Ratih Kumala
http://www.riaupos.com/
BEL itu berbunyi empat ketukan dengan nada yang membosankan. Seolah lonceng bubaran sekolah, penghuni stasiun serempak menjadi awas dengan pengumuman yang akan diworo-woro setelahnya. Aku tengah terkantuk-kantuk ketika bel itu menyentak, menyadarkanku dari lelap yang belum lengkap.
Pengumuman dikumandangkan bahwa kereta api dari Bandung tujuan Stasiun Malang tiba di jalur tiga. Bagi para penumpang yang telah membeli karcis tujuan ke Malang harap bersiap-siap sebab kereta api tak akan berhenti lama. Dalam pengumuman itu tak lupa diingatkan agar orang-orang menjauh dari jalur kuning yang telah ditandai. Area aman untuk berdiri di dekat jalur rel, agar tak tersambar kereta lewat. Para porter tentu saja tak mengacuhkan pengumuman untuk menjauh dari jalur kuning. Mereka menyambar pintu kereta dengan kelincahan kaki yang terlihat lihai. Meski kereta tak berhenti lama, ada sebagian orang yang turun di Stasiun Tugu, Jogjakarta, ada pula yang naik menuju ke Malang. Ini berarti ada saja orang yang butuh jasa angkat-angkat barang bawaan.
Aku mulai sibuk menjajakan dagangan kepada penumpang lewat jendela-jendela, berharap ada saja orang yang menyempatkan diri untuk sekadar membeli oleh-oleh. Karak, intip, bakpia, atau nasi pecel bungkus, semua tersedia. Wajah-wajah berminyak dan separuh ngantuk mengintip dari balik jendela kereta. Tak mungkin aku curi-curi naik ke dalam gerbong kereta, pramugara kereta eksekutif galak-galak. Mereka akan mengusirku jauh-jauh agar tak mengganggu kenyamanan penumpangnya.
Aku bergeser menuju ke kepala gerbong. Dan seperti dugaanku, ‘’Ning! Ning!’’ sebuah suara berat memanggilku. Dari arah kepala kereta. ‘’Ada bakpia?’’ tanyanya. Pak Kasdi, masinis kereta dengan perut agak buncit dan kumis yang enggan tumbuh sekaligus enggan dicukur.
‘’Ada,’’ kataku cepat-cepat ke arah Pak Kasdi. Beberapa teman pedagang yang juga menjual bakpia dan berdiam tak jauh dari Pak Kasdi langsung menyumpah serapah. Aku menerima uang dan menukarnya dengan sekotak bakpia.
‘’Kembaliannya buatmu saja!’’
Aku tersenyum. Aku sudah tahu, kok.
‘’Ayo, ikut!’’ ajak Pak Kasdi sambil menggodaku. Aku menggeleng. ‘’Bener, ndak mau ikut? Ayo! Naik kereta api...tut, tut, tut...,’’ goda Pak Kasdi lagi, kali ini sambil mendendangkan lagu anak-anak itu. Aku menggeleng lagi. Lalu pluit panjang disempritkan. Suara pengumuman terdengar lagi, kereta di jalur tiga segera diberangkatkan. Aku minggir, menjauh dari jalur kuning. Kupandangi kereta yang mulai bergerak, klakson kereta panjang dibunyikan. Aku tahu itu tanda ‘’sampai jumpa’’ untukku. Kulirik uang yang tadi diberi Pak Kasdi, selembar merah seratusribuan. Lumayan. Diam-diam dengan girang kusimpan uang itu di dalam beha.
Siang ini aku bisa memberi Dono, anakku, makan yang lebih enak. Mungkin dengan ayam bakar atau terik. Kugandeng bocah empat tahun itu menuju ke pangkalan becak. Becak suamiku ada di situ, tapi pengemudinya raib. Aku menoel seorang tukang becak yang sedang tidur di dalam becaknya sambil menutup mukanya dengan caping. Tukang becak itu terbangun sambil menyumpah-nyumpah sebab baru saja ia terlelap.
‘’Bojoku mana?’’
‘’Embuh!’’ jawabnya tak acuh, membuatku sebal. Tukang becak itu kembali meringkuk di kursi becaknya yang tak bisa dibilang nyaman. Toh ia tetap mencari posisi paling enak untuk sekadar istirahat.
Kulihat sekelompok tukang becak tak jauh dari situ sedang berkerumun sambil jongkok. Judi lagi, judi lagi! Aku benci bukan main dengan kebiasaan suamiku ini. Aku sudah menduga, pasti siang ini Mas Jarno tak bisa memberi kami uang untuk makan siang. Lelaki itu malah minta tambahan uang untuk bertaruh. Tentu saja kutolak mentah-mentah, kami cekcok sejenak. Lalu dipisah oleh seorang tukang becak di sana. Hutang setoran becak sudah menunggak tiga hari. Jika dituruti terus berjudi, kami benar-benar akan puasa. Biar! Kugendong Dono. Sambil jalan keluar, aku memegang-megang pangkal dada kiriku, kurasakan uang dari Pak Kasdi masih terselip di situ.
***
Sejak pertama aku mengenal Jarno, ia adalah lelaki kampung yang suka bergaya meski tukang becak. Ia menyediakan dana untuk membeli gel rambut, selain pakai kemeja dan kacamata hitam lengkap dengan sepatu kets bututnya. Aku merasa geli melihatnya ketika itu. Ketika aku memasuki 22 tahun, bapak dan ibuku mulai cerewet, menanyakan kapan aku akan menikah. Aku sadar betul, dengan usia yang semakin bertambah, aku cenderung menjadi beban bagi mereka. Maka ketika Jarno, yang beda lima tahun usia, mengutarakan keinginan untuk melamar, aku memperbolehkan laki-laki itu datang berbicara pada orang tuaku.
Meski sebelum menikah kami dekat cukup lama —sekitar satu tahun— ternyata waktu segitu tak cukup bagiku untuk mengenalinya. Ketika kami mulai berrumah tangga, sedikit demi sedikit perangai aslinya mulai terlihat. Selain berjudi, aku kadang menemukannya pulang ke rumah sambil teler. Kalau sudah begini, ia tak segan main tangan dan menyisakan bilur-bilur di pipi dan badanku. Aku ingin pulang ke rumah orang tua, tapi malu. Mau lari, lari ke mana? Tak ada tempat berlindung bagiku. Hingga pada suatu pagi buta, jam tiga pagi, ketika Jarno telah tiga hari tak pulang dan aku terus menunggunya di stasiun, ketika itulah kereta dari Jakarta tiba.
Aku tak akan melupakannya; Dono tidur meringkuk di bangku tunggu dengan jarit menutupi tubuh kecil anakku. Pluit panjang melengking dingin, melafalkan subuh yang tak bisa dibilang hangat. Aku terkantuk-kantuk ketika sebuah suara menegurku. Sosok berperut buncit berdiri di depanku. Pak Kasdi yang baru turun dari kereta membeli sebungkus nasi, meski kubilang itu bukan nasi baru, melainkan nasi kemarin sore. Sudah sekitar dua tahun aku mengenalnya. Ia kerap jajan daganganku.
‘’Biarin, saya lapar,’’ ujarnya waktu itu. Ia langsung memakannya dengan lahap, juga mengambil air botol untuk minum. Aku beramah-tamah sekenanya. Laki-laki ini kerap kulihat di stasiun, bolak-balik, turun-naik kereta.
‘’Pasti enak ya, naik kereta api bagus tiap hari,’’ komentarku.
‘’Kalau jadi penumpang enak, jadi masinis sih kerja!’’
‘’Aku belum pernah naik kereta api eksekutif.’’
‘’Sekali-kali naiklah!’’
‘’Duit dari mana?’’ aku mencibir.
Lalu ujarnya, ‘’Naik kereta kalau aku jadi masinisnya, nanti kugratisi!’’ Aku tertawa kecil mendengar perkataan Pak Kasdi.
‘’Berapa?’’ tanyanya selesai makan.
‘’Tujuh ribu lima ratus, Pak.’’
Pak Kasdi mengeluarkan selembar sepuluh ribuan, ‘’Nih, kembaliannya buat jajan anakmu.’’ Aku kesenangan. Pak Kasdi menusuk-nusuk giginya dengan batang korek api. ‘’Kamu kok ndak pulang, Ning? Kasihan anakmu tidur di sini.’’
‘’Ngejar setoran, Pak!’’ jawabku.
‘’Lah... setoran biar bojomu saja yang nyari toh!’’
‘’Ya dua-duanya yang nyari setoran, Pak. Kalau cuma satu, bisa-bisa puasa. Wong dua orang saja masih lapar!’’ lalu aku terkekeh, terbiasa membicarakan perut kosong dengan kelakar. Pak Kasdi memandang sambil diam, ia tak tertawa sama sekali. Jelas ia tak menganggap leluconku lucu. Aku tak akan pernah lupa rasa salah tingkahku waktu itu. Tak pernah aku merasa rikuh sebegitu rupa.
‘’Ning, biar anakmu tidur di mess-ku saja ya!’’ ujar Pak Kasdi. Lelaki itu langsung mengangkat Dono tanpa menunggu persetujuanku. Tentu saja ini membuatku panik. Aku memohon untuk tidak membawa Dono, tapi Pak Kasdi bersikeras. Cepat-cepat kuminta temanku untuk mengawasi barang daganganku.
‘’Oalah Ning, Ning!’’ keluh temanku, ‘’kalau bojomu datang nyari kamu gimana?’’ Aku tak menjawabnya, mengikuti langkah Pak Kasdi dengan terburu-buru menuju mess yang letaknya tak jauh dari stasiun.
Lelaki itu merebahkan Dono di kasur. Ini kali pertama aku masuk ke mess pegawai kereta api. Sekali lagi kucoba membujuk Pak Kasdi untuk membawa Dono pergi, tapi laki-laki itu tak membiarkannya.
Pak Kasdi dengan santai melepas seragamnya, menggantungnya di pintu dan berganti kaos berkerah yang lecek tak diseterika. Aku hanya diam, memperhatikan ruangan asing dan anakku yang lelap sambil sekali-kali mencuri pandang pada Pak Kasdi.
‘’Bojomu jam segini di mana, Ning?’’
‘’Paling mangkal di sekitar terminal. Kan gini hari banyak yang pakai becak di sana ketimbang di stasiun,’’ jawabku, dalam hati aku bilang; sudah tiga hari dia tak pulang.
‘’Nganter lonte, maksudmu?’’
Aku diam saja. Semua orang juga tahu bahwa tukang becak itu kerja sampingannya jadi mak comblang antara lonte, tamu, dan pemilik penginapan jam-jaman. Upahnya lebih besar ketimbang mengantar penumpang
biasa, dan kalau beruntung bisa dapat ‘’jatah’’ seorang lonte. Entah gratisan dari tamu atau dari lontenya sendiri.
‘’Kamu ndak kasihan lihat anakmu toh, Ning?’’ tanya Pak Kasdi lagi, ia mengelus kepala Dono.
‘’Ya kasihan,’’ jawabku singkat, tapi mau gimana lagi, lanjut kalimatku dalam hati.
Kami diam, Pak Kasdi memandangiku. Aku seraya berdebar-debar. Tiba-tiba tangan Pak Kasdi mendekat ke rambutku dan membetulkan helai rambut yang jatuh di pipiku. Diselipkannya ke balik telinga kananku, membuatku semakin berdebar-debar.
‘’Ning...,’’ ujar Pak Kasdi lirih. Aku bisa mencium aroma tubuh laki-laki itu. Masam dan panas. Dua detik kemudian pipiku terasa geli sebab kumis jarang-jarang Pak Kasdi telah mendarat di situ. Bulu kudukku berdiri. Aku tak beranjak. Aneh, aku merasa nyaman. ‘’Ning...,’’ bisik Pak Kasdi lagi. Lelaki itu semakin berani, kali ini mencium bibirku. Aku mengira, Pak Kasdi akan merambah tubuhku, tapi dugaanku salah. Sebab Pak Kasdi kemudian hanya memandangi wajahku hingga dari luar terdengar suara ayam jantan berkokok dan samar hari yang hitam berubah jadi terang.
‘’Saya harus pergi, Pak.’’
Pak Kasdi jeda sejenak, lalu jawabnya, ‘’Ya.’’
Aku menggendong Dono keluar mess, jalan menuju stasiun.
***
Empat hari lewat, aku masih belum percaya dengan kejadian itu. Dan, setiap ingatan itu lewat, setiap kali pula jantungku berdebar kencang. Lebih dari itu, jika aku menutup mata, masih bisa kuingat dengan jelas aroma tubuh, ruangan asing, dan kulit bibir serta kumis tipis Pak Kasdi yang menempel di wajah.
Setiap kali Pak Kasdi datang, aku tahu laki-laki itu pasti akan menemuiku meski sejenak, meski kereta hanya berhenti sejenak. Aku jadi rajin menanyakan jadwal perjalanan yang ditempuh Pak Kasdi.
***
Entah siapa yang memulai, yang pasti para pedagang di stasiun dan tukang-tukang becak mulai kasak-kusuk dengan gosip aku pacaran lagi. Aku tak merasa pacaran lagi, tak pernah ada kejadian intim apa-apa setelah insiden di mess tempo lalu. Paling-paling, Pak Kasdi hanya mampir beli sesuatu dengan tidak mau diberi kembalian. Itu saja. Lebih dari itu, kami hanya mengobrol, tak pernah janjian di mana-mana. Awalnya, aku tak terlalu ambil pusing, meski aku tetap berbicara pada Pak Kasdi mengenai gosip-gosip itu.
‘’Ning, ikutlah denganku,’’ ujar Pak Kasdi lembut. Aku menatap Pak Kasdi, lalu menggeleng ragu. ‘’Anakmu ajak saja. Aku nanti yang merawat kamu.’’
‘’Pergi?’’
‘’Iya, pergi sama aku. Aku, cinta sama kamu, Ning,’’ ucapnya ragu.
‘’Cinta?’’
‘’Cinta,’’ tegasnya.
Ah, tak mungkin. Tak mungkin! Aku mengelak berkali-kali dalam hati. Dia punya istri. Entah di kota mana, yang pasti di salah satu kota yang dilewati keretanya. Jika aku nekad, naik ke dalam keretanya ketika kereta itu berhenti sejenak, dengan berpura-pura menawarkan dagangan, tentu tak akan ada orang yang sadar. Tahu-tahu aku hilang begitu saja. Meski mungkin akan ada yang curiga dan bisa menduga bahwa aku pergi dengan Pak Kasdi. Jadi, tak mungkin, tak mungkin!
***
Jarno pulang, sambil mabuk (lagi). Ujarnya, ibu warung bilang aku membayar dengan uang seratus ribuan. Padahal aku tak pernah memegang uang seratus ribuan. Omongannya meracau, dan sampailah pada gosip hubunganku dengan Pak Kasdi. Ia menyumpah-nyumpah; membandingkan dirinya yang sopir becak dengan masinis kereta api, mengatai-ngataiku. Dia bilang seharusnya aku berterima kasih kepadanya yang sudah mengawiniku, karena tak ada laki-laki yang mau padaku selain dirinya.
Aku geram, sambil ketakutan aku berkata dengan nada tinggi, ‘’Kamu pikir aku tidak tahu, kamu sering ngelonte di terminal sana?!’’
‘’Heh, aku ini tukang becak, patut kalau ngelonte. Kamu itu ayu juga enggak, sok ngelonte sama masinis!’’ balas Jarno.
Aku kalap, berteriak keras, ‘’AKU BUKAN LONTE...!’’ sambil menyerang lelaki itu. Lalu dengan kekuatan orang mabuk, Jarno memukulku keras. Aku tersungkur, tapi langsung bangkit lagi. Rahangku sakit tapi aku tak terima perlakuan kasarnya. Dengan cepat aku meraih pintu depan, keluar, lalu berlari sekencang-kecangnya. Ketika itu jam dua pagi, beberapa orang terbangun dan terlihat heran, berdiri di depan pintu rumah petak kami.
Aku terus berlari menuju stasiun. Pak penjaga pintu masuk kerkantuk-kantuk. Aku tahu, Jarno mencoba mengejarku, dan orang-orang mencoba menghentikannya. Ia mabuk dan kalap, semua orang tahu ia berbahaya. Ia tak terlihat di belakangku. Kakiku perih, kelihatannya berdarah, entah tadi aku menginjak beling atau kerikil tajam. Aku terus menuju ke toilet perempuan. Aku cuci muka, kulihat mata kananku mulai kebiruan. Seorang banci menegurku heran, lalu dengan kemayu ia memberikan tisunya.
Salah satu bilik toilet kumasuki, dan diam di sana sambil menangis. Kepalaku pening sekali. Tiba-tiba kudengar bel empat nada, pengumuman dilantangkan, kereta dari Jakarta tujuan akhir Solo tiba di jalur empat. Ini berarti penumpangnya akan cepat turun, dan kereta segera berangkat lagi melanjutkan perjalanan ke stasiun akhir di kota tetangga. Aku mencoba mengingat-ingat jadwal kereta Pak Kasdi. Apakah dia yang ada di situ?
Aku keluar dari toilet. Anak usia belasan tahun yang jaga toilet menyumpah-nyumpah karena aku tak membayar uang kebersihan. Aku tak peduli, langsung berjalan ke jalur empat. Dari kejauhan, kereta mulai mendekat, lalu berhenti. Aku berjalan ke arah kepala gerbong. Kucari-cari wajah Pak Kasdi, apakah dia di sini? Sebuah suara menegurku dari belakang, ‘’Ning?’’ Aku kenal betul suara itu. Pak Kasdi! Aku menujunya sambil menangis. Dia menyuruhku untuk mengendalikan diri, lalu memeriksa bengkak di wajahku.
‘’Ikutlah denganku!’’ ujarnya. Aku ragu. Bel empat nada berbunyi lagi, pengumuman dilantangkan lagi, kereta di jalur empat segera diberangkatkan. ‘’Ayo!’’ ajaknya lekas-lekas. Aku makin bimbang, yang terbayang dalam benakku wajah Dono. Anak itu tadi masih tidur di rumah. Pak Kasdi memegangi tanganku, katanya lagi, ‘’Ayo!’’
Sedetik kemudian, kakiku sudah menjejak ke dalam gerbong. Kurasakan kereta bergerak. Samar dari kejauhan, kulihat Mas Jarno berjalan sempoyongan, tanpa daya memaksa kereta berhenti, dan Dono berjalan gontai di belakangnya sambil menangis. ***
*) Cerpenis dan novelis. Tinggal di Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar