Gerson Poyk
http://www.sinarharapan.co.id/
Sejak akhir masa Presiden Sukarno dan masa Presiden Suharto sampai hari ini, Indonesia telah kehilangan beberapa sastrawan, seperti J.E.Tatengkeng, Anak Agung Panji Tisna, Idrus, Takdir Alisyahbana, Iwan Simatupang, Nugroho Notosusanto, H.B.Jassin, Trisnoyuwono, Muhamad Ali, Kirjomulyo, Chairul Harun, Satyagraha Hoerip, dan Motinggo Boesye.
Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual.
Beberapa hari yang lalu, media massa nasional memberitakan kepulangan A.A.Navis kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Yakinlah bahwa Sang Pencipta Agung tidak akan menyia-nyiakan arwahnya, arwah seorang sastrawan yang telah diciptakanNya sebagai tonggak budaya personal yang selama hidupnya telah menciptakan budaya spiritual yang disebut sastra Indonesia – yang menjadi bagian dari sastra dunia.
Ars tonga (longa – Red.) vita brevis. (Seni berumur panjang, hidup manusia pendek – Red.). Sesaat setelah mengetahui kepulangannya, saya mengumpulkan sejumlah antologi sastra dalam negeri maupun antologi mancanegara dari perpustakaan pribadi. Sastrawan Ali Akbar Navis selalu ikut serta dalam antologi-antologi itu. Ia cukup diperhitungkan dalam sejarah sastra Indonesia maupun studi kesusastraaan oleh pakar-pakar asing sehingga setiap ada antologi dalam bahasa asing karya-karyanya diikutkan. Dengan demikian karyanya tersebar di dunia berbahasa Inggris dan sebagainya, di samping bahasa Indonesia, Malaysia dan Brunai. Dalam antologi raksasa berbahasa Inggris (709 halaman), dikatakan bahwa A.A.Navis, sastrawan peraih hadiah sastra bergengsi di Asia, Sea Write Award 1974, telah mempunyai dua kumpulan cerpen, yaitu The Downfall of Our Surau (1957), Hujan Panas (1962) dan Bianglala (1963). Sebenarnya cerpen yang belum dibukukan masih banyak lagi. Novelnya adalah Kemarau (1975), The Lonely Girl (1970). Di samping cerpennya yang cukup banyak, esei, artikelnya, paper dan makalahnya bertumpuk di lemarinya, menunggu ada kemauan politik dan industri penerbitan kita untuk memperkaya budaya spiritual bangsa dalam bentuk buku.
Saya tidak terlalu dekat dengan almarhum seperti halnya kedekatan saya dengan Trisnoyuwono yang maha nyentrik itu, atau Boesye, Oyik (Satyagraha Hoerip) dan Chairul Harun karena gaya hidup Navis agak ”aristokrat” seperti Asrul Sani dan Nugroho Notosusanto misalnya yang selalu tampak bersih, tidak slebor dan haram untuk tidur di sembarang tempat, terutama di Balai Budaya dan juga haram untuk makan di mana saja, di rumah teman atau di warteg.
Selain itu hanya sastrawan yang tinggal di Padang, Pekan Baru, Makassar dan Medan yang selalu muncul di Jakarta dengan menumpang pesawat terbang, kapal laut atau jalan darat. Selebihnya tidak mampu. Sastrawan Navis selalu muncul di Jakarta mungkin untuk urusan dinas dan ceramah di TIM. Akan tetapi saya selalu mencatat di mana ada sastrawan di kota-kota di Indonesia ini. Soalnya sebagai seorang wartawan freelance yang ketika itu lagi gila-gilanya mengembara di semua provinsi di negeri ini perlu tempat menggeletakkan badan di tikar mereka ketika kelelahan, lapar dan sakit. Di kota-kota yang ada sastrawannya, pasti rumahnya akan saya jadikan hotel prodeo. Ketika mengembara dari Banda Aceh, lewat Sumatera Utara menembus ke Padang, Sumatera Barat, saya jatuh sakit dalam perjalanan. Panas dingin, batuk pilek. Di benak saya rumah Navis akan saya jadikan rumah sakit sekaligus rumah makan karena di kantong hanya tinggal beberapa sen untuk membeli aspirin. Dibuang oleh bus di terminal, saya tertatih-tatih ke Pusat Budaya Padang menanyakan rumah Navis. Ternyata sastrawan kita ada di Jakarta. Untung saya bertamu dengan Chairul Harun sastrawan dan budayawan Minang, teman lama sejak bermanikebu di Jakarta dulu. Setelah panas badan turun pengembaraan di Pulau Sumatera diteruskan.
Di Jakarta, pada suatu malam. Ketika saya makan malam di warung tenda di depan TIM bersama Sutarji dan Ikranegara, di pojok sana duduk sastrawan Navis menikmati makan malamnya. Kami bertiga makan dan minum bir sejadi-jadinya. Makin lama Ikra dan Sutarji makin berceloteh, tertawa tergelak-gelak. Rupanya saya sedang menderita stres berat karena masalah rumah tangga sehingga bermalam-malam saya mengembara dari kaki lima ke kaki lima, dari stasiun ke stasiun, menggeletak di mana saja kalau sudah ngantuk. Setiap malam minum TKW putih, bir dan wiski. Rupanya alkohol (etil dan metil) segala telah til-til mengental menggerogoti otak saya sehingga cepat tersinggung, marah dan pemberani tak takut mati. Preman-preman saya ajak begadang minum TKW lalu meminta mereka adu panco. Ternyata otot saya lebih kuat sehingga mereka segan seakan menunggu waktu saya diangkat menjadi kepala preman. Ketika keduanya ribut saya masih tenang tetapi ketika Tarji menghamburkan kata tak tak tak dan biawak, saya tersinggung lalu mengambil botol bir dan memecahkannya di meja. Semua diam, membelalak. Tarji dan Ikra pergi setelah Navis membayar semua makanan dan minuman kami.
”Maaf, Bang, ” kata saya.
”Tarji dekaden, tapi Anda tak dapat menahan diri. Kalau pecahan botol kena mata orang…”
”Maaf Bang, maaf,” kata saya.
Untung saya segera sadar dan mencari Tarji untuk minta maaf.
Adegan itu tertera dalam buku biografi A.A Navis yang ditulis oleh Abrar Yusra. Hanya saja, dalam buku biografi Navis itu saya disebut alkoholik. Sebenarnya tidak sama sekali. Ketika badai krisis rumah tangga berlalu saya berhenti minum minuman haram itu. Bertobat, ceritanya. Mesin tik saya lalu berdetak-detik, tik tik tik setiap malam, buku-buku kembali dibuka, dibaca, dicoret sana sini. Siang malam membaca, mengarang mencari honor untuk membiayai kuliah anak-anak sehingga menjadi sarjana, wartawati dan dosen.
* * *
Ketika A.A.Navis menjadi direktur INS Kayutanam, sebenarnya tersedia jalan terbuka untuk membebaskan negeri ini dari pengangguran, urbanisasi dan utang yang menggunung. Lembaga pendidikan ini berseru sesuai dengan satu kalimat dari puisi Sitor. ”Anak, jadilah tukang”. Seruan atau imbauan ini sangat inspiratif bagi usaha penanggulangan pengangguran dan urbanisasi. Sayang, ketika membaca lifletnya, tampaknya lembaga ini dibawa ke pendidikan formal yang begitu banyak menelurkan penganggur di negeri ini.
Diharapkan suatu sayap pendidikan non-formal yang produktif dan kreatif dari lembaga ini dengan tamatannya yang membawa alat pertukangan dan teknologi tepat guna termasuk komputer dengan internetnya ke lembah-lembah sepanjang trans Sumatra untuk membuat desa-desa seni-budaya dan pariwisata yang subsisten di bidang pangan dan sandang serta pengobatan tradisional dari tumbuhan hutan dan tanaman. Dengan demikian, Navis dapat dikatakan sebagai bukan saja berbakti kepada keindahan lewat sastra tetapi juga telah merintis usaha mengatasi kemiskinan dan penderitaan melalui lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Semoga perjalanannya dilanjutkan oleh generasi muda. **
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 05 April 2009
Mereka Para Pencipta
Wicaksono, Hermien Y. Kleden, Yusi A. Pareanom,
Ahmad Fuadi, Hani Pudjiarti, Raju Febrian
http://majalah.tempointeraktif.com/
Bukan hanya di dunia film, masyarakat komik pun punya sebutan The Big Five. Mereka adalah Jan Mintaraga, Ganes T.H., Sim, Zaldy, dan Hans Jaladara. Tentu saja mereka dikategorikan sebagai komikus besar karena perhitungan pasar. Tapi perhitungan lain, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma yang mengaku kolektor komik itu, adalah karena lima besar ini adalah para komikus yang karyanya mencantumkan harga dalam rupiah dan ringgit. Itu artinya, karya para komikus itu diekspor oleh pabrik komik Eres.
Ada lagi sebutan “The Big Seven”, yakni kelima komikus tadi plus dua nama lain, yaitu Djair Warni dan Jeffry. Ke mana saja mereka? Apakah mereka masih berprofesi sebagai komikus? Inilah wajah sebagian komikus Indonesia.
Hans Jaladara, 52 tahun, “Panji Tengkorak”
Dalam diam, pendekar itu menyeret peti mati yang berisi jenazah seorang perempuan. Ia membawanya ke pusat keramaian maupun ke sudut-sudut sepi. Pendekar berbadan kurus itu bernama Panji Tengkorak. Siapa perempuan dalam peti itu? Dia adalah Mesia, istri yang tak dicintainya. Panji menyeret peti itu karena sebuah ikatan janji. Naif? Absurd? Entah, tapi adegan tersebut mampu menggetarkan para pembaca komik Hans Jaladara.
Karakter Panji yang antihero tersebut, menurut Hans Jaladara—bernama asli Hans Riyanto—sebetulnya tampil justru “bukan dari segi keperkasaannya,” ujar Hans. Bahkan, menurut Seno Gumira Ajidarma, sastrawan yang mengaku penggemar berat Panji Tengkorak, ini bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis. Tak mengherankan bila dari satu jilid ke jilid yang lain, Panji digambarkan berhati lemah dan gampang jatuh ke dalam kendali tangan perempuan. Menurut Hans, yang lahir di Yogya 52 tahun lalu, petualangan dan filosofi hidup Panji lahir dari perbincangan dengan teman-temannya. Selain Panji Tengkorak, dari tangan Hans juga muncul komik Belibis Putih, Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian Boma, yang tak kalah populer.
Dunia komik memang sudah menarik minat Hans sejak kecil. Anak kedua dari tiga bersaudara putra Linggodito ini masih ingat dirinya melonjak kegirangan ketika diberi hadiah komik Jepang dan Amerika oleh sang ayah pada hari ulang tahunnya yang kedelapan. Sejak itu ia makin gemar corat-coret. Bahkan, satu hari ia pernah mengerjakan semua tugas menggambar temannya di sekolah sampai lupa menggambar untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ketika dewasa, untuk mengasah bakat seninya, Hans belajar di Sekolah Seni Rupa Nasional.
Pilihan Hans untuk menggeluti komik tak sia-sia. Selain ia beroleh penghasilan yang lumayan—setara dengan gaji pegawai negeri menengah—karya komiknya juga diangkat ke layar lebar. Walaupun tidak menjadi kaya, dari hasil tabungannya Hans mampu membeli mobil dan rumah dengan kredit. Pada 1979, Panji Tengkorak dihargai Rp 500 ribu oleh produser.
Saat ini, Hans, yang menekuni dunia lukis, mengaku kembali menelan kekecewaan. Panji Tengkorak versi baru yang diterbitkan Elex Media Komputindo hanya menghasilkan Rp 3 juta untuk dia. Ironisnya, yang kecewa bukan hanya Hans. Seno Gumira Ajidarma merasa Panji versi baru kehilangan identitas karena sangat mirip dengan komik Jepang. “Panji Tengkorak jadi kehilangan seluruh wibawanya, mitologinya hilang,” ujar Seno. Namun Seno tetap mengakui bahwa cerita Panji tetap dahsyat.
Seyogianya, jika penerbitnya memiliki kreativitas dan kejelian, karya lama Hans, yang menurut Seno mampu menampilkan gambar yang puitis dengan kemampuan detail yang mengagumkan, perlu diterbitkan kembali sebagaimana aslinya. “Sebaiknya, jika memang ingin menampilkan keindonesiaan itu, Hans harus dibiarkan melukis sesuai dengan Panji Tengkorak gaya lama,” ujar Seno.
R.A. Kosasih, 80 tahun, “Mahabharata” dan “Ramayana”
Dari tangannya yang keriput, sejarah pewayangan bergerak dan menjadi gambar hidup. Hastinapura, Indraprasta, Dursasana yang durjana, Drupadi yang setia, Yudhistira yang sabar, Srikandi yang perkasa, dan nasib Bambang Ekalaya yang tragis. R.A. Kosasih, yang kini menginjak usianya yang ke-80 tahun, mungkin orang yang patut berbahagia di negeri ini. Sebab, melalui karya-karyanya ia bukan saja telah memperkenalkan wayang kepada masyarakat Indonesia—non-Jawa—tetapi ia juga telah memasyarakatkan tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Tapi Kosasih adalah sebuah kesederhanaan. Dia pasti tak tahu bahwa pengagumnya berderet, mulai dari Sardono W. Kusumo, Arswendo Atmowiloto, Umar Kayam, Marsilam Simanjuntak, hingga kartunis G.M. Sudarta, dan juga ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia (Tempo, 21 Desember 1991).
Lahir di Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, Kosasih adalah putra bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Raden Wiradikusuma. Diawali dari mengamati bungkusan sayur yang berisi potongan kartun Tarzan, Kosasih yang gemar nonton wayang golek itu sering mencoba melukis kartun, yang kemudian diberikan kepada tetangganya.
Tahun 1939 ia mulai melukis ilustrasi untuk buku-buku keluaran Departemen Pertanian Bogor. Debutnya sebagai pengarang komik dimulai pada 1953. Lulusan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Pasundan itu memulai serial pertamanya Sri Asih, yang dicetak 3.000 eksemplar dan habis licin tandas. Setelah itu, Siti Gahara, Sri dewi, serial Mahabharata, Ramayana, dan… sejarah pun bergulir.
Kini, dalam usianya yang ke-80, jari-jarinya yang gemetar itu hanya sanggup memegang dan menikmati komik impor Jepang milik cucunya. Perjalanan usia—dan menurunnya produktivitas—membuat namanya meredup. Namun itu bukan satu-satunya sebab: komik Indonesia memang tidak terus-terusan berjaya. Kosasih mengaku, minat pembeli terhadap komik wayang mulai menurun selepas tahun 1980-an, bersamaan dengan banjirnya komik impor—Jepang terutama. Sejak 1993, Kosasih tak pernah lagi menyentuh pen dan tinta. Kini ia tinggal di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan. Di lantai atas rumah itu, di sebuah ruang berukuran 5 x 20 meter, Kosasih dan istrinya menjalani hari-hari dengan tenang. Di sudut ruangan, ia menyimpan semua peralatan gambarnya dengan rapi untuk kenang-kenangan.
Untuk menunjang hidup, ia masih memperoleh royalti sekadarnya dari komik Mahabharata yang dicetak ulang penerbit Gramedia.
Jan Mintaraga, 57 tahun, “Rio Purbaya” (dalam “Sebuah Noda Hitam”)
Seorang pemuda mengenakan jins, sepatu kets, menggelantung jaket di pundaknya dengan wajah yang kumuh bak Kota Jakarta. Itulah ciri khas goretan Jan Mintaraga dalam komik-komik “roman Jakarta”—demikianlah julukan “genre” komik karya Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. “Dia mampu menangkap semangat zaman,” tutur Seno Gumira Ajidarma.
Lahir di Yogyakarta pada 1942, Jan belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dengan guru yang lebih dikenal sebagai komikus wayang, Jan malah lebih terkenal sebagai komikus roman remaja. Ia dianggap sebagai komikus yang agak kebarat-baratan, terutama karena gayanya sangat dipengaruhi komikus Amerika.
“Komik saya terilhami lagu-lagu Bob Dylan,” tutur Jan mengakui. Ia selalu mengambil seting Kota Jakarta, metropolitan, kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya. Tapi ia juga sempat membuat beberapa komik laga seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. “Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office,” ujar Jan, yang pernah mengenyam bangku Seni Rupa ITB dan Insitut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saking populernya komik itu, aktor Roy Marten, yang pernah ngetop pada masa itu, mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans belel.
Pada 1970-an, untuk komik setebal 48 halaman, honor Jan adalah Rp 200 ribu. Sebagai gambaran, harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya.
Djair Warni, 49 tahun, “Jaka Sembung”
Dia adalah satu dari “The Big Seven”. Dan Djair Warni, komikus itu, menjadi salah satu dari tujuh besar karena karyanya Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Seperti rekan-rekannya sesama “The Big Five”, Djair tergolong komikus otodidak. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair bercita-cita sebagai insinyur. “Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan,” tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak) ini.
Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga memiliki pengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.
Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita—terdiri dari 7 sampai 10 jilid—ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, “Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri,” kata Djair. Ia kini banting setir menekuni profesi di dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario. Salah satu karyanya adalah skenario film Fatahillah, yang dibiayai Pemerintah DKI (1997).
Ahmad Thoriq, 29 tahun, “Caroq”
Inilah wakil generasi baru komikus Indonesia: Ahmad Thoriq. Bersama dengan Peong, yang tergabung dalam kelompok Qomiq Nasional, Thoriq menciptakan Caroq—sosok superhero modern dengan warna lokal. Dia bertopeng merah, berambut gondrong acak, berpakaian ketat, dan dia datang membela rakyat pada saat yang diperlukan dengan menggunakan senjata andalannya: sebuah celurit panjang.
Thoriq lahir di Kota Kembang, 20 November 1969. Berbeda dengan kebanyakan komikus Indonesia era sebelum 1990-an yang otodidak, Thoriq berlatar belakang akademik dan menyandang gelar kesarjaan dari Fakultas Seni Rupa ITB (1991-1996).
Sebagai komikus muda, karya Thoriq terhitung matang. Karakter ciptaannya kuat, garis lukisannya tegas. Salah satu karyanya yang menjadi sampul depan TEMPO edisi Januari lalu disambut oleh kalangan pembaca.
Dari karya-karyanya, terutama serial Caroq, Thoriq sangat terpengaruh gaya komikus Amerika. “Terus terang saya suka gaya (Amerika) itu karena lebih universal dan idealis,” ujar Thoriq. Mengapa tak mencari identitas?”Itu merupakan jalan saya berproses sampai menemukan gaya tersendiri,” jawab Thoriq mengemukakan alasan. Walau demikian, toh dia mengaku menyukai gaya komikus Indonesia Jan Mintaraga dan Djair, karena dramatisasi gambar komikus itu dianggapnya menarik. Thoriq mengisahkan bahwa gagasan sosok Caroq muncul pada 1991-1992 di kampus ITB. Sedangkan proses pematangannya memakan waktu sampai tiga tahun, termasuk penokohan dan cerita. Setiap anggota Qomiq Nasional punya jatah pekerjaan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan komik itu. “Saya mengerjakan dengan pensil, Peong dengan tinta, Hilman kebagian pewarnaan, dan Pidi bagian penyuntingan,” tutur Thoriq. Kini ia sedang mempersiapkan komik lain yang membahas soal Indonesia, dari Gajah Mada sampai Zaman Reformasi. Tapi, namanya juga seniman, entah kapan komik itu beredar.***
Ahmad Fuadi, Hani Pudjiarti, Raju Febrian
http://majalah.tempointeraktif.com/
Bukan hanya di dunia film, masyarakat komik pun punya sebutan The Big Five. Mereka adalah Jan Mintaraga, Ganes T.H., Sim, Zaldy, dan Hans Jaladara. Tentu saja mereka dikategorikan sebagai komikus besar karena perhitungan pasar. Tapi perhitungan lain, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma yang mengaku kolektor komik itu, adalah karena lima besar ini adalah para komikus yang karyanya mencantumkan harga dalam rupiah dan ringgit. Itu artinya, karya para komikus itu diekspor oleh pabrik komik Eres.
Ada lagi sebutan “The Big Seven”, yakni kelima komikus tadi plus dua nama lain, yaitu Djair Warni dan Jeffry. Ke mana saja mereka? Apakah mereka masih berprofesi sebagai komikus? Inilah wajah sebagian komikus Indonesia.
Hans Jaladara, 52 tahun, “Panji Tengkorak”
Dalam diam, pendekar itu menyeret peti mati yang berisi jenazah seorang perempuan. Ia membawanya ke pusat keramaian maupun ke sudut-sudut sepi. Pendekar berbadan kurus itu bernama Panji Tengkorak. Siapa perempuan dalam peti itu? Dia adalah Mesia, istri yang tak dicintainya. Panji menyeret peti itu karena sebuah ikatan janji. Naif? Absurd? Entah, tapi adegan tersebut mampu menggetarkan para pembaca komik Hans Jaladara.
Karakter Panji yang antihero tersebut, menurut Hans Jaladara—bernama asli Hans Riyanto—sebetulnya tampil justru “bukan dari segi keperkasaannya,” ujar Hans. Bahkan, menurut Seno Gumira Ajidarma, sastrawan yang mengaku penggemar berat Panji Tengkorak, ini bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis. Tak mengherankan bila dari satu jilid ke jilid yang lain, Panji digambarkan berhati lemah dan gampang jatuh ke dalam kendali tangan perempuan. Menurut Hans, yang lahir di Yogya 52 tahun lalu, petualangan dan filosofi hidup Panji lahir dari perbincangan dengan teman-temannya. Selain Panji Tengkorak, dari tangan Hans juga muncul komik Belibis Putih, Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian Boma, yang tak kalah populer.
Dunia komik memang sudah menarik minat Hans sejak kecil. Anak kedua dari tiga bersaudara putra Linggodito ini masih ingat dirinya melonjak kegirangan ketika diberi hadiah komik Jepang dan Amerika oleh sang ayah pada hari ulang tahunnya yang kedelapan. Sejak itu ia makin gemar corat-coret. Bahkan, satu hari ia pernah mengerjakan semua tugas menggambar temannya di sekolah sampai lupa menggambar untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ketika dewasa, untuk mengasah bakat seninya, Hans belajar di Sekolah Seni Rupa Nasional.
Pilihan Hans untuk menggeluti komik tak sia-sia. Selain ia beroleh penghasilan yang lumayan—setara dengan gaji pegawai negeri menengah—karya komiknya juga diangkat ke layar lebar. Walaupun tidak menjadi kaya, dari hasil tabungannya Hans mampu membeli mobil dan rumah dengan kredit. Pada 1979, Panji Tengkorak dihargai Rp 500 ribu oleh produser.
Saat ini, Hans, yang menekuni dunia lukis, mengaku kembali menelan kekecewaan. Panji Tengkorak versi baru yang diterbitkan Elex Media Komputindo hanya menghasilkan Rp 3 juta untuk dia. Ironisnya, yang kecewa bukan hanya Hans. Seno Gumira Ajidarma merasa Panji versi baru kehilangan identitas karena sangat mirip dengan komik Jepang. “Panji Tengkorak jadi kehilangan seluruh wibawanya, mitologinya hilang,” ujar Seno. Namun Seno tetap mengakui bahwa cerita Panji tetap dahsyat.
Seyogianya, jika penerbitnya memiliki kreativitas dan kejelian, karya lama Hans, yang menurut Seno mampu menampilkan gambar yang puitis dengan kemampuan detail yang mengagumkan, perlu diterbitkan kembali sebagaimana aslinya. “Sebaiknya, jika memang ingin menampilkan keindonesiaan itu, Hans harus dibiarkan melukis sesuai dengan Panji Tengkorak gaya lama,” ujar Seno.
R.A. Kosasih, 80 tahun, “Mahabharata” dan “Ramayana”
Dari tangannya yang keriput, sejarah pewayangan bergerak dan menjadi gambar hidup. Hastinapura, Indraprasta, Dursasana yang durjana, Drupadi yang setia, Yudhistira yang sabar, Srikandi yang perkasa, dan nasib Bambang Ekalaya yang tragis. R.A. Kosasih, yang kini menginjak usianya yang ke-80 tahun, mungkin orang yang patut berbahagia di negeri ini. Sebab, melalui karya-karyanya ia bukan saja telah memperkenalkan wayang kepada masyarakat Indonesia—non-Jawa—tetapi ia juga telah memasyarakatkan tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Tapi Kosasih adalah sebuah kesederhanaan. Dia pasti tak tahu bahwa pengagumnya berderet, mulai dari Sardono W. Kusumo, Arswendo Atmowiloto, Umar Kayam, Marsilam Simanjuntak, hingga kartunis G.M. Sudarta, dan juga ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia (Tempo, 21 Desember 1991).
Lahir di Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, Kosasih adalah putra bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Raden Wiradikusuma. Diawali dari mengamati bungkusan sayur yang berisi potongan kartun Tarzan, Kosasih yang gemar nonton wayang golek itu sering mencoba melukis kartun, yang kemudian diberikan kepada tetangganya.
Tahun 1939 ia mulai melukis ilustrasi untuk buku-buku keluaran Departemen Pertanian Bogor. Debutnya sebagai pengarang komik dimulai pada 1953. Lulusan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Pasundan itu memulai serial pertamanya Sri Asih, yang dicetak 3.000 eksemplar dan habis licin tandas. Setelah itu, Siti Gahara, Sri dewi, serial Mahabharata, Ramayana, dan… sejarah pun bergulir.
Kini, dalam usianya yang ke-80, jari-jarinya yang gemetar itu hanya sanggup memegang dan menikmati komik impor Jepang milik cucunya. Perjalanan usia—dan menurunnya produktivitas—membuat namanya meredup. Namun itu bukan satu-satunya sebab: komik Indonesia memang tidak terus-terusan berjaya. Kosasih mengaku, minat pembeli terhadap komik wayang mulai menurun selepas tahun 1980-an, bersamaan dengan banjirnya komik impor—Jepang terutama. Sejak 1993, Kosasih tak pernah lagi menyentuh pen dan tinta. Kini ia tinggal di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan. Di lantai atas rumah itu, di sebuah ruang berukuran 5 x 20 meter, Kosasih dan istrinya menjalani hari-hari dengan tenang. Di sudut ruangan, ia menyimpan semua peralatan gambarnya dengan rapi untuk kenang-kenangan.
Untuk menunjang hidup, ia masih memperoleh royalti sekadarnya dari komik Mahabharata yang dicetak ulang penerbit Gramedia.
Jan Mintaraga, 57 tahun, “Rio Purbaya” (dalam “Sebuah Noda Hitam”)
Seorang pemuda mengenakan jins, sepatu kets, menggelantung jaket di pundaknya dengan wajah yang kumuh bak Kota Jakarta. Itulah ciri khas goretan Jan Mintaraga dalam komik-komik “roman Jakarta”—demikianlah julukan “genre” komik karya Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. “Dia mampu menangkap semangat zaman,” tutur Seno Gumira Ajidarma.
Lahir di Yogyakarta pada 1942, Jan belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dengan guru yang lebih dikenal sebagai komikus wayang, Jan malah lebih terkenal sebagai komikus roman remaja. Ia dianggap sebagai komikus yang agak kebarat-baratan, terutama karena gayanya sangat dipengaruhi komikus Amerika.
“Komik saya terilhami lagu-lagu Bob Dylan,” tutur Jan mengakui. Ia selalu mengambil seting Kota Jakarta, metropolitan, kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya. Tapi ia juga sempat membuat beberapa komik laga seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. “Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office,” ujar Jan, yang pernah mengenyam bangku Seni Rupa ITB dan Insitut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saking populernya komik itu, aktor Roy Marten, yang pernah ngetop pada masa itu, mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans belel.
Pada 1970-an, untuk komik setebal 48 halaman, honor Jan adalah Rp 200 ribu. Sebagai gambaran, harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya.
Djair Warni, 49 tahun, “Jaka Sembung”
Dia adalah satu dari “The Big Seven”. Dan Djair Warni, komikus itu, menjadi salah satu dari tujuh besar karena karyanya Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Seperti rekan-rekannya sesama “The Big Five”, Djair tergolong komikus otodidak. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair bercita-cita sebagai insinyur. “Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan,” tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak) ini.
Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga memiliki pengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.
Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita—terdiri dari 7 sampai 10 jilid—ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, “Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri,” kata Djair. Ia kini banting setir menekuni profesi di dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario. Salah satu karyanya adalah skenario film Fatahillah, yang dibiayai Pemerintah DKI (1997).
Ahmad Thoriq, 29 tahun, “Caroq”
Inilah wakil generasi baru komikus Indonesia: Ahmad Thoriq. Bersama dengan Peong, yang tergabung dalam kelompok Qomiq Nasional, Thoriq menciptakan Caroq—sosok superhero modern dengan warna lokal. Dia bertopeng merah, berambut gondrong acak, berpakaian ketat, dan dia datang membela rakyat pada saat yang diperlukan dengan menggunakan senjata andalannya: sebuah celurit panjang.
Thoriq lahir di Kota Kembang, 20 November 1969. Berbeda dengan kebanyakan komikus Indonesia era sebelum 1990-an yang otodidak, Thoriq berlatar belakang akademik dan menyandang gelar kesarjaan dari Fakultas Seni Rupa ITB (1991-1996).
Sebagai komikus muda, karya Thoriq terhitung matang. Karakter ciptaannya kuat, garis lukisannya tegas. Salah satu karyanya yang menjadi sampul depan TEMPO edisi Januari lalu disambut oleh kalangan pembaca.
Dari karya-karyanya, terutama serial Caroq, Thoriq sangat terpengaruh gaya komikus Amerika. “Terus terang saya suka gaya (Amerika) itu karena lebih universal dan idealis,” ujar Thoriq. Mengapa tak mencari identitas?”Itu merupakan jalan saya berproses sampai menemukan gaya tersendiri,” jawab Thoriq mengemukakan alasan. Walau demikian, toh dia mengaku menyukai gaya komikus Indonesia Jan Mintaraga dan Djair, karena dramatisasi gambar komikus itu dianggapnya menarik. Thoriq mengisahkan bahwa gagasan sosok Caroq muncul pada 1991-1992 di kampus ITB. Sedangkan proses pematangannya memakan waktu sampai tiga tahun, termasuk penokohan dan cerita. Setiap anggota Qomiq Nasional punya jatah pekerjaan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan komik itu. “Saya mengerjakan dengan pensil, Peong dengan tinta, Hilman kebagian pewarnaan, dan Pidi bagian penyuntingan,” tutur Thoriq. Kini ia sedang mempersiapkan komik lain yang membahas soal Indonesia, dari Gajah Mada sampai Zaman Reformasi. Tapi, namanya juga seniman, entah kapan komik itu beredar.***
Tentang Kebudayaan Massa dalam Masyarakat
Judul: Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia
Penyunting: Idi Subandi Ibrahim
Edisi Kedua, Tahun 2005(?)
Penerbit: Jalasutra Yogyakarta
Tebal: xlvii + 397 halaman
Peresensi: Rimbun Natamarga
http://www.ruangbaca.com/
Idi Subandi Ibrahim pernah menyunting sebuah kumpulan tulisan tentang kebudayaan massa di Indonesia yang diberi judul Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, Bandung, 1997) sembari menanyakan keberadaan moralitas di dalamnya. Terlepas dari apapun moralitas yang dipertanyakan dalam produk-produk kebudayaan massa, dalam Lubang Hitam Kebudayaan (Kanisius, Yogyakarta, 2002) hasil penelitian Hikmat Budiman, generasi yang lahir dan tumbuh di dalam kebudayaan tersebut di Indonesia ini justru telah berperan penting menjatuhkan Suharto dari kekuasaannya pada tahun 1998. Generasi itu, dengan mengutip istilah Bre Redana, seorang wartawan Kompas, olehnya disebut sebagai “Generasi MTV.”
Penerbit Jalasutra akhirnya menerbitkan kembali kumpulan tulisan tersebut. Ada 24 tulisan di dalamnya ditambah semacam “Kata Pengantar” oleh penyunting. Beberapa kontributor antara lain—dapat disebutkan di sini—Ariel Heryanto, Ashadi Siregar, Bre Redana, Clifford Geertz, Danarto, Darmanto Jatman, Jalaluddin Rahmat, Keith Foulcher, Kuntowijoyo, Marwah Daud Ibrahim, Masri Singarimbun, Sapardi Djoko Damono, Sarlito Wirawan Sarwono, Umar Kayam, dan Yasraf Amir Piliang. Kesemuanya itu dibagi dalam empat bagian, yakni “Budaya Massa atau Budaya Pop: Sebuah Pendahuluan,” “Budaya Media dan Budaya Citra,” “Budaya Simbolik dan Komodifikasi Gaya Hidup,” dan “Hegemoni Kesadaran dan Industri Budaya Kapitalisme.”
Mengenai “kebudayaan massa”, ini adalah istilah kita untuk mass culture. Istilah Inggris ini konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Sebenarnya istilah “kebudayaan massa” sendiri merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan. Istilah ini merupakan pasangan dari high culture, “kebudayaan elite” atau “kebudayaan tinggi.”
Biasanya, istilah “kebudayaan tinggi” diacukan tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dalam pikiran dan perasaan mereka yang memilih jenis kesenian dan produk simbolik tersebut. Sebaliknya, “mass” atau “masse” mengacu ke mayoritas masyarakat Eropa yang tak-terpelajar dan non-aristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Dengan demikian, jika “kebudayaan tinggi” dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”, yang elit dan terpelajar, maka istilah “kebudayaan massa” dianggap milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak-terpelajar.
Dalam sosiologi, istilah “massa” mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai.
Begitu pula halnya dengan kebudayaan. Kebudayaan massa lebih kurang menunjuk pada berbagai produk dan praktek-praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan juga…berselera dangkal! Bagi mereka yang “terjerat” di dalamnya, produk-produk dari kebudayaan massa adalah komoditas yang semata-mata ditujukan untuk konsumsi, (dan celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk menolaknya—meskipun umur produk-produk itu relatif sementara.
Bagaimana kita dapat mengenali produk-produk dan/atau praktek-prakteknya? Untuk mengenalinya, menurut Kuntowijoyo dalam tulisannya (“Budaya Elite dan Budaya Massa”), kita dapat lihat dari ciri-ciri yang selalu menyertainya. Sebab kebudayaan massa adalah akibat dari massifikasi. Adapun massifikasi sendiri, terjadi bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas melalui proses industrialisasi dan komersialisasi dalam sektor budaya, sekalipun industrialisasi dan komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya.
Ciri pertama adalah objektivasi; artinya, pemilik hanya menjadi objek, yaitu penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alienasi; artinya pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Dengan demikian ia juga kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan produk budaya. Dan ciri ketiga (ciri terakhir) adalah pembodohan, yang terjadi karena waktu terbuang tanpa mendapatkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna jika ia mengalami hal serupa.
Senada dengan itu, Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya (“Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”) mengatakan bahwa, pada hakikatnya yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini yang, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang tak dapat dihindari. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan kerisauan kita itu: (1) kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka, (2) kebudayaan massa itu merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya, (3) kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak, dan (4) penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (tinggi) itu sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya totalitarianisme.
Lantas, bagaimana kita mengenali produk-produk kebudayaan tinggi? Dalam kebudayaan tinggi, pemiliknya (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya); (2) tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; serta (3) akan mengalami pencerdasan.
Bahwa pemiliknya menjadi pelaku, artinya menjadi orang yang utuh, yang identitasnya tidak tenggelam dalam budaya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan ia pun berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya. Ia tidak larut dalam objeknya, tetapi tetap menjadi subjek. Akibatnya, pemilik sekaligus pelakunya tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa akrab dengan kehidupan, sebab disuguhkan realitas tanpa polesan. Karena menjadi pelaku yang utuh dan tak teralienasi, maka ia akan mengalami pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan kebijaksanaan dan menjadi lebih pandai dari sebelumnya.
Sayangnya, menurut Ashadi Siregar, istilah kebudayaan massa sering disaling-pertukarkan dengan kebudayaan pop(uler), termasuk oleh penyunting buku ini. Sebab, berdasarkan pandangan MacDonald yang dikutip Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan (hal.114) tadi, keduanya memiliki perbedaan yang sering tak disadari oleh banyak orang. Pembeda paling penting di antara keduanya tidak terutama terletak pada jumlah khalayak yang menerimanya, melainkan lebih pada motif di belakang produksi yang menghasilkan dua jenis produk budaya tersebut. Budaya massa jelas budaya yang semata-mata dan secara langsung merupakan objek untuk konsumsi massa, sedangkan budaya populer tak melulu hanya dikonsumsi massa tapi juga sering dikonsumsi oleh kalangan elit-terpelajar.
Sebagai sebuah kumpulan tulisan, buku ini merupakan pengantar-memadai untuk mengenal kebudayaan massa berikut contoh-contohnya yang berkembang di Indonesia ini. Menariknya, contoh-contoh tersebut diberikan sekaligus dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Misalnya, Clifford Geertz yang mengambil contoh “kesenian populer” dalam tradisi Jawa; Kuntowijoyo yang mengambil contoh pergeseran sensibilitas pers masa Orde Baru; Umar Kayam yang menggambarkan secara ringkas perkembangan kebudayaan massa dalam film, musik, seni pertunjukan, dan sastra; Marwah Daud Ibrahim, Danarto, Krishna Sen, dan Saraswati Sunindyo yang membahas citra wanita dalam berbagai media; atau Ashadi Siregar, Sarlito W. Sarwono dan Jalaluddin Rahmat yang mengangkat contoh gaya hidup anak muda sekarang ini; dan tak ketinggalan adalah Bre Redana serta Yasraf Amir Piliang yang membahas gaya hidup konsumerisme berikut motif di belakangnya.
Penyunting: Idi Subandi Ibrahim
Edisi Kedua, Tahun 2005(?)
Penerbit: Jalasutra Yogyakarta
Tebal: xlvii + 397 halaman
Peresensi: Rimbun Natamarga
http://www.ruangbaca.com/
Idi Subandi Ibrahim pernah menyunting sebuah kumpulan tulisan tentang kebudayaan massa di Indonesia yang diberi judul Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, Bandung, 1997) sembari menanyakan keberadaan moralitas di dalamnya. Terlepas dari apapun moralitas yang dipertanyakan dalam produk-produk kebudayaan massa, dalam Lubang Hitam Kebudayaan (Kanisius, Yogyakarta, 2002) hasil penelitian Hikmat Budiman, generasi yang lahir dan tumbuh di dalam kebudayaan tersebut di Indonesia ini justru telah berperan penting menjatuhkan Suharto dari kekuasaannya pada tahun 1998. Generasi itu, dengan mengutip istilah Bre Redana, seorang wartawan Kompas, olehnya disebut sebagai “Generasi MTV.”
Penerbit Jalasutra akhirnya menerbitkan kembali kumpulan tulisan tersebut. Ada 24 tulisan di dalamnya ditambah semacam “Kata Pengantar” oleh penyunting. Beberapa kontributor antara lain—dapat disebutkan di sini—Ariel Heryanto, Ashadi Siregar, Bre Redana, Clifford Geertz, Danarto, Darmanto Jatman, Jalaluddin Rahmat, Keith Foulcher, Kuntowijoyo, Marwah Daud Ibrahim, Masri Singarimbun, Sapardi Djoko Damono, Sarlito Wirawan Sarwono, Umar Kayam, dan Yasraf Amir Piliang. Kesemuanya itu dibagi dalam empat bagian, yakni “Budaya Massa atau Budaya Pop: Sebuah Pendahuluan,” “Budaya Media dan Budaya Citra,” “Budaya Simbolik dan Komodifikasi Gaya Hidup,” dan “Hegemoni Kesadaran dan Industri Budaya Kapitalisme.”
Mengenai “kebudayaan massa”, ini adalah istilah kita untuk mass culture. Istilah Inggris ini konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Sebenarnya istilah “kebudayaan massa” sendiri merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan. Istilah ini merupakan pasangan dari high culture, “kebudayaan elite” atau “kebudayaan tinggi.”
Biasanya, istilah “kebudayaan tinggi” diacukan tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dalam pikiran dan perasaan mereka yang memilih jenis kesenian dan produk simbolik tersebut. Sebaliknya, “mass” atau “masse” mengacu ke mayoritas masyarakat Eropa yang tak-terpelajar dan non-aristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Dengan demikian, jika “kebudayaan tinggi” dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”, yang elit dan terpelajar, maka istilah “kebudayaan massa” dianggap milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak-terpelajar.
Dalam sosiologi, istilah “massa” mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai.
Begitu pula halnya dengan kebudayaan. Kebudayaan massa lebih kurang menunjuk pada berbagai produk dan praktek-praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan juga…berselera dangkal! Bagi mereka yang “terjerat” di dalamnya, produk-produk dari kebudayaan massa adalah komoditas yang semata-mata ditujukan untuk konsumsi, (dan celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk menolaknya—meskipun umur produk-produk itu relatif sementara.
Bagaimana kita dapat mengenali produk-produk dan/atau praktek-prakteknya? Untuk mengenalinya, menurut Kuntowijoyo dalam tulisannya (“Budaya Elite dan Budaya Massa”), kita dapat lihat dari ciri-ciri yang selalu menyertainya. Sebab kebudayaan massa adalah akibat dari massifikasi. Adapun massifikasi sendiri, terjadi bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas melalui proses industrialisasi dan komersialisasi dalam sektor budaya, sekalipun industrialisasi dan komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya.
Ciri pertama adalah objektivasi; artinya, pemilik hanya menjadi objek, yaitu penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alienasi; artinya pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Dengan demikian ia juga kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan produk budaya. Dan ciri ketiga (ciri terakhir) adalah pembodohan, yang terjadi karena waktu terbuang tanpa mendapatkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna jika ia mengalami hal serupa.
Senada dengan itu, Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya (“Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”) mengatakan bahwa, pada hakikatnya yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini yang, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang tak dapat dihindari. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan kerisauan kita itu: (1) kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka, (2) kebudayaan massa itu merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya, (3) kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak, dan (4) penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (tinggi) itu sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya totalitarianisme.
Lantas, bagaimana kita mengenali produk-produk kebudayaan tinggi? Dalam kebudayaan tinggi, pemiliknya (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya); (2) tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; serta (3) akan mengalami pencerdasan.
Bahwa pemiliknya menjadi pelaku, artinya menjadi orang yang utuh, yang identitasnya tidak tenggelam dalam budaya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan ia pun berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya. Ia tidak larut dalam objeknya, tetapi tetap menjadi subjek. Akibatnya, pemilik sekaligus pelakunya tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa akrab dengan kehidupan, sebab disuguhkan realitas tanpa polesan. Karena menjadi pelaku yang utuh dan tak teralienasi, maka ia akan mengalami pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan kebijaksanaan dan menjadi lebih pandai dari sebelumnya.
Sayangnya, menurut Ashadi Siregar, istilah kebudayaan massa sering disaling-pertukarkan dengan kebudayaan pop(uler), termasuk oleh penyunting buku ini. Sebab, berdasarkan pandangan MacDonald yang dikutip Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan (hal.114) tadi, keduanya memiliki perbedaan yang sering tak disadari oleh banyak orang. Pembeda paling penting di antara keduanya tidak terutama terletak pada jumlah khalayak yang menerimanya, melainkan lebih pada motif di belakang produksi yang menghasilkan dua jenis produk budaya tersebut. Budaya massa jelas budaya yang semata-mata dan secara langsung merupakan objek untuk konsumsi massa, sedangkan budaya populer tak melulu hanya dikonsumsi massa tapi juga sering dikonsumsi oleh kalangan elit-terpelajar.
Sebagai sebuah kumpulan tulisan, buku ini merupakan pengantar-memadai untuk mengenal kebudayaan massa berikut contoh-contohnya yang berkembang di Indonesia ini. Menariknya, contoh-contoh tersebut diberikan sekaligus dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Misalnya, Clifford Geertz yang mengambil contoh “kesenian populer” dalam tradisi Jawa; Kuntowijoyo yang mengambil contoh pergeseran sensibilitas pers masa Orde Baru; Umar Kayam yang menggambarkan secara ringkas perkembangan kebudayaan massa dalam film, musik, seni pertunjukan, dan sastra; Marwah Daud Ibrahim, Danarto, Krishna Sen, dan Saraswati Sunindyo yang membahas citra wanita dalam berbagai media; atau Ashadi Siregar, Sarlito W. Sarwono dan Jalaluddin Rahmat yang mengangkat contoh gaya hidup anak muda sekarang ini; dan tak ketinggalan adalah Bre Redana serta Yasraf Amir Piliang yang membahas gaya hidup konsumerisme berikut motif di belakangnya.
Periode Keemasan Kedua Cerpen Indonesia
Agus Noor
http://www2.kompas.com/
Dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun 1975, Jakob Sumardjo menyatakan, “Tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya pada dekade 50-an yang merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia.”
Salah satu faktor yang mendukung “periode keemasan” itu antara lain munculnya majalah seperti Kisah, Tjerita, serta Prosa, yang menjadi ruang pertumbuhan cerpen pada saat itu.
Di samping, memang, situasi sosiologis yang dianggap oleh Nugroho Notosusanto tidak menguntungkan bagi para pengarang pada waktu itu untuk menulis roman atau novel. Setelah pada periode sebelumnya roman menjadi “tolak ukur” pertumbuhan sastra, pada dekade 50-an itu cerpen menjadi semacam episentrum penjelajahan estetik.
Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lain yang, menurut sastrawan dan kritikus sastra Ajip Rosidi dalam esai Pertumbuhan dan Perkembangan Cerpen Indonesia, disebut sebagai sastrawan yang “pertama-tama dan terutama dikenal sebagai penulis cerpen”.
Pada periode ini, cerpen Indonesia menunjukkan kematangan bentuk, komposisi, struktur, dan plot yang terkuasai dengan baik. Hal itu membuat eksplorasi tematik yang banyak dilakukan para penulis menemukan kematangan dalam bentuk penceritaan. Tak berlebihan apabila pada periode ini cerpen “menduduki tempat utama dalam kesusastraan Indonesia”, tulis Ajip Rosidi.
Apabila periode itu diletakkan dalam sejarah pertumbuhan sastra kita, terutama menyangkut cerpen, bolehlah periode itu disebut sebagai “periode keemasan pertama” pertumbuhan cerpen. Sementara “periode keemasan kedua” terjadi pada sekitar dekade 80-an.
Ada situasi yang relatif sama di antara kedua periode itu: (1) cerpen menjadi pilihan utama pengucapan literer, (2) tingkat produktivitas cerpen yang melimpah, (3) pertumbuhannya yang didukung oleh media di luar buku; pada yang pertama ialah majalah dan pada yang kedua ialah koran, (4) pencapaian estetis cerpen yang makin menempatkan cerpen sebagai genre sastra yang kian diperhitungkan.
Keemasan kedua
Kita bisa melihat pencapaian-pencapaian estetis cerpen pada “periode keemasan kedua” itu melalui buku kumpulan cerpen Riwayat Negeri yang Haru. Antologi ini disunting oleh Radhar Panca Dahana, memuat 55 cerpen dari 44 penulis.
Sudah barang tentu buku ini tidak mungkin mampu merepresentasikan pertumbuhan cerpen pada dekade 80-an secara keseluruhan. Penyebaran cerpen yang meluas di koran membuat upaya untuk “merekonstruksi” pencapaian estetis pada periode ini menjadi muskil. Namun, buku yang memuat cerpen-cerpen yang pernah terbit di Kompas sepanjang kurun 1980-1990-an ini setidaknya bisa menjadi etalase untuk melihat perkembangan dan pencapaian estetis cerpen-cerpen pada periode itu.
Apalagi, seperti pernah dinyatakan oleh Nirwan Dewanto, pada periode itu Kompas memang memiliki kedudukan tersendiri: menjadi media yang cukup signifikan bila kita hendak memperbincangkan pertumbuhan cerpen ketika media yang mengkhususkan diri pada sastra mulai meredup pamornya.
Buku ini bisa diletakkan sebagai kelanjutan tradisi penerbitan cerpen yang dilakukan Kompas, setelah menerbitkan Dua Kelamin bagi Midin, dieditori Seno Gumira Ajidarma, yang menghimpun cerpen-cerpen yang terbit di Kompas dalam rentang tahun 1970-1980.
Kitab cerpen ini memperlihatkan bagaimana pertumbuhan cerpen Indonesia mulai menggeliat setelah pada tahun 60-70-an dunia sastra kita menempatkan bentuk puisi sebagai episentrum atau pusat perhatian pencapaian-pencapaian estetis. Inilah suatu masa ketika cerpen terasa inferior dibandingkan puisi dengan pengecualian pada apa yang dilakukan oleh Danarto dengan cerpen-cerpennya semacam Godlob.
Pada dekade ini, peran majalah sastra Horison yang memberikan keluasan bagi eksperimentasi memang memunculkan beberapa cerpen ’eksperimental’ yang mengeksplorasi gaya dan tipografi penceritaan, tetapi tak terlalu kuat pengaruhnya pada masa-masa kemudian. Pertumbuhan cerpen kemudian seperti memilih jalan pertumbuhannya sendiri dengan ’memilih’ koran sebagai media publikasinya.
Hal itu juga tak bisa dilepaskan dari makin lunturnya batas-batas ’sastra serius’ dan ’sastra pop’—sebagaimana bisa dilihat melalui gerakan puisi mbeling dan mulai maraknya penerbitan novel pop—yang kemudian ikut meruntuhkan pusat-pusat penandaan sastra.
Koran sebagai media yang bersifat umum pada akhirnya ikut membentuk karakter cerpen-cerpen yang terbit pada masa itu: satu kecenderungan yang menempatkan ’realisme’ sebagai gaya utama penceritaan. Satu gaya yang sesungguhnya juga masih terasa kuat hingga dekade 1980-an, bahkan 1990-an.
Namun, di tahun 1980-an itulah mulai terasa adanya upaya mencari gaya penceritaan yang lebih segar dalam cerpen kita. Kemelimpahan jumlah mulai diimbangi semangat untuk mematangkan bentuk-bentuk penceritaan. Karena itu, kuantitas pun mulai paralel dengan kualitas, setidaknya bila dibandingkan dengan cerpen-cerpen dekade sebelumnya yang masih dianggap kurang berhasil dalam bentuk penceritaan.
Itulah sebabnya dekade 80-an boleh dianggap merupakan titik balik pertumbuhan cerpen, setelah sebelumnya karya sastra kelas dua. Dan itulah yang bisa kita lihat melalui buku ini. Kita bisa merasakan sebuah gairah kreatif yang memperlihatkan makin matangnya cara bercerita para pengarang yang produktif di periode ini. Dan, yang pada periode selanjutnya menjadi para penulis yang banyak memberi pengaruh pertumbuhan cerpen kita, seperti Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, dan juga Radhar Panca Dahana.
Surealisme dan absurdisme
Pada “periode keemasan kedua” inilah kita mulai merasakan adanya kecenderungan yang kuat untuk memakai gaya surealisme dan absurdisme sebagai bentuk penceritaan untuk mencapai efek dramatik dan estetis tertentu dalam cerita.
Boleh jadi, itu menjadi semacam cara untuk membangun sistem tanda dalam cerita hingga menjadi semacam simbolisme atas peristiwa sosial yang dirujuknya cerpen Karni Yudhistira ANM Massardi, Kepala Bakdi Soemanto, Absurd Joko Quartantyo dalam buku ini menjadi referen yang pas untuk melihat kecenderungan itu.
Yang menarik dari buku ini ialah keberhasilan editor untuk melihat banyak gejala yang cukup beragam, baik menyangkut tema maupun gaya bercerita, yang memang menjadi keunikan tersendiri dalam pertumbuhan cerpen dekade 1980-an.
Setidaknya ini bisa dilihat melalui cerpen-cerpen yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, di mana yang serius dan yang pop seperti diaduk-aduk melalui gaya penceritaan yang ngelantur dan nyaris seperti penuh igauan. Cerpen Seno menjadi seperti sungai cahaya berkilauan yang mengalir dalam kesunyian.
Kita bisa menemukan pula gaya yang dikembangkan Danarto, yang sejak mula selalu mencampurkan antara yang riil dan nonriil, mulai membawa kecenderungan itu dengan mengolah cerita yang berlatar belakang metropolitan. Sedangkan Putu Wijaya banyak memakai ’permainan logika’ untuk mencapai suspens cerita. Di luar itu, kecenderungan realisme model Haris Efendi Tahar dan Jujur Prananto sampai warna lokal Darwin Khudori dan Ahmad Thohari bisa terangkum dalam buku ini.
Sebagaimana dicatat editor, selama kurun waktu 1981-1990 ada 440 cerpen yang terbit.
Di samping memilih cerpen- cerpen yang dianggap terbaik yang terbit selama kurun waktu itu, editor juga berhasil memberikan kepada kita keragaman gaya yang dikembangkan para penulis yang produktif menulis pada periode itu. Hingga kita bisa menjadikan buku ini sebagai referen yang cukup menolong apabila kita ingin menengok kecenderungan-kecenderungan yang ada selama “periode keemasan kedua” cerpen kita.
*) Agus Noor Penulis Prosa
http://www2.kompas.com/
Dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun 1975, Jakob Sumardjo menyatakan, “Tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya pada dekade 50-an yang merupakan zaman emas produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia.”
Salah satu faktor yang mendukung “periode keemasan” itu antara lain munculnya majalah seperti Kisah, Tjerita, serta Prosa, yang menjadi ruang pertumbuhan cerpen pada saat itu.
Di samping, memang, situasi sosiologis yang dianggap oleh Nugroho Notosusanto tidak menguntungkan bagi para pengarang pada waktu itu untuk menulis roman atau novel. Setelah pada periode sebelumnya roman menjadi “tolak ukur” pertumbuhan sastra, pada dekade 50-an itu cerpen menjadi semacam episentrum penjelajahan estetik.
Pada masa itulah muncul nama-nama seperti Riyono Pratikto, Subagyo Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis, dan sederet nama lain yang, menurut sastrawan dan kritikus sastra Ajip Rosidi dalam esai Pertumbuhan dan Perkembangan Cerpen Indonesia, disebut sebagai sastrawan yang “pertama-tama dan terutama dikenal sebagai penulis cerpen”.
Pada periode ini, cerpen Indonesia menunjukkan kematangan bentuk, komposisi, struktur, dan plot yang terkuasai dengan baik. Hal itu membuat eksplorasi tematik yang banyak dilakukan para penulis menemukan kematangan dalam bentuk penceritaan. Tak berlebihan apabila pada periode ini cerpen “menduduki tempat utama dalam kesusastraan Indonesia”, tulis Ajip Rosidi.
Apabila periode itu diletakkan dalam sejarah pertumbuhan sastra kita, terutama menyangkut cerpen, bolehlah periode itu disebut sebagai “periode keemasan pertama” pertumbuhan cerpen. Sementara “periode keemasan kedua” terjadi pada sekitar dekade 80-an.
Ada situasi yang relatif sama di antara kedua periode itu: (1) cerpen menjadi pilihan utama pengucapan literer, (2) tingkat produktivitas cerpen yang melimpah, (3) pertumbuhannya yang didukung oleh media di luar buku; pada yang pertama ialah majalah dan pada yang kedua ialah koran, (4) pencapaian estetis cerpen yang makin menempatkan cerpen sebagai genre sastra yang kian diperhitungkan.
Keemasan kedua
Kita bisa melihat pencapaian-pencapaian estetis cerpen pada “periode keemasan kedua” itu melalui buku kumpulan cerpen Riwayat Negeri yang Haru. Antologi ini disunting oleh Radhar Panca Dahana, memuat 55 cerpen dari 44 penulis.
Sudah barang tentu buku ini tidak mungkin mampu merepresentasikan pertumbuhan cerpen pada dekade 80-an secara keseluruhan. Penyebaran cerpen yang meluas di koran membuat upaya untuk “merekonstruksi” pencapaian estetis pada periode ini menjadi muskil. Namun, buku yang memuat cerpen-cerpen yang pernah terbit di Kompas sepanjang kurun 1980-1990-an ini setidaknya bisa menjadi etalase untuk melihat perkembangan dan pencapaian estetis cerpen-cerpen pada periode itu.
Apalagi, seperti pernah dinyatakan oleh Nirwan Dewanto, pada periode itu Kompas memang memiliki kedudukan tersendiri: menjadi media yang cukup signifikan bila kita hendak memperbincangkan pertumbuhan cerpen ketika media yang mengkhususkan diri pada sastra mulai meredup pamornya.
Buku ini bisa diletakkan sebagai kelanjutan tradisi penerbitan cerpen yang dilakukan Kompas, setelah menerbitkan Dua Kelamin bagi Midin, dieditori Seno Gumira Ajidarma, yang menghimpun cerpen-cerpen yang terbit di Kompas dalam rentang tahun 1970-1980.
Kitab cerpen ini memperlihatkan bagaimana pertumbuhan cerpen Indonesia mulai menggeliat setelah pada tahun 60-70-an dunia sastra kita menempatkan bentuk puisi sebagai episentrum atau pusat perhatian pencapaian-pencapaian estetis. Inilah suatu masa ketika cerpen terasa inferior dibandingkan puisi dengan pengecualian pada apa yang dilakukan oleh Danarto dengan cerpen-cerpennya semacam Godlob.
Pada dekade ini, peran majalah sastra Horison yang memberikan keluasan bagi eksperimentasi memang memunculkan beberapa cerpen ’eksperimental’ yang mengeksplorasi gaya dan tipografi penceritaan, tetapi tak terlalu kuat pengaruhnya pada masa-masa kemudian. Pertumbuhan cerpen kemudian seperti memilih jalan pertumbuhannya sendiri dengan ’memilih’ koran sebagai media publikasinya.
Hal itu juga tak bisa dilepaskan dari makin lunturnya batas-batas ’sastra serius’ dan ’sastra pop’—sebagaimana bisa dilihat melalui gerakan puisi mbeling dan mulai maraknya penerbitan novel pop—yang kemudian ikut meruntuhkan pusat-pusat penandaan sastra.
Koran sebagai media yang bersifat umum pada akhirnya ikut membentuk karakter cerpen-cerpen yang terbit pada masa itu: satu kecenderungan yang menempatkan ’realisme’ sebagai gaya utama penceritaan. Satu gaya yang sesungguhnya juga masih terasa kuat hingga dekade 1980-an, bahkan 1990-an.
Namun, di tahun 1980-an itulah mulai terasa adanya upaya mencari gaya penceritaan yang lebih segar dalam cerpen kita. Kemelimpahan jumlah mulai diimbangi semangat untuk mematangkan bentuk-bentuk penceritaan. Karena itu, kuantitas pun mulai paralel dengan kualitas, setidaknya bila dibandingkan dengan cerpen-cerpen dekade sebelumnya yang masih dianggap kurang berhasil dalam bentuk penceritaan.
Itulah sebabnya dekade 80-an boleh dianggap merupakan titik balik pertumbuhan cerpen, setelah sebelumnya karya sastra kelas dua. Dan itulah yang bisa kita lihat melalui buku ini. Kita bisa merasakan sebuah gairah kreatif yang memperlihatkan makin matangnya cara bercerita para pengarang yang produktif di periode ini. Dan, yang pada periode selanjutnya menjadi para penulis yang banyak memberi pengaruh pertumbuhan cerpen kita, seperti Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, dan juga Radhar Panca Dahana.
Surealisme dan absurdisme
Pada “periode keemasan kedua” inilah kita mulai merasakan adanya kecenderungan yang kuat untuk memakai gaya surealisme dan absurdisme sebagai bentuk penceritaan untuk mencapai efek dramatik dan estetis tertentu dalam cerita.
Boleh jadi, itu menjadi semacam cara untuk membangun sistem tanda dalam cerita hingga menjadi semacam simbolisme atas peristiwa sosial yang dirujuknya cerpen Karni Yudhistira ANM Massardi, Kepala Bakdi Soemanto, Absurd Joko Quartantyo dalam buku ini menjadi referen yang pas untuk melihat kecenderungan itu.
Yang menarik dari buku ini ialah keberhasilan editor untuk melihat banyak gejala yang cukup beragam, baik menyangkut tema maupun gaya bercerita, yang memang menjadi keunikan tersendiri dalam pertumbuhan cerpen dekade 1980-an.
Setidaknya ini bisa dilihat melalui cerpen-cerpen yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, di mana yang serius dan yang pop seperti diaduk-aduk melalui gaya penceritaan yang ngelantur dan nyaris seperti penuh igauan. Cerpen Seno menjadi seperti sungai cahaya berkilauan yang mengalir dalam kesunyian.
Kita bisa menemukan pula gaya yang dikembangkan Danarto, yang sejak mula selalu mencampurkan antara yang riil dan nonriil, mulai membawa kecenderungan itu dengan mengolah cerita yang berlatar belakang metropolitan. Sedangkan Putu Wijaya banyak memakai ’permainan logika’ untuk mencapai suspens cerita. Di luar itu, kecenderungan realisme model Haris Efendi Tahar dan Jujur Prananto sampai warna lokal Darwin Khudori dan Ahmad Thohari bisa terangkum dalam buku ini.
Sebagaimana dicatat editor, selama kurun waktu 1981-1990 ada 440 cerpen yang terbit.
Di samping memilih cerpen- cerpen yang dianggap terbaik yang terbit selama kurun waktu itu, editor juga berhasil memberikan kepada kita keragaman gaya yang dikembangkan para penulis yang produktif menulis pada periode itu. Hingga kita bisa menjadikan buku ini sebagai referen yang cukup menolong apabila kita ingin menengok kecenderungan-kecenderungan yang ada selama “periode keemasan kedua” cerpen kita.
*) Agus Noor Penulis Prosa
Peluncuran Buku “Menoleh Silam Melirik Esok”
Dari Buku ke Perdebatan Lekra-Manikebu
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id
Jakarta-Pertemuan itu sebenarnya bukan pertemuan yang pertama kali sehingga tidak lagi menjadi pertemuan luar biasa.
Mereka, para pembicara, berbeda latar belakang. Seorang di antaranya adalah sastrawan yang aktif di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, ikatan seniman yang berideologi realisme sosialis) dan kini tinggal di Prancis, JJ Kusni. Seorang lagi, sastrawan penandatangan Manifestasi Kebudayaan di Indonesia, Taufiq Ismail. Moderatornya, Ikranegara, penyair dan penulis–belakangan berperan dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel Andrea Hirata, yang disutradarai Mira Lesmana dan Riri Riza.
Agenda di Teater Utan Kayu (TUK), Jl Utan Kayu, Jakarta (18/2), adalah “Dialog Manifes Kebudayaan dan Lekra” menandai peluncuran buku JJ Kusni bertajuk Menoleh Silam Melirik Esok, terbitan Ultimus Bandung Februari 2009. Buku ini berisi komentarnya di milis selama dia bekerja dan tinggal di Paris, kisah sejarah pada masa prahara itu, hingga kisah pribadinya sebagai figur sastrawan “eksil”.
Namun, pertemuan kelompok budayawan dengan perbedaan latar belakang itu sudah acapkali terjadi, antara lain pertemuan yang dimediasi oleh mendiang sastrawan Ramadhan KH di awal tahun 2000-an, serta dihadiri sastrawan Lekra dan Manifes. Juga peluncuran buku karya mendiang Pramoedya Ananta Toer, Sobron Aidit yang dihadiri para sastrawan Manifes, atau sebaliknya.
“Dialog ini sudah terlambat, bahkan pertemuan pribadi antarsastrawan berbeda latar politik pun sudah dilakukan sejak dulu,” ujar Putu Oka Sukanta.
Namun, pertemuan dalam rangka peluncuran buku ini tetap hangat dalam perdebatan. Kendati berbicara rekonsiliasi, mereka tetap membawa luka psikologi dalam memori masing-masing. Kusni Sulang–nama masa silam JJ Kusni–juga Taufiq Ismail sama-sama berkisah, masih menyebutkan rentetan kelemahan kelompok yang berseberangan dengannya.
Pertemuan itu tetap bukan hal yang luar biasa. Martin Aleida malah mempertanyakan maksud pertemuan itu, seperti juga Martin menanyakan latar JJ Kusni yang mewakili Lekra di momen diskusi, juga mempertanyakan kapasitasnya sebagai sejarawan di buku itu. Forum diskusi mempertanyakan komitmen Taufiq untuk berekonsiliasi. Amarzan Loebis menimpali bahwa sejarah Lekra dan Manifes adalah sejarah yang telah menjadi jenazah.
Pertanyakan Masa Lalu
Diskusi berjalan dinamis, penuh emosi, dan sedikit bernuansa arogansi. Martin mengatakan, kualitas teks JJ Kusni “belum apa-apa” ketimbang barisan anggota Lekra lainnya. Ia sekaligus mempertanyakan karya Sitor yang tak masuk dalam buku yang disusun Taufiq.
“Anda boleh lupa menyertakan nama yang lain, tapi jangan nama Sitor Situmorang”. Taufiq kemudian menjawab bahwa sejak remaja dirinya menyukai buku kumpulan puisi Sitor Situmorang bertajuk Surat Kertas Hijau dan ketika singgah di Italia dalam perjalanan studi ke Amerika Serikat, dia bahkan teringat buku Sitor, Lagu Gadis Itali.
“Untuk Sitor, kami memintanya secara khusus. Tidak bisa tidak, ini (Sitor) raksasa puisi. Saya mengutus langsung (mendiang penyair) Hamid Jabbar, tapi dia (Sitor Situmorang) menolak dengan sombong. Dia tak mau memberikan,” papar Taufiq.
Kepada media Kompas, Maret tahun 2002, penyair Sitor Situmorang dalam dialog di kalangan budayawan di kebun belakang situs Ki Padmosusastro, Solo, memang mengaku menolak karyanya dimasukkan dalam buku Antologi Puisi Indonesia susunan Taufiq Ismail dan terbitan majalah Horison bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional, serta pihak sponsor. Respons itu dilakukannya karena dia tahu di proyek yang sama dan orang yang sama (Taufiq Ismail-red)-dalam penerbitan antologi, sebelumnya-namanya sudah tak dimasukkan.
Pada antologi pertama itu, nama Sitor yang tak tercantum justru dipersoalkan pemerhati sastra lainnya.
Joesoef Isak, yang sedang tak sehat dan berniat ke Singapura, hadir di momen diskusi dan menyatakan kerinduan dua kubu di negeri ini untuk saling memaafkan. Putu Oka Sukanta yang mengisahkan perjalanan hidupnya menjadi dokter ahli refleksi kemudian menyatakan kekangenannya untuk bertemu dengan JJ Kusni–surprise dapat bertemu dengan rekan karib.
Menurut Martin, JJ Kusni bukan Pramoedya Ananta Toer. Sikapnya tak mewakili sikap semua orang yang punya trauma politik. Dia mengkritik niat keikhlasan Taufiq pada rekonsiliasi. Aktivis muda Yeni Rosa Damayanti, bahkan mengingatkan ribuan korban yang wafat tanpa penuntasan hukum, juga pengadilan pada dua kubu besar dalam prahara 1965, sebelum niatan saling memaafkan dilakukan–Yeni mencontohkan pengadilan di Afrika Selatan.
Rekonsiliasi harus diungkapkan terlebih dahulu dari pihak korban. Namun, Taufiq mengambil referensi sejarah di Malaysia, bahwa rekonsiliasi tak bermakna hitungan dagang yang harus diaudit. Ini bisa dimaknai saling memaafkan dari kedua kelompok tanpa membicarakan lagi sejarah karena keduanya “sama-sama satu bangsa” yang menatap hari esok dan masa depan.
“Bila rantai dendam masih membelit tubuh bangsa, bagaimana kita mau maju ke depan, memasuki abad ini, semua itu sudah tak terpakai,” ujarnya.
Jurnalis senior Aristides Katoppo, kemudian menimpali bahwa perbedaan dapat menjadi energi buat perjalanan berbangsa karena negeri ini justru berlandaskan ke-bineka-an. Jurnalis, penyair dan penandatangan Manifestasi Kebudayaan, Goenawan Mohamad menyatakan sejarah bukan bangkai namun yang lebih penting adalah mempelajari untuk konteks masa depan. “Banyak kesalahan Lekra dan Manikebu, salah satunya adalah memberi alasan untuk menindas kebebasan. Kini kita merebut kembali dan menggunakan kemerdekaan yang ada,” ujar Goenawan.
Inilah sejarah generasi yang seakan rekonsilasi namun belum pernah–mungkin tak akan pernah menyetujui sepenuhnya istilah itu. Zaman bergerak dan bergeser–namun kenangan organisasi Lekra dan catatan masa silam transkrip tandatangan dan pernyataan Manifestasi Kebudayaan tak pernah lekang.
“Itulah sejarah paman-paman sekalian,” ujar seorang sastrawan muda. Sastrawan berusia 30-an itu kemudian menambahkan, “Sejarah yang telah menenggelamkan sejarah-sejarah lainnya, kedua kubu makin buram dalam menjalankan visi dan masa depan.”
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id
Jakarta-Pertemuan itu sebenarnya bukan pertemuan yang pertama kali sehingga tidak lagi menjadi pertemuan luar biasa.
Mereka, para pembicara, berbeda latar belakang. Seorang di antaranya adalah sastrawan yang aktif di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, ikatan seniman yang berideologi realisme sosialis) dan kini tinggal di Prancis, JJ Kusni. Seorang lagi, sastrawan penandatangan Manifestasi Kebudayaan di Indonesia, Taufiq Ismail. Moderatornya, Ikranegara, penyair dan penulis–belakangan berperan dalam film Laskar Pelangi yang diangkat dari novel Andrea Hirata, yang disutradarai Mira Lesmana dan Riri Riza.
Agenda di Teater Utan Kayu (TUK), Jl Utan Kayu, Jakarta (18/2), adalah “Dialog Manifes Kebudayaan dan Lekra” menandai peluncuran buku JJ Kusni bertajuk Menoleh Silam Melirik Esok, terbitan Ultimus Bandung Februari 2009. Buku ini berisi komentarnya di milis selama dia bekerja dan tinggal di Paris, kisah sejarah pada masa prahara itu, hingga kisah pribadinya sebagai figur sastrawan “eksil”.
Namun, pertemuan kelompok budayawan dengan perbedaan latar belakang itu sudah acapkali terjadi, antara lain pertemuan yang dimediasi oleh mendiang sastrawan Ramadhan KH di awal tahun 2000-an, serta dihadiri sastrawan Lekra dan Manifes. Juga peluncuran buku karya mendiang Pramoedya Ananta Toer, Sobron Aidit yang dihadiri para sastrawan Manifes, atau sebaliknya.
“Dialog ini sudah terlambat, bahkan pertemuan pribadi antarsastrawan berbeda latar politik pun sudah dilakukan sejak dulu,” ujar Putu Oka Sukanta.
Namun, pertemuan dalam rangka peluncuran buku ini tetap hangat dalam perdebatan. Kendati berbicara rekonsiliasi, mereka tetap membawa luka psikologi dalam memori masing-masing. Kusni Sulang–nama masa silam JJ Kusni–juga Taufiq Ismail sama-sama berkisah, masih menyebutkan rentetan kelemahan kelompok yang berseberangan dengannya.
Pertemuan itu tetap bukan hal yang luar biasa. Martin Aleida malah mempertanyakan maksud pertemuan itu, seperti juga Martin menanyakan latar JJ Kusni yang mewakili Lekra di momen diskusi, juga mempertanyakan kapasitasnya sebagai sejarawan di buku itu. Forum diskusi mempertanyakan komitmen Taufiq untuk berekonsiliasi. Amarzan Loebis menimpali bahwa sejarah Lekra dan Manifes adalah sejarah yang telah menjadi jenazah.
Pertanyakan Masa Lalu
Diskusi berjalan dinamis, penuh emosi, dan sedikit bernuansa arogansi. Martin mengatakan, kualitas teks JJ Kusni “belum apa-apa” ketimbang barisan anggota Lekra lainnya. Ia sekaligus mempertanyakan karya Sitor yang tak masuk dalam buku yang disusun Taufiq.
“Anda boleh lupa menyertakan nama yang lain, tapi jangan nama Sitor Situmorang”. Taufiq kemudian menjawab bahwa sejak remaja dirinya menyukai buku kumpulan puisi Sitor Situmorang bertajuk Surat Kertas Hijau dan ketika singgah di Italia dalam perjalanan studi ke Amerika Serikat, dia bahkan teringat buku Sitor, Lagu Gadis Itali.
“Untuk Sitor, kami memintanya secara khusus. Tidak bisa tidak, ini (Sitor) raksasa puisi. Saya mengutus langsung (mendiang penyair) Hamid Jabbar, tapi dia (Sitor Situmorang) menolak dengan sombong. Dia tak mau memberikan,” papar Taufiq.
Kepada media Kompas, Maret tahun 2002, penyair Sitor Situmorang dalam dialog di kalangan budayawan di kebun belakang situs Ki Padmosusastro, Solo, memang mengaku menolak karyanya dimasukkan dalam buku Antologi Puisi Indonesia susunan Taufiq Ismail dan terbitan majalah Horison bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional, serta pihak sponsor. Respons itu dilakukannya karena dia tahu di proyek yang sama dan orang yang sama (Taufiq Ismail-red)-dalam penerbitan antologi, sebelumnya-namanya sudah tak dimasukkan.
Pada antologi pertama itu, nama Sitor yang tak tercantum justru dipersoalkan pemerhati sastra lainnya.
Joesoef Isak, yang sedang tak sehat dan berniat ke Singapura, hadir di momen diskusi dan menyatakan kerinduan dua kubu di negeri ini untuk saling memaafkan. Putu Oka Sukanta yang mengisahkan perjalanan hidupnya menjadi dokter ahli refleksi kemudian menyatakan kekangenannya untuk bertemu dengan JJ Kusni–surprise dapat bertemu dengan rekan karib.
Menurut Martin, JJ Kusni bukan Pramoedya Ananta Toer. Sikapnya tak mewakili sikap semua orang yang punya trauma politik. Dia mengkritik niat keikhlasan Taufiq pada rekonsiliasi. Aktivis muda Yeni Rosa Damayanti, bahkan mengingatkan ribuan korban yang wafat tanpa penuntasan hukum, juga pengadilan pada dua kubu besar dalam prahara 1965, sebelum niatan saling memaafkan dilakukan–Yeni mencontohkan pengadilan di Afrika Selatan.
Rekonsiliasi harus diungkapkan terlebih dahulu dari pihak korban. Namun, Taufiq mengambil referensi sejarah di Malaysia, bahwa rekonsiliasi tak bermakna hitungan dagang yang harus diaudit. Ini bisa dimaknai saling memaafkan dari kedua kelompok tanpa membicarakan lagi sejarah karena keduanya “sama-sama satu bangsa” yang menatap hari esok dan masa depan.
“Bila rantai dendam masih membelit tubuh bangsa, bagaimana kita mau maju ke depan, memasuki abad ini, semua itu sudah tak terpakai,” ujarnya.
Jurnalis senior Aristides Katoppo, kemudian menimpali bahwa perbedaan dapat menjadi energi buat perjalanan berbangsa karena negeri ini justru berlandaskan ke-bineka-an. Jurnalis, penyair dan penandatangan Manifestasi Kebudayaan, Goenawan Mohamad menyatakan sejarah bukan bangkai namun yang lebih penting adalah mempelajari untuk konteks masa depan. “Banyak kesalahan Lekra dan Manikebu, salah satunya adalah memberi alasan untuk menindas kebebasan. Kini kita merebut kembali dan menggunakan kemerdekaan yang ada,” ujar Goenawan.
Inilah sejarah generasi yang seakan rekonsilasi namun belum pernah–mungkin tak akan pernah menyetujui sepenuhnya istilah itu. Zaman bergerak dan bergeser–namun kenangan organisasi Lekra dan catatan masa silam transkrip tandatangan dan pernyataan Manifestasi Kebudayaan tak pernah lekang.
“Itulah sejarah paman-paman sekalian,” ujar seorang sastrawan muda. Sastrawan berusia 30-an itu kemudian menambahkan, “Sejarah yang telah menenggelamkan sejarah-sejarah lainnya, kedua kubu makin buram dalam menjalankan visi dan masa depan.”
Paradigma Antologi Sastra
Binhad Nurrohmat
http://www.sinarharapan.co.id/
Bila ada seorang sastrawan Indonesia secara eksplisit menampakkan sikap kekecewaan lewat cara berburuk sangka atau marah-marah gara-gara karya sastranya tak masuk sebuah antologi sastra sebenarnya itu kecenderungan lama yang sudah berulang kali terjadi dan menjangkiti nyaris setiap antologi sastra kita. Kekecewaan semacam itu cenderung juga akan memancing tanggapan ”baik-baik maupun emosional.”
Penyusun antologi sastra dan sastrawan biasanya sama-sama saling bersikukuh dengan sikap dan pendapat masing-masing. Penyusun antologi sastra tak mau mengalah begitu saja, sedangkan sastrawan sulit bersikap bijaksana menghadapi kenyataan karyanya tak masuk antologi sastra. Urusan terus bersambung dan melebar.
Kecenderungan itu biasanya menyimpan endapan kepentingan pribadi yang menonjol, lebih mengandalkan dukungan argumentasi retoris ketimbang argumentasi analitis dan bahkan acap berlanjut terkesan naïf kekanakan ”meremehkan” antologi sastra. Intinya, kekecewaan itu lebih banyak yang tak mengerti latar ihwal dan telah khilaf memahami paradigma antologi sastra yang sebenarnya: pemetaan ”capaian-capaian puncak mainstream sastra” pada masa tertentu berdasarkan capaian estetik maupun tematik, sesuai ketetapan kriteria yang telah dipilih penyusunnya.
Sekadar contoh, sebuah antologi puisi memasukkan puisi Taufik Ismail dan WS Rendra dan tak memasukkan puisi Si Polan yang konon banyak menulis puisi cinta yang bertahun-tahun hanya mengeram di laci meja tulisnya, juga tanpa puisi Sitok Srengenge maupun puisi Jamal D Rahman. Antologi puisi ini ”sah” dan memenuhi kategori antologi puisi yang baik bila pilihan kriterianya, misal, berdasarkan capaian puncak mainstream puisi tema protes atau kritik sosial pasca-kemerdekaan Indonesia sampai sebelum rezim Soeharto lengser.
Konsekuensi praksis yang tak bisa dihindari dari paradigma antologi sastra adalah tak semua nama sastrawan dan karyanya bisa masuk antologi sastra. Antologi sastra memetakan prestasi puncak dan bukan koleksi selengkapnya nama sastrawan dan karyanya. Penyair tahun 40-an bukan hanya Chairil Anwar. Novelis tahun 30-an bukan hanya Armijn Pane. Penyair tahun 70-an bukan hanya Sutardji Calzoum Bachri. Tapi, Chairil adalah pencapai puncak mainstream estetik maupun tematik puisi yang ”mewakili” para penyair lain semasanya. Demikian halnya Armijn Pane dan Sutardji yang menjadi ”wakil” masanya masing-masing.
Kerja penyusun antologi sastra tak bisa dianalogikan sebagai kerja tukang sensus yang wajib mencatat nama-nama sastrawan dan karyanya selengkap-lengkapnya. Antologi sastra yang baik bukan kumpulan dokumentasi nama sastrawan dan karyanya selengkap-lengkapnya. Sebuah antologi sastra yang baik selain harus memiliki paradigma juga harus menetapkan seperangkat kriterianya sendiri yang setepat dan serepresentatif mungkin dan diterapkan oleh penyusun antologi sastra secara ketat dan akurat. Kriteria antologi sastra bisa sangat beragam sesuai ketetapan penyusun meskipun paradigmanya tak berbeda.
***
Publik sastra kita masih bisa mengenang dengan baik polemik antologi puisi Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996) dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, 2000). Antologi-antologi yang lain sejenis ini juga tak bisa mutlak mengelak dari cecaran ekspresi kekecewaan yang datang ”hanya” dari komunitas sastrawan sendiri. Banyak penyusun antologi sastra terpaksa mengalami semacam paranoid: tegang duluan sebelum menerbitkan antologi sastra sebab telah menduga bakal muncul kekecewaan beberapa sastrawan. Kitab Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002) pun terpaksa harus menghadapi hal demikian.
Mengapa nyaris selalu ada sastrawan yang eksplisit menampakkan sikap kecewanya tiap kali terbit antologi sastra dan acap melantur-lanturkannya kemudian membesar dan meruncing menjadi polemik hiruk-pikuk? Sastrawan kita mungkin mengidap pemahaman bahwa nama sastrawan dan karyanya yang masuk antologi sastra adalah wujud pengakuan yang signifikan dunia sastra terhadap kesastrawanan dan karyanya, sehingga ketika karya seorang sastrawan tak masuk sebuah antologi sastra akan menilai eksistensi kesastrawanannya tak diakui dunia sastra. Sastrawan merasa disikapi tak adil oleh dunia sastra bila karyanya tak masuk antologi sastra dan eksistensi kesastrawanannya terusik.
Latar psikologis ini akan memeram banyak potensi kekecewaan yang tak mudah untuk dipahamkan dan bisa lega menerima kenyataan. Barangkali juga latar persoalan bukan hanya kekecewaan atau ”keterusikan eksistensial” itu, kepentingan tertentu maupun aspirasi sejarah juga bisa potensial menjadi latar lain pemicunya.
Sikap pro-kontra yang menyertai polemik antologi sastra acap menciptakan front-front yang saling bersitegang pendapat dan menyulut perbalahan yang tak singkat dengan melibatkan banyak pihak. Toh buku antologi sastra masih terus diterbitkan meski ancaman polemik tampak tak kunjung padam juga dan (seperti biasanya) selalu tanpa melahirkan solusi mencerahkan atau pengertian yang bijak. Seolah-olah polemik seputar antologi sastra selama ini hanya menciptakan arena ”konflik wacana” yang sebenarnya banyak memubazirkan energi pikiran dan waktu banyak penulis maupun pembacanya dan jelas miskin manfaat.
Kita tak asing dengan antologi artikel sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, psikologi maupun demokrasi. Antologi-antologi artikel non-sastra ini nyaris tak memunculkan kekecewaan yang eksplisit dari para penulis yang artikelnya tak masuk di dalamnya. Antologi sejenis ini banyak sekali diterbitkan dan mendapat sambutan positif publik ditandai oleh antusiasme apresiasi dan diserap pasar pembaca. Alat ukur sambutan positif itu bisa berupa resensi yang semarak di media massa maupun diskusi dan banyak antologi sejenis ini yang mengalami cetak ulang secara signifikan.
Barangkali ”keikhlasan menulis” seorang penulis artikel politik membuat penulis tak perlu harus ”kebakaran jenggot” ketika karyanya tak masuk sebuah antologi artikel politik. Penulis artikel politik itu bekerja bukan untuk menjadi ”hero” melainkan ekspresi aspirasi pribadinya pada dunia politik. Sikap dewasa demikian tampak tak dimiliki beberapa sastrawan kita.
Mengapa antologi sastra sering disikapi dan bernasib buruk tak sebagaimana antologi tulisan non-sastra? Selain disebabkan sinyalemen ”keikhlasan” yang meragukan itu, juga piciknya rasa ”tahu diri” beberapa sastrawan terhadap posisi kesastrawanan dan karyanya dalam peta capaian-capaian mainstream estetika sastra di masanya. Dua hal ini membuat beberapa sastrawan yang karyanya tak masuk antologi sastra bersikap tak dewasa.
Dalam ungkapan yang lain sastrawan mestinya tak usah kecewa karyanya tak masuk antologi sastra; tugas utama sastrawan menulis dan menulis sebaik-baiknya. Bila karyanya baik sejarah akan merawatnya dan mengenang kesastrawanannya. Sejarah selalu mengajukan, membela dan menguji kembali bukti-bukti yang telah ada. Kekecewaan sastrawan hanya karena karyanya tak masuk antologi sastra adalah indikator lemahnya kepercayaan diri sastrawan terhadap diri dan karyanya sendiri disebabkan terlanjur menganggap bahwa waktu yang semasanya adalah satu-satunya penentu ukuran nilai karyanya, penentu sejarah karyanya.
Apresiasi yang buruk apalagi sinisme yang muncul dari dalam komunitas sastrawan terhadap antologi sastra akan melongsorkan citranya sehingga publik tak memiliki gambaran yang ”menjanjikan” dan positif dan efeknya akan mengasingkan antologi sastra dan seisinya dari daftar agenda perhatian publik luas.
Polemik seputar antologi sastra barangkali sebuah fakta yang bisa dijadikan indikator signifikan antologi sastra masih dianggap penting dalam dunia sastra kita. Anggapan itu tak keliru. Sebab artefak karya sastra itu teks, tulisan, sehingga buku dan alternatif medium yang sefungsi lainnya jadi penting dan representatif.
Kini sastrawan dan penyusun antologi sastra sangat penting untuk memahami paradigma antologi sastra maupun pada pilihan kriteria penyusunnya. Penerapan pemahaman ini akan menghasilkan antologi sastra yang representatif serta dapat dipertanggungjawabkan dan bisa ”menepis” kemungkinan muncul kekecewaan dari luar maupun dari dalam komunitas sastrawan sendiri.***
*) Penulis adalah penyair
http://www.sinarharapan.co.id/
Bila ada seorang sastrawan Indonesia secara eksplisit menampakkan sikap kekecewaan lewat cara berburuk sangka atau marah-marah gara-gara karya sastranya tak masuk sebuah antologi sastra sebenarnya itu kecenderungan lama yang sudah berulang kali terjadi dan menjangkiti nyaris setiap antologi sastra kita. Kekecewaan semacam itu cenderung juga akan memancing tanggapan ”baik-baik maupun emosional.”
Penyusun antologi sastra dan sastrawan biasanya sama-sama saling bersikukuh dengan sikap dan pendapat masing-masing. Penyusun antologi sastra tak mau mengalah begitu saja, sedangkan sastrawan sulit bersikap bijaksana menghadapi kenyataan karyanya tak masuk antologi sastra. Urusan terus bersambung dan melebar.
Kecenderungan itu biasanya menyimpan endapan kepentingan pribadi yang menonjol, lebih mengandalkan dukungan argumentasi retoris ketimbang argumentasi analitis dan bahkan acap berlanjut terkesan naïf kekanakan ”meremehkan” antologi sastra. Intinya, kekecewaan itu lebih banyak yang tak mengerti latar ihwal dan telah khilaf memahami paradigma antologi sastra yang sebenarnya: pemetaan ”capaian-capaian puncak mainstream sastra” pada masa tertentu berdasarkan capaian estetik maupun tematik, sesuai ketetapan kriteria yang telah dipilih penyusunnya.
Sekadar contoh, sebuah antologi puisi memasukkan puisi Taufik Ismail dan WS Rendra dan tak memasukkan puisi Si Polan yang konon banyak menulis puisi cinta yang bertahun-tahun hanya mengeram di laci meja tulisnya, juga tanpa puisi Sitok Srengenge maupun puisi Jamal D Rahman. Antologi puisi ini ”sah” dan memenuhi kategori antologi puisi yang baik bila pilihan kriterianya, misal, berdasarkan capaian puncak mainstream puisi tema protes atau kritik sosial pasca-kemerdekaan Indonesia sampai sebelum rezim Soeharto lengser.
Konsekuensi praksis yang tak bisa dihindari dari paradigma antologi sastra adalah tak semua nama sastrawan dan karyanya bisa masuk antologi sastra. Antologi sastra memetakan prestasi puncak dan bukan koleksi selengkapnya nama sastrawan dan karyanya. Penyair tahun 40-an bukan hanya Chairil Anwar. Novelis tahun 30-an bukan hanya Armijn Pane. Penyair tahun 70-an bukan hanya Sutardji Calzoum Bachri. Tapi, Chairil adalah pencapai puncak mainstream estetik maupun tematik puisi yang ”mewakili” para penyair lain semasanya. Demikian halnya Armijn Pane dan Sutardji yang menjadi ”wakil” masanya masing-masing.
Kerja penyusun antologi sastra tak bisa dianalogikan sebagai kerja tukang sensus yang wajib mencatat nama-nama sastrawan dan karyanya selengkap-lengkapnya. Antologi sastra yang baik bukan kumpulan dokumentasi nama sastrawan dan karyanya selengkap-lengkapnya. Sebuah antologi sastra yang baik selain harus memiliki paradigma juga harus menetapkan seperangkat kriterianya sendiri yang setepat dan serepresentatif mungkin dan diterapkan oleh penyusun antologi sastra secara ketat dan akurat. Kriteria antologi sastra bisa sangat beragam sesuai ketetapan penyusun meskipun paradigmanya tak berbeda.
***
Publik sastra kita masih bisa mengenang dengan baik polemik antologi puisi Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996) dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, 2000). Antologi-antologi yang lain sejenis ini juga tak bisa mutlak mengelak dari cecaran ekspresi kekecewaan yang datang ”hanya” dari komunitas sastrawan sendiri. Banyak penyusun antologi sastra terpaksa mengalami semacam paranoid: tegang duluan sebelum menerbitkan antologi sastra sebab telah menduga bakal muncul kekecewaan beberapa sastrawan. Kitab Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002) pun terpaksa harus menghadapi hal demikian.
Mengapa nyaris selalu ada sastrawan yang eksplisit menampakkan sikap kecewanya tiap kali terbit antologi sastra dan acap melantur-lanturkannya kemudian membesar dan meruncing menjadi polemik hiruk-pikuk? Sastrawan kita mungkin mengidap pemahaman bahwa nama sastrawan dan karyanya yang masuk antologi sastra adalah wujud pengakuan yang signifikan dunia sastra terhadap kesastrawanan dan karyanya, sehingga ketika karya seorang sastrawan tak masuk sebuah antologi sastra akan menilai eksistensi kesastrawanannya tak diakui dunia sastra. Sastrawan merasa disikapi tak adil oleh dunia sastra bila karyanya tak masuk antologi sastra dan eksistensi kesastrawanannya terusik.
Latar psikologis ini akan memeram banyak potensi kekecewaan yang tak mudah untuk dipahamkan dan bisa lega menerima kenyataan. Barangkali juga latar persoalan bukan hanya kekecewaan atau ”keterusikan eksistensial” itu, kepentingan tertentu maupun aspirasi sejarah juga bisa potensial menjadi latar lain pemicunya.
Sikap pro-kontra yang menyertai polemik antologi sastra acap menciptakan front-front yang saling bersitegang pendapat dan menyulut perbalahan yang tak singkat dengan melibatkan banyak pihak. Toh buku antologi sastra masih terus diterbitkan meski ancaman polemik tampak tak kunjung padam juga dan (seperti biasanya) selalu tanpa melahirkan solusi mencerahkan atau pengertian yang bijak. Seolah-olah polemik seputar antologi sastra selama ini hanya menciptakan arena ”konflik wacana” yang sebenarnya banyak memubazirkan energi pikiran dan waktu banyak penulis maupun pembacanya dan jelas miskin manfaat.
Kita tak asing dengan antologi artikel sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, psikologi maupun demokrasi. Antologi-antologi artikel non-sastra ini nyaris tak memunculkan kekecewaan yang eksplisit dari para penulis yang artikelnya tak masuk di dalamnya. Antologi sejenis ini banyak sekali diterbitkan dan mendapat sambutan positif publik ditandai oleh antusiasme apresiasi dan diserap pasar pembaca. Alat ukur sambutan positif itu bisa berupa resensi yang semarak di media massa maupun diskusi dan banyak antologi sejenis ini yang mengalami cetak ulang secara signifikan.
Barangkali ”keikhlasan menulis” seorang penulis artikel politik membuat penulis tak perlu harus ”kebakaran jenggot” ketika karyanya tak masuk sebuah antologi artikel politik. Penulis artikel politik itu bekerja bukan untuk menjadi ”hero” melainkan ekspresi aspirasi pribadinya pada dunia politik. Sikap dewasa demikian tampak tak dimiliki beberapa sastrawan kita.
Mengapa antologi sastra sering disikapi dan bernasib buruk tak sebagaimana antologi tulisan non-sastra? Selain disebabkan sinyalemen ”keikhlasan” yang meragukan itu, juga piciknya rasa ”tahu diri” beberapa sastrawan terhadap posisi kesastrawanan dan karyanya dalam peta capaian-capaian mainstream estetika sastra di masanya. Dua hal ini membuat beberapa sastrawan yang karyanya tak masuk antologi sastra bersikap tak dewasa.
Dalam ungkapan yang lain sastrawan mestinya tak usah kecewa karyanya tak masuk antologi sastra; tugas utama sastrawan menulis dan menulis sebaik-baiknya. Bila karyanya baik sejarah akan merawatnya dan mengenang kesastrawanannya. Sejarah selalu mengajukan, membela dan menguji kembali bukti-bukti yang telah ada. Kekecewaan sastrawan hanya karena karyanya tak masuk antologi sastra adalah indikator lemahnya kepercayaan diri sastrawan terhadap diri dan karyanya sendiri disebabkan terlanjur menganggap bahwa waktu yang semasanya adalah satu-satunya penentu ukuran nilai karyanya, penentu sejarah karyanya.
Apresiasi yang buruk apalagi sinisme yang muncul dari dalam komunitas sastrawan terhadap antologi sastra akan melongsorkan citranya sehingga publik tak memiliki gambaran yang ”menjanjikan” dan positif dan efeknya akan mengasingkan antologi sastra dan seisinya dari daftar agenda perhatian publik luas.
Polemik seputar antologi sastra barangkali sebuah fakta yang bisa dijadikan indikator signifikan antologi sastra masih dianggap penting dalam dunia sastra kita. Anggapan itu tak keliru. Sebab artefak karya sastra itu teks, tulisan, sehingga buku dan alternatif medium yang sefungsi lainnya jadi penting dan representatif.
Kini sastrawan dan penyusun antologi sastra sangat penting untuk memahami paradigma antologi sastra maupun pada pilihan kriteria penyusunnya. Penerapan pemahaman ini akan menghasilkan antologi sastra yang representatif serta dapat dipertanggungjawabkan dan bisa ”menepis” kemungkinan muncul kekecewaan dari luar maupun dari dalam komunitas sastrawan sendiri.***
*) Penulis adalah penyair
BERTEMU JOKPIN & JOGJA
Budhi Setyawan
http://budhisetyawan.wordpress.com/
Sebagai pegawai negeri, dalam hal tertentu saya merasa beruntung dengan adanya beberapa dinas luar, luar kota atau luar negeri. Setelah urusan tugas kantor selesai, saya selalu manfaatkan untuk melampiaskan hobi berburu kaset atau CD musik rock atau jazz kesukaan saya. Untuk saat ini kemungkinan menjadi kecil untuk mendapatkan kaset lama yang merupakan album atau karya masterpiece atau monumental dari seorang musisi atau sebuah grup musik, karena semakin banyak orang yang mengetahui mengenai musik-musik yang progresif atau sangat layak jadi koleksi. Kemudian selain itu saya juga memanfaatkan waktu meski sedikit untuk bersilaturahmi dengan para penulis/penyair/sastrawan di kota yang saya singgahi. Seperti waktu dinas di Kudus, saya menemui beberapa penyair: Jumari HS, Yudhi MS, Thomas Budi Santoso. Waktu di Solo menemui Sosiawan Leak. Waktu dinas ke Bali saya beruntung bisa bertemu dengan Warih Wisatsana, Wayan Sunarta, Pranita Dewi. Kemudian waktu ke Bandung bertemu dengan Juniarso Ridwan, Dian Hartati, Widzar Al-Ghifarry. Sedangkan waktu acara lebaran ke Tasikmalaya, saya sempatkan bertemu dengan Acep Zamzam Noor, Sarabunis Mubarok dan Saepul Badar.
Dalam dinas 3 hari di Jogjakarta, saya bertemu dengan TS Pinang, Fais Asol, Eko Nuryono, Raudal T Banua, pelukis Wara Anindyah dan suaminya Sri Harjanto Sahid yang ternyata juga penyair, dramawan, pelukis, dan yang sangat menggembirakan bertemu dengan penyair Joko Pinurbo, yang akrab dipanggil Jokpin. Hari Jumat 24 Oktober 2008, saya bertemu dengan Jokpin dengan mampir di kantornya di daerah ex-nDalem Tejokusuman di Jln. Wachid Hasyim Jogjakarta. Meskipun saya pernah lama tinggal di Yogya, namun sepertinya saya tak pernah atau amat jarang lewat jalan itu. Memang sepertinya daerah itu kurang begitu ramai, bukan akses yang sering dilewati kendaraan. Dalam bahasa jawa disebut rada kiwa.
Kami duduk berdua di semacam lobi atau ruang di depan ruang kerjanya. Setelah ngobrol pembuka dan ringan kata, Jokpin lalu bercerita bahwa selama sekitar 13 tahun bekerja di kantor di daerah itu. Dia katakan bahwa hampir semua puisi yang ditulisnya mulai dari Celana dan seterusnya lahir di situ. Memang suasana di situ sangat asri, ada bangunan pendapa yang cukup besar dan banyak pepohonan besar, sehingga suhu udara di lingkungan itu tak terlalu panas, begitu tenang dengan suara kendaraan di jalan raya yang tak begitu kentara, padahal saya di sana pada jam kerja. Saya bayangkan apalagi kalau pada waktu senja dan malam hari, betapa sepi dan syahdunya di situ. Dengan asyiknya dan gaya bicara yang medhok jawa-jogja, dia bilang: ’coba nek le mrene pas sawone awoh, tak suguhi lan tak gawani nggo oleh-oleh. Saiki lagi ora awoh, bar dipanen wingi kuwi. Sawone legi banget ’/ ’coba kalau kesini pas pohon sawo itu berbuah, pasti saya suguhi dan bawa sawo untuk oleh-oleh, sekarang lagi gak ada buahnya, belum lama baru dipanen. Sawonya sangat manis ’. sungguh ungkapan yang begitu akrab dan bersahabat. Dan beruntung Jokpin bercerita mengenai membuat puisi, meski hanya sedikit. Dia bilang, yang utama dalam proses untuk mendapatkan ide dan menulis karya puisi diperlukan ’pengembaraan batin’. Dan saya setuju dengan hal itu. Puisi termasuk jenis seni, dan seni memancarkan keindahannya, dan keindahan adalah lebih merupakan konsumsi dari rasa. Dan tentunya sangat cocok, sebuah hasil karya seni yang merupakan konsumsi untuk dunia rasa dilahirkan dari olah rasa penciptanya. Siang itu begitu temaram, sesejuk ungkap dan kata sang penyair yang banyak bercerita. Suasana kian enak dengan ditemani minuman secangkir kopi dan pisang rebus hasil memetik di kebun belakang kantornya. Sungguh suasana menjadi sangat desa, teringat masa kecil di desa saya, pelosok Purworejo. Dia lalu bilang, kalau selama ini ada tokoh misalnya anak kecil di puisinya, itu hasil pengembaraan batinnya yang merasa cocok menampilkan tokoh dalam puisinya. Juga untuk tokoh-tokoh yang lain, yang sebenarnya hasil dari sengaja diciptakan untuk sub-media pesan dalam puisinya. Sedikit berbelok dari sastra indonesia, kami sempat ngobrol tentang sastra jawa, khususnya geguritan. Saya sependapat bahwa karya sastra jawa banyak yang begitu tajam mempunyai daya pukau dan usia yang sangat panjang jauh melampaui dari para penyairnya. Seperti Serat Centhini, Kalatidha, dll. Banyak pujangga yang karyanya masyhur menurut cerita juga dipengaruhi oleh proses kreatifnya yang sangat disiplin dan sungguh-sungguh dalam mencari sari pati kata, sehingga dihasilkan uraian kata yang berbobot atau dalam bahasa jawa: mentes. Berbagai cara dilakukan seperti puasa, bertapa/semedi, kontemplasi, meditasi, dll untuk menempatkan emosi mencari hening dan mengendapkan hiruk pikuk kata agar diperoleh karakter yang kukuh dan tajam (dalam bahasa jawanya: meneng lan menep). Dan serat-serat karya pujangga itu banyak dikaji di beberapa negara Eropa, terutama Belanda. Dalam sebuah majalah berbahasa jawa, saya membaca artikel: bahwa di Universitas Leiden sangat sering diadakan diskusi kajian mengenai karysa sastra jawa. Juga di tembok sebuah gedung di Universitas Leiden ditulis sebuah syair dari serat Kalatidha dalam aksara Jawa. Menurut saya yang lahir dan besar di Jawa Tengah, memang dengan bahasa ibu atau sehari-hari dengan bahasa jawa, maka menulis karya dalam bahasa jawa lebih terasa nuansa spiritualitasnya atau jelajah batinnya. Apalagi dengan banyaknya kosa kata, menjadi lebih mewakili atau lebih dekat dengan ide atau model yang muncul di angan/khayalan, meskipun diperlukan upaya yang tidak ringan karena bagi warga asal suku Jawa yang tinggal di kota besar, dalam tugas dan percakapan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Sembari menghisap cerutu yang saya sodorkan padanya, dia bilang: ’wah enak iki cerutune, entheng lan ora nyegrak’ / ’wah enak benar ini cerutu, begitu ringan dan tak membuat batuk tersedak.’ Lalu dia bilang cerutu juga bisa menjadi ide untuk puisi, misalnya cerutu yang terbuat dari tembakau, namun dalam puisi bisa dibelokkan menjadi: bukan menghirup tembakau tetapi misalnya menjadi ’menghirup rambut ibu….dst’. Kemudian mengenai minum teh juga bisa dijadikan tema puisi. Karena para pemetik teh adalah kebanyakan perempuan desa yang lugu dan ekonomi yang pas-pasan, puisi minum teh bukan dengan kalimat menghirup pekat teh hitam, namun menjadi ’menghirup aroma keringat para pemetik …. dst’. Ah dasar Jokpin penyair beneran, sepertinya begitu mudah melontarkan ide dan metafora atau majas untuk bahan menjadi puisi. Saya sendiri belum bisa berpikir seperti itu.
Ketika senja sedikit tembaga, suasana mulai merangkak kian temaram dan akan gelap, maka sebelum maghrib saya ijin pamit meninggalkan lokasi kantornya dengan membawa bermacam berkas sapa, gumpalan kata dan suka rasa. Semoga yang Puisi tentang Cerutu bisa segera dituliskan. Dan saya usahakan puisi tentang Minum Teh dapat ditulis dengan sebaik-baiknya. Terima kasih Jokpin atas pendar semangatnya semoga merasuk dalam pori kata yang tengah saya peram di bawah geliat doa. Semoga sukma kata kita senantiasa bersapa.
Sebagai bonus saya torehkan puisi pendek dari Jokpin dan puisi saya yang saya tulis waktu belum mempunyai buku kumpulan puisinya Jokpin.
MAGRIB
Di bawah alismu hujan berteduh
Di merah matamu senja berlabuh
2006 (Jokpin, kumpulan puisi Kepada Cium, 2007)
RESONANSI
pada kelopak harimu
kususuri senandung angin
pada kecipak katamu
kutitipkan butiran ingin
Jakarta, 4 Des 2007 (Buset, kumpulan puisi Dialog Zaman, belum diterbitkan)
Salam progresif.
(Ditulis di Bekasi, 26 Oktober 2008)
http://budhisetyawan.wordpress.com/
Sebagai pegawai negeri, dalam hal tertentu saya merasa beruntung dengan adanya beberapa dinas luar, luar kota atau luar negeri. Setelah urusan tugas kantor selesai, saya selalu manfaatkan untuk melampiaskan hobi berburu kaset atau CD musik rock atau jazz kesukaan saya. Untuk saat ini kemungkinan menjadi kecil untuk mendapatkan kaset lama yang merupakan album atau karya masterpiece atau monumental dari seorang musisi atau sebuah grup musik, karena semakin banyak orang yang mengetahui mengenai musik-musik yang progresif atau sangat layak jadi koleksi. Kemudian selain itu saya juga memanfaatkan waktu meski sedikit untuk bersilaturahmi dengan para penulis/penyair/sastrawan di kota yang saya singgahi. Seperti waktu dinas di Kudus, saya menemui beberapa penyair: Jumari HS, Yudhi MS, Thomas Budi Santoso. Waktu di Solo menemui Sosiawan Leak. Waktu dinas ke Bali saya beruntung bisa bertemu dengan Warih Wisatsana, Wayan Sunarta, Pranita Dewi. Kemudian waktu ke Bandung bertemu dengan Juniarso Ridwan, Dian Hartati, Widzar Al-Ghifarry. Sedangkan waktu acara lebaran ke Tasikmalaya, saya sempatkan bertemu dengan Acep Zamzam Noor, Sarabunis Mubarok dan Saepul Badar.
Dalam dinas 3 hari di Jogjakarta, saya bertemu dengan TS Pinang, Fais Asol, Eko Nuryono, Raudal T Banua, pelukis Wara Anindyah dan suaminya Sri Harjanto Sahid yang ternyata juga penyair, dramawan, pelukis, dan yang sangat menggembirakan bertemu dengan penyair Joko Pinurbo, yang akrab dipanggil Jokpin. Hari Jumat 24 Oktober 2008, saya bertemu dengan Jokpin dengan mampir di kantornya di daerah ex-nDalem Tejokusuman di Jln. Wachid Hasyim Jogjakarta. Meskipun saya pernah lama tinggal di Yogya, namun sepertinya saya tak pernah atau amat jarang lewat jalan itu. Memang sepertinya daerah itu kurang begitu ramai, bukan akses yang sering dilewati kendaraan. Dalam bahasa jawa disebut rada kiwa.
Kami duduk berdua di semacam lobi atau ruang di depan ruang kerjanya. Setelah ngobrol pembuka dan ringan kata, Jokpin lalu bercerita bahwa selama sekitar 13 tahun bekerja di kantor di daerah itu. Dia katakan bahwa hampir semua puisi yang ditulisnya mulai dari Celana dan seterusnya lahir di situ. Memang suasana di situ sangat asri, ada bangunan pendapa yang cukup besar dan banyak pepohonan besar, sehingga suhu udara di lingkungan itu tak terlalu panas, begitu tenang dengan suara kendaraan di jalan raya yang tak begitu kentara, padahal saya di sana pada jam kerja. Saya bayangkan apalagi kalau pada waktu senja dan malam hari, betapa sepi dan syahdunya di situ. Dengan asyiknya dan gaya bicara yang medhok jawa-jogja, dia bilang: ’coba nek le mrene pas sawone awoh, tak suguhi lan tak gawani nggo oleh-oleh. Saiki lagi ora awoh, bar dipanen wingi kuwi. Sawone legi banget ’/ ’coba kalau kesini pas pohon sawo itu berbuah, pasti saya suguhi dan bawa sawo untuk oleh-oleh, sekarang lagi gak ada buahnya, belum lama baru dipanen. Sawonya sangat manis ’. sungguh ungkapan yang begitu akrab dan bersahabat. Dan beruntung Jokpin bercerita mengenai membuat puisi, meski hanya sedikit. Dia bilang, yang utama dalam proses untuk mendapatkan ide dan menulis karya puisi diperlukan ’pengembaraan batin’. Dan saya setuju dengan hal itu. Puisi termasuk jenis seni, dan seni memancarkan keindahannya, dan keindahan adalah lebih merupakan konsumsi dari rasa. Dan tentunya sangat cocok, sebuah hasil karya seni yang merupakan konsumsi untuk dunia rasa dilahirkan dari olah rasa penciptanya. Siang itu begitu temaram, sesejuk ungkap dan kata sang penyair yang banyak bercerita. Suasana kian enak dengan ditemani minuman secangkir kopi dan pisang rebus hasil memetik di kebun belakang kantornya. Sungguh suasana menjadi sangat desa, teringat masa kecil di desa saya, pelosok Purworejo. Dia lalu bilang, kalau selama ini ada tokoh misalnya anak kecil di puisinya, itu hasil pengembaraan batinnya yang merasa cocok menampilkan tokoh dalam puisinya. Juga untuk tokoh-tokoh yang lain, yang sebenarnya hasil dari sengaja diciptakan untuk sub-media pesan dalam puisinya. Sedikit berbelok dari sastra indonesia, kami sempat ngobrol tentang sastra jawa, khususnya geguritan. Saya sependapat bahwa karya sastra jawa banyak yang begitu tajam mempunyai daya pukau dan usia yang sangat panjang jauh melampaui dari para penyairnya. Seperti Serat Centhini, Kalatidha, dll. Banyak pujangga yang karyanya masyhur menurut cerita juga dipengaruhi oleh proses kreatifnya yang sangat disiplin dan sungguh-sungguh dalam mencari sari pati kata, sehingga dihasilkan uraian kata yang berbobot atau dalam bahasa jawa: mentes. Berbagai cara dilakukan seperti puasa, bertapa/semedi, kontemplasi, meditasi, dll untuk menempatkan emosi mencari hening dan mengendapkan hiruk pikuk kata agar diperoleh karakter yang kukuh dan tajam (dalam bahasa jawanya: meneng lan menep). Dan serat-serat karya pujangga itu banyak dikaji di beberapa negara Eropa, terutama Belanda. Dalam sebuah majalah berbahasa jawa, saya membaca artikel: bahwa di Universitas Leiden sangat sering diadakan diskusi kajian mengenai karysa sastra jawa. Juga di tembok sebuah gedung di Universitas Leiden ditulis sebuah syair dari serat Kalatidha dalam aksara Jawa. Menurut saya yang lahir dan besar di Jawa Tengah, memang dengan bahasa ibu atau sehari-hari dengan bahasa jawa, maka menulis karya dalam bahasa jawa lebih terasa nuansa spiritualitasnya atau jelajah batinnya. Apalagi dengan banyaknya kosa kata, menjadi lebih mewakili atau lebih dekat dengan ide atau model yang muncul di angan/khayalan, meskipun diperlukan upaya yang tidak ringan karena bagi warga asal suku Jawa yang tinggal di kota besar, dalam tugas dan percakapan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Sembari menghisap cerutu yang saya sodorkan padanya, dia bilang: ’wah enak iki cerutune, entheng lan ora nyegrak’ / ’wah enak benar ini cerutu, begitu ringan dan tak membuat batuk tersedak.’ Lalu dia bilang cerutu juga bisa menjadi ide untuk puisi, misalnya cerutu yang terbuat dari tembakau, namun dalam puisi bisa dibelokkan menjadi: bukan menghirup tembakau tetapi misalnya menjadi ’menghirup rambut ibu….dst’. Kemudian mengenai minum teh juga bisa dijadikan tema puisi. Karena para pemetik teh adalah kebanyakan perempuan desa yang lugu dan ekonomi yang pas-pasan, puisi minum teh bukan dengan kalimat menghirup pekat teh hitam, namun menjadi ’menghirup aroma keringat para pemetik …. dst’. Ah dasar Jokpin penyair beneran, sepertinya begitu mudah melontarkan ide dan metafora atau majas untuk bahan menjadi puisi. Saya sendiri belum bisa berpikir seperti itu.
Ketika senja sedikit tembaga, suasana mulai merangkak kian temaram dan akan gelap, maka sebelum maghrib saya ijin pamit meninggalkan lokasi kantornya dengan membawa bermacam berkas sapa, gumpalan kata dan suka rasa. Semoga yang Puisi tentang Cerutu bisa segera dituliskan. Dan saya usahakan puisi tentang Minum Teh dapat ditulis dengan sebaik-baiknya. Terima kasih Jokpin atas pendar semangatnya semoga merasuk dalam pori kata yang tengah saya peram di bawah geliat doa. Semoga sukma kata kita senantiasa bersapa.
Sebagai bonus saya torehkan puisi pendek dari Jokpin dan puisi saya yang saya tulis waktu belum mempunyai buku kumpulan puisinya Jokpin.
MAGRIB
Di bawah alismu hujan berteduh
Di merah matamu senja berlabuh
2006 (Jokpin, kumpulan puisi Kepada Cium, 2007)
RESONANSI
pada kelopak harimu
kususuri senandung angin
pada kecipak katamu
kutitipkan butiran ingin
Jakarta, 4 Des 2007 (Buset, kumpulan puisi Dialog Zaman, belum diterbitkan)
Salam progresif.
(Ditulis di Bekasi, 26 Oktober 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar