Sabtu, 31 Januari 2009

Keretamu Tak Berhenti Lama

Ratih Kumala
http://www.riaupos.com/

BEL itu berbunyi empat ketukan dengan nada yang membosankan. Seolah lonceng bubaran sekolah, penghuni stasiun serempak menjadi awas dengan pengumuman yang akan diworo-woro setelahnya. Aku tengah terkantuk-kantuk ketika bel itu menyentak, menyadarkanku dari lelap yang belum lengkap.

Pengumuman dikumandangkan bahwa kereta api dari Bandung tujuan Stasiun Malang tiba di jalur tiga. Bagi para penumpang yang telah membeli karcis tujuan ke Malang harap bersiap-siap sebab kereta api tak akan berhenti lama. Dalam pengumuman itu tak lupa diingatkan agar orang-orang menjauh dari jalur kuning yang telah ditandai. Area aman untuk berdiri di dekat jalur rel, agar tak tersambar kereta lewat. Para porter tentu saja tak mengacuhkan pengumuman untuk menjauh dari jalur kuning. Mereka menyambar pintu kereta dengan kelincahan kaki yang terlihat lihai. Meski kereta tak berhenti lama, ada sebagian orang yang turun di Stasiun Tugu, Jogjakarta, ada pula yang naik menuju ke Malang. Ini berarti ada saja orang yang butuh jasa angkat-angkat barang bawaan.

Aku mulai sibuk menjajakan dagangan kepada penumpang lewat jendela-jendela, berharap ada saja orang yang menyempatkan diri untuk sekadar membeli oleh-oleh. Karak, intip, bakpia, atau nasi pecel bungkus, semua tersedia. Wajah-wajah berminyak dan separuh ngantuk mengintip dari balik jendela kereta. Tak mungkin aku curi-curi naik ke dalam gerbong kereta, pramugara kereta eksekutif galak-galak. Mereka akan mengusirku jauh-jauh agar tak mengganggu kenyamanan penumpangnya.

Aku bergeser menuju ke kepala gerbong. Dan seperti dugaanku, ‘’Ning! Ning!’’ sebuah suara berat memanggilku. Dari arah kepala kereta. ‘’Ada bakpia?’’ tanyanya. Pak Kasdi, masinis kereta dengan perut agak buncit dan kumis yang enggan tumbuh sekaligus enggan dicukur.

‘’Ada,’’ kataku cepat-cepat ke arah Pak Kasdi. Beberapa teman pedagang yang juga menjual bakpia dan berdiam tak jauh dari Pak Kasdi langsung menyumpah serapah. Aku menerima uang dan menukarnya dengan sekotak bakpia.

‘’Kembaliannya buatmu saja!’’

Aku tersenyum. Aku sudah tahu, kok.

‘’Ayo, ikut!’’ ajak Pak Kasdi sambil menggodaku. Aku menggeleng. ‘’Bener, ndak mau ikut? Ayo! Naik kereta api...tut, tut, tut...,’’ goda Pak Kasdi lagi, kali ini sambil mendendangkan lagu anak-anak itu. Aku menggeleng lagi. Lalu pluit panjang disempritkan. Suara pengumuman terdengar lagi, kereta di jalur tiga segera diberangkatkan. Aku minggir, menjauh dari jalur kuning. Kupandangi kereta yang mulai bergerak, klakson kereta panjang dibunyikan. Aku tahu itu tanda ‘’sampai jumpa’’ untukku. Kulirik uang yang tadi diberi Pak Kasdi, selembar merah seratusribuan. Lumayan. Diam-diam dengan girang kusimpan uang itu di dalam beha.

Siang ini aku bisa memberi Dono, anakku, makan yang lebih enak. Mungkin dengan ayam bakar atau terik. Kugandeng bocah empat tahun itu menuju ke pangkalan becak. Becak suamiku ada di situ, tapi pengemudinya raib. Aku menoel seorang tukang becak yang sedang tidur di dalam becaknya sambil menutup mukanya dengan caping. Tukang becak itu terbangun sambil menyumpah-nyumpah sebab baru saja ia terlelap.

‘’Bojoku mana?’’

‘’Embuh!’’ jawabnya tak acuh, membuatku sebal. Tukang becak itu kembali meringkuk di kursi becaknya yang tak bisa dibilang nyaman. Toh ia tetap mencari posisi paling enak untuk sekadar istirahat.

Kulihat sekelompok tukang becak tak jauh dari situ sedang berkerumun sambil jongkok. Judi lagi, judi lagi! Aku benci bukan main dengan kebiasaan suamiku ini. Aku sudah menduga, pasti siang ini Mas Jarno tak bisa memberi kami uang untuk makan siang. Lelaki itu malah minta tambahan uang untuk bertaruh. Tentu saja kutolak mentah-mentah, kami cekcok sejenak. Lalu dipisah oleh seorang tukang becak di sana. Hutang setoran becak sudah menunggak tiga hari. Jika dituruti terus berjudi, kami benar-benar akan puasa. Biar! Kugendong Dono. Sambil jalan keluar, aku memegang-megang pangkal dada kiriku, kurasakan uang dari Pak Kasdi masih terselip di situ.

***
Sejak pertama aku mengenal Jarno, ia adalah lelaki kampung yang suka bergaya meski tukang becak. Ia menyediakan dana untuk membeli gel rambut, selain pakai kemeja dan kacamata hitam lengkap dengan sepatu kets bututnya. Aku merasa geli melihatnya ketika itu. Ketika aku memasuki 22 tahun, bapak dan ibuku mulai cerewet, menanyakan kapan aku akan menikah. Aku sadar betul, dengan usia yang semakin bertambah, aku cenderung menjadi beban bagi mereka. Maka ketika Jarno, yang beda lima tahun usia, mengutarakan keinginan untuk melamar, aku memperbolehkan laki-laki itu datang berbicara pada orang tuaku.

Meski sebelum menikah kami dekat cukup lama —sekitar satu tahun— ternyata waktu segitu tak cukup bagiku untuk mengenalinya. Ketika kami mulai berrumah tangga, sedikit demi sedikit perangai aslinya mulai terlihat. Selain berjudi, aku kadang menemukannya pulang ke rumah sambil teler. Kalau sudah begini, ia tak segan main tangan dan menyisakan bilur-bilur di pipi dan badanku. Aku ingin pulang ke rumah orang tua, tapi malu. Mau lari, lari ke mana? Tak ada tempat berlindung bagiku. Hingga pada suatu pagi buta, jam tiga pagi, ketika Jarno telah tiga hari tak pulang dan aku terus menunggunya di stasiun, ketika itulah kereta dari Jakarta tiba.

Aku tak akan melupakannya; Dono tidur meringkuk di bangku tunggu dengan jarit menutupi tubuh kecil anakku. Pluit panjang melengking dingin, melafalkan subuh yang tak bisa dibilang hangat. Aku terkantuk-kantuk ketika sebuah suara menegurku. Sosok berperut buncit berdiri di depanku. Pak Kasdi yang baru turun dari kereta membeli sebungkus nasi, meski kubilang itu bukan nasi baru, melainkan nasi kemarin sore. Sudah sekitar dua tahun aku mengenalnya. Ia kerap jajan daganganku.

‘’Biarin, saya lapar,’’ ujarnya waktu itu. Ia langsung memakannya dengan lahap, juga mengambil air botol untuk minum. Aku beramah-tamah sekenanya. Laki-laki ini kerap kulihat di stasiun, bolak-balik, turun-naik kereta.

‘’Pasti enak ya, naik kereta api bagus tiap hari,’’ komentarku.

‘’Kalau jadi penumpang enak, jadi masinis sih kerja!’’

‘’Aku belum pernah naik kereta api eksekutif.’’

‘’Sekali-kali naiklah!’’

‘’Duit dari mana?’’ aku mencibir.

Lalu ujarnya, ‘’Naik kereta kalau aku jadi masinisnya, nanti kugratisi!’’ Aku tertawa kecil mendengar perkataan Pak Kasdi.

‘’Berapa?’’ tanyanya selesai makan.

‘’Tujuh ribu lima ratus, Pak.’’

Pak Kasdi mengeluarkan selembar sepuluh ribuan, ‘’Nih, kembaliannya buat jajan anakmu.’’ Aku kesenangan. Pak Kasdi menusuk-nusuk giginya dengan batang korek api. ‘’Kamu kok ndak pulang, Ning? Kasihan anakmu tidur di sini.’’

‘’Ngejar setoran, Pak!’’ jawabku.

‘’Lah... setoran biar bojomu saja yang nyari toh!’’

‘’Ya dua-duanya yang nyari setoran, Pak. Kalau cuma satu, bisa-bisa puasa. Wong dua orang saja masih lapar!’’ lalu aku terkekeh, terbiasa membicarakan perut kosong dengan kelakar. Pak Kasdi memandang sambil diam, ia tak tertawa sama sekali. Jelas ia tak menganggap leluconku lucu. Aku tak akan pernah lupa rasa salah tingkahku waktu itu. Tak pernah aku merasa rikuh sebegitu rupa.

‘’Ning, biar anakmu tidur di mess-ku saja ya!’’ ujar Pak Kasdi. Lelaki itu langsung mengangkat Dono tanpa menunggu persetujuanku. Tentu saja ini membuatku panik. Aku memohon untuk tidak membawa Dono, tapi Pak Kasdi bersikeras. Cepat-cepat kuminta temanku untuk mengawasi barang daganganku.

‘’Oalah Ning, Ning!’’ keluh temanku, ‘’kalau bojomu datang nyari kamu gimana?’’ Aku tak menjawabnya, mengikuti langkah Pak Kasdi dengan terburu-buru menuju mess yang letaknya tak jauh dari stasiun.

Lelaki itu merebahkan Dono di kasur. Ini kali pertama aku masuk ke mess pegawai kereta api. Sekali lagi kucoba membujuk Pak Kasdi untuk membawa Dono pergi, tapi laki-laki itu tak membiarkannya.

Pak Kasdi dengan santai melepas seragamnya, menggantungnya di pintu dan berganti kaos berkerah yang lecek tak diseterika. Aku hanya diam, memperhatikan ruangan asing dan anakku yang lelap sambil sekali-kali mencuri pandang pada Pak Kasdi.

‘’Bojomu jam segini di mana, Ning?’’

‘’Paling mangkal di sekitar terminal. Kan gini hari banyak yang pakai becak di sana ketimbang di stasiun,’’ jawabku, dalam hati aku bilang; sudah tiga hari dia tak pulang.

‘’Nganter lonte, maksudmu?’’

Aku diam saja. Semua orang juga tahu bahwa tukang becak itu kerja sampingannya jadi mak comblang antara lonte, tamu, dan pemilik penginapan jam-jaman. Upahnya lebih besar ketimbang mengantar penumpang
biasa, dan kalau beruntung bisa dapat ‘’jatah’’ seorang lonte. Entah gratisan dari tamu atau dari lontenya sendiri.

‘’Kamu ndak kasihan lihat anakmu toh, Ning?’’ tanya Pak Kasdi lagi, ia mengelus kepala Dono.

‘’Ya kasihan,’’ jawabku singkat, tapi mau gimana lagi, lanjut kalimatku dalam hati.

Kami diam, Pak Kasdi memandangiku. Aku seraya berdebar-debar. Tiba-tiba tangan Pak Kasdi mendekat ke rambutku dan membetulkan helai rambut yang jatuh di pipiku. Diselipkannya ke balik telinga kananku, membuatku semakin berdebar-debar.

‘’Ning...,’’ ujar Pak Kasdi lirih. Aku bisa mencium aroma tubuh laki-laki itu. Masam dan panas. Dua detik kemudian pipiku terasa geli sebab kumis jarang-jarang Pak Kasdi telah mendarat di situ. Bulu kudukku berdiri. Aku tak beranjak. Aneh, aku merasa nyaman. ‘’Ning...,’’ bisik Pak Kasdi lagi. Lelaki itu semakin berani, kali ini mencium bibirku. Aku mengira, Pak Kasdi akan merambah tubuhku, tapi dugaanku salah. Sebab Pak Kasdi kemudian hanya memandangi wajahku hingga dari luar terdengar suara ayam jantan berkokok dan samar hari yang hitam berubah jadi terang.

‘’Saya harus pergi, Pak.’’

Pak Kasdi jeda sejenak, lalu jawabnya, ‘’Ya.’’

Aku menggendong Dono keluar mess, jalan menuju stasiun.

***
Empat hari lewat, aku masih belum percaya dengan kejadian itu. Dan, setiap ingatan itu lewat, setiap kali pula jantungku berdebar kencang. Lebih dari itu, jika aku menutup mata, masih bisa kuingat dengan jelas aroma tubuh, ruangan asing, dan kulit bibir serta kumis tipis Pak Kasdi yang menempel di wajah.
Setiap kali Pak Kasdi datang, aku tahu laki-laki itu pasti akan menemuiku meski sejenak, meski kereta hanya berhenti sejenak. Aku jadi rajin menanyakan jadwal perjalanan yang ditempuh Pak Kasdi.

***

Entah siapa yang memulai, yang pasti para pedagang di stasiun dan tukang-tukang becak mulai kasak-kusuk dengan gosip aku pacaran lagi. Aku tak merasa pacaran lagi, tak pernah ada kejadian intim apa-apa setelah insiden di mess tempo lalu. Paling-paling, Pak Kasdi hanya mampir beli sesuatu dengan tidak mau diberi kembalian. Itu saja. Lebih dari itu, kami hanya mengobrol, tak pernah janjian di mana-mana. Awalnya, aku tak terlalu ambil pusing, meski aku tetap berbicara pada Pak Kasdi mengenai gosip-gosip itu.

‘’Ning, ikutlah denganku,’’ ujar Pak Kasdi lembut. Aku menatap Pak Kasdi, lalu menggeleng ragu. ‘’Anakmu ajak saja. Aku nanti yang merawat kamu.’’
‘’Pergi?’’
‘’Iya, pergi sama aku. Aku, cinta sama kamu, Ning,’’ ucapnya ragu.
‘’Cinta?’’
‘’Cinta,’’ tegasnya.

Ah, tak mungkin. Tak mungkin! Aku mengelak berkali-kali dalam hati. Dia punya istri. Entah di kota mana, yang pasti di salah satu kota yang dilewati keretanya. Jika aku nekad, naik ke dalam keretanya ketika kereta itu berhenti sejenak, dengan berpura-pura menawarkan dagangan, tentu tak akan ada orang yang sadar. Tahu-tahu aku hilang begitu saja. Meski mungkin akan ada yang curiga dan bisa menduga bahwa aku pergi dengan Pak Kasdi. Jadi, tak mungkin, tak mungkin!

***
Jarno pulang, sambil mabuk (lagi). Ujarnya, ibu warung bilang aku membayar dengan uang seratus ribuan. Padahal aku tak pernah memegang uang seratus ribuan. Omongannya meracau, dan sampailah pada gosip hubunganku dengan Pak Kasdi. Ia menyumpah-nyumpah; membandingkan dirinya yang sopir becak dengan masinis kereta api, mengatai-ngataiku. Dia bilang seharusnya aku berterima kasih kepadanya yang sudah mengawiniku, karena tak ada laki-laki yang mau padaku selain dirinya.

Aku geram, sambil ketakutan aku berkata dengan nada tinggi, ‘’Kamu pikir aku tidak tahu, kamu sering ngelonte di terminal sana?!’’

‘’Heh, aku ini tukang becak, patut kalau ngelonte. Kamu itu ayu juga enggak, sok ngelonte sama masinis!’’ balas Jarno.

Aku kalap, berteriak keras, ‘’AKU BUKAN LONTE...!’’ sambil menyerang lelaki itu. Lalu dengan kekuatan orang mabuk, Jarno memukulku keras. Aku tersungkur, tapi langsung bangkit lagi. Rahangku sakit tapi aku tak terima perlakuan kasarnya. Dengan cepat aku meraih pintu depan, keluar, lalu berlari sekencang-kecangnya. Ketika itu jam dua pagi, beberapa orang terbangun dan terlihat heran, berdiri di depan pintu rumah petak kami.

Aku terus berlari menuju stasiun. Pak penjaga pintu masuk kerkantuk-kantuk. Aku tahu, Jarno mencoba mengejarku, dan orang-orang mencoba menghentikannya. Ia mabuk dan kalap, semua orang tahu ia berbahaya. Ia tak terlihat di belakangku. Kakiku perih, kelihatannya berdarah, entah tadi aku menginjak beling atau kerikil tajam. Aku terus menuju ke toilet perempuan. Aku cuci muka, kulihat mata kananku mulai kebiruan. Seorang banci menegurku heran, lalu dengan kemayu ia memberikan tisunya.

Salah satu bilik toilet kumasuki, dan diam di sana sambil menangis. Kepalaku pening sekali. Tiba-tiba kudengar bel empat nada, pengumuman dilantangkan, kereta dari Jakarta tujuan akhir Solo tiba di jalur empat. Ini berarti penumpangnya akan cepat turun, dan kereta segera berangkat lagi melanjutkan perjalanan ke stasiun akhir di kota tetangga. Aku mencoba mengingat-ingat jadwal kereta Pak Kasdi. Apakah dia yang ada di situ?

Aku keluar dari toilet. Anak usia belasan tahun yang jaga toilet menyumpah-nyumpah karena aku tak membayar uang kebersihan. Aku tak peduli, langsung berjalan ke jalur empat. Dari kejauhan, kereta mulai mendekat, lalu berhenti. Aku berjalan ke arah kepala gerbong. Kucari-cari wajah Pak Kasdi, apakah dia di sini? Sebuah suara menegurku dari belakang, ‘’Ning?’’ Aku kenal betul suara itu. Pak Kasdi! Aku menujunya sambil menangis. Dia menyuruhku untuk mengendalikan diri, lalu memeriksa bengkak di wajahku.

‘’Ikutlah denganku!’’ ujarnya. Aku ragu. Bel empat nada berbunyi lagi, pengumuman dilantangkan lagi, kereta di jalur empat segera diberangkatkan. ‘’Ayo!’’ ajaknya lekas-lekas. Aku makin bimbang, yang terbayang dalam benakku wajah Dono. Anak itu tadi masih tidur di rumah. Pak Kasdi memegangi tanganku, katanya lagi, ‘’Ayo!’’

Sedetik kemudian, kakiku sudah menjejak ke dalam gerbong. Kurasakan kereta bergerak. Samar dari kejauhan, kulihat Mas Jarno berjalan sempoyongan, tanpa daya memaksa kereta berhenti, dan Dono berjalan gontai di belakangnya sambil menangis. ***

*) Cerpenis dan novelis. Tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar