjadi catatan-catatan kaki sejarah resmi yang tak putus harus dijenguk supaya tafsir atas masa lampau jadi sempurna memperkaya khazanah masa mendatang karena sejarah dalam hal ini serupa dua cermin spion kiri-kanan untuk menjalankan sebuah mobil ke depan maka ia tak boleh buram agar mobil tak dikutuk celaka dua belas kali di kubangan itu-itu saja.
Pun Pramoedya Ananta Toer sastrawan terkemuka kita yang bertubi selalu masuk jajaran para nominator peraih Nobel Sastra jauh sudah merekam serbaneka getir perjuangan bertahan hidup para korban melawan kekerasan negara di kurun Kolonial Belanda masuk Fasis Jepang hingga Orba dengan menciptakan harapan cemerlang “Nak, meski kalah tapi kita sudah berjuang sebaik-baiknya” dalam sekian ribu narasi para tokoh novelnya terutama hasil karangan semasa di Pulau Buru yang selalu menenun fakta-fakta kecil dalam anyaman fiksi yang gagah sebab ia juga tukang kliping koran dan majalah paling berwibawa selama bertahun-tahun yang dari kliping itu sempat kemudian terbit menjadi beberapa jilid buku tebal bertajuk Kronik Revolusi Indonesia (1999) yang mengupas detil fakta secara horisontal dalam ruang sejarah Nusantara dimana peristiwa-peristiwa sederhana di daerah-daerah dari kesenian sampai olahraga yang terjadi setanggal-sehari yang sama dengan kejadian politik di Pusat terburai lengkap guna menegaskan bahwa revolusi atau kesadaran nasional tak pernah terjadi sendiri begitu saja mengalir dari pusat kekuasaan melainkan tumbuh utuh dalam deru ‘semesta yang bergerak’ melawan penindasan dan penjajahan.
Terlalu kaya detil fakta jika kajian heuristik melebar hingga ke wilayah sinkronik yang membikin sejarah tak pernah ada tokoh tunggal atau ‘orang besar’ seperti yang dipraktikkan pendekatan sejarah diakronik dimana urutan waktu cuma sesuai peristiwa besar semata dan dalam diakronika sejarah model begitu sesungguhnya banyak terjadi penggelapan saat mana banyak orang dalam masyarakat -tokoh tak tercatat- luput diberi tempat apatah dicatat dari riwayat-riwayat sederhana tapi strategis misalkan siapa komandan armada tank yang dikirim dari Bireuen untuk menghalau Belanda dalam pertempuran Medan Area pada 1948 atau sosok yang berhasil menyeludupkan perangkat radio dari Penang hingga selamat sampai ke Pebukitan Rimba Raya di negeri Antara yang kemudian berjasa memberitakan ‘Serangan Oemoem 1 Maret” di Jogjakarta ke seluruh dunia dalam enam bahasa serta telak sudah kemudian mematahkan provokasi radio-radio Belanda hingga Indonesia pun selamat dalam Perundingan Meja Bundar pada Desember 1949 di Den Haag Nederland.
Efek berantai dari pendekatan diakronik kemudian sejarah sering tak jujur dan kerap menjadi kesimpulan dari narasi besar kekuasaan penuh misteri yang sekadar melahirkan oposisi-biner antara pahlawan-pecundang tanpa perlu ditelisik lebih dalam kenapa semua itu bisa terjadi dan karena itulah detil fakta para korban setelah sebuah orde tumbang senantiasa akan menuai pertanyaan kepada orde kekuasaan berikutnya demi keadilan dan kehormatan kemanusiaan yang dulu banyak tersaru dalam kemelut revolusi dan pembangunan sebagaimana terbukti dengan bertumpuk luar biasa penerbitan buku memoar dari para pelaku sejarah yang selama ini dibungkam untuk tampil ke hadapan sidang pembaca generasi terkini dalam orde reformasi demi memberi kesaksian sehingga buku-buku mata pelajaran sejarah resmi pun penting disesuaikan kembali untuk meletakkan ‘orang-orang yang dikalahkan’ pada posisi yang seimbang dan semua sama penting sebagai aktor sejarah sebagai bentuk rekonsiliasi atau rujuk kemanusiaan yang utuh.
Betapa tidak adil umpama babakan sejarah itu dianggap semacam jajaran bilik-bilik dengan pintu tertutup dari sebuah apartemen dimana sesama tetangga tak pernah saling kenal sehingga dari amsal itu jelas membuat para korban dalam satu bilik orde tetap sebagai korban dan tak bisa membela diri lagi saat kekuasaan berganti ruang-waktu sebab mereka telah dianggap masa lalu saja padahal pasti mereka menanggung kepiluan panjang akibat luka serta ingatan silam sementara para ‘pemenang’ akan menjadi pahlawan tanpa bisa ditolak sebab pintu masa lalu sudah digembok rapat-rapat yang membikin segala peristiwa-tokoh-alur terjebak di dalamnya tanpa kemungkinan rehabilitasi buat menemukan keadilan serta kejernihan faktual melalui misalkan kesaksian yang diberikan oleh para pihak petikai dan kehampaan macam ini berisiko tak ada lagi kata sesal atau maaf bahkan cenderung selalu mengulang model peristiwa kelam yang sama secara siklitis dengan pelaku yang beda di hari kemudian.
Model pemahaman positivistik macam itu yang kemudian populer disebut historisisme darimana kemudian melahirkan istilah hukum besi (iron law) sejarah dalam teori seorang ilmuwan sosial Jerman Karl Popper tetapi untuk melawan hukum yang sistematis mengajarkan cara berlupa itu maka orang masih sampai hari ini terus menuntut pengungkapan kasus-kasus lampau secara adil juga proporsional semisal aspirasi kuat pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh sebagai pernah sukses dalam damai meski dengan capaian beda di Afrika Selatan semasa Presiden Nelson Mandela yang berbudi disamping tak terbilang penerbitan buku-buku biografi dan sastra berbasis sejarah sebagai pengimbang fakta diakronik yang membesi itu.
Tujuan indah dari pengungkapan tak bukan seperti pesan mantap sebuah film dokumenter-drama Puisi Tak Terkuburkan (2000) dimana seorang penyair Didong dari dataran tinggi Takengon yang dituduh terlibat peristiwa 1965 tapi akhirnya terbukti tak bersalah namun karena insiden itu justru Ibrahim Kadir menyimpan trauma serta kesedihan panjang maka ketika ia harus menceritakan itu kepada anak cucu bukan sama sekali bermaksud untuk “mewariskan dendam silam tapi demi masa depan penghormatan atas cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab” meskipun awalnya memang sangat berat dan berurat proses-proses pengungkapan itu bak sepotong sajak Joko Pinurbo (2005) yang bertajuk Seperti Apa Terbebas Dari Dendam Derita dimana selarik singkat berbunyi “Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka”.
Itulah sebab Martin Aleida seorang sastrawan asal Tanjung Balai Sumatra Utara memakai prosa untuk mengungkap fakta-fakta sinkronik dalam buku baik yang disebut oleh para penyuntingnya ini sebagai ‘sastra kesaksian’ atas peristiwa 1965 walau lebih dari seorang saksi tapi juga korban yang selalu merasa diawasi gerak-geriknya seperti terkisah dalam cerpen memoar Ratusan Mata Dimana-mana (hal. 111) atau cerita Abdullah Peureulak yang karena peristiwa getir itu harus bertahan dengan identitas palsu yang tak pernah diungkap bahkan kepada istri tercinta yang tengah sekarat dalam cerpen Liontin Dewangga (hal. 49) dan melalui cerpen-cerpen dalam buku berlapik lukisan ekspresionisma karya Ipong Purnamasidhi ini -selain sebagai pernah diutarakan Melani Budianta pada sampul belakang novel Jamangilak Tak Pernah Menangis yang juga karya Martin Aleida pada 2004 dimana “terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita” -kita selalu diajak kritis pada sejarah negeri terkasih ini demi mencari dan mengupas lapis-lapis kebenaran historis agar terutama hukum besi sejarah tak sampai melempar jauh para korban ke dalam sunyi panjang sebuah kebisuan yang lamat-lamat menjadi bongkahan mitos dan karena pengungkapan itu pula kita akan bisa hidup bersama secara lebih tulus serta selamat dalam damai menjadi mulia sebelum pada akhirnya semoga kita semua dengan sepenuh cinta berharap akan “mati baik-baik”. Demikian maka jawab sastra sebagai fiksi jika ditanya orang kita.
Judul : Mati Baik-Baik, Kawan
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Akar Indonesia
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 144 halaman
Peresensi: Sekretaris dewan redaksi Jurnal Kebudayaan Gelombang Baru.
Regionalisme Sastra Indonesia
Sudarmoko
http://cetak.kompas.com/
Pembicaraan mengenai regionalisme sastra dapat ditemui secara implisit dalam sejumlah kritik sastra Indonesia. Nilai positif dari pembicaraan ini memberikan kemungkinan baru dalam melakukan kajian terhadap sastra Indonesia. Untuk beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, baik secara tematik maupun geografis, sebenarnya tema seperti ini menjadi lokus-lokus yang dapat dirangkai menjadi kajian yang komprehensif atau setidaknya sebagian besar peluang penelitian atau penulisan kritik sastra Indonesia dapat diidentifikasi.
Para sastrawan Indonesia telah melampaui batasan-batasan latar belakang budaya dan geografis. Mereka berkarya dalam sebuah ranah yang bernama Indonesia, baik dalam artian bahasa, pemikiran, maupun semangat penjelajahan sumber penciptaannya. Meski demikian, memang dapat ditemui sejumlah kesan dan ciri budaya yang melekat dan hingga saat ini dijadikan acuan dalam penulisan sejumlah leksikon sastra Indonesia.
Beberapa buku leksikon dan bibliografi memuat sejumlah sastrawan yang hidup dan berkarya di wilayah tertentu, seperti di Jabodetabek, Kalimantan, atau Sumatera Barat. Meski demikian, data base yang dimiliki masing-masing daerah belum selengkap yang diharapkan banyak pihak. Karya-karya yang pernah dihasilkan banyak yang belum didata. Persoalan yang juga menjadi kendala adalah bagaimana kita dapat mengakses informasi dan menemukan karya-karya yang pernah dihasilkan dalam perjalanan sastra Indonesia. Saya menduga banyak kritikus yang menyimpan karya-karya para penulis sastra, baik dari penelusuran di berbagai tempat, kiriman penerbit, maupun hadiah dari para penulisnya sendiri.
Selain itu juga masih ada sejumlah perpustakaan, koleksi, dan taman bacaan yang menyimpan karya-karya sastra. Hanya saja, sistem kataloginya masih sederhana, belum bisa diakses secara umum, kecuali beberapa perpustakaan yang sudah melakukan perbaikan dalam sistem katalogi ini. Seandainya hal ini dapat diperbaiki, tentu akan memberikan angin segar dalam kajian sastra Indonesia.
Regionalisasi dan pusat penelitian
Mungkin kita dapat melakukan perbandingan dengan Perpustakaan KITLV Leiden yang menjadi rujukan penting dalam kajian Indonesia, termasuk sastranya. Selain program penelitian, penerbitan, dan seminar, perpustakaan ini menyediakan layanan perpustakaan yang lebih dari cukup. Dengan demikian, ia menjadi salah satu lokus penting bagi peminat kajian sastra Indonesia. Nilai pentingnya tak hanya dinikmati para pengkaji, tetapi juga para pengelolanya.
Berkaitan dengan hal ini, kajian yang dilakukan para peneliti kita masih terbatas dalam pergerakannya, baik karena masalah finansial dalam melakukan penelitian maupun karena alasan lain. Mereka lebih banyak melakukan penelitian dalam lingkung akademis dan wilayahnya masing-masing. Dilihat dari obyek kajian, memang teks karya sastra dapat dilepaskan dari batasan-batasan geografis. Namun, dalam kebutuhan yang lebih dari itu, seperti kondisi sosiologis dan perkembangan budaya, diperlukan adanya keleluasaan dalam penjelajahan yang lebih luas dan makro.
Dari kondisi seperti inilah diperlukan semacam regionalisasi dalam melakukan kajian sastra Indonesia, dalam kerangka yang lebih luas untuk kajian sastra Indonesia. Para pengkaji sastra Indonesia dapat memfokuskan diri menggali kekayaan sastra Indonesia dalam sebuah lingkungan tertentu, dengan tidak melupakan konstelasi sastra Indonesia secara umum. Selain kajian, pendokumentasian karya sastra dan sumber-sumber referensi penting dalam sebuah wilayah juga menjadi agenda penting, terutama dalam berbagi informasi mengenai referensi apa saja yang tersedia dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada.
Rumah Puisi Taufiq Ismail
Taufiq Ismail berencana untuk membangun Rumah Puisi di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Dalam launching Rumah Puisi yang dilakukan berkaitan dengan acara 55 tahun Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia, dugaan saya ada kaitan Rumah Puisi dengan program SBSB Horison, keberadaan majalah Horison, dan pilihan pembangunan ini yang berada di luar Jakarta serta penempatannya yang bukan di Padang sebagai pusat Sumatera Barat, tetapi di tempat yang relatif berada di tengah-tengah Sumatera Barat sehingga memberikan akses yang lebih bagi seluruh masyarakat di Sumatera Barat.
Di luar rencana dan inisiatif pilihan tempat, sebenarnya di Sumatera Barat ada beberapa lokasi yang sudah tersedia dan memadai untuk dijadikan kantong sastra ini. Sastrawan Indonesia tentu sudah mengenal INS Kayutanam yang pernah digunakan sebagai tempat Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. Selain itu juga ada Genta Budaya dan Taman Budaya di Kota Padang atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi yang diobsesikan menjadi salah satu pusat intelektual di Sumatera Barat.
Sampai saat ini saya hanya membayangkan apakah nanti Rumah Puisi ini akan menjadi sebuah tempat yang hidup dengan berbagai aktivitas dan program sastra dan intelektualnya, tempat sastrawan tinggal beberapa bulan dan menulis karya, melakukan dialog dan seminar, tempat sastrawan dan peneliti sastra membaca buku-buku koleksi Taufiq Ismail yang akan dipindahkan ke sana, tempat kunjungan para guru dan siswa, sastrawan dan artis yang meramaikan SBSB akan datang dan menulis atau berlatih kesenian, para sastrawan mempertunjukkan karya, dan sebagainya.
Jika dulu STA menghibahkan uang asuransi kecelakaan pesawatnya untuk membangun Toyabungkah, maka sekarang Taufiq Ismail menghibahkan uang dari Habibie Award untuk Rumah Puisi ini. Apakah dari rencana ini kemudian juga akan membawa resonansi lain dalam kajian sastra Indonesia, dengan mengalihkan pandangan ke berbagai daerah lain, mendalami fenomena sastra di daerah, mengapresiasi kehidupan sastra di daerah, dan menjadikan daerah sebagai basis dalam kajian yang akan dilakukan. Regionalisasi sastra Indonesia, karena itu, menjadi sebuah wacana yang perlu diperhatikan.
*) Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.
http://cetak.kompas.com/
Pembicaraan mengenai regionalisme sastra dapat ditemui secara implisit dalam sejumlah kritik sastra Indonesia. Nilai positif dari pembicaraan ini memberikan kemungkinan baru dalam melakukan kajian terhadap sastra Indonesia. Untuk beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, baik secara tematik maupun geografis, sebenarnya tema seperti ini menjadi lokus-lokus yang dapat dirangkai menjadi kajian yang komprehensif atau setidaknya sebagian besar peluang penelitian atau penulisan kritik sastra Indonesia dapat diidentifikasi.
Para sastrawan Indonesia telah melampaui batasan-batasan latar belakang budaya dan geografis. Mereka berkarya dalam sebuah ranah yang bernama Indonesia, baik dalam artian bahasa, pemikiran, maupun semangat penjelajahan sumber penciptaannya. Meski demikian, memang dapat ditemui sejumlah kesan dan ciri budaya yang melekat dan hingga saat ini dijadikan acuan dalam penulisan sejumlah leksikon sastra Indonesia.
Beberapa buku leksikon dan bibliografi memuat sejumlah sastrawan yang hidup dan berkarya di wilayah tertentu, seperti di Jabodetabek, Kalimantan, atau Sumatera Barat. Meski demikian, data base yang dimiliki masing-masing daerah belum selengkap yang diharapkan banyak pihak. Karya-karya yang pernah dihasilkan banyak yang belum didata. Persoalan yang juga menjadi kendala adalah bagaimana kita dapat mengakses informasi dan menemukan karya-karya yang pernah dihasilkan dalam perjalanan sastra Indonesia. Saya menduga banyak kritikus yang menyimpan karya-karya para penulis sastra, baik dari penelusuran di berbagai tempat, kiriman penerbit, maupun hadiah dari para penulisnya sendiri.
Selain itu juga masih ada sejumlah perpustakaan, koleksi, dan taman bacaan yang menyimpan karya-karya sastra. Hanya saja, sistem kataloginya masih sederhana, belum bisa diakses secara umum, kecuali beberapa perpustakaan yang sudah melakukan perbaikan dalam sistem katalogi ini. Seandainya hal ini dapat diperbaiki, tentu akan memberikan angin segar dalam kajian sastra Indonesia.
Regionalisasi dan pusat penelitian
Mungkin kita dapat melakukan perbandingan dengan Perpustakaan KITLV Leiden yang menjadi rujukan penting dalam kajian Indonesia, termasuk sastranya. Selain program penelitian, penerbitan, dan seminar, perpustakaan ini menyediakan layanan perpustakaan yang lebih dari cukup. Dengan demikian, ia menjadi salah satu lokus penting bagi peminat kajian sastra Indonesia. Nilai pentingnya tak hanya dinikmati para pengkaji, tetapi juga para pengelolanya.
Berkaitan dengan hal ini, kajian yang dilakukan para peneliti kita masih terbatas dalam pergerakannya, baik karena masalah finansial dalam melakukan penelitian maupun karena alasan lain. Mereka lebih banyak melakukan penelitian dalam lingkung akademis dan wilayahnya masing-masing. Dilihat dari obyek kajian, memang teks karya sastra dapat dilepaskan dari batasan-batasan geografis. Namun, dalam kebutuhan yang lebih dari itu, seperti kondisi sosiologis dan perkembangan budaya, diperlukan adanya keleluasaan dalam penjelajahan yang lebih luas dan makro.
Dari kondisi seperti inilah diperlukan semacam regionalisasi dalam melakukan kajian sastra Indonesia, dalam kerangka yang lebih luas untuk kajian sastra Indonesia. Para pengkaji sastra Indonesia dapat memfokuskan diri menggali kekayaan sastra Indonesia dalam sebuah lingkungan tertentu, dengan tidak melupakan konstelasi sastra Indonesia secara umum. Selain kajian, pendokumentasian karya sastra dan sumber-sumber referensi penting dalam sebuah wilayah juga menjadi agenda penting, terutama dalam berbagi informasi mengenai referensi apa saja yang tersedia dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada.
Rumah Puisi Taufiq Ismail
Taufiq Ismail berencana untuk membangun Rumah Puisi di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Dalam launching Rumah Puisi yang dilakukan berkaitan dengan acara 55 tahun Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia, dugaan saya ada kaitan Rumah Puisi dengan program SBSB Horison, keberadaan majalah Horison, dan pilihan pembangunan ini yang berada di luar Jakarta serta penempatannya yang bukan di Padang sebagai pusat Sumatera Barat, tetapi di tempat yang relatif berada di tengah-tengah Sumatera Barat sehingga memberikan akses yang lebih bagi seluruh masyarakat di Sumatera Barat.
Di luar rencana dan inisiatif pilihan tempat, sebenarnya di Sumatera Barat ada beberapa lokasi yang sudah tersedia dan memadai untuk dijadikan kantong sastra ini. Sastrawan Indonesia tentu sudah mengenal INS Kayutanam yang pernah digunakan sebagai tempat Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. Selain itu juga ada Genta Budaya dan Taman Budaya di Kota Padang atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi yang diobsesikan menjadi salah satu pusat intelektual di Sumatera Barat.
Sampai saat ini saya hanya membayangkan apakah nanti Rumah Puisi ini akan menjadi sebuah tempat yang hidup dengan berbagai aktivitas dan program sastra dan intelektualnya, tempat sastrawan tinggal beberapa bulan dan menulis karya, melakukan dialog dan seminar, tempat sastrawan dan peneliti sastra membaca buku-buku koleksi Taufiq Ismail yang akan dipindahkan ke sana, tempat kunjungan para guru dan siswa, sastrawan dan artis yang meramaikan SBSB akan datang dan menulis atau berlatih kesenian, para sastrawan mempertunjukkan karya, dan sebagainya.
Jika dulu STA menghibahkan uang asuransi kecelakaan pesawatnya untuk membangun Toyabungkah, maka sekarang Taufiq Ismail menghibahkan uang dari Habibie Award untuk Rumah Puisi ini. Apakah dari rencana ini kemudian juga akan membawa resonansi lain dalam kajian sastra Indonesia, dengan mengalihkan pandangan ke berbagai daerah lain, mendalami fenomena sastra di daerah, mengapresiasi kehidupan sastra di daerah, dan menjadikan daerah sebagai basis dalam kajian yang akan dilakukan. Regionalisasi sastra Indonesia, karena itu, menjadi sebuah wacana yang perlu diperhatikan.
*) Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.
Sastra Berbahasa Daerah Punah?
Andi Sutisno*
http://cetak.kompas.com/
Dalam kehidupan manusia, diakui atau tidak, sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan. Bahkan, sastra kadang dianggap sebagai alat bagi manusia untuk mengenali diri beserta kompleksititas hidup yang dialaminya.
Dalam konteks tersebut, Boulton (dalam Aminuddin, 1995: 37) mengemukakan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan dan paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan/kontemplasi batin, baik berkaitan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai problem yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. Oleh karena itu, mempersoalkan esensi sastra nyaris sama dengan mempersoalkan esensi kehidupan manusia. Di Indonesia, dengan kekayaan suku bangsa yang juga berimplikasi pada kekayaan bahasa daerah yang dimilikinya, sastra juga bersentuhan dengan konstruksi kekayaan budaya dan bahasa yang ada. Hal ini bisa dilihat dari berkembangnya sastra-sastra berbahasa daerah yang keberadaannya juga tidak bisa dinafikan.
Hal ini mengingat, sastra berbahasa daerah merupakan unsur kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra berbahasa daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam dan terangkum antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis yang bersangkutan.
Di Jawa Barat, misalnya, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa bahasa daerah yang ada di Jabar adalah bahasa Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi, masing-masing bahasa memiliki wilayah masyarakat pengguna bahasa sendiri, tentunya juga dengan “kreativitas” bersastranya.
Sebagai contoh, di wilayah masyarakat Sunda, kita mengenal sastrawan Sunda seperti Ajip Rosidi dan Godi Suwarna. Lain halnya di Cirebon, saat ini kita mengenal budayawan dan sastrawan Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang masih “bersemangat” mengembangkan sastra dan budaya Cirebon.
Sastra berbahasa daerah, dalam perkembangannya, tentu saja berjalan bukan tanpa hambatan, rintangan, atau kendala. Dengan keterbatasan ruang dan wilayah perkembangannya itu sendiri, sastra berbahasa daerah berhadapan dengan beberapa hambatan. Tidak menutup kemungkinan, jika tidak bisa diantisipasi, hambatan itu akan menyebabkan sastra berbahasa daerah menjadi punah. Artinya, dibutuhkan terjaganya kontinuitas laju atas penciptaan karya-karya sastra berbahasa daerah. Hal ini hanya dapat dilakukan jika penciptaan karya-karya sastra berbahasa daerah terus dilakukan oleh insan-insan sastra di daerah. Peran media
Selain itu, publikasi akan karya sastra juga memiliki peran penting dalam perkembangan karya sastra berbahasa daerah. Media, khususnya media cetak/koran, merupakan alternatif yang ampuh dalam memfasilitasi perkembangan sastra berbahasa daerah. Hal ini mengingat perkembangan sastra, khususnya sastra berbahasa daerah, minim akan publikasi.
Harus jujur diakui bahwa buku-buku sastra bersastra daerah masih sangat minim. Ini dengan mudah dijumpai pada kasus minimnya buku-buku tentang sastra berbahasa daerah yang terpajang di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Kalaupun ada buku-buku yang memuat sastra berbahasa daerah, itu hanya sebatas pada kebutuhan memenuhi tuntutan kurikulum muatan lokal. Lebih dari itu, menemukan buku-buku sastra berbahasa daerah ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Padahal, persentuhan siswa dengan sastra berbahasa daerah merupakan modal penting untuk lebih mengakrabkan sastra berbahasa daerah dengan siswa yang notabene sebagai masyarakat pengguna bahasa daerah, bahkan sebagai pelaku generasi penerus. Jika terus dibiarkan, kondisi seperti itu bukan tidak mungkin akan memutus rantai kontinuitas “generasi” sastra berbahasa daerah. Hal inilah yang semakin mengukuhkan bahwa media cetak/koran dengan sastra korannya merupakan ruang yang tepat dan dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan sastra berbahasa daerah.
Media cetak/koran sebagai media massa yang lebih memungkinkan bersentuhan dengan masyarakat niscaya dapat mengambil peran tersebut. Memublikasikan sastra berbahasa daerah di samping sastra berbahasa Indonesia juga merupakan “kewajiban” media cetak/koran sebagai wujud kontribusinya dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan masyarakat.
Peran pemerintah daerah
Selain semangat insan-insan sastra di daerah untuk terus bertahan “memperjuangkan” eksistensi sastra berbahasa daerah dan peran media cetak/koran dalam ikut serta memublikasikan karya-karya sastra berbahasa daerah, pemerintah daerah sebagai pihak yang memiliki otoritas atas semua kebijakan di tingkat daerah, termasuk di dalamnya persoalan kesusastraan daerah, memiliki peran yang tidak kalah penting dalam perkembangan sastra berbahasa daerah. Asumsi ini kiranya tidak terlalu berlebihan sebab sastra berbahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan daerah.
Ada angin segar manakala Pemerintah Provinsi Jabar melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menggelar lomba penciptaan karya sastra (puisi) dengan kategori puisi-puisi berbahasa daerah yang ada di lingkungan Jabar. Tentu saja ini adalah langkah positif dalam upaya mengembangkan sastra berbahasa daerah. Semoga saja langkah positif ini akan terus bergulir dengan harapan akan semakin banyak insan-insan sastra yang “bergumul” dengan sastra berbahasa daerah. Beranjak dari hal tersebut, kiranya semua pihak dapat memberikan “energi” terbaiknya dalam “memperjuangkan” sastra berbahasa daerah. Dengan demikian, eksistensi sastra berbahasa daerah sebagai penopang kekayaan sastra nusantara akan tetap ada dan nyata.
Selain itu, sastra berbahasa daerah juga dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan perjalanan kesusastraan nasional yang pada akhirnya menjadi modal dalam perkembangan kebudayaan nasional.
*) Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, Bandung.
http://cetak.kompas.com/
Dalam kehidupan manusia, diakui atau tidak, sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan. Bahkan, sastra kadang dianggap sebagai alat bagi manusia untuk mengenali diri beserta kompleksititas hidup yang dialaminya.
Dalam konteks tersebut, Boulton (dalam Aminuddin, 1995: 37) mengemukakan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan dan paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan/kontemplasi batin, baik berkaitan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai problem yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini. Oleh karena itu, mempersoalkan esensi sastra nyaris sama dengan mempersoalkan esensi kehidupan manusia. Di Indonesia, dengan kekayaan suku bangsa yang juga berimplikasi pada kekayaan bahasa daerah yang dimilikinya, sastra juga bersentuhan dengan konstruksi kekayaan budaya dan bahasa yang ada. Hal ini bisa dilihat dari berkembangnya sastra-sastra berbahasa daerah yang keberadaannya juga tidak bisa dinafikan.
Hal ini mengingat, sastra berbahasa daerah merupakan unsur kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra berbahasa daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam dan terangkum antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis yang bersangkutan.
Di Jawa Barat, misalnya, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa bahasa daerah yang ada di Jabar adalah bahasa Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi, masing-masing bahasa memiliki wilayah masyarakat pengguna bahasa sendiri, tentunya juga dengan “kreativitas” bersastranya.
Sebagai contoh, di wilayah masyarakat Sunda, kita mengenal sastrawan Sunda seperti Ajip Rosidi dan Godi Suwarna. Lain halnya di Cirebon, saat ini kita mengenal budayawan dan sastrawan Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang masih “bersemangat” mengembangkan sastra dan budaya Cirebon.
Sastra berbahasa daerah, dalam perkembangannya, tentu saja berjalan bukan tanpa hambatan, rintangan, atau kendala. Dengan keterbatasan ruang dan wilayah perkembangannya itu sendiri, sastra berbahasa daerah berhadapan dengan beberapa hambatan. Tidak menutup kemungkinan, jika tidak bisa diantisipasi, hambatan itu akan menyebabkan sastra berbahasa daerah menjadi punah. Artinya, dibutuhkan terjaganya kontinuitas laju atas penciptaan karya-karya sastra berbahasa daerah. Hal ini hanya dapat dilakukan jika penciptaan karya-karya sastra berbahasa daerah terus dilakukan oleh insan-insan sastra di daerah. Peran media
Selain itu, publikasi akan karya sastra juga memiliki peran penting dalam perkembangan karya sastra berbahasa daerah. Media, khususnya media cetak/koran, merupakan alternatif yang ampuh dalam memfasilitasi perkembangan sastra berbahasa daerah. Hal ini mengingat perkembangan sastra, khususnya sastra berbahasa daerah, minim akan publikasi.
Harus jujur diakui bahwa buku-buku sastra bersastra daerah masih sangat minim. Ini dengan mudah dijumpai pada kasus minimnya buku-buku tentang sastra berbahasa daerah yang terpajang di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Kalaupun ada buku-buku yang memuat sastra berbahasa daerah, itu hanya sebatas pada kebutuhan memenuhi tuntutan kurikulum muatan lokal. Lebih dari itu, menemukan buku-buku sastra berbahasa daerah ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Padahal, persentuhan siswa dengan sastra berbahasa daerah merupakan modal penting untuk lebih mengakrabkan sastra berbahasa daerah dengan siswa yang notabene sebagai masyarakat pengguna bahasa daerah, bahkan sebagai pelaku generasi penerus. Jika terus dibiarkan, kondisi seperti itu bukan tidak mungkin akan memutus rantai kontinuitas “generasi” sastra berbahasa daerah. Hal inilah yang semakin mengukuhkan bahwa media cetak/koran dengan sastra korannya merupakan ruang yang tepat dan dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan sastra berbahasa daerah.
Media cetak/koran sebagai media massa yang lebih memungkinkan bersentuhan dengan masyarakat niscaya dapat mengambil peran tersebut. Memublikasikan sastra berbahasa daerah di samping sastra berbahasa Indonesia juga merupakan “kewajiban” media cetak/koran sebagai wujud kontribusinya dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan masyarakat.
Peran pemerintah daerah
Selain semangat insan-insan sastra di daerah untuk terus bertahan “memperjuangkan” eksistensi sastra berbahasa daerah dan peran media cetak/koran dalam ikut serta memublikasikan karya-karya sastra berbahasa daerah, pemerintah daerah sebagai pihak yang memiliki otoritas atas semua kebijakan di tingkat daerah, termasuk di dalamnya persoalan kesusastraan daerah, memiliki peran yang tidak kalah penting dalam perkembangan sastra berbahasa daerah. Asumsi ini kiranya tidak terlalu berlebihan sebab sastra berbahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan daerah.
Ada angin segar manakala Pemerintah Provinsi Jabar melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menggelar lomba penciptaan karya sastra (puisi) dengan kategori puisi-puisi berbahasa daerah yang ada di lingkungan Jabar. Tentu saja ini adalah langkah positif dalam upaya mengembangkan sastra berbahasa daerah. Semoga saja langkah positif ini akan terus bergulir dengan harapan akan semakin banyak insan-insan sastra yang “bergumul” dengan sastra berbahasa daerah. Beranjak dari hal tersebut, kiranya semua pihak dapat memberikan “energi” terbaiknya dalam “memperjuangkan” sastra berbahasa daerah. Dengan demikian, eksistensi sastra berbahasa daerah sebagai penopang kekayaan sastra nusantara akan tetap ada dan nyata.
Selain itu, sastra berbahasa daerah juga dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan perjalanan kesusastraan nasional yang pada akhirnya menjadi modal dalam perkembangan kebudayaan nasional.
*) Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar