Sabtu, 28 Februari 2009

Ular

Ellyzan Katan
http://www.riaupos.com/

Semua orang tahu, Hasim itu adalah seorang pembual. Hanya dari mulutnya saja yang selalu keluar berbagai macam cerita. Padahal, setiap cerita yang dikatakannya itu tidak pernah benar. Bahkan cenderung mengada-ada. Semua orang telah tahu itu.

Begitu juga dengan aku, jauh-jauh hari memang telah paham, Hasim adalah seorang pembual sejati. Itulah sebabnya setiap kali Hasim mencoba menceritakan apa yang dilihatnya pada rumah panggung tua yang ada tak jauh dari rumahku itu, aku tetap mencoba mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal lain. Sayang, Hasim terlalu kuat. Dia tetap berkeras untuk menceritakan apa yang pernah dilihatnya.

“Dia memakai baju serba putih,” kata Hasim dengan wajah yang serius. “Perempuan itu bernyanyi. Jelas sekali aku mendengar suaranya. Dia memang bernyanyi.” Diperagakannya gaya seorang perempuan duduk di atas sebuah ambin papan.

Dalam hati aku melepaskan kata-kata begini, “Hah, pasti membual lagi. Yang ada bukan seorang perempuan bersimpuh sambil bernyanyi, tapi bayangan saja. Rumah itu kan kosong. Mana mungkin ada seorang perempuan di sana.” Pedalamanku selalu bertentangan dengan apa yang dipaparkan oleh Hasim.

Sementara di lain waktu, sambil berlari tergopoh-gopoh, Hasim juga pernah mengeluarkan cerita yang hampir saja membuat banyak orang ketakutan. Katanya, tak lama lagi kota kami akan menderita. Oleh sebab apa, dia masih belum tahu. Dan kapan kejadiannya, Hasim juga masih belum tahu. Dia berhasil membuat banyak orang penasaran.

Dalam mimpinya, dia melihat beberapa ekor ular datang bertamu ke setiap rumah penduduk. Ular-ular itu kemudian langsung berdiri tegak, sama rata dengan setiap tinggi penghuni rumah. Ada dua ekor ular yang dengan gagahnya langsung berbicara. Suaranya agak sengau, berat, dan seperti mendesis. Lidah ular itu menjulur-julur ke luar. Dan air liurnya jatuh berjatuhan.

“Engkau percaya tidak, dengan lidahnya yang bercabang itu, katanya kita akan menderita penyakit? Kali ini aku tahu kapan waktunya, bulan depan.”

Bukannya aku tidak percaya, selama ini apa yang dibualkan oleh Hasim selalu berujung angin, tak jelas. Bahkan ketika dia memaksa kami untuk tidak keluar rumah selama setengah hari karena di langit sana --menurut penglihatan gaibnya-- akan meluncur banyak kelelawar, tak juga terbukti. Makanya aku dan orang-orang sengaja tidak terlalu memusingkan semua petuah Hasim. Biarlah dia saja yang berkutat dengan apa yang dilihatnya. Kami tidak perlu.
***
Seperti biasa, setiap pagi pukul lima Subuh, aku akan bangun dan segera ke kamar mandi. Aku harus bergegas supaya tidak terlambat ke kantor. Maklum saja, kantor tempat kerja selama ini terletak agak jauh jaraknya dari tempat tinggal. Lebih kurang setengah jam perjalanan menggunakan bus karyawan milik pemerintah daerah.

Tiba-tiba aku melihat ekor ular melintas di bawah mesin cuci di dalam kamar mandi. Semula aku menyaksikannya tidak dengan perasaan yang bukan-bukan, akan tetapi entah karena apa, langsung saja wajah Hasim melintas. “Ular yang besar akan datang kepada kita semua.”

Ah, ada-ada saja. Itu pasti ular tanah yang memang banyak di sekitar lingkungan rumah. Tampat tinggalku memang berada di daerah rawa. Tidak heran jika sesekali makhluk melata itu akan masuk ke dalam rumah. Itu karena tempat tinggalnya yang kian menyempit. Manusia hanya bisa mengambil kawasannya yang dulu masih sempurna untuk dijadikan tempat tinggal berbagai macam ular. Dan sekarang, akibatnya, antara manusia dan ular tidak bisa lagi hidup bergandengan. Selalu terjadi perkelahian kecil.

Cepat-cepat aku buang pikiran buruk yang ada. Itu hanya ular biasa! Itu hanya ular biasa! Tidak akan ada apa-apanya. Ya, aku yakin itu! Langsung saja aku tutup kembali pintu kamar mandi. Dengan gerak cepat, aku membasahi seluruh tubuh dengan air. Secepat kilat pula aku langsung melakukan segala macam ritual yang selalu dilakukan pada saat mandi. Huh, akhirnya selesai. Begitu handuk telah melingkar, dan perangkat mandi seperti sabun, odol gigi, samphoo, dan yang lainnya aku kemas, langsung saja aku meninggalkan kamar mandi.

Anehnya, dalam perjalanan ke kantor, ekor ular yang tertangkap melintas di bawah mesin cuci, selalu bermain di depan mata. Aku gusal-gusal kelopak mata sendiri dengan kuat. Ah, tidak ada apa-apanya. Yang terjadi malah rasa pedih yang aku rasakan.

Sampai pada saat jam istirahat di kantor, seorang kawan tiba-tiba mencak-mencak. Ternyata di dalam laci kerjanya ada seekor ular. Tidak besar memang, tapi cukup membuat orang terperanjat. Aku sampai berhenti menuangkan air dari dispenser. Barangkali saja ular itu sejenis ular lidi, tidak akan berbahaya.

Aku lihat, tangannya yang penuh oleh balutan daging itu sibuk membuka seluruh laci meja dengan perlahan-lahan. Dan kemudian, seluruh isi laci meja diserakkan di atas permukaan lantai. Astaga, memang benar. Ular yang semula telah membuat pemilik meja itu terperanjat sedang melingkar di sudut laci. Kecil. Kulitnya tampak memancarkan cahaya-cahaya kekuning-kuningan. Dengan disimbah oleh cahaya lampu yang terang, ular itu terlihat mulus.

“Jangan dibunuh. Buang saja lewat jendela.”

Entah suara siapa, aku tak tahu. Yang aku tahu, ular itu benar-benar tidak dibunuh. Makhluk kecil yang tak berdaya itu langsung melayang dari jendela lantai dua kantor kami. Dan untuk sementara, di kepalaku kian berkecamuk saja. Hasim seperti menari-nari di depan batang hidup.

Langsung aku tenggak segelas air putih yang masih ada di tangan. Biar, biar segala macam susah, segala macam mimpi buruk, dan segala macam pikiran buruk akibat semua ini, hilang dibawa arus air ke dalam tubuh. Untuk selanjutnya akan aku buang di dalam kamar mandi. Aku ingin kencing. Dengan begitu, ampas yang ada di dalam tubuhku pasti akan terbuang semuanya. Aman! Semua kembali aman!

Tak lama setelah aku kembali duduk di kursi kerja, telpon genggam pun berbunyi. Ada SMS masuk. “Di dalam lemari pakaian ada ular. Tidak besar memang, tapi membuat aku dan anak-anak menjadi takut. Kalau bisa, cepat pulang. Aku tunggu ya!!!?”

Dasar sial. Mengapa pula hari ini semua selalu saja dihiasi dengan ular? Apa ini semua ada hubungannya dengan setiap perkataan Hasim? Kalau pun memang benar, mengapa berawal dari rumah? Apa selama ini ada hal yang tidak disukai oleh Hasim padaku? Dasar sial! Aku hendak mencari Hasim. Ini pasti dia punya pasal. Seharusnya bukan denganku dia bercerita. Aku harus mencarinya!

Atasanku langsung aku berikan laporan. Bagaimana pun aku mesti pulang sekarang. Di rumah ada ular di dalam lemari pakaian kami. Istri dan anak-anak berada dalam ketakutan. Aku mohon izin. Ya, beruntung atasanku mengerti. Dia membolehkan aku untuk pulang menyelamatkan keluarga di rumah.

Lagi, ketika aku melaju kencang di jalan raya, tiba-tiba, dalam jarak lima puluh meter ke depan, ada dua ekor ular yang melintas dengan lambat. Aku harus mengerem mendadak untuk menunggu ular besar itu selesai melintasi jalan raya. Beruntung tidak terjadi kecelakaan akibat berhenti mendadak.
Lagi-lagi ular, kataku di dalam hati.

SMS kembali berdering. “Kali ini ada dua ekor.”

Astaga, lubang telingaku seperti diletupkan dengan bunyi yang keras. Suara Hasim bertengger di bibir lubang. Aku tak kuat untuk memaksanya masuk dan ke luar. Suara Hasim berbunyi-bunyi. “Dua ekor!! Dua ekor!! Dua ekor!!”

Aku angkat gas. Vespa tua yang aku tunggangi seperti mengamuk. Mesinnya meraung-raung mendaki jalan yang agak berbukit. Asap memutih di belakang. Sesekali aku mirip pula dengan Valentino Rossi, pembalap dunia yang terkenal itu. Rumah, rumah, dan rumah, itu saja yang terbayang di kepala. Selebihnya, Hasim benar-benar telah memaku seluruh isi kepala dengan segala macam kesusahan. Pasalnya dari sekian banyak celoteh yang dikeluarkan, baru sekarang terbukti kebenarannya. Iya atau tidak, aku masih belum tahu.

“Ularnya ada di dalam lemari.” Ini suara istriku. Dia terlihat agak pucat. Itu karena dia sangat takut dengan ular. “Ada dua ekor.”

“Baik. Mundur semua.” Bergegas aku mengambil sebatang penyapu. Dan dengan perlahan-lahan, pintu lemari besar yang telah berdiri mematung di depanku, dibuka. Seketika itu juga aroma kapur barus meruap, masuk ke dalam lubang hidungku. Pakaian di dalamnya masih terlihat rapi.

Dengan sedikit sibakan saja, ular yang ditakutkan oleh istriku itu berhasil aku temukan. Ternyata hanya dua ekor ular kecil. Tidak besar. Kalau diukur, kira-kira hanya sepanjang ujung telapak tangan ke siku saja. Tidak besar. Tapi yang namanya diri sudah dikuasi oleh ketakutan, tetap saya semuanya dibesar-besarkan.

Ular yang malang itu aku masukkan ke dalam tong sampah tertutup. Kemudian aku buang ke dalam tong sampah besar yang ada di depan rumah, juga tertutup. Kebetulan nanti sore adalah jadwal petugas kebersihan memungut sampah di setiap rumah. Aku tidak perlu khawatir kalau ular itu berlama-lama berada di sekitar rumah kami.

“Sudahlah, jangan takut. Ularnya sudah aku masukkan ke dalam tong sampah. Sebentar lagi petugas kebersihan akan membawanya ke tempat pembuangan sampah. Tidak ada-apa. Tenanglah.” Istriku langsung memeluk tubuhku dengan erat.

Ah, inilah yang paling aku suka dari perempuan berambut panjang ini. Dia memang pandai membuat seluruh urat di dalam badanku mengembang.
***

Hasim masih berkain sarung ketika aku temui di rumahnya. Memang, waktu Maghrib baru saja selesai. Semburat cahaya masih terlihat jelas di atas sana. Dia duduk bersila di atas ambin tua yang ada di tepi jendela. Menurut penglihatanku, Hasim sedang menikmati secangkir kopi panas yang disediakan oleh orang rumahnya.

Penasaran! Ya, aku memang penasaran. Itulah sebabnya setelah selesai salat, tanpa mengganti kain sarung, aku langsung menuju ke rumah Hasim. Kawan yang satu ini harus memberikan jawabannya terkait ular yang selalu mengganggu hari ini. Dia harus menjelaskannya….

“Oh, ular itu rupanya.”

Astaga, santai sekali aku dengar suara Hasim. Dia kembali menengguk air kopi yang masih panas itu.

“Akhirnya kau percaya? Ular-ular itu adalah buah dari kesalahan kita.”

Aku paham. Seorang Hasim selama ini memang dikenal sebagai orang yang cara bicaranya agak lain dari yang lain. Dia selalu berpijak pada negeri awang-awang. Sangat jauh dari kebiasaan kami.

“Aku memang melihat banyak ular di sini. Entah karena sudah musim hujan atau apalah, aku juga tidak tahu. Yang aku tahu, bukan sekali dua ular-ular itu datang ke dalam mimpiku. Sudah berulang kali. Bahkan yang terakhir malah berkata kita akan mendapatkan celaka.”

“Celaka bagaimana?”

“Inilah yang membuat aku bingung.”

Hasim tidak memberikan jawaban seperti yang aku inginkan. Dia malah berputar-putar begitu saja. Lebih baik aku mempersingkat waktu kunjungan ke rumah Hasim. Dengan begitu, aku akan dapat berpikir lebih jernih lagi di rumah. Lagi pula anak-anak pasti bisa aku awasi.

“Jangan lupa, tutup setiap lubang yang ada di rumah. Ularnya tidak akan bisa masuk.” Suara Hasim sempat terdengar. Dia berteriak dari muka jendela.

Ular. Binatang yang satu ini telah tiga kali aku temukan. Pertama, di rumah. Kedua, di kantor. Dan ketiga di rumah lagi. Untuk yang kedua, jujur aku katakan tidaklah menjadi beban pikiran. Akan tetapi yang ketiga, di rumah, tidak bisa tidak, benar-benar telah membuat aku serba salah. Maklum saja, jarak yang harus aku tempuh dari rumah ke tempat kerja, bukanlah dekat. Jauh. Apabila terjadi sesuatu di rumah, sementara aku berada di kantor, itu artinya akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa sampai di rumah. Lantas apa yang harus aku perbuat?

Menutup semua lubang yang ada di rumah? Sepertinya itu pun akan membutuhkan waktu yang lama. Sebagai rumah yang bergaya Melayu lama, rumah kami sengaja aku bangun dengan bentuk yang banyak lubang udaranya. Papan-papan berkualitas tinggi, dipakai untuk lantai. Di beberapa tempat sengaja dibuat lubang agar istriku bisa menyapu rumah, membersihkan debu yang ada. Dia tidak perlu membawanya hingga keluar pintu.

Atau harus memasang kamera? Uh, percuma. Itu perkara yang mahal. Jadi, apa yang harus aku perbuat? Ini semua Hasim yang punya pasal. Semestinya dia tidak bercerita yang bukan-bukan. Kalau pun bermimpi, tidak seharusnya dia ceritakan itu semua padaku. Jadinya, sekarang aku yang susah.

“Malam ini kau saja yang tidur duluan. Aku yang berjaga. Nanti kalau sudah hampir subuh, kita bergantian.”

“Anak-anak bagaimana?”

“Semua tidur di dalam satu kamar.”

Di kepala, aku mulai membayangkan istiku sakit. Anak-anak, satu per satu mulai terkulai. Belum lagi ketika siang hari, akibat kurang tidur, kepala mulai pening. Pandangan berkunang-kunang. Aku seperti mendapati semua penglihatan bergoyang. Gelombang pasang sedang naik. Ah, pikiran sial.

Cepat-cepat aku periksa lagi semua pintu. Ya, sudah terkunci dengan rapat. Jendela, aman. Tidak ada yang masih terbuka. Lalu tiba saatnya untuk aku periksa bagian dinding pembuangan debu, tempat yang biasa dipakai istriku untuk membuang sisa-sisa debu atau pun sampah-sampah kecil lainnya. Duh, masih terbuka.

Bingung! Secepat kilat aku langkahkan kaki ke belakang. Di gudang, kembali aku bongkar-bongkar beberapa peralatan yang dapat aku pakai untuk menutupi lubang yang masih tersedai di ruangan tengah sana. Ah, tidak satu pun yang sesuai. Sementara jam di dinding telah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.

Sejuk embun malam yang turun merasuk dari celah-celah pentilasi rumah. Beberapa perabot yang diletakkan oleh sitriku di sudut ruangan, seolah mengigil. Ada sesuatu yang mereka rasakan. Meja makan, piring-piring, penyapu, dan segala macam benda, mematung. Aku hanya sibuk sendiri untuk mencari sesuatu yang dapat aku pakai untuk menutupi lubang. Sayang, setelah berusaha keras, hasilnya percuma. Tak satu benda pun berhasil aku temukan untuk menutupnya.

Lamat-lamat aku seperti mendengar suara mendesis. Dari mana datangnya, masih belum jelas. Begitu juga ketika aku paksakan kaki ini untuk melangkah mendekat ke meja makan, suara desis itu semakin jelas tertangkap di telinga.

Aku teguk air putih yang ada di atas meja. Dengan bulu kuduk berdiri, remang-remang perasaan mulai merayap di sekujur tubuh, terasa ada yang merayap pelan di atas punggung kaki kanan. Dingin dan lembut.
***

“Ha, sekarang coba ceritakan. Apa sebenarnya yang terjadi semalam?” Hasim mulai menarik kursinya mendekat ke samping ranjang. “Aku dengar engkau melihat ular. Panjang?”

Tak kuat mulutku untuk menjawab pertanyaan Hasim. Selain karena di dalam mulut masih tertancap selang, kondisi kepalaku masih terlalu pusing untuk dipaksa bekerja. Aku hanya memandang Hasim dengan wajah yang kosong. Belum ada satu kata pun yang dapat aku keluarkan.

Lalu istriku mendekat. Dia berkata begini, “Sudahlah, Bang Hasim. Sejak masuk rumah sakit ini, belum dapat dia berkata banyak. Jangan paksa dia untuk banyak berbicara. Tak baik. Lagi pula kata dokter, dia memang harus banyak beristirahat.”
Baru aku tahu, ternyata aku sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit.***

Ranai, 20 Januari 2009

Bukhara Kota Pengetahuan

Heri Ruslan
http://www.republika.co.id/

''Gudang pengetahuan!'' Begitu sastrawan besar Iran, Ali Akbar Dehkhoda menjuluki Bukhara salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Islam. Penyair Jalaludin Rumi pun secara khusus menyanjung Bukhara.''Bukhara sumber pengetahuan. Oh, Bukhara pemilik pengetahuan,'' ungkap Rumi dalam puisinya menggambarkan kekagumannya kepada Bukhara tanah kelahiran sederet ulama dan ilmuwan besar.

Konon, nama Bukhara berasal dari bahasa Mongol, yakni 'Bukhar' yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah Barat Uzbekistan, Asia Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara' an-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.

Letak Bukhara terbilang amat amat strategis, karena berada di jalur sutera. Tak heran, bila sejak dulu kala Bukhara telah menjelma menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, budaya dan agama. Di kota itulah bertemu pedagang dari berbagai bangsa di Asia barat termasuk Cina. Lalu sejak kapan Bukhara mulai dikenal?

Menurut syair kepahlawanan Iran, kota Bukhara dibangun oleh raja Siavush anak Shah Kavakhous, salah satu Shah dalam cerita dongeng Iran yang berasal dari Dinasti Pishdak. Secara resmi, kota itu berdiri ada sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Namun, oasis Bukhara telah didiami manusia mulai tahun 3000 SM, yakni semasa zaman perunggu.

Wilayah Bukhara, sejak 500 SM sudah menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Persia. Seiring waktu, Bukhara berpindang tangan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya, seperti Aleksander Agung, kekaisaran Hellenistic Seleucid, Greco-Bactaian, dan Kerajaan Kushan.

Selama masa itu, Bukhara menjadi pusat pemujaan Anahita. Dalam satu putaran bulan, penduduknya biasa merayakan ritual ibadah dengan mengganti berhala yang sudah usang dengan berhala yang baru. Sebelum Islam menaklukan wilayah itu, penduduk Bukhara adalah para penganut agama Zoroaster yang menyembah api.

Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang membawa dakwah. Pada akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi' bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu'awiyah, Khalifah Bani Umayyah memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.

Pasukan tentara Islam pertama menjejakan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.

Tepat pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.

Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.

Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin populer.

Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan putera-puterinya dengan sisitem home schooling atau sekolah di rumah.

Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-naka di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.

Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek. Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.

Pada tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizm. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala'udin Muhammad Khawarizm Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.

Pada tahun 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala'udin dengan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota, membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.

Jengiz Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata:ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar dari Bukhara pun meredup.

Nasib tragis ini, 38 tahun kemudian dialami pula oleh Baghdad, ketika Hulagu Khan keturunan Jengiz Khan menghancurkan metropolis intelektual abad pertengahan itu dengan bengis dan sadis.

Ulama dan Ilmuwan Besar dari Bukhara

Masa kejayaan Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan telah melahirkan sederet ulama dan ilmuwan besar dari Bukhara. Hal itu menunjukkan bahwa Bukhara memiliki pengaruh yang besar pada era keemasannya. Di antara tokoh-tokoh besar asal Bukhara itu memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan agama Islam dan ilmu pengetahuan itu antara lain: Imam Bukhari

Imama Bukhari Imam Bukhari terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Ia adalah ahli hadits termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadits. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari.

Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya. Bersama gurunya Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadits. Ia menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih Bukhari adalah salah satu karyanya.

Ibnu Sina

Terlahir di Afsyahnah, Bukhara pada 980 M. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, lmuwan sekaligus dokter. Ia dijuluki sebagai 'Bapak Pengobatan Modern'. Buah pikir dan karyanya dituangkan dalam 450 buku, sebagaian besar mengupas filsafat dan kedokteran. Ibnu Sina merupakan ilmuwan Islam paling terkenal. Hasil pemikiran yang paling termasyhur dari Ibnu Sina adalah The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb).

Selain itu, era tamadun Bukhara juga telah melahirkan sosok ulama dan Ilmuwan sepertih Abu Hafsin Umar bin Mansur Al-Bukhari yang dikenali dengan nama Al-Bazzar, Al-Hafiz Abu Zakaria Abdul Rahim Ibnu Nasr Al-Bukhari, Abdul rahim bin Ahmad Al-Bukhari, dan Abu Al-Abbas Al-Maqdisi Al-Hambali.

Di bidang sastra, Bukhara juga telah menghasilkan sederet sastrawan dan penyair kondang. Para penyair dan sastrawan kelahiran Bukhara telah menisbahkan nama mereka kepada Bukhara. Para penyair dan sastrawan dari Bukhara itu antara lain;i Ar-Raudaky, Fadhil Al-Bukhari, Am'aq Al-Bukhari, Al-Khajandi, Lutfullah An-Naisaburi, serta Ahmad Al-Karamani.

Bukhara di Era Modern

Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.

"Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses," papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.

Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam 'permainan besar' antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.

Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks membenyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.

Luka Beku

Hary B. Kori'un
http://www.lampungpost.com/

AKU berpikir, inilah mungkin saatnya harus menjelaskan padamu bahwa kesalahpahaman yang terjadi memang harus diselesaikan. Bukan menjadi sebuah kebencian, yang kemudian--kulihat kemarin--menjadi bara di matamu: Barangkali sebuah dendam. Bukan salahmu, tetapi hukum di negeri ini yang tanpa pasti, sehingga memang benar-benar sampai hari ini apa yang terjadi padamu--juga ratusan lainnya--tidak pernah diungkapkan lagi.

Namun, mengapa engkau harus memperlihatkan bentuk kekecewaan itu hanya kepadaku? Matamu. Aku memang benar-benar melihat kekecewaan di sana, di sebuah pertemuan yang tidak terduga yang seharusnya menjadi surprise untuk kita. Tetapi hal itu hanya menjadi kejutan buatku. Karena, ketika aku nyaris patah hati mencarimu selama ini, engkau muncul, dan menjelaskan padaku bahwa masih ada laki-laki yang mau menerimamu, barangkali juga dengan rasa cinta seperti aku dulu. Namun, aku tetap tidak menemukan danau yang bening di mata kecilmu. Ada bara di sana, dan aku tak tahu sampai kapan kamu harus memendamnya.

Hingga kini, aku masih menyimpan cinta untukmu. Sebuah cinta yang harus engkau pahami terbebas dari perasaan iri, ukuran mata atau warna kulit. Aku yakin, engkau masih percaya padaku bahwa hingga hari ini aku masih berusaha mengungkapkan bahwa apa yang terjadi padamu dan perempuan-perempuan lain sekulit denganmu pada peristiwa lebih sepuluh tahun yang lalu, memang benar-benar terjadi. Namun pertemuan kemarin, sedikit-banyak telah menjelaskan padaku, meski aku akhirnya bukan pilihanmu--karena sejak profesiku gagal membantu engkau dan korban lainnya di Mei 1998 yang gelap, engkau kemudian pergi meninggalkanku tanpa sebab dan pesan. Engkau menganggap kami--terutama aku--tidak sungguh-sungguh. Karena, seperti yang engkau katakan dalam emosi yang tinggi dulu, tuduhan bahwa aku tidak bisa menerima dirimu tersebab peristiwa itu, pasti selalu berada dalam benakmu.

"Katakanlah dengan jujur, siapa sih laki-laki yang mau menerima seorang perempuan setelah dia digilir orang-orang tak dikenal dengan brutal. Bahkan polisi pun tidak menolong kami, wartawan menganggap kami mengada-ada, apalagi jaksa. Hukum seperti apa ini? Aku memang China. Kami semua China, apa salahnya menjadi China? Apakah karena ada satu China yang buruk kemudian seluruh orang China semuanya brengsek dan ada pembenaran untuk dijarah, dibunuh, dan diperkosa? Ini benar-benar tidak adil!"

"Engkau salah menafsir, Vi..."

"Di mana salahnya? Apakah kamu ingin aku menjelaskan kepada semua orang, bahwa aku korban perkosaan, mau difoto, kemudian dipampangkan di halaman depan koranmu, dan semua orang menjadi tahu bahwa aku menjadi wanita yang tidak punya masa depan..."

"Apakah engkau merasa tidak memiliki masa depan?"

"Kamu ngomong begitu karena tidak merasakan bagaimana pedih dan sengsaranya kami. Kami dibuat agar tidak punya harga diri lagi. Kami benar-benar dihancurkan..."

Engkau kemudian menangis panjang dan memelukku erat. Sangat erat.
***

Peristiwa itu memang telah mencabik-cabik dirinya: hatinya, perasaannya. Meski aku paham Vivian adalah wanita yang tegar, tapi sampai mana batas ketegaran seorang perempuan jika diperlakukan seperti itu? Sebab aku paham, hampir semua korban perkosaan mengalami trauma sepanjang hidupnya.

Aku berada di lapangan ketika peristiwa itu terjadi. Ketika Jakarta dibakar, toko-toko dijarah dan kerumunan massa membuas seperti beruang lapar, aku memotret dan sekaligus reporting di Slipi Jaya, ketika puluhan pegawai sebuah swalayan terjebak api dan akhirnya mereka tidak terselamatkan. Aku menangis, benar, air mataku meleleh ketika menyaksikan itu, ketika tidak ada seorang pun yang bisa menolong mereka. Dan aku hanya bisa memotret api yang menjadi raja dan sewenang-wenang, dan harus mencatat berapa jumlah korban di sana.

Ketika sampai di kantor dan akan menghidupkan komputer untuk menulis berita, aku membaca pesan yang menempel di monitor: Rusdi, ada telpon dari Vivian Candrawati. Harap hubungi balik ke rumah. Sangat penting. Aku cemas. Kemudian cepat-cepat aku menelpon. Namun, menurut adiknya, dia hanya menangis, tidak mau menerima teleponku. Aku kemudian ke rumahnya. Dia tidak mau menemui. Aku memaksa dan masuk ke kamarnya. Aku mendapati dia tersedu kehabisan air mata menelungkup di pembaringan. Dia kemudian memelukku, lama. Tidak ada kata-kata, hanya isakan.

Hingga akhirnya dia menjelaskan telah terjadi proses penglepasan naluri binantang ke dalam tubuhnya. Tanpa kemanusiaan. Hanya karena dia China. Aku marah, semarah-marahnya. Apakah karena dia China kemudian ada penghalalan dan pembenaran sebuah agama untuk melakukan perkosaan? Mengapa tidak ada orang gereja atau ulama yang menyerukan agar perbuatan itu tidak dilakukan? Ternyata, keyakinan beragama tidak bisa membunuh gejolak binatang. Padahal, hampir semua orang di negeri ini memeluk agama, dan semua agama mengutuk perkosaan.

Dia baru keluar dari kantornya, di sebuah bank swasta di Sudirman, ketika massa mulai marah. Dia mencoba berjalan ke sebuah halte. Namun dia kemudian sadar, tidak ada bus atau angkutan apa pun yang akan datang. Dia kemudian berjalan bersama teman sekerjanya ke arah Blok M. Namun, belum genap 100 meter dia dan teman-temannya berjalan, kerumunan massa mulai mengejar. Mereka berteriak: "China laknat! Kembalikan kekayaan kami! Ayo, mereka sebangsa bangsat, tidak ada harganya. Bahkan kita perkosa pun, kita yang malah dapat pahala. Ayo, kejar mereka!"

Dia dan beberapa temannya mencoba lari, namun itu hanya memperpanjang napas. Karena setelah itu, puluhan laki-laki kekar dan beringas itu sudah menangkapnya bersama teman-temannya. Dia dan tiga temannya kemudian dinaikkan ke sebuah mobil bak terbuka dan dibawa ke suatu tempat, ke sebuah bangunan yang tak berpenghuni. Namun di sekitar itu, saat itu, banyak massa yang merusak dan membakar gedung lainnya. Di sanalah, Vivian, kekasihku, dan tiga temannya harus menerima nasib tragis.

Aku kemudian menulis berita itu. Bahwa dalam kerusuhan Mei 1998, ada perkosaan, dengan indikasi dimobilisasi. Namun, aku harus bertengkar dengan Mas Ruhiat, redakturku. "Kamu jangan aneh-aneh Rusdi. Jangan membuat cerita yang tidak masuk akal-lah..."

"Apakah Mas tetap menganggap tak masuk akal jika itu terjadi terhadap istri atau anak gadis Mas? Ini fakta, dan jika pun bukan pacarku yang diperkosa, aku tetap akan menulisnya! Ini tidak benar. Negeri ini sudah mirip negri drakula, bahkan hewan pun tidak pernah memperkosa lawan jenisnya!"
***

Aku semakin mendapat angin karena beberapa pekan kemudian, beberapa LSM yang bergerak dalam advokasi perempuan menemukan banyak fakta, bahwa memang benar ada kasus perkosaan yang direncanakan dan dimobilisasi sebuah kelompok. Banyak media yang kemudian memberitakannya, dan Mas Ruhiat kemudian menjabat tanganku. "Kita yang pertama kali memberitakannya, Rusdi. Dan kamu yang pertama menulis. Kita menang beberapa langkah..."

Buset! Bahkan yang ada dalam otaknya hanya persaingan.

Namun aku kemudian sangat kecewa. Perkembangan selanjutnya memang buruk. Polisi enggan mengusut kasus itu karena tidak ada bukti autentik, tidak ada bukti meteri yang bisa menjelaskan terjadinya perkosaan itu, apalagi dilakukan secara massal dan terorganisasi. "Kita bekerja berdasarkan bukti materi. Jika tidak ada bukti, hanya kekonyolan yang kita dapatkan. Kecuali, jika ada korban yang mengadu dan bersedia menjadi saksi, baik untuk penyidikan atau saat di depan hakim..," ujar salah seorang pajabat kepolisian.

Hukum memang membutuhkan bukti materi. Tetapi jika para korban kemudian muncul dan memberi kesaksian, aku yakin, masalahnya juga tidak akan selesai kalau tidak ada niat mereka untuk menegakkan hukum. Para wanita itu hanya akan menjadi tontonan dan cemoohan orang sepanjang hidupya.

Namun, alternatif itu kuusulkan kepada Vivian dan LSM-LSM agar melakukan cara itu, jika memang berani menanggung risiko moral.

"Jika kita menang, risiko moral itu akan hilang dan akan menjadi awal bagi pendidikan peradilan kita. Tetapi jika kalah, barangkali memang akan sangat buruk..."

Aku sangat bersemangat, merasa bahwa aku memang seorang pembela. Padahal dengan kesadaran yang sesadar-sadarnya, bahwa aku hanya seorang wartawan dengan jabatan reporter, yang bahkan untuk menurunkan berita yang kutulis pun aku tidak memiki hak.

Vivian marah dan mengatakan bahwa dia tidak bisa mengambil risiko seberat itu. "Aku barangkali bisa menanggung itu, Rusdi. Tetapi bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana dengan ayah, ibu, dan adik-adikku ketika membaca di koranmu atau melihat di televisi, ketika semua orang tahu bahwa aku korban perkosaan? Tidak Rusdi. Jika hukum memang memihak orang benar, tentu kamu tidak mengusulkan cara itu..."

Sayangnya, hukum memang bukan milik masyarakat ketika itu. Aku hanya terobsesi film The Accused. Aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa budaya di Amerika dengan di sini berbeda. Aku kemudian menjadi maklum dan tidak lagi memiliki gairah untuk reporting. Sebab, berbulan-bulan aku melakukan itu, berusaha membela Vivian, teman-temannya dan ratusan wanita senasib dengannya, ternyata tidak ada hasilnya. Aku hanya seorang wartawan, bukan pemilik negara, atau setidaknya pemilik koran. Aku menjadi tidak bangga lagi dengan profesi yang sekian tahun kubanggakan. Aku baru ingat kata-kata ironis, bahwa kadang-kadang, revolusi harus memakan anaknya sendiri.

Hingga akhirnya aku paham, kebencian Vivian kepadaku memang benar adanya muncul dari emosional dan keputusasaan. Meski berkali-kali aku mengatakan padanya bahwa aku mencintainya dan tetap menerimanya dengan apa adanya. Namun, dia tetap bersikeras bahwa aku sama dengan orang-orang itu. Ada dendam di dadanya. Dan itu sangat membara, membakarnya. "Mengapa Rusdi? Apakah memang orang-orang pendatang seperti kami bukan bagian dari manusia yang memiliki harga diri dan martabat? Apakah sekat pribumi dan orang asing harus tetap ditumbuhkan untuk menjelaskan mana bangsa yang beradab dan lebih unggul? Okelah kalau begitu, aku percaya barangkali aku akan selalu meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar mencintaimu. Tetapi, karena sekat itu akan tetap ada, kita memang tidak bisa untuk tetap bersama. Cinta barangkali memang tidak ada artinya, sebab yang menang adalah kebencian, dendam dan keputusasaan. Aku mencintaimu, sangat. Tetapi aku memiliki sakit hati, dendam dan keputusasaan itu!"

Dia kemudian pergi tanpa kabar. Juga keluarganya. Menurut tetangganya, dia kembali ke Nanking, tanah asalnya. Aku menjadi sangat kehilangan.

Hingga kemudian, kemarin kami berjumpa. Dia bersama seorang laki-laki yang sewarna kulitnya dan sama lebar matanya. Aku tidak tahu apakah dia suami atau kekasihnya. Tetapi, jelas ada yang luka dalam diriku. Bukan hanya sebatas cemburu: barangkali luka, pilu dan ngilu. Sebab, dia tetap memelihara dendam di matanya, juga keputusasaannya, meski aku juga menemukan ada perasaan rindu.

Memang, bukan hanya sebatas cemburu: barangkali luka, pilu, dan ngilu, dalam hatiku. Sebab, meski dia mencintaiku "seperti pengakuan terakhirnya", tapi dia tetap tidak percaya bahwa cinta bisa membebaskan orang dari batas-batas yang membuat perbedaan. Dia memang tidak pernah percaya--aku melihat dari matanya yang sebenarnya indah meski ukurannya kecil--dengan semua itu.

Aku ingat ketika menghiburnya dulu: "Bagiku, tak penting engkau tidak perawan, aku tetap mencintaimu."

"Persoalannya bukan perawan atau tidak, Rusdi. Tetapi harga diri!"
"Di mataku kau tetap wanita dengan segala harga dirimu."
"Suatu saat nanti kau akan menarik ucapanmu..."
Hingga hari ini, aku tak pernah menarik ucapanku itu.

Jakarta November 1999--Pekanbaru Januari 2009
*) Wartawan dan editor buku-buku sastra di Yayasan Sagang (Pekanbaru).

Minggu, 22 Februari 2009

CERPEN SEBAGAI POTRET SOSIAL ZAMANNYA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sastra –di dalamnya tentu saja termasuk juga cerpen— bukanlah sekadar karya fiksional –menyulap fakta menjadi fiksi—tetapi juga catatan sebuah kesaksian atas satu atau serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat dan zaman tertentu. Sebagai sebuah kesaksian, sastra boleh jadi sekadar mencatat segala peristiwa itu tanpa pretensi. Atau, mungkin juga ia mencoba melakukan pemaknaan atas hakikat di balik peristiwa itu. Bahkan, tidak jarang pula sastra menjadi alat bagi pengarang untuk menyelusupkan ideologinya, menawarkan misi budaya, memprovokasi untuk melakukan pemihakan, atau meledek hal atau pihak tertentu secara tersembunyi. Itulah sebabnya, dari karya sastra, kita (: pembaca) kerap menemukan berbagai hal yang baik atau buruk; yang tersirat atau tersurat; ledekan atau pengagungan. Jadi, sebagai catatan sebuah kesaksian, sastra menghasilkan rekaman situasi sosial pada zamannya. Ia menampilkan semacam potret sosial. Dari sana, terungkap situasi sosial, di dalamnya sekaligus tersembunyi semangat zaman.

Mengingat catatan dan rekaman itu kadangkala dihasilkan dari sebuah tafsir dan evaluasi tentang satu atau berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dan sastrawan mencoba memberi makna terhadapnya, maka tidak sedikit pula karya sastra yang mengisyaratkan tanda-tanda, petunjuk, prakiraan, atau sekadar potret saja yang di masa-masa berikutnya, ia menjadi semacam catatan sejarah; menjadi fakta historis subjektivitas pengarangnya. Ia mencatat dan merekam situasi sosial pada zaman tertentu dan kemudian mencoba pula memaknainya bagi kehidupan ini, sekalian juga mengisyaratkan berbagai kemungkinan akibat-akibatnya sebagai buah dari peristiwa itu. Jika kondisi sosial pada zamannya dimaknai sebagai sebuah isyarat, lalu apa yang bakal terjadi di masa hadapan atas masyarakat yang bersangkutan: kebahagiaan atau kehancuran? Dalam hal ini, sastra sering juga diperlakukan sebagai ramalan tentang perkembangan zaman dan tanda-tanda yang akan dihadapi di masa depan. Apakah ramalannya itu benar-benar terjadi atau tidak, tidaklah penting. Ia hanya bertugas memberi tanda-tanda, mengisyaratkan tentang sebuah peristiwa yang (mungkin) akan terjadi dan melanda masyarakatnya kelak.

Cerpen “Gerombolan” karya Ayatrohaedi ini ternyata tidaklah berindikasi sebagai sebuah “ramalan atau isyarat.” Dan tampaknya, ia memang tidak berpretensi ke arah sana. Ayatrohaedi sekadar memotret apa yang dirasakan dan dilihatnya. Jika ia tidak memberi isyarat atau tanda-tanda zaman yang akan datang, lalu apa maknanya bagi kehidupan masyarakat sekarang? Apakah karya itu kemudian tak bermakna sama sekali dan kita (: pembaca) tega melemparkannya ke keranjang sampah. Jika begitu, percuma juga kita menempatkan karya sastra sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya. Inilah contoh kasus, bagaimana karya sastra yang ditulis hampir setengah abad yang lalu, masih memancarkan tidak hanya menyangkut pesona estetikanya, tetapi juga fakta-fakta masa lalu sebagai sebuah potret sosial. Mari kita periksa.
***

Cerita yang diangkat Ayatrohaedi dalam cerpen “Gerombolan” sesungguhnya bukanlah sebuah kisah yang mengungkapkan peristiwa besar. Terkesan ia sekadar bercerita begitu saja seperti seorang pendongeng dalam tradisi lisan. Maka, gaya bertuturnya terasa mengalir enteng, tanpa kelak-kelok, tanpa niat berfilsafat, dan tak berkehendak membawa pembacanya berkerut kening. Justru dari situlah pesona estetik cerpen ini memancar dan menampakkan dirinya.

Dikisahkan, seorang penduduk desa, Mang Kentang, berhasil menangkap seorang gerombolan. Tentu saja penangkapan itu sebagai prestasi luar biasa bagi pelakunya. Berita penangkapan itu pun menyebar. Belakangan diketahui, bahwa yang ditangkap itu bukanlah gerombolan, melainkan seorang gila. Maka, tak ada alasan untuk tidak membebaskannya. Itulah ikhtisar cerpen yang pernah dimuat majalah Tjerita, No. 3, Th. II, Maret 1958.

Lalu, di manakah estetika cerpen yang tampak begitu sederhana itu? Secara tematis, jelas bahwa cerpen itu mengangkat peristiwa aktual pada zamannya. Tentang situasi kacau akibat konflik tentara dengan lasykar DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Karena layskar DI/TII sering melakukan penyerbuan secara bergerombol, tidak dilakukan seorang diri, tentara kemudian menyebutnya sebagai gerombolan DI/TII. Akhirnya, melekatlah kata gerombolan sebagai identik dengan lasykar DI/TII. Itulah etimologinya. Maka, bagi masyarakat Jawa Barat, yang dimaksud gerombolan itu adalah lasykar DI/TII. Jadi, seorang gerombolan tidak lain adalah seorang lasykar DI/TII. Dalam hal ini, terjadi pergeseran makna: gerombolan sebagai kelompok orang yang lebih dari dua orang menjadi lasykar DI/TII.

Pada awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1950-an, kekacauan yang terjadi di wilayah Jawa Barat semata-mata disebabkan oleh konflik antara tentara dan pasukan DI/TII. Tentu saja yang menjadi korbannya adalah rakyat. Tentara kemudian membentuk apa yang disebut sebagai “Pagar Betis” yang artinya pertahanan dengan melibatkan kekuatan rakyat. Jika di dalam cerpen itu diceritakan perihal keterlibatan rakyat dalam menjaga keamanan wilayahnya, hal tersebut dilakukan dalam kerangka pembentukan “Pagar Betis” itu.

Selain itu, gambaran yang diperlihatkan tokoh aku tentang ketakutannya pada serbuan gerombolan, kecemasan beberapa penduduk yang ngukurung dan hendak pulang ke kampungnya, dan munculnya istilah main rebab, menunjukkan situasi yang sangat mencekam. Penyerbuan pihak gerombolan ke perkampungan penduduk yang sering diikuti dengan pembunuhan –penggorokan-penyembelihan— atau pihak tentara yang juga melakukan hal yang sama kepada pihak gerombolan, ketika itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Cerita penduduk tentang orang-orang yang direbab, juga sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari.

Perhatikan kutipan berikut:

“Mang, selama masih ada di dalam kampung kami, kami masih bertanggung jawab atas keselamatan Emang semua. Cuma keluar dari kampung kami, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini jika Emang memaksa juga mau pulang. Baiklah saya mintakan izin pada Pak Mayor nanti.”
Dan mereka terlihat sangat gembira aku sanggupi demikian. Mereka meneruskan perjalanan mereka setelah aku berkata-kata sebentar dengan Pak Mayor. Dan ucapan terima kasihnya pun keluar berderai-derai dari mulutnya, tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.

Tampak dalam kutipan itu, bahwa keselamatan diri merupakan barang yang amat berharga. Maka, ketika penduduk yang habis ngukurung itu diizinkan Pak Mayor (: tentara) untuk melanjutkan perjalanannya pulang, mereka berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada si tokoh aku. “…tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.” Buat penduduk yang habis ngukurung itu, izin seorang aparat keamanan boleh dikatakan merupakan tiket keselamatan untuk sampai tujuan. Jadi, jika penduduk itu berulang kali mengucapkan terima kasihnya, hal tersebut sebagai ekspresi yang wajar, karena ada jaminan keselamatan untuk jiwa dan raganya.

Demikianlah, di balik tema yang diangkatnya, cerpen ini sesungguhnya menyembunyikan tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Munculnya istilah-istilah direbab (disembelih; digorok seperti orang sedang menggesek biola atau rebab), didorhos (dijedor dan hos nyawanya melayang: ditembak) menunjukkan betapa nyawa manusia diperlakukan seperti alat permainan, tak punya harga.

Meskipun demikian, kita juga dapat melihat, betapa semangat berguyon dan berkelakar, kerap juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda. Di balik tragedi kemanusiaan itu, si tokoh aku dan teman-temannya, masih sempat mempermainkan mereka, penduduk yang ngukurung itu. Demikian juga, salah tangkap orang gila yang dikira gerombolan, meski banyak terjadi dalam situasi darurat perang masa itu, bisa menjadi bahan obrolan yang berakhir dengan gelak tawa. Begitu pula jawaban-jawaban kacau si Gila berikut tingkah lakunya ketika ditanya Mang Kentang, justru mendatangkan kelucuan, dan bukan ketegangan sebagaimana seorang tahanan diancam akan disiksa dan ditempak.

Cara bertutur yang diperlihat Ayatrohaedi dalam cerpennya itu boleh jadi merupakan representasi masyarakat Sunda dalam memandang dan menempatkan persoalan. Dalam beberapa hal, ia bisa menyikapi persoalan itu dengan sangat serius –seperti kabar tertangkapnya seorang gerombolan yang sangat mungkin malah mendatangkan bencana sebagaimana yang terjadi di beberapa desa di Jawa Barat. Pada waktu itu, jika ada perkampungan yang diserbu oleh pihak gerombolan atau oleh pihak tentara yang menganggap perkampungan itu sebagai sarang gerombolan, maka yang tersisa dari kampung itu ada puing-puing bekas pembakaran rumah. Dan cerita penduduk kemudian menyangkut nama-nama yang menjadi korban. Oleh karena itu, berita penangkapan seorang gerombolan, harus disikapi secara serius.

Meskipun demikian, dalam waktu yang sama, berita tentang penangkapan gerombolan itu juga bisa disikapi dengan kelakar, guyon. Jadi, di antara kisah-kisah pembumihangusan sebuah perkampungan, pembantaian penduduk tak berdosa, masyarakat masih menjadikan berita dan kisah-kisah itu sebagai bahan lelucon. Sebagai sebuah peristiwa yang tak perlu diperlakukan secara berlebihan, seolah-olah semuanya bisa mendatangkan kiamat. Atau setidak-tidaknya, peristiwa dan berita yang mengerikan itu bisa ditempatkan sebagai sebuah komedi.
***

Yang juga menarik dari cerpen ini adalah derasnya keinginan pengarang untuk memasukkan sejumlah kosakata bahasa Sunda. Sangat mungkin itu disebabkan oleh ketidakmampuan bahasa Indonesia mewakili ekspresi pengarangnya yang disadarinya sendiri tidak dapat melepaskan diri dari kultur masyarakatnya. Oleh karena itu, menjadi sangat beralasan ketika kita melihat begitu banyak kosakata bahasa Sunda bertebaran di sana. Kata-kata ngukurung, keletos, babet, beser dan sejumlah kosakata Sunda lainnya, memang khas yang tak ada pandanannya dalam bahasa Indonesia. Sebutlah misalnya kata kaprot, yaitu menampar dengan punggung tangan. Ia berbeda dengan tampiling (menampar), yaitu menampar dengan telapan tangan.

Dalam konteks warna lokal, tentu saja Ayatrohaedi sudah mendahului apa yang dilakukan banyak pengarang Indonesia dalam memanfaatkan kosakata daerah dan kultur etnik. Dalam banyak cerpen Ayatrohaedi, seperti “Yang Terjepit” (Tjerita, No. 4, Th. II, April 1958), “Djarak Makin Djauh” (Tjerita, No. 8, Th. II, Agustus 1958), “Seorang Wartawan” (Mimbar Indonesia, No. 32, Th. XII, 9 Agustus 1958), “Kereta tak Djadi Lewat” (Mimbar Indonesia, No. 17, Th. XIIm 26 April 1958), dan beberapa cerpen lainnya, tampak benar kesadaran memanfaatkan kosakata bahasa Sunda, bukan sekadar hendak memaksakan masuknya kosakata daerah, melainkan untuk kepentingan yang lebih mewakili ekspresi kreatifnya.
***

Jika dikatakan –seperti disebutkan di awal tulisan ini—sastra merupakan potret sosial yang juga mengungkapkan semangat zamannya, cerpen “Gerombolan” jelas dapat dijadikan contoh kasus. Kata-kata gerombolan (DI/TII), SOB (Staat van Oorlog en Beleg: keadaan darurat perang), BODM (Bintara Order Distrik Militer. Kini, Koramil ‘Komando Rayon Militer’), ngukurung (buruh tani yang bekerja jauh dari rumah tempat tinggalnya, sehingga terpaksa harus menginap atau tinggal di tempat kerja selama beberapa hari atau beberapa minggu bergantung pada tuntutan pekerjaannya) adalah kosa kata yang muncul pada tahun 1950-an itu. Oleh karena itu, estetika cerpen ini tidak hanya menyangkut tema sederhana yang justru di sebaliknya tersembunyi tragedi kemanusiaan akibat perang saudara, tetapi juga usaha pengarang untuk menampilkan sebuah potret kehidupan pada masa itu. Dalam hal itulah, cerpen ini menjadi penting sebagai salah satu gambaran sebuah masyarakat (Sunda) masa lalu (dasawarsa tahun 1950-an) ketika bangsa ini masih dilanda huru-hara.

Demikianlah, cerpen yang tampaknya sederhana itu, ternyata menyimpan banyak hal. Sebuah kajian sosiologis terhadap cerpen ini, tentu akan mengungkapkan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya cerpen ini. Bagaimana misalnya, keadaan masyarakat (Sunda) pada masa itu; bagaimana pula harapan-harapannya, kegelisahannya, atau juga kecemasan dan penderitaannya. Terbukti pula kini, bahwa sastra dapat ditempatkan sebagai potret sosial zamannya.

Nadia

Jodhi Yudono
http://oase.kompas.com/

Begitu turun dari mobil, ia langsung berkelebat. Menghilang ditelan kerumunan manusia yang memadati sebuah diskotek di kawasan Jakarta Pusat.

Nadia, sebutlah ia. Rok mini dan blazer warna hitam membalut tubuhnya yang sintal. Ia duduk di pojok. Seorang lelaki bule langsung merengkuhnya hangat. Seraya menghujaninya dengan kecupan penuh birahi.

Tequila segera dipesan. Aromanya yang menyengat membuat wajah Nadia memerah.

"Lagi, double," kata Nadia pada waitres.

Ketika diteguknya kembali minuman asal Mexico itu, wajah dan tenggorokan Nadia langsung terbakar. Mister bule itu pun makin punya alasan untuk mendekap Nadia kian dalam ke dadanya.

Malam di bulan November 1999, Jakarta sedang disiram hujan. Ketika guntur menghajar langit Jakarta berkali-kali, Nadia telah benam dalam tidur. Tentu saja bersama pacar bulenya yang asal Perancis.

Nadia adalah kupu-kupu. Dialah yang pada tiap situasi yang memancarkan aroma madu bernama rupiah atau dollar senatiasa datang menghampiri. Dan madu itu kini punya Michael. Sebelumnya, punya John. Sebelumnya lagi punya Richard, dulu punya George. Dulunya lagi punya...

Begitulah, lelaki pemilik madu datang pergi menghampiri hidup Nadia, Selvie, Sonya, dan nama-nama metropolitan lain yang entah dipungut dari mana. Sebab sebetulnya, sebagian di antara mereka hanyalah wanita-wanita daerah yang tersesat di ibu kota, yang sebagian di antaranya telah mengubur nama asli pemberian ibu
mereka.

Nadia sendiri berasal dari sebuah desa kecil di Indramayu. Sang ayah yang sekretaris desa X memberinya nama Nurhayati. Jika nama diyakini sebagai doa, maka sebetulnya Nurhayati diharapkan menjadi pelita hidup bagi keluarganya; sesuai dengan namanya: Nurhayati.

Tapi begitulah, harapan terhadap Nurhayati agar menjadi pelita hidup, ternyata tak kunjung maujud. Maklumlah, doa yang dipanjatkan Parmin, ya ayah si Nurhayati itu, tak diimbangi dengan laku mulia sang ayah. Sebagai sekretaris desa, Parmin bukanlah tauladan yang baik buat Nurhayati. Segala larangan agama, ditabraknya tanpa ampun. Termasuk, menggauli Nur, putri kandungnya yang saat itu belum genap berusia 15.

"Jika neraka benar ada, maka dialah yang jadi keraknya," ujar Nur..eh Nadia kepada Juha. Kala itu, secara kebetulan Juha bertemu Nadia yang tengah menggelepar di lantai diskotek akibat over dosis ekstasi atau ineks. Zat sintetik amfetamin berbentuk pil itu telah memacu detak nadinya secara hebat bersama dentuman house music. Nadia muntah-muntah dan kejang. Oleh rasa iba, dibawanya Nadia ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Barat.

* * *
Sejak saat itu, mereka berdua jadi berkawan. "Percayalah, hanya berkawan," kata Juha kepada Kokom yang kala itu masih jadi pacar Juha yang curiga atas pertemanan antara lelaki-perempuan yang mustahil jika tak berujung di ranjang.

Dan Juha, tak pusing benar dengan kecurigaan Kokom. Perkenalannya dengan Nadia bagi Juha sama pentingnya saat dirinya berkenalan dengan tokoh politik, artis, maupun ulama. Juha percaya betul dengan ujar-ujar yang mengatakan, bahwa setiap orang adalah guru. Atau dalam bahasa Pak N, guru ngaji Juha, "Jangan memandang fisik, tapi pandanglah siapa gerangan yang menggerakan fisik itu. Nisacaya engkau akan tahu, bahwa setiap perjumpaan senantiasa ada pelajaran yang bisa kau ambil hikmahnya."

"Demi apa engkau menolongnya? Atas nama apa wanita itu tergeletak di depanmu, sementara tak ada orang yang mau menolongnya," ujar Pak N usai Juha menceritakan pertemuannya dengan Nadia.

Karena Nadia, Juha jadi tahu sisik melik kehidupan malam. Menurut Nadia, sekurangnya ada empat jenis manusia yang mencari hiburan malam. Pertama adalah jenis orang yang sedang beruntung. Kedua, adalah mereka yang sedang menuju kebangkrutan. Ketiga, adalah jenis penjilat yang sedang merayu relasi bisnisnya. Keempat, adalah mereka yang cuma iseng.

Kata Nadia, ia paling senang dengan jenis kesatu dan kedua. Mereka, kata Nadia, biasanya amat royal. Adapun jenis ketiga, tergantung relasi yang sedang dirayu. Sedang jenis keempat, adalah jenis yang tak disukai Nadia. "Biasanya mereka penuh perhitungan," kata Nadia mengomentari pencari hiburan jenis keempat.

"Sok tahu, lu," sahut Juha.
"Emang bener, sih. Gue kan udah kenyang dengan kehidupan malam," ujar Nadia.

Ya, Nadia memang sudah kenyang dengan kehidupan malam Jakarta. Nadia juga tahu, bagaiamna trik para pengusaha diskotek dalam bersaing. Katanya, tak jarang untuk "membunuh" saingan bisnisnya, mereka memanfaatkan petugas untuk terus-terusan merazia diskotek "lawan" biar pengunjungnya gerah. Atau, pihak lawan menyebar ineks abal-abal yang bisa membuat pemakainya keranjingan kayak anjing gila.

Nadia juga tahu permainan para petugas nakal yang ikut-ikutan jadi bandar narkoba. "Makanya petugas yang "lurus" sering tak mendapatkan hasil optimal ketika merazia, sebab di antara anggota rombongan mereka ada juga yang melindungi para pelanggan dagangan narkobanya," simpul Nadia.

"Hus, ngawur kamu. Petugas kan sudah dijanji untuk memerangi kejahatan, termasuk memerangi narkoba," sergah Juha.
"Janji palsu kan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk petugas."
"Oknum petugas?"
"Iya kali..."

Itulah kali terakhir perbincangan Nadia dan Juha yang dilakukan di rumah kontrakan Nadia di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Juha masih ingat, betapa malam itu Nadia berlayar dengan "perahu-perahu kertas timah" yang di dalamnya berisi kristal shabu-shabu. Tapi Juha tak turut serta dalam pengembaraan itu. Juha kapok. Pernah sekali ia mencicipi kristal yang berisi zat metilamfetamin (turunan amfetamin), bukan kenikmatan yang diperoleh, tapi malah perut jadi kembung dan mata tak bisa pejam selama dua hari.

Sambil menghisap shabu melalui bong (alat penghisap), Nadia ngoceh ngalor ngidul tak karuan. Katanya, perdagangan ineks atau shabu, sama persis dengan perdagangan rupiah. Jika kehidupan malam sedang gonjang-ganjing akibat banyak razia, atau jika beberapa bandar berhasil dibekuk, boleh dipastikan harga barang-barang itu akan melonjak. "Sama persis dengan kondisi rupiah yang tertekan akibat gejolak politik maupun keamanan," ucap Nadia.
"Pemainnya sama barangkali," celetuk Juha.
"Mungkin. Ada yang kelas recehan, ada pula yang kelas miliaran."

Begitulah, semenjak pertemuan malam itu, tak pernah lagi keduanya bertemu. Nadia pernah bilang, takut mengganggu hubungan Juha dan Kokom. Mereka pilih berhubungan lewat telepon. Karenanya, Juha tak pernah ketinggalan kabar tentang dunia malam.

Terakhir Nadia mengabarkan, harga ineks kini sekitar Rp85 ribu sampai Rp125 ribu. Sementara shabu-shabu menurut Nadia, selain melonjak harganya sampai Rp400 ribu/gram, juga susah didapat. "Jaringan di tingkat pengecer putus sama sekali sejak ramainya gerebekan oleh petugas. Sekarang order minimal 5 gram," kata Nadia.
"Nur..."
"Ya, Bang"
"Kapan sih kamu sadarnya, kapan kamu akan berhenti makai itu narkoba"
"Ini gue udah berhenti, Bang."
"Syukurlah," Juha gembira.
"Sejak kapan kamu berhenti makai?," susul Juha.
"Baru saja."

Jakarta, Rabu, 8 Mei 2002

Semburat Senja Bisu

Rita Zahara
http://oase.kompas.com/

“Piye Tin? Kamu mau nrima kerjaan ini? Coba kamu pikir-pikir lagi, daripada kamu bertani, dari pagi sampai sore setiap hari kamu ke sawah, tapi toh enggak bisa nyukupin kebutuhan keluargamu. Apalagi kamu itu cuma buruh tani ,”Pak De Kusno berusaha meyakinkan Sutini agar menerima pekerjaan yang ia tawarkan.

Mata Sutini berkaca-kaca, wajahnya pusat pasi, hatinya miris. Ia sadar apa yang dikatakan Pak De Kusno benar. Sudah 5 tahun menjadi buruh tani , kerja keras banting tulang setiap hari di sawah tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Penghasilannya hanya cukup untuk Kebutuhan makan, itupun makanan yang sangat sederhana. Tiwul dan gaplek adalah makanan utama sehari-hari keluarga Tini atau nasi campur jagung. Sesekali memang bisa makan enak seperti ikan goreng, itupun ikan-ikan kecil hasil tangkapan Pak Lik Jono di sungai.

Air mata Tini jatuh tetes demi tetes mengenai pakaiannya. Dengan terpaksa ia menerima tawaran pekerjaan itu. Menjadi pembantu rumahtangga di kota. Dengan begitu ia harus meninggalkan bapaknya yang terserang tubercolusis, ibunya yang menderita depresi karena adiknya Suriyem yang menjadi pembantu rumahtangga pada majikan Cina tidak diketahui keberadaannya setelah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Beritanya tidak jelas, sementara tidak ada usaha untuk mencari Suriyem lebih lanjut karena tidak ada biaya untuk ke Jakarta. Sedangkan dua orang adiknya menderita kekurangan gizi.

Dengan kepedihan yang amat mendalam Sutini pamit pada orangtua, adik-adiknya, dan Pak Lik Jono adik ibu Tini yang juga bekerja sebagai buruh tani.

“Tini percaya, Pak Lik Jono bisa merawat bapak yang sedang sakit, ibu, juga adik-adik”.

“Bapak, Ibu, Tini nyuwun pamit, nyuwun pangestu, “Tini mencium tangan kedua orangtuanya dengan linangan airmata.

“Nduk, Sing ngati-ati, yo di tempat kerja, jangan malas-malas, kerjanya yang rajin,” Bapak Sutini menasehati dengan suara terputus-putus sambil terbatuk-batuk sedangkan dua orang adik dan ibunya hanya bisa menatap kosong mengantar kepergian Tini. Suasana mengharu biru, mengantar kepergian Tini untuk mengadu nasib di kota.

Sudah siap Tin, ayo kita berangkat nanti kemalaman sampai di kota, Pak De Kusno segera menyiapkan sepeda motor tuanya.

Senin pagi, jam baru menunjukkan pukul tujuh. Udara dingin, kabut tipis di balik pegunungan masih melintas. Tini meninggalkan keluarga dalam duka nestapa.

Menjadi pembantu rumahtangga, tidak pernah terbayangkan oleh Tini. Sejak kecil sampai kini berusia delapan belas tahun, ia tidak pernah pergi keluar desa. Ia tidak tahu Yogya seperti apa, apalagi pekerjaan sebagai pembantu rumahtangga. Bahasa Indonesia pun tidak lancar. Delapan belas tahun hidup bersahabat dengan pegunungan dan sawah, bekerja menjadi buruh tani mengikuti jejak keluarga.

***

Pak De Kusno mengantarkan Tini pada seorang ibu berbadan sintal, wajahnya tampak terawat dan dihiasi berbagai warna di wajah. Kuku di jari-jarinya panjang dicat merah tua. Bibirnya seperti disuntik silicon dan terbelah dua menebal di bagian bawahnya. Suaranya agak serak, menyambut kedatangan mereka .

“Monggo-monggo Mas Kusno!” ini Mbak Tininya ya, masuk!”

Ibu itu menyuruh masuk Tini sambil merangkul pundak tini. Pak De Kusno menghampiri ibu itu, lalu meninggalkan Tini di ruang tamu. Mereka tampak bercakap-cakap dengan nada berbisik beberapa saat. Mereka keluar lalu menghampiri Tini.

“Mbak Tini, kalau kerja disini harus sabar dan tekun, apalagi masih baru, harus banyak belajar. ” Ibu itu menasehati dengan tutur kata yang halus sambil menepuk-nepuk bahu Tini.

“Iya Tin, harus sabar, baru bisa memperoleh dan menikmati hasil”. Pak De Kusno menyambung ucapan Ibu itu. .

“Pak De pamit yo Tin, nanti seminggu atau dua minggu lagi Pak De jemput. Pak De Kusno berpamitan. Sepeda motor tuanya digiring keluar halaman, baru dihidupkan mesinnya. Suara mesin motor yang sudah tua itu lambat laun hilang, Pak De Kusno tak terlihat lagi. Tini menatap kosong kepergian Pak De Kusno, ia percaya penuh dengannya, orang yang dikenal ramah dan suka menolong menurut cerita orang Dusun Sruntul dan Dusun Srumbung tempat Tini menghabiskan hari-harinya selama ini. .

“Ayo, Tin masuk, bersih-bersih badan dulu biar kelihatan seger, setelah itu makan!” Ibu itu menyuruh Tini dengan ketus, mimik wajahnya jauh berbeda dari yang semula yang Tini tahu. Tini memasuki ruang mandi yang cukup bagus dibanding tempat mandi di rumahnya yang berlantai tanah dan bebatuan serta bilik bambu. Tini melihat beberapa orang wanita sebayanya yang juga bersiap-siap mandi. Ada juga beberapa wanita berusia empat puluh tahunan yang mengantri mandi.

Bagai melihat sesuatu yang aneh ketika melihat mereka, Tini terbelengoh, melihat kulit tubuh mereka yang mulus-mulus. Tini melihat kulit badannya yang kehitam-hitaman sambil membandingkan dalam hati dengan mereka yang saling berceloteh.

Meskipun tidak pernah mendapat perawatan kecantikan secara khusus, Tini memang termasuk manis dan enak dilihat, wajahnya bulat, matanya besar dengan bulu mata yang lentik, kulitnya coklat tua, ada beberapa panu melingkar di bagian punggungnya. Ia sering tersengat sinar matahari ketika bertani dan keringatnya yang bercucuran nyaris tak pernah dibasuh. Ia membiarkan keringatnya mengering dengan sendirinya.

Setelah mandi Tini dipersilakan makan oleh seorang ibu tua yang sepertinya selalu menyiapkan makan untuk para pekerja disitu.. Dengan ramah ibu itu menyambut Tini sambil memperkenalkan diri. Nasi dan tempe goreng ditambah sambal terhidang di depan Tini. Tini tidak bernafsu untuk makan, ia teringat keluarganya yang hampir setiap hari makan tiwul dan gaplek. Hati Tini semakin miris, bila teringat kedua orang adikknya yang semakin kurus karena kurang gizi. Ia tetap harus memakan hidangan yang sudah disiapkan sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah.

Malam kian larut, Tini tak bisa tidur. Ia melambungkan pikiran bersama keluarganya di desa. Gelap dan sunyi biasanya suasana malam yang menemani, kini ada banyak wanita bertubuh mulus dan berbadan sintal dengan gaya yang sangat tak diakrabinya menemani malam malam Tini di Yogya.

***

Tini bangun tersentak, ia kesiangan karena biasanya bangun jam 4 pagi. Ia bergegas masuk kamar mandi lalu terkaget-kaget melihat wanita-wanita di sekitarnya masih tidur pulas padahal sudah jam 7. Udara masih terasa dingin, tetapi ia terbiasa mandi sebelum berangkat ke sawah pukul setengah enam pagi. Ibu setengah baya yang juga tampak baru bangun itu menghampiri Tini lalu menyapa dengan nada tinggi, “sudah bangun Mbak? Jangan lupa nanti bersih bersihin juga ruangan ini!

“Disini kalau bangun ya jam 7 atau jam 8, kadang-kadang jam 12 siang karena kerja sampai malam. Nanti kamu juga terbiasa, harus siap kerja sampai malam. Tin, kamu harus siap setiap Malam Suro Jum’at Pon, melayani Pak Toni”. Ibu itu memberi tahu Tini dengan tutur kata yang halus.

“Setiap malam itu Pak Toni datang. Tini hanya mengangguk, ia tidak mengerti apa yang dimaksud melayani oleh ibu tadi.

Dua hari Tini dipercantik dengan berbagai ramuan tradisional dan polesan make-up. Mulai dari lulur beras kencur, kunyit untuk badan, cem-ceman urang-aring untuk rambut, tato alis sampai mandi kembang tengah malam dilakukan sebagai prasyarat menjadi bekerja di tempat itu. Hampir satu bulan Tini melakukan perawatan kecantikan. Kini Tini sudah sejajar dengan wanita-wanita sebayanya yang lain. Kulitnya sudah sedikit mulus walau ada beberapa panu yang masih terlihat dipunggungnya. Satu malam lagi malam Suro, Jumat Pon. Jantung Tini berdegub-degub dan semakin kencang, pikirannya melayang, ia akan melakukan apa malam Suro nanti. Tanyanya dalam hati.

Malam Suro datang, ibu itu memperkenalkan Tini dengan Pak Toni. Tini hanya mengangguk karena tidak terlalu mengerti apa yang mereka ucapkan. Pak Toni, laki-laki berperut buncit, berambut kucai, bermata sipit, kulitnya putih bersih seperti perawakan Cina, tutur katanya santun dan lembut seperti orang yang sudah sangat mengenal Tini. Pak Toni mengajak Tini memasuki areal perbukitan, daerahnya memang jauh dari tempat Tini dijemput. Satu-persatu anak tangga dilalui, dan tibalah mereka di sebuah tempat dimana ritual seks itu dilakukan. Tini diam seribu bahasa, ia nampak bingung, tak ada yang bisa dilakukan. Dalam ketakberdayaan suhu badannya naik, napasnya tersengal-sengal lalu menangis. Ia hendak berlari tetapi terasa terkungkung oleh kekuatan yang tak bisa terelakkan. Pak Toni bertutur begitu sopan, ia meminta Tini untuk melakukannya sepenuh hati.

“Dek Tini, mau kan menolong saya? Tanya lelaki itu sambil mengusap lembut rambut Tini yang menjulur panjang. Menolong, menolong apa?” Tanya Tini dalam hati karena ia tak lagi bisa bicara. Pak Toni sadar sekali jika pasangan ritual seksnya adalah orang baru dan masih terlalu suci untuk melakukan itu. Pak Toni pun baru pertama melakukannya setelah berpikir 1000 kali dan mendapat persetujuan dari teman-temannya yang pernah melakukan hal serupa. Dilihatnya Anton teman bisnisnya yang semakin sukses setelah melakukan ritual tersebut. Dia juga melihat Toni, yang langsung mengembangkan sayap usahanya di Pulau Batam dengan omset miliaran rupiah setelah melakukan hal serupa.. Pak Toni sumringah, baru sekali melakukan ritual seks dengan Tini, sudah mendatangkan hasil. Dua hari sesudahnya, tendernya sukses bahkan beberapa mega proyek siap menanti untuknya..

Jumat Pon kedua, Pak Toni kembali menemui Tini. Kulit Tini semakin mulus tetapi badannya bertambah kurus. Ia masih belum bisa melupakan apa yang dilakukan Pak Toni. Delapan lembar uang seratus ribuan yang diberikan Pak Toni pada malam Suro pertama tahun lalu belum ia sentuh apalagi digunakan. Malam kedua Pak Toni memberi dua puluh lembar uang seratus ribuan sebagai ucapan terimakasihnya pada Tini. Tini tidak bergeming, ia sudah mati rasa. Namun, uang itu tetap diterima.

Menunggu malam Jumat pon berikutnya sungguh menyiksa hari-hari Tini. Ia tidak hanya menjadi pasangan ritual seks dengan Pak Toni, tetapi juga dijadikan tukang pijat Plus oleh Bu Karti, ibu setengah baya yang selama ini ia kenal sering mengatur pekerjaan itu.

Lembar demi lembar uang seratus ribuan dari Pak Toni ia kumpulkan. Uang dari Pak Toni ternyata jumlahnya jauh lebih besar dibanding penghasilannya sebagai tukang pijat plus. Tini Pulang ke Dusun Srumbung dijemput sepupuhnya Pak De Kusno dan Mas Pulung. Ia bisa sedikit menghirup udara bebas, meski ada rasa kesal karena merasa ditipu Pak De Kusno. Setibanya di rumah ia tak sabar melihat keluarganya. Bapaknya masih minum obat tradisional untuk mengurangi batuk-batuk. Ibunya sudah gila setelah mengetahui dengan pasti Suriyem tewas terbakar bersama majikannya saat kerusuhan Mei 1998, sedangkan adiknya sudah ada yang kelihatan membaik kondisi badannya. Kelihatan agak gemuk karena selalu dicarikan ikan atau belut untuk digoreng oleh Pak Lik Jono.

Sutini pulang membawa beberapa pakaian untuk semuanya. Dua orang adiknya dibelikan masing-masing tiga pasang pakaian. Pak Lik Jono dibelikan baju Surjan dan kaos oblong putih. Ibunya dibelikan kain dan kebaya, bapaknya dibelikan kain sarung dan kopiah. Ia juga membelikan makanan yang enak-enak. Ada Bakpia Pathuk, daging bebek panggang dan beberapa makanan yang jarang sekali dimakan keluarganya. Tini membawa bapaknya ke Puskesmas dan membawa ibunya ke Mbah dukun yang biasa mengobati orang terserang gangguan jiwa. Pak Lik Jono pun diberi uang empat ratus ribu rupiah sebagai ucapan telah merawat keluarganya.

Sehari di rumah, Tini menjadi bahan perbincangan tetangga. Berita kesuksesannya menyebar ke seluruh Dusun Srumbung dan sekitarnya. Dengan segala keluguannya, ia tetap merasa Tini yang dulu yang selalu rindu untuk mencangkul tanah dan menanam padi. Di lihatnya pematang sawah, ia lama termenung di gubuk sawah itu. Ya, itu sawah Pak Broto yang sudah ia garap selama 5 tahun menjadi saksi bisu perjuangan Tini menghidupi keluarganya walau selalu dalam keadaan serba kekurangan.

Kini ia menjadi mati dalam hidup, tak ada kebahagiaan terlintas dalam hatinya. Ia ditampar gelombang yang tak pernah ia sangka dan kebahagiaan yang selalu ia dengar dari teman-teman di tempat kerjanya itu. Dilihat adiknya yang sumringah mengenakan pakaian baru yang ia beli, ia lihat bapaknya yang semakin pulih. Ada sedikit bahagia sejenak hinggap di relung hati Tini ketika melihat perubahan keluarganya .

Sudah tujuh hari Tini di rumah. Ia mengurus bapak, mengantarkan ibunya ke Mbah Roso dan menemani dua orang adiknya bermain di sawah. Saat yang begitu menyenangkan dimana selama ini ia begitu mengakrabi alam sekitar dusunnya.

Penduduk Dusun Srumbung sudah semakin ramai membicarakan Tini yang sukses dan Tini adalah anak gadis pertama dari dusun itu yang pernah keluar kampung dengan kesuksesan yang dianggap luar biasa.

***

Malam satu Suro sudah semakin dekat, jantung Tini semakin berdegub-degub, badannya mulai panas dan bayang-bayang Pak Toni menghantui. Ia ingin berteriak tetapi tak kuasa dengan suasana duka yang baru melanda. Bapaknya menghembuskan napas terakhir setelah minta dinaikkan haji. Tini semakin galau, Mas Pulung akan menjemput Tini ke kota dan ia akan menjadi kerbau yang siap dicocok hidungnya dan terpasung dalam buaian masa depan yang begitu menjanjikan sekaligus menawarkan ketidakpastian. Dua hari sebelum malam itu, Tini pergi meninggalkan rumah. Tidak ada yang mengetahui kepergiannya. Sutini tidak meninggalkan pesan apapun.

Musim seakan tiba-tiba menjadi berubah, kadang langit tampak cerah dan tiba-tiba menjadi kelam padahal bukan musim hujan. Setiap sore semburat merah mentari diiringi udara yang kian mendingin mengantarkan kepergian Tini yang sudah seminggu menghilang tanpa jejak. Setiap senja selalu ada sekelompok burung yang datang lalu berputar-putar mengelilingi rumah Tini. Seolah ada tanda yang ingin disampaikan dan semua orang menerka banyak hal. Kini, merahnya mentari sore tidak menjadi senja yang indah karena seluruh warga Dusun Srumbung menjadi gempar. Tini ditemukan menggantung diri di atas pohon nangka dekat sungai. Nyaris tak terlihat karena ditutupi rerumputan yang panjang membumbung ke atas. Malam menjadi selalu mencekam dusun itu, tak ada lagi cerita Tini yang sempat menjadi buah bibir cerita kesuksesan.

Peluru Ketiga

Rifka Sibarani
http://oase.kompas.com/

“Kamu kira segampang itu memutuskannya?”
Kupakai celana dalamku. Reo meraih pinggangku dan memelukku dari belakang.
“Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Aku gak bisa melupakanmu begitu saja. Kalau aku bisa melupakanmu, pasti udah dari dulu aku ninggalin kamu. Tinggalkan saja dia. Kita menikah dan hidup bahagia,” bisiknya.

Kali ini aku tidak boleh terbujuk lagi. Kulepaskan pelukannya. Kupakai celanaku . Aku harus segera pergi.

“Reo, apapun yang terjadi aku adalah calon istri Bion. Kau lihat cincin ini? Kau kira aku bisa memutuskan ikatan kami?” Sahutku ketus. “Sebulan lagi kami akan menikah. Hanya maut yang bisa memisahkan kami.”
“Terus kamu ngapain disini? Sebulan lagi kamu menikah dan tadi malam kamu baru saja tidur dengan lelaki yang … entah apamu!” Aku terdiam. Reo benar.

Mendung menyelimuti langit pagi itu. Angin dingin berdesir menyusup masuk ke kamar kami. Hanya desir angin yang terdengar menyanyikan lagu sedih tentang kesepian.
Dering handphone-ku memecah keheningan. Sms dari Bion.

“Aku harus pulang. Aku mau ngurusin gaun pengantinku.” Kupakai kemejaku dan kupoles wajahku dengan sedikit make-up.
“Pulanglah ke Bandung, kamu buang aja waktu disini.”
Kukeluarkan undanganku dan kuletakkan di meja hotel, “Jika sempat datanglah. Pastikan wajahmu jangan muram, semua orang tersenyum di pesta pernikahan.”
Kulihat jelas kekecewaan di wajah Reo. Aku ingin sekali memeluknya dan berkata bahwa aku hanya berbohong dan ingin menikah dengannya. Bukan Bion.

Ya Tuhan! Apa yang ada di kepalaku? Aku harus mengakhiri semua ini!

“Aku pulang dulu. Jangan hubungi aku lagi. Aku pasti sibuk dengan pernikahanku.” Kubereskan tasku dan keluar. Meninggalkan Reo dalam segala kekecewaan dan pertanyaan.

Reo berjalan menuju meja. Diraihnya sepucuk undangan bersampul putih. Foto Bion dan Arini berpelukan begitu mesra menghiasi sampulnya. Tangan Reo bergetar membuka undangan itu.
Gereja St. Nicholas.
Pukul 16.00
“Baiklah … jika hanya kematian yang bisa memisahkan kalian.”
***

Baru kali ini aku menginjak kota Medan. Sudah dua minggu aku berada di Medan dan aku masih membenci kota ini dan semua hal tentang Medan. Bahasa mereka aneh dan kenapa semua orang harus berteriak disini? Sepertinya orang-orang disini tidak mengenal etika berkendara. Pengendara sepeda motor sesuka hatinya memotong mobil dengan kecepatan tinggi! Bahkan tak ada perbedaan antara lampu merah dan lampu hijau. Orang-orang menerobos lampu merah seenaknya. Bagaimana aku dapat hidup di kota seperti ini?

Aku dan Bion sudah pacaran sejak kami sama-sama kuliah di Bandung. Setelah kami berdua bekerja, Bion melamarku. Entah apa yang membuatku menerima lamarannya.

Sebagai orang batak, Bion harus menikah secara adat di rumahnya. Aku sendiri tidak pernah membayangkan akan menikah di kota Medan. Kota yang sangat asing bagiku.

Aku tinggal di rumah calon mertuaku. Sebenarnya keluarga Bion kurang setuju karena seharusnya kedua pengantin dipingit untuk menghindari bencana sebelum pernikahan, namun Bion bersikeras karena aku tidak punya sanak saudara di Medan. Aku sendiri kurang percaya dengan mitos seperti itu. Nasib kita sudah digariskan oleh Tuhan.

Kedua orangtua Bion sangat ramah dan sudah menganggapku seperti anak mereka sendiri. Setidaknya penderitaan akibat culture shock ini bisa terobati setibanya pulang ke rumah Bion. Bion adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuannya sudah menikah dan sekarang menjadi guru di Kupang, mengikuti suaminya. Aku sendiri seorang yatim piatu. Menurut arsip panti asuhanku, ibuku meninggal maka ayahku menitipkanku di panti asuhan karena tak mampu merawatku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa mereka namun aku sangat merindukan mereka.

Pagi ini aku harus mencoba gaun pengantin, dan aku juga ingin melihat-lihat kota Medan lebih dekat maka kuputuskan naik becak mesin. Aku mengabaikan ajakan para supir angkot dan fasilitas jemputan mobil pribadi dari calon mertuaku karena penasaran dengan becak mesin ini.

Aku bersyukur perjalanan menuju rumah mertuaku di daerah Simpang Limun cukup jauh dari Sun Plaza, tempat kami memesan gaun pengantin. Aku jadi punya waktu untuk berfikir. Hal pertama yang terlintas malah Reo. Ya, aku sangat merindukannya.

Baiklah, Reo dan Bion secara finansial mungkin tidak terlalu berbeda. Secara fisik? Reo tidak masuk daftar tungguku. Tubuhnya gempal dan wajahnya tidak se-macho Bion.

Setidaknya kami menyukai hal yang sama. Film, musik dan filosofi hidup.
Apalagi yang kita butuhkan untuk saling jatuh cinta?
Pertemuan kami berawal dari kepenatan, dentuman musik, beberapa gelas tequila lalu berakhir di ranjang. Ternyata tidak hanya berakhir disitu, dengan gigih dan tak tahu malunya Reo tetap mengejarku, walaupun dia tahu aku sudah memiliki Bion.

Dosa itu indah, bukan? Reo adalah dosa terindahku.
Kini, perasaan ragu semakin menyelimutiku. Aku belum ingin menikah. Aku bahkan tidak punya bayangan tentang kehidupan rumah tanggaku kelak.

Aku ingin menghabiskan waktuku dengan Reo. Aku ingin dibacakan buku-buku tentang film dan filsafat, menghabiskan waktu berjam-jam beradu argumen tentang film atau sekedar menonton film jelek dan mengejeknya. Hal kecil yang tak kudapatkan dari Bion karena kesibukannya.

Aku tidak ingin menikah.
Aku tidak ingin Bion menyentuh tubuhku dan menelanjangi harga diriku.
Aku meraih handphone-ku. Aku harus meminta Reo menemuiku.
Handphone-ku bergetar, ternyata Bion.

“ Halo, Bion?” Aku menjawab dengan malas.
“Arini, kamu datang ya sekarang ke Tiara Convention Centre. Sekalian kamu liat rancangan dekorasinya.” Klik. Tiba-tiba terputus karena handphone-ku low-batt.

Suara bising kendaraan mengalahkan suara Bion. Aku tidak mendengarnya dengan jelas. Dengan modal nekat, aku menyuruh abang becak mesin membawaku ke gedung yang kuyakini sepertinya disebutkan Bion, berharap Bion akan menungguku di pintu masuk.
Tepat! Malah dia sedang menungguku di depan gerbang masuk gedung. Dia kaget ternyata calon pengantin wanita malah naik becak mesin. Wajahku kusam akibat polusi jalan dan rambutku kusut oleh terpaan angin. Wajahku benar-benar jelek saat itu namun Bion tetap menggandengku sepanjang jalan.

Aku kagum melihat gedung pilihan Bion. Bahkan aku tidak pernah bermimpi akan menikah di gedung sebagus ini. Setelah melihat-lihat sebentar aku permisi mencuci wajahku yang dekil.

Sekembalinya dari toilet, Bion memperkenalkanku pada Lily. Temannya yang akan membantu menghias ruangan pesta kami. Bion meninggalkan kami berdua karena dia masih harus mengurus masalah undangan.

Lily bertubuh mungil dan berwajah oriental. Jika tersenyum maka matanya seperti hilang dan membentuk garis lurus. Keramahannya membuatku nyaman menyampaikan ide tentang dekorasi ruangannya.

Hampir dua jam kami membicarakan dekorasi gedung. Bion tidak salah pilih orang. Lily benar-benar kreatif ! Dia bisa mewujudkan ruangan impianku dan Bion.

Setelah merasa semua beres, kami meluncur ke kafe langganan Bion. Dia meminta Lily mengantarku ke sana karena dia sudah capek dan tak sanggup jika masih harus menjemputku.

Hujan yang turun sore itu membuat jalanan Medan sepi. Mobil kami jadi leluasa menyusuri jalan. Di sisi jalan dan teras pertokoan tampak kumpulan orang yang berteduh. Aku membuka kaca mobil sedikit agar aku bisa mencium aroma hujan. Mengingatkanku pada Bandung dan masa kecilku.

“Kau memang sudah siap nikah, kan?” Lily membuka percakapan dengan tema yang buruk.
“Apa maksudmu?” Saat ini pertanyaan itu sangat sensitif untukku dan dapat membangkitkan darah militerku.
“Enggak…aku cuma liat dari matamu. Kau masih mikirin pria lain, kan? Sebaiknya kau selesaikan masalah kalian. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Jangan jadikan Bion korban keegoisanmu.”
Mobil berhenti di lampu merah.
“Lily, aku rasa ini bukan urusanmu. Lagian kita baru kenal dan apa kamu juga udah nikah? Apa yang kamu tahu tentang pernikahan?” Suaraku mulai naik satu desibel.
Lily tidak menggubris kemarahanku. Dia hanya tersenyum lalu berkata, “ Kau tahu? Bion itu tulus cinta ama kau. Dia gak pernah minta apapun. Aku tahu dia selalu gagal bagi waktunya untukmu, bukan berarti dia gak sayang sama kau. Dia selalu cerita samaku tentangmu. Bosan aku dengarnya.”

Baiklah, kini aku punya alasan lebih kuat untuk meninggalkan Bion. Ternyata mulutnya tidak bisa dijaga. “Dia juga tahu kau berselingkuh dengan seorang pria bernama Reo.”
Ya, Tuhan! Bagaimana mungkin?

Bion mengetahui semuanya dan dia tidak pernah sekalipun menyinggungnya. Seketika itu juga wajahku memucat. Lidahku kelu. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Lily tidak mungkin berbohong jika dia sudah mengetahui nama Reo.

“Sudahlah, Bion memutuskan menikahimu secepat ini karena dia tidak mau kehilangan kau. Dia menerimamu apa adanya. Zaman sekarang agak sulit menemukan pria dengan jiwa besar seperti Bion.”

Aku menangis. Setulus itukah Bion mencintaiku? Betapa berdosanya aku.
Lily tersenyum dan meraih tanganku, ”Tak ada salahnya mencoba bukan? Cobalah mencintainya.”
***

“Maafkan aku yang mungkin telah menyakiti hatimu. Aku harap kau bisa menghadiri pernikahan kami.”
Pesan terkirim.

Sejak perpisahan di hotel, Reo tak bisa dihubungi atau lebih tepatnya tidak menjawab telponku. Aku sebenarnya tak ingin meninggalkan kesan buruk. Setidaknya Reo harus merelakanku.

Selama ini aku gelap mata, berfikir bahwa dengan berselingkuh aku akan mendapatkan cinta yang aku inginkan namun yang terjadi malah sebaliknya. Cinta itu telah menemukanku dan selalu ada disampingku dan menerimaku apa adanya
Jiwaku bersorak dalam sukacita. Bagaikan jatuh cinta pertama kali namun kali ini aku telah mengerti apa maksud dari cinta itu.

Jam dinding berdentang tepat tiga belas kali. Tandanya aku harus bersiap-siap. Jam tiga sore nanti kami akan latihan tata acara pemberkatan di gereja. Aku sudah tak sabar menunggu hari pernikahan kami. Aku memakai gaun pemberian Bion. Sebuah gaun pendek berwarna biru tua dengan belahan punggung rendah yang membuatku merasa seksi. Dia memang tahu bagaimana membuatku cantik. Kusapukan make-up tipis agar wajahku tampak semakin cerah. Dari cermin aku melihat Bion mengintip di balik daun pintu.

“Masuklah…sedang apa kau mengintip calon istrimu sendiri?” Bion tertawa lalu masuk dan memelukku dari belakang. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menciumi leherku.
“Kau gadis tercantik di hatiku.” Aku tertawa mendengarnya mengingat Bion pasti selalu dikelilingi wanita-wanita yang lebih cantik dari aku, tapi hanya aku yang ada di hatinya.
“Kau lihat di cermin? Begitulah takdir kita. Kita memang diciptakan untuk bersatu. Kau udah hapal janji pernikahan kita?” Bisiknya di telingaku. Mulutku mulai membaca janji pernikahan kami. Tangan Bion mulai jahil menjelajah perut dan turun ke pahaku. Kubalikkan badanku dan mulai menciumi bibirnya. Kali ini dengan cinta dan kesetiaan.
***

Dentang bel gereja menggema di udara. Lagu She’s the One berkumandang. Aku tak menyangka Bion benar-benar menjadikan lagu ini sebagai lagu pengiringku. Padahal pihak gereja melarangnya.

Paman Bion mendampingiku berjalan menuju altar. Semua mata tertuju padaku. Inikah impian setiap gadis itu? Berjalan di altar dengan gaun pengantin dan sang pangeran telah menunggu. Wajahhku memerah. Aku merasa malu, gugup sekaligus bahagia.

Seketika aku merindukan orang tuaku. Seharusnya mereka disini, memberi restu dan melihatku menemukan pendamping hidupku. Di altar, Bion menungguku dengan wajah bahagia. Dia meraih tanganku. Acara ibadah pun dimulai. Pendeta memimpin doa pemberkatan nikah. Aku menangis.

Sebentar lagi saatnya pemberkatan nikah, seperti biasa pendeta akan bertanya adakah yang tidak setuju dengan pernikahan ini.
Reo.

Aku teringat pada Reo, akankah dia datang dan menggugat pernikahan ini?
“Tuhan jangan biarkan dia datang.” Doaku dalam hati. Bion meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Seakan dia tidak ingin kehilanganku.
“Aku tidak setuju.”
Tidak! Aku mengenal suara itu. Itu Reo. Aku bahkan tak sanggup membalikkan badanku dan melihatnya.
“Usir orang itu!” Teriak Bion. Suasana menjadi gaduh karena Reo melawan.
Terdengar suara tembakan. Semua orang panik. Badanku bergetar ketakutan. Bion segera memelukku. Kami merunduk. Terdengar tembakan kedua. Tembakannya mengenai Bion. Aku berteriak histeris. Tanganku berlumuran darah Bion.

Reo mendekati kami. Aku bisa melihat wajah Reo yang dipenuhi kebencian dan amarah. Aku juga bisa melihat air matanya.
“Aku mohon maafkan aku…”Mohonku. Reo hanya diam.
Terdengar kembali tembakan ketiga. Tubuhku merasakan sakit dan panas yang dahsyat. Peluru itu mengenai dadaku.
“Ya Tuhan…” Hanya itu yang kata-kata yang meluncur dari bibirku. Lalu semuanya gelap dan aku mendengar tembakan keempat.

Keluarga Pengkhayal

Lily Yulianti Farid
http://oase.kompas.com/

BEBERAPA hari terakhir ini bapak terlihat berseragam sopir taksi.
“Bapak narik taksi, ya? Wah….”

Bapak tersenyum. Senang sekali tampaknya. Ia mengajakku ke ujung lorong, melihat taksi biru muda terparkir di tepi jalan.

Akhirnya, bapak bekerja lagi setelah enam bulan terakhir ia hanya duduk termenung di rumah.

Bapak menutup warung nasi yang telah dirintisnya enam tahun terakhir. Gara-garanya, enam bulan lalu, adik bungsuku meninggal di sebuah RS Paru-paru.

Tapi yang mati bukan hanya adikku. Yang dikubur keesokan harinya bukan hanya jasadnya yang malang itu. Yang menempati kuburan paling dalam adalah hidup kami sekeluarga.

Adik IW bekerja di sebuah kios ayam potong di pasar. Ia bekerja Senin sampai Jumat. Dari pagi hingga petang. Ia kadang diminta pemilik kios mendatangi peternakan di luar kota untuk mengambil ayam-ayam baru. Sesekali di akhir pekan, adik IW membantu bapak di warung. Di rumah kami tidak ada ayam atau unggas lainnya. Rumah kami sempit, tak ada halaman untuk memiliki hewan peliharaan.

Suatu hari adik IW demam dan sesak napas. Ia dibawa ke rumah sakit. Dua hari kemudian napasnya tidak lagi tersengal, tapi berhenti sama sekali. Ia mati dan masuk televisi. Di hari-hari berikutnya kulihat orang-orang meludah dan menutup hidung bila melintas di depan warung kami.

Bapak murung. Bapak menangis. Tapi kami, anak-anaknya, tidak bisa banyak membantu. Ibu, perempuan tuna rungu yang sabar dan diam, hanya bisa ikut menangis sambil mengeluarkan suara mirip lolongan. Kata adikku, lolongan ibu pertanda kesedihan yang lebih dalam dari sekadar tangis. Sedih yang paling sedih.

Warung nasi harus ditutup. Untuk apa dibuka bila yang datang hanya petugas berbaju putih dan orang-orang yang memanggul kamera, mengendus dan menyorot setiap sudut warung? Mereka bukannya memesan nasi rawon atau nasi campur.

Kepadaku, anak sulung dalam keluarga yang sehari-hari membantu berjualan, bapak pernah mengajarkan, setidaknya kami harus menjual 20 piring nasi rawon, nasi ayam, atau nasi campur, baru bisa balik modal. Di piring ke- 21 dan seterusnya barulah kami harap-harap cemas menghitung untung.

Ketika bapak menutup warung nasi itu, bukan hanya tenda kusam bertulis “Warung Nasi Dunia. Sedia Nasi Ayam, Nasi Campur, Nasi Rawon” yang terjuntai lesu, diturunkan dari dua tiang penyangga di depan warung. Kami semua ikut terkulai. Jatuh.

Untunglah sekarang bapak punya semangat baru. Beberapa hari terakhir ini, bapak yang berseragam pengemudi taksi --kemeja biru muda berlogo dua segitiga merah di sakunya dan celana biru tua -- memberikan harapan baru di rumah kami. Kesegaran semangat yang ditunjukkan di balik seragam itu, persis kesegaran sabun mandi murahan beraroma jeruk yang meruap dari tubuhnya di pagi hari.

Ibu pun tidak lagi menangis dengan suara lolongan aneh. Ibu berkali-kali menganggukkan kepala dan menaikkan jempol tinggi-tinggi: bahasa diam yang melukiskan kegembiraannya. Ibu memuji penampilan bapak.

Kami semua bersikeras melupakan episode kematian adik IW. Aku tahu bapak masih bersedih bila lewat di depan warung. Tapi kesedihan itu tidak lagi mematahkan bapak. Lagi pula untuk apa berpikir membuka kembali warung nasi bila orang terlanjur percaya bahwa nasi ayam yang dijual bapak mengandung virus fllu burung yang mematikan?

Kehidupan kami mulai kembali berjalan seperti biasa. Kedua adikku yang lain, yang terpaksa menunda rencana sekolah, tidak keberatan menunggu tahun ajaran depan.

Rumah kami bersinar lagi. Kami gembira. Meski ada aku, yang menganggur setelah warung nasi tutup.

***

KAMI sering duduk di jendela. Bagian depan rumah kami memiliki empat jendela. Untuk menghalau cuaca panas, maka kami bertiga, kakak beradik, selalu membuka jendela dan duduk di atas bingkainya sambil menatap langit. Koran bekas yang dilipat dua kami jadikan kipas.

***

KAKAK perempuanku dipinang seorang lakilaki kaya. Entah bagaimana caranya, kakakku yang dulunya hanya tenggelam di dapur warung nasi, akhirnya bertemu seorang pemuda yang tidak perlu terlalu tampan, tapi kaya raya dan baik hati. Entah bagaimana caranya si pemuda itu mampir di warung nasi kami dan memesan seporsi nasi ayam. Tentu kejadian ini harus muncul sebelum kematian adik IW. Lalu entah bagaimana caranya, kakak perempuanku yang wajahnya selalu berminyak karena sepanjang hari menggoreng ayam dan menanak nasi di dapur warung, bertemu pandang dengan lakilaki itu.

Dan simsalabim, mereka saling jatuh cinta, lalu menikah, dan memiliki anak-anak yang lucu.

Kakak perempuanku sangat baik. Di akhir pekan ia bersama suaminya yang tidak terlalu tampan tapi kaya itu, sering menjemput kami untuk diajak berbelanja ke mal. Ibu dan bapak tentu saja diajak pula, meski keduanya mengaku selalu kurang nyaman berada di tempat yang sangat luas, berhawa sejuk, wangi, penuh etalase kaca dan disesaki orang kaya.

Suami kakakku luar biasa baik hatinya. Ia bersedia menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyekolahkan aku ke sekolah kejuruan tata boga, dan kakakku yang satunya lagi dibiayai melanjutkan kuliah ke akademi bahasa asing.

Nasib baik memang datang lewat suami kakakku itu. Ia membiayai renovasi rumah kami, menyiapkan tabungan haji untuk bapak dan ibu, dan bahkan berjanji memberiku modal membuka toko kue bila telah menyelesaikan sekolah.

Kalaupun setelah semua keajaiban ini terjadi, lantas keluarga kami ditimpa musibah, aku pikir kehidupan kami tidak terguncang hebat. Katakanlah, meski meninggalnya adik IW yang diberitakan surat kabar dan televisi sebagai korban flu burung akhirnya membuat bapak terpaksa menutup warung nasinya, toh kami telah memiliki seorang ipar, suami kakak sulungku, yang kaya raya dan baik hati, bukan?

Kami sekeluarga tenang dan aman. Bahagia.

***
CUACA tidak lagi panas. Kami meninggalkan jendela. Saat beranjak meninggalkan jendela di ruang depan, kami melihat ibu duduk menyulam kain serbet makan. Ibu membubuhkan inisial “WD” di ujung setiap serbet makan bercorak batik itu.

“WD”, Warung Dunia. Ibulah yang bertugas membubuhi inisial itu di setiap perlengkapan makan. Mulai dari sendok, garpu piring dan kain serbet. Tapi sekarang untuk apa ibu melakukannya?

Ibu menatap kami, lalu tersenyum dan mengacungkan serbet yang baru selesai disulamnya. Dalam kebisuan, ia menggerakkan kedua telapak tangannya membentuk atap rumah, lalu saling menjauh, menciptakan gerakan terbuka.

Adikku menerjemahkannya. “Kata ibu, nanti kalau Warung Dunia dibuka lagi, ia sudah punya persiapan kain serbet yang baru.”

Ah, ibu menyulam khayalannya.

Adikku mengajakku ke sudut ruang makan. Katanya, “Siang tadi aku mengkhayalkan Kakak menikah dengan seorang lakilaki yang tidak perlu tampan tapi kaya raya dan baik hati....”

“O,ya? Aku justru mengkhayalkan bapak bekerja sebagai sopir taksi,” kataku.

Adikku yang satunya lagi berkata, “Oooh..aku sih belum sempat mengkhayalkan apa-apa hari ini. Pikiranku kosong saja mengamati awan yang tak jelas menjelma seperti apa....”

Hawa panas berangsur reda. Sore datang dengan ramah. Anak-anak dari lorong-lorong kumuh berhamburan ke jalanan, bermain di bawah cuaca yang tak lagi terik.

Di sudut rumah, bapak bersinglet lusuh. Berpeluh. Ia sibuk menyusun barang dagangan. Besok, kami membantunya mengasong, menjajakan alat tulis, air kemasan, tisu dan permen, di depan stadion olahraga. Ada seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di sana.(*)

Tokyo, 14 Februari 2006 – Februari 2008

A M A N D A

Dodiek Adyttya Dwiwanto
http://oase.kompas.com/

Amanda Amalia. Begitu nama lengkapnya. Nama yang cantik, setara dengan kejelitaan parasnya.

Aku bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu, di sebuah casting sebuah iklan. Pertemuan yang tidak sengaja. Saat itu, aku baru saja kembali dari Washington DC, setelah beberapa tahun ditempatkan di kota, sebagai first secretary bidang ekonomi Kedutaan Besar RI untuk Amerika Serikat. Baru dua tiga hari aku menghirup udara Jakarta yang penuh polusi ini, tiba-tiba kawan akrabku, Bobby, seorang creative director biro iklan ternama di Jakarta, menelpon. “Daripada kamu bengong saja, lebih baik kamu ikut aku. Ada casting untuk iklan sabun mandi. Eh, banyak cewek-cewek cantiknya lho.”

Aku manut saja dengan ajakannya. Kebetulan juga aku sudah lama tidak berputar-putar di kota yang supersemrawut ini. Siapa tahu juga ada perempuan cantik yang bisa aku jadikan pacar. Sudah lama juga tak merasakan sentuhan perempuan lokal.

Selama berada di Washington, aku selalu berpacaran dengan diplomat-diplomat asing, atau juga perempuan-perempuan dari berbagai bangsa. Entah itu perempuan asal Meksiko, Italia hingga keturunan Timur Tengah, sudah pernah jatuh ke dalam pelukanku. Pernah juga sih pacaran dengan perempuan Indonesia, kebetulan ia sedang berkuliah mengambil gelar doktor ilmu politik. Sayangnya aku tak tahan dengan kelakuan sadisnya saat bercinta. Ternyata, perempuan cantik bergelar doktor itu seorang sado maschokis!

Ah, ternyata benar juga omongan Bobby tempo hari, kalau banyak sekali perempuan-perempuan cantik dan seksi yang berkeliaran di sini. Bobby pun memperkenalkanku dengan seorang pendatang baru bernama Amanda Amalia, yang menurutnya tidak hanya cantik tetapi juga pintar. Aku ikuti saja rekomendasinya, mengingat reputasi pergaulan Bobby yang memang terkenal sebagai salah satu selebritis. Lagi pula, Amanda belum pernah jatuh dalam pelukan Bobby! Itu hal yang terpenting!

Sejak pertemuan dengan Amanda di tempat casting itu, aku dan Amanda sering berkencan di mana saja. Dan setelah beberapa kali kencan dengannya, akhirnya terjadilah peristiwa menghebohkan itu. Sepele sih, hanya masalah umur tetapi sumpah mati, hal itu malah bisa membuatku seperti kena serangan jantung mendadak.

Selama ini, Amanda menyangka kalau umurku baru 28-29 tahun. Amanda sempat kaget tatkala aku memberitahunya, kalau umurku sudah 37 tahun! Yang tak kalah kaget, saat aku menyangka kalau umurnya paling tidak sekitar 23-24 tahun, ternyata ia baru 18 tahun! Ia baru masuk kuliah! Mahasiswi baru di jurusan komputer grafis.

Kami sejenak diam. Entah apa yang berkecamuk di benak kami masing-masing. Yang pasti aku sedang pusing tujuh keliling memikirkan hal ini. Kalau saja ia telah 20 tahunan, mungkin aku tidak sekaget ini. Wah, ia seumur dengan keponakanku yang paling besar. Aku sendiri mengakui tak pernah berpacaran dengan perempuan yang jauh lebih muda. Rata-rata seumuran atau malah lebih tua. Malah aku seringkali berpacaran dengan dosen-dosenku saat kuliah, entah saat masih mengambil gelar tingkat sarjana hingga doktoral, selalu saja ada dosen-dosen perempuan yang jatuh mabuk kepayang dengan sentuhan dan belaianku. Bisa jadi aku mengidap Oedipus Complex.
“Jadi aku panggil pakai om atau bapak?”

Mati aku. Masa’ aku dipanggil om? Memangnya om senang! Atau pakai bapak? Ini kan bukan negosiasi perlucutan senjata! Serius benar kalau pakai embel-embel itu!
“Seperti biasa aja, cukup dengan mas.”

Ia mengangguk. Kami pun melanjutkan perbincangan kami. Obrolan ngalor ngidul. Ia tak canggung ketika aku bicara masalah terorisme global, film-film seni, musik jazz hingga karya sastra kelas berat macam Ernest Hemingway. Ternyata untuk remaja seusianya, ia sangat cerdas. Maklum saja kalau ayah-ibunya sama-sama menyandang gelar doktor. Ayahnya seorang pakar bisnis dan manajemen yang menyelesaikan program master dan doktornya di Belanda dan Amerika Serikat sedangkan ibunya seorang ahli psikologi lulusan Sorbonne, Perancis. Tak heran kepandaian orangtuanya menurun pada Amanda. Apalagi ia suka membaca, menonton film dan sudah tentu berselancar di dunia maya internet.

Maka tak mengherankan kalau Amanda malah suka mendebatku. Bacaannya terbilang lengkap, dari komik-komik manga Jepang hingga karya-karya Milan Kundera dan Franz Kafka. Ia juga suka melihat tak hanya film-film roman picisan macam Bridget Jones Diary tetapi juga sudah melototi masterpiece-nya Aiko Kurosawa, The Seven Samurai!

Walah, seringkali aku kedodoran saat berdiskusi dengannya. Baru kali ini aku merasakan kalah berdebat. Padahal aku salah satu tim mediator saat terjadi perundingan antara AS-RI mengenai kuota dagang. Menteri perdagangan AS bisa tak berdaya, eh sama anak kemarin sore, aku malah bertekuk lutut!

Aku makin jatuh cinta dengan Amanda. Sosoknya tak hanya cantik tetapi juga cerdas. Aku pun tak ragu untuk melepas masa lajangku untuk mempersunting dirinya. Aku pun berencana pulang ke Solo untuk mengabarkannya kepada Romo dan Ibu.
“Masih ingat rumahmu, le?”

Seperti biasanya Ibu menyindirku dengan pernyataan seperti itu. Ketika aku kuliah di Yogyakarta, aku jarang sekali pulang ke Solo, meski jaraknya hanya satu jam saja. Aku pulang hanya di saat lebaran saja. Begitu juga saat, kuliah S-2 dan S-3, hanya beberapa tahun sekali saja pulang.
“Kapan kamu kawin?”
Itu pertanyaan kedua yang biasanya Ibu tanyakan. Klasik dan membosankan, tetapi sebagai anak yang berbakti, aku hanya senyum-senyum saja. Untuk menangkis segala pertanyaan yang bakal dicecarkan Ibu, langsung saja aku sodorkan foto Amanda.
“Wah, ini calon istri kamu, tho?”
Aku mengangguk. Romo langsung mengambil foto dari tangan Ibu, namun tidak berkomentar apa-apa. Hanya manggut-manggut seperti burung perkutut kesayangannya.
“Namanya siapa? Kerja di mana? Orangtuanya tinggal di mana? Keluarga siapa? Jawa atau bukan?”

Sederetan pertanyaan langsung dilontarkan Ibu tanpa memberikan jeda sedikitpun kepadaku. Romo dan Ibu tak keberatan ketika tahu Amanda bukanlah orang Jawa, melainkan blasteran Menado-Padang-Sunda dan sederetan lainnya. Romo dan Ibu juga tidak keberatan kalau ia masih kuliah. Mungkin Romo dan Ibu menyangka kalau Amanda sedang kuliah S-2. Romo dan Ibu malahan senang ketika tahu profesi orangtua Amanda yang dianggapnya sangat sederajat. Romo dan Ibu mendesakku untuk langsung menikahinya, yang langsung aku tolak. Romo dan Ibu kontan langsung pucat pasi kalau aku berterus terang umurnya baru 18 tahun!

“Kamu edan! Dia masih anak-anak, seumuran dengan Diandra, keponakan kamu. Mbok ya, cari yang umurnya 20-an,” ujar Ibu, lagi-lagi nyerocos tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk menjelaskan.
“Tapi kami saling mencinta, meski umur kami berbeda jauh, Bu.”
“Makan itu cinta.”

Ibu sangat terpukul dengan kejadian ini. Romo tak bisa berkata-kata apa. Romo mencoba menenangkan Ibu seraya menyuruhku kembali ke Jakarta.

Ketika di Jakarta, aku menghubungi Amanda untuk berkunjung ke rumahnya, sesuatu yang belum pernah aku lakukan sejak berpacaran dengannya. Aku belum pernah bertemu dengan orangtuanya, paling-paling hanya bertegur sapa lewat telepon saja.

Aku bermaksud melamar Amanda tanpa restu Romo dan Ibu. Aku tak peduli lagi dengan mereka, yang penting Amanda sudah setuju dengan rencanaku. Ternyata rencanaku untuk melamar Amanda gagal total. Ayah dan Ibu Amanda terkejut bukan kepalang tatkala melihatku. Mereka mengira aku adalah seorang mahasiswa seangkatan Amanda, yang mungkin berpenampilan urakan berambut gondrong dengan anting di hidung dan telinga. Yang mereka hadapi adalah seorang pria seumuran mereka! Orangtua Amanda menikah di umur yang terbilang muda, saat masih 20 tahunan, maka usia mereka saat ini baru sekitar 39 tahun, alias sebaya denganku!
“Apa nggak ada perempuan seumuran yang bisa kamu pacari?”

Pertanyaan yang begitu menohok dan memojokkan dari orangtua Amanda. Amanda sendiri hanya membisu. Aku juga membisu, diam seribu bahasa, tak bisa menjawabnya. Saat orangtua Amanda menyuruhku pulang, Amanda tak sedikitpun membantuku. Aku maklum kalau ia tak berkutik di depan orangtuanya.

Hancurlah harapanku untuk meminang Amanda. Di tengah kehancuran hatiku yang berkeping-keping ini, beberapa kawan akrabku yang tahu diri malah menambah runyam masalah yang kuhadapi. Aku sempat maklum saja kalau mereka tak tahu kalau percintaanku dengan Amanda sudah game over.

“Katanya pacaran sama anak kecil ya? Wah, konser boyband Blue tempo hari nonton dong?” tanya kawanku Annisa, disainer interior yang bahenol itu tiba-tiba menelponku dari Bali. Ia sedang mengerjakan proyek renovasi sebuah rumah mewah di Denpasar.

Sialan, belum tahu Annisa tentang kesukaan Amanda, jauh yang ia bisa bayangkan. Lagi pula Amanda bukan lagi anak kecil, ia sudah 18 tahun!

Pertanyaan kurang ajar lainnya datang dari Darma, kawanku yang seorang pengacara flamboyan. “Kamu pacaran dengan anak di bawah umur? Kamu pedofilia ya? Waduh kalau kamu dituntut ke pengadilan, kamu masih ingat ‘kan nomor telepon kantorku?”

Asem tenan. Amanda bukan anak kecil! Ia sudah remaja. Sebentar lagi, ia juga akan menjadi perempuan dewasa yang tak hanya cantik tetapi juga pintar.

Tak ada yang mendukungku untuk melanjutkan kisah cintaku dengan Amanda. Tidak orangtuanya, tidak juga orangtuaku dan juga teman-temanku termasuk Bobby, si creative director sinting yang mengenalkanku dengan Amanda. Hanya satu orang saja, temanku yang ternyata mendukung kisah percintaanku yang terhalang dan dilarang ini.
“Teruskan saja percintaanmu itu, cinta itu buta kok, nggak ada batasannya! Aku dukung kisah cintamu dengan Amanda, kebetulan jadi inspirasiku untuk menulis cerita pendek, mungkin beberapa bulan aku jadikan skenario film,” begitu hibur Didit.

Cerpen? Skenario film? Sialan! Didit sialan! Diancuk! Asem tenan! Penulis edan ini ternyata masih saja suka menari-nari di atas penderitaan orang lain. Di saat aku tengah merana karena cinta, eh dia malah asyik dapat ide cerita gratis!

Jakarta, 8 Maret - 6 Oktober - 6 Desember 2004

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar