Zelfeni Wimra
http://www.riaupos.com/
Sebelum Mak Mondolani memergokiku tengah bingung di depan rumah kayu bersendi batu itu, aku baru saja kembali menyisir lereng bukit bersama seseorang yang bila kukenang membuat sendi-sendi tulang di tubuhku dialiri arus ngilu. Seseorang sejak hari itu tak pernah mau lagi bertemu denganku.
Kali terakhir itu, ia menemuiku di pinggir sungai dekat batu-batu sebesar kerbau bergelimpangan. Deru riam yang berhamburan dari hulu membuat pendengaranku terganggu saat menyimak penjelasannya. Untung yang mesti aku pahami darinya bukan kata-kata, tapi isyarat lewat gerekan jari tangan dan getar bibir delimanya.
Mula-mula ia menyalamiku. Hangat tangannya masuk ke pori-poriku menyapa semacam rasa rindu karena sudah lebih dua tahun tidak bertemu. Setelah kami bersitatap dalam ragam rasa, ia menunjukku diiringi dengan gerakan seperti orang menulis. Aku paham. Ia menanyakan kabar kuliahku. Ia mengangguk-angguk senang ketika aku mengacungkan jempol.
Ia tentu juga tahu, kalau aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2 di kota. Meski ketika terakhir bertemu dengannya, air wajahnya menyiratkan beragam tanya. Tapi aku tidak bisa memberi penjelasan lebih
lanjut tentang betapa harga ijazah S1 semakin tidak berarti lagi. Beatapa orang-orang terus berpacu memburu sertifikasi. Sekalipun aku jelaskan padanya dan ia mengerti, aku yakin ia tak akan merespon dengan bahagia. Sebab untuk pandai menulis saja, ia hanya belajar dengan anak tetangga sebaya dengannya. Itu pun hingga kini hanya pandai menulis nama sendiri dan berhitung Kabataku.
Kami saling diam. Aku memandangi bulu di ibu jari kakiku yang meliuk diraba arus sungai. Sedangkan dia, menusuk-nusk batu besar yang didudukinya dengan ranting mati. Gerenek sungai terus mengecipak. Perhatianku tertuju pada udang-udang kecil yang menyuruk ke celah kerikil di dasar sungai berair jenih itu. Aku tersentak ketika ia mencubit lenganku. Sejurus kemudian kudengar lagi suara rungunya. Kali ini aku kewalahan mencari pengertian. Tangannya berkali-kali membentuk garis segi tiga dan formasi kubus. Tak henti-henti pula ia menunjuk-nunjuk ke barisan batang surian yang tumbuh mengelilingi kebun orang tuanya yang terletak tidak jauh dari sungai itu. Selain surian, kebun tersebut juga ditumbuhi banio dan mahoni.
“Maaf. Aku tidak mengerti maksudmu,” aku menggeleng-geleng sambil mempertemukan kedua telapak tanganku di dada dan sedikit membungkuk padanya.
“Kita pulang saja,” ajakku sambil menunjuk jalan menuju perkampungan. Aku berharap, setibanya di rumah ada orang yang bisa membantu memberi penjelsan dari apa yang ingin ia sampaikan padaku.
Ia mengerti maksud ajakanku. Tapi ia tak putus-puus membuat garis kumis di bibirnya dan memegang titik anting di telinganya. Aku paham itu adalah simbol bagi ayah dan ibunya. Tapi ada apa dengan ayah dan ibunya? Yang aku tahu, ayah dan ibunya sudah lama di rantau. Seterusnya, aku tidak sempat lagi berpikir banyak. Sebab jalan setapak yang membujur seperti naga tidur di sisi tebing itu membuat kami mesti berjalan hati-hati. Sebagian aur yang tumbuh di sana sudah banyak yang ditebang. Kalau seandainya kami terjatuh, sudah barang tentu, kami disambut tunggul-tunggul aur yang runcing itu.
Langakahnya berhenti. Pada ngarai yang diterjuni sungai kecil kulihat sekawanan seriti melayang-layang. Sebentar- sebentar menukik menyambar ujung air terjun. Sejenak ia kulihat mencermati kabut tipis yang menyusup ke celah daun pinus. Kemudian, kabut itu terasa begitu dekat dengan kami, seakan menabrak kami.
“Mora,” aku sapa ia dengan menyebut namanya. Sebenarnya, aku tahu, apalah arti nama baginya. Memanggilnya tanpa cubitan tentu tidak bisa, kecuali benar-benar tengah berhadapan dengannya. Ia tetap diam, tidak putus-putus memandangi kabut.
Kami sepertinya sedang memikirkan hal yang sama. Menjenguk ingatan masa lalu. Bahwa di sini dulu, kami sering main layangan; bahwa antara dulu dan kini ternyata telah membentangkan cerita sepasang kawan masa kecil yang riang.
Di dekat sebatang pohon ambacang yang tumbuh di ngarai itu dulu kami sering bertemu, pagi-pagi, merunut buahnya yang jatuh malam hari. Lalu, kalau sedang ingin, kami menuruni ngarai itu hingga sampai di lubuk, persis di ujung air terjun yang memutih disambut batu. Kami pun mandi-mandi.
Aku lihat dia msih terpaku. Aku cubit lengannya dan membuat gerakan seperti angsa berenang ditambah dengan gerakan orang yang tengah menimba air dari bak mandi.
Ia menggeleng.
Selintas, ia lihat tubuhnya sendiri.
Aku terpukau.
Begitulah waktu berbuat.
Si bisu kerempeng dulu itu kini tampil di depanku dengan tubuh berisi dengan lekukan yang sempurna. Pemandangan ini yang menyentak kesadaranku akan beberapa alasan yang membuat kami tidak mungkin lagi mandi-mandi bersama. Dalam keterpukauan, ia meraih lenganku. Ada gigil di telapak tangannya. Aku kembali disengat rasa semacam rindu, atau entahlah yang membuat aku merasa sangat dekat dengannya. Ya, ketidakmungkinan selalu datang terlambat, terutama saat predikat dewasa terbeban di pundak. Sementara itu, suara rungunya terus mengiringi gerak tangannya membentuk garis segitiga dan formasi kubus. Aku masih tidak mengerti, apa yang ia maksud dengan isyarat itu.
Ia menangkap ketidakmengertianku. Lantas, genggaman tangannya perlahan pindah ke telapak tanganku. Jari manisku sampai terjepit dan terasa sakit ketika ia genggam dengan erat. Spontan ia berlari. Aku nyaris terjerembab. Untung cepat menguasai keseimbangan dan mengikuti dia berlari menembus ujung tikungan jalan yang disambut padang alang-alang. Ah. Seketika aku merasa seperti tengah berada dalam film India yang berlari bersama koloni penari latar yang tanpa motif yang logis mengerubungi kami dari balik semak dan alang-alang. Ketika sudah sampai di pinggir kampung, ibu-ibu yang sedang menjemur padi menatap heran ke arah kami. Ada yang terlihat menyembunyikan tawa dan ada pula yang terbahak-bahak.
Di depan rumah kayu yang semasa ia kecil ditempati bersama orang tuanya itu, ia berhenti berlari. Kami saling tatap dengan nafas tersengal. Ia menunjuk rumah yang posisinya sudah sedikit miring itu. Rumah bergaya semi panggung tersebut berdiri di atas empat batu sendi. Dua tiangnya sudah keropos sehingga membuat posisi rumah itu miring. Salah satu jendelanya terbuka begitu saja. Menandakan betapa rumah itu sudah lama tidak dihuni.
Untuk yang ke sekian kalinya, ia membuat garis kumis dan titik anting di telinganya. Kemudian matanya menerawang, menatap ke arah yang jauh. Dengan perlahan, ia meniru gerakan seorang sopir yang sedang mengendalikan stir.
Sebisa mungkin aku coba mencerna. Yang aku yakini, ia tengah berkeluh-kesah tentang pilihan orang tuanya pergi merantau. Sehingga rumah kayu bersendi batu itu tinggal dan tak terawat lagi. Selalu tanah orang yang menggiurkan.
Aku dapat menyimpulkan ini melalui sorot matanya yang sayu. Keprihatinan yang tak terbahasakan oleh dia, seorang tuna rungu yang hingga usia 27 tahun masih harus menerima kesepian sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.
Sesungguhnya, masih banyak yang belum sepenuhnya aku pahami dari bahasa isyaratnya, padahal ia sudah sangat riunci menjelaskan segala yang terpendam dalam pikirannya. Selintas aku tersadarkan dari ketidaktahuanku. Sekalipun telah berstatus mahasiswa S2 psikologi, tetapi masih gagap memahami jalan pikiran sahabat sendiri.
Aku coba mengingat, sebelum pergi merantau, keluarga besar ibunya sempat memperseterukan status rumah kayu itu. Di tempat kami yang bersuku ke ibu, kaum perempuan adalah tempat kembalinya segala pusaka, termasuk tanah dan apa yang ada di atasnya. Singkatnya, rumah kayu itu pernah jadi sengketa.
Keluarga pihak ibunya termasuk keluarga yang rimbun. Atau istilah lain di kampung ini, keluarga yang subur dan “pengembang”. Sebab, anggotanya lebih banyak perempuan dibanding laki-laki. Satu sisi ini menjadi kebanggaan bagi suku kami. Tapi di sisi lain ternyata menjadi ancaman. Ancaman itu terasa ketika anak perempuan yang banyak itu sudah dewasa dan sudah pantas besuami.
Jika orang tua masing-masing mereka tidak mampu secara bijak memperbesar rumah atau membuat rumah baru, paling mudah menimbulkan perselisihan antar anak. Sementara bila mereka disatukan saja di satu rumah, misalnya saja dalam keluarganya, ada enam anak perempuan, berarti rumah tersebut paling tidak terdapat enam kamar. Enam kepala keluarga satu dapur.
Hidup di hari-hari seperti sekarang, aku sendiri tidak yakin ada keluarga besar yang bisa menyatukan enam pasang suami istri dalam satu rumah. Bukan hanya hari ini, sejak dahulu orang pada dasarnya ingin punya rumah sendiri. Inilah barangkali yang membuat orang tuanya memilih merantau. Disusul kemudian oleh sanak keluarga yang lain hingga rumah kayu bersendi batu itu tinggal.
Sementara itu, angka kelahiran anak perempuan di keluarganya entah karena apa pula makin tinggi dibanding anak laki-laki. Apakah ini pertanda tidak baik bagi kehidupan di suku kami?
Paling tidak demikianlah yang sedang melintas dipikirannya. Makanya aku mau saja ketika diajaknya jalan-jalan ke perkebunan milik orang tuanya. Singgah di sungai tempat kami biasa bermain dan mandi-mandi.
Cuma saja ketika ia membengkokkan telunjuk dan kelingkingnya seperti mata kail lalu menyatukannya seperti pertemuan dua mata rantai seraya membentuk garis setengah lingkaran di atas kepalanya, terus membuat gerakan seperti orang menimang bayi, aku tak bisa mencernanya dengan baik. Apalagi ia menunjuk-nunjuk aku dan dirinya. Saat bersamaan ia pun menunjuk rumah kayu bersendi batu itu.
Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi aku tak kunjung paham. Ia seperti mulai kesal terhadap kebodohanku yang tak kunjung paham terhadap apa yang dia maksud. Mungkin juga ia menyesal telah menyampaikan sesuatu yang paling penting dalam hidupnya kepada orang yang tidak mengerti. Padahal itu sangatlah rahasia baginya.
Dalam kegalauan itu, ia tiba-tiba berlari ke tengah perkampungan dan hilang di sela-sela rumah penduduk. Aku yakin, ia pergi ke rumah yang selama ini ia tinggali: sebuah rumah batu yang dibangunnya sendiri dari upah menjahit bordir. Aku bingung, tak tahu mau menahan dia dengan cara apa.
“Saya tahu apa yang dia maksud!” suara mak Mondolani mengejutkanku. Ternyata setelah memergoki kami, mak Mondo sengaja bersembunyi di belukar dan menyimak segala percakapan kami.
“Temui saya di rumah, nanti malam. Semua akan saya jelaskan nanti padamu,” ucapnya seraya berlalu memikul cangkul. Mak Mondolani tanmpaknya akan kembali ke sawah setelah istirahat siang.
Di rumah Mak Mondolani.
Ketidakmengertiankku perlahan terjawab. Sambil menyantap goreng pisang raja, aku dan mak Mondolani bercakap-cakap di ruang tamu.
“Beberapa bulan belakangan, Mora sering menanyakan kepulanganmu pada kami,” mak Mondo memulai pembicaraan. Kemudian kami saling diam, agak lama. Dalam pikiranku melintas tanya, ada apa dengan kepulanganku baginya?
“Apa yang tadi siang ia sampaikan padamu, telah pula ia beritahu pada kami,” imbuh Mak Mondo. “Ia sangat prihatin dengan rumah kayu itu…”
“Kaitannya dengan kepulanganku?”
“Ia tahu kamu bersekolah tinggi. Jadi, ia ingin kamu bersedia…”
“Memperbaiki rumah itu?”
“Bukan cuma memperbaiki. Ia ingin minta bantuan kepada kamu tentang ketidakmengertiannya mengapa surian, banio, dan mahoni yang ia tanam di masa kecil itu tidak boleh ditebang oleh pemerintah. Padahal kayu-kayu itu, seperti kebiasaan kita, ditanam untuk memperbaiki rumah. Sekarang, bila ingin menggunakan kayu itu harus pakai izin!”
Penjelasan Mak Mondo membuat kami kembali saling diam.
“Yang tak kalah merisaukan kami adalah ketika ia terus terang mengatakan bahwa dirinya sudah ingin menempati rumah itu bersama orang yang mau jadi suaminya.”
“Itu bagus. Memang sudah saatnya ia punya suami.”
“Tapi, kamu harus tahu, siapa orang yang diidam-idamkannya jadi suami?”
“Siapa?”
“Kamu!”
“Astaga!”
“Semua orang juga kaget.”
“Siapa yang tidak akan kaget. Aku dan dia sesuku, Mak. Kami sama kemenakan Mamak, bukan? Adat kita jelas tegas melarangnya!”
“Ya. Itulah kerisauan yang saya maksud. Kami semua memang lalai, tidak pernah mengenalkan adat satu ini padanya. Sekarang, bagaimana cara memberi penjelasan agar ia mengerti kalau kawin sesuku itu tidak boleh? Kamu lihat sendiri tadi siang, ketika ia meniru gerakan orang menimang bayi. Sebenarnya ia mau menyampaikan bahwa ia sungguh ingin punya anak darimu dan hidup bahagia di rumah kayu itu.”
Untuk ke sekian kalinya kami saling diam. Kali ini sambil memilih serbuk goreng pisang raja dan mengunyah-ngunyahnya seperti mencerna kenyataan paling ganjil yang pernah aku dan barangkali juga mak Mondolani temui.***
Padang, 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar