Leon Agusta
http://www.infoanda.com/
Inilah kami. Kami ada dan mengada di Negeri Pantun, Kota Gurindam. Di negeri kami telah lahir Raja Ali Haji, pendekar gurindam yang melegenda. Juga, Raja Mantara, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Suaranya serak nyaring menggelegar di panggung-panggung para penyair dunia dan nusantara.
Kami juga punya Raja Pantun, Tengku Nasyaruddin S Effendy, terkenal sebagai Tenas Effendy, yang telah menulis sekitar 65 buku tentang bahasa, seni dan budaya serta sejarah Melayu, 45 naskah ceramah dan diskusi. Ia Doktor Honorus Causa Universitas Kebangsaan Malaysia.
Kami juga punya Ratu Pantun, Hj Suryatati A Manan, walikota Tanjungpinang. Pemimpin yang menaburkan cinta terhadap pantun, pusat pesona dan semangat hidupnya. Anak-anak muda berada dalam rangkum pelukannya penuh kebanggaan.
Kami masih punya banyak nama, para pakar dan pencipta pantun. Karya mereka adalah buah dari pohon budaya kami yang bernama Bahasa Melayu — bahasa yang kini menjadi karunia peradaban bangsa Indonesia.
Begitulah, kurang lebih, yang tertangkap dari Festival Pantun Serumpun, 25-29 April 2008, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) atas dukungan pemerintah Kota Tanjungpinang. Oleh sang walikota, Tanjungpinang pun dideklarasikan sebagai Negeri Pantun.
Tak kurang dari peserta Malaysia dan Brunei Darussalam pun ikut berpartisipasi. Ada pula opera pantun yang disutradarai Asrizal Nur, dan pantun majelis yang menampilkan Deputi I Menpora Sahyan Asmara, beberapa walikota serta Dubes Malaysia. Ini merupakan festival pantun pertama dengan partisipasi yang sedemikian luas.
Bicara tentang budaya Melayu akan selalu disusul dengan kata serumpun: Melayu Serumpun. Ini menunjukkan kawasan budaya Melayu begitu luas. Bukan sebatas kepulauan Riau. Tetapi, juga warga Minangkabau, Jambi, Palembang, Lampung, Deli Serdang, Malaysia, Brunei Darussalam, Kalimantan dan bagian selatan Thailand.
Bahkan, lebih luas lagi sampai beberapa kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja dan Vietnam. Untuk mencakup semua maka disebut Serumpun Melayu. Dalam peta politik pemerintahan masa kini simpul-simpull keserumpunan itu sama sekali tidak terlihat. Diabaikan.
Budaya Melayu memperlihatkan keragaman sekaligus kekhasannya masing-masing. Ada masyarakat matrilineal Minangkabau, yang tradisi pantunnya juga kuat, dan punya tari serampang dua belas Melayu Deli, dan zapin. Ada juga Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang sangat dibanggakan.
Ketika kita hendak mencari sebuah ikon yang dapat dianggap merepresentasikan ruh kebudayaan Melayu, boleh jadi kita akan sampai kepada pantun (Maman S Mahayana, 2008). Suatu hal yang cukup terpercaya, mengingat kenyataan pantun tersebar di seluruh kawasan negeri Melayu Serantau.
Masyarakat Melayu zaman dulu tidak meninggalkan jejak sejarah yang memadai untuk dijadikan rujukan. Bila ada yang bertanya sejak kapan budaya pantun lahir dan tumbuh dalam budaya Melayu, pasti tidak ditemukan jawaban. Kecuali jawaban: pantun sudah ada sejak nenek moyang kita.
Menurut Hoesein Djajadiningrat, pantun sudah menarik perhatian para peneliti Barat sejak tahun 1688 (Poejangga Baroe, No 6, Th 1, November 1933). Artinya, pantun sudah terkenal sejak sebelum itu. Setidaknya ada 20 tulisan yang dibahasnya dan dia berhasil menunjukkan adanya kecenderungan yang keliru dalam pemahaman pantun karena ukuran yang dipakai tidak lain dari persajakan Barat.
Beberapa penulis lain juga menunjukkan pandangan yang kurang lebih sama. Mereka menolak anggapan Barat bahwa pantun tidak lebih dari hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan).
Ahli sastra (pantun), Hasan Junus, makin menekankan bahwa usaha untuk memahami pantun mestinya berdasarkan pemikiran, ukuran dan sudut pandang pantun itu sendiri, tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melahirkannya.
Sejak 1688, saat buku Studies on Malay Pantun karya Francois-Rene Daillie hingga saat ini sudah lahir satu deretan panjang buku yang merupakan hasil studi para peneliti asing dan dari kawasan Melayu tentang pantun. Ini menunjukkan, bahwa pesona pantun kian meluas, khususnya di kalangan peneliti bukan Melayu.
Pantun menjadi ikon, menurut Maman S Mahayana, karena pantun tidak terikat oleh batasan tempat, usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Pantun juga dapat digunakan di sembarang tempat, waktu dan suasana. Seorang pejabat negara dalam pidato resminya atau seorang khatib selagi berkhotbah elok saja menyelipkan pantun di dalamnya.
Dalam pengertian umum pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat. Biasa digunakan dalam fokslore yang bersifat lisan sebagaimana terlihat dalam dendang yang diiringi berbagai alat musik seperti salung dan rebab di Minanghkabau atau gendang dan kecapi serta berbagai alat musik tradisional Melayu lainnya.
Pantun juga digunakan dalam upacara adat atau dalam berbagai dialog dengan ciri masing-masing, seperti pantun percintaan, pantun nasehat, pantun bercanda tau pantun jenaka (lelucon), dan pantun teka-teki.
Pantun juga digunakan untuk menyampikan pesan-pesan sosial secara sederhna seperti Keluarga Berencana, modernisasasi secara sekilas. Tidak mendalam. Terakhir sekali, pantun bahkan juga dimamfaatkan untuk kampanye pemilihan kepala daerah.
Hal itu menunjukkan bahwa pantun memang merupakan satu bentuk seni sastra rakyat yang bukan saja tekstual tetapi juga kontekstual, dan fleksibel, hingga selalu mampu mengikuti perkembangan zaman dan menghibur:
Pengamat Barat cenderung mengatakan dua baris awal dari pantun (sampiran) sebagai nonsens semata. Sementara dalam budaya Melayu sampiran itu menyimpan kekuatan estetik bahkan juga kerifan dan keterampilan dalam berbahasa dan berkomunikasi.
Para petinggi adat di Minangkabau, misalnya, beranggapan bahwa sampiran merupakan bahasa cerdik pandai atau cendekiawan, sementar isi adalah bahasa untuk orang kebanyakan. Penciptaan yang sesungguhnya berlangsung waktu sampiran dibuat. Sementara isi hanya mengikuti pola sampiran dengan muatan yang disesuaikan. Kata-kata pada sampiran sangat kaya dengan tanda-tanda budaya, flora dan fauna yang merupakan bagian kehidupan masyarakat.
Dalam artikel Revitalisasi Tradisi Perpantun (Negeri Pantun, 2008), Ahmadun Yosi Herfanda melihat kuatnya semangat kebangkitan budaya Melayu saat ini karena masyarakat Melayu memiliki daya resistensi yang cukup tinggi terhadap ancaman budaya global. Kesadaranan ini pulalah yang menghidupkan proses revitalisasi tradisi dimaksud.
Spirit kultural masyarakat Melayu tampaknya sedang mengalami pencerahan dan dengan lantang menyatakan jati dirinya di hadapan sejarah zaman ini.
*) Penyair dan pengamat sastra.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 04 Mei 2009
Ajip Rosidi, Mendunia Berkat Sastra Sunda
Ajip Rosidi
Pewawancara: Burhanuddin Bella, M Syakir
http://www.infoanda.com/
Bahasa daerah membuatnya prihatin. Ketika merasa tidak ada lagi yang memerhatikan bahasa daerah, Ajip Rosidi menilai inilah saatnya bertindak. Lebih dari 30 tahun, pria kelahiran Jatiwangi pada 31 Januari 1938 ini memperjuangkan nasib bahasa daerah. Hingga akhirnya dia tiba di satu titik. ”Saya lebih baik melaksanakan apa yang bisa,” ujarnya. Ajip berpikir tentang sebuah hadiah sastra. Sayangnya, ide itu tidak bersambut.
Menteri pendidikan dan kebudayaan saat itu terkesan tidak terlalu serius menanggapi pentingnya pemberian hadiah untuk insan sastra. ”Hadiah sastra yang diberikan setiap tahun oleh menteri PDK yang berturut-turut empat kali di zaman (Menteri PDK) Mashuri. Lantas berhenti, kemudian ada lagi. Sampai sekarang juga kadang-kadang diberikan, tapi tidak tiap tahun.” Kenyataan inilah yang memacu Ajip memberikan hadiah Rancage. Bahkan, meski untuk itu, Ajip harus merogoh kocek sendiri.
Inilah hadiah untuk orang-orang yang peduli pada sastra –terutama sastra Sunda. Menurut Ajip, di tahun pertama, hadiah tersebut diberikan pada pengarang yang menerbitkan karyanya. ”Tahun kedua saya berikan hadiah untuk orang yang menunjukkan jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastra Sunda. Jadi, tiap tahun ada dua hadiah. Satu untuk karya, satu untuk yang berjasa, masing-masing Rp 1 juta.”
Langkah Ajip mendapat dukungan. Beberapa orang temannya tertarik pula urun dana. Kini, setelah berselang 17 tahun dari Rancage pertama, Ajip berencana melebarkan sayap. Sukses merambah Jawa dan Bali, dia pun terpikir untuk merangkul seluruh kesastraan daerah di Nusantara.
Pada Burhanuddin Bella dan M Syakir, ayah enam anak ini berkisah tentang kendala mengembangkan Rancage (kosa kata bahasa Sunda yang artinya kreatif), sastra daerah, dan beragam keinginannya.
Penghargaan Rancage mulanya hanya untuk sastra Sunda. Kenapa berkembang ke Jawa dan Bali?
Saya menganggap persoalan sastra daerah di tiap daerah sama. Tidak diperhatikan oleh pemerintah, oleh pusat tidak, oleh pemda kurang. Tidak strategislah. Di sekolah juga, pelajaran bahasa selalu menjadi masalah. Sekarang, misalnya, Jawa Tengah menetapkan bahwa dari SD sampai SMA harus mengajarkan bahasa daerah. Itu ada keputusan gubernur. Tapi, orang-orang mengatakan, ini tidak disukai oleh murid. Ya, kalau mau tanya murid, banyak pelajaran yang tidak disukai. Itu kelihatan sekali dari orang-orang yang mau menolak.
Sepanjang pengamatan Anda, daerah mana saja yang tidak peduli dengan bahasa daerahnya?
Yang saya tahu, Pemda Jateng dan Jatim itu menyambut Kurikulum 2004. Kurikulum itu menetapkan dulu bahasa daerah dalam muatan lokal (mulok), sekarang kedudukannya sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Artinya, pengakuan bahasa daerah paling tidak sama pentingnya dengan bahasa asing. Dalam kurikulum yang lama tidak. Status pelajaran bahasa dalam kurikulum, itu termasuk yang penting. Kalau mulok, itu tambahan. Jadi, statusnya rendah. Anehnya, Dinas Pendidikan Jawa Barat tampaknya belum melihal hal itu, sehingga dalam Kongres Bahasa Sunda tahun lalu masih ada tuntutan supaya bahasa Sunda diajarkan di SMA. Padahal dalam kurikulum sudah ada. Jadi, aneh. Mereka tidak mempelajari kurikulum atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kurikulum.
Apa yang mendorong Anda sangat peduli dengan bahasa daerah?
Karena tidak diperhatikan. Dalam UU jelas, pemerintah wajib mengembangkan kebudayaan, dan bahasa daerah bagian dari kebudayaan. Diakui dalam UUD. Jadi, selama ini pemerintah tidak pernah melaksanakan UU. Itu yang saya katakan dari dulu dan tidak didengar juga sampai sekarang.
Setelah Jawa dan Bali, ada rencana Rancage dikembangkan untuk seluruh Indonesia?
Ini ada persoalan. Pertama, sampai sekarang belum kelihatan bahasa daerah lain yang menerbitkan karya modern berbentuk buku. Sebab kalau hanya dimuat dalam majalah saja, susah buat saya untuk mengikutinya. Kalau hanya cerita lama ditulis kembali dalam bahasa daerah, itu ada juga. Tapi, susah kalau begitu. Saya ingin karya yang modern, yang asli. Itu boleh dikatakan tidak ada. Kedua, kalau bertambah lagi jumlah yang dikasih hadiah, itu buat Rancage menjadi beban lagi, kan. Harus ada anggaran tambahan. Sekarang ini saja sudah pusing. Hadiahnya hanya Rp 30 juta atau Rp 35 juta, tapi untuk juri, untuk acara penyerahan, mendatangkan pemenang, dan lain-lainnya itu hampir Rp 100 juta. Yayasan Rancage tidak punya dana abadi. Tapi, selalu saja ada pada saat-saat terakhir.
Anda sastrawan yang boleh dikata sudah mendunia. Kenapa ada justru lebih tertarik menelaah sastra daerah?
Itu masalahnya, saya sendiri merasa bahwa saya mulai terjun dan tertarik ke dunia sastra oleh sastra Sunda. Saya jadi besar karena sastra Sunda. Saya lihat, ini kok yang dulu membesarkan saya tidak diperhatikan orang. Jadi, saya konsen itu. Kemudian saya mempelajari soal kehidupan bahasa-bahasa di dunia, tentang pentingnya bahasa ibu.
Seberapa penting bahasa ibu?
Saya perhatikan pentingnya bahasa ibu sebagai pengantar dalam pendidikan. Waktu 1972 saya diundang ke Amerika, saya pergi ke Texas, negara bagian yang paling selatan. Di sana, banyak orang berbahasa Spanyol. Di situ pernah ada masalah, anak-anak keturunan Spanyol ini di kelasnya mundur. Diselidiki, ternyata karena mereka harus berbahasa Inggris. Jadi, di situ ditetapkan kemudian bahwa anak mereka belajar dengan bahasa pengantar bahasa Spanyol. Hasil penelitian, ternyata anak-anak lebih mudah memahami kalau dengan bahasa ibunya. Waktu saya pulang ke Indonesia, saya melihat juga masalah itu di sini. Tahun 1974 diadakan seminar tentang politik bahasa nasional, saya menemukan hal itu. Seorang pemakalah mengatakan, bahasa daerah merupakan bom waktu yang menghancurkan Indonesia. Bukan saya saja yang marah. Saya bilang, menetapkan bahasa pengantar untuk bahasa daerah –waktu itu sampai kelas III– harus diteliti lagi. Sebab menurut konsep saya, harusnya di daerah-daerah tertentu, bahasa pengantar di sekolah dengan bahasa daerah tersebut sampai SMA. Kalau perlu mengadakan universitas dengan bahasa itu.
Suatu ketika dia diundang oleh Japan Foundation dan diminta tinggal di sana selama 1 tahun sebagai fellow. Namun, Ajip hanya bersedia selama enam bulan dan tinggal di Kyoto. Di negeri matahari terbit itu, dia pernah juga mengajar di beberapa universitas lain. Ketika itulah dia didekati oleh Osaka Gaidai (universitas bahasa asing Osaka) untuk menjadi pengajar karena pengajar sebelumnya pensiun. ”Mereka cari gantinya dan minta saya. Saya bilang, saya di Jakarta punya pekerjaan. Saya carikan orang lain. Saya sebut beberapa nama, tapi ‘Kita ingin Pak Ajip’. Terus ada kawan-kawan dan orang tua saya menganjurkan, sudahlah kamu lebih baik di sana.”
Namun, ada pertimbangan lain. Lantaran sempat berembus isu, Ajip bakal menjadi menteri. ”Benar atau tidaknya, tapi adanya isu itu menjadi salah satu faktor saya memilih mengajar di Jepang.” Selama 22 tahun mengajar di Jepang, Ajip tetap memerhatikan sastra daerah, khususnya Sastra Sunda. ”Memberikan hadiah Rancage juga di sana. Sebagai pegawai pemerintah Jepang, saya mendapat gaji yang cukup.”
Anda mendirikan Rancage dari dana sendiri?
Saat itu 1989, ketika saya di Jepang. Saya melihat, anak-anak muda menulis dalam bahasa daerah lebih susah daripada dalam bahasa Indonesia. Toh, ada juga yang menulis dalam bahasa daerah. Tidak hanya Sunda, Jawa juga begitu. Tulisan mereka dimuat di majalah bahasa daerah. Honorarium yang mereka dapat jauh lebih kecil daripada menulis dalam bahasa Indonesia. Padahal, mereka mudah menulis dalam bahasa Indonesia. Itu yang mengharukan saya. Kok, mereka mau juga. Sampai sekarang masih ada anak muda yang menulis dalam bahasa daerah. Ketika itu saya tidak mendirikan yayasan. Pikiran saya hanya ingin memberikan apresiasi kepada pengarang-pengarang berbahasa Sunda. Niat itu dari 1988, dilaksanakan 1989. Saya ketika itu menyediakan uang Rp 1 juta. Waktu itu cukup besarlah. Buat saya, tidak berat mengeluarkan Rp 1 juta untuk hadiah. Itu pun mula-mula orang pesimistis. Tapi, setelah 5 tahun, karena konsisten diberikan, akhirnya menjadi perhatian orang-orang.
Selama 22 tahun di Jepang, bagaimana bisa Anda tetap memerhatikan sastra daerah?
Itu soal mengatur waktu saja. Tidak hanya sastra, politik juga. Selama di sana, saya banyak menulis surat kepada kawan-kawan yang ada di Indonesia dan luar Indonesia tentang berbagai soal. Kira-kira saya menulis 500 surat tiap tahun. Isinya macam-macam. Ada dalam bahasa Sunda ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sebagian surat-surat dalam bahasa Sunda yang ditujukan kepada Pak Syafrudin, Pak Ali Sadikin, Pak Endang Saefudin, ZA Muttaqin, tidak hanya persoalan bahasa dan sastra, tapi soal politik, soal bangsa. Pandangan-pandangan saya tentang umat Islam, tentang Soeharto.
Ada pengalaman menarik waktu mengajar di sana?
Saya mengajarkan kebudayaan Indonesia. Tapi, ini saya pakai untuk memperkenalkan Islam dengan alasan, kalau mau mengenal budaya Indonesia, harus mengenal Islam. Sebab Islam agama mayoritas penduduk. Suatu waktu, ada seorang mahasiswa bertanya, `’Boleh nggak saya masuk Islam?” Saya bilang boleh saja, tapi lebih baik belajar dulu. Sebab kalau kamu masuk Islam, berhenti Budha. `’Kok berhenti? Agama Islam bagus, agama Budha bagus?” Dianya berpikir begitu.
Anda pernah membuat ensiklopedia Sunda. Apa yang mendasari?
Saya menjadi sadar bahwa orang-orang Sunda sudah banyak tidak mengenal budayanya sendiri. Mereka tidak punya referensi. Proses penghilangan bentuk-bentuk budaya ini kan berlangsung terus. Jadi, saya merasa perlu membentuk suatu ensiklopedia untuk menjadi referensi. Tapi, kan saya juga tidak mengetahui semua hal, jadi saya harus membaca semua bahan. Sampai sekarang itu menjadi ensiklopedia etnis satu-satunya, kan. Sebetulnya, Jawa dan Bali kesempatannya lebih mudah, karena tentang Jawa dan Bali sudah banyak buku-bukunya. Kalau Sunda ini, saya mencari sendiri, referensi saya sedikit sekali. Itu diakui oleh Taufik Abdullah juga. Sedikit sekali sarjana asing yang punya perhatian pada kebudayaan Sunda. Ada, tapi sedikit sekali, dibandingkan dengan Jawa. Dibandingkan dengan Mentawai saja, kalah. Jadi, saya harus mencari, sehingga seorang kebangsaan Prancis bilang, ini ensiklopedia pertama di Indonesia.
Berapa lama Anda menyusun itu?
Sepuluh tahun. Itu juga kalau tidak saya paksakan, tidak akan selesai-selesai. Ada saja masalah baru. Sekarang saya sedang memikirkan untuk membuat tambahan-tambahan.
Bagaimana Anda melihat minat generasi muda pada sastra daerah, khususnya sastra Sunda?
Banyak juga. Kemarin, ada ulang tahun pengarang sastra Sunda. Ternyata banyak sekali anak-anak muda datang yang saya tidak kenal.
Perasaan Anda melihat itu?
Senang sekali, bangga sekali. Saya menerbitkan majalah bahasa Sunda. Yang mengurus, yang muda-muda. Itu bukan sembarangan. Burhanuddin Abdullah, Erry Riyana Hardjapamekas, berlangganan. Jadi menarik, selama ini ada anggapan bahwa bacaan bahasa Sunda, itu bacaan orang kampung. Jadi, waktu saya mulai menerbitkan majalah ini saya ditegur oleh orang terkenal (orang Sunda). `’Kamu salah. Ini bacaan terlalu tinggi untuk orang Sunda.” Tidak, saya bilang. Saya ingin majalah ini dibaca oleh orang Sunda yang tinggi, bukan yang orang rendah. Ternyata betul. Dibaca oleh Muchtar Kusumaatmaja, Ali Sadikin.
Saat masih tinggal di Jatiwangi, Ajip sempat mengalami kesulitan keuangan. Ketika itu hidupnya tergantung pada honorarium dari Jakarta. Suatu kali istrinya mengatakan, persediaan beras hanya cukup untuk satu hari. Ketika ingin membeli beras, tidak ada uang di kantong. Saat itulah berkah datang dari seorang penjaga sekolah yang menjual beras. ”Istri saya bilang, ‘Dia tidak mau dibayar sekarang karena dia mau nyunatin anaknya bulan depan. Mintanya bulan depan’.” Baginya, inilah kekuasaan Tuhan. ”Tangan Tuhan itu betul kuasa. Karena itu saya biasa bilang kepada anak-anak muda, kalau ada satu hal yang harus kamu kerjakan, kerjakan. Jangan gantungkan hidup kamu dari hasil pekerjaan itu. Hidup kamu dijamin oleh Tuhan.”
Anda tampak dengan mudahnya pindah –dari Bandung, Jakarta, Jepang, kini lebih banyak di Pabelan. Apa yang Anda cari?
Tidak ada. Saya dulu tinggal di Jakarta. Karena bising, saya pindah ke Sumedang pada 1958. Setahun lebih di sana, pindah ke Bandung. Tahun 1960 saya pindah ke Jatiwangi, kampung saya, bikin rumah. Saat itu saya umur 22 tahun, sudah punya anak tiga.
Bagaimana Anda mengarahkan anak-anak?
Saya menyekolahkan mereka, tapi saya tidak pernah ikut memaksa untuk menentukan pilihan. Juga mencari jodoh. Ada anak saya kawin dengan gadis Jepang, sekarang punya dua anak, mengajar di sana, punya rumah di sana, Jadi, akan terus tinggal di sana. Saya cuma bilang, masuk Islam dulu deh.
Waktu perayaan pernikahan emas Anda pakai baju Sunda. Kabarnya, waktu itu Anda sempat kurang berkenan?
Saya memang kurang suka. Saya anggap pakaian-pakaian adat itu kan buatan-buatan saja. Apa benar pakaian itu? Secara historis masih harus diteliti. Saya tidak pernah menelusuri, tapi saya meragukan. Itu kelihatannya hanya variasi saja dari pakaian Jawa. Tapi, waktu itu kan panitianya anak saya, sudahlah, saya mengalah. Sebelumnya, saya tidak mau. Menikahkan anak saya juga tidak pernah pakaian adat.
Bukankah aneh, Anda peduli pada kebudayaan daerah, tapi tidak mau menggunakan simbol-simbol daerah?
Simbol-simbol itu banyak yang tidak benar. Seperti orang Sunda menganggap, simbol senjata Sunda itu kujang. Menurut penelitian saya, kujang itu alat pertanian, bukan senjata perang. Tapi, sudah jadi mitos di kalangan orang Sunda bahwa kujang itu senjata untuk perang.
Sampai sekarang Anda tetap peduli dengan sastra daerah. Apa yang Anda impikan dari itu?
Saya melihat usaha saya ini akan berakhir dengan pemusnahan-pemusnahan bahasa-bahasa daerah. Ini karena ada gelombang yang mungkin tidak bisa ditahan. Tapi, saya merasa bahwa saya harus berusaha mempertahankan, karena ini kekayaan budaya kita. Kita harus pertahankan.
Obsesi yang belum tergapai?
Obsesi besar yang tidak kelihatan, ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang terkemuka, berbudaya, mendapatkan kedudukan terhormat di lingkungan dunia.
Dalam bayangan Anda, itu masih panjang?
Saya pesimistis, saya kira masalahnya mentalitas. Ini menurun sekali. Abad ke-15 kita punya komoditas yang dicari oleh seluruh dunia. Harusnya kita jadi bangsa yang menentukan dunia. Mengapa berakhir dengan bangsa yang dijajah. Kita dijajah bukan karena orang Barat bawa meriam, kita hanya keris dan badik. Tapi, karena perpecahan di dalam.
Saya tidak pernah menjadikan apa yang saya kerjakan itu sebagai sumber penghasilan untuk hidup. Karena dalam Alquran dijanjikan, rezeki itu ditanggung oleh Tuhan. Jadi, saya tidak pernah memikirkan rezeki.
Pewawancara: Burhanuddin Bella, M Syakir
http://www.infoanda.com/
Bahasa daerah membuatnya prihatin. Ketika merasa tidak ada lagi yang memerhatikan bahasa daerah, Ajip Rosidi menilai inilah saatnya bertindak. Lebih dari 30 tahun, pria kelahiran Jatiwangi pada 31 Januari 1938 ini memperjuangkan nasib bahasa daerah. Hingga akhirnya dia tiba di satu titik. ”Saya lebih baik melaksanakan apa yang bisa,” ujarnya. Ajip berpikir tentang sebuah hadiah sastra. Sayangnya, ide itu tidak bersambut.
Menteri pendidikan dan kebudayaan saat itu terkesan tidak terlalu serius menanggapi pentingnya pemberian hadiah untuk insan sastra. ”Hadiah sastra yang diberikan setiap tahun oleh menteri PDK yang berturut-turut empat kali di zaman (Menteri PDK) Mashuri. Lantas berhenti, kemudian ada lagi. Sampai sekarang juga kadang-kadang diberikan, tapi tidak tiap tahun.” Kenyataan inilah yang memacu Ajip memberikan hadiah Rancage. Bahkan, meski untuk itu, Ajip harus merogoh kocek sendiri.
Inilah hadiah untuk orang-orang yang peduli pada sastra –terutama sastra Sunda. Menurut Ajip, di tahun pertama, hadiah tersebut diberikan pada pengarang yang menerbitkan karyanya. ”Tahun kedua saya berikan hadiah untuk orang yang menunjukkan jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastra Sunda. Jadi, tiap tahun ada dua hadiah. Satu untuk karya, satu untuk yang berjasa, masing-masing Rp 1 juta.”
Langkah Ajip mendapat dukungan. Beberapa orang temannya tertarik pula urun dana. Kini, setelah berselang 17 tahun dari Rancage pertama, Ajip berencana melebarkan sayap. Sukses merambah Jawa dan Bali, dia pun terpikir untuk merangkul seluruh kesastraan daerah di Nusantara.
Pada Burhanuddin Bella dan M Syakir, ayah enam anak ini berkisah tentang kendala mengembangkan Rancage (kosa kata bahasa Sunda yang artinya kreatif), sastra daerah, dan beragam keinginannya.
Penghargaan Rancage mulanya hanya untuk sastra Sunda. Kenapa berkembang ke Jawa dan Bali?
Saya menganggap persoalan sastra daerah di tiap daerah sama. Tidak diperhatikan oleh pemerintah, oleh pusat tidak, oleh pemda kurang. Tidak strategislah. Di sekolah juga, pelajaran bahasa selalu menjadi masalah. Sekarang, misalnya, Jawa Tengah menetapkan bahwa dari SD sampai SMA harus mengajarkan bahasa daerah. Itu ada keputusan gubernur. Tapi, orang-orang mengatakan, ini tidak disukai oleh murid. Ya, kalau mau tanya murid, banyak pelajaran yang tidak disukai. Itu kelihatan sekali dari orang-orang yang mau menolak.
Sepanjang pengamatan Anda, daerah mana saja yang tidak peduli dengan bahasa daerahnya?
Yang saya tahu, Pemda Jateng dan Jatim itu menyambut Kurikulum 2004. Kurikulum itu menetapkan dulu bahasa daerah dalam muatan lokal (mulok), sekarang kedudukannya sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Artinya, pengakuan bahasa daerah paling tidak sama pentingnya dengan bahasa asing. Dalam kurikulum yang lama tidak. Status pelajaran bahasa dalam kurikulum, itu termasuk yang penting. Kalau mulok, itu tambahan. Jadi, statusnya rendah. Anehnya, Dinas Pendidikan Jawa Barat tampaknya belum melihal hal itu, sehingga dalam Kongres Bahasa Sunda tahun lalu masih ada tuntutan supaya bahasa Sunda diajarkan di SMA. Padahal dalam kurikulum sudah ada. Jadi, aneh. Mereka tidak mempelajari kurikulum atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kurikulum.
Apa yang mendorong Anda sangat peduli dengan bahasa daerah?
Karena tidak diperhatikan. Dalam UU jelas, pemerintah wajib mengembangkan kebudayaan, dan bahasa daerah bagian dari kebudayaan. Diakui dalam UUD. Jadi, selama ini pemerintah tidak pernah melaksanakan UU. Itu yang saya katakan dari dulu dan tidak didengar juga sampai sekarang.
Setelah Jawa dan Bali, ada rencana Rancage dikembangkan untuk seluruh Indonesia?
Ini ada persoalan. Pertama, sampai sekarang belum kelihatan bahasa daerah lain yang menerbitkan karya modern berbentuk buku. Sebab kalau hanya dimuat dalam majalah saja, susah buat saya untuk mengikutinya. Kalau hanya cerita lama ditulis kembali dalam bahasa daerah, itu ada juga. Tapi, susah kalau begitu. Saya ingin karya yang modern, yang asli. Itu boleh dikatakan tidak ada. Kedua, kalau bertambah lagi jumlah yang dikasih hadiah, itu buat Rancage menjadi beban lagi, kan. Harus ada anggaran tambahan. Sekarang ini saja sudah pusing. Hadiahnya hanya Rp 30 juta atau Rp 35 juta, tapi untuk juri, untuk acara penyerahan, mendatangkan pemenang, dan lain-lainnya itu hampir Rp 100 juta. Yayasan Rancage tidak punya dana abadi. Tapi, selalu saja ada pada saat-saat terakhir.
Anda sastrawan yang boleh dikata sudah mendunia. Kenapa ada justru lebih tertarik menelaah sastra daerah?
Itu masalahnya, saya sendiri merasa bahwa saya mulai terjun dan tertarik ke dunia sastra oleh sastra Sunda. Saya jadi besar karena sastra Sunda. Saya lihat, ini kok yang dulu membesarkan saya tidak diperhatikan orang. Jadi, saya konsen itu. Kemudian saya mempelajari soal kehidupan bahasa-bahasa di dunia, tentang pentingnya bahasa ibu.
Seberapa penting bahasa ibu?
Saya perhatikan pentingnya bahasa ibu sebagai pengantar dalam pendidikan. Waktu 1972 saya diundang ke Amerika, saya pergi ke Texas, negara bagian yang paling selatan. Di sana, banyak orang berbahasa Spanyol. Di situ pernah ada masalah, anak-anak keturunan Spanyol ini di kelasnya mundur. Diselidiki, ternyata karena mereka harus berbahasa Inggris. Jadi, di situ ditetapkan kemudian bahwa anak mereka belajar dengan bahasa pengantar bahasa Spanyol. Hasil penelitian, ternyata anak-anak lebih mudah memahami kalau dengan bahasa ibunya. Waktu saya pulang ke Indonesia, saya melihat juga masalah itu di sini. Tahun 1974 diadakan seminar tentang politik bahasa nasional, saya menemukan hal itu. Seorang pemakalah mengatakan, bahasa daerah merupakan bom waktu yang menghancurkan Indonesia. Bukan saya saja yang marah. Saya bilang, menetapkan bahasa pengantar untuk bahasa daerah –waktu itu sampai kelas III– harus diteliti lagi. Sebab menurut konsep saya, harusnya di daerah-daerah tertentu, bahasa pengantar di sekolah dengan bahasa daerah tersebut sampai SMA. Kalau perlu mengadakan universitas dengan bahasa itu.
Suatu ketika dia diundang oleh Japan Foundation dan diminta tinggal di sana selama 1 tahun sebagai fellow. Namun, Ajip hanya bersedia selama enam bulan dan tinggal di Kyoto. Di negeri matahari terbit itu, dia pernah juga mengajar di beberapa universitas lain. Ketika itulah dia didekati oleh Osaka Gaidai (universitas bahasa asing Osaka) untuk menjadi pengajar karena pengajar sebelumnya pensiun. ”Mereka cari gantinya dan minta saya. Saya bilang, saya di Jakarta punya pekerjaan. Saya carikan orang lain. Saya sebut beberapa nama, tapi ‘Kita ingin Pak Ajip’. Terus ada kawan-kawan dan orang tua saya menganjurkan, sudahlah kamu lebih baik di sana.”
Namun, ada pertimbangan lain. Lantaran sempat berembus isu, Ajip bakal menjadi menteri. ”Benar atau tidaknya, tapi adanya isu itu menjadi salah satu faktor saya memilih mengajar di Jepang.” Selama 22 tahun mengajar di Jepang, Ajip tetap memerhatikan sastra daerah, khususnya Sastra Sunda. ”Memberikan hadiah Rancage juga di sana. Sebagai pegawai pemerintah Jepang, saya mendapat gaji yang cukup.”
Anda mendirikan Rancage dari dana sendiri?
Saat itu 1989, ketika saya di Jepang. Saya melihat, anak-anak muda menulis dalam bahasa daerah lebih susah daripada dalam bahasa Indonesia. Toh, ada juga yang menulis dalam bahasa daerah. Tidak hanya Sunda, Jawa juga begitu. Tulisan mereka dimuat di majalah bahasa daerah. Honorarium yang mereka dapat jauh lebih kecil daripada menulis dalam bahasa Indonesia. Padahal, mereka mudah menulis dalam bahasa Indonesia. Itu yang mengharukan saya. Kok, mereka mau juga. Sampai sekarang masih ada anak muda yang menulis dalam bahasa daerah. Ketika itu saya tidak mendirikan yayasan. Pikiran saya hanya ingin memberikan apresiasi kepada pengarang-pengarang berbahasa Sunda. Niat itu dari 1988, dilaksanakan 1989. Saya ketika itu menyediakan uang Rp 1 juta. Waktu itu cukup besarlah. Buat saya, tidak berat mengeluarkan Rp 1 juta untuk hadiah. Itu pun mula-mula orang pesimistis. Tapi, setelah 5 tahun, karena konsisten diberikan, akhirnya menjadi perhatian orang-orang.
Selama 22 tahun di Jepang, bagaimana bisa Anda tetap memerhatikan sastra daerah?
Itu soal mengatur waktu saja. Tidak hanya sastra, politik juga. Selama di sana, saya banyak menulis surat kepada kawan-kawan yang ada di Indonesia dan luar Indonesia tentang berbagai soal. Kira-kira saya menulis 500 surat tiap tahun. Isinya macam-macam. Ada dalam bahasa Sunda ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sebagian surat-surat dalam bahasa Sunda yang ditujukan kepada Pak Syafrudin, Pak Ali Sadikin, Pak Endang Saefudin, ZA Muttaqin, tidak hanya persoalan bahasa dan sastra, tapi soal politik, soal bangsa. Pandangan-pandangan saya tentang umat Islam, tentang Soeharto.
Ada pengalaman menarik waktu mengajar di sana?
Saya mengajarkan kebudayaan Indonesia. Tapi, ini saya pakai untuk memperkenalkan Islam dengan alasan, kalau mau mengenal budaya Indonesia, harus mengenal Islam. Sebab Islam agama mayoritas penduduk. Suatu waktu, ada seorang mahasiswa bertanya, `’Boleh nggak saya masuk Islam?” Saya bilang boleh saja, tapi lebih baik belajar dulu. Sebab kalau kamu masuk Islam, berhenti Budha. `’Kok berhenti? Agama Islam bagus, agama Budha bagus?” Dianya berpikir begitu.
Anda pernah membuat ensiklopedia Sunda. Apa yang mendasari?
Saya menjadi sadar bahwa orang-orang Sunda sudah banyak tidak mengenal budayanya sendiri. Mereka tidak punya referensi. Proses penghilangan bentuk-bentuk budaya ini kan berlangsung terus. Jadi, saya merasa perlu membentuk suatu ensiklopedia untuk menjadi referensi. Tapi, kan saya juga tidak mengetahui semua hal, jadi saya harus membaca semua bahan. Sampai sekarang itu menjadi ensiklopedia etnis satu-satunya, kan. Sebetulnya, Jawa dan Bali kesempatannya lebih mudah, karena tentang Jawa dan Bali sudah banyak buku-bukunya. Kalau Sunda ini, saya mencari sendiri, referensi saya sedikit sekali. Itu diakui oleh Taufik Abdullah juga. Sedikit sekali sarjana asing yang punya perhatian pada kebudayaan Sunda. Ada, tapi sedikit sekali, dibandingkan dengan Jawa. Dibandingkan dengan Mentawai saja, kalah. Jadi, saya harus mencari, sehingga seorang kebangsaan Prancis bilang, ini ensiklopedia pertama di Indonesia.
Berapa lama Anda menyusun itu?
Sepuluh tahun. Itu juga kalau tidak saya paksakan, tidak akan selesai-selesai. Ada saja masalah baru. Sekarang saya sedang memikirkan untuk membuat tambahan-tambahan.
Bagaimana Anda melihat minat generasi muda pada sastra daerah, khususnya sastra Sunda?
Banyak juga. Kemarin, ada ulang tahun pengarang sastra Sunda. Ternyata banyak sekali anak-anak muda datang yang saya tidak kenal.
Perasaan Anda melihat itu?
Senang sekali, bangga sekali. Saya menerbitkan majalah bahasa Sunda. Yang mengurus, yang muda-muda. Itu bukan sembarangan. Burhanuddin Abdullah, Erry Riyana Hardjapamekas, berlangganan. Jadi menarik, selama ini ada anggapan bahwa bacaan bahasa Sunda, itu bacaan orang kampung. Jadi, waktu saya mulai menerbitkan majalah ini saya ditegur oleh orang terkenal (orang Sunda). `’Kamu salah. Ini bacaan terlalu tinggi untuk orang Sunda.” Tidak, saya bilang. Saya ingin majalah ini dibaca oleh orang Sunda yang tinggi, bukan yang orang rendah. Ternyata betul. Dibaca oleh Muchtar Kusumaatmaja, Ali Sadikin.
Saat masih tinggal di Jatiwangi, Ajip sempat mengalami kesulitan keuangan. Ketika itu hidupnya tergantung pada honorarium dari Jakarta. Suatu kali istrinya mengatakan, persediaan beras hanya cukup untuk satu hari. Ketika ingin membeli beras, tidak ada uang di kantong. Saat itulah berkah datang dari seorang penjaga sekolah yang menjual beras. ”Istri saya bilang, ‘Dia tidak mau dibayar sekarang karena dia mau nyunatin anaknya bulan depan. Mintanya bulan depan’.” Baginya, inilah kekuasaan Tuhan. ”Tangan Tuhan itu betul kuasa. Karena itu saya biasa bilang kepada anak-anak muda, kalau ada satu hal yang harus kamu kerjakan, kerjakan. Jangan gantungkan hidup kamu dari hasil pekerjaan itu. Hidup kamu dijamin oleh Tuhan.”
Anda tampak dengan mudahnya pindah –dari Bandung, Jakarta, Jepang, kini lebih banyak di Pabelan. Apa yang Anda cari?
Tidak ada. Saya dulu tinggal di Jakarta. Karena bising, saya pindah ke Sumedang pada 1958. Setahun lebih di sana, pindah ke Bandung. Tahun 1960 saya pindah ke Jatiwangi, kampung saya, bikin rumah. Saat itu saya umur 22 tahun, sudah punya anak tiga.
Bagaimana Anda mengarahkan anak-anak?
Saya menyekolahkan mereka, tapi saya tidak pernah ikut memaksa untuk menentukan pilihan. Juga mencari jodoh. Ada anak saya kawin dengan gadis Jepang, sekarang punya dua anak, mengajar di sana, punya rumah di sana, Jadi, akan terus tinggal di sana. Saya cuma bilang, masuk Islam dulu deh.
Waktu perayaan pernikahan emas Anda pakai baju Sunda. Kabarnya, waktu itu Anda sempat kurang berkenan?
Saya memang kurang suka. Saya anggap pakaian-pakaian adat itu kan buatan-buatan saja. Apa benar pakaian itu? Secara historis masih harus diteliti. Saya tidak pernah menelusuri, tapi saya meragukan. Itu kelihatannya hanya variasi saja dari pakaian Jawa. Tapi, waktu itu kan panitianya anak saya, sudahlah, saya mengalah. Sebelumnya, saya tidak mau. Menikahkan anak saya juga tidak pernah pakaian adat.
Bukankah aneh, Anda peduli pada kebudayaan daerah, tapi tidak mau menggunakan simbol-simbol daerah?
Simbol-simbol itu banyak yang tidak benar. Seperti orang Sunda menganggap, simbol senjata Sunda itu kujang. Menurut penelitian saya, kujang itu alat pertanian, bukan senjata perang. Tapi, sudah jadi mitos di kalangan orang Sunda bahwa kujang itu senjata untuk perang.
Sampai sekarang Anda tetap peduli dengan sastra daerah. Apa yang Anda impikan dari itu?
Saya melihat usaha saya ini akan berakhir dengan pemusnahan-pemusnahan bahasa-bahasa daerah. Ini karena ada gelombang yang mungkin tidak bisa ditahan. Tapi, saya merasa bahwa saya harus berusaha mempertahankan, karena ini kekayaan budaya kita. Kita harus pertahankan.
Obsesi yang belum tergapai?
Obsesi besar yang tidak kelihatan, ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang terkemuka, berbudaya, mendapatkan kedudukan terhormat di lingkungan dunia.
Dalam bayangan Anda, itu masih panjang?
Saya pesimistis, saya kira masalahnya mentalitas. Ini menurun sekali. Abad ke-15 kita punya komoditas yang dicari oleh seluruh dunia. Harusnya kita jadi bangsa yang menentukan dunia. Mengapa berakhir dengan bangsa yang dijajah. Kita dijajah bukan karena orang Barat bawa meriam, kita hanya keris dan badik. Tapi, karena perpecahan di dalam.
Saya tidak pernah menjadikan apa yang saya kerjakan itu sebagai sumber penghasilan untuk hidup. Karena dalam Alquran dijanjikan, rezeki itu ditanggung oleh Tuhan. Jadi, saya tidak pernah memikirkan rezeki.
In Memoriam: Si “Superhilang…” Kini Telah Tiada
Isbedy Stiawan Z.S.
http://www.lampungpost.com/
Dunia sastra Indonesia kembali kehilangan salah seorang sastrawan terbaiknya. Hamid Jabbar meninggal saat mengisi Pentas Orasi Seni dan Budaya di Universitas Islam Negeri (UIN–dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu malam (29-5), bersama Jamal D. Rahman, Putu Wijaya, Frans Magnis Suseno, dan Frangky Sahilatua. Acara itu sendiri merupakan rangkaian Dies Natalis ke-2 UIN.
HJ sebenarnya sudah berorasi, setelah Frans dan Putu. Ia membacakan orasi berjudul “Assalamu’alaikum”. Entah mengapa, boleh jadi permintaan terakhirnya, HJ meminta waktu pada panitia untuk membacakan puisinya setelah orasi penyair Jamal D. Rahman. Bahkan, ia meminta pemain musik mengiringi pembacaannya. Ketika ia tampil untuk kedua kalinya di panggung UIN, menurut Jamal D. Rahman, waktu sudah hampir tengah malam.
Hamid memang selalu ingin berkesan di setiap penampilannya di atas panggung. Oleh sebab itu, segala sesuatu ia persiapkan sebelum membacakan puisi. Misalnya, ia pernah membawa gendang besar khas Minang ke panggung yang dimainkan sendiri demi mendapatkan suasana estetika. Tetapi, pembacaan puisi dengan diiringi musik di UIN Jakarta, merupakan yang terakhir baginya.
Redaktur senior majalah sastra Horison ini lebih dikenal sebagai penyair–tapi mungkin tidak banyak orang tahu, kecuali para pembaca sastra yang serius–dia juga menulis cerpen. Sebelum bergabung Horison, HJ pernah menjadi wartawan Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka. Ia pernah menetap beberapa tahun di Bandung dan dari kota yang juga banyak melahirkan sastrawan, HJ makin dalam menancapkan langkahnya di ranah sastra Indonesia.
Sebelum memosisikan kepenyairannya bergaya parodi seperti dikatakan kritikus (alm.) Mursal Esten terutama dalam kumpulan Super Hilang, Segerobak Sajak (1998), HJ mulanya konsentrasi pencarian estetik dalam proses kreatif kepenyairannya pada bunyi dan kata-kata. Contoh pada puisi “Homo Homini Lupus” (1973) yang ditulisnya pada usia 24 tahun. Selain berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata, pada puisi itu juga menggambarkan tentang “kekalahan” manusia.
Sejumlah puisinya yang lain masuk kumpulan Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), dan Wajah Kita (1981) merupakan puisi-puisi awal kepenyairan HJ yang berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata. Pada puisi-puisi awalnya, perhatian HJ sangat besar pada nilai-nilai religiusitas Islam dan kontemplatif. Setelah itu, ia “mengubah perhatian” pada puisi-puisi parodi. Misalnya, puisi yang populer “Proklamasi 2″ yang ditulisnya pada 28 Maret 1992. Puisi ini pernah dicekal saat dia membacakannya di Solo.
HJ yang saya kenal adalah penyair yang periang dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan terbuka kepada siapa pun. Ia juga bukan tipe orang yang temperamental, betapa pun yang mencandainya orang yang usianya jauh di bawahnya. Dengan perawakan tubuh yang kecil, terlihat ia amat lincah, cekatan, dan liat.
Saya katakan lincah dan cekatan, ada buktinya. Ketika rombongan sastrawan Indonesia yang didanai Horison meninggalkan Johorbahru menuju Singapura dengan bus, tiba-tiba kami teringat salah seorang penyair Jakarta masih tertinggal di hotel di Johor. Belum lagi kami panik, HJ sudah menghentikan bus dan lompat. Ia segera menyetop taksi untuk membawanya ke Johorbahru. Tak lama kami menunggu di Singapura, HJ dan salah penyair Jakarta yang tertinggal sudah kembali bergabung.
“Cepat sekali, Abang?” ucap seorang sastrawan.
“Kalau di negeri orang kita lambat, bisa dimakan orang. Jakarta mengajarkan aku bertindak cepat dan selalu sigap!” ujar HJ mantap. Itu sebabnya, HJ seperti menjadi “tangan kedua” dari Ibu Ati Taufiq Ismail.
Dalam perjalanan laut dari Tanjungpriok ke Batam bersama HJ pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Johorbahru, Malaysia, jika malam datang di bawah langit bertabur bintang dan kegelapan lautan, penyair ini termasuk paling kuat menahan kantuk. Dengan sukacita ia “meladeni” penyair di bawah usia dan angkatan dengannya, mengobrol dari masalah sastra hingga persoalan politik dan sosial. Masalah ini tampaknya berkelindan dalam banyak puisi-puisinya. Bahkan pada usia 25 tahun, HJ melahirkan puisi amat panjang yang membicarakan masalah sosial politik di Indonesia dalam puisi “Indonesiaku”. Selain itu, ia tak sungkan diajak joget teman-teman sastrawan muda di sebuah warung di atas kapal ataupun di Batam. Selalu saja ia berpasangan dengan cerpenis Joni Ariadinata saat berjoget diiringi musik dangdut.
Saya memaklumi HJ. Konon, menurut teman-teman di Horison, ia pekerja yang akan berhenti setelah selesai pekerjaannya. Ia juga supersibuk jika berada di Jakarta. Ketika menyelesaikan buku Horison Sastra Indonesia yang empat jilid itu, saya ikut membantunya memilih puisi-puisi penyair yang akan dimasukkan Kitab Puisi. HJ seperti tak mau dikatakan kalah adu cepat dengan saya dalam hal pekerjaan. Padahal, ia baru saja kembali keliling kota dan provinsi untuk program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).
Sungguh, sekiranya saya pada posisi seperti HJ, sudah ambruk berkali-kali. Tetapi, HJ tetap kelihatan segar. Meskipun, sesungguhnya penyakit gula telah menggerogoti tubuhnya. Boleh jadi ia menampakkan diri selalu sehat, supaya yang melihat tidak bersedih. Seperti juga yang dilakukan almarhum Motinggo Busye semasa hidupnya, juga mengidap penyakit yang sama. Terakhir saya berjumpa HJ pada Kongres Bahasa, Oktober 2003, di Jakarta. Waktu itu ia masih kelihatan gagah, sigap, dan lincah. Kami sempat mengobrol di halaman kiri Hotel Indonesia saat rehat. Tawanya yang renyah dengan wajah dan postur serupa B.J. Habibie, betapa senang bercakap-cakap dengan paman sastrawan Fakhrunnas M.A. Jabbar ini.
Semangat inilah–semangat pada profesinya–menggodanya untuk meminta waktu lagi pada panitia Orasi Seni dan Budaya UIN Jakarta, demi membacakan puisinya sebelum kegiatan itu ditutup penampilan Frangky Sahilatua. Padahal, dengan penyakit gula yang dia idap cukup lama ditambah mungkin keletihan karena kesibukannya mengikuti program SBSB yang kini berlangsung di Indonesia Bagian Timur, pada pembacaan puisi keduanya ia ambruk di panggung.
Menyaksikan semangat HJ ini, mengingatkan saya pada sebuah esainya di homepage-nya. Ia mengatakan, berada di tengah-tengah tikungan yang menyesatkan dan bahaya yang menganga, rasanya diperlukan semacam kegesitan meloncat dan berkelit, meraba segala yang akan tiba. Bisakah? Untuk itu diperlukan suatu daya yang membersit dan mengalir dari sesuatu yang hakiki dari keberadaanku. Apakah itu?
“Iman! Iman yang menancap mantap di dalam dan mencahaya ke luar kedirianku dalam ‘laku’. Setimbang! Kesetimbangan tak akan tercapai jika tidak melalui pendalaman dan penyerahan atau pasrah. Pasrah yang aktif, bukan pasrah yang tanpa upaya,” kata HJ. Pada titik puncak pasrah, aku rasakan masalah “ada” dan “tiada” bukan menjadi masalah lagi. Yang menjadi masalah adalah “bermakna” atau “tak bermakna”. Puncak dari kesetimbangan: makna tumbuh, bangkit. Suatu kebangkitan. Pada titik ini semuanya mengental dan bergolak menggejolak. Mendorong bergerak, suatu daya yang memunyai semacam kemampuan merangkum masa silam dan kekinian menjadi masa datang. Dan menuliskannya, kurasa bukan hanya semacam kesaksian, tetapi suatu kebangkitan atau pembebasan.
HJ memang tumbuh dan (terus) bangkit di jalan berliku-liku/tanah-airku/penuh rambu-rambu/Indonesiaku sebagai seorang manusia, suami, ayah, masyakarat kebangsaan. Dengan (hanya) menjadi sastrawan, sebuah profesi yang boleh jadi tidak seksi sehingga tidak diminati. Dengan segala risiko, boleh jadi ditikam, disembelih, dipuji, disingkirikan, dicekal ataupun dicibir teman dan meraka yang tidak suka. Mungkin juga oleh keluarga sendiri. Mungkin juga….
Tetapi, lepas dari itu semua, sesungguhnya HJ memperoleh banyak simpatik. Terbukti HJ diterima semua “angkatan” (kalau itu ada) sastra Indonesia. Seperti ia kerap menerima, misalnya, candaan (kadang berlebih batas) dari sastrawan jauh usianya di bawahnya; Achmad Syubbanudin Alwy yang juga ikut dalam rombongan “sastrawan Horison” ke PSN IX ke Johorbahru, Malaysia, dinikmatinya dengan riang: tidak terpancing berang.
Keriangan itulah modal HJ melahirkan puisi-puisi parodi–antara main-main dan serius saling berkelindan–dalam kumpulan puisinya Super Hilang, Segerobak Sajak yang menuai dua penghargaan dari Yayasan Buku Utama (1998) dan penghargaan seni dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1998).
Selain, seakan ia juga menyadari nama besar tidaklah mesti merasa diri superman, toh yang “super” (perkasa, gagah, hebat, dst.) pada masanya akan “hilang”: ketika kita tak berdaya di hadapan Yang Mahasuper! Sebagaimana digambarkan dalam puisi “Alang Kepalang tak Terduga” (hadiah HUT buat Bang Im): bel berbunyi dan lampu berkedipan, merah dan hijau. Alangkah/gawatnya perjalanan ini, hari menuju malam, waktu menuju/kelam; dan kita menuju juga: barangkali ke sana! Alangkah/beratnya tanggungan ini, bahagia terasa pedih, sengsara/telah mengupih; dan bahu bertanya juga: sampai ke mana?/Alangkah asingnya segala, setelah sedikit bahagia mengada,/setelah sedikit putus asa sirna; dan segala masih saja/kembali seperti semula: alang kepalang tak terduga!
Alangkah gawatnya perjalanan ini, kata HJ dalam puisi di atas, hari menuju malam, waktu menuju kelam; dan kita menuju juga: berangkat ke sana! Ya, HJ telah berangkat ke sana kini. Meninggalkan kita untuk selamanya. Selamat jalan Hamid Jabbar….
http://www.lampungpost.com/
Dunia sastra Indonesia kembali kehilangan salah seorang sastrawan terbaiknya. Hamid Jabbar meninggal saat mengisi Pentas Orasi Seni dan Budaya di Universitas Islam Negeri (UIN–dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu malam (29-5), bersama Jamal D. Rahman, Putu Wijaya, Frans Magnis Suseno, dan Frangky Sahilatua. Acara itu sendiri merupakan rangkaian Dies Natalis ke-2 UIN.
HJ sebenarnya sudah berorasi, setelah Frans dan Putu. Ia membacakan orasi berjudul “Assalamu’alaikum”. Entah mengapa, boleh jadi permintaan terakhirnya, HJ meminta waktu pada panitia untuk membacakan puisinya setelah orasi penyair Jamal D. Rahman. Bahkan, ia meminta pemain musik mengiringi pembacaannya. Ketika ia tampil untuk kedua kalinya di panggung UIN, menurut Jamal D. Rahman, waktu sudah hampir tengah malam.
Hamid memang selalu ingin berkesan di setiap penampilannya di atas panggung. Oleh sebab itu, segala sesuatu ia persiapkan sebelum membacakan puisi. Misalnya, ia pernah membawa gendang besar khas Minang ke panggung yang dimainkan sendiri demi mendapatkan suasana estetika. Tetapi, pembacaan puisi dengan diiringi musik di UIN Jakarta, merupakan yang terakhir baginya.
Redaktur senior majalah sastra Horison ini lebih dikenal sebagai penyair–tapi mungkin tidak banyak orang tahu, kecuali para pembaca sastra yang serius–dia juga menulis cerpen. Sebelum bergabung Horison, HJ pernah menjadi wartawan Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka. Ia pernah menetap beberapa tahun di Bandung dan dari kota yang juga banyak melahirkan sastrawan, HJ makin dalam menancapkan langkahnya di ranah sastra Indonesia.
Sebelum memosisikan kepenyairannya bergaya parodi seperti dikatakan kritikus (alm.) Mursal Esten terutama dalam kumpulan Super Hilang, Segerobak Sajak (1998), HJ mulanya konsentrasi pencarian estetik dalam proses kreatif kepenyairannya pada bunyi dan kata-kata. Contoh pada puisi “Homo Homini Lupus” (1973) yang ditulisnya pada usia 24 tahun. Selain berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata, pada puisi itu juga menggambarkan tentang “kekalahan” manusia.
Sejumlah puisinya yang lain masuk kumpulan Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), dan Wajah Kita (1981) merupakan puisi-puisi awal kepenyairan HJ yang berkonsentrasi pada bunyi dan kata-kata. Pada puisi-puisi awalnya, perhatian HJ sangat besar pada nilai-nilai religiusitas Islam dan kontemplatif. Setelah itu, ia “mengubah perhatian” pada puisi-puisi parodi. Misalnya, puisi yang populer “Proklamasi 2″ yang ditulisnya pada 28 Maret 1992. Puisi ini pernah dicekal saat dia membacakannya di Solo.
HJ yang saya kenal adalah penyair yang periang dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan terbuka kepada siapa pun. Ia juga bukan tipe orang yang temperamental, betapa pun yang mencandainya orang yang usianya jauh di bawahnya. Dengan perawakan tubuh yang kecil, terlihat ia amat lincah, cekatan, dan liat.
Saya katakan lincah dan cekatan, ada buktinya. Ketika rombongan sastrawan Indonesia yang didanai Horison meninggalkan Johorbahru menuju Singapura dengan bus, tiba-tiba kami teringat salah seorang penyair Jakarta masih tertinggal di hotel di Johor. Belum lagi kami panik, HJ sudah menghentikan bus dan lompat. Ia segera menyetop taksi untuk membawanya ke Johorbahru. Tak lama kami menunggu di Singapura, HJ dan salah penyair Jakarta yang tertinggal sudah kembali bergabung.
“Cepat sekali, Abang?” ucap seorang sastrawan.
“Kalau di negeri orang kita lambat, bisa dimakan orang. Jakarta mengajarkan aku bertindak cepat dan selalu sigap!” ujar HJ mantap. Itu sebabnya, HJ seperti menjadi “tangan kedua” dari Ibu Ati Taufiq Ismail.
Dalam perjalanan laut dari Tanjungpriok ke Batam bersama HJ pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Johorbahru, Malaysia, jika malam datang di bawah langit bertabur bintang dan kegelapan lautan, penyair ini termasuk paling kuat menahan kantuk. Dengan sukacita ia “meladeni” penyair di bawah usia dan angkatan dengannya, mengobrol dari masalah sastra hingga persoalan politik dan sosial. Masalah ini tampaknya berkelindan dalam banyak puisi-puisinya. Bahkan pada usia 25 tahun, HJ melahirkan puisi amat panjang yang membicarakan masalah sosial politik di Indonesia dalam puisi “Indonesiaku”. Selain itu, ia tak sungkan diajak joget teman-teman sastrawan muda di sebuah warung di atas kapal ataupun di Batam. Selalu saja ia berpasangan dengan cerpenis Joni Ariadinata saat berjoget diiringi musik dangdut.
Saya memaklumi HJ. Konon, menurut teman-teman di Horison, ia pekerja yang akan berhenti setelah selesai pekerjaannya. Ia juga supersibuk jika berada di Jakarta. Ketika menyelesaikan buku Horison Sastra Indonesia yang empat jilid itu, saya ikut membantunya memilih puisi-puisi penyair yang akan dimasukkan Kitab Puisi. HJ seperti tak mau dikatakan kalah adu cepat dengan saya dalam hal pekerjaan. Padahal, ia baru saja kembali keliling kota dan provinsi untuk program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).
Sungguh, sekiranya saya pada posisi seperti HJ, sudah ambruk berkali-kali. Tetapi, HJ tetap kelihatan segar. Meskipun, sesungguhnya penyakit gula telah menggerogoti tubuhnya. Boleh jadi ia menampakkan diri selalu sehat, supaya yang melihat tidak bersedih. Seperti juga yang dilakukan almarhum Motinggo Busye semasa hidupnya, juga mengidap penyakit yang sama. Terakhir saya berjumpa HJ pada Kongres Bahasa, Oktober 2003, di Jakarta. Waktu itu ia masih kelihatan gagah, sigap, dan lincah. Kami sempat mengobrol di halaman kiri Hotel Indonesia saat rehat. Tawanya yang renyah dengan wajah dan postur serupa B.J. Habibie, betapa senang bercakap-cakap dengan paman sastrawan Fakhrunnas M.A. Jabbar ini.
Semangat inilah–semangat pada profesinya–menggodanya untuk meminta waktu lagi pada panitia Orasi Seni dan Budaya UIN Jakarta, demi membacakan puisinya sebelum kegiatan itu ditutup penampilan Frangky Sahilatua. Padahal, dengan penyakit gula yang dia idap cukup lama ditambah mungkin keletihan karena kesibukannya mengikuti program SBSB yang kini berlangsung di Indonesia Bagian Timur, pada pembacaan puisi keduanya ia ambruk di panggung.
Menyaksikan semangat HJ ini, mengingatkan saya pada sebuah esainya di homepage-nya. Ia mengatakan, berada di tengah-tengah tikungan yang menyesatkan dan bahaya yang menganga, rasanya diperlukan semacam kegesitan meloncat dan berkelit, meraba segala yang akan tiba. Bisakah? Untuk itu diperlukan suatu daya yang membersit dan mengalir dari sesuatu yang hakiki dari keberadaanku. Apakah itu?
“Iman! Iman yang menancap mantap di dalam dan mencahaya ke luar kedirianku dalam ‘laku’. Setimbang! Kesetimbangan tak akan tercapai jika tidak melalui pendalaman dan penyerahan atau pasrah. Pasrah yang aktif, bukan pasrah yang tanpa upaya,” kata HJ. Pada titik puncak pasrah, aku rasakan masalah “ada” dan “tiada” bukan menjadi masalah lagi. Yang menjadi masalah adalah “bermakna” atau “tak bermakna”. Puncak dari kesetimbangan: makna tumbuh, bangkit. Suatu kebangkitan. Pada titik ini semuanya mengental dan bergolak menggejolak. Mendorong bergerak, suatu daya yang memunyai semacam kemampuan merangkum masa silam dan kekinian menjadi masa datang. Dan menuliskannya, kurasa bukan hanya semacam kesaksian, tetapi suatu kebangkitan atau pembebasan.
HJ memang tumbuh dan (terus) bangkit di jalan berliku-liku/tanah-airku/penuh rambu-rambu/Indonesiaku sebagai seorang manusia, suami, ayah, masyakarat kebangsaan. Dengan (hanya) menjadi sastrawan, sebuah profesi yang boleh jadi tidak seksi sehingga tidak diminati. Dengan segala risiko, boleh jadi ditikam, disembelih, dipuji, disingkirikan, dicekal ataupun dicibir teman dan meraka yang tidak suka. Mungkin juga oleh keluarga sendiri. Mungkin juga….
Tetapi, lepas dari itu semua, sesungguhnya HJ memperoleh banyak simpatik. Terbukti HJ diterima semua “angkatan” (kalau itu ada) sastra Indonesia. Seperti ia kerap menerima, misalnya, candaan (kadang berlebih batas) dari sastrawan jauh usianya di bawahnya; Achmad Syubbanudin Alwy yang juga ikut dalam rombongan “sastrawan Horison” ke PSN IX ke Johorbahru, Malaysia, dinikmatinya dengan riang: tidak terpancing berang.
Keriangan itulah modal HJ melahirkan puisi-puisi parodi–antara main-main dan serius saling berkelindan–dalam kumpulan puisinya Super Hilang, Segerobak Sajak yang menuai dua penghargaan dari Yayasan Buku Utama (1998) dan penghargaan seni dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1998).
Selain, seakan ia juga menyadari nama besar tidaklah mesti merasa diri superman, toh yang “super” (perkasa, gagah, hebat, dst.) pada masanya akan “hilang”: ketika kita tak berdaya di hadapan Yang Mahasuper! Sebagaimana digambarkan dalam puisi “Alang Kepalang tak Terduga” (hadiah HUT buat Bang Im): bel berbunyi dan lampu berkedipan, merah dan hijau. Alangkah/gawatnya perjalanan ini, hari menuju malam, waktu menuju/kelam; dan kita menuju juga: barangkali ke sana! Alangkah/beratnya tanggungan ini, bahagia terasa pedih, sengsara/telah mengupih; dan bahu bertanya juga: sampai ke mana?/Alangkah asingnya segala, setelah sedikit bahagia mengada,/setelah sedikit putus asa sirna; dan segala masih saja/kembali seperti semula: alang kepalang tak terduga!
Alangkah gawatnya perjalanan ini, kata HJ dalam puisi di atas, hari menuju malam, waktu menuju kelam; dan kita menuju juga: berangkat ke sana! Ya, HJ telah berangkat ke sana kini. Meninggalkan kita untuk selamanya. Selamat jalan Hamid Jabbar….
Nasionalisme dalam Belenggu Waktu
Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/
”Manusia memang dilahirkan bebas tapi secara keseluruhan sebenarnya ia terbelenggu” (Jean Jacques Rousseau)
TUJUH puluh tahun barangkali rata-rata harapan hidup manusia sekarang. Seumur demikian umumnya manusia sudah ”selesai”. Jikapun ia masih hidup, atau tetap ingin hidup, sebenarnya ia harus mendapatkan makna baru hidupnya.
Mungkin itulah yang berlaku pada Belenggu, roman karya Armijn Pane, yang selesai ditulis tepat 70 tahun lalu. Ketika kita membacanya, saat ini, kita akan menemukan sebuah ”hidup” yang baru, sebuah nilai baru, makna baru.
Lebih dari setengah abad lalu, roman karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1907 itu memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki. Tak kurang dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pemimpin Pujangga Baru—tempat buku itu diterbitkan pertama kali dan kantor tempat Armijn bekerja— mengeluhkan isi roman itu yang bukan hanya, ”… romantika yang gelap-gulita yang pesimistis… yang melemahkan semangat.”
Dalam sebuah edisinya, Desember 1940, majalah Pujangga Baru menurunkan pelbagai komentar tentang roman yang menggegerkan itu. STA meremukkan karya itu sebagai ”type yang tidak mengharukan saya”. S. Djojopoespito menulis: ”… sebab tidak terasa bagi saya akan kehalusan dan keindahan bahasa-(nya)”.
Tapi, di bagian lain, Ida Nasution mengatakan: ”Belenggu ialah perlambang pembaharuan bahasa ke arah bahasa Indonesia.” M.R. Dayoh berpendapat, ”Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk perjuangan semangat baru Indonesia.”
”Semangat baru” inilah tampaknya yang kemudian lebih mengemuka pada publik. Ini membuat Dian Rakyat, penerbit milik STA, mencetak ulang novel ini beberapa kali. Hingga Zaman Baru, penerbit dari Kota Petaling Jaya, Malaysia, menerbitkannya kembali (dan menjadi rujukan utama tulisan ini) pada 1965.
Mencari Manusia
SEBAGAI karya puncaknya, Armijn memang tampak mencurahkan dengan sungguh kemampuan literer hingga isi terdalam dari hatinya, pikirannya yang kuat dan cerdas, serta akhirnya keyakinannya dalam menghadapi kenyataan zaman yang galau oleh semangat perubahan. Caci maki? Ia tak peduli. Dalam pengantar di edisi Malaysia, ia menegaskan, ”Kalau Keyakinan (kapital dari pengarang-pen) sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain.” Dan itu ia tunjukkan dengan sangat liat-memikat lewat tokoh-tokohnya—terutama (Sumar)Tini—dalam romannya itu.
Tini, istri (Kar)Tono, protagonis dalam Belenggu, menemukan dirinya sebagai istri –juga perempuan—yang problematis. Walau pada mulanya ia hanya berkeluh tentang perhatian suami yang habis untuk pekerjaan, cemburu pada perempuan-perempuan yang ”diraba-rabanya”, ia akhirnya juga menemukan konflik yang lebih dalam antara dirinya dan Tono. Tentang bagaimana seorang perempuan harus berperan sebagai perempuan, sebagai istri. Sebuah ide feminis yang sungguh sangat dini di negeri ini.
Ia menentang relasi perkawinan, sebagaimana pemahaman umum saat itu, yang menempatkan perempuan ”… sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian, bersih-bersih, sekali setahun dijemur di luar. Menanti suami sampai (ia) suka membawa keluar.” Dengan lidahnya yang tajam, ia menerjang pendapat semua orang, juga suaminya sendiri. Katanya, ”Aku berhak menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia yang juga berkemauan sendiri.”
Bahkan meminjam bibir temannya, dik Tati, ia melihat perkawinan sebagai paksaan kebudayaan yang tak seorang pun berani menyimpang darinya. ”Tetapi sekarang (mbak)Yu,” tulis dik Tati dalam sebuah suratnya, ”sudah tiba waktunya (menolak perkawinan). Kalau mesti, aku rela binasa.” Tini memang tidak sampai seekstrem dik Tati. Dalam pengertiannya yang baru, ia masih menghargai perkawinan. Bahkan membutuhkannya. Membutuhkan Tono. Begitupun suaminya. Tono pun membutuhkan perkawinan, butuh istri, membutuhkan Tini.
Namun justru dalam relasi dua kebutuhan itulah, tragik cerita ini kemudian terjadi. Tini dengan gagasan-gagasannya yang merdeka dan Tono dengan harapan-harapannya akan istri yang ”berlutut, membukakan tali sepatu” atau ”menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah”. Tono yang sebenarnya ragu pada pendiriannya itu, pada dirinya sendiri yang terikat oleh angan-angan yang semu. Yang terbelenggu.
Seperti katanya, ”… begitulah kita seperti di belenggu oleh angan-angan… oleh angan-angannya sendiri”. Belenggu itu bukan lagi semacam penjara sosial, namun terali yang ia ciptakan sendiri. Dan bahkan ketika ia mencoba melepaskan belenggu itu, dengan berpaling kepada tokoh utama ketiga, Yah (Siti Rohayah, Ny. Eni, Siti Hayati), teman lama, seorang pelacur terpaksa, yang kemudian ia temukan sebagai pasien, Tono justru kian liat membuat dirinya terikat.
Dengan pembangunan cerita yang cukup dramatis, melalui gambar-gambar skenik yang filmis (di mana bagian-bagian cerita, seperti scene dapat berlompatan begitu saja, seketika, ke ruang dan waktu yang berbeda), Armijn Pane memperlihatkan konflik dalam diri seorang manusia yang mencoba menemukan kenyataan dirinya dalam satu situasi hidup yang sangat berbeda: zaman yang sangat kontemporer.
Bentuk monologue interieur dengan cakapan-cakapan yang cerdas –juga saat berhadapan dengan kedua tokoh utama lainnya—tidak hanya memperlihatkan satu pergolakan batin yang dalam dan sugestif, tapi juga berhasil menciptakan ruang yang lebih lapang pada keberadaan manusia hingga lapisan-lapisan psikologis, filosofis hingga spiritualistis.
Tak mengherankan jika R.H. Lomme, pengamat sastra Indonesia kala itu, memandang roman ini sebagai karya yang eksistensialistis. Di mana, misalnya ”… diulang-ulang pertanyaan ekstensial, seperti: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta… kehidupan neraka, kita tertumbuk pada tembok… suasana keragu-raguan dan putus asa…”, tulis Lomme dalam review-nya di majalah Mimbar Indonesia.
Tapi, lebih dari itu, ide Armijn tentang manusia yang mengalami krisis—karena dunia baru menyangsikan keberadaannya dan dunia lama tidak sepadan lagi dengan kebutuhannya—bukan hanya menjadi tema yang sejajar dengan apa yang diungkap oleh banyak pengarang di negeri lain (mulai dari Samuel Beckett sampai Albert Camus, dari George Orwell hingga Graham Green), tapi juga mendahului Chairil Anwar yang memposisikan dirinya sebagai ”ahli waris kebudayaan dunia”, maupun kaum Manifes Kebudayaan yang melihat dirinya sebagai organ dari ”humanisme universal”.
Belenggu Waktu
MAKA menyepakati S.K. Trimukti saat mengatakan, ”apa yang diperjuangkan (Armijn) ialah semangat peradaban”, saya melihat roman Belenggu menyodorkan pada kita realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang kita masih dapat dengan mudah menyaksikannya di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri, saat ini.
Yang membelenggu kita bukan kekuatan-kekuatan luar, entah itu negara agresor, industrialis global, kapitalis tamak, merek ternama atau Hollywood, tapi justru jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, dan imajinasi yang pandaklah yang memenjara kita. Jelas di situ tersirat, sebagai sebuah bangsa, waktu seolah berhenti dalam diri kita. Kita tidak mampu membuat waktu itu ”berjalan”. Karena kita tidak memiliki satu hal yang membuat roda waktu berderak: ide.
Bukannya ”kebudayaan dunia” atau ”humanisme universal” yang justru kita warisi. Namun justru belenggu ”Tono dan Tini”-lah yang membuat kita kehilangan daya cipta, kehilangan Jawa yang melahirkan wayang dan Borobudur, Bali dan kecaknya, Riau dengan zapinnya, Aceh dengan seudati, atau Betawi dengan Mandra, yang darinya kita melihat bianglala kultural dari seluruh penjuru bangsa, di nusantara, di dunia.
Sebagaimana roman Armijn dituntaskan, keadaan begini pun perlu diselesaikan. Dunia baru mesti dikonstitusikan, dunia lama jangan dilalaikan, dan manusia harus ditegakkan. Seperti Tono, yang akhirnya menerima wejangan Mangunsutjipto, tokoh pergerakan Budi Utomo—yang mbalelo karena membela kejawaannya—dan ia menemukan dirinya yang ”modern” tetaplah ”Jawa”, dunia baru itu adalah larutan baru dari ruang dan masa.
Adalah sebuah gagasan yang menemukan manusia, tidak hanya dalam koordinat yang jelas dalam peta dunia, tapi juga sosok yang tegas dalam identitas kelompoknya. Dan jika dapat kita ciptakan itu, maka dengarlah Armijn tatkala ia menyeru pada dirinya sendiri, ”Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, topan badai, ketempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru”.
http://majalah.tempointeraktif.com/
”Manusia memang dilahirkan bebas tapi secara keseluruhan sebenarnya ia terbelenggu” (Jean Jacques Rousseau)
TUJUH puluh tahun barangkali rata-rata harapan hidup manusia sekarang. Seumur demikian umumnya manusia sudah ”selesai”. Jikapun ia masih hidup, atau tetap ingin hidup, sebenarnya ia harus mendapatkan makna baru hidupnya.
Mungkin itulah yang berlaku pada Belenggu, roman karya Armijn Pane, yang selesai ditulis tepat 70 tahun lalu. Ketika kita membacanya, saat ini, kita akan menemukan sebuah ”hidup” yang baru, sebuah nilai baru, makna baru.
Lebih dari setengah abad lalu, roman karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1907 itu memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki. Tak kurang dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pemimpin Pujangga Baru—tempat buku itu diterbitkan pertama kali dan kantor tempat Armijn bekerja— mengeluhkan isi roman itu yang bukan hanya, ”… romantika yang gelap-gulita yang pesimistis… yang melemahkan semangat.”
Dalam sebuah edisinya, Desember 1940, majalah Pujangga Baru menurunkan pelbagai komentar tentang roman yang menggegerkan itu. STA meremukkan karya itu sebagai ”type yang tidak mengharukan saya”. S. Djojopoespito menulis: ”… sebab tidak terasa bagi saya akan kehalusan dan keindahan bahasa-(nya)”.
Tapi, di bagian lain, Ida Nasution mengatakan: ”Belenggu ialah perlambang pembaharuan bahasa ke arah bahasa Indonesia.” M.R. Dayoh berpendapat, ”Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk perjuangan semangat baru Indonesia.”
”Semangat baru” inilah tampaknya yang kemudian lebih mengemuka pada publik. Ini membuat Dian Rakyat, penerbit milik STA, mencetak ulang novel ini beberapa kali. Hingga Zaman Baru, penerbit dari Kota Petaling Jaya, Malaysia, menerbitkannya kembali (dan menjadi rujukan utama tulisan ini) pada 1965.
Mencari Manusia
SEBAGAI karya puncaknya, Armijn memang tampak mencurahkan dengan sungguh kemampuan literer hingga isi terdalam dari hatinya, pikirannya yang kuat dan cerdas, serta akhirnya keyakinannya dalam menghadapi kenyataan zaman yang galau oleh semangat perubahan. Caci maki? Ia tak peduli. Dalam pengantar di edisi Malaysia, ia menegaskan, ”Kalau Keyakinan (kapital dari pengarang-pen) sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain.” Dan itu ia tunjukkan dengan sangat liat-memikat lewat tokoh-tokohnya—terutama (Sumar)Tini—dalam romannya itu.
Tini, istri (Kar)Tono, protagonis dalam Belenggu, menemukan dirinya sebagai istri –juga perempuan—yang problematis. Walau pada mulanya ia hanya berkeluh tentang perhatian suami yang habis untuk pekerjaan, cemburu pada perempuan-perempuan yang ”diraba-rabanya”, ia akhirnya juga menemukan konflik yang lebih dalam antara dirinya dan Tono. Tentang bagaimana seorang perempuan harus berperan sebagai perempuan, sebagai istri. Sebuah ide feminis yang sungguh sangat dini di negeri ini.
Ia menentang relasi perkawinan, sebagaimana pemahaman umum saat itu, yang menempatkan perempuan ”… sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian, bersih-bersih, sekali setahun dijemur di luar. Menanti suami sampai (ia) suka membawa keluar.” Dengan lidahnya yang tajam, ia menerjang pendapat semua orang, juga suaminya sendiri. Katanya, ”Aku berhak menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia yang juga berkemauan sendiri.”
Bahkan meminjam bibir temannya, dik Tati, ia melihat perkawinan sebagai paksaan kebudayaan yang tak seorang pun berani menyimpang darinya. ”Tetapi sekarang (mbak)Yu,” tulis dik Tati dalam sebuah suratnya, ”sudah tiba waktunya (menolak perkawinan). Kalau mesti, aku rela binasa.” Tini memang tidak sampai seekstrem dik Tati. Dalam pengertiannya yang baru, ia masih menghargai perkawinan. Bahkan membutuhkannya. Membutuhkan Tono. Begitupun suaminya. Tono pun membutuhkan perkawinan, butuh istri, membutuhkan Tini.
Namun justru dalam relasi dua kebutuhan itulah, tragik cerita ini kemudian terjadi. Tini dengan gagasan-gagasannya yang merdeka dan Tono dengan harapan-harapannya akan istri yang ”berlutut, membukakan tali sepatu” atau ”menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah”. Tono yang sebenarnya ragu pada pendiriannya itu, pada dirinya sendiri yang terikat oleh angan-angan yang semu. Yang terbelenggu.
Seperti katanya, ”… begitulah kita seperti di belenggu oleh angan-angan… oleh angan-angannya sendiri”. Belenggu itu bukan lagi semacam penjara sosial, namun terali yang ia ciptakan sendiri. Dan bahkan ketika ia mencoba melepaskan belenggu itu, dengan berpaling kepada tokoh utama ketiga, Yah (Siti Rohayah, Ny. Eni, Siti Hayati), teman lama, seorang pelacur terpaksa, yang kemudian ia temukan sebagai pasien, Tono justru kian liat membuat dirinya terikat.
Dengan pembangunan cerita yang cukup dramatis, melalui gambar-gambar skenik yang filmis (di mana bagian-bagian cerita, seperti scene dapat berlompatan begitu saja, seketika, ke ruang dan waktu yang berbeda), Armijn Pane memperlihatkan konflik dalam diri seorang manusia yang mencoba menemukan kenyataan dirinya dalam satu situasi hidup yang sangat berbeda: zaman yang sangat kontemporer.
Bentuk monologue interieur dengan cakapan-cakapan yang cerdas –juga saat berhadapan dengan kedua tokoh utama lainnya—tidak hanya memperlihatkan satu pergolakan batin yang dalam dan sugestif, tapi juga berhasil menciptakan ruang yang lebih lapang pada keberadaan manusia hingga lapisan-lapisan psikologis, filosofis hingga spiritualistis.
Tak mengherankan jika R.H. Lomme, pengamat sastra Indonesia kala itu, memandang roman ini sebagai karya yang eksistensialistis. Di mana, misalnya ”… diulang-ulang pertanyaan ekstensial, seperti: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta… kehidupan neraka, kita tertumbuk pada tembok… suasana keragu-raguan dan putus asa…”, tulis Lomme dalam review-nya di majalah Mimbar Indonesia.
Tapi, lebih dari itu, ide Armijn tentang manusia yang mengalami krisis—karena dunia baru menyangsikan keberadaannya dan dunia lama tidak sepadan lagi dengan kebutuhannya—bukan hanya menjadi tema yang sejajar dengan apa yang diungkap oleh banyak pengarang di negeri lain (mulai dari Samuel Beckett sampai Albert Camus, dari George Orwell hingga Graham Green), tapi juga mendahului Chairil Anwar yang memposisikan dirinya sebagai ”ahli waris kebudayaan dunia”, maupun kaum Manifes Kebudayaan yang melihat dirinya sebagai organ dari ”humanisme universal”.
Belenggu Waktu
MAKA menyepakati S.K. Trimukti saat mengatakan, ”apa yang diperjuangkan (Armijn) ialah semangat peradaban”, saya melihat roman Belenggu menyodorkan pada kita realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang kita masih dapat dengan mudah menyaksikannya di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri, saat ini.
Yang membelenggu kita bukan kekuatan-kekuatan luar, entah itu negara agresor, industrialis global, kapitalis tamak, merek ternama atau Hollywood, tapi justru jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, dan imajinasi yang pandaklah yang memenjara kita. Jelas di situ tersirat, sebagai sebuah bangsa, waktu seolah berhenti dalam diri kita. Kita tidak mampu membuat waktu itu ”berjalan”. Karena kita tidak memiliki satu hal yang membuat roda waktu berderak: ide.
Bukannya ”kebudayaan dunia” atau ”humanisme universal” yang justru kita warisi. Namun justru belenggu ”Tono dan Tini”-lah yang membuat kita kehilangan daya cipta, kehilangan Jawa yang melahirkan wayang dan Borobudur, Bali dan kecaknya, Riau dengan zapinnya, Aceh dengan seudati, atau Betawi dengan Mandra, yang darinya kita melihat bianglala kultural dari seluruh penjuru bangsa, di nusantara, di dunia.
Sebagaimana roman Armijn dituntaskan, keadaan begini pun perlu diselesaikan. Dunia baru mesti dikonstitusikan, dunia lama jangan dilalaikan, dan manusia harus ditegakkan. Seperti Tono, yang akhirnya menerima wejangan Mangunsutjipto, tokoh pergerakan Budi Utomo—yang mbalelo karena membela kejawaannya—dan ia menemukan dirinya yang ”modern” tetaplah ”Jawa”, dunia baru itu adalah larutan baru dari ruang dan masa.
Adalah sebuah gagasan yang menemukan manusia, tidak hanya dalam koordinat yang jelas dalam peta dunia, tapi juga sosok yang tegas dalam identitas kelompoknya. Dan jika dapat kita ciptakan itu, maka dengarlah Armijn tatkala ia menyeru pada dirinya sendiri, ”Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, topan badai, ketempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru”.
Dari Perbendaharaan Lama
Taufik Abdullah
http://majalah.tempointeraktif.com/
ALKISAH, tersebutlah perkataan bahwa Syekh Shaqiq Zahid memberikan nasihat kepada Sultan Harun al-Rasyid.
”Ya, Amirul Mukminin, ketahuilah olehmu yang mata air itu engkau juga dan segala menteri dan hulubalang dan lain daripada itu seperti segala sungai juga umpamanya. Jikalau mata air itu suci dan segala sungai itu keruh tiada mengapa. Tetapi jika mata air itu keruh dan segala sungai itu suci tiada berguna.”
Maka sangatlah terharu Sultan mendengar perkataan ini karena Baginda merasakan juga akan kebenarannya. Syekh pun berkata lagi bahwa adapun ”mata air” itu pangkal segala-galanya, karena ia adalah Sultan Khalifatur rahman dan Sultan Zilu’l-lahi fi-l alam. Sebab, jika tidaklah demikian halnya, ”Raja itulah bayang-bayang iblis dan khalifah seteru Allah Ta’ala jua adanya.” Tapi, walaupun raja itu ”adil” dan kekuasaannya pun besar pula, ”sungai-sungai” harus sadar bahwa raja tidak lebih daripada ”hamba Allah”, yang telah dikurniai Allah ”kerajaan” dan ”kebesaran”. Karena itulah mereka harus menjaga kesucian atas kepercayaan yang telah diberikan Allah itu.
Dan Tajus-salatin atau ”Mahkota Segala Raja-raja” adalah kitab yang dikarang untuk mengajarkan dan mengingatkan orang akan tanggung jawab kekuasaan, atau dengan kata lain, ”kitab inilah tanda kurnia Allah Ta’ala akan kebajikan dunia dan akhirat”. Kitab ini boleh dikatakan risalah teori politik Islam tertua yang dikarang dalam bahasa Melayu. Mungkin diterjemahkan dari bahasa Persia, tapi tampaknya kitab ini adalah karya asli yang dipengaruhi Persia.
Kitab ini ditulis pada 1603 di Aceh Darussalam oleh Buchari al-Juhara. Penulisan kitab tersebut pada tahun ini bukanlah suatu kebetulan sejarah belaka, karena di masa itu Aceh Darussalam berpuluh tahun dilanda kemelut takhta. Para sultan bisa bertahan beberapa lama saja—ada yang mati terbunuh, ada yang dimakzulkan, dan bahkan ada juga yang dipenjarakan. Tidaklah salah kalau dikatakan bahwa Tajus-salatin adalah kitab yang paling berpengaruh di bumi Nusantara ini. Menurut Babad Yogya, sebagaimana dikutip Peter Carey, kitab ini adalah bacaan kegemaran Hamengku Buwono I, sang pendiri Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menasihati saudaranya, Hamengku Buwono IV, agar mempelajari kitab yang telah dibacanya ini.
”Tajus-salatin,” kata Carey, ”adalah teks pertama yang disalin di Keraton Yogyakarta, setelah Perang Jawa—suatu periode yang menunjukkan suasana renaisans dalam penulisan babad setelah perampokan besar-besaran oleh Inggris pada 1812.” Selama abad ke-19 kitab ini empat kali diterjemahkan ke bahasa Jawa. Jadi tak perlu heran kalau ada tulisan Ronggowarsito yang membayangkan pengaruh Tajus-salatin.
Sudah tentu pengaruh kitab ini sangat besar di daerah yang berbahasa Melayu. Konon Sultan Johor menolak ajakan Inggris ikut berdagang di Singapura, yang baru ”dijualnya”, karena terpengaruh oleh ajaran moral kitab ini. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, yang biasa dianggap sebagai tokoh peralihan sastra Melayu ”klasik” dan ”baru”, mengecam para raja di Tanah Semenanjung yang dianggapnya telah dekaden dan ketinggalan zaman . ”Maka sebab itu,” tulisnya, ”patutlah segala raja-raja itu menaruh kitab Tajus-salatin dan memilih akan dia setiap hari.”
Kitab ini dimulai dengan doktrin keagamaan, ”Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Ada pula peringatan bahwa hidup ini tak ubahnya seperti ”mimpi” saja, ”Dan apabila ia jaga daripada tidurnya, suatu pun tiada diperolehnya daripada mimpi itu,” karena dunia ini tidak lebih daripada ”pemberhentian” atau ”rumah” saja. Sekarang masuk, besok akan keluar. Dengan mengenal diri sendiri, manusia bisa mengenal Allah, maka ia pun menyadari juga hakikat ciptaan-Nya—dunia hanyalah tumpangan menjelang maut.
Jika saja ajaran kitab ini disederhanakan sekali, tampaklah bahwa segala bentuk dan corak kekuasaan semestinya bertumpu pada satu ajaran fundamental, yaitu terwujudnya keadilan. Tapi apakah ”adil” itu? Maka dikatakanlah bahwa ”yang adil itu kemuliaan agama, juga buat Sultan dan kebajikan sekalian manusia juga”. Sesungguhnya bagi kekuasaan ”pekerjaan adil adalah hikmat daripada Allah”. Perbuatan adil sang penguasa sama dengan 60 kali beribadah haji.
Secara moral dan agama, legitimasi atau daulat kekuasaan ditentukan oleh perbuatan dan pancaran keadilan dari sang penguasa. Tanpa adanya keadilan, maka secara moral keabsahan kekuasaan itu telah lenyap—”hilang daulat daripada aniaya”. Atau dalam rumusan yang lebih umum, ”Raja adil raja disembah, raja tak adil raja disanggah.” Tapi bagaimanakah bentuk ”sanggahan” yang dibenarkan terhadap ketidakadilan itu? Maka salah satu versi Tajus-salatin pun mencoba menjawabnya dalam bentuk sebuah dialog. Penguasa yang tak adil itu sebenarnya ”telah berpaling daripada hukum Allah dan menyangkal syariat itu seteru Allah Ta’ala dan seteru Rasul Allah. Maka haruslah kami berseteru dengan seteru Allah Ta’ala itu”.
Jadi, kalau begitu dibolehkankah melakukan tindakan ”durhaka” terhadap ”daulat” atau berontak? Tajus-salatin pun memaparkan kisah Nabi Musa yang menyelamatkan umatnya dari aniaya Firaun. Musa dan umatnya selamat, tapi Firaun dihukum Allah ketika laut yang terbelah kembali menyatu. Jadi ”sanggahan” tidak bisa disalin menjadi ”durhaka” kepada ”daulat”. Hukuman akhir akan ketidakadilan ada di tangan Allah.
Pandangan ini juga diajarkan oleh Sejarah Melayu, kitab termasyhur yang menguraikan sejarah Malaka. Dikisahkanlah bahwa ketika Bendahara dan para pengikutnya mengetahui bahwa ia dan menantunya, Tun Ali, akan dibunuh Sultan Mahmud, ia melarang anak buahnya membela diri, ”Hai, Hasan hendak membinasakan nama orang tua-tuakah? Karena adat Melayu, tiada pernah durhaka.” Maka Bendahara dan pengikutnya pun dibunuh. Keinginan Sultan mempersunting Tun Fatimah, janda Tun Ali yang putri Bendahara, tercapai. Tapi sebuah ajaran terselip juga. Sultan Mahmud, yang telah mengangkat anaknya, Sultan Ahmad, sebagai penguasa, harus merasakan apa artinya kekalahan. Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511). Rupanya hukuman Allah atas ketidakadilan datang dari kekuatan luar. Dan pusat kerajaan pun harus pindah ke Johor.
Kisah pun dilanjutkan oleh Tuhfat an-Nafis, kitab yang sangat bagus yang ditulis Raja Ali Haji pada awal abad ke-19. Dikisahkanlah bahwa pada suatu saat Sultan Johor bertindak terlalu sewenang-wenang dan zalim. Sekali peristiwa, ketika ia pulang dari masjid, seorang hulubalang menikamnya, maka sejak itu ia pun diingat sebagai Sultan Mahmud Mangkat Didulang. Karena ia tidak meninggalkan keturunan, dinasti Malaka pun dianggap berakhir pula (1699) dan Bendahara ditabalkan sebagai sultan. Tapi beberapa waktu kemudian Raja Kecil, yang dibesarkan di Pagaruyung, datang ke Bintan dan menyatakan dirinya sebagai anak Sultan Mahmud yang dapat diselamatkan. Kini ia menuntut haknya. Sultan Bendahara terusir dari istana dan bahkan dibunuh di Pahang. Hanya, bukankah dengan begini Raja Kecil telah durhaka juga? Ketika itulah putra Sultan yang telah terbunuh itu mengadakan aliansi dengan Daeng Perani, bangsawan Bugis, lima bersaudara. Raja Kecil pun terusir dari Riau-Johor dan mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura di Pulau Sumatera.
Hikayat Hang Tuah, kisah, bahkan mitos, kepahlawanan yang sangat terkenal yang dianggap terjadi di masa kejayaan Malaka, menjadikan ”daulat” yang tidak adil sebagai problem. Karena Sultan percaya saja akan hasutan bahwa Hang Tuah telah mengkhianatinya, ia pun memerintahkan Bendahara membunuh laksamana yang setia ini. Tapi Bendahara hanya menyuruh Hang Tuah menyingkir. Hang Jebat, teman akrab Tuah, tidak bisa menerima kezaliman ini, ia pun men-”durhaka”, bahkan berhasil mengusir Sultan dari istana. Ketika itulah Sultan menyesal, ”Andai kata si Tuah masih ada.” Bendahara mengatakan bahwa laksamana yang setia itu masih hidup.
Hang Tuah pun datang untuk menghadapi kedurhakaan temannya. Dalam perang tanding kedua sahabat itu, akhirnya Hang Jebat kalah. Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat berkata dengan kesedihan yang mendalam, ”Aku lakukan ini karena engkau telah dizalimi, Tuah.” Dengan sedih Hang Tuah menatap wajah temannya dan matanya menerawang entah ke mana (tapi ini adalah adegan terakhir film Hang Tuah yang diperankan P. Ramlee).
Ketika kisah-kisah yang sempat juga mempengaruhi kesadaran politik ini dikenang, batas antara ”sanggahan” dan ”durhaka” tertanyakan juga. Dalam suasana apakah ”sanggahan” berhenti pada dirinya saja? ”Kezaliman” seperti apakah yang bisa diselesaikan tanpa tergelincir pada ”kedurhakaan”? Jadi mestikah diherankan kalau kemudian ketika hasrat untuk mendirikan negara-bangsa telah ternukilkan dalam hati, sistem ”demokrasi” yang sehat pun ditampilkan ke muka. Demokrasi dianggap bukan sekadar pemenuhan hasrat modern, tapi terlebih lagi dirasakan sebagai penghambat jangan sampai ”sanggahan” menyeberang menjadi ”durhaka”, ketika ”daulat” telah menjadi zalim. Kalau penyeberangan itu terjadi, yang dihasilkannya hanyalah duka nestapa bagi semua. Wallahualam bissawab.
*) Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
http://majalah.tempointeraktif.com/
ALKISAH, tersebutlah perkataan bahwa Syekh Shaqiq Zahid memberikan nasihat kepada Sultan Harun al-Rasyid.
”Ya, Amirul Mukminin, ketahuilah olehmu yang mata air itu engkau juga dan segala menteri dan hulubalang dan lain daripada itu seperti segala sungai juga umpamanya. Jikalau mata air itu suci dan segala sungai itu keruh tiada mengapa. Tetapi jika mata air itu keruh dan segala sungai itu suci tiada berguna.”
Maka sangatlah terharu Sultan mendengar perkataan ini karena Baginda merasakan juga akan kebenarannya. Syekh pun berkata lagi bahwa adapun ”mata air” itu pangkal segala-galanya, karena ia adalah Sultan Khalifatur rahman dan Sultan Zilu’l-lahi fi-l alam. Sebab, jika tidaklah demikian halnya, ”Raja itulah bayang-bayang iblis dan khalifah seteru Allah Ta’ala jua adanya.” Tapi, walaupun raja itu ”adil” dan kekuasaannya pun besar pula, ”sungai-sungai” harus sadar bahwa raja tidak lebih daripada ”hamba Allah”, yang telah dikurniai Allah ”kerajaan” dan ”kebesaran”. Karena itulah mereka harus menjaga kesucian atas kepercayaan yang telah diberikan Allah itu.
Dan Tajus-salatin atau ”Mahkota Segala Raja-raja” adalah kitab yang dikarang untuk mengajarkan dan mengingatkan orang akan tanggung jawab kekuasaan, atau dengan kata lain, ”kitab inilah tanda kurnia Allah Ta’ala akan kebajikan dunia dan akhirat”. Kitab ini boleh dikatakan risalah teori politik Islam tertua yang dikarang dalam bahasa Melayu. Mungkin diterjemahkan dari bahasa Persia, tapi tampaknya kitab ini adalah karya asli yang dipengaruhi Persia.
Kitab ini ditulis pada 1603 di Aceh Darussalam oleh Buchari al-Juhara. Penulisan kitab tersebut pada tahun ini bukanlah suatu kebetulan sejarah belaka, karena di masa itu Aceh Darussalam berpuluh tahun dilanda kemelut takhta. Para sultan bisa bertahan beberapa lama saja—ada yang mati terbunuh, ada yang dimakzulkan, dan bahkan ada juga yang dipenjarakan. Tidaklah salah kalau dikatakan bahwa Tajus-salatin adalah kitab yang paling berpengaruh di bumi Nusantara ini. Menurut Babad Yogya, sebagaimana dikutip Peter Carey, kitab ini adalah bacaan kegemaran Hamengku Buwono I, sang pendiri Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menasihati saudaranya, Hamengku Buwono IV, agar mempelajari kitab yang telah dibacanya ini.
”Tajus-salatin,” kata Carey, ”adalah teks pertama yang disalin di Keraton Yogyakarta, setelah Perang Jawa—suatu periode yang menunjukkan suasana renaisans dalam penulisan babad setelah perampokan besar-besaran oleh Inggris pada 1812.” Selama abad ke-19 kitab ini empat kali diterjemahkan ke bahasa Jawa. Jadi tak perlu heran kalau ada tulisan Ronggowarsito yang membayangkan pengaruh Tajus-salatin.
Sudah tentu pengaruh kitab ini sangat besar di daerah yang berbahasa Melayu. Konon Sultan Johor menolak ajakan Inggris ikut berdagang di Singapura, yang baru ”dijualnya”, karena terpengaruh oleh ajaran moral kitab ini. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, yang biasa dianggap sebagai tokoh peralihan sastra Melayu ”klasik” dan ”baru”, mengecam para raja di Tanah Semenanjung yang dianggapnya telah dekaden dan ketinggalan zaman . ”Maka sebab itu,” tulisnya, ”patutlah segala raja-raja itu menaruh kitab Tajus-salatin dan memilih akan dia setiap hari.”
Kitab ini dimulai dengan doktrin keagamaan, ”Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Ada pula peringatan bahwa hidup ini tak ubahnya seperti ”mimpi” saja, ”Dan apabila ia jaga daripada tidurnya, suatu pun tiada diperolehnya daripada mimpi itu,” karena dunia ini tidak lebih daripada ”pemberhentian” atau ”rumah” saja. Sekarang masuk, besok akan keluar. Dengan mengenal diri sendiri, manusia bisa mengenal Allah, maka ia pun menyadari juga hakikat ciptaan-Nya—dunia hanyalah tumpangan menjelang maut.
Jika saja ajaran kitab ini disederhanakan sekali, tampaklah bahwa segala bentuk dan corak kekuasaan semestinya bertumpu pada satu ajaran fundamental, yaitu terwujudnya keadilan. Tapi apakah ”adil” itu? Maka dikatakanlah bahwa ”yang adil itu kemuliaan agama, juga buat Sultan dan kebajikan sekalian manusia juga”. Sesungguhnya bagi kekuasaan ”pekerjaan adil adalah hikmat daripada Allah”. Perbuatan adil sang penguasa sama dengan 60 kali beribadah haji.
Secara moral dan agama, legitimasi atau daulat kekuasaan ditentukan oleh perbuatan dan pancaran keadilan dari sang penguasa. Tanpa adanya keadilan, maka secara moral keabsahan kekuasaan itu telah lenyap—”hilang daulat daripada aniaya”. Atau dalam rumusan yang lebih umum, ”Raja adil raja disembah, raja tak adil raja disanggah.” Tapi bagaimanakah bentuk ”sanggahan” yang dibenarkan terhadap ketidakadilan itu? Maka salah satu versi Tajus-salatin pun mencoba menjawabnya dalam bentuk sebuah dialog. Penguasa yang tak adil itu sebenarnya ”telah berpaling daripada hukum Allah dan menyangkal syariat itu seteru Allah Ta’ala dan seteru Rasul Allah. Maka haruslah kami berseteru dengan seteru Allah Ta’ala itu”.
Jadi, kalau begitu dibolehkankah melakukan tindakan ”durhaka” terhadap ”daulat” atau berontak? Tajus-salatin pun memaparkan kisah Nabi Musa yang menyelamatkan umatnya dari aniaya Firaun. Musa dan umatnya selamat, tapi Firaun dihukum Allah ketika laut yang terbelah kembali menyatu. Jadi ”sanggahan” tidak bisa disalin menjadi ”durhaka” kepada ”daulat”. Hukuman akhir akan ketidakadilan ada di tangan Allah.
Pandangan ini juga diajarkan oleh Sejarah Melayu, kitab termasyhur yang menguraikan sejarah Malaka. Dikisahkanlah bahwa ketika Bendahara dan para pengikutnya mengetahui bahwa ia dan menantunya, Tun Ali, akan dibunuh Sultan Mahmud, ia melarang anak buahnya membela diri, ”Hai, Hasan hendak membinasakan nama orang tua-tuakah? Karena adat Melayu, tiada pernah durhaka.” Maka Bendahara dan pengikutnya pun dibunuh. Keinginan Sultan mempersunting Tun Fatimah, janda Tun Ali yang putri Bendahara, tercapai. Tapi sebuah ajaran terselip juga. Sultan Mahmud, yang telah mengangkat anaknya, Sultan Ahmad, sebagai penguasa, harus merasakan apa artinya kekalahan. Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511). Rupanya hukuman Allah atas ketidakadilan datang dari kekuatan luar. Dan pusat kerajaan pun harus pindah ke Johor.
Kisah pun dilanjutkan oleh Tuhfat an-Nafis, kitab yang sangat bagus yang ditulis Raja Ali Haji pada awal abad ke-19. Dikisahkanlah bahwa pada suatu saat Sultan Johor bertindak terlalu sewenang-wenang dan zalim. Sekali peristiwa, ketika ia pulang dari masjid, seorang hulubalang menikamnya, maka sejak itu ia pun diingat sebagai Sultan Mahmud Mangkat Didulang. Karena ia tidak meninggalkan keturunan, dinasti Malaka pun dianggap berakhir pula (1699) dan Bendahara ditabalkan sebagai sultan. Tapi beberapa waktu kemudian Raja Kecil, yang dibesarkan di Pagaruyung, datang ke Bintan dan menyatakan dirinya sebagai anak Sultan Mahmud yang dapat diselamatkan. Kini ia menuntut haknya. Sultan Bendahara terusir dari istana dan bahkan dibunuh di Pahang. Hanya, bukankah dengan begini Raja Kecil telah durhaka juga? Ketika itulah putra Sultan yang telah terbunuh itu mengadakan aliansi dengan Daeng Perani, bangsawan Bugis, lima bersaudara. Raja Kecil pun terusir dari Riau-Johor dan mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura di Pulau Sumatera.
Hikayat Hang Tuah, kisah, bahkan mitos, kepahlawanan yang sangat terkenal yang dianggap terjadi di masa kejayaan Malaka, menjadikan ”daulat” yang tidak adil sebagai problem. Karena Sultan percaya saja akan hasutan bahwa Hang Tuah telah mengkhianatinya, ia pun memerintahkan Bendahara membunuh laksamana yang setia ini. Tapi Bendahara hanya menyuruh Hang Tuah menyingkir. Hang Jebat, teman akrab Tuah, tidak bisa menerima kezaliman ini, ia pun men-”durhaka”, bahkan berhasil mengusir Sultan dari istana. Ketika itulah Sultan menyesal, ”Andai kata si Tuah masih ada.” Bendahara mengatakan bahwa laksamana yang setia itu masih hidup.
Hang Tuah pun datang untuk menghadapi kedurhakaan temannya. Dalam perang tanding kedua sahabat itu, akhirnya Hang Jebat kalah. Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat berkata dengan kesedihan yang mendalam, ”Aku lakukan ini karena engkau telah dizalimi, Tuah.” Dengan sedih Hang Tuah menatap wajah temannya dan matanya menerawang entah ke mana (tapi ini adalah adegan terakhir film Hang Tuah yang diperankan P. Ramlee).
Ketika kisah-kisah yang sempat juga mempengaruhi kesadaran politik ini dikenang, batas antara ”sanggahan” dan ”durhaka” tertanyakan juga. Dalam suasana apakah ”sanggahan” berhenti pada dirinya saja? ”Kezaliman” seperti apakah yang bisa diselesaikan tanpa tergelincir pada ”kedurhakaan”? Jadi mestikah diherankan kalau kemudian ketika hasrat untuk mendirikan negara-bangsa telah ternukilkan dalam hati, sistem ”demokrasi” yang sehat pun ditampilkan ke muka. Demokrasi dianggap bukan sekadar pemenuhan hasrat modern, tapi terlebih lagi dirasakan sebagai penghambat jangan sampai ”sanggahan” menyeberang menjadi ”durhaka”, ketika ”daulat” telah menjadi zalim. Kalau penyeberangan itu terjadi, yang dihasilkannya hanyalah duka nestapa bagi semua. Wallahualam bissawab.
*) Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Prof Dr Abdul Hadi WM: Indonesia tak Punya Rumah Kebudayaan Sendiri
Abdul Hadi W. M., Syahruddin El-Fikri (Pewawancara)
http://www.republika.co.id/
Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.
Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal. Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.
Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik. Berikut petikannya.
Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat?
Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.
Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.
Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah kesusastraan berkembang.
Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf Arab. Bagaimana awal mulanya?
Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.
Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.
Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika masuk ke Indonesia?
Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi, bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya, kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.
Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya atau awal masuknya Islam?
Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.
Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra Melayu.
Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat, dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini sangat kering dari nilai-nilai sastra.
Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan, undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah “adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi sumbernya dari Alquran dan hadis.
Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf. Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.
Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi, pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.
Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?
Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu diimplementasikan dalam estitika dan etika.
Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah (ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu salah?
Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa. Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.
Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa. Begitu?
Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan? Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu, tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.
Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?
Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil), hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya, Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah Allah.”
Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.
Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat gambar patung dan lainnya.
Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan. Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.
Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?
Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun, untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan lainnya.
Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga, bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari sastra.
Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi, di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.
Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?
Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi dilakukan.
Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa daerah di sekolah masing-masing?
Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi.
Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.
Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?
Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak. Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.
Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu, apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini kondisi kita sudah rusak.
Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan (sesaat) juga?
Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan sendiri.
Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz, disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.
Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?
Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas. Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu. Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.
Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi menyimpang?
Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah lagi tidak punya rumah kebudayaan.
Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari kualitas yang diajarkan.
Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?
Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.
Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.
http://www.republika.co.id/
Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.
Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal. Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.
Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik. Berikut petikannya.
Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat?
Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.
Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.
Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah kesusastraan berkembang.
Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf Arab. Bagaimana awal mulanya?
Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.
Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.
Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika masuk ke Indonesia?
Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi, bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya, kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.
Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya atau awal masuknya Islam?
Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.
Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra Melayu.
Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat, dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini sangat kering dari nilai-nilai sastra.
Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan, undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah “adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi sumbernya dari Alquran dan hadis.
Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf. Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.
Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi, pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.
Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?
Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu diimplementasikan dalam estitika dan etika.
Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah (ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu salah?
Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa. Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.
Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa. Begitu?
Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan? Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu, tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.
Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?
Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil), hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya, Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah Allah.”
Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.
Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat gambar patung dan lainnya.
Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan. Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.
Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?
Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun, untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan lainnya.
Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga, bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari sastra.
Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi, di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.
Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?
Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi dilakukan.
Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa daerah di sekolah masing-masing?
Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi.
Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.
Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?
Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak. Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.
Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu, apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini kondisi kita sudah rusak.
Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan (sesaat) juga?
Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan sendiri.
Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz, disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.
Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?
Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas. Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu. Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.
Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi menyimpang?
Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah lagi tidak punya rumah kebudayaan.
Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari kualitas yang diajarkan.
Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?
Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.
Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.
Menggumuli Estetika Tionghoa
Judul: Malam Buta Yin (kumpulan cerpen)
Pengarang: Sunlie Thomas Alexander
Tebal buku: x + 178 halaman
Penerbit: Gama Media
Kota Terbit: Yogyakarta
Tahun Terbit: Januari 2009
Peresinsi: Dahlia Rasyad*
http://www.lampungpost.com/
KEHIDUPAN di perkampungan Tionghoa ternyata memberi ketakjuban sekaligus mengundang tanya untuk diteliti. Sejarah kependudukan China di Indonesia, tepatnya di Pulau Bangka, kehidupan etnis dengan segala kebudayaannya yang telah terbungkam sejak masa Kesultanan hingga selama Orde Baru, kini tiba-tiba terasa bergejolak.
Kasus demi kasus tentang etnisitas, nasionalisme, agama, dan gender yang dahulu terdiskriminasi akibat politik terkuak dan memantulkan dialektika budaya yang khas tanpa menyoal masalah identitas dan ideologi Tionghoa itu sendiri. Sehingga terlihat pergeserannya baik dari pemikiran masyarakat, ruang gerak (kegiatan budaya dan agama, partisipasi politik), maupun kependudukan.
Cerpen-cerpen Sunlie menyajikan kompleksitas itu, digali secara memikat dan mendalam dengan kesepadanan lewat karakter tokoh-tokohnya demi integritas dalam satu tema sentral. Kedalaman psikologis yang menyentuh, intim, bergejolak, tetapi kadang sarkas mengukur sejauh mana studi jiwa pengarang dalam menjinakkan kenangan, mengakurasi sejarah, dan merapat (tetapi justru memberi celah kekontradiktifan) pada budaya dari etnis Melayu yang tumbuh di satu lingkungan sehingga karya-karya dalam buku ini terasa begitu kental dan oriental.
Meski sepenuhnya memosisikan kajian-kajian budaya sebagai aspek dasar cerita, cerpen-cerpen Sunlie bukan hanya memberi estetika tersebut di atas, melainkan juga menyediakan ruang kritik tentang gagasan-gagasan pribadi dan sudut pandang pengarang dari ketersituasian diri yang dipengaruhi oleh sosiologi.
Selain persoalan hibriditas dan feminisme terdapat upaya mengawetkan nilai-nilai tradisi Tionghoa menjadi sebentuk artefak yang tidak hanya dinikmati dan dikagumi semata, tetapi juga mengundang untuk diadili, ditelusuri.
Dari ritual pembakaran hio dalam cerpen Jelaga Hio khususnya merangkum etika moral, tata susila, dan filsafat hidup yang berada dalam tubuh Konfusianisme tanpa terjungkal menjadi propaganda. Feminisme dalam budaya pemikiran China Klasik pun terukur dalam cerpen Sui Sien, Pat Ngiat Pan, dan Malam Buta Yin.
Mulai dari dikotomi gender, prinsip pasif (perempuan)-aktif (laki-laki), suara-suara perempuan Tionghoa yang terbungkam, perempuan dan kutukan, hukum adat, kritik feminisme, sampai sejarah Mitologi China Dewi Bulan yang mengawali kebangkitan dinasti besar yang mendefinitkan bahwa mitos dan alam (selain agama) juga mampu membentuk kebudayaan. Karakter tokoh dibangun sebagai refleksi muasal perumusan dewa-dewi dalam angan-angan manusia yang menyenangkan, manusia yang berhasrat dan bernaluri mencipta mitos, dengan daya khayal yang menuntut pikiran serba ganjil yang tak rasional.
Dari aspek sosiologi agama misalnya, dimensi mistikal Hikayat Kuda Api membeberkan keinginan manusia sebagai penganut Islam (tokoh yang berada dalam hikayat) untuk mencari makna hidup atas hakiki hidup termulia dalam pandangan agama. Kuda berwarna merah menjadi simbol kegagahan dan kemurnian yang seakan menjadi titik patok antara baik dan buruk, haram dan halal, kafir dan sufi.
Kuda dan penunggangnya merupakan arus bolak-balik yang mana penunggang (mursyid) sebagai pengendali jalan kuda, dan kuda (kaum sufi) yang memilih penunggangnya. Sebuah refleksi Islam yang mengenal Al Khalifah di mana bukanlah legitimasi umatnya yang menentukan seseorang pemimpin kebatinan, melainkan keimanannya sendiri. “Keterpilihan” secara murni (dengan sendirinya) ini rawan memunculkan rasa iri yang berpretensi kelicikan, pengkhianatan, dan dusta antarsesama kaum sufi untuk menjadi “penunggang kuda”.
Berbeda dengan Bilur-Bilur Ungu Kuda yang Bermata Bintang Kejora, kuda menjadi simbol menyatunya antara elok rupa dan kekuatan jiwa dalam kerasnya hidup seorang perempuan sehingga tampil dalam integritas cantik yang mengagumkan.
Cerita-cerita yang tersuguh tidak bermaksud mendobrak budaya sama sekali, tetapi hanya mendeskripsikan hal-hal sentimentil (sendi-sendi lunak) budaya, agama dan filsafat China dengan komprehensif, menjadikan buku ini sangat representatif bagi etnis-etnis lainnya di nusantara.
*) Pengasuh Akademi Sastra Palembang (ASAP)
Pengarang: Sunlie Thomas Alexander
Tebal buku: x + 178 halaman
Penerbit: Gama Media
Kota Terbit: Yogyakarta
Tahun Terbit: Januari 2009
Peresinsi: Dahlia Rasyad*
http://www.lampungpost.com/
KEHIDUPAN di perkampungan Tionghoa ternyata memberi ketakjuban sekaligus mengundang tanya untuk diteliti. Sejarah kependudukan China di Indonesia, tepatnya di Pulau Bangka, kehidupan etnis dengan segala kebudayaannya yang telah terbungkam sejak masa Kesultanan hingga selama Orde Baru, kini tiba-tiba terasa bergejolak.
Kasus demi kasus tentang etnisitas, nasionalisme, agama, dan gender yang dahulu terdiskriminasi akibat politik terkuak dan memantulkan dialektika budaya yang khas tanpa menyoal masalah identitas dan ideologi Tionghoa itu sendiri. Sehingga terlihat pergeserannya baik dari pemikiran masyarakat, ruang gerak (kegiatan budaya dan agama, partisipasi politik), maupun kependudukan.
Cerpen-cerpen Sunlie menyajikan kompleksitas itu, digali secara memikat dan mendalam dengan kesepadanan lewat karakter tokoh-tokohnya demi integritas dalam satu tema sentral. Kedalaman psikologis yang menyentuh, intim, bergejolak, tetapi kadang sarkas mengukur sejauh mana studi jiwa pengarang dalam menjinakkan kenangan, mengakurasi sejarah, dan merapat (tetapi justru memberi celah kekontradiktifan) pada budaya dari etnis Melayu yang tumbuh di satu lingkungan sehingga karya-karya dalam buku ini terasa begitu kental dan oriental.
Meski sepenuhnya memosisikan kajian-kajian budaya sebagai aspek dasar cerita, cerpen-cerpen Sunlie bukan hanya memberi estetika tersebut di atas, melainkan juga menyediakan ruang kritik tentang gagasan-gagasan pribadi dan sudut pandang pengarang dari ketersituasian diri yang dipengaruhi oleh sosiologi.
Selain persoalan hibriditas dan feminisme terdapat upaya mengawetkan nilai-nilai tradisi Tionghoa menjadi sebentuk artefak yang tidak hanya dinikmati dan dikagumi semata, tetapi juga mengundang untuk diadili, ditelusuri.
Dari ritual pembakaran hio dalam cerpen Jelaga Hio khususnya merangkum etika moral, tata susila, dan filsafat hidup yang berada dalam tubuh Konfusianisme tanpa terjungkal menjadi propaganda. Feminisme dalam budaya pemikiran China Klasik pun terukur dalam cerpen Sui Sien, Pat Ngiat Pan, dan Malam Buta Yin.
Mulai dari dikotomi gender, prinsip pasif (perempuan)-aktif (laki-laki), suara-suara perempuan Tionghoa yang terbungkam, perempuan dan kutukan, hukum adat, kritik feminisme, sampai sejarah Mitologi China Dewi Bulan yang mengawali kebangkitan dinasti besar yang mendefinitkan bahwa mitos dan alam (selain agama) juga mampu membentuk kebudayaan. Karakter tokoh dibangun sebagai refleksi muasal perumusan dewa-dewi dalam angan-angan manusia yang menyenangkan, manusia yang berhasrat dan bernaluri mencipta mitos, dengan daya khayal yang menuntut pikiran serba ganjil yang tak rasional.
Dari aspek sosiologi agama misalnya, dimensi mistikal Hikayat Kuda Api membeberkan keinginan manusia sebagai penganut Islam (tokoh yang berada dalam hikayat) untuk mencari makna hidup atas hakiki hidup termulia dalam pandangan agama. Kuda berwarna merah menjadi simbol kegagahan dan kemurnian yang seakan menjadi titik patok antara baik dan buruk, haram dan halal, kafir dan sufi.
Kuda dan penunggangnya merupakan arus bolak-balik yang mana penunggang (mursyid) sebagai pengendali jalan kuda, dan kuda (kaum sufi) yang memilih penunggangnya. Sebuah refleksi Islam yang mengenal Al Khalifah di mana bukanlah legitimasi umatnya yang menentukan seseorang pemimpin kebatinan, melainkan keimanannya sendiri. “Keterpilihan” secara murni (dengan sendirinya) ini rawan memunculkan rasa iri yang berpretensi kelicikan, pengkhianatan, dan dusta antarsesama kaum sufi untuk menjadi “penunggang kuda”.
Berbeda dengan Bilur-Bilur Ungu Kuda yang Bermata Bintang Kejora, kuda menjadi simbol menyatunya antara elok rupa dan kekuatan jiwa dalam kerasnya hidup seorang perempuan sehingga tampil dalam integritas cantik yang mengagumkan.
Cerita-cerita yang tersuguh tidak bermaksud mendobrak budaya sama sekali, tetapi hanya mendeskripsikan hal-hal sentimentil (sendi-sendi lunak) budaya, agama dan filsafat China dengan komprehensif, menjadikan buku ini sangat representatif bagi etnis-etnis lainnya di nusantara.
*) Pengasuh Akademi Sastra Palembang (ASAP)
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar