Zakki Amali
ttp://cetak.kompas.com/
Waktu terus berlari, siapa pun yang tidak mampu mengimbangi laju waktu akan tertinggal. Tertinggal oleh waktu akan menjadikan manusia sebagai obyek, bukan subyek. Padahal, untuk dapat survive, manusia harus menjadi subyek atas waktu, mengelola dan mengolah waktu agar harapan tercapai. Paradigma inilah yang akan menggairahkan kembali kehidupan sastra di Kudus.
Banyak orang tidak tahu, bahkan (mungkin) warga Kudus sendiri, sastra pernah jaya di Kudus. Kala itu yang paling menonjol adalah Keluarga Penulis Kudus (KPK). Sebuah komunitas sastra daerah yang berdiri pada tahun 1991, didirikan oleh para sastrawan Kudus, seperti Yudhi Ms, Maria Magdalema Bhoernomo, dan Mukti Sutarman Espe. KPK berjasa besar dalam mengenalkan Kudus kepada daerah lain melalui karya sastra mereka. Pada dekade 1090-an eksistensi KPK menuai sukses besar. Karya sastra (cerpen atau puisi) mereka sempat merajai harian Suara Pembaharuan. Hampir setiap penerbitan halaman sastra memuat karya anggota KPK.
KPK telah menerbitkan beberapa antologi puisi, di antaranya Menara (1994), Menara 2 (1996), Menara 3 (1999), Matabunga (1999), dan yang terakhir Masih Ada Menara (2004). Pada dekade emas itu, “syiar” sastra juga dilakukan di radio-radio Kudus. Di radio Swara Manggala Sakti memunculkan program siaran Sastra dan Budaya yang diasuh oleh Faried Tommy dan kemudian diteruskan Dahrul Susanto.
Mereka membina komunitas pengirim karya sastra dengan, bahkan rubrik ini mampu menerbitkan antologi puisi Titian. Lebih ramai lagi, di radio Muria rubrik siaran Ladang Sastra yang diasuh Yudhi Ms, dan diteruskan Mukti Sutarman Espe telah menerbitkan buku antologi puisi, seperti Pintu Terbuka (1985), Pelabuhan Baru (1986), Seperti Angin (1987), Sang Parasu (1889), dan Angin Ladang (1996).
Sebelum KPK ada, di Kudus sebetulnya sudah terdapat banyak sastrawan dan penulis bidang sastra yang juga memompa denyut nadi kehidupan sastra, namun mereka berjalan sendiri-sendiri, hampir tanpa komunikasi, seperti Sulistiyanto Sw, Alex Achlish, A Munif Hamid, Toto Yuliadi, dan L Yona Aruna Ch. Dengan adanya jejaring komunitas sastrawan lokal, diharapkan mampu menggairahkan dinamika sastra di Kudus. Hal inilah yang, saat itu, menghantarkan Kudus sejajar dengan daerah pusat sastra, seperti Bali, Tanggerang, Tegal, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, dan Semarang.
Mulai redup
Sungguh indah masa lalu Kudus, bergelimang karya sastra. Dengan kehadiran sastra di tengah-tengah kehidupan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam karya sastra sedikit demi sedikit merasuk menjadi bagian dari laku masyarakat. Dalam analisis Georg Lukacs-yang dikutip Ignas Kleden (2004)-karya sastra dapat berperan sebagai refleksi atau pantulan kembali dari situasi masyarakatnya, baik dalam menjadi sebuah salinan struktur sosial atau menjadi mimesis masyarakatnya. Inilah karakter sastra sesungguhya, menjadi medan refleksi bagi masyarakat umum.
Namun, kini muncul pertanyaan besar, di manakah gereget sastra saat itu? Sastra di Kudus memang masih berdetak, tetapi hanya mereka yang concern di bidang itu yang merasakan, selebihnya masyarakat awam, parahnya pelajar tidak tahu-menahu.
Setiap bulan sekali, tepatnya malam Sabtu Pahing, Padepokan Seni Murni Asih menggelar diskusi dan pentas yang menampilkan pembacaan puisi atau ekspresi seni lainnya. Dari acara selapanan ini, kita dapat melihat perjuangan warga lokal mempertahankan sastra di tengah situasi serba krisis. Akan tetapi, acara itu terasa eksklusif, masyarakat awam belum dilibatkan secara aktif, teruatama pelajar, khususnya yang mempelajari sastra.
Saya sendiri mengalami betapa tidak kenalnya para sastrawan Kudus. Sewaktu menempuh jenjang pendidikan tingkat menengah atas di salah satu madrasah aliyah di Kudus, satu sastrawan pun tidak ada yang saya tahu dan kenali. Padahal, saya sedang mengambil program jurusan bahasa yang mempelajari perihal sastra.
Sangat disayangkan apabila sastra harus sirna ditelan waktu. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menggairahkan kembali kehidupan sastra. Pertama, menjaring dan melibatkan kaum muda untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan sastra. Kaum muda sangat berpotensial menggerakkan kehidupan sastra. Dengan segenap tenaga, inovasi, dan daya kreativitasnya, kaum muda akan menciptakan iklim kondusif bagi kehidupan sastra.
Untuk menjaring dan menggerakan kaum muda, KPK dan Dewan Kesenian Daerah, misalnya, mengawali dengan membuat program pengenalan atau pelatihan di sekolah, bahkan perguruan tinggi di Kudus, bertajuk sastra. Program ini bisa mengadopsi konsep Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang dijalankan Taufik Ismail bersama kelompok sastrawan majalah Horizon, beberapa waktu lalu. Para sastrawan Kudus turun ke sekolah-sekolah mengenalkan diri dan mengajak masuk ke dalam dunia sastra yang indah. Tentunya setelah penyuluhan ditindaklanjuti dengan membuat wadah kreatif bagi pelajar, membuat sayembara penulisan sastra, entah esai, puisi, cerpen, atau bahkan novel.
Para sastrawan kemudian memantau, membimbing, mengarahkan, dan mendorong kaum muda dalam belajar tentang sastra. Inilah salah satu tanggung jawab sosial sastrawan, mengader dan menyiapkan pegantinya.
Kedua, menggiatkan kembali program sastra di radio-radio. Sejarah telah membuktikan keberhasilan program sastra di radio dengan ditelurkannya antologi puisi. Kini, program siaran di radio kurang memberi dampak positif pada kehidupan sastra. Saat ini saya tidak menjumpai adanya program sastra di radio seperti tahun 1990- an. Saya tidak tahu masihkah ada atau tidak. Mungkin ada, tetapi saya tidak tahu, atau memang benar-benar tidak ada?
Ketiga, dukungan Pemkab Kudus menjadi salah satu instrumen penting menggerakkan program kerja sastrawan. Dengan memberikan dukungan material, diharapkan kehidupan sastra di Kudus meriah kembali. Di luar itu, pabrik-pabrik rokok serta industri besar lainnya yang ada di Kudus dapat diajak kerja sama dalam program itu. Terakhir adalah menyadari bahwa tugas ini bukan sekadar beban kelompok saja. Para sastrawan dan penulis individual yang concern di bidang sastra turut bertanggung jawab membangun kehidupan sastra yang bergairah di Kudus.
Perilaku aktif dari para sastrawan meneguhkan diri sebagai subyek atas waktu. Waktu yang membentang di hadapan dimanfaatkan untuk menggairahkan kehidupan sastra di Kudus.
*) Pegiat Komunitas Sastra “Pojok Sastra” STAIN Kudus, Jawa Tengah.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 16 September 2009
Nurhayati, “Penyelam” Sastra “La Galigo”
Suriani
http://www.sinarharapan.co.id/
MAKASSAR - Nurhayati, perempuan yang lahir di tanah Bugis, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) 29 Desember 1958 silam, telah menghabiskan separuh hidupnya untuk “menyelami” sastra Bugis La Galigo yang merupakan sastra terpanjang di dunia, melebihi karya sastra Mahabaratha di India dan karya sastra lainnya.
Tak heran jika ketekunan ibu satu anak ini membawanya meraih gelar doktor, yang merupakan gelar untuk perempuan pertama di Indonesia bahkan di dunia, yang mampu merangkum dan merunut karya sastra La Galigo dari kumpulan dokumen. Rangkuman itu dari kumpulan dokumen, baik yang masih dimiliki masyarakat Bugis di Sulsel maupun daerah lain seperti Buton, Jawa, dan Maluku, bahkan dokumen tertulis yang banyak terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
“Karya sastra La Galigo banyak diteliti dan dipelajari orang asing, khususnya Belanda. Bahkan konsep navigasi tokoh sentral La Galigo, yakni Sawerigading, telah diadopsi oleh sistem pelayaran internasional,” ungkap Nurhayati.
Dari fenomena itu, ia merasa terpanggil untuk menggeluti karya sastra Bugis guna melestarikan karya leluhur sekaligus menyelami filosofi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, untuk meraih gelar sarjana S1 Sastra Daerah di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar tahun 1983, ia merelakan didahului teman-teman seangkatannya yang sudah wisuda terlebih dulu, hanya untuk merampungkan skripsinya yang tergolong sulit dengan mengambil salah satu episode sastra La Galigo, yakni transformasi La Galigo dalam Islam.
Dalam penggalan karya sastra itu diceritakan, masyarakat Bugis Makassar yang telah memiliki keyakinan menyembah dewata sewwae, Tuhan dalam kitab suci La Galigo, kemudian tersinergi dengan pendekatan ulama atau penyebar Islam yang menggunakan pendekatan kultural, termasuk sastra dalam menyebarkan Agama Islam di daerah ini.
Disertasi “Meong Palo BolongE”
Kecintaannya menyelami sastra La Galigo, memotivasi Nurhayati memilih topik disertasi “Meong Palo BolongE” yang juga masih terkait dengan karya Sastra La Galigo untuk menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Filologi Universitas Padjajaran, Bandung tahun 1990.
Selanjutnya, Nurhayati pada promosi doktornya di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1998 berhasil mempertahankan disertasinya tentang Pelayaran Sawerigading—yang merupakan tokoh sentral dalam sastra La Galigo—ke Negeri China.
Untuk merampungkan disertasi itu, Nurhayati harus mempelajari dokumen kuno La Galigo dan dokumen terkait lainnya yang tersebar di beberapa negara di antaranya di Thailand, China, dan Belanda.
“Setahun lebih saya harus berpisah dengan keluarga untuk berburu dokumen yang semua bertuliskan aksara Lontara (aksara tradisonal Bugis/Makassar-red),” jelas guru besar Fakultas Sastra Unhas ini. Namun ia bersyukur karena pengorbanannya itu membuahkan hasil yang memuaskan dengan prestasi cum laude yang diberikan para promotornya dari dalam dan luar negeri, di antaranya, Prof Dr Okke KS Zaimar (co-promotor dari UI) dan Prof Dr Van Zoest (pakar semiotika dari Belanda).
Untuk memudahkan memahami dokumen kuno itu, Nurhayati harus mengetahui perbandingan aksara Bugis menurut cetakan orang Eropa seperti Raffles 1817, Thomsen 1832, Matthes 1858, dan Matthes 1875.
Menanggapi keunikan La Galigo yang merupakan karya sastra terpanjang di dunia, perempuan paruh baya ini mengungkapkan, La Galigo adalah epik mitologis orang Bugis yang juga ditemui pada serpihan-serpihan episodenya di luar Tanah Bugis yang memperlihatkan dua kemampuan kanonik, yakni kemampuan membuat manusia merasa asing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya membuat orang merasa betah dan akrab di tengah dunia asing.
“Kedua kemampuan itu dimiliki La Galigo, sehingga Idapat ditempatkan sebagai kanon sastra dunia,” ujarnya. Selain itu, juga menggambarkan bahwa Orang Bugis mempunyai pandangan yang berorientasi ke depan dengan bentuk budaya yang sangat terbuka. Hal itu terpapar dalam 21 naskah terjemahan La Galigo di berbagai daerah dan negara.
http://www.sinarharapan.co.id/
MAKASSAR - Nurhayati, perempuan yang lahir di tanah Bugis, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) 29 Desember 1958 silam, telah menghabiskan separuh hidupnya untuk “menyelami” sastra Bugis La Galigo yang merupakan sastra terpanjang di dunia, melebihi karya sastra Mahabaratha di India dan karya sastra lainnya.
Tak heran jika ketekunan ibu satu anak ini membawanya meraih gelar doktor, yang merupakan gelar untuk perempuan pertama di Indonesia bahkan di dunia, yang mampu merangkum dan merunut karya sastra La Galigo dari kumpulan dokumen. Rangkuman itu dari kumpulan dokumen, baik yang masih dimiliki masyarakat Bugis di Sulsel maupun daerah lain seperti Buton, Jawa, dan Maluku, bahkan dokumen tertulis yang banyak terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
“Karya sastra La Galigo banyak diteliti dan dipelajari orang asing, khususnya Belanda. Bahkan konsep navigasi tokoh sentral La Galigo, yakni Sawerigading, telah diadopsi oleh sistem pelayaran internasional,” ungkap Nurhayati.
Dari fenomena itu, ia merasa terpanggil untuk menggeluti karya sastra Bugis guna melestarikan karya leluhur sekaligus menyelami filosofi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, untuk meraih gelar sarjana S1 Sastra Daerah di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar tahun 1983, ia merelakan didahului teman-teman seangkatannya yang sudah wisuda terlebih dulu, hanya untuk merampungkan skripsinya yang tergolong sulit dengan mengambil salah satu episode sastra La Galigo, yakni transformasi La Galigo dalam Islam.
Dalam penggalan karya sastra itu diceritakan, masyarakat Bugis Makassar yang telah memiliki keyakinan menyembah dewata sewwae, Tuhan dalam kitab suci La Galigo, kemudian tersinergi dengan pendekatan ulama atau penyebar Islam yang menggunakan pendekatan kultural, termasuk sastra dalam menyebarkan Agama Islam di daerah ini.
Disertasi “Meong Palo BolongE”
Kecintaannya menyelami sastra La Galigo, memotivasi Nurhayati memilih topik disertasi “Meong Palo BolongE” yang juga masih terkait dengan karya Sastra La Galigo untuk menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Filologi Universitas Padjajaran, Bandung tahun 1990.
Selanjutnya, Nurhayati pada promosi doktornya di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1998 berhasil mempertahankan disertasinya tentang Pelayaran Sawerigading—yang merupakan tokoh sentral dalam sastra La Galigo—ke Negeri China.
Untuk merampungkan disertasi itu, Nurhayati harus mempelajari dokumen kuno La Galigo dan dokumen terkait lainnya yang tersebar di beberapa negara di antaranya di Thailand, China, dan Belanda.
“Setahun lebih saya harus berpisah dengan keluarga untuk berburu dokumen yang semua bertuliskan aksara Lontara (aksara tradisonal Bugis/Makassar-red),” jelas guru besar Fakultas Sastra Unhas ini. Namun ia bersyukur karena pengorbanannya itu membuahkan hasil yang memuaskan dengan prestasi cum laude yang diberikan para promotornya dari dalam dan luar negeri, di antaranya, Prof Dr Okke KS Zaimar (co-promotor dari UI) dan Prof Dr Van Zoest (pakar semiotika dari Belanda).
Untuk memudahkan memahami dokumen kuno itu, Nurhayati harus mengetahui perbandingan aksara Bugis menurut cetakan orang Eropa seperti Raffles 1817, Thomsen 1832, Matthes 1858, dan Matthes 1875.
Menanggapi keunikan La Galigo yang merupakan karya sastra terpanjang di dunia, perempuan paruh baya ini mengungkapkan, La Galigo adalah epik mitologis orang Bugis yang juga ditemui pada serpihan-serpihan episodenya di luar Tanah Bugis yang memperlihatkan dua kemampuan kanonik, yakni kemampuan membuat manusia merasa asing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya membuat orang merasa betah dan akrab di tengah dunia asing.
“Kedua kemampuan itu dimiliki La Galigo, sehingga Idapat ditempatkan sebagai kanon sastra dunia,” ujarnya. Selain itu, juga menggambarkan bahwa Orang Bugis mempunyai pandangan yang berorientasi ke depan dengan bentuk budaya yang sangat terbuka. Hal itu terpapar dalam 21 naskah terjemahan La Galigo di berbagai daerah dan negara.
Aku Berkarya Maka Aku Ada
Arief Junianto
http://www.surabayapost.co.id/
Eksistensi sastra Jawa hanya bergantung pada sastrawannya. Minimnya media berbahasa Jawa mereka harus berjibaku menerbitkan karyanya sendiri.
Media berbahasa Jawa boleh dikatakan sangat minim. Di Surabaya media yang ada hanya dua, Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Itupun terbit hanya untuk kalangan tertentu yang berminat dengan bahasa Jawa. Di dua media ini, bisa dikatakan budaya Jawa, secara libih luas mampu disiarkan. Selain itu bila dibandingkan dengan sastra daerah lain, sastra Jawa masih memiliki tempat yang cukup menguntungkan. Hal ini disebabkan penutur bahasa Jawa memang masih terbilang cukup banyak.
Meski demikian bukan berarti praktisi sastra Jawa banyak bermunculan. Kenyataannya, tidak banyak sastrawan yang mau secara total berkarya demi kemajuan dan keberadaan sastra Jawa. Oleh karena itu, bisa dikatakan, sastra Jawa semakin terjepit di tengah banyaknya penutur bahasa Jawa.
Keterjepitan sastra Jawa tidak hanya didasarkan pada jumlah sastrawan yang sedikit, namun juga pada perkembangan wacana mengenai kesusasteraan Jawa yang hanya berkutat pada segelintir orang saja. Namun demikian, sastra Jawa punya cara sendiri untuk terus hidup. Salah satunya adalah berkarya.
Suparto Brata, seorang pengarang sastra Jawa sepakat bahwa kondisi sastra Jawa kini cukup memprihatinkan. Diakuinya, banyak sastrawan yang mengaku sastrawan Jawa, namun eksistensinya dalam membangun dan mempertahankan sastra Jawa malah harus dipertanyakan kembali.
Baginya, meski secara komersialitas tidak segemilang dengan karya-karyanya sastra Indonesia, namun dirinya masih tetap berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya di ranah sastra Jawa. ”Yang penting bagi saya adalah berkarya. Dengan berkarya maka sastra itu ada,” papar Suparto.
Selain karya, eksistensi budaya Jawa yang didalamnya juga ada sastra Jawa dan bahasa Jawa, harus ada perhatian dari pemerintah. Suparto mencontohkan, penetapan hari Bahasa Ibu oleh pemerintah ternyata juga tidak maksimal. Meski sudah ada perda yang mengatur untuk hal itu, namun pada kenyataanya pelaksanaan akan hal itu masih belum ada.
Selain itu, ditambahkan oleh Suparto, kongres juga diadakan sebagai salah satu jalan untuk menyatukan visi dan misi dalam mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Dikatakannya, kongres Bahasa Jawa yang diadakan juga seharusnya bisa menjadi jalan untuk mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Akan tetapi, diakuinya, kongres yang sudah berusia 15 tahun tersebut masih belum menghasilkan sesuatu yang konkret.”Malah menghabiskan dana bermilyar-milyar,” ujarnya.
Hal tersebut didukung oleh Bonari Nabonenar. Menurutnya akan lebih baik jika uang yang digunakan untuk membiayai kongres-kongres semacam itu, digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap komunitas dan elemen-elemen lain yang mendukung keberadaan bahasa Jawa tersebut.
Ditemui secara terpisah, Widodo Basuki, pengurit sastra Jawa, sependapat dengan Suparto Broto. Menurut wartawan Jaya Baya ini, sastra Jawa hanya bisa eksis karena perjuangan para sastrawan secara mandiri. ”Banyak sastrawan Jawa yang masih separuh hati untuk bergelut dengan budaya Jawa ini,” kata Widodo yang pernah meraih penghargaan Rancage dari Ayib Rosidi, tahun 2000.
Widodo menceritakan, selama ini dirinya, terus berusaha menerbitkan puisi-puisi Jawanya meski harus mendanai sendiri. Menurutnya ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Daripada mengeluh terus tidak adanya media massa yang menampung puisi Jawa, Widodo, berusaha mengumpulkan puisi-puisinya dengan cukup memfotokopi.
Mantan ketua komite sastra Dewan Kesenian Surabaya periode 1998-2003 ini juga pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan kupulan puisi jawanya Layang Saka Tlatah Wetan (1999). “Selama ini saya terus mencoba konsisten pada sastra Jawa,” tambahnya.
Tidak berbeda dengan Sri Setyowati atau biasa disapa Trinil, juga lebih aktif menerbitkan buku karya sastranya sendiri. Keterlibatannya dengan media massa dimulai tahun 1998. sejak tahun itu Trinil aktif menulis reportase untuk majalah Jaya Baya, Tabloid Bromo, Kidung, dan Penjebar Semangat. Selain menulis dengan menggunakan dialek Suroboyoan, Trinil juga menulis dengan gaya bahasa Mataraman (Jawa halus).
Keterlibatan Trinil pada dunia perpuisian memang belum lama. Tetapi beberapa puisinya sudah pernah terkumpul dalam Kabar Saka Bendulmrisi, suntingan Suharmono Kasiyun yang diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Sastra Campursari suntingan Bonari Nabonenar yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Timur.
Selain menulis puisi, Trinil juga menulis crita cekak (cerpen, red) yang dimuat di Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Trinil ternyata juga sudah menerbitkan buku cerita anak berjudul Kasih Sayang yang Tak Padam. Selain itu Trinil juga sudah menerbitkan novel bahasa Jawa, Sarunge Jagung.
Joko Prakoso, dosen Sekolah Tinggi Karawitan Wilwatikta (STKW), menekankan seharusnya sastra Jawa dipahami sebagai wilayah tersendiri yang terpisah dari wilayah lain. Hal ini disebabkan sastra Jawa memiliki pecinta dan peminat sendiri yang berbeda dengan sastra nasional atau sastra Indonesia.”Sastra Jawa tidak bisa dipertandingkan dengan sastra-sastra lain,” ujarnya.
Agar tidak terkesan kuno dan semakin ketinggalan zaman, dikatakanyanya, harusnya sastra Jawa harus menyesuaikan dengan zamannya.”Campursari adalah bukti sastra Jawa sudah bisa diterima oleh masyarakat banyak,” pungkas Joko.
http://www.surabayapost.co.id/
Eksistensi sastra Jawa hanya bergantung pada sastrawannya. Minimnya media berbahasa Jawa mereka harus berjibaku menerbitkan karyanya sendiri.
Media berbahasa Jawa boleh dikatakan sangat minim. Di Surabaya media yang ada hanya dua, Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Itupun terbit hanya untuk kalangan tertentu yang berminat dengan bahasa Jawa. Di dua media ini, bisa dikatakan budaya Jawa, secara libih luas mampu disiarkan. Selain itu bila dibandingkan dengan sastra daerah lain, sastra Jawa masih memiliki tempat yang cukup menguntungkan. Hal ini disebabkan penutur bahasa Jawa memang masih terbilang cukup banyak.
Meski demikian bukan berarti praktisi sastra Jawa banyak bermunculan. Kenyataannya, tidak banyak sastrawan yang mau secara total berkarya demi kemajuan dan keberadaan sastra Jawa. Oleh karena itu, bisa dikatakan, sastra Jawa semakin terjepit di tengah banyaknya penutur bahasa Jawa.
Keterjepitan sastra Jawa tidak hanya didasarkan pada jumlah sastrawan yang sedikit, namun juga pada perkembangan wacana mengenai kesusasteraan Jawa yang hanya berkutat pada segelintir orang saja. Namun demikian, sastra Jawa punya cara sendiri untuk terus hidup. Salah satunya adalah berkarya.
Suparto Brata, seorang pengarang sastra Jawa sepakat bahwa kondisi sastra Jawa kini cukup memprihatinkan. Diakuinya, banyak sastrawan yang mengaku sastrawan Jawa, namun eksistensinya dalam membangun dan mempertahankan sastra Jawa malah harus dipertanyakan kembali.
Baginya, meski secara komersialitas tidak segemilang dengan karya-karyanya sastra Indonesia, namun dirinya masih tetap berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya di ranah sastra Jawa. ”Yang penting bagi saya adalah berkarya. Dengan berkarya maka sastra itu ada,” papar Suparto.
Selain karya, eksistensi budaya Jawa yang didalamnya juga ada sastra Jawa dan bahasa Jawa, harus ada perhatian dari pemerintah. Suparto mencontohkan, penetapan hari Bahasa Ibu oleh pemerintah ternyata juga tidak maksimal. Meski sudah ada perda yang mengatur untuk hal itu, namun pada kenyataanya pelaksanaan akan hal itu masih belum ada.
Selain itu, ditambahkan oleh Suparto, kongres juga diadakan sebagai salah satu jalan untuk menyatukan visi dan misi dalam mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Dikatakannya, kongres Bahasa Jawa yang diadakan juga seharusnya bisa menjadi jalan untuk mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Akan tetapi, diakuinya, kongres yang sudah berusia 15 tahun tersebut masih belum menghasilkan sesuatu yang konkret.”Malah menghabiskan dana bermilyar-milyar,” ujarnya.
Hal tersebut didukung oleh Bonari Nabonenar. Menurutnya akan lebih baik jika uang yang digunakan untuk membiayai kongres-kongres semacam itu, digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap komunitas dan elemen-elemen lain yang mendukung keberadaan bahasa Jawa tersebut.
Ditemui secara terpisah, Widodo Basuki, pengurit sastra Jawa, sependapat dengan Suparto Broto. Menurut wartawan Jaya Baya ini, sastra Jawa hanya bisa eksis karena perjuangan para sastrawan secara mandiri. ”Banyak sastrawan Jawa yang masih separuh hati untuk bergelut dengan budaya Jawa ini,” kata Widodo yang pernah meraih penghargaan Rancage dari Ayib Rosidi, tahun 2000.
Widodo menceritakan, selama ini dirinya, terus berusaha menerbitkan puisi-puisi Jawanya meski harus mendanai sendiri. Menurutnya ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Daripada mengeluh terus tidak adanya media massa yang menampung puisi Jawa, Widodo, berusaha mengumpulkan puisi-puisinya dengan cukup memfotokopi.
Mantan ketua komite sastra Dewan Kesenian Surabaya periode 1998-2003 ini juga pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan kupulan puisi jawanya Layang Saka Tlatah Wetan (1999). “Selama ini saya terus mencoba konsisten pada sastra Jawa,” tambahnya.
Tidak berbeda dengan Sri Setyowati atau biasa disapa Trinil, juga lebih aktif menerbitkan buku karya sastranya sendiri. Keterlibatannya dengan media massa dimulai tahun 1998. sejak tahun itu Trinil aktif menulis reportase untuk majalah Jaya Baya, Tabloid Bromo, Kidung, dan Penjebar Semangat. Selain menulis dengan menggunakan dialek Suroboyoan, Trinil juga menulis dengan gaya bahasa Mataraman (Jawa halus).
Keterlibatan Trinil pada dunia perpuisian memang belum lama. Tetapi beberapa puisinya sudah pernah terkumpul dalam Kabar Saka Bendulmrisi, suntingan Suharmono Kasiyun yang diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Sastra Campursari suntingan Bonari Nabonenar yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Timur.
Selain menulis puisi, Trinil juga menulis crita cekak (cerpen, red) yang dimuat di Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Trinil ternyata juga sudah menerbitkan buku cerita anak berjudul Kasih Sayang yang Tak Padam. Selain itu Trinil juga sudah menerbitkan novel bahasa Jawa, Sarunge Jagung.
Joko Prakoso, dosen Sekolah Tinggi Karawitan Wilwatikta (STKW), menekankan seharusnya sastra Jawa dipahami sebagai wilayah tersendiri yang terpisah dari wilayah lain. Hal ini disebabkan sastra Jawa memiliki pecinta dan peminat sendiri yang berbeda dengan sastra nasional atau sastra Indonesia.”Sastra Jawa tidak bisa dipertandingkan dengan sastra-sastra lain,” ujarnya.
Agar tidak terkesan kuno dan semakin ketinggalan zaman, dikatakanyanya, harusnya sastra Jawa harus menyesuaikan dengan zamannya.”Campursari adalah bukti sastra Jawa sudah bisa diterima oleh masyarakat banyak,” pungkas Joko.
Mem-Bali-kan Sastra Indonesia: Makna dan Masalahnya
I Nyoman Darma Putra
http://www.balipost.co.id/
Perkembangan sastra Bali modern (sastra yang ditulis dalam bahasa Bali dalam bentuk modern seperti puisi, cerpen dan novel) dalam lima tahun terakhir ini semarak sekali. Kesemarakannya tak hanya ditandai dengan munculnya karya-karya asli yang beberapa di antaranya sudah meraih hadiah sastra Rancage, tetapi juga muncul banyak karya terjemahan ke dalam bahasa Bali atas karya-karya sastra berbahasa Indonesia.
PUISI-PUISI karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono sudah muncul dalam versi bahasa Bali. Begitu juga cerpen-cerpen karya Mocthar Lubis, Budi Darma, Ajip Rosidi dan Umar Kayam. Novel-novel karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Panji Tisna juga sudah muncul dalam versi bahasa Bali. Sebagian karya terjemahan itu terbit dalam bentuk buku yang dicetak secara amat sederhana dan dijual di toko-toko buku, sebagian lainnya menghiasi halaman majalah sastra seperti Buratwangi dan Canangsari.
Usaha alih-bahasa ini dilakukan oleh sastrawan Bali modern yang sehari-hari juga banyak menulis karya asli dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Mereka adalah I Nyoman Manda, Made Sanggra, Windhu Sancaya, Raka Kusuma dan Komang Beratha. Di antara penerjemah itu, Nyoman Manda yang paling produktif. Dialah yang menerjemahkan ke dalam bahasa Bali antologi puisi “Deru Campur Debu”-nya Chairil Anwar, “Tirani” dan “Benteng”-nya Taufiq Ismail, “Sukreni Gadis Bali”-nya novel Panji Tisna, “Layar Terkembang”-nya STA, dan cerpen “Di Tengah Keluarga”-nya Ajip Rosidi, “Bawuk”-nya Umar Kayam dan “Gauhati”-nya Budi Darma.
Yang tak kalah produktifnya adalah Made Sanggra. Dia sudah menerjemahkan cerpen Umar Kayam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Terjemahan ini diterbitkan oleh Yayasan Obor (1999) dalam buku berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” yang berisi terjemahan cerpen tersebut dalam 14 bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Madura, Toraja, dan Bugis.
Made Sanggra juga menerjemahkan cerpen “Bromocorah”-nya Mocthar Lubis dan diterbitkan di Bali Post dan cerpen Nyoman Rasta Sindhu “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” — cerpen yang pernah terpilih sebagai cerpen terbaik majalah sastra Horison tahun 1968. Terjemahan Made Sanggra ini dimuat dalam antologi puisi dan cerpen Bali modern berjudul “Goak Mabunga Sandat” (Gagak Berbunga Sandat). Dalam antologi ini, Made Sanggra juga menerjemahkan sajak “Aku” Chairil Anwar.
Penerjemah lain, Raka Kusuma mambahasabalikan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan diterbitkan dalam antologi dwibahasa berjudul “Sunaran Bulan Tengah Lemeng” (Cahaya Bulan Tengah Malam) tahun 1999. Puisi dalam antologi ini diambil dari dua antologi Sapardi, yaitu “Hujan Bulan Juni” dan “Perahu Kertas”. Sementara itu, Komang Berata menerjemahkan sembilan puisi Chairil dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalang”, dimuat dalam majalah Buratwangi (edisi Januari-April 2002).
Daftar terjemahan di atas menunjukkan bahwa karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Bali semuanya hasil karya pengarang terkemuka, yang telah menjadi bagian kanon sastra Indonesia. Kerap dan banyaknya sajak-sajak Chairil muncul dalam bahasa Bali menunjukkan bahwa nama Chairil masih menduduki puncak popularitas di kalangan sastrawan Bali.
Bagian Integral
Usaha terjemahan karya sastra dari satu bahasa ke bahasa lain merupakan hal biasa dan bagian integral dari perkembangan sastra bersangkutan. Hal ini juga benar untuk perkembangan sastra-sastra daerah di Indonesia. George Quinn (1984) menunjukkan bahwa perkembangan sastra Jawa modern ditandai dengan terbitnya sejumlah novel terjemahan. Contohnya, “Robinson Grusu” (1881) terjemahan dari “Robinson Crusoe”, kisah-kisah “Sewu Setunggal Dalu” dari “Thousand and One Nights”, kisah Aladin, dan lain-lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam sastra Sunda pada pertengahan abad ke-19. Ajip Rosidi (1983) menyebutkan bahwa pengarang Sunda H. Muhammad Musa, selain menulis karya orisinal juga menyadur dongeng “La Fontaine” menjadi “Dongeng-dongeng Pieunteungeun” (dongeng-dongeng cermin hidup). Yang dijadikan sumber oleh Musa adalah “La Fontaine” versi Jawa yang ditulis C.F. Winters, seorang Belanda yang ahli bahasa Jawa. Karya terjemahan ini pertama-tama tentu memperkaya kosa sastra Jawa dan Sunda.
Dibandingkan sastra Sunda dan Jawa anyar, sastra Bali modern yang muncul awal 1910-an, bebas dari hadirnya karya terjemahan. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa cerpen-cerpen awal karya Made Pasek, Mas Nitisastro, Made Gelgel dan Wayan Jiwa, yang menandai lahirnya sastra Bali modern adalah karya-karya asli. Meski demikian, dalam perkembangan selanjutnya, sastra Bali modern juga menerima kontribusi sastra terjemahan.
Usaha menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali dimulai akhir 1960-an. Pelopor di bidang ini adalah penyair Ketut Suwidja yang menerjemahkan puisi “Wind” karya Boris Pasternak menjadi “Angin”, dimuat dalam harian Angkatan Bersendjata edisi Nusa Tenggara tahun 1968. Sesudah ini, karya terjemahan muncul sewaktu-waktu saja, sebelum akhirnya menjadi begitu semarak dalam lima tahun terakhir ini.
Gairah Kreativitas
Kegandrungan sastrawan Bali membahasabalikan sastra Indonesia bisa dilihat sebagai usaha untuk menampung gairah kreativitas. Nyoman Manda, misalnya, seperti dicantumkan dalam pengantar terjemahan “Deru Campur Debu” merasa sangat kagum pada sajak-sajak Chairil. Rasa kagum inilah yang mendorongnya untuk mengapresiasi karya Chairil dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Bali. Selain itu, Nyoman Manda ingin menguji kemampuan bahasa Bali untuk mengekspresikan gagasan-gagasan modern. Berdasarkan pengalamannya, bahasa Bali terasa miskin untuk menerjemahkan gagasan dalam karya sastra Indonesia, terutama untuk karya sastra yang tidak bertema budaya Bali. Penerjemahan sastra Indonesia ke dalam bahasa Bali juga penting dilihat dalam konteks perkembangan sastra Bali modern. Sejak awal kelahirannya, kehidupan sastra Bali modern bisa dikatakan bagai “kerakap tumbuh di batu” alias hidup segan mati tak mau. Usaha memajukan banyak ditempuh tahun 1970-am tetapi tidak bisa memberikan hasil menggembirakan. Terbatasnya penerbitan adalah salah satu kendala.
Namun, menyusul terbitnya dua majalah berbahasa Bali, Canang Sari dan Buratwangi tahun 1999, karya-karya yang siap terbit sangat terbatas. Redaktur kesulitan mencari naskah. Dalam konteks inilah karya menunjukkan manfaatnya. Raka Kusuma dan Komang Berata sering mempublikasikan karya terjemahan dalam majalah Buratwangi yang mereka kelola, termasuk sajak-sajak Chairil yang disediakan dua halaman penuh. Karya terjemahan tersebut dimuat berdampingan dengan karya asli penulis pemula sehingga bisa dipakai bahan perbandingan tentang contoh “modern” sajak yang baik. Di samping itu, bersamaan dengan karya asli, karya terjemahan bisa menjawab permintaan akan terbatasnya jumlah teks yang bisa dijadikan materi pengajaran oleh para pengajar bahasa dan sastra Bali (dari SD sampai perguruan tinggi). Di era otonomi daerah yang membuka peluang lebih luas untuk pemasukan muatan lokal, tersedianya karya sastra Bali modern (asli dan terjemahan) secara memadai jelas merupakan hal yang sangat ideal. Hal ini tak hanya benar untuk dunia pendidikan, tetapi juga untuk mendukung bangkitnya wacana identitas Bali.
Masalah Pem-Bali-an
Penerjemahan bukanlah proses yang gampang, apalagi untuk karya sastra. Kandungan budaya teks sumber selalu menjadi kendala dalam proses pemindahan ke dalam bahasa target. Makanya, sangat mudah menerima komentar Nyoman Manda ketika dia mengatakan bahwa jauh lebih mudah menerjemahkan ke dalam bahasa Bali novel “Sukreni Gadis Bali” dibandingkan novel “Layar Terkembang”. Ini terjadi karena novel pertama berlatar belakang budaya Bali.
Selain faktor kandungan budaya teks sumber, faktor yang juga menyulitkan penerjemahan ke dalam bahasa Bali adalah karena bahasa Bali memiliki tingkatan (sor-singgih). Ada ragam bahasa halus dan ada ragam bahasa biasa (kasar). Sajak “Aku” Chairil Anwar tidak tepat jika diterjemahkan dengan ragam bahasa “halus” dan juga tidak pas jika dituangkan ke dalam “bahasa kasar”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa halus, maka kata “aku” menjadi titiang, sedangkan dengan ragam-kasar menjadi icang. Kedua ragam bahasa Bali ini tidak mampu mengekspresikan karakter lugas dan penuh vitalitas sajak-sajak Chairil Anwar.
Kesulitan lain adalah karena bahasa Bali tidak mempunyai istilah untuk kata ganti orang kedua jamak (”kami” dan “kita”) dan kata ganti orang ketiga (mereka). Masalah ini misalnya dihadapi Made Sanggra ketika menerjemahkan cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Kalimat pertama cerpen ini yang berbunyi: “Mereka duduk bermalas-malasan di sofa”, diterjemahkan menjadi “Ipun sareng kaliha”, yang secara kata demi kata dalam bahasa Indonesia berarti “dia berdua”, bukan “mereka”. Kebetulan dalam konteks cerpen ini, kata “mereka” mengacu pada dua orang (Marno dan Jane). Penerjemahan ke dalam bahasa Bali akan selalu direpotkan oleh pencarian kata ganti. Agaknya kesulitan seperti itulah yang membuat Raka Kusuma ketika menerjemahkan sajak-sajak Sapardi, seperti, “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”, menghilangkan begitu saja kata ganti “kami”. Akibatnya makna sajak mengalami distorsi. Penciutan makna seperti itu merupakan hal lumrah dalam karya terjemahan.
Dalam kesulitan seperti di atas, penerjemah Komang Berata melakukan terobosan yang sangat berani ketika menerjemahkan sajak-sajak Cahiril Anwar dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalan”. Dia tak hanya mengganti kata ganti “aku” dengan padanan titiang (aku), tetapi juga dengan kata ganti lain seperti beli (kakak), sedangkan kata ganti “kau” diganti dengan kata Nyoman (nama awal orang Bali untuk anak ketiga). Sajak “Aku” yang judul dan bait pertamanya berbunyi: “aku / kalau sampai waktuku / kumau tak seorang ‘kan merayu / tidak juga kau” diterjemahkan menjadi: “yening teka pingenan beline / sinah beli ten wenten ane nungkulang / Ten masih Nyoman”.
Pemakaian padanan kata ganti beli dan Nyoman jelas mengubah isi sajak secara substantif. Dalam teks sumber, kata “aku” dan “kau” tidak memiliki acuan yang pasti. Kata “aku” bisa berarti “penyair” (Chairil) atau “pembaca”, sedangkan kata “kau” bisa berarti “pendengar”. Sajak “Aku” bisa dianggap sebagai dialog antara “penyair” dengan “pembaca”-nya. Dalam terjemahan Komang Berata dialog terjadi antara “seorang kakak” dengan adiknya yang bernama Nyoman. Komang Berata juga memasukkan subjek Nyoman dalam terjemahan sajak Chairil Anwar yang lain, yaitu “Kerawang Bekasi”. Baris yang berbunyi : “Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi” diterjemahkan menjadi “Tiang ngeraos tekening Nyoman nuju galang di petenge ane mungmung”. Kata ganti “-mu” dalam “padamu” diterjemahkan menjadi Nyoman. Kreativitas Komang Berata membuat sajak Chairil menjadi sangat terasa Bali. Bisa jadi, orang yang tidak membaca karya aslinya dan tidak mendapat informasi bahwa itu adalah karya terjemahan, akan menganggap karya terjemahan Komang Berata sebagai karya asli Bali!
Makanya, kalau mau, pembaca karya terjemahan, tak hanya terpaku memahami makna teks yang dihadapi tetapi juga mencermati makna “impor” yang dimasukkan dan makna “ekspor” yang dikeluarkan dalam proses terjemahan.
http://www.balipost.co.id/
Perkembangan sastra Bali modern (sastra yang ditulis dalam bahasa Bali dalam bentuk modern seperti puisi, cerpen dan novel) dalam lima tahun terakhir ini semarak sekali. Kesemarakannya tak hanya ditandai dengan munculnya karya-karya asli yang beberapa di antaranya sudah meraih hadiah sastra Rancage, tetapi juga muncul banyak karya terjemahan ke dalam bahasa Bali atas karya-karya sastra berbahasa Indonesia.
PUISI-PUISI karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono sudah muncul dalam versi bahasa Bali. Begitu juga cerpen-cerpen karya Mocthar Lubis, Budi Darma, Ajip Rosidi dan Umar Kayam. Novel-novel karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Panji Tisna juga sudah muncul dalam versi bahasa Bali. Sebagian karya terjemahan itu terbit dalam bentuk buku yang dicetak secara amat sederhana dan dijual di toko-toko buku, sebagian lainnya menghiasi halaman majalah sastra seperti Buratwangi dan Canangsari.
Usaha alih-bahasa ini dilakukan oleh sastrawan Bali modern yang sehari-hari juga banyak menulis karya asli dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Mereka adalah I Nyoman Manda, Made Sanggra, Windhu Sancaya, Raka Kusuma dan Komang Beratha. Di antara penerjemah itu, Nyoman Manda yang paling produktif. Dialah yang menerjemahkan ke dalam bahasa Bali antologi puisi “Deru Campur Debu”-nya Chairil Anwar, “Tirani” dan “Benteng”-nya Taufiq Ismail, “Sukreni Gadis Bali”-nya novel Panji Tisna, “Layar Terkembang”-nya STA, dan cerpen “Di Tengah Keluarga”-nya Ajip Rosidi, “Bawuk”-nya Umar Kayam dan “Gauhati”-nya Budi Darma.
Yang tak kalah produktifnya adalah Made Sanggra. Dia sudah menerjemahkan cerpen Umar Kayam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Terjemahan ini diterbitkan oleh Yayasan Obor (1999) dalam buku berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” yang berisi terjemahan cerpen tersebut dalam 14 bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Madura, Toraja, dan Bugis.
Made Sanggra juga menerjemahkan cerpen “Bromocorah”-nya Mocthar Lubis dan diterbitkan di Bali Post dan cerpen Nyoman Rasta Sindhu “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” — cerpen yang pernah terpilih sebagai cerpen terbaik majalah sastra Horison tahun 1968. Terjemahan Made Sanggra ini dimuat dalam antologi puisi dan cerpen Bali modern berjudul “Goak Mabunga Sandat” (Gagak Berbunga Sandat). Dalam antologi ini, Made Sanggra juga menerjemahkan sajak “Aku” Chairil Anwar.
Penerjemah lain, Raka Kusuma mambahasabalikan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan diterbitkan dalam antologi dwibahasa berjudul “Sunaran Bulan Tengah Lemeng” (Cahaya Bulan Tengah Malam) tahun 1999. Puisi dalam antologi ini diambil dari dua antologi Sapardi, yaitu “Hujan Bulan Juni” dan “Perahu Kertas”. Sementara itu, Komang Berata menerjemahkan sembilan puisi Chairil dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalang”, dimuat dalam majalah Buratwangi (edisi Januari-April 2002).
Daftar terjemahan di atas menunjukkan bahwa karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Bali semuanya hasil karya pengarang terkemuka, yang telah menjadi bagian kanon sastra Indonesia. Kerap dan banyaknya sajak-sajak Chairil muncul dalam bahasa Bali menunjukkan bahwa nama Chairil masih menduduki puncak popularitas di kalangan sastrawan Bali.
Bagian Integral
Usaha terjemahan karya sastra dari satu bahasa ke bahasa lain merupakan hal biasa dan bagian integral dari perkembangan sastra bersangkutan. Hal ini juga benar untuk perkembangan sastra-sastra daerah di Indonesia. George Quinn (1984) menunjukkan bahwa perkembangan sastra Jawa modern ditandai dengan terbitnya sejumlah novel terjemahan. Contohnya, “Robinson Grusu” (1881) terjemahan dari “Robinson Crusoe”, kisah-kisah “Sewu Setunggal Dalu” dari “Thousand and One Nights”, kisah Aladin, dan lain-lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam sastra Sunda pada pertengahan abad ke-19. Ajip Rosidi (1983) menyebutkan bahwa pengarang Sunda H. Muhammad Musa, selain menulis karya orisinal juga menyadur dongeng “La Fontaine” menjadi “Dongeng-dongeng Pieunteungeun” (dongeng-dongeng cermin hidup). Yang dijadikan sumber oleh Musa adalah “La Fontaine” versi Jawa yang ditulis C.F. Winters, seorang Belanda yang ahli bahasa Jawa. Karya terjemahan ini pertama-tama tentu memperkaya kosa sastra Jawa dan Sunda.
Dibandingkan sastra Sunda dan Jawa anyar, sastra Bali modern yang muncul awal 1910-an, bebas dari hadirnya karya terjemahan. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa cerpen-cerpen awal karya Made Pasek, Mas Nitisastro, Made Gelgel dan Wayan Jiwa, yang menandai lahirnya sastra Bali modern adalah karya-karya asli. Meski demikian, dalam perkembangan selanjutnya, sastra Bali modern juga menerima kontribusi sastra terjemahan.
Usaha menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali dimulai akhir 1960-an. Pelopor di bidang ini adalah penyair Ketut Suwidja yang menerjemahkan puisi “Wind” karya Boris Pasternak menjadi “Angin”, dimuat dalam harian Angkatan Bersendjata edisi Nusa Tenggara tahun 1968. Sesudah ini, karya terjemahan muncul sewaktu-waktu saja, sebelum akhirnya menjadi begitu semarak dalam lima tahun terakhir ini.
Gairah Kreativitas
Kegandrungan sastrawan Bali membahasabalikan sastra Indonesia bisa dilihat sebagai usaha untuk menampung gairah kreativitas. Nyoman Manda, misalnya, seperti dicantumkan dalam pengantar terjemahan “Deru Campur Debu” merasa sangat kagum pada sajak-sajak Chairil. Rasa kagum inilah yang mendorongnya untuk mengapresiasi karya Chairil dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Bali. Selain itu, Nyoman Manda ingin menguji kemampuan bahasa Bali untuk mengekspresikan gagasan-gagasan modern. Berdasarkan pengalamannya, bahasa Bali terasa miskin untuk menerjemahkan gagasan dalam karya sastra Indonesia, terutama untuk karya sastra yang tidak bertema budaya Bali. Penerjemahan sastra Indonesia ke dalam bahasa Bali juga penting dilihat dalam konteks perkembangan sastra Bali modern. Sejak awal kelahirannya, kehidupan sastra Bali modern bisa dikatakan bagai “kerakap tumbuh di batu” alias hidup segan mati tak mau. Usaha memajukan banyak ditempuh tahun 1970-am tetapi tidak bisa memberikan hasil menggembirakan. Terbatasnya penerbitan adalah salah satu kendala.
Namun, menyusul terbitnya dua majalah berbahasa Bali, Canang Sari dan Buratwangi tahun 1999, karya-karya yang siap terbit sangat terbatas. Redaktur kesulitan mencari naskah. Dalam konteks inilah karya menunjukkan manfaatnya. Raka Kusuma dan Komang Berata sering mempublikasikan karya terjemahan dalam majalah Buratwangi yang mereka kelola, termasuk sajak-sajak Chairil yang disediakan dua halaman penuh. Karya terjemahan tersebut dimuat berdampingan dengan karya asli penulis pemula sehingga bisa dipakai bahan perbandingan tentang contoh “modern” sajak yang baik. Di samping itu, bersamaan dengan karya asli, karya terjemahan bisa menjawab permintaan akan terbatasnya jumlah teks yang bisa dijadikan materi pengajaran oleh para pengajar bahasa dan sastra Bali (dari SD sampai perguruan tinggi). Di era otonomi daerah yang membuka peluang lebih luas untuk pemasukan muatan lokal, tersedianya karya sastra Bali modern (asli dan terjemahan) secara memadai jelas merupakan hal yang sangat ideal. Hal ini tak hanya benar untuk dunia pendidikan, tetapi juga untuk mendukung bangkitnya wacana identitas Bali.
Masalah Pem-Bali-an
Penerjemahan bukanlah proses yang gampang, apalagi untuk karya sastra. Kandungan budaya teks sumber selalu menjadi kendala dalam proses pemindahan ke dalam bahasa target. Makanya, sangat mudah menerima komentar Nyoman Manda ketika dia mengatakan bahwa jauh lebih mudah menerjemahkan ke dalam bahasa Bali novel “Sukreni Gadis Bali” dibandingkan novel “Layar Terkembang”. Ini terjadi karena novel pertama berlatar belakang budaya Bali.
Selain faktor kandungan budaya teks sumber, faktor yang juga menyulitkan penerjemahan ke dalam bahasa Bali adalah karena bahasa Bali memiliki tingkatan (sor-singgih). Ada ragam bahasa halus dan ada ragam bahasa biasa (kasar). Sajak “Aku” Chairil Anwar tidak tepat jika diterjemahkan dengan ragam bahasa “halus” dan juga tidak pas jika dituangkan ke dalam “bahasa kasar”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa halus, maka kata “aku” menjadi titiang, sedangkan dengan ragam-kasar menjadi icang. Kedua ragam bahasa Bali ini tidak mampu mengekspresikan karakter lugas dan penuh vitalitas sajak-sajak Chairil Anwar.
Kesulitan lain adalah karena bahasa Bali tidak mempunyai istilah untuk kata ganti orang kedua jamak (”kami” dan “kita”) dan kata ganti orang ketiga (mereka). Masalah ini misalnya dihadapi Made Sanggra ketika menerjemahkan cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Kalimat pertama cerpen ini yang berbunyi: “Mereka duduk bermalas-malasan di sofa”, diterjemahkan menjadi “Ipun sareng kaliha”, yang secara kata demi kata dalam bahasa Indonesia berarti “dia berdua”, bukan “mereka”. Kebetulan dalam konteks cerpen ini, kata “mereka” mengacu pada dua orang (Marno dan Jane). Penerjemahan ke dalam bahasa Bali akan selalu direpotkan oleh pencarian kata ganti. Agaknya kesulitan seperti itulah yang membuat Raka Kusuma ketika menerjemahkan sajak-sajak Sapardi, seperti, “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”, menghilangkan begitu saja kata ganti “kami”. Akibatnya makna sajak mengalami distorsi. Penciutan makna seperti itu merupakan hal lumrah dalam karya terjemahan.
Dalam kesulitan seperti di atas, penerjemah Komang Berata melakukan terobosan yang sangat berani ketika menerjemahkan sajak-sajak Cahiril Anwar dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalan”. Dia tak hanya mengganti kata ganti “aku” dengan padanan titiang (aku), tetapi juga dengan kata ganti lain seperti beli (kakak), sedangkan kata ganti “kau” diganti dengan kata Nyoman (nama awal orang Bali untuk anak ketiga). Sajak “Aku” yang judul dan bait pertamanya berbunyi: “aku / kalau sampai waktuku / kumau tak seorang ‘kan merayu / tidak juga kau” diterjemahkan menjadi: “yening teka pingenan beline / sinah beli ten wenten ane nungkulang / Ten masih Nyoman”.
Pemakaian padanan kata ganti beli dan Nyoman jelas mengubah isi sajak secara substantif. Dalam teks sumber, kata “aku” dan “kau” tidak memiliki acuan yang pasti. Kata “aku” bisa berarti “penyair” (Chairil) atau “pembaca”, sedangkan kata “kau” bisa berarti “pendengar”. Sajak “Aku” bisa dianggap sebagai dialog antara “penyair” dengan “pembaca”-nya. Dalam terjemahan Komang Berata dialog terjadi antara “seorang kakak” dengan adiknya yang bernama Nyoman. Komang Berata juga memasukkan subjek Nyoman dalam terjemahan sajak Chairil Anwar yang lain, yaitu “Kerawang Bekasi”. Baris yang berbunyi : “Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi” diterjemahkan menjadi “Tiang ngeraos tekening Nyoman nuju galang di petenge ane mungmung”. Kata ganti “-mu” dalam “padamu” diterjemahkan menjadi Nyoman. Kreativitas Komang Berata membuat sajak Chairil menjadi sangat terasa Bali. Bisa jadi, orang yang tidak membaca karya aslinya dan tidak mendapat informasi bahwa itu adalah karya terjemahan, akan menganggap karya terjemahan Komang Berata sebagai karya asli Bali!
Makanya, kalau mau, pembaca karya terjemahan, tak hanya terpaku memahami makna teks yang dihadapi tetapi juga mencermati makna “impor” yang dimasukkan dan makna “ekspor” yang dikeluarkan dalam proses terjemahan.
Gde Dharna, Kenekatan Sastra Bali
Putu Fajar Arcana
http://www2.kompas.com/
SAMPAI kini mungkin tak banyak yang tahu kalau penulis lagu daerah Bali berjudul Merah Putih bernama I Gde Dharna (69). Padahal hampir setiap anak Bali yang pernah mencicipi sekolahan pasti bisa menyanyikannya. Lagu yang dimaksudkan untuk membangkitkan heroisme para pejuang pada tahun 50-an itu, hingga kini sering ditembangkan dalam pementasan kesenian tradisi di Bali. Para anak muda juga suka mengumandangkan lagu itu di pos-pos keamanan lingkungan. Lagu ini secara resmi pernah diajarkan di sekolah-sekolah di Bali.
Seringkali hasil karya seseorang lebih dikenal daripada pengarangnya sendiri. Kenyataan ini pulalah yang dialami oleh Gde Dharna ketika namanya disebut sebagai salah satu penerima Hadiah Sastra “Rancage” tahun 2000. Khusus kepada para sastrawan Bali, hadiah ini mulai diberikan pada tahun 1998. Awalnya Hadiah Sastra “Rancage” sejak tahun 1989 diberikan kepada para sastrawan Sunda. Menyusul tahun 1994 kepada para sastrawan bahasa Jawa.
“Saya kaget. Baru tahu hari ini. Selama ini saya pikir tidak ada yang memperhatikan apa yang saya kerjakan,” ujar Gde Dharna, ketika ditemui akhir pekan lalu di Desa Sukasada, Buleleng (Bali). Namun, suami dari Ni Luh Telaga ini tak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Ia mengeluarkan beberapa buku karyanya dalam cetakan-cetakan sederhana.
“Saya sudah cari koran yang menyebut nama saya sebagai penerima “Rancage,” tetapi habis, ndak dapat,” ujarnya. Kebanggaan Dharna seperti mengalir pula pada gemericik air di selokan dekat rumahnya. Rumputan yang tersentuh air bergoyang riang sekali.
Tentu saja, bukan hanya karena lagu Merah Putih itu Gde Dharna pantas dihargai. Sebagai penulis lagu, Dharna telah menciptakan lebih dari 200 lagu sejak ia memimpin Orkes Keroncong Murai tahun 50-an. Selain lagu-lagu keroncong berbahasa daerah, ia juga menulis lagu seriosa, lagu dolanan, pop daerah, serta tembang-tembang untuk seni janger dan genjek. Sebagian besar lagu yang diciptakannya itu pernah memperoleh penghargaan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar saban tahun.
Sejak tahun 1970-an hingga 1990-an Dharna setia mengisi acara mendongeng di RRI Singaraja. Pensiunan pegawai Departemen Perdagangan di Singaraja ini tak pernah lelah mejalani laku kesenian. Bersama beberapa yuniornya seperti Putu Wijaya, Faisal Baraas, dan Made Taro, ia melakukan apresiasi sastra lewat radio.
Tahun 1955 saat Dharna menjadi guru swasta di Desa Busungbiu (Buleleng), ia mendengar ada lomba bintang radio di Denpasar.
“Saya penasaran ingin ikut lomba. Maka saya rela bersepeda gayung untuk ikut berlomba,” tutur lelaki bertubuh gempal itu. Singaraja-Denpasar yang berjarak 80 km dan harus mengayuh sepeda melintasi pegunungan, tak menjadi hambatan bagi Dharna. “Kebetulan saya mendapat juara II. Belakangan baru saya tahu lagu yang saya nyanyikan itu berjenis seriosa.”
***
DI tengah-tengah ketekunannya menggeluti dunia musik, Dharna juga menulis sastra. Kecintaan pada sastra bermula ketika ia menjadi pemenang pertama lomba puisi menyambut Hari Kartini se-Nusatenggara, tahun 1954.
“Waktu itu saya sudah SMA, tetapi masih pakai celana pendek. Maka ketika menerima hadiah dari Gubernur Nusra Sarimin, saya pinjam celana panjang dari seorang teman,” kata Dharna terkekeh. Walau hadiahnya hanya sebuah pulpen, ia menilainya sebagai luar biasa.
Akibat pengabdiannya yang “keras kepala” dan cenderung nekat kepada dunia seni, hidupnya jadi tak berketentuan. Ia pernah marah pada kemiskinan.
“Karena itulah anak-anak saya larang mendalami kesenian. Saya tak mau mereka melarat seperti saya. Seluruh alat musik saya jual,” katanya tersedak. Tiba-tiba penerima penghargaan seni Wija Kusuma dari Pemda Buleleng tahun 1981 ini menunduk. Ia terlihat menyesali apa yang pernah dilakukannya.
Penyesalan tiada tara itu, katanya, justru berbalik menjadi semangat untuk terus-menerus menggeluti kesenian, terutama musik, sastra, dan drama. Selain menciptakan lagu-lagu daerah untuk pelajaran di SD, hingga sekarang Dharna tetap menulis drama dan puisi berbahasa Bali. Buku terbarunya berupa kumpulan drama berbahasa daerah Bali berjudul Kobarang Apine (Kobarkan Api) diterbitkan Sanggar Buratwangi, Amlapura tahun 1999 lalu. Rencananya pada bulan April 2000 mendatang, Dharna akan menerbitkan buku berjudul Perang Bali. Buku ini berisi puisi-puisi berbahasa Bali yang menceritakan tentang perang yang dialami Bali di masa lalu.
Dharna memang seorang veteran pejuang. Di masa revolusi ia tergabung dalam Gerakan Rahasia Rakyat Indonesia. Sampai kini ia menjadi Sekretaris Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Buleleng.
***
DHARNA tak pernah berhenti. Ia melangkah terus meski jalanan makin terjal dan berliku. Sementara kondisi sekarang ini, katanya, masyarakat tak pernah menggubris bahasa dan sastra Bali Anyar (Bali Baru). Mereka bahkan menganggap orang-orang seperti Dharna hanya berkelangenan dengan masa lalu. Namun menulis sudah menjadi kebutuhannya sehari-hari. Masalahnya kemudian, kebutuhan publikasi. Tak banyak media atau penerbit yang sukarela menerbitkan tulisan-tulisan kesusastraan, apalagi sastra daerah.
Maka sering buku-bukunya diterbitkan dalam bentuk sederhana seperti stensilan. Tak jarang ia mengupayakan biayanya sendiri. Belum lagi persoalan, kalangan mana yang membaca hasil karyanya.
“Bagi saya merupakan kebanggaan luar biasa kalau hasil karya saya dibaca. Sejak dulu saya tidak tahu siapa yang membacanya,” ujar mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Buleleng ini.
Dharna menyatakan sangat prihatin terhadap perkembangan sastra dan bahasa daerah, khususnya Bali. Ia benar-benar tidak mengerti akan sikap generasi belakangan ini.
“Jangankan membaca, di rumah saja mereka tak mau menggunakan bahasa daerahnya,” kata Dharna.
Padahal, tambahnya, sastra dan bahasa daerah merupakan akar dari satu komunitas budaya. Jika akarnya tercerabut, niscaya sendi-sendi komunitas budaya ikut hancur. Kehancuran sebuah komunitas budaya, berarti pula penghilangan identitas. Tambahnya, “Bayangkan kalau kita kehilangan jati diri sebagai bangsa.”
Oleh karena itulah Dharna tidak hanya berharap kepada Pemda Bali, tetapi yayasan-yayasan harus lebih aktif memikirkan soal kelestarian budaya daerah.
Bagi Dharna, menulis sastra, menyanyi seriosa dan mengingat celana panjang pinjaman atau sepeda gayung, bu,kan semata romantisme. Bukan pula sekadar cerita kebanggaan di hadapan para cucunya. Ia justru telah menjadi semacam simbol kecintaan dan pengabdiannya pada akar budaya daerahnya sendiri.
http://www2.kompas.com/
SAMPAI kini mungkin tak banyak yang tahu kalau penulis lagu daerah Bali berjudul Merah Putih bernama I Gde Dharna (69). Padahal hampir setiap anak Bali yang pernah mencicipi sekolahan pasti bisa menyanyikannya. Lagu yang dimaksudkan untuk membangkitkan heroisme para pejuang pada tahun 50-an itu, hingga kini sering ditembangkan dalam pementasan kesenian tradisi di Bali. Para anak muda juga suka mengumandangkan lagu itu di pos-pos keamanan lingkungan. Lagu ini secara resmi pernah diajarkan di sekolah-sekolah di Bali.
Seringkali hasil karya seseorang lebih dikenal daripada pengarangnya sendiri. Kenyataan ini pulalah yang dialami oleh Gde Dharna ketika namanya disebut sebagai salah satu penerima Hadiah Sastra “Rancage” tahun 2000. Khusus kepada para sastrawan Bali, hadiah ini mulai diberikan pada tahun 1998. Awalnya Hadiah Sastra “Rancage” sejak tahun 1989 diberikan kepada para sastrawan Sunda. Menyusul tahun 1994 kepada para sastrawan bahasa Jawa.
“Saya kaget. Baru tahu hari ini. Selama ini saya pikir tidak ada yang memperhatikan apa yang saya kerjakan,” ujar Gde Dharna, ketika ditemui akhir pekan lalu di Desa Sukasada, Buleleng (Bali). Namun, suami dari Ni Luh Telaga ini tak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Ia mengeluarkan beberapa buku karyanya dalam cetakan-cetakan sederhana.
“Saya sudah cari koran yang menyebut nama saya sebagai penerima “Rancage,” tetapi habis, ndak dapat,” ujarnya. Kebanggaan Dharna seperti mengalir pula pada gemericik air di selokan dekat rumahnya. Rumputan yang tersentuh air bergoyang riang sekali.
Tentu saja, bukan hanya karena lagu Merah Putih itu Gde Dharna pantas dihargai. Sebagai penulis lagu, Dharna telah menciptakan lebih dari 200 lagu sejak ia memimpin Orkes Keroncong Murai tahun 50-an. Selain lagu-lagu keroncong berbahasa daerah, ia juga menulis lagu seriosa, lagu dolanan, pop daerah, serta tembang-tembang untuk seni janger dan genjek. Sebagian besar lagu yang diciptakannya itu pernah memperoleh penghargaan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar saban tahun.
Sejak tahun 1970-an hingga 1990-an Dharna setia mengisi acara mendongeng di RRI Singaraja. Pensiunan pegawai Departemen Perdagangan di Singaraja ini tak pernah lelah mejalani laku kesenian. Bersama beberapa yuniornya seperti Putu Wijaya, Faisal Baraas, dan Made Taro, ia melakukan apresiasi sastra lewat radio.
Tahun 1955 saat Dharna menjadi guru swasta di Desa Busungbiu (Buleleng), ia mendengar ada lomba bintang radio di Denpasar.
“Saya penasaran ingin ikut lomba. Maka saya rela bersepeda gayung untuk ikut berlomba,” tutur lelaki bertubuh gempal itu. Singaraja-Denpasar yang berjarak 80 km dan harus mengayuh sepeda melintasi pegunungan, tak menjadi hambatan bagi Dharna. “Kebetulan saya mendapat juara II. Belakangan baru saya tahu lagu yang saya nyanyikan itu berjenis seriosa.”
***
DI tengah-tengah ketekunannya menggeluti dunia musik, Dharna juga menulis sastra. Kecintaan pada sastra bermula ketika ia menjadi pemenang pertama lomba puisi menyambut Hari Kartini se-Nusatenggara, tahun 1954.
“Waktu itu saya sudah SMA, tetapi masih pakai celana pendek. Maka ketika menerima hadiah dari Gubernur Nusra Sarimin, saya pinjam celana panjang dari seorang teman,” kata Dharna terkekeh. Walau hadiahnya hanya sebuah pulpen, ia menilainya sebagai luar biasa.
Akibat pengabdiannya yang “keras kepala” dan cenderung nekat kepada dunia seni, hidupnya jadi tak berketentuan. Ia pernah marah pada kemiskinan.
“Karena itulah anak-anak saya larang mendalami kesenian. Saya tak mau mereka melarat seperti saya. Seluruh alat musik saya jual,” katanya tersedak. Tiba-tiba penerima penghargaan seni Wija Kusuma dari Pemda Buleleng tahun 1981 ini menunduk. Ia terlihat menyesali apa yang pernah dilakukannya.
Penyesalan tiada tara itu, katanya, justru berbalik menjadi semangat untuk terus-menerus menggeluti kesenian, terutama musik, sastra, dan drama. Selain menciptakan lagu-lagu daerah untuk pelajaran di SD, hingga sekarang Dharna tetap menulis drama dan puisi berbahasa Bali. Buku terbarunya berupa kumpulan drama berbahasa daerah Bali berjudul Kobarang Apine (Kobarkan Api) diterbitkan Sanggar Buratwangi, Amlapura tahun 1999 lalu. Rencananya pada bulan April 2000 mendatang, Dharna akan menerbitkan buku berjudul Perang Bali. Buku ini berisi puisi-puisi berbahasa Bali yang menceritakan tentang perang yang dialami Bali di masa lalu.
Dharna memang seorang veteran pejuang. Di masa revolusi ia tergabung dalam Gerakan Rahasia Rakyat Indonesia. Sampai kini ia menjadi Sekretaris Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Buleleng.
***
DHARNA tak pernah berhenti. Ia melangkah terus meski jalanan makin terjal dan berliku. Sementara kondisi sekarang ini, katanya, masyarakat tak pernah menggubris bahasa dan sastra Bali Anyar (Bali Baru). Mereka bahkan menganggap orang-orang seperti Dharna hanya berkelangenan dengan masa lalu. Namun menulis sudah menjadi kebutuhannya sehari-hari. Masalahnya kemudian, kebutuhan publikasi. Tak banyak media atau penerbit yang sukarela menerbitkan tulisan-tulisan kesusastraan, apalagi sastra daerah.
Maka sering buku-bukunya diterbitkan dalam bentuk sederhana seperti stensilan. Tak jarang ia mengupayakan biayanya sendiri. Belum lagi persoalan, kalangan mana yang membaca hasil karyanya.
“Bagi saya merupakan kebanggaan luar biasa kalau hasil karya saya dibaca. Sejak dulu saya tidak tahu siapa yang membacanya,” ujar mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Buleleng ini.
Dharna menyatakan sangat prihatin terhadap perkembangan sastra dan bahasa daerah, khususnya Bali. Ia benar-benar tidak mengerti akan sikap generasi belakangan ini.
“Jangankan membaca, di rumah saja mereka tak mau menggunakan bahasa daerahnya,” kata Dharna.
Padahal, tambahnya, sastra dan bahasa daerah merupakan akar dari satu komunitas budaya. Jika akarnya tercerabut, niscaya sendi-sendi komunitas budaya ikut hancur. Kehancuran sebuah komunitas budaya, berarti pula penghilangan identitas. Tambahnya, “Bayangkan kalau kita kehilangan jati diri sebagai bangsa.”
Oleh karena itulah Dharna tidak hanya berharap kepada Pemda Bali, tetapi yayasan-yayasan harus lebih aktif memikirkan soal kelestarian budaya daerah.
Bagi Dharna, menulis sastra, menyanyi seriosa dan mengingat celana panjang pinjaman atau sepeda gayung, bu,kan semata romantisme. Bukan pula sekadar cerita kebanggaan di hadapan para cucunya. Ia justru telah menjadi semacam simbol kecintaan dan pengabdiannya pada akar budaya daerahnya sendiri.
Laman Penyair Gila: Perpaduan Teknologi dan Keindahan Kata*
Mahmud Jauhari Ali
http://sastra-indonesia.com/
Pernahkah Anda mengunjungi sebuah laman berisi sejumlah pengetahuan tentang jagad alam sastra, khusunya puisi dengan rangkaian diksi yang menawan hati kita untuk membacanya? Mungkin di antara kita pernah menemukan laman-laman yang saya maksud itu. Kemudian kita unduh bagian-bagian penting dari laman tersebut untuk keperluan hidup kita. Bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra misalnya, tentulah untuk keperluan tugas-tugas kuliah dan penyusunan skirpsi atau hanya untuk memuaskan batin guna memperkaya jiwa mereka. Mungkin pula sebagian dari kita tidak pernah menemukan laman-laman tersebut. Bahkan, mungkin masih ada saudara-saudara kita yang sama sekali tidak mengenal internet atau dunia maya sehingga mereka tidak pernah pula mengunjungi satu laman pun. Hal terakhir tadi dapat kita maklumi karena teknologi internet belum merata di Indonesia. Bisa juga karena mereka enggan bergelut dalam dunia yang satu itu. Ya, mereka lebih suka membaca buku-buku karangan pakar-pakar ternama di bidang mereka masing-masing daripada menjelajah dunia lewat internet. Namun, saya yakin sebagian orang yang bergelut dalam dunia kata, terutama puisi pernah mendapatkan pencerahan dari laman yang berisi seperti yang saya sebutkan di atas.
Masih berkenaan dengan dunia maya dan dunia sastra, suatu ketika saya pernah berada di sebuah warung internet. Niat saya dari rumah adalah mengunjungi sebuah laman seseorang yang menurut cerita di masyarakat Kalimantan Selatan, seseorang itu telah sangat jatuh cinta dengan teknologi yang satu ini dan dunia kepenyairan. Jujur, saat itu saya penasaran seperti apa wujud laman tersebut. Setelah saya tekan tombol masuk, betapa terkejutnya saya melihat sebuah tampilan yang menggiurkan pandangan saya untuk tidak lepas darinya. Ya, sebuah laman cantik dan memesona telah ada di hadapan saya. Ini adalah salah satu tanda-tanda kebesaran-Nya. Laman ini berjudul Penyair Nusantara dengan desain grafis yang disusun rapi oleh pengelolanya. Setelah saya telusuri lebih jauh, ternyata masih ada tiga buah laman utama lagi milik seseorang yang notabene adalah seorang penyair kenamaan asal Kalimantan Selatan bernama Arsyad Indradi.
Di alam sastra Kalimantan Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, Arsyad Indradi dikenal sebagai ”penyair gila” karena kegilaannya dalam dunia sastra. Sebuah kegilaan yang menurut saya merupakan bentuk kepedulian seorang sastrawan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai usaha merekatkan hubungan antarsastrawan di tanah air. Sempat pada tahun 2005 ia menjual tanahnya hanya untuk membuat buku antologi penyair nusantara yang memuat 142 penyair dengan 426 puisi yang hasilnya ia bagikan gratis di seluruh nusantara. Lima belas juta rupiah habis untuk pembuatan buku tersebut. Bahkan, dia pulalah sendiri yang menyusun, membuat kover, hingga mengedarkan buku-buku tersebut. Lebih daripada itu, saya menangkap ada niat suci dalam diri penyair yang satu ini melalui dunia kepenyairannya, yakni untuk kemanusiaan dan keagungan Tuhan.
Adapun keempat laman utama milik lelaki kelahiran Barabai, Kalimantan Selatan tanggal 31 Desember 1949 ini adalah sebagai berikut.
Penyair Nusantara, merupakan salah satu judul laman dari sekian banyak laman yang ada di Indonesia yang beralamat di www.penyairnusantara.blogspot.com. Dengan anak judul Hidup Bukanlah Sewaktu Mati dan Mati Sewaktu Hidup, laman ini menjadi tampil lebih mantap dan menawan dari segi judul. Saat kita mulai memasuki laman ini, kita disapa oleh perancang sekaligus pemiliknya dengan kata-kata, yakni selamat datang, salam sastra, ucapan terima kasih atas kunjungan kita, dan selamat bergabung di laman ini. Jika kita memasuki lebih dalam lagi, nuansa kepenyairan dalam laman ini semakin terasa.
Isi yang paling menonjol dalam Penyair Nusantara: Hidup Bukanlah Sewaktu Mati dan Mati Sewaktu Hidup ini adalah biodata para penyair nusantara dan karya-karya mereka di sejumlah besar provinsi yang ada di Indonesia. Terdapat dua puluh sembilan provinsi dimuat dalam daftar menu penyair nusantara ini oleh Arsyad Indradi. Di setiap menu provinsi yang dimuat tersebut, kita dapat menemukan biodata para penyair dan karya-karya mereka di provinsi yang bersangkutan. Karena itu, silakan Anda masuki setiap menu tersebut. Hal ini dapat kita maklumi karena memang pada dasarnya Penyair Nusantara dibuat oleh Arsyad Indradi untuk menampung dan menampilkan biodata dan karya-karya para penyair se-Indonesia dalam bentuk pendokumentasian dan juga sebagai ajang untuk merekatkan tali-temali persaudaraan penyair se-Nusantara.
Tentunya ajang tersebut bukan hanya khusus untuk kalangan penyair, tetapi juga untuk siapa saja yang berminat terhadap dunia kepenyairan. Dengan demikian, Penyair Nusantara juga dapat merekatkan tali-temali persaudaraan seluruh masyarakat nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mengunjungi Penyair Nusantara, kita dengan mudah mengetahui nama-nama penyair di Indonesia dan karya-karya mereka. Hal ini tentulah sangat membantu para peneliti, pelajar, mahasiswa, penggiat sastra, dan para penikmat sastra. Selain itu, dalam Penyair Nusantara kita juga dapat melihat foto-foto kegiatan sastra dan gambar sampul depan buku-buku antologi sastra. Foto-foto itu seperti foto-foto beberapa penyair nasional dalam Seminar Sastra Internasional di TIM Jakarta 14—19 Juli 2007, saat berlangsungnya Aruh Sastra IV di Amuntai 14—16 Desember 2007, dan saat Acara Kongres KSI 1 Di Kudus 19 - 21 Januari 2008. Beberapa gambar sampul depan buku antologi sastra itu, yakni Antologi Penyair Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan, antologi puisi Narasi Musafir Gila, antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Romansa Setangkai Bunga, dan antologi puisi Bahasa Banjar KALALATU.
Penyair Kalimantan Selatan, merupakan sebuah laman tersendiri di luar laman Penyair Nusantara yang memuat biodata lengkap para penyair di setiap kabupaten dan kotamadya di Kalimantan Selatan beserta karya-karya mereka. Kita dapat menemukan laman ini di alamat www.penyair-kalsel.blogspot.com. Jika Anda menginginkan pengetahuan berkenaan dengan data-data sastrawan Kalimantan Selatan dan karya-karya mereka, buka saja laman yang satu ini. Selain itu, dalam laman ini juga memuat hal-hal tentang papandiran (obrolan bahasa Banjar), balalah (Berjalan), ramak rampu ( beragam,aneka), album antologi puisi bahasa Banjar Kalalatu, album 142 Penyair Menuju Bulan, album antologi puisi Musafir Gila, album antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, album puisi-puisi cinta Romansa Setangkai Bunga, berita-berita, esai-artikel, dan foto kegiatan sastra.
Sastra Banjar, merupakan laman tersendiri di luar dua laman di atas yang memuat sastra daerah Banjar. Laman Sastra Banjar antara lain memuat sastra Banjar dalam esai, kamus bahasa Banjar kuala, mantra Banjar, polemik sastra Banjar, aruh sastra, sastra daerah Banjar, khazanah makna bahasa Banjar, dan tata bahasa Banjar.
Arsyad Indradi, laman yang satu ini merupakan laman yang menyagkut hal ikhwal tentang Arsyad Indradi dan karya-karyanya. Daftar Muatan Isi Arsyad Indradi antara lain adalah biodata Arsyad Indradi, antologi puisi Anggur Duka, antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Narasi Musafir Gila, antologi puisi Romansa Setangkai Bunga, dan antologi puisi Kalalatu.
Apa yang dapat kita tangkap dari keempat laman utama penyair gila ini? Ada dua hal yang paling menonjol, yakni memanfaatkan laman untuk kemajuan dunia sastra di Kalsel dan menunjukkan bahwa puisi bukanlah hasil dari kegiatan melamun atau menghayal yang sia-sia belaka.
Arsyad Indradi benar-benar berhasil memanfaatkan laman di dunia maya dalam memublikasikan pengetahuan sastra, khususnya puisi kepada masyarakat luas. Dengan laman-laman tersebut, Arsyad Indradi bukan hanya bersastra dalam lingkup Kalimantan Selatan, tetapi ke seluruh penjuru kota dan desa di dunia. Pemublikasian seperti itu akan dapat memajukan dunia sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya. Mengapa demikian? Karena dengan pemublikasian tersebut, masyarakat di Kalimantan Selatan dan provinsi lain akan mendapatkan pengetahuan sastra sehingga mereka mampu mengapresiasi, menilai, bahkan membuat puisi sendiri. Selain itu, dengan pemublikasian tersebut, orang-orang dari luar negara kita akan mengetahui keberadaan dan mutu sastra di negara ini.
Laman penyair gila yang secara garis besar berjumlah empat buah ini, masing-masingnya merupakan laman induk. Masing-masing laman induk tersebut memiliki sublaman yang jumlahnya tidaklah sedikit. Dalam laman Penyair Nusantara memiliki sublaman bejumlah 31 buah, laman Penyair Kalimantan Selatan memiliki sublaman sebanyak 24 buah, laman Sastra Banjar memiliki sublaman sebanyak 16 buah, dan 10 buah sublaman dari laman Arsyad Indradi. Jika kita jumlahkan semuanya laman tersebut, jumlahnya menjadi 85 buah laman. Jumlah ini membuktikan bahwa Arsyad Indradi tidak sedang bermain-main dalam sastra, melainkan sangat serius dalam hal itu sehingga ia harus menggunakan banyak laman. Dalam hal ini, ia sungguh-sungguh ingin menyampaikan sebuah kenyataan bahwa penyair bukanlah seorang pelamun atau penghayal. Ia ingin menyadarkan masyarakat luas bahwa penyair adalah insan-insan yang jujur menyuarakan jiwa mereka untuk kemanusiaan dan keagungan Tuhan. Oleh karena itulah, puisi bukan semata goresan pena biasa. Puisi pantas dibaca, diapresiasi, diperbincangkan di bangku-bangku kuliah, dianalisis, hingga dilestarikan dalam bentuk perbuatannya di alam perkembangan jagad sastra mana pun. Keberadaan laman-laman Arsyad Indradi tersebut, pada kenyataannya telah meramaikan alam sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya dalam perkembangan sastra mutakhir saat ini.
Menutup tulisan yang teramat singkat dan sederhana ini, marilah kita pandang puisi dan genre sastra lainnya sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup kita. Janganlah kita memandang karya sastra termasuk puisi dengan sebelah mata karena dengan sebelah mata saja, kita tidak akan dapat menggapai makna puisi terdalam yang dikandung oleh kata-kata yang indah dan memesona. Marilah pula kita manfaatkan fasilitas internet, khususnya laman untuk memajukan kehidupan sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia. Bagaimana menurut Anda?
*) Dimuat dalam Buku Kumpulan Esai “Risalah Penyair Gila”
http://sastra-indonesia.com/
Pernahkah Anda mengunjungi sebuah laman berisi sejumlah pengetahuan tentang jagad alam sastra, khusunya puisi dengan rangkaian diksi yang menawan hati kita untuk membacanya? Mungkin di antara kita pernah menemukan laman-laman yang saya maksud itu. Kemudian kita unduh bagian-bagian penting dari laman tersebut untuk keperluan hidup kita. Bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra misalnya, tentulah untuk keperluan tugas-tugas kuliah dan penyusunan skirpsi atau hanya untuk memuaskan batin guna memperkaya jiwa mereka. Mungkin pula sebagian dari kita tidak pernah menemukan laman-laman tersebut. Bahkan, mungkin masih ada saudara-saudara kita yang sama sekali tidak mengenal internet atau dunia maya sehingga mereka tidak pernah pula mengunjungi satu laman pun. Hal terakhir tadi dapat kita maklumi karena teknologi internet belum merata di Indonesia. Bisa juga karena mereka enggan bergelut dalam dunia yang satu itu. Ya, mereka lebih suka membaca buku-buku karangan pakar-pakar ternama di bidang mereka masing-masing daripada menjelajah dunia lewat internet. Namun, saya yakin sebagian orang yang bergelut dalam dunia kata, terutama puisi pernah mendapatkan pencerahan dari laman yang berisi seperti yang saya sebutkan di atas.
Masih berkenaan dengan dunia maya dan dunia sastra, suatu ketika saya pernah berada di sebuah warung internet. Niat saya dari rumah adalah mengunjungi sebuah laman seseorang yang menurut cerita di masyarakat Kalimantan Selatan, seseorang itu telah sangat jatuh cinta dengan teknologi yang satu ini dan dunia kepenyairan. Jujur, saat itu saya penasaran seperti apa wujud laman tersebut. Setelah saya tekan tombol masuk, betapa terkejutnya saya melihat sebuah tampilan yang menggiurkan pandangan saya untuk tidak lepas darinya. Ya, sebuah laman cantik dan memesona telah ada di hadapan saya. Ini adalah salah satu tanda-tanda kebesaran-Nya. Laman ini berjudul Penyair Nusantara dengan desain grafis yang disusun rapi oleh pengelolanya. Setelah saya telusuri lebih jauh, ternyata masih ada tiga buah laman utama lagi milik seseorang yang notabene adalah seorang penyair kenamaan asal Kalimantan Selatan bernama Arsyad Indradi.
Di alam sastra Kalimantan Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, Arsyad Indradi dikenal sebagai ”penyair gila” karena kegilaannya dalam dunia sastra. Sebuah kegilaan yang menurut saya merupakan bentuk kepedulian seorang sastrawan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai usaha merekatkan hubungan antarsastrawan di tanah air. Sempat pada tahun 2005 ia menjual tanahnya hanya untuk membuat buku antologi penyair nusantara yang memuat 142 penyair dengan 426 puisi yang hasilnya ia bagikan gratis di seluruh nusantara. Lima belas juta rupiah habis untuk pembuatan buku tersebut. Bahkan, dia pulalah sendiri yang menyusun, membuat kover, hingga mengedarkan buku-buku tersebut. Lebih daripada itu, saya menangkap ada niat suci dalam diri penyair yang satu ini melalui dunia kepenyairannya, yakni untuk kemanusiaan dan keagungan Tuhan.
Adapun keempat laman utama milik lelaki kelahiran Barabai, Kalimantan Selatan tanggal 31 Desember 1949 ini adalah sebagai berikut.
Penyair Nusantara, merupakan salah satu judul laman dari sekian banyak laman yang ada di Indonesia yang beralamat di www.penyairnusantara.blogspot.com. Dengan anak judul Hidup Bukanlah Sewaktu Mati dan Mati Sewaktu Hidup, laman ini menjadi tampil lebih mantap dan menawan dari segi judul. Saat kita mulai memasuki laman ini, kita disapa oleh perancang sekaligus pemiliknya dengan kata-kata, yakni selamat datang, salam sastra, ucapan terima kasih atas kunjungan kita, dan selamat bergabung di laman ini. Jika kita memasuki lebih dalam lagi, nuansa kepenyairan dalam laman ini semakin terasa.
Isi yang paling menonjol dalam Penyair Nusantara: Hidup Bukanlah Sewaktu Mati dan Mati Sewaktu Hidup ini adalah biodata para penyair nusantara dan karya-karya mereka di sejumlah besar provinsi yang ada di Indonesia. Terdapat dua puluh sembilan provinsi dimuat dalam daftar menu penyair nusantara ini oleh Arsyad Indradi. Di setiap menu provinsi yang dimuat tersebut, kita dapat menemukan biodata para penyair dan karya-karya mereka di provinsi yang bersangkutan. Karena itu, silakan Anda masuki setiap menu tersebut. Hal ini dapat kita maklumi karena memang pada dasarnya Penyair Nusantara dibuat oleh Arsyad Indradi untuk menampung dan menampilkan biodata dan karya-karya para penyair se-Indonesia dalam bentuk pendokumentasian dan juga sebagai ajang untuk merekatkan tali-temali persaudaraan penyair se-Nusantara.
Tentunya ajang tersebut bukan hanya khusus untuk kalangan penyair, tetapi juga untuk siapa saja yang berminat terhadap dunia kepenyairan. Dengan demikian, Penyair Nusantara juga dapat merekatkan tali-temali persaudaraan seluruh masyarakat nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mengunjungi Penyair Nusantara, kita dengan mudah mengetahui nama-nama penyair di Indonesia dan karya-karya mereka. Hal ini tentulah sangat membantu para peneliti, pelajar, mahasiswa, penggiat sastra, dan para penikmat sastra. Selain itu, dalam Penyair Nusantara kita juga dapat melihat foto-foto kegiatan sastra dan gambar sampul depan buku-buku antologi sastra. Foto-foto itu seperti foto-foto beberapa penyair nasional dalam Seminar Sastra Internasional di TIM Jakarta 14—19 Juli 2007, saat berlangsungnya Aruh Sastra IV di Amuntai 14—16 Desember 2007, dan saat Acara Kongres KSI 1 Di Kudus 19 - 21 Januari 2008. Beberapa gambar sampul depan buku antologi sastra itu, yakni Antologi Penyair Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan, antologi puisi Narasi Musafir Gila, antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Romansa Setangkai Bunga, dan antologi puisi Bahasa Banjar KALALATU.
Penyair Kalimantan Selatan, merupakan sebuah laman tersendiri di luar laman Penyair Nusantara yang memuat biodata lengkap para penyair di setiap kabupaten dan kotamadya di Kalimantan Selatan beserta karya-karya mereka. Kita dapat menemukan laman ini di alamat www.penyair-kalsel.blogspot.com. Jika Anda menginginkan pengetahuan berkenaan dengan data-data sastrawan Kalimantan Selatan dan karya-karya mereka, buka saja laman yang satu ini. Selain itu, dalam laman ini juga memuat hal-hal tentang papandiran (obrolan bahasa Banjar), balalah (Berjalan), ramak rampu ( beragam,aneka), album antologi puisi bahasa Banjar Kalalatu, album 142 Penyair Menuju Bulan, album antologi puisi Musafir Gila, album antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, album puisi-puisi cinta Romansa Setangkai Bunga, berita-berita, esai-artikel, dan foto kegiatan sastra.
Sastra Banjar, merupakan laman tersendiri di luar dua laman di atas yang memuat sastra daerah Banjar. Laman Sastra Banjar antara lain memuat sastra Banjar dalam esai, kamus bahasa Banjar kuala, mantra Banjar, polemik sastra Banjar, aruh sastra, sastra daerah Banjar, khazanah makna bahasa Banjar, dan tata bahasa Banjar.
Arsyad Indradi, laman yang satu ini merupakan laman yang menyagkut hal ikhwal tentang Arsyad Indradi dan karya-karyanya. Daftar Muatan Isi Arsyad Indradi antara lain adalah biodata Arsyad Indradi, antologi puisi Anggur Duka, antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Narasi Musafir Gila, antologi puisi Romansa Setangkai Bunga, dan antologi puisi Kalalatu.
Apa yang dapat kita tangkap dari keempat laman utama penyair gila ini? Ada dua hal yang paling menonjol, yakni memanfaatkan laman untuk kemajuan dunia sastra di Kalsel dan menunjukkan bahwa puisi bukanlah hasil dari kegiatan melamun atau menghayal yang sia-sia belaka.
Arsyad Indradi benar-benar berhasil memanfaatkan laman di dunia maya dalam memublikasikan pengetahuan sastra, khususnya puisi kepada masyarakat luas. Dengan laman-laman tersebut, Arsyad Indradi bukan hanya bersastra dalam lingkup Kalimantan Selatan, tetapi ke seluruh penjuru kota dan desa di dunia. Pemublikasian seperti itu akan dapat memajukan dunia sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya. Mengapa demikian? Karena dengan pemublikasian tersebut, masyarakat di Kalimantan Selatan dan provinsi lain akan mendapatkan pengetahuan sastra sehingga mereka mampu mengapresiasi, menilai, bahkan membuat puisi sendiri. Selain itu, dengan pemublikasian tersebut, orang-orang dari luar negara kita akan mengetahui keberadaan dan mutu sastra di negara ini.
Laman penyair gila yang secara garis besar berjumlah empat buah ini, masing-masingnya merupakan laman induk. Masing-masing laman induk tersebut memiliki sublaman yang jumlahnya tidaklah sedikit. Dalam laman Penyair Nusantara memiliki sublaman bejumlah 31 buah, laman Penyair Kalimantan Selatan memiliki sublaman sebanyak 24 buah, laman Sastra Banjar memiliki sublaman sebanyak 16 buah, dan 10 buah sublaman dari laman Arsyad Indradi. Jika kita jumlahkan semuanya laman tersebut, jumlahnya menjadi 85 buah laman. Jumlah ini membuktikan bahwa Arsyad Indradi tidak sedang bermain-main dalam sastra, melainkan sangat serius dalam hal itu sehingga ia harus menggunakan banyak laman. Dalam hal ini, ia sungguh-sungguh ingin menyampaikan sebuah kenyataan bahwa penyair bukanlah seorang pelamun atau penghayal. Ia ingin menyadarkan masyarakat luas bahwa penyair adalah insan-insan yang jujur menyuarakan jiwa mereka untuk kemanusiaan dan keagungan Tuhan. Oleh karena itulah, puisi bukan semata goresan pena biasa. Puisi pantas dibaca, diapresiasi, diperbincangkan di bangku-bangku kuliah, dianalisis, hingga dilestarikan dalam bentuk perbuatannya di alam perkembangan jagad sastra mana pun. Keberadaan laman-laman Arsyad Indradi tersebut, pada kenyataannya telah meramaikan alam sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya dalam perkembangan sastra mutakhir saat ini.
Menutup tulisan yang teramat singkat dan sederhana ini, marilah kita pandang puisi dan genre sastra lainnya sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup kita. Janganlah kita memandang karya sastra termasuk puisi dengan sebelah mata karena dengan sebelah mata saja, kita tidak akan dapat menggapai makna puisi terdalam yang dikandung oleh kata-kata yang indah dan memesona. Marilah pula kita manfaatkan fasilitas internet, khususnya laman untuk memajukan kehidupan sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia. Bagaimana menurut Anda?
*) Dimuat dalam Buku Kumpulan Esai “Risalah Penyair Gila”
Menghimpun Sastrawan Bali, Mungkinkah?
I Nyoman Tingkat
http://www.balipost.com/
Perhimpunan sastrawan Bali tampaknya mendesak direalisasikan karena memang penting dan perlu. Penting untuk menjaga gawang budaya Bali yang sudah banyak kemasukan bola nyasar lewat tembakan spekulasi jarak jauh “pemain asing”. Perlu untuk semakin mengairahkan semangat berapresiasi dalam rangka memperhalus budi dan mencerdaskan atau mencerahkan masyarakat Bali. Namun, menghimpun sastrawan Bali dalam satu wadah, mungkinkah?
BALI pantas berbangga karena memiliki komunitas sastrawan yang terpencar di setiap kabupaten dan Kodya. Namun, sejauh ini, para sastrawan itu berjalan sendiri-sendiri, tak terhimpun dalam satu wadah. Di Amlapura misalnya, terbit majalah Buratwangi yang terkesan “Karangasem sentris”. Di Gianyar berdiri Pondok Tebawutu dikomandoi Made Sanggra bersama I Nyoman Manda, di Sempidi Badung berdiri Sanggar Sangupati diemban Putu Gede Suata. Yang menarik dari semua itu, penerbitan karya sastranya sangat sederhana dan bersahaja. Selain itu, kemunculan mereka justru didorong oleh penghargaan dari luar, seperti hadiah Rancage dari Ajip Rosidi. Kondisi itu mestinya membuat Pemda Bali introspeksi diri, yang pejabatnya selalu mendengungkan keluhuran budaya Bali yang tak bisa dilepaskan dari sastra yang melandasinya. Kebiasaan mengumbar pernyataan manis di kalangan elite seyogyanya diimbangi dengan perhatian membangkitkan kinerja berdasarkan teks-teks sastra. Kemudian memberikan motivasi kepada pengarang untuk selalu berkreativitas melahirkan karya-karya bermutu. Untuk mewujudkan itu, maka suntikan dana dari Pemda mutlak diperlukan. Lebih-lebih dengan semakin maraknya sastra Bali modern yang muncul dengan idealisme penuh kesederhanaan.
Kebersahajaan sastra Bali modern dapat diamati dari majalah berbahasa Bali yang terbit dengan tampilan ala kadarnya, mulai dari cover depan, ilustrasi, kualitas cetakan, kualitas kertas, sampai dengan kesan ketergesa-gesaan penerbit dalam proses percetakan sehingga kesalahan teknis yang tidak terhindarkan. Semua masalah itu dapat diatasi kalau ketersediaan dana mencukupi karena penerbitan buku atau majalah sastra (dan buku pada umumnya) tidak cukup dengan modal idealisme.
Penerbitan demikian melibatkan banyak pihak — dari pengarang, disainer kulit, ilustrator, editor, karyawan percetakan, sampai distributor — yang sudah pasti tidak gratis. Mereka perlu makan untuk berkarya dengan kualitas prima. Karena itu, mereka mesti diberikan suntikan dana untuk tetap bisa eksis. Di sinilah sesungguhnya peran Pemda sebagai fasilitator dengan mengembalikan sebagian PAD untuk membina dan mengembangkan sastra Bali demi tetap ajegnya Bali.
Untuk mendapatkan kucuran dana dari Pemda Bali, alangkah baiknya para sastrawan di Bali menghimpun diri dalam satu wadah. Perhimpunan sastrawan Bali seperti mengemuka dalam acara “Temu Sastrawan se-Bali” yang digelar pada 1 Juli 2003 di Balai Bahasa Denpasar.
Ada sejumlah keuntungan bila perhimpunan sastrawan Bali terwujud. Pertama, komunitas sastrawan di masing-masing kabupaten/kota di Bali dapat dipetakan. Dari pemetaan itu, memungkinkan muncul rasa jengah di kalangan sastrawan untuk bersaing secara sehat melahirkan karya bermutu. Karya-karya itu lantas dipublikasikan secara bergandengan tangan dalam sebuah majalah sebagaimana majalah Horison mendokumentasikan karya sastra Indonesia dari berbagai sastrawan di Indonesia. Jika ini bisa terwujud, para sastrawan Bali bisa berkiprah mengunjungi para siswa di sekolah untuk memberikan pelatuk dalam apresiasi sastra seperti dilakukan awak Horison yang dikomandoi Taufiq Ismail. Kedua, memperkuat posisi tawar sastrawan baik di bidang hukum maupun dalam birokrasi seperti diusulkan Tusthi Eddy. Hukum dan birokrasi yang seenaknya menjerat sastrawan karena karya-karyanya dinilai menyesatkan dan mengganggu keamanan dan ketertiban sehingga dibreidel seperti dilakukan Orde Baru terhadap karya-karya Pramudya bisa dicegah atau paling tidak bisa diantisipasi oleh perhimpunan sastrawan. Dengan demikian, suasana kondusif dalam berkreativitas bisa diwujudkan dalam kemerdekaan berkarya.
Ketiga, melalui perhimpunan sastrawan se Bali juga memudahkan komunikasi insan sastra di daerah dengan di pusat. Sinergisitas sastrawan Bali dan sastrawan Indonesia dijalin dalam kepentingan yang sama, sama-sama memajukan kebudayaan melalui olah intelektual dan olah imajinasi sehingga upaya “memberagamkan” (meminjam istilah Gus Martin) karya dalam taman sastra Nusantara terwujud dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Warna-warni bunga di taman sastra Nusantara ini diharapkan mempercerah kekeruhan sehingga konsep “degdeg ajeg” bukan sekadar bualan pemanis bibir. Walaupun demikian pentingnya perhimpunan sastrawan Bali — sebutlah organisasi sejenis yang pernah muncul semisal Hipmi, Lesiba, dan Sanggar Minum Kopi — untuk dihidupkan kembali, para sastrawan tampaknya enggan menghimpun diri sebagaimana tulisan dan ulasan Nuryana Asmaudi (Bali Post, 6/7). Pada “Temu Sastrawan se-Bali”, 1 Juli 2003 di Balai Bahasa Denpasar, tak satu pun sastrawan yang hadir memberikan respon terhadap gagasan membangun komunitas sastrawan, kecuali pemakalah (Tusthi Eddy) dan beberapa pengamat. Apakah keengganan itu dilandasi pengalaman pahit, tidak mau terikat, atau ingin merdeka? Entahlah.
Yang jelas, perhimpunan sastrawan Bali tampaknya mendesak direalisasikan karena memang penting dan perlu. Penting untuk menjaga gawang budaya Bali yang sudah banyak kemasukan bola nyasar lewat tembakan spekulasi jarak jauh “pemain asing” (baca: penulis-penulis luar Bali). Perlu untuk semakin mengairahkan semangat berapresiasi dalam rangka memperhalus budi dan mencerdaskan atau mencerahkan masyarakat Bali.
http://www.balipost.com/
Perhimpunan sastrawan Bali tampaknya mendesak direalisasikan karena memang penting dan perlu. Penting untuk menjaga gawang budaya Bali yang sudah banyak kemasukan bola nyasar lewat tembakan spekulasi jarak jauh “pemain asing”. Perlu untuk semakin mengairahkan semangat berapresiasi dalam rangka memperhalus budi dan mencerdaskan atau mencerahkan masyarakat Bali. Namun, menghimpun sastrawan Bali dalam satu wadah, mungkinkah?
BALI pantas berbangga karena memiliki komunitas sastrawan yang terpencar di setiap kabupaten dan Kodya. Namun, sejauh ini, para sastrawan itu berjalan sendiri-sendiri, tak terhimpun dalam satu wadah. Di Amlapura misalnya, terbit majalah Buratwangi yang terkesan “Karangasem sentris”. Di Gianyar berdiri Pondok Tebawutu dikomandoi Made Sanggra bersama I Nyoman Manda, di Sempidi Badung berdiri Sanggar Sangupati diemban Putu Gede Suata. Yang menarik dari semua itu, penerbitan karya sastranya sangat sederhana dan bersahaja. Selain itu, kemunculan mereka justru didorong oleh penghargaan dari luar, seperti hadiah Rancage dari Ajip Rosidi. Kondisi itu mestinya membuat Pemda Bali introspeksi diri, yang pejabatnya selalu mendengungkan keluhuran budaya Bali yang tak bisa dilepaskan dari sastra yang melandasinya. Kebiasaan mengumbar pernyataan manis di kalangan elite seyogyanya diimbangi dengan perhatian membangkitkan kinerja berdasarkan teks-teks sastra. Kemudian memberikan motivasi kepada pengarang untuk selalu berkreativitas melahirkan karya-karya bermutu. Untuk mewujudkan itu, maka suntikan dana dari Pemda mutlak diperlukan. Lebih-lebih dengan semakin maraknya sastra Bali modern yang muncul dengan idealisme penuh kesederhanaan.
Kebersahajaan sastra Bali modern dapat diamati dari majalah berbahasa Bali yang terbit dengan tampilan ala kadarnya, mulai dari cover depan, ilustrasi, kualitas cetakan, kualitas kertas, sampai dengan kesan ketergesa-gesaan penerbit dalam proses percetakan sehingga kesalahan teknis yang tidak terhindarkan. Semua masalah itu dapat diatasi kalau ketersediaan dana mencukupi karena penerbitan buku atau majalah sastra (dan buku pada umumnya) tidak cukup dengan modal idealisme.
Penerbitan demikian melibatkan banyak pihak — dari pengarang, disainer kulit, ilustrator, editor, karyawan percetakan, sampai distributor — yang sudah pasti tidak gratis. Mereka perlu makan untuk berkarya dengan kualitas prima. Karena itu, mereka mesti diberikan suntikan dana untuk tetap bisa eksis. Di sinilah sesungguhnya peran Pemda sebagai fasilitator dengan mengembalikan sebagian PAD untuk membina dan mengembangkan sastra Bali demi tetap ajegnya Bali.
Untuk mendapatkan kucuran dana dari Pemda Bali, alangkah baiknya para sastrawan di Bali menghimpun diri dalam satu wadah. Perhimpunan sastrawan Bali seperti mengemuka dalam acara “Temu Sastrawan se-Bali” yang digelar pada 1 Juli 2003 di Balai Bahasa Denpasar.
Ada sejumlah keuntungan bila perhimpunan sastrawan Bali terwujud. Pertama, komunitas sastrawan di masing-masing kabupaten/kota di Bali dapat dipetakan. Dari pemetaan itu, memungkinkan muncul rasa jengah di kalangan sastrawan untuk bersaing secara sehat melahirkan karya bermutu. Karya-karya itu lantas dipublikasikan secara bergandengan tangan dalam sebuah majalah sebagaimana majalah Horison mendokumentasikan karya sastra Indonesia dari berbagai sastrawan di Indonesia. Jika ini bisa terwujud, para sastrawan Bali bisa berkiprah mengunjungi para siswa di sekolah untuk memberikan pelatuk dalam apresiasi sastra seperti dilakukan awak Horison yang dikomandoi Taufiq Ismail. Kedua, memperkuat posisi tawar sastrawan baik di bidang hukum maupun dalam birokrasi seperti diusulkan Tusthi Eddy. Hukum dan birokrasi yang seenaknya menjerat sastrawan karena karya-karyanya dinilai menyesatkan dan mengganggu keamanan dan ketertiban sehingga dibreidel seperti dilakukan Orde Baru terhadap karya-karya Pramudya bisa dicegah atau paling tidak bisa diantisipasi oleh perhimpunan sastrawan. Dengan demikian, suasana kondusif dalam berkreativitas bisa diwujudkan dalam kemerdekaan berkarya.
Ketiga, melalui perhimpunan sastrawan se Bali juga memudahkan komunikasi insan sastra di daerah dengan di pusat. Sinergisitas sastrawan Bali dan sastrawan Indonesia dijalin dalam kepentingan yang sama, sama-sama memajukan kebudayaan melalui olah intelektual dan olah imajinasi sehingga upaya “memberagamkan” (meminjam istilah Gus Martin) karya dalam taman sastra Nusantara terwujud dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Warna-warni bunga di taman sastra Nusantara ini diharapkan mempercerah kekeruhan sehingga konsep “degdeg ajeg” bukan sekadar bualan pemanis bibir. Walaupun demikian pentingnya perhimpunan sastrawan Bali — sebutlah organisasi sejenis yang pernah muncul semisal Hipmi, Lesiba, dan Sanggar Minum Kopi — untuk dihidupkan kembali, para sastrawan tampaknya enggan menghimpun diri sebagaimana tulisan dan ulasan Nuryana Asmaudi (Bali Post, 6/7). Pada “Temu Sastrawan se-Bali”, 1 Juli 2003 di Balai Bahasa Denpasar, tak satu pun sastrawan yang hadir memberikan respon terhadap gagasan membangun komunitas sastrawan, kecuali pemakalah (Tusthi Eddy) dan beberapa pengamat. Apakah keengganan itu dilandasi pengalaman pahit, tidak mau terikat, atau ingin merdeka? Entahlah.
Yang jelas, perhimpunan sastrawan Bali tampaknya mendesak direalisasikan karena memang penting dan perlu. Penting untuk menjaga gawang budaya Bali yang sudah banyak kemasukan bola nyasar lewat tembakan spekulasi jarak jauh “pemain asing” (baca: penulis-penulis luar Bali). Perlu untuk semakin mengairahkan semangat berapresiasi dalam rangka memperhalus budi dan mencerdaskan atau mencerahkan masyarakat Bali.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar