Sabtu, 28 Maret 2009

Tasawuf Cinta dalam Sastra Sufi

Abdul Wachid BS
http://www.kr.co.id

MAHABBAH menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq yang dianggap sebagai pencetusnya, lalu dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, dan Harits al-Muhasibi. Namun, di antara tokoh sufi tersebut yang mendalam dan luas pengaruh konsep mahabbah-nya ialah Rabi’ah al-Adawiyah, yang berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal (via Abdul Hadi WM, 2002:41):

Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku karam
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata

Menurut Imam al-Ghazali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta sebab Kau patut dicinta” ialah cinta disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan (Abu al-Wafa al-Taftazani, cet II, 1997:87).

Cinta model pertama ini perspektifnya ialah cinta rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua itu perspektifnya ialah cinta peleburan (fanaa)”.... karena Kau singkap/ Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu”. Di sini kemudian gagasan Rabi’ah tentang cinta memunculkan pentingnya peran dzikir untuk meningkatkan pengalaman keagamaan dan mempertebal perasaan ketuhanan di dalam kalbu. Al-Junayd (via annemarie Schimmel, 2003:171) mendiskripsikan perubahan yang diakibatkan oleh cinta Ilahi itu sebagai berikut, “Cinta adalah leburnya pencinta ke dalam sifat-Nya, dan menetapnya Yang dicintai di dalam Dzatnya”. Dengan kata lain, diungkapkan oleh al-Junayd bahwa “Cinta berarti sifat-sifat yang Dicinta masuk ke dalam sifat-sifat pencinta”.

Al-Ghazali (ibid) juga memetaforikan cinta yang mensucikan ini sebagai “Pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit” seperti yang dicitrakan oleh Al-Qur’an (QS 14:42), buahnya menampakkan dirinya di dalam hati, di lidah, dan seluruh anggota badan. Buah tersebut adalah ketaatan kepada seluruh perintah Allah, dan mengingat-Nya secara terus-menerus dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seorang pencinta menanggalkan seluruh kediriannya dan menggantikannya dengan apa saja yang menjadi perintah dari Yang Mahakekasih (Allah) sehingga ia hidup dengan keyakinan seperti ini, “Tak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian”, yang dimaksudkan ialah “mati sebelum mati”. Pada tingkat yang paling ekstrem, penerimaan terhadap penderitaan itu dilakukan oleh al-Hallaj, yang menurutnya, “Penderitaan adalah Dia Pribadi”. Semakin Tuhan mencintai seseorang, maka semakin berat Tuhan mengujinya. Para Rasul adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan, oleh sebab itu, para Rasul yang paling banyak mendapatkan penderitaan sebagaimana diungkap di dalam Al-Qur’an. Hal ini juga diungkap melalui hadis bahwa “Orang yang paling menderita adalah para Rasul, lalu para wali, dan seterusnya”. Itulah sebabnya al-Hallaj dengan ikhlas, menari riang menjemput maut, sebab baginya seorang martir cinta diberi hak surga.

Keyakinan semacam itu berangkat dari firman Tuhan bahwa “Jangan sebut mati mereka yang terbunuh karena Tuhan. Tidak. Mereka hidup” (QS 3:163).

Dalam perspektif sufisme, cinta Tuhan mendahului cinta dari manusia terhadap Tuhannya sebab apabila Tuhan sudah mencintai hamba-Nya, maka sang hamba tak pernah bisa menolak cinta-Nya sebab prakarsa terlebih dahulu datang dari Tuhan. Pandangan demikian berangkat dari pernyatan Al-Qur’an bahwa “Ia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya” (QS 5:59).

Tentang cinta Ilahi yang sempurna itu ada tingkatan-tingkatan cinta, yang tentu saja masing-masing sufi juga tidak pernah sepaham tentang urutan tingkatannya maupun jumlah tingkatan berjenjang yang harus dilalui seorang pelaku sufi. Tentang klasifikasi tingkatan cinta ini juga tidak dapat dipisahkan dengan tema yang lebih besar berkenaan dengan keadaan mental dari sufi (ahwal) dan tingkatan-tingkatan spiritualitas sufi (maqam).

Ja’far al-Shidiq, imam keenam dari kaum Syi’ah (w.148 H/765 M) mengatakan bahwa Tuhan tidak terbatas, karenanya gnosis (ma’rifah) juga tidak terbatas. Ja’far al-Shidiq sebagai perintis gagasan cinta Ilahi menandai duabelas tanda hati yang mengandung cinta Ilahi, dan tanda itu sekaligus sebagai tingkatan yang menganalisis perjalanan spiritual menuju penglihatan wajah Tuhan, antara lain sebagai berikut: (1) tanda iman; (2) tanda gnosis (ma’rifah); (3) tanda akal (‘aql); (4) tanda keyakinan (yaqin); (5) tanda kepasrahan (islam); (6) tanda kemurahan hati (ihsan); (7) tanda kepercayaan kepada Tuhan (tawakkul); (8) tanda rasa takut kepada Tuhan (kahwf); (9) tanda harapan (raja’); (10) tanda cinta (mahabbah); (11) tanda rindu (syawq); dan (12) tanda gairah (walah) (via Carl W Ernst, dalam Seyyed Hossein Nasr, 2002:510-511).

Abu al-Qasim al-Qusyayri (w.465 H/1072 H) (ibid 517) melalui buku saku terkenalnya tentang sufisme menempatkan cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) begitu pentingnya sebagai tingkatan ke-49 dan ke-50 dari seluruh limapuluh maqam yang ia ungkapkan. Dalam pandangan al-Qusyayri, kerinduan adalah kompelsk sebab tidak sekadar keterpisahan atau keberhadiran sang Kekasih, melainkan begitu kuat sehingga hanya berlanjut pada pertemuan dengan Tuhan. Al-Qusyayri juga menempatkan cinta sebagai prinsip menyeluruh kemajuan spiritual. Ia membagi cinta menjadi tiga derajat, kejujuran (rasti), kemabukan (masti), dan kehampaan (nisti).

Akan tetapi, Ruzbihan Baqli (w.606 H/1209 M), tergolong sufi Parsia awal yang menyusun risalah tentang tingkatan cinta dalam bahasa Parsia Abhar al-Asyqin (Melati Para Pencinta) secara kompleks dan memukau. Di dalam kitabnya itu Ruzbihan menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna, yang terdiri dari duabelas maqam, yakni: (1) ‘ubudiyyah atau kehambaan; (2) wilayah atau kewalian; (3) muraqabah atau meditasi; (4) khawfi atau rasa takut; (5) raja’ atau harapan; (6) wajd atau penemuan; (7) yaqin atau keyakinan; (8) qurbah atau kedekatan; (9) mukasyafah atau penyingkapan; (10) musyahadah atau penyaksian; (11) mahabbah atau cinta; dan (12) syawq atau kerinduan. Keduabelas maqam tersebut diikuti oleh derajat tertinggi yaitu cinta universal (‘isyqi kulli) yang merupakan tujuan ruh (ibid:521).

Tentang tingkatan cinta yang digagas oleh Ruzbihan Baqli tersebut, Carl W Ernst (ibid: 521-522) menjelaskannya secara ringkas dan menarik sebagai berikut

Kehambaan terdiri dari praktik-praktik disiplin spiritual seperti dzikir, shalat, diam, puasa, dalam rangka mensucikan sifat seseorang. Kewalian mencakup sifat-sifat seperti taubat (tawbah), kesalehan (wara’) dan asketisme (zuhud). Meditasi didasarkan pada pengendalian atas pemikiran yang serampangan dan melihat hakikat sejati diri. Rasa takut adalah sejenis mensucikan api yang membangkitkan perilaku para nabi, meskipun tidak benar bahwa ia mengasingkan seseorang dari sang Kekasih.

Kemudian harapan adalah obat yang menuntun kepada musim semi jiwa. Penemuan adalah memperoleh kedekatan sang Kekasih.....Keyakinan sang elit (sufi) adalah sesuatu yang berada di luar keimanan yang bisa digoyahkan yang berupa keyakinan manusia awam; ia adalah merasakan langsung sifat-sifat Ilahi dalam transendensi intensif yang semakin besar, yang digambarkan Ruzbihan dalam imaji karakteristik sebagai terbakarnya sayap-sayap burung dalam api (cahaya). Penyingkapan, terjadi pada tingkatan akal, hati dan ruh untuk menyingkapkan bentuk-bentuk cinta yang berbeda; ia menggabungkan cinta dan keindahan dalam jiwa dan menyingkapkan kekuasaan Ilahi sebagai anggur cinta. Penyaksian adalah kategori yang dibagi Ruzbihan ke dalam dua bagian seperti ketenangan hati dan kemabukan (pembagian yang dapat dibuat dalam setiap maqam); bagian tenang penyaksian adalah pemakaian jubah Ilahi (iltibas), ciri Ibrahim, sementara bagian mabuk darinya adalah penghapusan (mahw), sifat Musa, namun Muhammad menggabungkan dua pengalaman ini dalam penyaksiannya.

Menurut Ruzbihan (ibid), cinta pada intinya dapat dibagi menjadi dua, cinta pada manusia awam, dan cinta pada para ahli. Cinta pada manusia awam ini didasarkan pada manifestasi keindahan dalam ciptaan, derajatnya ialah keimanan daripada penyaksian langsung. Cinta pada para ahli didasarkan pada tiga hal, pertama tatkala ruh yang belum berwujud mengadakan perjanjian dengan Tuhannya yang mengakui Allah sebagai Tuhannya (QS 7:171); kedua, di saat ruh tidak lagi terselubung oleh sifat manusia, melainkan manusia dan Tuhannya sudah tidak ada lagi penghalang; ketiga, penyaksian yang menyempurnakan yang kedua tadi, sang hamba sebagai cermin dari sifat-sifat ketuhanan sehingga siapa pun yang menatap pencinta akan menjadi pencinta Tuhan.

Pada tingkat kerinduan (syawq) oleh Ruzbihan (ibid:523) digambarkan bahwa kerinduan adalah api yang membakar semua pikiran, hasrat, dan selubung dari hati, karenanya jika cinta dan kerinduan mencapai kesatuan, maka diri manusia akan “lenyap” (fana). Akhir batas cinta menurut Ruzbihan didefinisikan oleh dua tingkatan yaitu gnosis (ma’rifah) dan keesaan (tawhid), di atasnya sudah tidak ada lagi. Pada titik ini pantas untuk mengatakan dalam ungkapan eskatis (syathiyyah) seperti pernyataan Abu Yazid, “Mahaterpujilah Aku”; atau, ungkapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu atas kemanunggalan dengan Tuhan melampaui semua bentuk ungkapan lain.

Pada titik ini pula, cinta dipersepsi dan diposisikan sebagai bentuk akhir hubungan manusia dan Tuhan. Faktor prinsip yang menjunjung cinta di atas keduniaan, yang berada di luar hasrat ego diakui semenjak Rabi’ah al-Adawiyah. Para sufi menyingkap pemahaman cinta melalui karakteristik pengalaman batin melalui keadaan (ahwal) an tingkatan (maqam) spiritual, dan kekayaan kejiwaan merekalah yang membedakan masing-masing pemahaman terhadap cinta. Jumlah maqam yang berbeda-beda itu hanya menunjukkan prioritas masing-masing pelakunya untuk memberi penekanan tertentu pada tingkat tertentu menuju cinta Ilahi. Maqam-maqam itu tiada lain bertujuan sama, yakni hanya demi menandai tingkat kemajuan pelaku sufi sebagai kekasih menuju penyatuan dengan Yang Mahakekasih (Allah).

A.D. Pirous, Zikir Visual Pelukis Tak Berbakat

Dipo Handoko, Ida Farida
http://www.gatra.com/

SETELAH 17 tahun absen berpameran tunggal, Abdul Djalil Pirous, pelukis yang banyak menekuni kaligrafi, kembali menggelar pameran serial bertajuk Restrosepktif 2. Perhelatan yang dihadiri 300 tamu itu diselenggarakan di Galeri Nasional, Jakarta, Senin pekan lalu. Forum ini sekaligus menandai usia ke-70 tahun lelaki kelahiran Meulaboh, Aceh, itu. Acara juga diisi dengan peluncuran buku perjalanan berkeseniannya berjudul A.D. Pirous: Vision, Faith and a Journey in Indonesian Art, 1955-2002.

Cukup meriah. Selain seremoni pembukaan oleh Fuad Hassan, yang juga membuka pameran Retrospektif (1985), ada ''parade'' penyair. Sahabatnya, Abdul Hadi W.M. dan Taufiq Ismail, memarakkan acara dengan pembacaan puisi bertema sufistik karya Hamzah Fansuri, dan karya mereka sendiri. Ajang kali ini, yang dilaksanakan hingga 31 Maret 2002, menjadi parade lengkap karya Pirous pada kurun 1960-2002.

Ada 152 karya berupa lukisan, grafis, dan studi eksperimental. Namun, hanya seperempatnya yang dijual. Selebihnya merupakan koleksinya di Serambi Pirous, galeri miliknya di Jalan Sangkuriang, Bandung. Selain karya berupa kaligrafi Islam, pameran ini juga memajang lukisan abstrak, lanskap, dan beragam tema lainnya. Karyanya pada periode awal kepelukisannya, yang diangkat dalam Restrospektif (1985), kembali dimunculkan. Tengoklah sosok manusia, hewan, dan alam, seperti pada Pasar Pagi (1960), Anjing dengan Anak (1965), dan lukisan bertema politis, Mentari Setelah September 1965 (1965).

Pada dekade awal itu, Pirous getol mengangkat tema sosial dan politik. Ia suka bermain dengan aneka warna, bergaya campuran antara seni rupa lokal --yang mengadopsi bentuk pahatan di batu nisan ranah kelahirannya, Aceh-- dan seni lukis modern. Almarhum Sanento Yuliman, pengamat seni rupa, menyebut gaya modernis yang diusung Pirous menggoreskan ''tegangan'' antara warna lokal dan Barat. Studinya di Jurusan Desain Grafis, Rochester Institute of Technology, New York, Amerika Serikat, 1969, dan pengembaraannya di beberapa negeri Timur Tengah, berpengaruh besar pada karya-karya selanjutnya.

Garis, warna, dan komposisi ruang di atas kanvas menyiratkan pengembaraan Pirous. Namun, ia tak meninggalkan nuansa lokal. Simaklah perubahan karya itu mulai Wadjah III (1970), Pengembaraan Petruk dan Semar (1970), hingga Allah yang Menguasai Langit dan Bumi (1978). Menurut Mamannoor, pengamat seni rupa, Pirous telah menemukan format bahasa seni rupa dan tema kaligrafi modern Islam sejak awal 1970-an. ''Pirous adalah satu di antara perintis seni lukis kaligrafi Islam di Tanah Air,'' kata Mamannoor, yang juga penulis buku A.D. Pirous, bersama Kenneth M. George, antroplog asal Amerika.

Bandingkan karya di atas itu dengan lukisan Pirous bertarikh 1980-an. Menurut Mamannoor, pada karya Pirous era 1980-an tercermin penjelajahan dalam pembacaan teks-teks spritualitas, baik yang bersumber pada Al-Quran, hadis, syair, hikayat, maupun sekadar kata mutiara. Kekhusyukannya menggarap teks spiritualitas itu juga ditandai dengan ''hilangnya'' karya-karya berobjek alam benda. Barulah pada akhir 1990-an, Pirous kembali mengangkat figur manusia. Ketika itu, perasaan Pirous terusik oleh kondisi di Aceh yang bergolak panas, seiring dengan kejatuhan rezim Orde Baru.

A.D. PIROUS Muncullah lukisan bermedia campuran, kanvas dan kertas, perpaduan kaligrafi dan sosok Teuku Umar, dengan judul naratif yang amat panjang: Suatu Ketika Ada Perang Suci di Aceh: Penghormatan kepada Pahlawan yang Gagah Berani, Teuku Umar 1854-1859, (1998). Ada belasan karya dalam pameran kali ini tentang serial hikayat ''perang sabil'' di Aceh. Pergulatannya di seni kaligrafi modern Islam, selama lebih dari 30 tahun, juga menampakkan sikap Pirous yang tak mau terpaku pada gaya atau khat kaligrafi yang standar.

Awalnya, Pirous lebih "tergoda" pada khat kaligrafi Arab masa lampau, sekitar 200-500 Masehi. Selanjutnya, ia bergeser ke kaligrafi gaya Andalusia (dinasti Islam di Spanyol), hingga khat Maghribi, yang belakangan muncul pada abad ke-11. Di usia senjanya, Pirous, yang fisiknya tampak segar, masih terus mengeksplorasi teks lama karya penyair Persia, Melayu, dan Indonesia. Syair karya cendekiawan Aceh, seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf, dan Syech Mushlihuddin Sa'adi, jadi inspirasinya.

Misalnya cuplikan Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, yang divisualkan dalam Tamsil Perahu Mengarungi Kehidupan (2002). Dan Pirous masih terus berkarya. Seakan tak mau melanggar nasihat yang kerap disampaikan pada sejawatnya: ''Bekerjalah sampai batas (kekuatan), tetapi jangan melampauinya,'' katanya.

Jadi Pelukis Atau Guru

SUATU ketika, awal 1960-an, A.D. Pirous bertemu Srihadi Soedarsono dan But Mochtar, yang baru pulang dari pameran di Amerika. Pirous sendiri sedang mengikuti pameran bersama sejumlah pelukis Bandung di Balai Wartawan, Bandung. Waktu itu, kebetulan ada seorang asing yang ingin membeli sebuah karya Pirous. Tapi, Pirous tak tahu mesti menghargai berapa lukisan bertema anak-anak itu.

Srihadi bilang, ''Jual saja Rp 6.500.'' Di mata Pirous, jumlah itu terlalu tinggi. Maka, ia bilang ke sang pembeli dari Amerika itu, harganya cuma Rp 5.500. Eh, langsung dibeli. Pirous tak percaya lukisannya terjual dengan harga tinggi. Ia lalu bertanya ke Srihadi: ''Mas, saya ini lebih cocok sebagai pelukis atau sebagai guru?'' Srihadi hanya menyahut pendek, menyarankan Pirous menjadi guru saja. Akhirnya, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), 1964, itu menjadi pengajar di almamaternya.

Ia sempat menimba ilmu desain grafis di Rochester Institute of Technology, Rochester, New York, pada 1969. Kariernya di ITB terus menanjak, hingga menjabat Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (1972-1991) dan mengajar Program S-2 Seni Rupa dan Desain ITB. Pada usia 62 tahun, Pirous meraih gelar profesor dari almamaternya itu. Toh, meski waktunya tersita untuk mengajar, Pirous tak berhenti berkarya. Sejak pameran pertamanya pada 1960 itu, karyanya selalu hadir di berbagai pameran.

A.D. PIROUS Ia rajin menyertakan lukisannya di belasan pameran bersama di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Di ajang internasional, puluhan pameran pernah diikutinya sepanjang kurun 1960-2001. Ratusan karyanya dikoleksi penggemarnya di mancanegara. Prestasi itu tak membuat Pirous besar kepala. Ia lebih meyakini, keberhasilannya itu karena terus belajar tiada henti. ''Sembilan puluh lima persen kerja keras, sisanya adalah bakat,'' katanya.

Kesimpulan itu seperti berusaha "menohok" petuah Srihadi, yang dulu menyatakan bahwa dia tak berbakat jadi pelukis. Bakat seninya yang cuma lima persen itu, kata Pirous, mengalir dari ibunya, Hamidah, yang berprofesi sebagai penyulam benang emas. Karena itulah, Pirous emoh terjebak dalam ''selera'' pasar. Ia tetap khusyuk dengan jalurnya: lukisan kaligrafis. Perasaannya memang sempat tergelitik, menjumput objek kemalangan anak-anak jalanan, di awal periode kepelukisannya (1960-1970). Kemudian, ''Saya tak tega menjual penderitaan orang,'' kata ayah tiga anak dan kakek seorang cucu itu.

Maka, lukisannya tak lagi menampilkan elemen manusia. Ia lebih puas dengan garis, warna, dan tekstur. Dan, tentunya teks yang diambil dari Al-Quran, hadis, syair, dan petuah yang sarat ajaran tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama dan alam sekitar. ''Dengan melukis kaligrafi, saya melakukan zikir visual,'' katanya.

Sabtu, 21 Maret 2009

Perempuan yang Merindukan Hujan

Indrian Koto
http://www.lampungpost.com/

SORE jatuh di ujung gedung, digantikan senja yang temaram. Segera, malam menaburkan kegelapan yang paling kelam. Langit menyajikan sekeping bulan yang patah--serupa goresan luka kecil pada wajah. Bintang bertebar di pipi malam, mewartakan batas langit dari ketinggian.

Kota tak hendak menutup kisah, menawarkan kemilau di jalan-jalan, gedung bertingkat dan papan iklan. Malam tak mesti dilalui dengan kegelapan. Trotoar, bangku-bangku dan taman mengisahkan sejarah paling masyuk sepanjang malam.

Kota menggeliat, mengabarkan kemerdekaan yang paling laknat. Kehidupan tumbuh di mana-mana, menyajikan riang wajah-wajah dan gemuruh suara-suara. Malam, waktu yang paling tepat merayakan sebuah kemenangan.

Sebuah kota di musim hujan. Orang-orang tak hendak menutup kisah di balik selimut dan kamar-kamar. Setiap jengkal malam menawarkan kisah paling indah, membawa tiap-tiap tubuh keluar rumah. Tak mesti menutup bagian tubuh, sebab dingin disapu kabut dan lampu-lampu. Malam menguapkan panas, sebuah bertanda tentu saja, besok hari barangkali hujan. Maka, nikmatilah ini malam sebelum waktu dikubur pagi yang menyilaukan. Siang, tak lebih dari sebuah penjara yang jauh dari hura-hura.

Dan, perempuan itu lahir dari geliat kota. Malam telah membuat orang lupa dengan sekitarnya. Lalu apa artinya seorang perempuan di antara sekian ratus atau ribuan(?) perempuan yang berkeliaran di sepanjang malam.

Perempuan itu menyapa malam, menyatu bersama hingar-bingar. Menyeruak di celah sempit yang tak memberi ruang, melewati trotoar, menyeberang jalan, taman, gang, dan lampu-lampu. Bulan mengikuti dari jauh, seperti sepasang mata yang mencurigakan.1

"Tak ada yang lebih menakutkan selain kota, lampu, dan nama-nama", bisik perempuan itu, bahasanya mengalir bersama angin. "Tak ada yang lebih kucinta selain gunung, laut, dan pulau-pulau," lanjutnya. Kini tubuh itu menyatu bersama bingar lampu, musik, tarian, dan lagu-lagu. Tubuhnya melekat di antara bahasa carut-marut, tawa, asap rokok, dan sengak alkohol murah. Meja menyajikan Anker, Bintang, Vodka, TKW, anggur merah-putih, Topi Miring, KTI, Ardath, Commodore, gelas-gelas kosong, dan kulit kacang. Duhai, lihatlah denyut hidup di malam hari, seakan besok pagi-pagi sekali mentari tak lahir lagi. Nikmatilah, nikmatilah, selagi malam masih panjang. Mari menari, perempuan.

"Saya si putri, si putri sinden panggung," mengalun di antara tubuh-tubuh ramping, belahan dada, pinggang, pantat, dan suit..suit. Dan, perempuan itu mengikuti alunan yang disajikan, seperti melafazkan doa-doa. Khusuk dan begitu ikhlas.

Malam bergulir, tepat di ubun-ubun. Dan, perempuan itu menggeliat di balik selimut apek di kamar sumpek.
* * *

Perempuan itu berdiri di jendela, mengintip langit yang gemetar menahan tangis. Ah, biarlah dan tetaplah telanjang.

Perempuan yang lahir dari malam, di antara sejuta geliat kenikmatan. Lihatlah matanya basah. Apakah yang terbersit di hati seorang perempuan yang telah membakar tangis dan mengubur mimpi?

"Jangan panggil aku pelacur," rintihnya sesekali lewat igauan dan sepenggal mimpi. Apa yang lebih menguntungkan saat ini, --di sini-- selain melelang diri? Seseorang pernah berkata kepadanya, entah di mana.

Tapi, tidak. Lihatlah dia tengah bersedih. Tangisnya mengalir bersama hujan. Menggenang ke lantai, mengalir ke tiap cela dan lubang-lubang. Terus mengalir. Adakah malam tengah menangisi nasibmu perempuan, ataukah kau tengah menangisi malam? Jangan menangis, karena hidup tak pernah meminta itu. Lihatlah tangismu telah merendam sebagian kota. Engkaukah yang selalu membanjiri kota dengan air mata tiap kali tahun baru tiba?

"Aku menjadi cengeng saat Desember menjelang."

Matanya yang serupa telaga yang mengalirkan apa saja. Seperti sungai di belakang rumah. Jauuuh!! Dulu sekali! Sungai di matanya, seumpama sungai yang mengalir ke muara. Anak-anak yang melompat riang dengan tubuh telanjang, perempuan yang mencuci di tepian, para bujang belajar mengintip gadis-gadis mandi. Sungai lebar di belakang rumah, tempatnya belajar mengeja usia, membiarkan betisnya dijilat-jilat lidah sungai, memperlihatkan tubuh rampingnya yang dililit kain basahan. Tertawa-tawa, sementara di hulu laki-laki menghanyutkan keperkasaan dan dicumbu ikan-ikan. Gadis-gadis mungil tidak saja membaca usia lewat sesuatu yang tumbuh pada dada atau yang mengalir dari selangkangnya. Mereka berlomba menghirup aroma laki-laki yang dihanyutkan jauh ke hilir. Maka, sesekali jika muncul pemuda iseng yang belajar mengintip lewat sepotong kail, jala atau sebuah sampan, mereka berlomba untuk sekadar memperlihatkan lekuk yang membesar pada bagian tubuh. Lekuk yang senantiasa menggelora dan terus membakar.

Sebuah sungai, kampung, dan gunung-gunung. Hidup yang terkungkung, membentuk mereka sebagai pencinta yang sembunyi. Di balik pohon bambu, kandang lembu, pinggir sawah atau belakang rumah. Terkikik-kikik di rerimbun, sesemak kecil, dan di bawah sepotong bulan. Sesekali tentu ada yang berani membuka jendela (di malam-malam buta, tentunya).

Awal tahun adalah musim kawin, tak seorang pun yang mampu mengusir sepi dan rasa dingin. Yang menggelora di kedalaman mereka yang paling entah, lebih menggairahkan ketimbang berita-berita menjemukan tentang kematian, orang-orang hanyut, rumah yang tersangkut di pinggir sungai, tanggul-tanggul jebol, sawah yang mendanau, tanah longsor, laut berwarna lumpur atau langit yang selalu kelam.

Tidak. Dia bukanlah gadis yang rakus, meski sering memimpikan satu-dua laki-laki bertelanjang dada. Hanya bertelanjang dada. Tidakkah begitu sering mereka saksikan di tepian? Bukan itu sesungguhnya yang menyiksanya benar. Adalah apa yang berada jauh di sebalik bebukitan dan hilir sungai. Setiap laki-laki yang pernah mengalir jauh ke muara selalu membawa kisah paling perkasa, tentang laut, pulau, jalan-jalan, oto, pasar, dan barisan toko-toko. Tidakkah selama ini milik para orang tua dan laki-laki saja? Betapa tidak adilnya! Seperti laknatnya impian gadis-gadis yang bercinta dengan beberapa lelaki sekaligus atau bercumbu dengan sejenisnya. Apakah segala pantang dan larangan hanya diperuntukkan bagi perempuan?

Angan hanya selembar arus sungai, mimpi hanya sebatas gunung, begitulah petuah para tetua. Ah, dia tak hendak membiarkan tubuhnya membatu di jendela. Keluar hanya ketika hari-hari tertentu saja, ke pakan misalnya dan selebihnya mengubur diri di dalam kamar. Perempuan, kampung dan pantangan, betapa membosankan.

Barangkali pesannya--yang satu dua--mengalir jauh ke muara dan dibaca para pelaut dan penghuni dermaga. Sehingga suatu kali, datanglah berbondong-bondong orang dari hilir, membawa cerita yang paling indah: tentang negeri di seberang laut yang langitnya lebih rendah, pekerjaan yang mengangkang dan keringat yang berubah uang. Maka, seperti pasukan demonstran orang-orang berebutan menuju hilir. Bersampan dan berakit atau melewati jalan kecil yang berbatu. Meninggalkan hamparan ladang cengkih yang meranggas, kopi menguning, sawah mengering, anak istri, cangkul dan bajak, Lumpur, dan kain samping. Rantau mengabarkan mimpi paling sempurna. Sejak itulah ia didera kegelisahan asing. Bapak yang tua, Mak yang renta, adik yang butuh uang sekolah (ah, alasan paling buruk dari semua alasan yang tersedia). Tidak. Bukankah, dari dulu ia begitu mendamba pelayaran? Itu saja. Maka, lewat seorang laki-laki yang dikenal di tepian, dia mengalir bersama malam. Diam-diam.

Ditinggalkannya kampung, ladang, gunung, petak sawah, tepian, ranum jagung, dan berisik air di tanggul. Dia tak sempat menengok lagi ke belakang. Apa yang bisa dipastikan pada kegelapan?

Di luar hujan terus mengalir makin deras, halilintar terus menyambar dan ia tengah merindukan hujan yang lain pada malam yang lain. Malam yang telah lama hilang sejak keberangkatan. "Bukankah aku meninggalkan segalanya ketika kemarau bertandang, tetapi kenapa justru hujan membuatku kehilangan?" bisiknya diam-diam.

Seorang laki-laki terbangun, menghampiri si perempuan.

"Tidurlah, sayang. Di luar masih hujan."

Perempuan itu bergeming.

"Seperti anak kecil saja. Sini! Tidakkah hujan mengairahkan? Buatlah tubuhku terasa gerah ketika dingin itu memagut, sayang."

Laki-laki itu mendekat. "Kau menangis?" tanyanya dalam sisa kantuk yang tertahan.

"Tidak! Aku justru sedang tertawa.".

Malam terus membakar. Sementara hujan terus mengalir di kedua matanya, bagai tanggul yang pecah dan mengalirkan apa saja. Tumpah di lantai, meggenang di selokan, merambat ke jalan-jalan.

Malam mencair di kota yang gigil.

Rumahlebah, 2004-2005

1. Diambil dari judul cerpen Triyanto Triwikromo, "Sepasang Mata yang Mencurigakan", dalam kumpulan cerpen Malam Sepasang Lampion, penerbit Kompas.

pakan, pekan; hari ketika pasar ramai sekali, terjadi satu kali dalam seminggu dan biasanya hari Minggu. Sebagian masyarakat Minang menyebut hari Minggu dengan hari pakan.

Jumat, 20 Maret 2009

MUHAMMAD YAMIN: PERINTIS PERSATUAN KEINDONESIAAN

Maman S Mahayana*
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya untuk bidang puisi, ada dua kepeloporan penting yang telah ditanamkan Muhammad Yamin (23 Agustus 1903—17 Oktober 1962). Pertama, dalam hal tema yang dikedepankan, dan kedua, dalam hal bentuk yang digunakan. Muhammad Yamin pada mulanya mengangkat tema kedaerahan yang kemudian secara jelas bergerak menuju tema kebangsaan. Dari sudut ini, ia telah menempatkan puisi tidak sekadar alat untuk mengekspesikan perasaan pribadinya, melainkan juga ekspresi gagasannya selaku warga bangsa. Ia menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau-Sumatera) dalam hubungannya dengan Tanah Air Indonesia. Itulah mula pertama konsep Tanah Air digunakan yang sejalan dengan perkembangan pemikiran Muhammad Yamin, pemaknaannya bergerak dari makna yang sempit tentang tempat kelahiran (Sumatera) menjadi vaderland (fatherland)—ibu pertiwi—dan kemudian meluas dalam makna sebagai sebuah negara.

Perkembangan pemikiran Muhammad Yamin tentang konsep Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa, yang mula dituangkan dalam sejumlah puisinya itu, makin jelas manakala kita mencermati puisinya yang berjudul “Bahasa, Bangsa.” Di bawah judul puisi itu, Yamin mengutip perkataan Wolfgang von Goethe: “Was du ererbt von deinen Vatern hast/ Erwirb es um es zu besitzen.” Selain itu, bentuk persajakan pantun dan syair yang cenderung lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat naratif, melalui Yamin nada itu menjadi bentuk ungkapan ekspresif yang lahir dari gejolak perasaan dan pikiran. Dari sudut pemakaian bahasa Melayu, apa yang telah dilakukan Muhammad Yamin telah membuka peluang bagi pemanfaatan bahasa Melayu secara lebih kreatif. Bahasa Melayu menjadi bahasa budaya yang modern, dan tidak lagi terkungkung oleh kata-kata klise. Perhatikan bait kedua puisi pertamanya, “Tanah Air” dimuat Jong Sumatra, Juli 1920.

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Cermatilah larik pertama: Sesayup mata, hutan semata. Secara kreatif, Yamin memakai kata sesayup mata dan bukan sekejap mata. Citraan pendengaran sesayup, justru digunakan untuk menggantikan citraan penglihatan sekejap, yang menunjukkan usaha pembebasan ikatan makna pada kata-kata tertentu. Dalam bahasa Melayu memang ada kata sayup mata yang artinya memandang atau sejauh mata memandang. Namun, itu jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Jadi, Yamin tampak sengaja menggali kata Melayu yang jarang dipakai yang justru membentuk kesamaan bunyi (rima) dalam larik. Dengan demikian dua larik awal dalam bait kedua di atas: Sesayup mata, hutan semata/

Bergunung bukit, lembah sedikit, memperlihatkan kebaruan dalam hal apa yang disebut rima dalam larik, mata semata/bukit-sedikit. Pola rima a-a-a-a atau a-b-a-b yang lazim kita jumpai dalam syair atau pantun, diintegrasikan dalam larik, bukan dalam bait.

Selain itu, pemanfaatan kata mata dengan dua makna, yaitu sesayup mata yang bermakna denotatif dan hutan semata yang bermakna konotatif, sekaligus menunjukkan kekayaan makna dalam kosakata bahasa Melayu yang coba ditawarkan Yamin. Dengan demikian, di sana ada kesadaran untuk mengeksploitasi bahasa, meskipun belum sampai pada tahap mengeksplorasi makna kata sebagaimana yang kelak dilakukan Chairil Anwar. Usaha mengungkapkan kekayaan bahasa Melayu itu, tampak pula dalam pemakaian sinonim kata surga, janat, dan Firdaus.

Bahwa bahasa Melayu digunakan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak dari pemakaian metafora. Dipagari gunung untuk menunjukkan deretan pegunungan, dan Firdaus Melayu untuk menunjukkan keindahan alam Melayu. Dalam bait berikutnya, Yamin menggunakan majas personifikasi untuk menggambarkan deburan ombak dengan menyatakan: Ia memekik, berandai-randai. Untuk ukuran zaman itu, tentu saja apa yang dilakukan Yamin merupakan sesuatu yang memperlihatkan kebaruan.

Puisi “Tanah Air” sebenarnya terdiri dari tiga bait dengan sembilan larik pada masing-masing baitnya. Dalam hal ini saja, puisi Yamin sudah tidak sama dengan pola syair atau pantun yang lazim terdiri dari empat larik dalam tiap baitnya. Meskipun dalam setiap lariknya masih terasa pengaruh puisi tradisional itu, seperti larik-larik yang terdiri dari dua elahan napas; Sesayup mata-hutan semata/Bergunung bukit-lembah sedikit/jauh di sana-di sebelah situ, dst., hubungan antar-lariknya sama sekali sudah menghilangkan bentuk sampiran dan isi. Jadi, dalam hal bentuk, Yamin telah menampilkan bentuk puisi baru, dan keluar dari konvensi puisi tradisional.

Puisi “Tanah Air” yang dimuat Jong Sumatra, Juli 1920 itu, rupanya dikembangkan lagi dengan beberapa perubahan dan penambahan jumlah bait. Lengkapnya, “Tanah Air” menjadi sebuah buku puisi dengan judul yang sama, terdiri dari lima belas nomor dengan masing-masing nomor terdiri dari dua bait. Jadi seluruhnya terdiri dari 30 bait dan setiap baitnya terdiri dari sembilan larik. Buku tipis itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen Bond, tahun 1922.

Dari puisi yang bertanggal 9 Desember 1922 itu, kita dapat melihat adanya perkembangan gagasan Yamin mengenai Tanah Air. Ia tidak sekadar menggambarkan kecintaannya pada tanah air (Sumatera), tetapi juga mulai menyinggung soal tanggung jawab pada Tanah Air, bahasa, dan keberadaan bangsa asing. Mengenai tanggung jawab pada tanah air, Yamin mengatakan: Tetapi Andalas di zaman nan tiba/Itu bergantung ke tuan dan hamba. Sedangkan mengenai bahasa, ia mengungkapkan: o, Tanah, wahai pulauku/tempat bahasa mengikat bangsa.

Muhammad Yamin juga melihat keberadaan bangsa asing yang menginjak bangsanya: karena hatiku haram ‘lai girang/kalau bangsaku diinjak orang. Oleh karena itu, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hal yang penting untuk membangun kemakmuran bangsanya. O, bangsaku penduduk Emas/Mari bekerja sampaikan bebas. Atau lebih tegas lagi dikatakannya: Selama badanku segenap ketika/Selagi menumpang di dunia nan baka/ Kubawa Andalas ke pada merdeka//

Dalam puisi “Bahasa, Bangsa” yang bertarikh Februari 1921, hubungan bangsa dan bahasa, lebih tegas lagi dinyatakan Muhammad Yamin. Meskipun bangsa yang dimaksud –pada awalnya—masih berkaitan dengan tanah kelahirannya, Sumatera, demikian pula dengan bahasa yang ia maksudkan bahasa Melayu, Yamin makin menyadari pentingnya mempunyai bahasa sendiri sebagai identitas sebuah bangsa. Terlahir dibangsa/berbahasa sendiri ... Lupa ke bahasa, tiadakan pernah/Ingat pemuda, Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsapun hilang//

Perkembangan gagasan Muhammad Yamin yang semula melihat Sumatera dan Minangkabau sebagai tanah airnya menjadi Nusantara (Indonesia) yang menjadi tanah airnya, tampak pula dalam puisinya yang berjudul “Bandi Mataram”. Mengenai hal itu A. Teeuw, menyatakan: “Usaha mencari tapak sejarah bagi konsep dan cita-cita nasional Indonesia yang merupakan suatu ciri biasa dalam seluruh kehidupan serta Yamin itu, juga amat jelas kelihatan dalam sebuah puisi panjang dari zaman itu juga, Bandi Mataram judulnya … disiarkan tahun 1923 menyambut ulang tahun kelima Jong Sumatera.

Dalam bait terakhir puisi itu, Yamin mengatakan: Kini bangsaku, insafkan diri/ Berjalan ke muka, marilah mari/Menjelang padang ditumbuhi mujari/ Dicayai Merdeka berseri-seri// Bait ini mengungkapkan, sekarang telah tumbuh kesadaran pada bangsa ini untuk menatap masa depan menjelang terjadinya persaudaraan setanah air yang disinari semangat untuk merdeka. Secara simbolik, Yamin menulis larik ketiganya dengan Menjelang padang ditumbuhi mujari. Mujari adalah sejenis tumbuhan yang daunnya harum baunya dan biasa digunakan untuk makan sirih. Ada dua makna yang dapat kita tafsirkan dari larik ini. Pertama Tanah Air yang mulai harum namanya, dan kedua, terjadinya persaudaraan lewat perkawinan antarsuku bangsa. Makna kedua ini ditarik dari peristiwa membawa sirih yang biasanya dilakukan menjelang perkawinan.

Bahwa bahasa Melayu diperlakukan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak pula dari puisi awalnya yang berjudul “Tanah Air”. Puisi yang ditulisnya saat masih berusia 17 tahun itu, dimuat majalah Jong Sumatra, Juli 1920. Meskipun belum pola syair dan pantun Melayu dipadukan menjadi sebuah puisi yang mengungkapkan kerinduannya pada tanah air leluhur.

Dalam puisinya yang kemudian, “Indonesia Tumpah Darahku” yang ditulisnya 26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. “Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air di-Indonesia.” Dalam kata “Penyusuli” yang terdapat dalam buku puisi Indonesia Tumpah Darahku, Yamin menegaskan lagi: “... Bahasa Indonesia sudah demikian lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.”

Gagasan mengenai bahasa persatuan itu, tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin pula salah seorang yang memperjuangkan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam prasarananya, ia mengatakan: “Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia memiliki sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah menjadi bahasa pengantar di kalangan orang-orang Indonesia ...” Di bagian lain, ia berpendapat: “... saya sendiri mempunyai keyakinan penuh, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa percakapan dan peratuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di masa depan ...”

Salah satu hasil kongres itu adalah mempersiapkan materi-materi yang akan dibahas dalam kongres berikutnya. Muhammad Yamin dipercaya untuk membuat konsep-konsepnya. Satu di antara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa yang tertulis: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu.” Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa persatuan sebagai Melayu diganti menjadi sebagai berikut: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sebuah keputusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat, Adi Negoro, Sanusi Pane, dll. Dengan keputusan itu, bahasa Melayu resmi diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia.

Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Dikatakannya: “membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan barulah berhasil, jikalau diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia dalam seluruh masyarakat Indonesia dahulu dan sekarang, tentang tempatnya pada hari yang akan datang dan tentang artinya bagi bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.” Ditegaskannya pula: “... bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu ... Pengetahuan dan kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendirian bahwa bahasa Indonesia mendapat tempat yang semestinya sebagai bahasa pertemuan, persatuan kebudayaan Indonesia dan sebagai bahasa negara.” Terbukti kemudian, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945.
***

Demikianlah, tampak jelas bagaimana perkembangan gagasan Muhammad Yamin mengenai bahasa menjadi cita-cita untuk mempersatukan bangsanya. Hal tersebut, seperti telah disinggung, kemudian memperoleh momentum yang tepat di dalam perwujudan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Itulah sebabnya, dalam puisi yang ditulisnya menjelang ikrar para pemuda itu, Muhammad Yamin tidak lagi mengatakan tanah air dan bangsanya semata-mata Sumatera atau Minangkabau, melainkan Indonesia. Dalam larik terakhir bait pertama, kedua, dan keempat, misalnya, ia mengatakan: Tumpah darahku Indonesia namanya// Indonesia namanya, tanah airku// Bertanah air di-Indonesia.

Selain itu, secara tegas Yamin mengungkapkan pula kebesaran tokoh-tokoh atau kerajaan masa lalu yang tercatat dalam deretan kemegahan bangsa Indonesia, seperti Sriwijaya, Pasai, Hang Tuah, Malaka, Cindur Mata, Imam Bonjol, dan Gajah Mada. Hal itu juga memperlihatkan kebanggaannya terhadap tokoh-tokoh Nusantara itu.

Keberanian Muhammad Yamin dalam mengangkat tema-tema yang yang demikian itu, diikuti pula oleh kebaruan puisinya yang sebagian besar menggunakan pola soneta, yaitu terdiri dari 14 larik yang dibagi dalam empat bait. Bait pertama dan kedua masing-masing terdiri dari empat larik, dan bait ketiga dan keempat masing-masing terdiri dari tiga larik.

Dalam Sandjak-Sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin (Djakarta, Firma Rada, 1954) yang disusun Armijn Pane, kita dapat melihat bahwa sebagian besar puisi dalam buku itu menggunakan pola soneta. Bait yang terdiri dari 4-4-3-3 dengan rima a-b-b-a dan c-d-c atau c-c-c merupakan pola soneta yang boleh dikatakan sudah baku. Pola soneta yang dirintis penyair Italia Petrach (1304—1374) dan dikembangkan penyair Inggris, Edmund Spencer pada abad ke-16 dengan bait yang terdiri dari 4—4—4—2; dan rima a-b-a-b, b-c-b-c, c-d-c-d, dan e-e. Timbul pertanyaan: termasuk pola soneta yang manakah puisi awal Yamin yang berjudul “Tanah Air”?

Bait-bait yang terdiri dari sembilan larik, misalnya, jelas bukanlah merupakan bentuk soneta. Demikian pula pola rimanya yang lebih dekat pada perpaduan antara soneta, pantun dan syair. Barulah dalam puisi berikutnya Yamin lebih berkonsisten menggunakan pola soneta, meskipun itu juga tidak berlaku untuk puisi “Bahasa, Bangsa” yang bait-baitnya terdiri dari 4-3-5-6-6. Sementara itu, puisi berjudul “Tenang” dengan bait yang terdiri dari 4-4-2-2-2, meski jumlah lariknya sama seperti soneta, bait-baitnya tidaklah sama dengan bentuk puisi itu.

Perubahan bentuk yang lebih mencolok dapat kita lihat dari puisi Yamin yang berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku” yang setiap baitnya terdiri dari tujuh larik, dan puisi “Bandi Mataram” yang polanya seperti gurindam, tetapi juga bukan gurindam karena pada bait-bait terakhir, lariknya terdiri dari 3-3-3-3-4.

Demikianlah, beberapa usaha pembaruan yang dilakukan Muhammad Yamin dalam merintis perjalanan puisi modern Indonesia. Pola soneta kemudian banyak diikuti oleh para penyair Pujangga Baru, sesungguhnya lebih merupakan pembaruan bentuk. Yang justru jauh lebih penting dari itu adalah muatan puisi-puisinya yang bergerak dari tema kedaerahan menuju nasionalisme, tema kebahasaan menuju semnagt persatuan. Tentulah hal itu juga dibarengi oleh tema-tema yang lebih beragam. Dengan begitu, bagaimanapun juga kita tidak dapat menafikan kepeloporan Muhammad Yamin dalam hal tema yang dikedepankan dan dalam hal bentuk yang digunakan. Dalam hal itulah, kedudukan Muhammad Yamin tetap tak tergoyahkan sebagai perintis puisi baru Indonesia dan penegas tentang konsep Tanah Air dan posisi bahasa Indonesia sebagai alat perekat persatuan keindonesiaan.
***

LAMPIRAN 1

POETOESAN CONGRES PEMOEDA PEMOEDA INDONESIA

Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra, (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;
sesoedahnja mendengar pidato-pidato pebitjaraan jang diadakan kerapatan tadi;
sesoedahnya menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:

Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas jang wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan perkoempoelan kebangsaan Indonesia;
mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja;
KEMAOEAN
SEDJARAH
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN
dan mengeloearkan penghargaan, supadja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.
LAMPIRAN 2

SOEMPAH INDONESIA RAJA

DAN apakah jang berlakoe pada tanggal 28 Oktober 1928 digedoeng Keramat 106 dikota Djakarta-Raja dalam sidang penoetoep jang menjoedahi Congres Indonesia Moeda dan persoempahan terbagi atas doea bagian, jaitoe: soempah jang ketiga dan poetoesan jang tiga poela. Djadi enam semuanja djumlah keboelatan jang diambil dalam sidang penoetoep itoe. Marilah saja oelangi boenji soempah jang tiga:

SOEMPAH JANG TIGA

Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Toempah Darah Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.
Dalam rapat itoe hadirlah lagoe Indonesia-Raja, karena pertama kalinja poedjangga Wage Soepratman melagoekan lagoe Indonesia-Raja, sebagai soembangan kepada perdjoeangan Indonesia Merdeka menoedjoe Indonesia-Raja jang akan bergolak dikalangan rakjat pedjoeang. Dalam rapat itoe dikibarkan pertama kalinja sesoedah beratoes-ratoes tahoen, bendera Sang Merah Poetih sebagai bendera-persatoean, jang nanti akan menjadi benderanegara jang merdeka-berdaoelat pada hari Proklamasi. Kepoetoesan ketiga jaitu meletakkan dasar bersatoe dalam kesatoean boelat dan kokoh jang dinamai dasar oenitarisme dengan segala akibatja bagi pergerakan pemoeda dan pergerakan politik, jang haroes disoesoen kembali menoeroet dasar oenitarisme. Dengan demikian lenjaplah dasar berpoelaoe-poelaoe, bernoesa-noesa ataoe dasar insoelarisme, dan bersihlah roeangan-roehani dan organisasi perdjoeangan dengan dasar kelahiran bangsa, jaitoe dasar oenitarisme.

LAMPIRAN 3

BAHASA, BANGSA

Was du ererbt von deinen Vatern hast.
Erwirb es um zu besitzen.

Wolfgang von Goethe

Selagi kecil berusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu;
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya, permai merdu.

Merayap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatera, di situ bangsa
Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana bejana
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang.

TANAH AIR

Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai:
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku.

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-randai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!

Bogor, Juli 1920

TANAH AIR

Di atas batasan Bukit Barisan
Memandang beta ke bawah memandang:
Tampaklah hutan rimba dan ngarai
Lagipun sawah, telaga nan permai:
Serta gerangan lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya tumpah darahku.

Indah ‘alam warna pualam
Tempat moyangku nyawa tertumpang;
Walau berabad sudah lampau
Menutupi Andalas di waktu nan silau
Masih kubaca di segenap mejan
Segala kebaktian seluruh zaman,
Serta perbuatan yang mulia-hartawan
Nan ditanam segala ninikku
Dikorong kampung hak milikku.

Rindu di gunung duduk bermenung
Terkenangkan masa yang sudah lindang;
Sesudah melihat pandang dan tilik
Timur dan Barat, hilir dan mudik,
Teringatlah pulau tempat terdidik
Dilumuri darah bertitik-titik,
Semasa pulai berpangkat naik:
O, Bangsaku, selagi tenaga
Nan dipintanya berkenan juga.

Gunung dan bukit bukan sedikit
Melengkung di taman bergelung-gelung
Memagari daratan beberapa lembah;
Di sanalah penduduk tegak dan rebah
Sejak beliung dapat merambah

Sampai ke zaman sudah berubah:
Sabas Andalas, bunga bergubah
Mari kujunjung, mari kusembah
Hatiku sedikit haram berubah!

Anak Perca kalbunya cuaca
Apabila terkenang waktu nan hilang,
Karena kami anak Andalas
Sejak dahulu sampai ke atas
Akan seia sehidup semati
Sekata sekumpul seikat sehati
Senyawa sebadan sungguh sejati
Baik di dalam bersuka raya
Ataupun diserang bala bahaya.

Hilang bangsa bergantikan bangsa
Luput masa timbullah masa...
Demikianlah pulauku mengikutkan sejarah
Sajak dunia mula tersimbah
Sampai ke zaman bagus dan indah
Atau tenggelam bersama ke lembah
Menyerikan cahaya penuh dan limpah.
Tetapi Andalas di zaman nan tiba
Itu bergantung ke tuan dan hamba.

Awal berawal semula asal
Kami serikat berpagarkan ‘adat,
Tapi pulauku yang mulia raya
Serta Subur, tanahnya kaya
Mari kupagar serta kubilai
Dengan Kemegahan sorak semarai
Lagi ketinggian berbagai nilai,
Karena di sanalah darahku tertumpah
Serta kupinta berkalangkan tanah.

Yakin pendapat akan sepakat
‘Akibat Barisan manik seikat;
Baikpun hampir jauh dan dekat,
Lamun pulauku mari kuangkat
Dengan tenaga kata mufakat
Karena, bangsaku, asal’lai serikat
Mana yang jauh rasakan dekat
Waktu yang panjang rasakan singkat,
Dan Kemegahan tinggi tentu ditingkat.

O, tanah, wahai pulauku
Tempat bahasa mengikat bangsa,
Kuingat di hati siang dan malam
Sampai semangatku suram dan silam;
Jikalau Sumatera tanah mulia
Meminta kurban bagi bersama
Terbukalah hatiku badanku reda
Memberikan kurban segala tenaga,
Berbarang dua kuunjukkan tiga
Elok pemandangan ke sana Barisan
Ke pihak Timur pantai nan kabur,
Sela bersela tamasa nan ramai
Diselangi sungai yang amat permai:
Dengan lambatnya seperti tak’kan sampai
Menghalirlah ia hendak mencapai
Jauh di sana teluk yang lampai;
Di mana dataran sudah dibilai
Tinggallah emas tiada ternilai.

Tanah Pasundan, 9 Desember 1922

INDONESIA, TUMPAH DARAHKU

Bersatu kita teguh
Bercerai kita jatuh

Duduk dipantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau,
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.

Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan;
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengajari bumi ayah dan ibu,
Indonesia namanya, tanah airku.

Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang,
Sejak malam di hari kelam
Sampai purnama terang benderang;
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di ‘alam nan lapang.

Tumpah darah Nusa-India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di-Indonesia

Bangsa Indonesia bagiku mulia
Terjunjung tinggi pagi dan senja,
Sejak syamsiar di langit nirmala
Sampaikan malam di hari kelam
Penuh berbintang cahaya bulan;
Mengapatah mulai, handai dan taulan,
Badan dan nyawa ia pancarkan.

Selama metari di alam beredar
Bulan dan bintang di langit berkisar
Kepada bangsaku berani berikrar;
Salam awan putih gemawan
Memayungi telaga ombak-ombakan,
Selama itu bangsaku muliawan
Kepada jiwanya kami setiawan.

Ke Indonesia kami setia
Di manakah ia di hatiku lupa,
Jikalau darah di badan dan muka
Berasal gerangan di tanah awal;
Sekiranya selasih batang kemboja
Banyak kulihat ditentang mata
Menutupi mejan ayah dan bunda?

Di batasan lautan penuh gelombang,
Mendekati pantai buih berjuang,
Terberai tanahku gewang-gemewang
Sebagai intan jatuh terberai
Dilingkari kerambil lembai-melambai
Menyanyikan lagu dan indah permai
Di sela ombak memecah ke pantai.

Duduk di pantai tanah permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.

Memandang ‘alam demikian indahnya
Ditutupi langit dengan awannya
Berbilaikan buih putih rupanya,
Rindulah badan ingin dan rewan,
Terkenangkan negeri dengan bangsanya
Berumah tangga selama-lamanya
Penuh peruntungan berbagai sejarahnya.

Pasundan, 26 Oktober 1928

BANDI MATARAM!*

Pandangan jauh sekali
kepada zaman yang sudah hilang,
Ketika dewa hidup di bumi
serta bangsaku, bangsaku sayang
Berumah di hutan indah sekali,
atau di ranah lembah dan jurang,
O, Bangsaku, alangkah mujurmu di waktu itu
berjuang di padang ditumbuhi duka
Karena bergerak ada dituju
serta disinari cahaya Cinta
Atau meratap tersedu-sedu
karena kalbunya dipenuhi duka.
Walau demikian beratnya beban
hati nan sesak tiadalah sangka;
Ke langit nan hijau menadahkan tangan
meminta ke-Tuhan junjungan mulia
Supaya peruntungan tuan lupakan,
walau sengsara bukan kepalang
Tuan elakkan segala semuanya
biar terhempas terbawa ke karang,
Karena bangsaku nan sangat mulia
dengan begola, bintang gemilang
Serta bulan bersamaku surya
bertabur di langit gulita cemerlang,
Ia sehati, sekumpul senyawa,
Sebagai anak nan belum gedang
Kulihat tuan bergerak ke muka
dengan sengsara biar berperang,
Kadang berbantu haram tiada:
sungguh demikian Cahaya nurani
Nan bersinar-sinar di dalam dada
Bertambah besarnya bergandakan seri
Biar menentang bala dan baya
yang menceraikan orang, sehidup semati
Atau sepakat taulan saudara.
Dalam pandanganku tampaklah pula
Daripada bangsaku beberapa orang
berjalan berdandan ke padang mulia
Ke medan gerangan hendak berjuang
berbuat kurban meminta sejahtera
Isteri dan anak, sibiran tulang,
Baik bercabul rukun dan damai
bangsaku selalu besar dan tinggi:
Kadang ‘tu fajar hampir berderai
sedangkan embun belumlah pergi
Berjalan tuan alim dan lalai
menjelang sawah sedang menanti,
Beserta kerbau, anak dan bini
Tuan berjerih membuat puja
Kepada tanah yang subur sekali:
berkat pun turun dihadiahkan dewa,
Karena awan di gunung dan giri
turun ke bumi hujan terbawa
Alamat kesejahteraan sangat sejati!
Ditengah malam duduk bersama
Menghadapi seri cahaya pelita
timbullah sukur di hati mesra
Serta mendoa ke-Tuhan Mahakuasa
memulangkan santun, meminta cinta.
Jikalau pekan harilah balai
Alangkah sukanya kecil dan besar.
Segala yang kecil sorak semarai
menurut jalan berputar-putar
Serta sorakan bandar dan permai:
Ada menolong ibu dan bunda
Walaupun ketiding belum berisi!
Ada bermainan, cengkerik dan layang
Dan mengadu ayam, sesuka hati!
Berapalah suka alang kepalang
Bergurau dengan pinangan sendiri,
Si anak dara di hari nan datang!
Gadis perawan muka nan permai,
ketika hari bersuka raya,
Semua berjalan menuju balai:
kalau begini terkenang dik beta
Besarlah hati tiada ternilai,
karena disinari ingatan mulia.
Lihatlah perempuan hiasan di kampung
berpakaian adat bertekatkan emas
Berteduh di surga sebagai payung
menginjakkan kaki langkah yang tangkas
Atau mengidap sebagai ikan tunjung
menceriterakan rahasia, harap dan cemas,
Di belakang berjalan ninik dan mamak,
Ajuk-mengajuk bertukar bicara
Timbang menimbang kuranglah tidak
Ke balai terus gerangan jua
Dengan suara seberapa suka!
Tiada berhingga sehari-harinya.
Apabila hari sudah malam
Datanglah pula satu per satu
berundangan makan di hari kelam:
Demikian teguhnya gerangan bangsaku
Senyawa sebadan, sejahtera dan malam
Membuat kurban setiap sekalu,
kepada kawan handai dan taulan
Jika diserang gundah gulana
tuan sembahkan kedua tangan.
Dan berapalah pula berhati suka
Kalau disinari caya kenangan,
Alamat bagia yang sangat mulia.

Lihatlah gerangan, pandanglah pula
Di sana memutih cahaya mega
Menebarkan harapan di cakrawala.

Dengarkan sungai, air dan gangga
Mengeluarkan lagu merdua suara
Sebagai bunyian di dalam suarga.

Di hati bangsaku di pulau perca
Bersinar Cinta, bersuka riang
Menghadapi usia, gemilang cuaca.

Wahai bangsaku, remaja ‘lah lindang
Sebagai embun di hari pagi
Lenyaplah ke zaman yang sudah hilang

Kini bangsaku, insafkan diri
Berjalan ke muka, marilah mari
Menjelang padang ditumbuhi mujari
Dicayai Merdeka berseri-seri.

Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, Editor H.B. Jassin, Gunung Agung, Jakarta, 1963

Dekonstruksi “Rasisme” Sastra Buruh

Gendhotwukir
http://batampos.co.id/

Sastra adalah sastra. Karya sastra adalah karya sastra. Karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi. Jika demikian yang muncul tendensi “rasisme” karya sastra ditempatkan pada profesi-profesi pencipta karya sastra.

Fenomena determinasi karya sastra pada tataran profesi akhir ini mulai tampak. Tendensi ini berkaitan erat dengan maraknya kehadiran penulis-penulis muda dari kalangan kaum buruh migran. Kenyataan demikian melahirkan satu terminologi baru yang biasa disebut sastra buruh. Sastra buruh diartikan sebagai karya-karya sastra yang dilahirkan kaum buruh.

Tidak jelas kapan secara kronologis istilah sastra buruh ini muncul. Satu hal yang pasti, istilah ini telah menjerumuskan karya sastra pada pelacuran yang jelas-jelas melahirkan wacana serius ke gelombang “rasisme” sastra. Bagi penulis jelas, karya sastra adalah karya sastra dan pemecahbelahan karya sastra secara arogan dengan menempelkan profesi pada karya diciptakannya adalah tindakan berbau “rasis”. “Rasisme” dalam konteks ini penulis artikan secara baru. “Rasisme” dalam koridor tulisan ini berarti sikap meremehkan dan memandang rendah hasil karya kelompok tertentu (kaum buruh) tanpa dasar-dasar pembelaan estetika dan jalan pikiran rasional.

Kecenderungan “rasisme” ini tampak nyata dari reaksi-reaksi segelintir orang selalu mempertanyakan kualitas sastra dilahirkan penulis-penulis dari kalangan buruh. Segelintir orang ini beranggapan karya sastra dilahirkan kaum buruh tidak nyastra. Satu hal dilupakan segelintir orang yang sinis ini yaitu justifikasi mereka secara terselubung dilatarbelakangi anggapan mereka bahwa karya yang nyastra lahir dari tangan orang-orang dengan latar belakang status pendidikan. Pikiran mereka ini terlalu picik karena tidak mau secara serius mendalami karya sastra kaum buruh. Kalau penulis amati, beberapa karya sastra dari kalangan buruh nyastra dan mencapai puncak estetikanya.

Penulis tidak bermaksud memberikan apologi (pembelaan) atas karya-karya sastra dari kalangan buruh. Penulis hanya ingin menelaah pemahaman estetika pada umumnya. Dengan pemaparan ini, penulis menaruh harapan besar pembaca bisa menilai sendiri karya-karya sastra marak beredar dari kalangan buruh dari aspek estetikanya.

Materi Pembentuk Suatu Karya

Pada suatu karya perlu dibedakan antara materi (matter) dan material (materials). Materi dari suatu karya adalah materinya bahan-bahan pembentuk suatu karya. Materi sumber asli yang menjiwai pengalaman estetis. Materi ada di dalam, bukan hadir di luar. Material (materi kasar) hanya mendukung materi asli. Material harus terintegrasi keseluruhan karya bagi penikmat yang menikmatinya agar penikmat mencapai pengalaman estetis.

Materi menjiwai cita rasa seni sebuah karya. Meski demikian, rasa perasaan seni tak boleh terikat oleh materinya. Rasa itu bebas dari punya realitasnya sendiri. Keindahan sebagai unsur rasa dalam karya sastra tidak boleh disimpulkan dari tampilan. Keindahan seorang gadis tidak boleh disempitkan pada postur tubuhnya (tampilan luaran). Keindahan totalitas kehadiran gadis tersebut. Pengandaian demikian mau mengatakan pengalaman estetik lantas bisa menimbulkan pengalaman katarsis pada penikmat tidak hanya didasarkan pada penikmatan tampilan luaran.

Dr. Mudji Sutrisno dalam bukunya Estetika (Kanisius: 1993) memaparkan dengan tajam bangunan sebuah karya. Menurutnya, setiap karya punya bangunan sedemikian rupa sehingga secara umum dapat diterima secara ekuivok. Bangunan karya tersebut struktur harmoni dan struktur ritme. Fungsi struktur harmoni (kesesuaian) menegaskan dan menggolongkan unsur-unsur bahasa estetisnya sehingga karya memiliki keunikannya. Pemakaian kata-kata estetik dalam karya sastra memiliki peranan penting membentuk totalitas keindahan lantas bisa dinikmati oleh penikmat. Kehadiran kata-kata estetik yang harmonis menawarkan bangunan keindahan bagi penikmat.

Fungsi struktur ritme menentukan unsur diarahkan pada gerak. Gerakan ini memberikan wujud menjadikan gerakan tersebut hidup. Ritme yang baik tercapai manakala terjadi titik-titik temu pelembutan, pengaturan kata-kata tanpa menyingkapkan secara terus terang dan tanpa mereduksinya dalam pengulangan-pengulangan yang monoton. Ekspresi yang paling kuno dari struktur ritme misalnya selang-seling baris dalam stanza dan puisi. Integrasi struktur harmoni dan ritme memberikan sumbangan khusus pada obyek suatu karya.

Elaborasi Keindahan

Sumber pokok pengalaman estetis adalah pengamatan pancaindera yang diolah dalam rasa, lalu dicoba-ekspresikan dalam berbagai bentuk pengucapan. Manusia dengan segala indera dan kemampuan-kemampuan lainnya terbawa masuk dalam pengamatan itu. Kontemplasi akan karya secara mendalam akan melahirkan pengalaman estetis.

Karya sastra itu berharga dan bisa menghadirkan keindahan karena karya itu sendiri bernilai. Nilai keindahan terletak pada karya itu sendiri, teristimewa karena ada tanda khusus yang bermakna di balik karya itu. Adalah Edward Bullough yang menggagas pengalaman estetis dengan konsepsinya mengenai distansi atau “jarak”. Distansi dicapai dengan memisahkan karya dan daya pesonanya dari selera penikmat dengan cara menaruhnya di luar lingkaran tujuan dan keperluan praktis semata-mata. Distansi memungkinkan kontemplasi terhadap karya dalam keheningan. Distansi tidak bermaksud membuat pengalaman estetis menjadi impersonal, tetapi sebaliknya mau memberikan suasana yang membuat pengalaman estetis semakin menjadi pribadi, dirasakan sepenuhnya dalam kekhasan cirinya.

Suatu datum umum menyatakan karya biasanya diharapkan punya nilai estetis atau menjadi bagus. Penulis melihat munculnya karya sebaliknya jangan pertama-tama dikaitkan pengalaman estetis mau diabadikan atau disampaikan pada orang lain, perlu dikaitkan dengan usaha penyempurnaan karya hingga orang lain dapat menyukai dan menikmati karya tersebut.

Catatan Kritis

Maraknya kehadiran karya sastra berupa novel, cerpen, prosa dan puisi dari kalangan buruh perlu mendapat perhatian khusus karena adanya fakta tak terbantahkan karya-karya mereka telah ikut menyemarakkan sastra nusantara. Bagi penulis, polemik genre sastra buruh perlu dilihat sebagai tantangan baru dalam kerangka kemajuan proses kreatif, proses terus-menerus penyempurnaan karya-karya dari kalangan buruh. Penulis lantas teringat debat panjang di PDS HB Jassin Jakarta tahun 2006 yang lalu pada kesempatan bedah buku dari kalangan buruh migran. Pada dasarnya sebagian besar peserta menolak definisi-definisi sastra yang dikaitkan dengan profesi. Betapa runyamnya sastra kalau sudah ada tendensi pemisahan berdasarkan profesi atau golongan: ada sastra buruh, sastra becak, sastra pengusaha, sastra wartawan dll. Pada bedah buku atau diskusi, wacana genre sastra buruh muncul dari segelintir orang, mereka asal ngomong tidak mau serius mendalami dan meneliti dalam nilai-nilai estetis karya-karya buruh. Penulis memang menolak pengembleman sastra berdasarkan profesi dan atau golongan. Alasannya, sastra adalah sastra, karya sastra adalah karya sastra dan karya sastra tidak boleh dilacurkan pada determinasi-determinasi profesi.***

Jalinan Sejarah Sastra Iran dan Indonesia

Mohammad Kh. Azad
http://www.koran-jakarta.com/

Kebudayaan Iran dan Indonesia memiliki jalinan sejarah. Salah satu bukti yang mendukung hubungan sejarah itu adalah adanya persamaan sastra dan bahasa yang saling memengaruhinya. Keberadaan lebih dari 400 kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu yang masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari membuktikan eratnya hubungan ini.

Almarhum Zafar Iqbal, mantan dosen Uviversitas Indonesia dan Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, pernah mengaji pengaruh sastra dan puisi Persia terhadap sastra dan puisi Indonesia serta dunia Melayu dalam disertasinya. Berangkat dari itu, penulis mencoba mengaji hubungan kebudayaan Iran dan Indonesia dari sisi sastra dan syair.

Perkenalan orang Iran dengan orang Melayu memiliki sejarah panjang. Hal ini dapat dikenali berdasarkan dokumen historis, mitos, dan tulisan di batu nisan. Orang Iran, sebelum menerima Islam, karena perdagangan yang luas dengan China dan sebagai jembatan penghubung antara Barat (Kaisar Romawi) dan Timur (China) dalam dua jalan, yaitu rute darat “Jalan Sutera” dan rute laut “Jalan Rempah-rempah”, memunyai hubungan dagang dan budaya dalam perjalanan mereka dengan Nusantara, sungguhpun mereka aktif mendakwakan kepercayaan Zoroaster di kawasan ini. Sejarah hubungan semacam ini dimulai sejak Dinasti Ashkhaniyah, khususnya Dinasti Sasaniyah melalui rute rempah-rempah 200 tahun Sebelum Masehi.

Tapi setelah orang Iran menerima Islam dan migrasi kelompok-kelompok Iran dari China Selatan karena penderitaan yang ditimpakan Pemerintah China, para pedagang dan mubalig Iran dalam rangka berdagang dan mendakwahkan Islam di kawasan ini. Sejarah Barat, yang mendasarkan pada catatan Marcopolo, percaya bahwa Islam masuk ke Nusantara di abad ke-13, tapi sejarah Timur yang mendasarkan pada referensi orang China, Arab, dan Melayu menekankan pada tahun pertama hijriyah atau paling tidak tahun ketiga hijriyah (abad ke-9 Masehi). Dalam hal ini, latar belakang kehadiran orang Iran yang aktif dan terus-menerus di kawasan nusantara – terkait masalah ekonomi, budaya, dan politik – jelas sekali menunjukkan peran kaum ini mendakwahkan Islam dan hidup damai dengan orang Melayu.

Untuk mengetahui kehadiran orang Iran dalam sejarah Nusantara dapat dilihat dari pengaruh bahasa dan literatur Persia dalam literatur Melayu. Secara keseluruhan, pengaruh sastra Persia terhadap sastra Indonesia dapat digolongkan dalam tujuh kategori, yaitu pengaruh sastra Persia terhadap buku-buku bersejarah, buku-buku undang-undang Malaka, agama, kerajaan Indonesia, cerita para nabi dan ahlulbait, sastra keseharian Indonesia, dan alhasil pengaruh sastra Persia terhadap puisi-puisi Indonesia. Seperti ditemukan pada buku Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Malaka, dan Hikayat Aceh. Dalam buku tersebut ditemukan 130 kosa kata bahasa Persia.

Seperti diketahui, pada zaman dahulu, para raja Pasai menugaskan para ahli sejarah untuk menulis hal-hal yang terjadi terkait kerajaan mereka. Raja-raja Pasai mengumpulkan para penyair dan pemikir besar serta mendatangkan pemikir besar mancanegara seperti Sayed Amir Sharif Shirazi dan Tajuddin Esfahani sebagai penasihat kerajaan. Pendalaman terhadap naskah-naskah kerajaan menunjukkan pengaruh signifikan sastra Persia terhadap buku pada masanya. Seperti buku Serat Tajusalatin yang ditulis pada kerajaan Islami Aceh (1603 M) dan buku Bustanul Arefin. Pada buku tersebut, terdapat lebih 36 kosakata dan pepatah bahasa Persia. Penggunaan nama-nama para raja Iran, peribahasa, dan kata-kata Persia menunjukkan pengaruh sastra Persia terhadap buku yang beredar di Kerajaan Pasai. Sebagian besar buku itu bersumber pada buku karya pemkir Iran seperti Attar dan Vaez Kashani dan terinpirasi dari karya Khosro va Shirin, Yusef va Zoleykha, dan sebagainya.

Buku-buku agama pula tidak luput dari pengaruh aroma Persia. Katakanlah buku Sheikh Nuruddin Arraniri dan Abdul Rauf Al-Senkili yang ditulis pada abad 17 M dan 50 judul lainnya memiliki interaksi dengan buku Sa’di, Abu Hamed Mohammad Gazali, Suhravardi, Khoja Abdullah Ansari, yang menjadi sufi-sufi besar di Iran.

Karya sastra Nusantara lain adalah cerita para nabi dan ahlulbait. Sejarah menunjukkan bahwa penulisan cerita para nabi dan ahlulbait dimulai dari Yaman dan Iran, lalu meluas ke negara lainnya dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, antara lain Turki dan Melayu. Penulis menyebutkan cerita Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Miraj, Hikayat Nabi Lahir, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Raja Khandagh, dan banyak cerita lainnya sebagai cerita para nabi dan ahlulbait yang terlihat dengan jelas pengaruh bahasa dan sastra Persia di dalamnya.

Selain 400 kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu seperti bandar, nakhoda, istana, masih banyak kata lainnya yang menjadi bagian dari bahasa keseharian masyarakat Indonesia yang berasal dari bahasa Persia. Lebih sembilan buah hikayat seperti hikayat Amir Hamzah, Muhammad Hanafiyah dan Bendara Hitam dari Churasan terdapat pengaruh menonjol bahasa Persia dalam hikayat-hikayat ini. Hikayat Bendara Hitam dari Churasan merupakan cerita seorang pahlawan dari Kota Khorasan – salah satu provinsi terbesar di Iran – yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia pada 1953.

Bukti lain, yang membuktikan interaksi historis sastra Persia dan Nusantara adalah syair-syair yang dikenal masyarakat Indonesia. Yakni Bustan dan Musyawarah Burung yang berinteraksi mendapatkan pengaruh dari karya-karya penyair ternama di Iran, seperti Attar, Molawi (Rumi). Pengaruh signifikan penyair-penyair dan sufi masyhur Iran seperti Ghazali, Saadi, Attar terhadap buku-buku Hamzah Fansuri terlihat dari banyaknya kosa kata yang digunakan dalam naskah tersebut.

Alhasil, persamaan antara kedua bangsa Iran dan Indonesia begitu banyak yang pada kesempatan ini hanya dibahas dari sisi persamaan sastra. Tentu saja persamaan-persamaan ini dapat menunjukkan hubungan baik yang sedang terjalin antara kedua negara di berbagai bidang pada saat ini bukan merupakan fenomena baru, melainkan sebagai kelanjutan dari suatu hubungan yang umurnya berabad-abad.

Fansuri, Ulama Sastrawan

Marzuzak SY
http://www.serambinews.com/

Tanah Aceh ini, sejak lampau merupakan lahan subur lahirnya para ulama yang juga pujangga (sastrawan). Sekarang sangat sedikit pengetahuan generasi karena minimnya membaca sejarah dan mengapresiasi karya sastrawan. Apalagi pendekatan dan materi pembelajaran bahasa dan satra di sekolah-sekolah, khususnya sastra daerah (Aceh) hampir tak menyentu aspek apresiasi, guru mati kreatifitas dan kaku sehingga tak menumbuhkan motivasi peserta didik untuk mengenal ranah kesusastraan daerah lebih dalam. Fakta, kesusastraan Aceh masa lampau sekarang menjadi asing bagi masyarakatnya sendiri. Padahal, karya sastra Aceh pernah memberi warna dan makna khas bagi perjuangan rakyat daerah ini. Perang melawan kolonialisme di Aceh berlangsung dalam rentang waktu cukup panjang dan para pejuang Aceh tak pernah surut karena spirit udep saree mate syahid , tak kecuali kaum perempuan Aceh maju ke medan perang, dan mereka menina-bobo para bocahnya dengan senandung syair-syiar perjuangan, kisah-kisah heroisme. Maka wajarlah kalau perempuan Aceh masa lalu, bukan sekedar mawar tamman tapi juga melati pagar pertiwi . Sosok perempuan Aceh yang mengagumkan itu, antara lain Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Teungku Fakinah, dan lain-lain telah mengukir lembaran sejarah Nusantara dengan darah dan nyawanya.

Lebih lima dasawarsa perang Aceh. Bukan sebentar, maka rentang itu dibutuhkan lebih dari sekedar senjata dan amunisi yang cukup. Semangat jihadlah yang menumbuhkan energi rakyat dalam panjang itu. Semangat yang dipetik dari satu hadis Rasul saw, Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air bagian dari iman) . Itulah pemicu gelora perlawanan mujahid Aceh mengusir kaphe selama 50 tahun. Hikayat perang sabi, karya puisi yang terdiri dari empat bagian, yaitu Kisah Ainul Mardhiah, Kisah Pasukan Gajah, Kisah Said Salmi dan Kisah Muhammad Amin, mengilhami spirit jihad orang Aceh. Puisi monumental karya Haji Muhammad atau lebih dikenal dengan sapaan Teungku Chik Pante Kulu, mengandung lebih dari seribu bait, di dalamnya berisi tentang keutamaan berperang di jalan Allah. Ulama dan pujangga kenamaan abad ke-19 itu menulis puisi Hikayat Perang Sabi setelah ia kembali dari pengembaraan selama empat tahun menuntut ilmu di Mekah. Ketika itu ia berumur 45 tahun. Menurut Ali Hasymi, Hikayat Perang Sabi ditulis di atas kapal antara Jedah dan Penang. Kemudian sesampai di Aceh, puisi itu diserahkan oleh pengarangnya kepada Teungku Chik Ditiro dalam sebuah upacara yang khitmat di Kuta Aneuk Galong.

Puisi panjang yang penuh heroisme termasuk karya sastra besar dunia yang sangat pengaruh. Karya sastra ini sulit dicari tandingannya di negara manapun di dunia. Puisi ini senantiasa dibacakan dari meunasah ke meunasah, dari rumah ke rumah, dan menjadi senandung para pejuang Aceh di medan laga, misal Teungku Chik Di Tiro sambil menunggang gajah putihnya, ia menyenandung puisi ini, sehingga Hikayat Prang Sabi inheren dalam diri masyarakat Aceh. Setiap orang Aceh adalah pejuang dimana pun dan terus tumbuh dari generasi ke generasi seperti semboyannya, satu hilang dua terbilang.

Jauh sebelum muncul teungku Chik Pante Kulu, di Aceh sudah pernah lahir seorang pujangga besar, Hamzah Fansuri, namanya. Para peneliti sastra, Fanzuri adalah perintis penulisan puisi di nusantara dalam bentuk syair Melayu. Syair-syairnya ditulis dalam tulisan Arab dalam kurun abad ke-16 hingga abad ke-17. Hamzah Fansuri, pujangga besar yang pernah dilahirkan oleh khazanah sastra Nusantara.

Menurut catatan sejarah, Hamzah Fansuri melanglangbuana ke seluruh dunia untuk menuntut ilmu, sehingga ia menguasai banyak bahasa. Ia pujangga dan ulama besar yang sungguh dalam ilmu hingga mencapai puncak tasawuf ma´rifat tertinggi. Itu tercermin dari ciri kepengarangannya. Karangannya khususnya ditujukan untuk kalangan intelektual yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Sedangkan karya yang ditujukan bagi masyarakat awam ditulis dalam bahasa Melayu.

Hamzah Fansuri umumnya menggunakan puisi sebagai media. Karyanya itu telah menjadi karya klasik bagi khazanah sastra dunia, di antara karya Hamzah adalah Syair Perahu , `Syair Dagang , dan Syair Burung Pingai . Sehingga kepiawaian sang pujangga perintis sastra Melayu itu oleh penyair Abdul Hadi WM menjuluki Hamzah sebagai Bapak bahasa dan sastra Melayu.

Dan cendekiawan muslim Noerchalis Madjid, pernah mengatakan kalau Aceh menjadi gudangnya pujangga besar yang andil mereka sangat besar dalam pengembangan bahasa dan sastra Melayu (Indonesia).

Membaca, menikmati dan mengapresiasi karya sastra Aceh masa lampau - paling tidak menyadarkan kita bahwa tanah Rencong ini telah pernah melahirkan para ulama yang pujangga `kelas dunia´. Karya-karya mereka sekarang telah menjadi karya klasik yang sulit ditemukan tandingannya di negara-negara lain. Bagaimana kita orang Aceh masa kini. Entahlah!

*) Alumnus FKIP Unsyiah dan pernah menjadi guru bahasa dan satra Indonesia SMAN Susoh, sekarang sekretaris Inspektorat Kabupaten Abdya.

Sabtu, 07 Maret 2009

Dunia Kepengarangan, Sarana Membangun Pribadi dan Tamadun

Samson Rambah Pasir
http://www.riaupos.com/

Diskusi bertajuk “Shafirasalja” yang ditaja Dewan Kesenian Riau (DKR) pada 21 Februari lalu, merupakan ‘kicau’ perdana DKR yang diterajui Eddy Ahmad RM di aula barunya di Kompleks Bandar Serai. Bahkan, sebagaimana dikatakan Griven Saputera, Plt Sekum DKR, helat ini merupakan ‘pembuka lawang’ kegiatan di tahun 2009, dengan menghadirkan pembicara UU Hamidy, seorang budayawan terbilang di ranah Lancang Kuning, serta Shamsudin Othman, Ahmad Razali dan SM Zakir, ketiganya dari Tanah Semenanjung, Malaysia. Sedangkan saya ditugasi sebagai moderator – dalam praktiknya lebih jadi tukang sorak, sebagaimana diharapkan Dr Yusmar Yusuf.

Walau helat tersebut sudah berlalu, saya tetap berkeinginan membuat semacam “catatan yang tak terungkai tuntas” dalam perbincangan tersebut lantaran terbatasnya waktu, sehingga catatan yang “tersimpan” itu saya dedahkan di sini – dan tetap jualah bernada tukang sorak agar faedah diskusi juga dapat tersampaikan ke pembaca yang tak sempat menyertai dialog tersebut.

Wacana “Potret Kecil Dunia Pengarang di Riau” yang dikupas UU Hamidy dengan apik dan mendapat respon sangat antusias dari para peserta yang utamanya adalah seniman dan para guru, sepertinya sebuah tema menarik tapi terhukum oleh waktu untuk diselami lebih dalam. Mengapa tidak! Para seniman-penulis yang merupakan pelaku utama dalam dunia kepengarangan serta para guru yang merupakan “pembentuk” calon-calon pengarang masa depan melalui pendidikan formal di sekolah, sepertinya tak “terkenyangkan” dari rasa lapar, pun UU Hamidy dengan gayanya yang khas –bahkan terkadang menjadi ‘teroris’ – menghasut para peserta untuk menekuni dunia kepengarangan sebagai sebuah panggilan jiwa dan upaya membangun pribadi.

“Dunia kepengarangan adalah panggilan jiwa, bahkan sarana membangun pribadi. Pada akhirnya membuahkan popularitas dan materi, itu hanyalah persoalan akibat, bukan tujuan,” tegas Hamidy.

Bila kita menoleh ke masa lalu, profesi guru selalu identik dengan kepengarangan. Sebut saja Soeman Hs, Mansyur Samin, Selasih dan sebagainya. Bahkan, berkembangnya sastra Melayu sebagai cikal-bakal sastra Indonesia, mayoritas ditulis oleh pengarang yang juga berprofesi sebagai guru. Pertanyaannya, mengapa guru-guru di sekolah formal sekarang relatif “gagal” melahirkan pengarang? Bahkan, mengapa guru sekarang sangat sedikit yang bisa mengarang? Saya kira, benang merah inilah yang belum sempat dirunut tuntas karena terbatasnya waktu, padahal momentum diskusi ini sangat tepat untuk menemukan jawaban itu.

Benang merah yang sempat dikupas cukup mendalam oleh para pembicara, terutama oleh UU Hamidy dan sedikit oleh Shamsuddin Othman, seorang penulis muda produktif dan satu dari sedikit penulis Malaysia yang agak “berani” dan cerdas, adalah fungsi sastra dalam masyarakat.

Faedah Sastra

Dua kutub yang selalu menjadi berdebatan dalam kesastraan adalah: sastra untuk sastra dan atau sastra untuk masyarakat. Baik Hamidy maupun Shamsudin, bersepakat, sastra hendaklah “berfaedah” bagi masyarakat. Bahkan, dengan penuh “emosi” Hamidy mengharuskan sebuah karya sastra memiliki “magnet sipiritual”, sebagaimana “magisnya” medan megnet Hikayat Perang Sabil yang ditulis Sik Pantikulu memacu jihad masyarakat Aceh menentang penjajahan Belanda tempo dulu. Demikian juga “digdaya” Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji sebagai tuntunan moral masyarakat sepanjang zaman.

“Mengapa karya sastra sekarang kurang daya magnetnya, ya karena tidak ditulis untuk pembangun pribadi, baik untuk penulisnya sendiri maupun untuk kalangan pembaca. Penulis sekarang menulis lebih untuk popularitas dan materi!” sindir UU Hamidy yang telah menulis lebih dari 50 judul buku kebudayaan itu.

Pikiran Hamidy tampaknya sejalan dengan pendapat Braginsky, bahwa sastra Melayu dalam fase perkembangannya mengemban tugas dalam kebudayaan yaitu “berfaedah”, selain disyaratkan memiliki kesempurnaan dan keindahan. Faedah saja tidaklah cukup apabila sesebuah karya tidak sempurna dan indah. Dan “faedah” itulah sebenarnya “misi” pengarang, namun mesti dikemas secara sempurna dan indah.

Selain para guru, tradisi kepengarangan di Riau pernah pula dijayakan oleh para ulama dan kalangan istana atau kaum kerajaan. Bahkan perkumpulan-perkumpulan pengarang dari kalangan ulama dan istana sangat memberi andil dalam perlawanan kepada para penjajah. Tapi mengapa ulama sekarang sangat sedikit yang mengarang karya sastra? Pertanyaan ini barangkali dapat menjawab kegelisahan Hamidy yang merasa kurangnya daya magnet karya sastra kontemporer membangun pribadi, terutama yang berkait-kelindan dengan spiritualitas Islam.

Di sisi lain, perlawanan Riau terhadap kesewenang-wenangan pemerintah pusat pada suatu masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah, bukan disuarakan oleh para politisi maupun ekonom, tetapi oleh para sastrawan dan budayawan melalui karya-karyanya. Dan menurut Hamidy, ini juga “fungsi” sastra yang tak boleh diabaikan. Contoh yang paling pas adalah puisi Ediruslan Pe Amanriza bertajuk “Berpisah Jua Kita Akhirnya, Jakarta”.

Guru Kurang Gaul?

Di luar bingkai kepengarangan, dan meluas dalam konteks pengajaran kebudayaan Melayu di sekolah, para peserta diskusi dari kalangan guru banyak yang merisaukan tidak menemukan materi penunjang bahan ajar yang berkaitan dengan kebudayaan Melayu. Padahal, seorang UU Hamidy saja telah menulis lebih dari 50 judul buku kebudayaan, juga Tenas Effendi, Yusmar Yusuf, dll! Lalu, mengapa para guru di Riau –bahkan di Pekanbaru— merasa kekurangan buku bacaan tentang kebudayaan Melayu?

Apakah buku-buku yang ditulis budayawan Melayu Riau tidak menyebar merata ke tengah masyarakat dan hanya menjadi bacaan elitis kalangan seniman dan budayawan sahaja, atau para guru tersebut “kurang gaul” sehingga tak menemukan buku-buku penunjang yang mereka perlukan?

Sebagai seorang pembaca, bahkan ketika masih seorang guru pun, saya merasa tidaklah susah benar mencari buku-buku kebudayaan karya para budayawan Melayu Riau. Saya kira, keluhan para guru dalam hal ini lantaran “kurang gaul” tadi. Para guru kita “termanjakan” dengan buku yang didatangkan secara proyek ke sekolah, dan tidak mau mencari di luar pustaka sekolahnya yang terbatas itu atau bergaul dengan kalangan pengarang, seniman dan budayawan di Riau.

Artinya, jangan berharap banyak dari guru-guru seperti ini untuk mengarang! Apalagi menghasilkan calon pengarang dari kalangan siswanya!

“Kemanjaan” lain dari kalangan guru kita, paling tidak yang diindikasikan dari diskusi tersebut, adalah tidak adanya inisiatif mencari bahan penunjang pelajaran kebudayaan Melayu. Misalnya, ada seorang peserta yang bertanya di mana dia harus mendapatkan contoh syair kapal, selendang delima, bahkan koba dll dalam bentuk rekaman (kaset atau CD), untuk kemudian akan dia ajarkan kepada para siswanya sebagai penunjang pelajaran muatan lokal kebudayaan Melayu. Pertanyaan seperti ini saya rasakan sangat umum, tidak hanya di Pekanbaru, termasuk dalam beberapa diskusi atau seminar yang saya ikuti di Kepulauan Riau, para guru yang mengajarkan kesenian selalu mengeluhkan materi penunjang pelajaran muatan lokal kebudayaan Melayu dalam bentuk “siap pakai”.

Usut punya usut, ternyata keluhan jujur seperti ini umumnya dilontarkan oleh para guru lulusan bukan Riau atau Kepulauan Riau namun bertugas di sini, dan tidak pula berkecimpung dan bertungkus-lumus dalam aktivitas kebudayaan di Bumi Lancang Kuning ini yang demikian semarak dan rancak. Semestinya, para guru tersebut dapat menimba ilmu dan menemukan sendiri materi penunjang pengajarannya melalui turut terjun dalam kancah aktivitas kebudayaan yang selalu dilaksanakan di Riau, khasnya Pekanbaru.

Paling tidak, demikianlah “potret” masa depan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah yang diajarkan oleh para guru yang tidak “dilahirkan” oleh kebudayaan Melayu itu sendiri. Diskusi-diskusi kebudayaan seperti yang ditaja DKR dengan melibatkan para guru, tidak hanya para seniman, saya kira senantiasa perlu terus digelorakan, sehingga para guru kita yang terkondisikan “kurang gaul”, mendapat halaman “bermain’ baru yaitu arena diskusi yang dapat memacu mereka pada dua hal, yaitu menjadi guru-pengarang sekaligus dapat melahirkan para siswa-pengarang. Sehingga harapan besar UU Hamidy dapat terwujud, yaitu membentuk kader-kader pengarang yang bermatlamat membangun pribadi, sekaligus membina masyarakat bertamadun melalui karya-karya kreatif.***

*) Sastrawan, bermastautin di Batam.

Kamis, 05 Maret 2009

Melek Sastra Sedari Dini

Judul Buku: MEMILIH, MENYUSUN DAN MENYAJIKAN CERITA UNTUK ANAK USIA DINI
Penulis: Tadzkiroatun Musfiroh (Mbak Itadz)
Penerbit: Tiara Wacana, Yogyakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xviii + 234 halaman
Peresensi: Abdul Muis*
http://www.ruangbaca.com/

Membumikan tradisi literer memang bisa ditempuh lewat banyak cara. Entah festival, sayembara, penerbitan karya, simposium, atau apresiasi lainnya. Namun ada satu hal yang selama ini sering dilupakan, yakni generasi kita terlambat mengenal dunia literasi. Kesan elitis muncul karena, antara lain, sedari dini pada generasi kita tak ditanamkan rasa cinta terhadap, misalnya saja, sastra.

Kemarau panjang dunia sastra sesungguhnya mewakili potret kegagalan pendidikan dalam maknanya yang luas. Kita belum mampu melahirkan generasi yang bisa diandalkan. Kebiasaan mengkambinghitamkan orang, membuat kita abai bahwa anak-anak, sebagai pewaris zaman, lebih membutuhkan perhatian.

Buku ini secara tak langsung menampar muka kita untuk menengok ke dalam. Sederhana saja, namun sangat mengena: mendidik anak-anak usia dini dengan cerita. Tema ini sangat jarang dibahas dan diulas, bahkan oleh para penggiat sastra sekalipun.

Padahal, bercerita adalah salah satu metode pembelajaran seni bahasa tertua di dunia. Tak hanya menyemai kecintaan pada sastra dan bahasa, cerita membangkitkan daya imajinasi anak-anak, sekaligus menyediakan wadah bagi mereka untuk megenali serta mengolah segenap perasaan, seperti sedih, gembira, senang, terharu, simpati, marah, cemas, dan naluri emotif lainnya. Cerita membuat anak senantiasa merindukan suasana ruang kelas yang hidup di playgroup atau taman kanak-kanak. Saat-saat menjelang tidur juga akan terasa kurang dan tak sempurna jika dilewati tanpa satu pun cerita.

Cerita adalah medium paling efektif untuk mentransmisikan nilai-nilai baru yang kelak akan membentuk kepribadian anak ketika dewasa. Pada dasarnya, anak-anak tak suka dicekoki dengan perintah dan pengetahuan yang kaku, apalagi teoritis. Karena itulah, dengan cerita, transmisi nilai-nilai menjadi lebih natural dan bermakna.

Cerita memantik mereka untuk mengolah otak, sebab untuk pertama kalinya, anak-anak akan belajar menginterpretasi sebuah narasi cerita. Tanpa dipaksa, dengan sendirinya mereka belajar mengidentifikasi tiap karakter tokoh, jalan cerita, setting dan sudut pandang. Interpretasi ini berujung pada sebuah kesimpulan yang membuat mereka mampu menentukan cita-cita, kebenaran, kepantasan, kebaikan, moral, dan segala bentuk negativitas yang merupakan kebalikan dari itu semua.

Lebih-lebih berbagai penelitian psikologi (seperti Hurlock, 1997 dan Musthafa, 2002) menyimpulkan bahwa perkembangan awal lebih penting daripada perkembangan selanjutnya. Studi genetik juga menunjukkan hingga usia lima tahun semua anak kecil mengikuti pola perilaku umum lingkungannya. Sisa usia yang puluhan tahun jumlahnya kemudian hanya berupa tahapan perkembangan menuju kematangan yang cenderung mengerucut pada usaha individu.

Persoalannya, bagaimana sebuah cerita harus disampaikan? Seberapa besar tanggung jawab dan peranan yang dimainkan oleh pendidik, baik orang tua atau guru? Prinsipnya adalah sebuah tugas mulia harus diemban dan dilakukan sesempurna mungkin. Sebab, meski tak bisa dipukul rata, kebusukan sebuah generasi menandakan gagalnya pendahulu mereka dalam mendidik. Begitu pula sebaliknya.

Para pendidik idealnya mempertimbangkan benar-benar keseluruhan aspek dalam bercerita. Aspek-aspek perkembangan bahasa, sosial, emosi, kognitf, dan moral semestinya saling bertaut-paut membentuk rangkaian cerita utuh yang menghadirkan makna. Kegagalan pendidik dalam bercerita umunya berakar dari kelemahan teknik dan penguasaan jenis cerita.

Karena alasan itulah, jenis dan sumber cerita tak bisa dianggap sepele. Anak-anak tak bisa begitu saja disuguhi aneka cerita yang berseberangan dengan, misalnya, nilai-nilai patriotisme dan kemanusiaan. Koleksi jenis dan sumber sebenarnya bisa diperkaya dari sejarah, cerita rakyat, cerita fiksi modern, hingga cerita faktual. Ini artinya, upgrading dan updating koleksi cerita harus menjadi agenda tetap dalam jadwal para pendidik.

Dari koleksi yang beragam, pendidik seyogyanya mampu mengukur bobot, tujuan, dan kondisi tertentu sehingga cerita yang dipilih menjadi relevan. Unsur kebaruan pun tak kalah penting. Dongeng kancil, misalnya, yang disampaikan tiap malam jelas sangat membosankan.

Kreativitas pendidik juga sangat dibutuhkan. Baik bercerita menggunakan atau tanpa alat peraga, teknik-teknik seperti menirukan bunyi atau suara, menghidupkan suasana, hingga mengatur diksi dan struktur cerita sangat menentukan keberhasilan. Cerita menjadi tuna-makna jika dialog antartokoh tak maksimal, miskin improvisasi, penghayatan yang tak penuh, dan klimaks seadanya.

Meski terdengar penuh tuntutan, perlu diingat unsur-unsur tersebut bersifat menopang dan membantu. Tentu saja, seorang pendidik tak perlu terpaku dengan mengingat-ingat teknik menirukan bunyi ketika memeragakan Ibu Malin Kundang yang tengah mengutuk anaknya menjadi batu. Mengalir dan natural saja. Memahami konsep dasar bercerita hanya diperlukan, sekali lagi, untuk membantu pendidik secara praktis dan sekaligus menyadari bahwa bercerita adalah aktivitas yang kaya akan nilai.

Di sinilah, orang tua dan guru sebagai pendidik mesti menyadari betul peran dan tanggung jawab mereka. Apa yang mereka lakukan untuk pendidikan anak-anak, sungguh pengabdian yang sangat mulia. Dengan satu pembayangan yang jauh ke depan, bangsa ini niscaya bangkit dari keterpurukan jika diurus oleh generasi yang cinta ilmu, patriotik, humanis, mempunyai semangat mengabdi, beretos kerja tinggi, dan, tentu saja, senantiasa menjunjung nilai-nilai moral serta etika.

Kekurangan buku ini terletak pada kualitas cetakan yang kurang sebanding dengan isinya, plus miskin ilustrasi gambar. Idealnya buku ini juga dilengkapi contoh kasus agar diketahui seberapa andal metode-metode bercerita yang disampaikan. Sekalipun begitu, buku ini tetap layak direkomendasikan bagi mereka yang menggeluti pedagogi anak dalam aspek teori dan praktikalitasnya.

*) Penikmat sastra dan pengajar di sebuah sekolah dasar swasta.

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar