Sabtu, 31 Januari 2009

SIHIR BAHASA INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Bahasa Melayu –yang kemudian menjadi bahasa Indonesia— sudah sejak lama mengandung dan mengundang sihir. Ia menyimpan kekuatan magis. Siapa pun yang berhubungan intim dengannya, bakal terjerat pesona. Menggaulinya laksana menggerayangi sesosok tubuh yang penuh misteri. Semakin mengenal selok-beloknya, semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Di situlah, bahasa Indonesia berfungsi sebagai saluran ekspresi. Ketika bahasa etnik mampat dan gagal menjadi alat komunikasi yang dapat dipahami etnik lain, ketika itulah bahasa Indonesia tampil sebagai pilihan.

Bagi siapa pun yang lahir dan dibesarkan dalam kultur etnik, bahasa Indonesia ibarat doa pengasihan yang mengerti hasrat kreatifnya. Ia membebaskan beban linguistik etnisitas, sekaligus juga membuka ruang penerimaan kultur dan bahasa lain, meski kemudian dipandang sebagai perilaku menyerap unsur asing atau daerah. Akulturasi seperti terjadi begitu saja, alamiah. Bahasa Indonesia menjelma produk budaya yang paling toleran, akomodatif, luwes—fleksibel, egaliter, demokratis, bahkan juga cenderung liberal. Itulah kekuatan magis bahasa Indonesia. Dari sanalah, ia memancarkan sihirnya.

Sejak kedatangan bangsa Portugis yang terpukau keindahan bahasa Melayu pada abad ke-14, tarik-menarik bahasa asing dan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan, selalu pemenangnya jatuh pada bahasa Melayu. Dalam Itinerario (1596), Linschoten, misionaris yang bergelandang ke pelosok Nusantara, membandingkan bahasa Melayu seperti bahasa Prancis bagi orang Belanda. “Pada akhir abad ke-16, bahasa Melayu telah demikian maju, sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan.” Dikatakan A. Teeuw (1994), “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”

Jauh sebelum itu, bahasa Melayu pernah begitu reputasional yang di Nusantara berhasil membangun peradaban lewat keagungan Hindu, Buddha, dan Islam. Jaringan diplomatik dengan pusat-pusat kebudayaan di India, Parsi, Tiongkok, dan negara-negara Eropa menempatkan bahasa Melayu begitu populis, sekaligus elitis. Berbagai prasasti, surat-surat emas, dan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan bukti-bukti itu.

Pesona bahasa Melayu terlanjur kokoh sebagai lingua franca dan alat masyarakat merepresentasikan keberaksaraan, bahkan juga keberbudayaannya. Maka, masuknya unsur bahasa etnik dan bahasa asing, bagi bahasa Melayu, seperti tabungan deposito yang berkembang bunga-berbunga. Bahasa-bahasa etnik di Nusantara dan bahasa asing itu, memberi sumbangan dan menambah kekayaan kosa kata bahasa Melayu.

Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (28 Oktober 1928), meski awalnya berbau keputusan politik, dalam perkembangannya, tak terelakkan menjadi ekspresi kultural. Begitu juga, penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo (1938), menunjukkan kedua aspek itu: kepada pemerintah kolonial, kongres itu sebagai gerakan politik, dan kepada masyarakat non-Melayu di Nusantara, sebagai gerakan kebudayaan. Maka, setelah Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang terus menggelinding itu adalah gerakan kultural. Sejak itulah, secara arbitrer bahasa Indonesia menyihir segenap etnis memasuki wilayah kultur keindonesiaan. Keberagaman para pemakainya seolah-olah tetap disimpan rapi dalam kotak etnik, dan perasaan kebangsaan dimanifestasikan lewat ekspresi bahasa Indonesia.
***

Usia bahasa Indonesia kini menjelang 10 windu. Rentang usia yang bagi manusia makin ringkih digerogoti kerentaan, kepikunan, dan serangan berbagai penyakit tua. Tetapi bahasa (Indonesia) adalah produk kebudayaan. Ia tak bakal mengalami kerentaan itu. Ia akan terus hidup selama tetap digunakan pemakainya dan tidak kehilangan pendukungnya. Bahasa Indonesia bergerak dinamis mengikuti zaman dan selalu akan menyesuaikan diri sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.

Kini bahasa Indonesia makin deras disusupi kosa kata bahasa Inggris. Apakah itu berarti telah terjadi pencemaran? Jika dianggap polusi, apakah akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang ekornya akan memudarkan sendi-sendi nasionalisme? Tentu saja tidak. Justru itulah manifestasi sihir bahasa Indonesia yang inklusif, terbuka, toleran, luwes, dan akomodatif. Jadi, sungguh tak senonoh jika ada pihak-pihak yang kelewat mencemaskan perjalanan hidup bahasa Indonesia, hanya lantaran rentetan kosa kata bahasa Inggris berloncatan di depan mata. Dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai polisi bahasa secara berlebihan akan berakibat pada terjadinya serangkaian pemasungan kreatif.

Sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Inggris, dialek bahkan juga idiolek, muncul di mana-mana. Kosa katanya merembes dan nongkrong seenaknya di antara kosa kata bahasa-bahasa negara lain, seolah-olah ia sudah menjadi warganegara sendiri. Kini, kosa kata bahasa Inggris secara laten diambil, diterima, dan digunakan tanpa ada rasa rikuh. Masuknya kosa kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga sudah terjadi sejak lama sejalan dengan penerimaan kosa kata bahasa asing lainnya. Maka, ketika ia diekspresikan sebagai bahasa Indonesia, seketika kita lupa pada asal-usulnya.

Perhatikan contoh kalimat ini: Menurut kalkulasi primbon Jawa dan perhitungan feng shui, kursi, meja, dan komputer itu, seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dapat menerobos masuk ruangan. Semua kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Prancis (komputer), Portugis (meja, jendela, kaca), Cina (feng shui), Arab (kursi), dan Sanskerta (tanpa, seyogianya). Jika masih tak yakin, cermati Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di sana kita akan menjumpai lebih dari separoh entri dalam kamus itu berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sihir bahasa Indonesia yang seenaknya menerima serapan dari berbagai bahasa, dan kita enteng saja mengungkapkannya tanpa dihantui kecemasan, tanpa merasa tercemar.
***

“Bahasa menunjukkan bangsa!” begitulah inklusivisme bahasa Indonesia merupakan representasi sikap bangsanya yang inklusif. Munculnya fenomena bahasa Indonenglish dalam iklan dan ruang-ruang publik, menunjukkan sikap pemakainya yang gemar memamah apa pun yang berbau asing, sekaligus juga sebagai manifestasi selera dan orientasi budayanya yang setengah matang.

Munculnya fenomena itu, patutlah disikapi secara bijaksana, tanpa harus menempatkan diri sebagai polisi bahasa yang ke mana pun selalu membawa pentungan dan peralatan antihuru-hara. Bukankah bahasa yang berkembang di masyarakat (awam) berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan dan kehidupan pers? Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai kodratnya, sesuai dengan dinamika masyarakat dan aturan mainnya sendiri. Biarkanlah bahasa Indonesia tetap memancarkan sihirnya, meski sihir itu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap kelas sosial.

*) Pengajar FIB-UI, Depok.

Keretamu Tak Berhenti Lama

Ratih Kumala
http://www.riaupos.com/

BEL itu berbunyi empat ketukan dengan nada yang membosankan. Seolah lonceng bubaran sekolah, penghuni stasiun serempak menjadi awas dengan pengumuman yang akan diworo-woro setelahnya. Aku tengah terkantuk-kantuk ketika bel itu menyentak, menyadarkanku dari lelap yang belum lengkap.

Pengumuman dikumandangkan bahwa kereta api dari Bandung tujuan Stasiun Malang tiba di jalur tiga. Bagi para penumpang yang telah membeli karcis tujuan ke Malang harap bersiap-siap sebab kereta api tak akan berhenti lama. Dalam pengumuman itu tak lupa diingatkan agar orang-orang menjauh dari jalur kuning yang telah ditandai. Area aman untuk berdiri di dekat jalur rel, agar tak tersambar kereta lewat. Para porter tentu saja tak mengacuhkan pengumuman untuk menjauh dari jalur kuning. Mereka menyambar pintu kereta dengan kelincahan kaki yang terlihat lihai. Meski kereta tak berhenti lama, ada sebagian orang yang turun di Stasiun Tugu, Jogjakarta, ada pula yang naik menuju ke Malang. Ini berarti ada saja orang yang butuh jasa angkat-angkat barang bawaan.

Aku mulai sibuk menjajakan dagangan kepada penumpang lewat jendela-jendela, berharap ada saja orang yang menyempatkan diri untuk sekadar membeli oleh-oleh. Karak, intip, bakpia, atau nasi pecel bungkus, semua tersedia. Wajah-wajah berminyak dan separuh ngantuk mengintip dari balik jendela kereta. Tak mungkin aku curi-curi naik ke dalam gerbong kereta, pramugara kereta eksekutif galak-galak. Mereka akan mengusirku jauh-jauh agar tak mengganggu kenyamanan penumpangnya.

Aku bergeser menuju ke kepala gerbong. Dan seperti dugaanku, ‘’Ning! Ning!’’ sebuah suara berat memanggilku. Dari arah kepala kereta. ‘’Ada bakpia?’’ tanyanya. Pak Kasdi, masinis kereta dengan perut agak buncit dan kumis yang enggan tumbuh sekaligus enggan dicukur.

‘’Ada,’’ kataku cepat-cepat ke arah Pak Kasdi. Beberapa teman pedagang yang juga menjual bakpia dan berdiam tak jauh dari Pak Kasdi langsung menyumpah serapah. Aku menerima uang dan menukarnya dengan sekotak bakpia.

‘’Kembaliannya buatmu saja!’’

Aku tersenyum. Aku sudah tahu, kok.

‘’Ayo, ikut!’’ ajak Pak Kasdi sambil menggodaku. Aku menggeleng. ‘’Bener, ndak mau ikut? Ayo! Naik kereta api...tut, tut, tut...,’’ goda Pak Kasdi lagi, kali ini sambil mendendangkan lagu anak-anak itu. Aku menggeleng lagi. Lalu pluit panjang disempritkan. Suara pengumuman terdengar lagi, kereta di jalur tiga segera diberangkatkan. Aku minggir, menjauh dari jalur kuning. Kupandangi kereta yang mulai bergerak, klakson kereta panjang dibunyikan. Aku tahu itu tanda ‘’sampai jumpa’’ untukku. Kulirik uang yang tadi diberi Pak Kasdi, selembar merah seratusribuan. Lumayan. Diam-diam dengan girang kusimpan uang itu di dalam beha.

Siang ini aku bisa memberi Dono, anakku, makan yang lebih enak. Mungkin dengan ayam bakar atau terik. Kugandeng bocah empat tahun itu menuju ke pangkalan becak. Becak suamiku ada di situ, tapi pengemudinya raib. Aku menoel seorang tukang becak yang sedang tidur di dalam becaknya sambil menutup mukanya dengan caping. Tukang becak itu terbangun sambil menyumpah-nyumpah sebab baru saja ia terlelap.

‘’Bojoku mana?’’

‘’Embuh!’’ jawabnya tak acuh, membuatku sebal. Tukang becak itu kembali meringkuk di kursi becaknya yang tak bisa dibilang nyaman. Toh ia tetap mencari posisi paling enak untuk sekadar istirahat.

Kulihat sekelompok tukang becak tak jauh dari situ sedang berkerumun sambil jongkok. Judi lagi, judi lagi! Aku benci bukan main dengan kebiasaan suamiku ini. Aku sudah menduga, pasti siang ini Mas Jarno tak bisa memberi kami uang untuk makan siang. Lelaki itu malah minta tambahan uang untuk bertaruh. Tentu saja kutolak mentah-mentah, kami cekcok sejenak. Lalu dipisah oleh seorang tukang becak di sana. Hutang setoran becak sudah menunggak tiga hari. Jika dituruti terus berjudi, kami benar-benar akan puasa. Biar! Kugendong Dono. Sambil jalan keluar, aku memegang-megang pangkal dada kiriku, kurasakan uang dari Pak Kasdi masih terselip di situ.

***
Sejak pertama aku mengenal Jarno, ia adalah lelaki kampung yang suka bergaya meski tukang becak. Ia menyediakan dana untuk membeli gel rambut, selain pakai kemeja dan kacamata hitam lengkap dengan sepatu kets bututnya. Aku merasa geli melihatnya ketika itu. Ketika aku memasuki 22 tahun, bapak dan ibuku mulai cerewet, menanyakan kapan aku akan menikah. Aku sadar betul, dengan usia yang semakin bertambah, aku cenderung menjadi beban bagi mereka. Maka ketika Jarno, yang beda lima tahun usia, mengutarakan keinginan untuk melamar, aku memperbolehkan laki-laki itu datang berbicara pada orang tuaku.

Meski sebelum menikah kami dekat cukup lama —sekitar satu tahun— ternyata waktu segitu tak cukup bagiku untuk mengenalinya. Ketika kami mulai berrumah tangga, sedikit demi sedikit perangai aslinya mulai terlihat. Selain berjudi, aku kadang menemukannya pulang ke rumah sambil teler. Kalau sudah begini, ia tak segan main tangan dan menyisakan bilur-bilur di pipi dan badanku. Aku ingin pulang ke rumah orang tua, tapi malu. Mau lari, lari ke mana? Tak ada tempat berlindung bagiku. Hingga pada suatu pagi buta, jam tiga pagi, ketika Jarno telah tiga hari tak pulang dan aku terus menunggunya di stasiun, ketika itulah kereta dari Jakarta tiba.

Aku tak akan melupakannya; Dono tidur meringkuk di bangku tunggu dengan jarit menutupi tubuh kecil anakku. Pluit panjang melengking dingin, melafalkan subuh yang tak bisa dibilang hangat. Aku terkantuk-kantuk ketika sebuah suara menegurku. Sosok berperut buncit berdiri di depanku. Pak Kasdi yang baru turun dari kereta membeli sebungkus nasi, meski kubilang itu bukan nasi baru, melainkan nasi kemarin sore. Sudah sekitar dua tahun aku mengenalnya. Ia kerap jajan daganganku.

‘’Biarin, saya lapar,’’ ujarnya waktu itu. Ia langsung memakannya dengan lahap, juga mengambil air botol untuk minum. Aku beramah-tamah sekenanya. Laki-laki ini kerap kulihat di stasiun, bolak-balik, turun-naik kereta.

‘’Pasti enak ya, naik kereta api bagus tiap hari,’’ komentarku.

‘’Kalau jadi penumpang enak, jadi masinis sih kerja!’’

‘’Aku belum pernah naik kereta api eksekutif.’’

‘’Sekali-kali naiklah!’’

‘’Duit dari mana?’’ aku mencibir.

Lalu ujarnya, ‘’Naik kereta kalau aku jadi masinisnya, nanti kugratisi!’’ Aku tertawa kecil mendengar perkataan Pak Kasdi.

‘’Berapa?’’ tanyanya selesai makan.

‘’Tujuh ribu lima ratus, Pak.’’

Pak Kasdi mengeluarkan selembar sepuluh ribuan, ‘’Nih, kembaliannya buat jajan anakmu.’’ Aku kesenangan. Pak Kasdi menusuk-nusuk giginya dengan batang korek api. ‘’Kamu kok ndak pulang, Ning? Kasihan anakmu tidur di sini.’’

‘’Ngejar setoran, Pak!’’ jawabku.

‘’Lah... setoran biar bojomu saja yang nyari toh!’’

‘’Ya dua-duanya yang nyari setoran, Pak. Kalau cuma satu, bisa-bisa puasa. Wong dua orang saja masih lapar!’’ lalu aku terkekeh, terbiasa membicarakan perut kosong dengan kelakar. Pak Kasdi memandang sambil diam, ia tak tertawa sama sekali. Jelas ia tak menganggap leluconku lucu. Aku tak akan pernah lupa rasa salah tingkahku waktu itu. Tak pernah aku merasa rikuh sebegitu rupa.

‘’Ning, biar anakmu tidur di mess-ku saja ya!’’ ujar Pak Kasdi. Lelaki itu langsung mengangkat Dono tanpa menunggu persetujuanku. Tentu saja ini membuatku panik. Aku memohon untuk tidak membawa Dono, tapi Pak Kasdi bersikeras. Cepat-cepat kuminta temanku untuk mengawasi barang daganganku.

‘’Oalah Ning, Ning!’’ keluh temanku, ‘’kalau bojomu datang nyari kamu gimana?’’ Aku tak menjawabnya, mengikuti langkah Pak Kasdi dengan terburu-buru menuju mess yang letaknya tak jauh dari stasiun.

Lelaki itu merebahkan Dono di kasur. Ini kali pertama aku masuk ke mess pegawai kereta api. Sekali lagi kucoba membujuk Pak Kasdi untuk membawa Dono pergi, tapi laki-laki itu tak membiarkannya.

Pak Kasdi dengan santai melepas seragamnya, menggantungnya di pintu dan berganti kaos berkerah yang lecek tak diseterika. Aku hanya diam, memperhatikan ruangan asing dan anakku yang lelap sambil sekali-kali mencuri pandang pada Pak Kasdi.

‘’Bojomu jam segini di mana, Ning?’’

‘’Paling mangkal di sekitar terminal. Kan gini hari banyak yang pakai becak di sana ketimbang di stasiun,’’ jawabku, dalam hati aku bilang; sudah tiga hari dia tak pulang.

‘’Nganter lonte, maksudmu?’’

Aku diam saja. Semua orang juga tahu bahwa tukang becak itu kerja sampingannya jadi mak comblang antara lonte, tamu, dan pemilik penginapan jam-jaman. Upahnya lebih besar ketimbang mengantar penumpang
biasa, dan kalau beruntung bisa dapat ‘’jatah’’ seorang lonte. Entah gratisan dari tamu atau dari lontenya sendiri.

‘’Kamu ndak kasihan lihat anakmu toh, Ning?’’ tanya Pak Kasdi lagi, ia mengelus kepala Dono.

‘’Ya kasihan,’’ jawabku singkat, tapi mau gimana lagi, lanjut kalimatku dalam hati.

Kami diam, Pak Kasdi memandangiku. Aku seraya berdebar-debar. Tiba-tiba tangan Pak Kasdi mendekat ke rambutku dan membetulkan helai rambut yang jatuh di pipiku. Diselipkannya ke balik telinga kananku, membuatku semakin berdebar-debar.

‘’Ning...,’’ ujar Pak Kasdi lirih. Aku bisa mencium aroma tubuh laki-laki itu. Masam dan panas. Dua detik kemudian pipiku terasa geli sebab kumis jarang-jarang Pak Kasdi telah mendarat di situ. Bulu kudukku berdiri. Aku tak beranjak. Aneh, aku merasa nyaman. ‘’Ning...,’’ bisik Pak Kasdi lagi. Lelaki itu semakin berani, kali ini mencium bibirku. Aku mengira, Pak Kasdi akan merambah tubuhku, tapi dugaanku salah. Sebab Pak Kasdi kemudian hanya memandangi wajahku hingga dari luar terdengar suara ayam jantan berkokok dan samar hari yang hitam berubah jadi terang.

‘’Saya harus pergi, Pak.’’

Pak Kasdi jeda sejenak, lalu jawabnya, ‘’Ya.’’

Aku menggendong Dono keluar mess, jalan menuju stasiun.

***
Empat hari lewat, aku masih belum percaya dengan kejadian itu. Dan, setiap ingatan itu lewat, setiap kali pula jantungku berdebar kencang. Lebih dari itu, jika aku menutup mata, masih bisa kuingat dengan jelas aroma tubuh, ruangan asing, dan kulit bibir serta kumis tipis Pak Kasdi yang menempel di wajah.
Setiap kali Pak Kasdi datang, aku tahu laki-laki itu pasti akan menemuiku meski sejenak, meski kereta hanya berhenti sejenak. Aku jadi rajin menanyakan jadwal perjalanan yang ditempuh Pak Kasdi.

***

Entah siapa yang memulai, yang pasti para pedagang di stasiun dan tukang-tukang becak mulai kasak-kusuk dengan gosip aku pacaran lagi. Aku tak merasa pacaran lagi, tak pernah ada kejadian intim apa-apa setelah insiden di mess tempo lalu. Paling-paling, Pak Kasdi hanya mampir beli sesuatu dengan tidak mau diberi kembalian. Itu saja. Lebih dari itu, kami hanya mengobrol, tak pernah janjian di mana-mana. Awalnya, aku tak terlalu ambil pusing, meski aku tetap berbicara pada Pak Kasdi mengenai gosip-gosip itu.

‘’Ning, ikutlah denganku,’’ ujar Pak Kasdi lembut. Aku menatap Pak Kasdi, lalu menggeleng ragu. ‘’Anakmu ajak saja. Aku nanti yang merawat kamu.’’
‘’Pergi?’’
‘’Iya, pergi sama aku. Aku, cinta sama kamu, Ning,’’ ucapnya ragu.
‘’Cinta?’’
‘’Cinta,’’ tegasnya.

Ah, tak mungkin. Tak mungkin! Aku mengelak berkali-kali dalam hati. Dia punya istri. Entah di kota mana, yang pasti di salah satu kota yang dilewati keretanya. Jika aku nekad, naik ke dalam keretanya ketika kereta itu berhenti sejenak, dengan berpura-pura menawarkan dagangan, tentu tak akan ada orang yang sadar. Tahu-tahu aku hilang begitu saja. Meski mungkin akan ada yang curiga dan bisa menduga bahwa aku pergi dengan Pak Kasdi. Jadi, tak mungkin, tak mungkin!

***
Jarno pulang, sambil mabuk (lagi). Ujarnya, ibu warung bilang aku membayar dengan uang seratus ribuan. Padahal aku tak pernah memegang uang seratus ribuan. Omongannya meracau, dan sampailah pada gosip hubunganku dengan Pak Kasdi. Ia menyumpah-nyumpah; membandingkan dirinya yang sopir becak dengan masinis kereta api, mengatai-ngataiku. Dia bilang seharusnya aku berterima kasih kepadanya yang sudah mengawiniku, karena tak ada laki-laki yang mau padaku selain dirinya.

Aku geram, sambil ketakutan aku berkata dengan nada tinggi, ‘’Kamu pikir aku tidak tahu, kamu sering ngelonte di terminal sana?!’’

‘’Heh, aku ini tukang becak, patut kalau ngelonte. Kamu itu ayu juga enggak, sok ngelonte sama masinis!’’ balas Jarno.

Aku kalap, berteriak keras, ‘’AKU BUKAN LONTE...!’’ sambil menyerang lelaki itu. Lalu dengan kekuatan orang mabuk, Jarno memukulku keras. Aku tersungkur, tapi langsung bangkit lagi. Rahangku sakit tapi aku tak terima perlakuan kasarnya. Dengan cepat aku meraih pintu depan, keluar, lalu berlari sekencang-kecangnya. Ketika itu jam dua pagi, beberapa orang terbangun dan terlihat heran, berdiri di depan pintu rumah petak kami.

Aku terus berlari menuju stasiun. Pak penjaga pintu masuk kerkantuk-kantuk. Aku tahu, Jarno mencoba mengejarku, dan orang-orang mencoba menghentikannya. Ia mabuk dan kalap, semua orang tahu ia berbahaya. Ia tak terlihat di belakangku. Kakiku perih, kelihatannya berdarah, entah tadi aku menginjak beling atau kerikil tajam. Aku terus menuju ke toilet perempuan. Aku cuci muka, kulihat mata kananku mulai kebiruan. Seorang banci menegurku heran, lalu dengan kemayu ia memberikan tisunya.

Salah satu bilik toilet kumasuki, dan diam di sana sambil menangis. Kepalaku pening sekali. Tiba-tiba kudengar bel empat nada, pengumuman dilantangkan, kereta dari Jakarta tujuan akhir Solo tiba di jalur empat. Ini berarti penumpangnya akan cepat turun, dan kereta segera berangkat lagi melanjutkan perjalanan ke stasiun akhir di kota tetangga. Aku mencoba mengingat-ingat jadwal kereta Pak Kasdi. Apakah dia yang ada di situ?

Aku keluar dari toilet. Anak usia belasan tahun yang jaga toilet menyumpah-nyumpah karena aku tak membayar uang kebersihan. Aku tak peduli, langsung berjalan ke jalur empat. Dari kejauhan, kereta mulai mendekat, lalu berhenti. Aku berjalan ke arah kepala gerbong. Kucari-cari wajah Pak Kasdi, apakah dia di sini? Sebuah suara menegurku dari belakang, ‘’Ning?’’ Aku kenal betul suara itu. Pak Kasdi! Aku menujunya sambil menangis. Dia menyuruhku untuk mengendalikan diri, lalu memeriksa bengkak di wajahku.

‘’Ikutlah denganku!’’ ujarnya. Aku ragu. Bel empat nada berbunyi lagi, pengumuman dilantangkan lagi, kereta di jalur empat segera diberangkatkan. ‘’Ayo!’’ ajaknya lekas-lekas. Aku makin bimbang, yang terbayang dalam benakku wajah Dono. Anak itu tadi masih tidur di rumah. Pak Kasdi memegangi tanganku, katanya lagi, ‘’Ayo!’’

Sedetik kemudian, kakiku sudah menjejak ke dalam gerbong. Kurasakan kereta bergerak. Samar dari kejauhan, kulihat Mas Jarno berjalan sempoyongan, tanpa daya memaksa kereta berhenti, dan Dono berjalan gontai di belakangnya sambil menangis. ***

*) Cerpenis dan novelis. Tinggal di Jakarta.

Jumat, 30 Januari 2009

Snack Estetis dan Gizi untuk Mengisi Diri

Yang Tergantung Pada Amanat...

Nyoman Tusthi Eddy
http://www.balipost.co.id/

KETIKA saya menjelaskan makna dan fungsi amanat dalam karya sastra, seorang siswa bertanya, ''Kalau karya sastra tidak punya amanat berarti tidak berguna bagi kehidupan. Jadi apa gunanya dibaca?'' Ini sebuah pertanyaan kritis, meskipun menunjukkan si penanya belum memahami fungsi sastra; sehingga ia tergantung pada amanat.

Sastra memiliki dua fungsi yaitu fungsi individual dan fungsi sosial. Fungsi ini tidak menunjukkan mutu sastra itu. Mutu sastra yang diukur dari fungsinya hanyalah pernyataan yang bersifat mengukuhkan fungsinya.

Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengatakan karya-karya prosa Putu Wijaya hanyalah kegilaan estetik. Pernyataannya ini menandakan Sutan Takdir Alisyahbana juga tergantung pada amanat. Ia secara konsisten menempatkan sastra sebagai alat pembentuk budaya bangsa. Dengan demikian sastra yang bermutu adalah sastra yang memiliki fungsi sosial dan amanat yang jelas.

Apa pun fungsi sastra, keberadaan sastra tetap berguna bagi kemanusiaan. Ini berarti tidak ada karya sastra tanpa guna. Perubahan nilai-nilai zaman akan mengubah atau menggeser fungsi sastra.

Jauh di masa lalu puisi berfungsi sebagai media ekspresi individual di bidang magis. Kemudian berkembang menjadi media nyanyian keagamaan. Perubahan fungsi ini disertai oleh perubahan prosodinya.

Dewasa ini fungsi puisi sudah sangat kompleks. Masalah pun timbul, karena timbul kelompok-kelompok yang tergantung pada salah satu fungsinya, dan tidak menghargai fungsi yang lain. Kalau di masa lalu puisi magis merupakan bagian integeral dari kehidupan pencipta dan masyarakatnya, kini tidak semua lapisan masyarakat bisa menerima puisi kontemporer, apa lagi puisi kontemporer yang surealis.

Tidak saja puisi, seluruh karya sastra mengalami perkembangan seperti itu. Perkembangan ini melahirkan sastra konvensional dan nonkonvensional. Sastra nonkonvensional yang bercirikan membuang konvensi yang telah ada, sudah telanjur dianggap sastra yang ''mengada-ada'', dan tidak memiliki fungsi jelas. Padahal tidak semua sastra nonkonvensional bersifat demikian.

Pada puncak perkembangannya lahirlah sastra yang beramanat dan sastra yang tidak beramanat. Sastra beramanat memiliki fungsi individual dan sosial yang jelas; sedangkan sastra tak beramanat hanya memiliki fungsi individual. Tetapi perbedaan fungsi ini tidak menjadi ukuran untuk membedakan mutu.

Kedua jenis sastra itu punya wilayah dan nilai masing-masing. Hal ini tergantung pada kebutuhan penikmat, kebutuhan masyarakat, dan lembaga tempat karya sastra itu diciptakan.

Sastra yang tidak beramanat tidak memiliki fungsi sosial. Tapi paling sedikit keberadaannya telah memberikan peluang kepada seseorang (pengarang/sastrawan) untuk mengekspresikan dirinya dan menanggapi lingkungannya. Fungsi lain diserahkan sepenuhnya kepada interpretasi pembaca.

Maka jawaban pertanyaan tadi adalah: Sastra yang tidak beramanat tetap ada gunanya dibaca. Paling sedikit kita memperoleh kesan dan pengalaman dalam memahami cara seorang sastrawan berekspresi dan menanggapi lingkungannya. Membaca karya sastra tidak hanya mengisi diri dengan ''gizi'' budaya, tetapi juga perlu menyantap ''snack'' estetis.

Sastra Peter Pan

Beni Setia
http://www.suarakarya-online.com/

NOVEL Budi Darma, Olenka, meninggalkan kesan mendalam pada kerja kepengarangan banyak sastrawan. Setidaknya dari kehadiran catatan interteks, dalam ujud catatan kaki rujukan referensial, yang cermat diusahakan oleh pengarang. Yang dihadirkan untuk menunjukkan semua kejadian, peristiwa dan kilasan batin yang dialami tokoh [Fanton Drummond] dalam novel itu bukan fantasi kosong tanpa asal, dan sebab - yang dibuktikan oleh pembenaran referensial teks lain.

Segala - tak hanya: sebagian besar - rekaan yang fix jadi bagian dari pengalaman hidup sang tokoh [Fanton Drummond] sesungguhnya diawali dan dipicu oleh peristiwa, pengalaman dan bacaan pengarang. Meski dengan tegas -tersirat - Budi Darma membedakan dirinya dari Fanton Drummond, yang diandaikan dan diutuhkan dengan empati, fantasi, pengalaman dan sugesti fakta teks [yang ada di dalam tahap tak-sadar atau bawah-sadar] di luar Olenka.

Manusia rekaan Fanton Drummond itu ada konteksnya, Amerika. Alienasi diri di tahapan pseudo-transendental Fanton Drummond itu ada latar belakang sejarah-nya, sastra Inggris. Tokoh-tokoh dalam novel Olenka itu punya konteks, Amerika. Wawasan moralitas dan anutan sistim nilai tokoh-tokoh novel Olenka itu ada rujukannya, sastra Inggris. Dan karenanya Budi Darma, ketika menulis novel Olenka dan menjalinkan Fanton Drummond dengan tokoh-tokoh dalam novel itu berdasar kon-teks dan rujukan sosiologis Amerika - dan sastra Inggris.

Karenanya, ketika membaca novel itu, kita harus melengkapi diri dengan referensi Amerika dan sastra Inggris, supaya bisa menemukan kecocokan dan nyaman [klop] dengan makna yang sedang diusung penulis dan ditarget menjelma dan hadir dalam kesadaran kita - sebagai pembaca yang wawasannya sangat Indonesiawi. Bila tidak, kita harus melakukan pencerapan fenemologis, dengan menekan impuls tafsir dan sikap kritis ketika mengidentikkan diri sebagai Fanton Drummmod.

Jadi seorang Cecep Syamsul Hari yang kritis melakukan validisasi - seperti yang diperlihatkannya dengan catatan kaki tambahan bagi penggalan Olenka, dalam antologi Dari Fansuri ke Handajani, misalnya. Sehingga kita, sebagai pembaca, menemukan dua orang pinter sedang mempertontonkan wawasan dan referensi sundul langit.

Di titik ini: Apa membaca harus begitu penuh persiapan? Tidak bisakah kita membaca dengan gairah penggila bacaan menyimak buku hiburan, yang tranced karena bisa membaca paling dulu dan secepatnya agar bisa membaca ulang meneliti detil-detilnya?

* * *

SEBELUM menjawab pertanyaan itu saya harus mengakui dua hal. Pertama, gaya kepenulisan Budi Darma itu manifestasi dari pencapaian intelektualisme. Yang bermula dari kegemaran membaca dan kemampuan untuk menjumlahkan aneka bacaan sebanyak mungkin di satu sisi, dan bagaimana informasi itu disusunnya secara sistimatis dan metodologis sehingga melahirkan penguasaan tingkat tinggi yang diakui secara akademik di sisi lainnya. Sangat sempurna.

Dan kesempurnaan itu menghasilkan jarak dengan orang sekitarnya, yang cuma membaca buku sekedar dan dengan perbendaharaan yang terbatas - terlebih dengan orang yang tidak sempat membaca, atau tak suka membaca karena terlanjur gemar mengumbar syahwat atau berdakwah. Kesadaran itu yang menyebabkan Budi Darma menulis catatan kaki pada bagian akhir novel Olenka, sebagai manifestasi dari keinginan menerangkan, agar banyak hal bisa dimengerti orang banyak. Hampir sejajar dengan catatan kaki dalam Pengakuan Pariyem Linus Suryadi AG, misalnya.

Fenomena itu mengingatkan saya pada serial kartun "Hi and Lois" di Femina dekade 70-an - ibu saya, seorang penjahit, berlangganan karena di majalah itu ada rubrik mode yang disukai kelas menengah pinggiran.

Dalam satu episode, si kembar perempuan Dot melukis, yang dibanggakannya sebagai lukisan "naga ngamuk sampai pemadam kebakaran pontang panting mematikan api". Yang saat diapresiasi si kembar lelaki Dito dianggap rubbish, sebab lukisan itu tak merepresentasikan naga, api dan mobil pemadam kebakaran. Tapi diiyakannya karena Dot berceloteh sambil membawa tongkat.

Dan Olenka Budi Darma terkadang hadir sebagai bacaan menarik dengan banyak keinginan yang diucapkan tanpa sungkan - sambil membawa tongkat akademisi dan indek bibliografi rujukan. Memang bagi saya tak terlalu mengancam, karena saya merupakan bagian dari kesusastraan Indonesia, yang ingin menjadi bagian sastra dunia dan karenanya merujuk ke kekayaan khazanah sastra dunia. Tapi pasti menakutkan bagi seseorang di kota kecamatan pedalaman Jawa, yang selama hidup hanya sempat membaca ringkasan novel dan menghapal periode sastra Indonesia.

Dan lebih mengerikan dan menakutkan lagi ketika kita membaca teks rekaan ruwet tanpa bantuan kata pengantar dan kelengkapan catatan kaki. model Olenka. Inilah - baca: lingkup sosial yang referensi sastranya terbatas - yang dijadikan sebagai pokok pertimbangan kedua. Yang mengingatkan saya pada esei pendek Budi Darma di Horison atau Kompas, yang menggugat situasi kelesuan apresiasi sastra di dekade 70-an, dengan semacam retorika: apa kita membutuhkan sastra media, sebagai media transisi ke sastra serius?

* * *

JAWABANNYA sudah jelas: Budi Darma menulis Orang-orang Bloomington dan Olenka, yang dengan sadar dan sengaja dilengkapi keterangan asal-usul. Tapi ada sastrawan terperangkap dalam atmosfir lain ketika cerpen dan artikel karyanya muncul di koran, dan apresiator tanpa rasa salah dan sungkan menelepon buat sekedar mendapat kepastian tentang apa yang ingin ditulisnya, kenapa harus dibegitukan dan apa tidak sebaiknya begini saja, dan seterusnya dan sebagainya. Sebuah pergulatan pemaknaan banyak orang lain yang menyebabkan si sastrawan harus meninjau seluruh pola dan metoda kreativitas kesastrawanannya. Apa harus mempedulikan atau tak mempedulikan mereka? Apa harus menetapkan karya konsepsional obyektif sebagai target ideal berolah kreasi dan menghasilkan karya yang mendekati tuntutan ideal mudah diapresiasi? Mempedulikan tepuk tangan banyak orang yang terbiasa berselancar membaca di seperempat jam sambil menunggu angkutan atau kopi mendingin di pagi hari? Atau ...?

Kondisi-kondisi yang membuat sastrawan harus memeriksa apa motivasi dan tujuannya bekesusastraan. Yang jawabannya tak bisa ditemukan dalam sekali tepuk dan diberlakukan seumur hidup. Setiap saat sastrawan harus bergulat dan ditarik ke sana di jam ini, lalu ditarik ke sini pada jam berikutnya, dan berubah lagi di jam berikutnya. Serba tak pasti yang menjanjikan ketakpastian sebagai sebuah dinamika perubahan. Dan bersamanya sastrawan menulis berdasarkan suasana dan melahirkan karya yang situasional meski - setelah jadi - tetap diperiksa dengan konsepsi karya ideal yang situasional tergantungt trend sastra kontemporer kini.

Tapi itu terkadang menunjukkan tidak adanya prinsip, tak dicapainya tahapan matang dari orang yang tak tumbuh mau dewasa - sindroma Peter Pan. Semacam involusi intelektual karena keterbatasan bacaan dan pengalaman - mungkin! ***

Udo Z. Karzi; Pembuka Ruang Gelap!

N Teguh Prasetyo
http://www.lampungpost.com/

Terbukanya sebuah ruang yang selama ini gelap dan tertutup tak terjamah merupakan satu pesan yang amat sangat terasa saat dilakukannya peluncuran buku Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi yang dibarengi diskusi tentang bahasa Lampung yang digelar Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Senin (3-3) yang lalu.

Mengapa pesan tersebut amat terasa? Tentu saja, pertama, disebabkan selama ini bahasa Lampung dapat diibaratkan bagai katak dalam tempurung. Sebab, sebagai bahasa daerah, bahasa Lampung amat sangat terbatas penggunaannya. Bahkan masyarakat asli Lampung sendiri sepertinya sangat enggan menggunakan bahasa itu dalam melakukan komunikasi kesehariannya.

Ini terlihat pada masyarakat Lampung yang tinggal di daerah perkotaan. Selama ini, mereka hanya menggunakan bahasa Lampung pada kalangannya sendiri. Misalnya, pada anggota keluarga ataupun pada saat ada pertemuan atau acara perkumpulan masyarakat Lampung. Sedangkan pada kegiatan lain, terutama yang digelar di ranah publik, bahasa Lampung ditinggalkan oleh pemiliknya. Entah dikarenakan adanya perasaan malu menggunakan bahasa Lampung atau dikarenakan sebab lainnya. Sehingga akhirnya perkembangan bahasa Lampung sangat terbatas atau malahan bisa dikatakan tidak berkembang dan mengalami kemunduran.

Dampaknya yang amat terasa adalah sangat minimnya masyarakat pendatang, yang menjadi mayoritas penduduk Lampung, yang bisa mengerti dan bisa menggunakan bahasa Lampung dalam kesehariannya. Padahal di daerah lain, setiap pendatang secara otomatis akan mempelajari bahasa daerah tempat tinggalnya yang baru. Sehingga akhirnya, bahasa daerah akan tetap terjaga dan lestari, karena selalu digunakan dalam bahasa kesehariannya.

Walaupun alasan adanya keengganan masyarakat pendatang untuk mempelajari bahasa Lampung, bisa menjadi alasan lainnya yang melatarbelakangi. Karena kemungkinan masyarakat pendatang merasa bahwa mereka tidak memperoleh kemanfaatan dengan mempelajari bahasa Lampung. Misalnya saja dari motif ekonomi yang termudah, bila mempelajari bahasa Lampung, akan mendapatkan harga murah di pasar karena mayoritas pedagang menggunakan bahasa Lampung dalam bertransaksi.

Ataupun faktor keselamatan, ketika misalnya dengan menggunakan bahasa Lampung, akan selamat saat berada di terminal ataupun tempat lainnya. Sehingga ada alasan atau motif lain yang melatarbelakangi seseorang mempelajari bahasa Lampung. Itu juga yang dikemukakan Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka pada diskusi tersebut.

Sehingga akhirnya, bahasa Lampung tidak menarik untuk dipelajari para pendatang. Tidak salah bila kemudian anak-anak dan remaja di Lampung lebih tertarik mempelajari bahasa Inggris.

Sedangkan penggiat seni tradisi Lampung, Sutan Purnama, mengemukakan bahwa yang bisa jadi menyebabkan bahasa Lampung berada dalam tempurung adalah dikarenakan adanya perbedaan dialek antarmasyarakat Lampung sendiri. Ada Pesisir, Abung, Menggala, Pubian, dan lainnya yang dari pengucapan hingga penulisannya berbeda. Ini yang menurut Sutan menjadi salah satu penyebab bahasa Lampung tidak berkembang.

Namun, ketika peluncuran buku Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi tersebut, ada suatu yang terkuak. Tiba-tiba semuanya mencoba berkomunikasi menggunakan bahasa Lampung, lewat puisi-puisi yang terdapat dalam buku tersebut. Para penyair, guru, birokrat, semuanya mencoba melafalkan puisi Udo yang kesemuanya menggunakan bahasa Lampung. Sehingga ada sebuah ruang yang kini mulai terbuka.

Dan selain itu juga, alasan kedua bahasa Lampung sudah membuka ruang yang lebih luas lagi, yakni mencoba menjamah dunia nasional dengan munculnya buku puisi berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi tersebut. Sehingga ini semakin membuka ruang bagi masyarakat luas untuk bisa mengapresiasi dan mempelajari bahasa Lampung. Tidak hanya mereka yang tinggal di Lampung saja, tapi siapa saja.

Apalagi buku yang diterbitkan Penerbit Matakata dan BE Press Bandar Lampung tahun 2007 ini berhasil memenangkan penghargaan budaya Rancage tahun 2008. Tentu saja ini menjadi sebuah prestise yang sangat membanggakan dan patut mendapat apresiasi seluruh masyarakat Lampung. Sebab, Yayasan Kebudayaan Rancage pimpinan sastrawan Ajip Rosidi ini biasanya memberikan penghargaan pada karya sastra yang berasal dari Sunda, Jawa, dan Bali saja.

Irfan Anshori, salah seorang Dewan Juri Rancage Award 2008, yang juga Ketua Pusat Studi Kebudayaan Sunda, mengemukakan, "Ini pertama sekali Rancage Award diberikan untuk karya sastra berbahasa daerah dari luar Pulau Jawa. Sudah sepuluh kali Rancage Award diberikan kepada karya sastra berbahasa daerah, baru kali ini penghargaan itu diberikan kepada sastra berbahasa Lampung."

Dia mengatakan ada dua buku berbahasa Lampung yang ditulis Udo Z. Karzi dan diikutsertakan dalam penilaian Rancage Award. Tapi, penghargaan yang diberikan setiap tahun untuk karya sastra berbahasa daerah itu akhirnya jatuh ke Mak Dawah Mak Dibingi. "Kami berharap hadiah ini menjadi pemicu bagi pelestarian bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya. Semoga menjadi pemicu penerbitan buku-buku sastra berbahasa Lampung," kata Irfan.

Menurut dia, Yayasan Kebudayaan Rancage pimpinan sastrawan Ajip Rosidi sudah sejak lama mengamati perkembangan karya sastra berbahasa daerah yang ada di luar Pulau Jawa. Tapi, ternyata perkembangan karya sastra berbahasa Lampung lebih semarak dibandingkan daerah lainnya. "Begitu kami menemukan buku berbahasa daerah Lampung, kami menghubungi penerbitnya. Mereka respek dan mengirimkan buku Udo Z. Karzi serta menyanggupi akan menerbitkan buku berbahasa Lampung secara kontinu." Sementara Direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) Budi Hutasuhut yang menerbitkan buku Mak Dawah Mak Dibingi mengemukakan pihaknya akan mencoba terus menerbitkan buku sejenis terutama yang menggunakan bahasa Lampung. "Buku itu diterbitkan dalam rangka memopulerkan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan masyarakat. Kami berharap pemerintah daerah bisa menjadikan buku ini sebagai bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal."

Budi mengatakan Yayasan SKL yang mengelola Penerbit MataKata sudah mempersiapkan beberapa naskah buku berbahasa Lampung untuk diterbitkan sebagai buku. "Kegiatan ini tidak ada kaitannya dengan mengharapkan Rancage Award, tetapi sudah bagian dari program pelestarian nilai budaya lokal yang digalakkan Yayasan SKL sejak 2004," kata dia.

Buku-buku yang akan diterbitkan itu berupa, kumpulan sastra lisan dari lingkungan masyarakat Saibatin di kawasan Semong, Wonosobo, Tanggamus. Selain itu, buku-buku sejarah kebudayaan Lampung hasil penelitian Yayasan SKL bersama beberapa lembaga nirlaba dalam dan luar negeri. "Kami sudah mempersiapkan buku sejarah Penyuimbang dalam bahasa Indonesia yang dapat menjelaskan posisi ke-penyuimbang-an selaku penganut trah kebangsawanan dalam antropologi masyarakat Lampung," kata dia.

Dan bila akhirnya keinginan tersebut bisa terealisasikan, bisa dipastikan akan mulai banyak bermunculan buku-buku yang dikeluarkan menggunakan bahasa Lampung. Ini berarti bahasa Lampung akan semakin dikenal tidak hanya di daerahnya sendiri tapi juga menasional. Apalagi bila kemudian semakin banyak penerbit yang juga mulai turut menerbitkan karya-karya sastra berbahasa Lampung lainnya.

Sehingga ungkapan yang dikemukakan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Agus Sri Danardana, berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa bahasa Lampung akan punah pada kurun waktu 70 tahun yang akan datang, tidak akan terjadi. Terlebih lagi, menurut dia, sampai saat ini bahasa Lampung termasuk 13 bahasa daerah atau bahasa ibu yang jumlah penuturnya masih banyak di Indonesia di antaranya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Batak, Minang, Bali, dan bahasa daerah lainnya yang memiliki jumlah penduduk pribumi lebih dari 1,5 juta jiwa. "Tapi bila bahasa Lampung tidak dipelihara, prediksi tersebut akan benar-benar terjadi."

Dan Udo Z. Karzi yang merupakan pelopor lahirnya sastra Lampung modern sehingga diganjar hadiah sastra Rancage tahun 2008 diharapkan mampu merangsang para sastrawan Lampung lain menulis karya-karya sastra dalam bahasa ibunya: Lampung. Sehingga Lampung yang merupakan negerinya penyair ini, tidak hanya menyemarakan khazanah dunia sastra nasional dengan karya sastra modernnya, tapi juga kesusastraan tradisi dengan menggunakan bahasa Lampung. Semoga ruang gelap yang selama ini menyelimuti bahasa Lampung, bisa semakin terbuka dan terkuak.

Kamis, 29 Januari 2009

BUKU SEBAGAI BENTUK PERLAWANAN

Fariz al-Nizar
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Dalam nomenklatur filsafat ilmu, Jujun Suryasumantri memberikan ilustrasi menarik, sebuah ilustrasi unik tentang “segitiga cinta” yang disimbolkan oleh kebudayaan, ilmu dan tekhnologi di pihak lain, dalam uraiannya Jujun menjelaskan bahwa pada dasarnya segitiga yang melatarbelakangi simbiosis antara ketiganya adalah dikarenakan cakupan yang satu lebih luas dari yang lainnya, secara herarkis Jujun menyebutkan bahwa kebudayaan melahirkan ilmu dan ilmu pada gilirannya nanti anak beranak-pinak yang kelak di sebut dengan teknologi (Jujun Suryasumantri: 2004) tapi yang pelu dititik tekankan dalam tulisan kali ini adalah tentang kebudayaan yang erat kaitannya dengan karya sastra.

Karya sastra lazimnya karya-karya yang lain sering kali lahirnya dilatarbelakangi oleh satu peristiwa yang misalnya menimpa sang sastrawan, baik itu berupa pengalaman pribadi atau lainnya atau selain itu biasanya karya sastra sering terlahir dikaranakan lebih sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kebudayaan yang ada. Ambil contoh sang novelis legendaris Marah Rusli, dia mengarang novel monumental-setidaknya di mata orang pribumi- yang berjudul Siti Nurbaya adalah lebih dikarenakan sebagai bentuk perlawan terhadap sistem kebudayaan yang mengakar pada waktu itu yaitu budaya kawin paksa.

Dalam hal ini, karya sastra atau lebih spesifiknya buku dapat dijadikan media paling efektif untuk meng-counter hegemoni-hegemoni distorsi yang terjadi, contoh sebagaimana di atas, bisa dijadikan bahan rujukan atau bahkan bisa dijadikan sebagai representasi dari keberhasilan karya sastra -yang berbentuk buku lebih spesifiknya- dalam melawan tradisi-tradisi yang dirasa kurang memihak. Tradisi asal yang dipresentasikan melalui sosok Datuk Marinnggih yang tua Bangka, bopeng-bopeng dan buruk hati ditemukan atau dilawankan lebih tepatnya dengan sosok Syamsul Bachri yang tampan, gagah, terpelajar, penuh kobaran cinta asmara serta kesediaan untuk berkorban.

Dan pada akhirnya bisa ditebak, Pembacapun tersayat hatinya, merasa iba pada Syamsul Bachri yang dianiaya oleh tradisi sehingga tak urung dia harus patah hati, tapi yang menarik di sini adalah dikarenakan saking ibanya pembacapun seakan melupakan penghianatan Syamsul Bachri yang ikut penjajah dan memerangi kampungnya sendiri.(Agus R. Sarjono:1999).

Syamsul Bachri telah membius pembaca, sehingga secara emosional kita semua seakan-akan tak pernah mempedulikan penghianatannya, justru yang menjadi public enemy adalah Datuk Maringgih yang merupakan simbolisasi dari budaya lokal. Hamparan karya sastra yang dipenuhi dengan tema menghujat tradisi lewat representasi yang dekat dengan hati dan khazanah pengalaman kaum muda yaitu kawin paksa terbukti mampu membabat habis kebudayaan tersebut. Dan sampai sekarang kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hampir praktik-praktik kebudayaan semacam kawin paksa sudah tidak ditemukan lagi.

Contoh lain yang dianggap dan layak disebut sebagai fenomena karya sastra yang dibukukan adalah novel tetralogi yang di tulis oleh Andrea Hirata, sang novelis handal yang namanya dielu-elukan oleh banyak orang dikarenakan kepiawaiannya dalam merangkai kata-kata, beriamjinasi serta bermetafor ria. Bahkan Nicola Horner seorang jurnalis dari London tak segan-segan menyebutnya sebagai seniman kata-kata.

Novel pertama Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan sastra saja, melainkan lebih dari itu novel tersebut banyak dijadikan referensi ilmiah, atau bahkan banyak dijadikan sebagai bahan skripsi atau bahkan tesis. Sebagaiman yang disinggung dalam epilog tentang tetralogi Laskar Pelangi. Tak pelak karya sastra pada titik ini mampu menembus lebih jauh dari hanya sekedar sebagai karya sastra. (Andrea Hirata:2008).

Lebih jauh lagi, karya sastra -yang berbentuk buku tentunya- belakangan ini dirasa sangat sukses dalam menembus premis-premis sensitif atas pemahaman ajaran atau doktrin-doktrin agama. Dalam hal ini novel Ayat-Ayat Cinta tentunya dapat dijadikan sebagai representator atas keberhasilan tersebut, bisa kita lihat piawainya Habibirrahman El-Syirazi dalam membius ibu-ibu yang tadinya sangat anti dengan yang namanya poligami menjadi sangat setuju, setuju atau minimal mebuat mereka-mereka para ibu-ibu mau untuk berfikir lagi, poligami bukan hanya pemenuhan syahwat tapi lebih dari itu poligami adalah lebih kepada pengorbanan, ketulusan serta keihlasan begitu kira-kira yang ingin disampaikan oleh Kang Ibik (sapaan akrab Habiburrahman El-Syirazi).

Tak pelak lagi, mereka yang pada awalnya sangat menolak praktik poligami yang katanya tidak adil, merekapun akhirnya setikdaknya mau untuk membuka hati untuk berdiskusi berbicara dengan tenang hati mengenai poligami. Dalam hal ini apresiasi penuh bisa kita alamatkan pada para sastrawan-sastrawan yang dengan gigih melawan praktik-praktik tak sehat di negeri ini, karena menurut W.S Rendra hanya para jagoan saja yang mapu menerobos, melawan tatanan masyarakat semacam itu (W.S. Rendra: 1997).

Oleh karena itu setidaknya kita tentunya mengharapkan sastrawan-sastrawan kita untuk lebih gigih dan produktif untuk melawan kebudayaan-kebudayaan yang tak sehat sebagaimana di atas. Dan perlu diingat pada tulisan ini pembahasan kita lebih kita kerucutkan pada karya sastra yang berbentuk buku, jika kita mau melebarkan ke beberapa karya sastra yang lain mungkin sudah berapa banyak karya sastra yang menjadi lokomotif penentang praktik-praktik ketidakadilan mulai dari “puisi balsem”nyanya Gus Mus, “sarimin”nya Butet Kartaredjasa sampai dengan “gossip jalanan”nya Slank yang menggegerkan senayan semuanya adalah karya-karya yang membangkang praktik ketidak sehatan.

Perlawanan lewat tulisan telah terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perlawanan dalam bentuk yang lainnya, misalnya demontrasi bengak-bengok pinggir dalan, karena dalam tulisan ada sesuatu yang lain yang tidak pernah kita temukan pada bentuk perlawanan-perlawanan yang lainnya. Maka mari kita menulis sebagai bentuk perlawanan!

Senin, 26 Januari 2009

Rumah Kayu Bersendi Batu

Zelfeni Wimra
http://www.riaupos.com/

Sebelum Mak Mondolani memergokiku tengah bingung di depan rumah kayu bersendi batu itu, aku baru saja kembali menyisir lereng bukit bersama seseorang yang bila kukenang membuat sendi-sendi tulang di tubuhku dialiri arus ngilu. Seseorang sejak hari itu tak pernah mau lagi bertemu denganku.

Kali terakhir itu, ia menemuiku di pinggir sungai dekat batu-batu sebesar kerbau bergelimpangan. Deru riam yang berhamburan dari hulu membuat pendengaranku terganggu saat menyimak penjelasannya. Untung yang mesti aku pahami darinya bukan kata-kata, tapi isyarat lewat gerekan jari tangan dan getar bibir delimanya.

Mula-mula ia menyalamiku. Hangat tangannya masuk ke pori-poriku menyapa semacam rasa rindu karena sudah lebih dua tahun tidak bertemu. Setelah kami bersitatap dalam ragam rasa, ia menunjukku diiringi dengan gerakan seperti orang menulis. Aku paham. Ia menanyakan kabar kuliahku. Ia mengangguk-angguk senang ketika aku mengacungkan jempol.

Ia tentu juga tahu, kalau aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2 di kota. Meski ketika terakhir bertemu dengannya, air wajahnya menyiratkan beragam tanya. Tapi aku tidak bisa memberi penjelasan lebih
lanjut tentang betapa harga ijazah S1 semakin tidak berarti lagi. Beatapa orang-orang terus berpacu memburu sertifikasi. Sekalipun aku jelaskan padanya dan ia mengerti, aku yakin ia tak akan merespon dengan bahagia. Sebab untuk pandai menulis saja, ia hanya belajar dengan anak tetangga sebaya dengannya. Itu pun hingga kini hanya pandai menulis nama sendiri dan berhitung Kabataku.

Kami saling diam. Aku memandangi bulu di ibu jari kakiku yang meliuk diraba arus sungai. Sedangkan dia, menusuk-nusk batu besar yang didudukinya dengan ranting mati. Gerenek sungai terus mengecipak. Perhatianku tertuju pada udang-udang kecil yang menyuruk ke celah kerikil di dasar sungai berair jenih itu. Aku tersentak ketika ia mencubit lenganku. Sejurus kemudian kudengar lagi suara rungunya. Kali ini aku kewalahan mencari pengertian. Tangannya berkali-kali membentuk garis segi tiga dan formasi kubus. Tak henti-henti pula ia menunjuk-nunjuk ke barisan batang surian yang tumbuh mengelilingi kebun orang tuanya yang terletak tidak jauh dari sungai itu. Selain surian, kebun tersebut juga ditumbuhi banio dan mahoni.

“Maaf. Aku tidak mengerti maksudmu,” aku menggeleng-geleng sambil mempertemukan kedua telapak tanganku di dada dan sedikit membungkuk padanya.

“Kita pulang saja,” ajakku sambil menunjuk jalan menuju perkampungan. Aku berharap, setibanya di rumah ada orang yang bisa membantu memberi penjelsan dari apa yang ingin ia sampaikan padaku.

Ia mengerti maksud ajakanku. Tapi ia tak putus-puus membuat garis kumis di bibirnya dan memegang titik anting di telinganya. Aku paham itu adalah simbol bagi ayah dan ibunya. Tapi ada apa dengan ayah dan ibunya? Yang aku tahu, ayah dan ibunya sudah lama di rantau. Seterusnya, aku tidak sempat lagi berpikir banyak. Sebab jalan setapak yang membujur seperti naga tidur di sisi tebing itu membuat kami mesti berjalan hati-hati. Sebagian aur yang tumbuh di sana sudah banyak yang ditebang. Kalau seandainya kami terjatuh, sudah barang tentu, kami disambut tunggul-tunggul aur yang runcing itu.

Langakahnya berhenti. Pada ngarai yang diterjuni sungai kecil kulihat sekawanan seriti melayang-layang. Sebentar- sebentar menukik menyambar ujung air terjun. Sejenak ia kulihat mencermati kabut tipis yang menyusup ke celah daun pinus. Kemudian, kabut itu terasa begitu dekat dengan kami, seakan menabrak kami.

“Mora,” aku sapa ia dengan menyebut namanya. Sebenarnya, aku tahu, apalah arti nama baginya. Memanggilnya tanpa cubitan tentu tidak bisa, kecuali benar-benar tengah berhadapan dengannya. Ia tetap diam, tidak putus-putus memandangi kabut.

Kami sepertinya sedang memikirkan hal yang sama. Menjenguk ingatan masa lalu. Bahwa di sini dulu, kami sering main layangan; bahwa antara dulu dan kini ternyata telah membentangkan cerita sepasang kawan masa kecil yang riang.

Di dekat sebatang pohon ambacang yang tumbuh di ngarai itu dulu kami sering bertemu, pagi-pagi, merunut buahnya yang jatuh malam hari. Lalu, kalau sedang ingin, kami menuruni ngarai itu hingga sampai di lubuk, persis di ujung air terjun yang memutih disambut batu. Kami pun mandi-mandi.

Aku lihat dia msih terpaku. Aku cubit lengannya dan membuat gerakan seperti angsa berenang ditambah dengan gerakan orang yang tengah menimba air dari bak mandi.

Ia menggeleng.

Selintas, ia lihat tubuhnya sendiri.

Aku terpukau.

Begitulah waktu berbuat.

Si bisu kerempeng dulu itu kini tampil di depanku dengan tubuh berisi dengan lekukan yang sempurna. Pemandangan ini yang menyentak kesadaranku akan beberapa alasan yang membuat kami tidak mungkin lagi mandi-mandi bersama. Dalam keterpukauan, ia meraih lenganku. Ada gigil di telapak tangannya. Aku kembali disengat rasa semacam rindu, atau entahlah yang membuat aku merasa sangat dekat dengannya. Ya, ketidakmungkinan selalu datang terlambat, terutama saat predikat dewasa terbeban di pundak. Sementara itu, suara rungunya terus mengiringi gerak tangannya membentuk garis segitiga dan formasi kubus. Aku masih tidak mengerti, apa yang ia maksud dengan isyarat itu.

Ia menangkap ketidakmengertianku. Lantas, genggaman tangannya perlahan pindah ke telapak tanganku. Jari manisku sampai terjepit dan terasa sakit ketika ia genggam dengan erat. Spontan ia berlari. Aku nyaris terjerembab. Untung cepat menguasai keseimbangan dan mengikuti dia berlari menembus ujung tikungan jalan yang disambut padang alang-alang. Ah. Seketika aku merasa seperti tengah berada dalam film India yang berlari bersama koloni penari latar yang tanpa motif yang logis mengerubungi kami dari balik semak dan alang-alang. Ketika sudah sampai di pinggir kampung, ibu-ibu yang sedang menjemur padi menatap heran ke arah kami. Ada yang terlihat menyembunyikan tawa dan ada pula yang terbahak-bahak.

Di depan rumah kayu yang semasa ia kecil ditempati bersama orang tuanya itu, ia berhenti berlari. Kami saling tatap dengan nafas tersengal. Ia menunjuk rumah yang posisinya sudah sedikit miring itu. Rumah bergaya semi panggung tersebut berdiri di atas empat batu sendi. Dua tiangnya sudah keropos sehingga membuat posisi rumah itu miring. Salah satu jendelanya terbuka begitu saja. Menandakan betapa rumah itu sudah lama tidak dihuni.

Untuk yang ke sekian kalinya, ia membuat garis kumis dan titik anting di telinganya. Kemudian matanya menerawang, menatap ke arah yang jauh. Dengan perlahan, ia meniru gerakan seorang sopir yang sedang mengendalikan stir.

Sebisa mungkin aku coba mencerna. Yang aku yakini, ia tengah berkeluh-kesah tentang pilihan orang tuanya pergi merantau. Sehingga rumah kayu bersendi batu itu tinggal dan tak terawat lagi. Selalu tanah orang yang menggiurkan.

Aku dapat menyimpulkan ini melalui sorot matanya yang sayu. Keprihatinan yang tak terbahasakan oleh dia, seorang tuna rungu yang hingga usia 27 tahun masih harus menerima kesepian sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.

Sesungguhnya, masih banyak yang belum sepenuhnya aku pahami dari bahasa isyaratnya, padahal ia sudah sangat riunci menjelaskan segala yang terpendam dalam pikirannya. Selintas aku tersadarkan dari ketidaktahuanku. Sekalipun telah berstatus mahasiswa S2 psikologi, tetapi masih gagap memahami jalan pikiran sahabat sendiri.

Aku coba mengingat, sebelum pergi merantau, keluarga besar ibunya sempat memperseterukan status rumah kayu itu. Di tempat kami yang bersuku ke ibu, kaum perempuan adalah tempat kembalinya segala pusaka, termasuk tanah dan apa yang ada di atasnya. Singkatnya, rumah kayu itu pernah jadi sengketa.

Keluarga pihak ibunya termasuk keluarga yang rimbun. Atau istilah lain di kampung ini, keluarga yang subur dan “pengembang”. Sebab, anggotanya lebih banyak perempuan dibanding laki-laki. Satu sisi ini menjadi kebanggaan bagi suku kami. Tapi di sisi lain ternyata menjadi ancaman. Ancaman itu terasa ketika anak perempuan yang banyak itu sudah dewasa dan sudah pantas besuami.

Jika orang tua masing-masing mereka tidak mampu secara bijak memperbesar rumah atau membuat rumah baru, paling mudah menimbulkan perselisihan antar anak. Sementara bila mereka disatukan saja di satu rumah, misalnya saja dalam keluarganya, ada enam anak perempuan, berarti rumah tersebut paling tidak terdapat enam kamar. Enam kepala keluarga satu dapur.

Hidup di hari-hari seperti sekarang, aku sendiri tidak yakin ada keluarga besar yang bisa menyatukan enam pasang suami istri dalam satu rumah. Bukan hanya hari ini, sejak dahulu orang pada dasarnya ingin punya rumah sendiri. Inilah barangkali yang membuat orang tuanya memilih merantau. Disusul kemudian oleh sanak keluarga yang lain hingga rumah kayu bersendi batu itu tinggal.

Sementara itu, angka kelahiran anak perempuan di keluarganya entah karena apa pula makin tinggi dibanding anak laki-laki. Apakah ini pertanda tidak baik bagi kehidupan di suku kami?

Paling tidak demikianlah yang sedang melintas dipikirannya. Makanya aku mau saja ketika diajaknya jalan-jalan ke perkebunan milik orang tuanya. Singgah di sungai tempat kami biasa bermain dan mandi-mandi.

Cuma saja ketika ia membengkokkan telunjuk dan kelingkingnya seperti mata kail lalu menyatukannya seperti pertemuan dua mata rantai seraya membentuk garis setengah lingkaran di atas kepalanya, terus membuat gerakan seperti orang menimang bayi, aku tak bisa mencernanya dengan baik. Apalagi ia menunjuk-nunjuk aku dan dirinya. Saat bersamaan ia pun menunjuk rumah kayu bersendi batu itu.

Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi aku tak kunjung paham. Ia seperti mulai kesal terhadap kebodohanku yang tak kunjung paham terhadap apa yang dia maksud. Mungkin juga ia menyesal telah menyampaikan sesuatu yang paling penting dalam hidupnya kepada orang yang tidak mengerti. Padahal itu sangatlah rahasia baginya.

Dalam kegalauan itu, ia tiba-tiba berlari ke tengah perkampungan dan hilang di sela-sela rumah penduduk. Aku yakin, ia pergi ke rumah yang selama ini ia tinggali: sebuah rumah batu yang dibangunnya sendiri dari upah menjahit bordir. Aku bingung, tak tahu mau menahan dia dengan cara apa.

“Saya tahu apa yang dia maksud!” suara mak Mondolani mengejutkanku. Ternyata setelah memergoki kami, mak Mondo sengaja bersembunyi di belukar dan menyimak segala percakapan kami.

“Temui saya di rumah, nanti malam. Semua akan saya jelaskan nanti padamu,” ucapnya seraya berlalu memikul cangkul. Mak Mondolani tanmpaknya akan kembali ke sawah setelah istirahat siang.

Di rumah Mak Mondolani.

Ketidakmengertiankku perlahan terjawab. Sambil menyantap goreng pisang raja, aku dan mak Mondolani bercakap-cakap di ruang tamu.

“Beberapa bulan belakangan, Mora sering menanyakan kepulanganmu pada kami,” mak Mondo memulai pembicaraan. Kemudian kami saling diam, agak lama. Dalam pikiranku melintas tanya, ada apa dengan kepulanganku baginya?

“Apa yang tadi siang ia sampaikan padamu, telah pula ia beritahu pada kami,” imbuh Mak Mondo. “Ia sangat prihatin dengan rumah kayu itu…”

“Kaitannya dengan kepulanganku?”

“Ia tahu kamu bersekolah tinggi. Jadi, ia ingin kamu bersedia…”

“Memperbaiki rumah itu?”

“Bukan cuma memperbaiki. Ia ingin minta bantuan kepada kamu tentang ketidakmengertiannya mengapa surian, banio, dan mahoni yang ia tanam di masa kecil itu tidak boleh ditebang oleh pemerintah. Padahal kayu-kayu itu, seperti kebiasaan kita, ditanam untuk memperbaiki rumah. Sekarang, bila ingin menggunakan kayu itu harus pakai izin!”

Penjelasan Mak Mondo membuat kami kembali saling diam.

“Yang tak kalah merisaukan kami adalah ketika ia terus terang mengatakan bahwa dirinya sudah ingin menempati rumah itu bersama orang yang mau jadi suaminya.”

“Itu bagus. Memang sudah saatnya ia punya suami.”

“Tapi, kamu harus tahu, siapa orang yang diidam-idamkannya jadi suami?”

“Siapa?”

“Kamu!”

“Astaga!”

“Semua orang juga kaget.”

“Siapa yang tidak akan kaget. Aku dan dia sesuku, Mak. Kami sama kemenakan Mamak, bukan? Adat kita jelas tegas melarangnya!”

“Ya. Itulah kerisauan yang saya maksud. Kami semua memang lalai, tidak pernah mengenalkan adat satu ini padanya. Sekarang, bagaimana cara memberi penjelasan agar ia mengerti kalau kawin sesuku itu tidak boleh? Kamu lihat sendiri tadi siang, ketika ia meniru gerakan orang menimang bayi. Sebenarnya ia mau menyampaikan bahwa ia sungguh ingin punya anak darimu dan hidup bahagia di rumah kayu itu.”

Untuk ke sekian kalinya kami saling diam. Kali ini sambil memilih serbuk goreng pisang raja dan mengunyah-ngunyahnya seperti mencerna kenyataan paling ganjil yang pernah aku dan barangkali juga mak Mondolani temui.***

Padang, 2007

Minggu, 25 Januari 2009

Menggagas Sastra Bertipikal Madura

http://www.surabayapost.co.id/
Atiqurrahman

Eskapisme kultural tengah melanda susastra Madura. Hal tersebut tampak dari keseragaman eksplorasi karya-karya yang diciptakan. Lacur yang terjadi, sastrawan-sastrawan Madura tak menyadarinya. Timbul tanda tanya: bagaimana nasib susastra Madura selanjutnya?

Marilah simak bersama. Dasawarsa terakhir susastra Madura dijumbuhi karya-karya yang bertipikal pesantren. Kreatornya kebanyakan alumni-alumni pesantren. Tema yang diangkat adalah problem keagamaan, misalnya, hubungan manusia dengan Tuhan, cinta pada Tuhan, dan keinginan bersatu dengan Tuhan. Selain tema tersebut, praktis tak ada tema lain yang coba dieksplorasi oleh sastrawan-sastrawan Madura.

Mengapa hal tersebut terjadi? Mungkin semangat jaman membentuk kondisi demikian. Mungkin ada kesepahaman tentang “apa itu sastra, agama, dan sastra-agama”? Mungkin juga, keseragaman ini dilatarbelakangi oleh kesuksesan sastrawan-sastrawan pendahulu yang memokuskan problem karyanya pada wilayah yang kudus tersebut. Dari deretan sastrawan-sastrawan Madura yang bisa dikatakan sukses meniti karir sebagai sastrawan dapat disebutkan. Misalnya, Jamal D. Rahman, Abdul Hadi W. M. dan Kuswaidi Syafi’i. Secara keseluruhan karya-karya mereka mengeksplorasi persoalan-persoalan yang bertumpu pada nilai religius dan perasaan religuitas.

Namun demikian, hal yang patut dikhawatirkan dalam perkembangan susastra Madura selanjutnya adalah situasi ekologi susastranya. Di atas telah disinggung, tak ada karya-karya susastra Madura selain yang bertemakan keagamaan. Dalam pengamatan penulis, hanya segelintir—untuk tidak dikatakan tak ada—sastrawan yang mencoba ruang alternatif selain dari eksplorasi ketiga penyair tersebut di atas. Adapun sastrawan Madura yang menjajal eksplorasi karyanya tidak pada wilayah keagamaan adalah Timur Budi Raja yang memaksimalkan tema puisinya pada wacana intelektual dan Ahmad Faishal yang puisinya berpusar pada dua tema, kematian dan sejarah.

Sepintas lalu, gejala keseragaman tema itu tak menimbulkan tanda tanya jika melihat kenyataan Madura sebagai salah satu kawasan pesantren dengan masyarakat santrinya. Justru sebaliknya, hal tersebut merupakan isyarat positif. Karya sastra tak pernah hadir dalam kekosongan. Karya sastra, bagaimanapun juga, membutuhkan sebuah latar. Secara personal, sastrawan yang mempunyai pijakan regional yang jelas dapat mengongkretkan dan mentransliterasikan tranpransi kata, kalimat dan wacana. Tekstual yang dihasilkan kerapkali berhasil merengkuh keutuhan karya.

Akan tetapi keseragaman eksplorasi tema, gaya dan bentuk pada sebuah ekologi susastra bukan berarti kepaduan, keselarasan atau keunikan. Keseragaman eksplorasi, yang salah satunya dapat dilihat dari tematik karya, merupakan gejala eskapisme kultural dalam susastra di tempat bersangkutan. Pengertian eskapisme kultural di sini merunjuk pada kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan kultural yang kompleks dengan mencari hiburan dan ketentraman di dalam khayalan atau situasi rekaan (fiktif) yang diyakini si pengarang.

Jika hendak mendapatkan gejala eskapisme kultural dalam susastra, kita dapat mengetahui dengan cara memerikan karya-karya yang dihasilkan, baik dalam antologi atau yang dimuat media massa. Dari situ dapat dilihat kecenderungan eksplorasi gaya, tema dan bentuk karya sebagai situasi rekaan si pengarang. Sedang dalam menentukan adanya eskapisme atau hanya kecenderungan sastrawan yang dilatarbelakangi semangat jaman tersangkut masalah keragaman eksplorasi karya-karya. Keberagaman ini sejalan dengan pola kultur yang bersifat kompleks. Jadi, ketiadaan aneka tema pada karya-karya pada suatu ekologi sastra berarti pengingkaran atau penyimpangan (pengarang) terhadap kompleksitas problema kultur setempat sebagai latar karyanya.

Dalam susastra Madura eskapisme kultural muncul dalam wujud keseragaman tematik karya-karya yang berkutat pada problem teologi. Fenomena ini merupakan sinyalemen buruk bagi perkembangan susastra Madura. Soalnya, satrawan Madura tampak obsesif pada agama (tertentu) sebagai realitas pokok di Madura. Pengingkaran atas kultur Madura yang kompleks mengaburkan panilaian para pembaca, terutama pembaca luar Madura. Tentu, pembaca dapat menangkap kejanggalan ini. Madura adalah wilayah kebudayaan. Sebagai wilayah budaya agama merupakan satu diantara sistem-sistem budaya yang lain, sosial, hukum, sejarah, bahasa, sastra dsb.

Untuk itu, dibutuhkan susastra Madura yang tak sekedar berkonsentrasi pada tema keagamaan. Akan tetapi susastra yang dapat mereduksi keutuhan lingkungan kultural Madura yang khas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeksploitasi bahasa, folklor, sosial, adat, politik, sejarah dsb.

Sastra Madura sangat membutuhkan karya-karya yang bertipikal Madura. Sastra bertipikal Madura bisa diproyeksiakan dengan mengeksplorasi: (1) bahasa/ikon khas Madura, (2) problem sosial Madura, (3) sejarah Madura, (4) folklor Madura dan (4) lanskap Madura.

Dalam khasana susastra Madura tematik puisi yang diusung Timur Budi Raja berada di luar kecenderungan sastrawan-sastrawan Madura. Tekstual sajak-sajaknya berkutat pada tema intelektual. Akan tetapi dalam pengkategorian ilmu sastra, tema intelektual tak berada dalam kekhasan. Intelektual bersifat universal. Tidak khas. Jadi sajak-sajak Timur berada di luar susastra Madura yang Khas itu. Ada juga penulis-penulis dari luar Madura yang mencoba memotret lanskap dan situasi sosial Madura, misalnya S. Yoga dan Mardi Luhung. Sayang, sajak-sajak mereka berhenti pada wilayah wacana, sekedar reportase. Belum merengkuh transparansi peristiwa-peristiwa kemaduraan.

Semestinya, tematik sastra yang diolah adalah problem kultur Madura yang kompleks itu. Tidak terjebak pada satu sub sistem budaya. Pemaksimalannya dipusatkan pada strategi tekstual lewat kata, frasa, klausa, kalimat, wacana dan ikon-ikon yang khas Madura. Eksplorasi yang mengarah pada kekhasan lokal Madura adalah sajak-sajak Ahmad Faishal dalam antologi Saronen Makrifat (2004). Walaupun ornamen tekstualnya terpusat pada tema kematian dan sejarah. Tapi keberhasilan Faishal mengongkritkan transparasi kata membuat kejernihan puitikanya menjadi khas.***

Pamekasan, 05 Januari 2009

Yin-Hua

Arie MP Tamba
http://jurnalnasional.com/

Metropolitan ini serba kusut
Tiada hari tanpa macet
Apalagi
Kini muncul si jago serobot
Bus Way
Macet di mana-mana
Ada yang bilang
Bangun saja kereta bawah tanah
Ada yang usul
Bikin saja monorel
Banyak pula yang berseru
Ah! Tak macet itu bukan Jakarta!
Bus Way
Bus Way
Melancarkan atau
Memacetkan
Wong cilik jadi
Bingung

(Bus Way, Song Hoa, Jakarta 5 Mei 2004)

Inilah sajak Bus Way karya Song Hoa, seorang penyair yang tergabung dalam Komunitas Sastrawan Yin-Hua (Indonesia-Tionghoa), yang kegiatannya semakin marak seiring bertiupnya angin reformasi di bidang politik dan kebudayaan sejak tumbangnya Orde Baru. Puisi Song Hoa dapat ditemukan dalam Seribu Merpati, Bunga Rampai Sastra Yin-Hua (2006) yang diterbitkan bekerja sama dengan PDS HB Jassin.

Menurut Jeanne Laksana, Ketua Yin-Hua, sebagian besar pengarang Yin-Hua kini berumur 50 tahun ke atas. Meski dilahirkan di Indonesia, tapi mereka dibesarkan dalam lingkungan pendidikan dan kebudayaan Tionghoa dan Indonesia. Mereka menerima pendidikan bahasa Mandarin, hingga lebih mahir berkarya dengan bahasa Mandarin (Tionghoa).

Maka, bila karya-karya mereka yang sudah dibukukan kemudian diterbitkan juga di dalam bahasa Indonesia, hal itu telah melalui penerjemahan. Untuk terus membangun kesepahaman atas keberadaan dan peran pengarang etnis Tionghoa ini, penerjemahan karya-karya dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia dan sebaliknya, adalah salah satu agenda rutin Yin-Hua. Banyak buku terjemahan sudah diterbitkan. Namun masalah regenenerasi tetap menjadi persoalan yang membayang.

Sastra diaspora, itulah penamaan yang diberikan penyair dan pengamat sastra Iwan Gunadi untuk karya-karya sastra perantauan keturunan Tionghoa ini. Dalam penelitian Iwan, menggeliatnya kembali kegairahan menerbitkan karya-karya sastra Yin-Hua, secara simultan bisa dikatakan bersamaan dengan aktifnya Komunitas Sastra Indonesia 1990-an. Wilson Tjandinegara, seorang sastrawan Yin-Hua yang juga rajin menerjemahkan karya teman-temannya ke dalam bahasa Indonesia, bahkan termasuk seorang pengurus di Komunitas Sastra Indonesia.

Sementara itu, mengikuti hasil penelitian Claudine Salmon (1981), fenomena sastra karya peranakan keturunan Tionghoa sudah jauh berakar sejak masa-masa menjamurnya Sastra Melayu Rendah di Indonesia pada 1870. Setengah abad sebelum terbitnya novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar oleh Balai Pustaka, yang sampai kini dianggap novel perdana Indonesia yang menggunakan bahasa Sastra Melayu Tinggi, sebagai cikal bakal bahasa Indonesia.

Tak pelak lagi, dua politisasi kebudayaan bisa dikatakan pernah menggerus kehadiran para sastrawan perantauan keturunan Tionghoa ini dari peta sejarah sastra Indonesia. Yang pertama adalah politik kolonialisme Belanda yang "merendahkan" mereka ke dalam pelabelan ”Sastra Melayu Rendah” atau ”Sastra Pasar”. Padahal sejak kemunculannya pada 1870, hingga 1950-an saja, menurut Claudine, telah ada sekitar 3.005 judul karya sastra dari 806 pengarang perantauan.

Beberapa penelitian membuat karya-karya itu kemudian bisa dikenali dan dibaca kembali, sebagai kekayaan sastra Indonesia yang teramat berharga bila diabaikan. Sebut saja Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang. Loe Fen Koei pernah difilmkan oleh sutradara berbakat Hanny R Saputra dengan skenario Afrizal Malna.

Lalu yang juga banyak dikenal adalah Boenga Roes dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay. Kwee Tek Hoay, dari penelusuran Leo Suryadinata (1989), selain penulis novel juga terkenal sebagai penulis drama, buku-buku agama dan filsafat. Pada zaman Belanda Tek Hoay pernah mengasuh majalah Panorama, Moestika Panorama, Moestika Romansa, dan Moestika Dharma. Di majalah-majalah inilah Tek Hoay menulis pengamatannya tentang perkembangan politik dan kebudayaan masyarakat Tionghoa umumnya di Indonesia.

Lalu, politisasi kebudayaan yang kedua adalah kebijakan Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa Tionghoa dan huruf Han sejak 1967. Hal ini langsung membuat karya-karya sastra (dan para sastrawan) peranakan keturunan Tionghoa raib dari kehidupan sastra Indonesia. Tak ada lagi media khusus yang berbahasa Tionghoa untuk karya-karya mereka. Yang ada hanyalah sebuah koran dwibahasa, Harian Indonesia.

Meski dibatasi, menurut penyair Yin-Hua, Cecilia K, yang juga redaktur koran tersebut, Harian Indonesia benar-benar dimanfaatkan oleh para sastrawan diaspora sejak 1966. Sejumlah karya dihadirkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Tionghoa. Tapi, seiring reformasi dekade terakhir, karya-karya sastra perantauan ini sudah kembali diterbitkan dalam bahasa Mandarin.

Yang unik dari karya-karya sastra keturunan Tionghoa ini adalah: perbedaan yang mencolok dengan semangat sastra "leluhur" – yang memuja alam dan tatakrama kehidupan masyarakat Tionghoa masa lalu. Meski menggunakan bahasa Mandarin dalam menyampaikan ekspresinya, namun tema-tema yang diusung sastrawan diaspora ini acapkali syarat dengan persoalan sosial kemasyarakatan setempat. Sastra mereka begitu kontekstual. Di antaranya, puisi Son Hoa di atas. Bus Way!

Jumat, 23 Januari 2009

Sajak-Sajak Nirwan Dewanto

http://cetak.kompas.com/
Boogie Woogie
—untuk Umar Kayam

Di Broadway, hanya di Broadway
langit bisa menggirangkan diri
dengan merah, semu merah,
merah Mao, merah Marilyn Monroe,
meski di setiap sudut surai salju
mengintai hendak memberkati
ungu magnolia musim semi,
hitam legam seragam polisi,
kuning taksi dan sepatu Armani,
kuning kunang-kunang tak tahu diri.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
sungguh merah tak pernah sampai
ke surga, betapapun ia meninggi
melampaui puncak menara tertinggi,
menjinjing jantung paling murni,
jantung tercuci kuas Balla dan Boccioni.
Di Broadway, hanya di Broadway
merah terkalung tenang ke leherku
(leher kadal gandrung Ragajampi)
sebelum memecah memanjang
seperti akanan, ketika gelombang
jingga memecah pasukan pemadam api,
kelabu membajak lidah para padri,
hijau terampas dari mata Lorca dan Marti.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
langit seperti berbentuk huruf Y
sebelum si lelaki rapi dari Amsterdam,
lelaki lencir kelam seperti daun pandan
(kuhapus namanya di sakuku: Mondriaan)
membentangkan putih, putih semata,
putih seluas sabana senjakala,
dan membariskan tujuh juta noktah
ke atasnya, tegak lurus silang-bersilang
seperti tujuh puluh salib tanpa pokok,
seperti simpang semua jalan New York,
noktah kuning kelabu biru merah,
kuning kunang-kunang tahu diri,
kelabu kaus kaki Januari,
biru dahi kereta bawah tanah,
merah tabah seperti duka nyonya
sebab terlalu lama ia bersandiwara
di Broadway, hanya di Broadway.

(2007)



Blues

Seperti sekuntum mawar Alabama, aku tidur di bawah kelopak matamu. Aku akan bangun bila sepucuk duri menyentuh bola mataku. Di tengah mimpi, sang kilat menerobos pintu kamar. “Di mana akarmu?” ia bertanya sambil melepas baju-hujannya. “Di sini,” aku menunjuk jantungku. Lalu ia menyobek selimutku yang merah secerlang darah. Ia pun terlelap di dalam sana. Seperti benih mawar. Ah, betapa beraneka kelopak mata yang melindungi kami. Jutaan kelopak api sampai kelopak es, yang segera berguguran ke dasar tidur kami. Sampai mawar-halilintar itu tumbuh subur melebihi wajahku sendiri. Lihat, betapa durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi. Tapi aku segera terbangun, menguncup, menusuk bola matamu, sebelum akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari.

(2007)



Kopi

Di tangan lelaki itu, kami coba bersabar.
Namun betapa cangkir ini gemetar
oleh tubuh kami, gairah kami
yang luas seperti langit Potosi.
Menuju kami wajah lelaki itu.
Kami akan naik ke mulut lelaki itu,
aku dan kembaranku,
aku dan seteruku:
kami akan berpisah selepas leher lelaki itu:
dia ke arah malam di usus besarnya
aku ke arah matahari di peparunya.
Tak sabar lidah lelaki itu.
Namaku arus kali atau bakal salju
sebelum lelaki itu merengkuh seteruku
yang lebih hitam dari pasir pesisir
dan lebih wangi dari lavender terakhir,
dan aku betina, bening. Betapa lelaki itu
mengaduk si serbuk jantan ke dalamku.
Oleh bahang lelaki itu, aku dan seteruku
seperti tak terpisahkan lagi, tetapi
di dasar cangkir, dia sekadar bayanganku,
dan di bibir cangkir, kembaranku.
Di bawah tatapan lelaki itu
kuajari dia melayang mencari terang.
Tapi menggelayuti seluruh tubuhku dia
membutakan mataku hanya.
Kukatakan pada dia, baiklah
kita akan berpisah (mungkin aku alah)
setelah menaklukkan lidah
lelaki itu. Tapi kami cuma bisa bertarung,
bersetubuh, (makin pahit), membubung
menghujani bentang koran pagi
yang terkulai di pangkuan lelaki itu.
Penderita insomnia lelaki itu.

(2007)



Fajar di Galena

Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri, setelah betapa renta ia berupaya menerangi sebatang jarum dalam mimpimu. Berapa lama sudah kau terbangun? Seraya mencari sisa putih mori ke arah rumpun kana, kau berkata kepada sebutir batu gamping di jalan setapak itu, “Mereka mencintaimu, sebab kau tak menderita insomnia.” Dengarlah, namaku matahari, aku perawat kuburan di tepi Mississippi, maka aku tak akan terkelabui oleh kata-katamu.

(2007)



Garam

Lautan jauh, terima kasih.
Meski kuhapus wajahmu
kaukirim keringatmu
ke piring putih ini.
Tukang jagal, terima kasih.
Meski kubekukan tanganmu
kauberi merah jantung
ke ujung pisau ini.
Asparaga, terima kasih.
Dengan juntai rambutmu
aku masih juga menampung
sungai darah ini.
Juru museum, terima kasih.
Dengan peta purbamu
aku berani menawan
lembu jantan Sinsinawa.
Kentang bakar, terima kasih.
Ke arah lambung birumu
aku mampu mengasah
taring serigala ini.
Prairie du Chien, terima kasih.
Kaupucatkan meja makanku
hingga aku betah memelihara
arang bara di kantung celana.
Susu masam, terima kasih.
Sebab kujilati cerminmu
kaukembarkan payudaraku
dengan aprikot jingga ini.
Peluh lautan, terima kasih.
Kausembunyikan Mississippi
agar aku mulai mengerat
lidah hangusku sendiri.

(2007)



Dua Belas Kilas Musim Gugur
—untuk Sigit Haryoto

Pohon Mapel
Jingga pada ujung jemari.
Dari lingkar batang, urat nadi
pasrah mencari geletar api.
Jembatan
Siang menyusut ke hulu.
Di atas arus, matahari beledu
gentar oleh kilatan kuku.
Angsa Liar
Tabah seperti saputangan,
putih bersulih ke selatan—
terpulau oleh rumputan.
Gerimis
Antara jejarum dan gelagah
arloji tak pernah lelah
memindai benang basah.
Sepeda
Terhadang luas lumpur,
reruji serupa pecah telur.
Sisa mata ke bukit kapur.
Museum
Marun guci di dalam lemari.
Si pelukis meninggikan hati,
“Itu milik selir dari Shanxi?”
Es Krim
Di ujung lidah, pangkal limas
mengacaukan lunak kapas
dengan susu musim panas.
Serupa Haiku
Tujuh belas suku kata
lebih, mencari ke balik jingga
kimono, gemetar payudara.
Ladang Jagung
Terurai jantung dari tangkai.
Tetirai masih sepanjang jelai—
ning-kuning mencari pantai.
Penyair
Buah ceri di kantung celana,
kantung air selebar pelana.
Hausnya sebatas umpama.
Makam
Bara mencari sekam.
Tapi hanya ujung pualam
terpanasi ke balik malam.
Pagi
Surya selebat rambut rami.
Langit mengancang bulir padi—
noktah di punggung kelinci.

(2007)

Kamis, 22 Januari 2009

Puisi-Puisi Mustofa W Hasyim

http://sastrakarta.multiply.com/j
PEMAKAMAN WARTAWAN
- Udin

Berita
dikafani malam

Liang lahat
menunggu bunga

Yang terbunuh langkahnya
diusung doa

Bocah
tergenang pertanyaan

"Ibu, kapan Bapak selesai
berwawancara dengan Tuhan?"

Makam
jadi lautan gelombang

"Engkau tidak mati
karena berani bersaksi."

Daun bambu gugur
mencium rumput kering

"Arus bisa berbalik
menabrak musm."

Lihatlah
keajaiban waktu
Kematian tidak membusukkan
justru menyuburkan kata

1996



JUSTICE NOT FOR ALL

Cermin
berwajah murung

Hakim gemetar
di seberang meja

Dasi
lapar

Rokok klembak
patah di tengah sidang

Bagai air terjun
yang atas menimpa yang bawah

Lantai tempat berpijak
berlubang seluruhnya

"Rumput
jangan menjangkau langit!"

"Terima kasih."

1995



MENUJU KOTA BUNTU

Asap
setajam pisau

Mengelupas
kulit kota

Debu berjanji
benghiburmu

Tiang-tiang
melawan bendera

Lagu berkeping
melukai bunga

Anak sekolah
mendorong langit ke jurang

1995



MENYEBERANG GELOMBANG
Bima

Setelah malam
siang menjadi pantai

Setelah siang
malam menjadi gelombang

Memandang bayang
menajamkan kuku

Menyeberang
gelombang

Ular
raksasa membelit jiwa

Menyeberang takut
pertemuan

Waktu
memantulkan

"Aku mau pergi
tapi malah kembali," keluhnya.

1995



MENYEBERANG GELOMBANG
Ajisaka

Hari
kembali terutai

Sorban
menenggelamkan

Raja
makan gelombang

Ke hutan, kembali
memandang muridnya

Dua mayat
satu hakikat

"Alangkah luka
menyeberang ha menuju hu,"
katanya.

1995

Rabu, 21 Januari 2009

PERI CANTIK ATAU HANTU FEMINISME?

Nurel Javissyarqi*
http://media-sastra-indonesia.blogspot.com/

Perempuan itu kelembutan bathin, kehalusan air, hati yang mengarus. Jiwanya ombak senantiasa memiliki keyakinan, yang menampilkan pamor kecantikan. Keteguhannya, kesabaran mengaliri tiap-tiap cela kehidupan. Tanpa dirinya, dunia kering-kerontang tiada ricik-gemericik tangis bayi para insan. Dan kaum lelaki tongkat estafetnya, saat menyadari pentingnya kembang jiwa.

Ini bukan kehendak menuturkan siang-malam, tapi menciptakan kesatuan harmoni, fajar rahmat, senja temaram yang berpelukan. Dalam percumbuan manis, kreasinya terus menggelora, menyedot bak magnit atau garam guna-guna, yang disebar di setiap pepintu lelaki melangkahkan kaki ke luar rumah.

Senyum penantiannya sepenuh harapan, melihat dunianya membawa manfaat laki-laki menjejakkan kepercayaan, meneruskan langkah sebagaimana nafas-nafas doa. Bukan berarti berdoa tanpa aktivitas, kreativitasnyalah harapan.

Wanita bukan pemancing atau ikannya. Ia mampu jadi penjala paling lihai di antara lelaki, atau kedudukannya sepadan gairah mewujudkan keinginan-keinginan hayat. Munculnya hantu-hantu, sebab keterasingan, keterkucilan yang tak memahami karakternya.

Wanita bukanlah hantu menakutkan atau penggoda. Karena para lelaki pun memiliki daya rangsang yang serupa, ketika memasang ranjau pikatnya. Dalam sifat dasarnya, keduanya menuntut berbeda yang awalnya berangkat dari pengertian-pengertian, lantas menuju kedewasaan makna.

Adalah sejarah sosial insan, terkuasai perkembangan materi yang menciptakan keduanya berbeda, berangkat dari didikan, tingkah pakola norma yang dibangun sejak kesadarannya belum terbentuk.

Saat keduanya mencapai kebebasan kesadaran, yang tampil bukan saling menyerang, tapi topang-menopang bantu-mengisi. Maka usalah hawatir munculnya hantu feminisme. Perbedaan malam-siang sebagaimana wewarna perasaan, yang menajamkan sudut-sudut singgung pada awal terciptanya gagasan.

Keduanya memiliki kekuatan mengolah bencah materi, menempati alam spiritual sendiri-sendiri. Tidak jauh berbeda saat menggunakan kacamata obyektif pada daerah kekuasaan, atas telah mampu mempelajari realitas kesungguhan.

Tidakkah ketakutan muncul sebab merasa tidak mempunyai tameng atas kedatangannya? Ketakutan menjelma hantu menerkam, padahal bukan saingan melainkan pendamping. Maka berilah lahan seluasnya berekspresi, membuka jalan mempelajari was-was, dengan menyadari fitrohnya. Dan ketakutan itu hakikat kekalahan sebelum mata menyapa takdir jaman.

Kemampuan air menjelma beku, seharusnya dipelajari, agar dalam mengembangkan pengetahuan tidak timpang menimbulkan peperangan. Kita sering menyuntuki apa yang tersukai dan menghindari yang ditakuti. Maka timbullah rasa cemburu, fikiran negatif merusak pribadi.

Wanita sejatinya tidak menuntut berlebih kiranya lelaki memberi pandangan fitri kepada sosoknya. Adalah miris dinaya ketakutan kaum lelaki, menjadikannya pemenang semu. Lalu, atas tekanan bertubi-tubi, wanita menjelma pemberontak.

Sementara hakikat niat memiliki sifat kewanitaan juga kelelakian. Yang membedakan ialah fitrohnya, sedangkan kedudukan nalar serta spiritualitasnya sama berdayadinaya. Sebab keunggulan insan pada realitas kerjanya tubuh dan jiwa, seiring sejalan menciptakan kualitas dirinya paripurna.

*) Pengenala, 17 Mei 2006, Lamongan, Jawa Timur, Indonesia.

Nguping

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Bu Amat nguping pembicaraan Ami di telepon genggam dengan temannya di kampus.

“Sudah tinggal saja!” kata Ami, “buat apa setia-setia kalau orangnya begitu. Tampangnya juga jelek, miskin lagi. Kamu kok mau-maunya sama dia. Tinggal saja. Laki-laki tidak hanya satu di dunia ini Kamu jangan buta. Itu dia yang sudah menyebabkan dia jadi berani berbuat seenaknya pada kamu. Sebab kamu terlalu sayang sama dia. Cinta boleh, tapi terlalu cinta itu berbahaya. Jangan-jangan kamu sudah kena peler!”

Bu Amat langsung kaporan pada suaminya.

“Bapak harus mengambil tindakan tegas!”

“Tindakan apa?”

“Ami tidak boleh bicara begitu!”

“Kenapa?”

“Itu kan bukan urusan Ami!”

“Tapi apa salahnya Ami memberi nasehat kepada teman baiknya?”

“Itu bukan nasehat, itu perintah! Kalau nanti hubungan mereka putus bagaimana?”

“Ya itu hukum alam!”

“Hukum alam apa! Itu berarti Ami ikut ambil bagian memutuskan hubungan orang.”

“Ya apa salahnya?”

“Salahnya, kalau ternyata pemutusan hubungan itu salah, nanti Ami juga yang kena getahnya. Dia akan menyangka bahwa Ami sengaja menghasut supaya mereka putus sebab Ami yang mau sama dia!”

Amat ketawa.

“Ibu ini kebanyakan nonton sinetron!”

“Lho itu kenyataan! Bapak jangan munafik. Bapak juga dulu begitu kan?”

“Tapi buktinya, Ibu kan jadinya kawin dengan aku. Coba dengan lelaki bejat itu, entah bagaimana nasibmu sekarang!”

“Tapi orangnya jadi benci sekali sama kita!”

“Biarin. Orang jahat itu mesti diberikan pelajaran tegas Bu. Kalau tidak, nanti kita yang akan dikejami sama dia. Berbuat kasar berbuat jahat sama bajingan itu boleh. Lihat saja, bagaimana kita menjerat koruptor dan tukantg-tukang suap itu. Kalau teleponnya tidak disadap , bagaimana kita dapat bukti kejahatannya. Mereka itu hantu-hantu semua tidak kelihatan. Jadi mesti dipancaing, dipergoki biar kapok, biar tahu rasa!”

Bu Amat termenung. Ia nampak tak senang.

Malam hari Ami menyapa ibunya.

“Kenapa Bu?”

“Ibu terganggu oleh ucapan bapakmu tadi siang.”

“Kenapa? Bapak menyinggung perasaan Ibu?”

“Bukan. Bapakmu bilang bahwa perlakuan kasar kepada orang jahat itu boleh. Tapi Ibu tidak setuju. Menurut Ibu, perlakuan kasar itu tidak boleh kepada siapa pun. Baik kepada orang baik, maupun kepada orang jahat.”

Ami mengangguk.

“Ibu lembut sekali.”

“Bukan begitu. Kalau kita mau melawan kejahatan, tidak boleh dengan kejahatan. Itu sama saja,”

‘Maksud Ibu?”

“Ya tunjukkan saja kepada orang jahat itu bahwa kejahatan itu tidak menghasilkan apa-apa. Kejahatan itu akan gagal. Dan kegagalan itu dengan cara menunjukkan bahwa kita tidak mau ikut jahat. Biar dia tahu tujuan tidak akan bisa dicapai dengan kejahatan.”

Ami bingung.

“Aku tidak mengerti, sebenarnya maksud Ibu apa?”

Bu Amat tidak menjawab.

Ami penasaran, lalu mengadu kepada Amat.

“Ada apa dengan Ibu, Pak?”

Amat berpikir.

“Ada apa?”

“Kok kelihatannya banyak pikiran sekarang? Katanya kejahatan tidak bisa dilawan dengan kejahatan.”

“O itu? Ibumu tidak setuju kalau tukang suap dan koruptor itu ditangkap dengan cara menyadap telepon mereka. Ibu menganggap penyadapan itu bukan tindakan yang bagus. Tidak baik diberlakukan kepada siapa pun, bahkan kepada penjahat pun tidak boleh.”

“Kenapa Ibu sampai pada kesimpulan itu?”

Amat terdiam.

“Kenapa?”

“Karena mungkin dia merasa bersalah sudah nguping kamu menghasut teman kamu supaya putus dengan pacarnya.”

Ami terkejut.

“Ah yang benar?”

“Ya! Ibu kamu tidak setuju kamu kok berani-beraninya menyarankan agar teman kamu itu memutuskan pacarnya, meskipun orang itu jahat. Bapak lalu menunjukkan kepada Ibumu bahwa kejahatan itu harus dihentikan dengan kekasaran, sebab demi kebaikan, orang jahat itu harus dipaksa dengan cara apa pun melihat kejahatannya sendiri. Seperti KPK menjebak para tukang suap dan para koruptor. Kejahatan itu dibenarkan untuk menegakkan keadilan. Jadi nguping itu tidak apa-apa asal .. .”

Ami tiba –tiba memberi isyarat supaya bapaknya diam, lalu bergegas mendekati ibunya di kamar yang masih melamun.

“Jadi ibu sudah nguping percakapan Ami dengan Lidia di kampus?” todong Ami tiba-tiba.

Bu Amat terkejut tetapi kemudian mengangguk.

“Ya. Maafkan Ibu Ami, tapi Ibu minta, jangan mencampuri urusan pribadi orang lain. Tak baik.”

“Tapi itu bukan urusan pribadi.”

“Kejahatan tidak usah dilawan dengan kejahatan. Kebaikan yang muncul dari kejahatan itu tidak akan langgeng.”

“Kejahatan apa?”

“Kamu menasehati orang supaya putus itu tidak baik.”

“Tapi memang harus begitu!”

“Jangan!”

“Harus!”

“Jangan, Ami!”

“Lho ibu ini bagaimana, naskahnya memang begitu!”

Bu Amat tertegun.

“Naskah? Naskah apa?”

Ami tertawa.

“Yang ibu dengar itu kan latihan saya dengan Lidia. Karena waktunya tidak ada, kami latihan drama lewat telepon! Makanya jangan suka nguping!”

Kisah Pertemuan Dua Naskah

Judul Novel : Pucuk Cinta Bougenville
Penulis : Sitta Wulandari
Penerbit : Akoer, Jakarta
Cetakan : I Oktober 2008
Tebal : 202 Halaman
Peresensi : Sungatno*
http://cawanaksara.blogspot.com/

Bersama besutan cerita Wulandari ini, pembaca akan menemukan oase emajinasi yang menakjubkan. Dengan sebuah cerita berbingkai yang dicampurkan olehnya, menjadikan novel ini lebih berwarna dan membuai pembaca. Kita akan diajak memasuki dimensi-dimensi kehidupan waktu dan tempat yang berbeda. Namun, belum sampai kita terlalu tenggelam, dengan gesit Wulandari segera menggulung emajinasi pembaca dan mengembalikannya dalam cerita pertama.

Selanjutnya, cerita diarahkan kembali pada kelanjutan cerita yang berbeda dan digulung hingga kesekian kalinya untuk menjemput cerita yang pertama. Lebih asyik, fluktuasi cerita diiringi bahasa yang renyah, unik dan kocak serta dipadu dengan diskripsi khazanah budaya masyarakat desa pegunungan hingga muncul suatu kesan yang mengharukan.

Adalah Aura Meydiana Supit, sebuah nama yang dijadikan pemeran utama dalam novel ini. Semenjak kecil, Aura hanya sempat bertemu satu kali dengan kakek-neneknya. Ketika hendak berangkat ke Bali bersama beberapa rekannya untuk mengikuti suatu acara, ibunya mengingatkan bahwa Aura memiliki kakek- nenek yang tinggal disebuah pegunungan Trenggalek.

Dalam perjalanan, Aura berada dalam satu mobil bersama Mike. Memasuki kota Solo, mereka terjebak dalam kemacetan lalulintas yang cukup panjang. Akhirnya mereka mengambil jalur jurusan Madiun. Sialnya, macet terulang kembali. Mengetahui hal itu, Mike mengajak rekan-rekannya melalui jalan alternatif yang menyusuri jalan-ajalan pegunungan. Namun, belum sampai keluar dari kawasan pegunungan, perjalanan mereka kembali terganggu. Ban mobil yang ditumpangi Mike dan Aura tiba-tiba bocor. Dari sinilah Wulandari mengajak pembaca untuk mengalihkan perhatian pada tujuan Aura dan rekan-rekannya menuju Pulau Dewata.

Dengan segera, Mike yang dibantu Tristan dan rekan yang lain mengganti ban dengan ban cadangan. Aura yang sejak memasuki perjalanan di pegunungan terbuai dengan keindahan panorama alam yang ada, tanpa sepengetahuan rekan yang lain, berjalan-jalan sendirian. Langkahnya pun terhenti didepan rumah tua yang dihalaman depannya dipenuhi dengan indahnya bougenville. Tanpa sadar, Aura mendekati banyaknya bougenville yang mengayomi rumah itu. Sedangkan rekan-rekannya, baru sadar kalau Aura tidak bersama mereka setelah mobil siap untuk digunakan kembali. Mike dan rekan yang lain pun menjadi kebingungan dan mencari-cari Aura.

Sementara, Aura yang sedang terpesona dengan bougenville yang rindang dan mengayomi rumah, akhirnya dipergoki oleh sang pembantu. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya, Aura diizinkan untuk menikmati keinginannya. Sambil bercakap-cakap dan mengitari taman, Aura pun mengenalkan diri. Sungguh terkejut, setelah kenal, ternyata rumah itu adalah rumah kakek neneknya yang pernah diceritakan sang ibunya. Aura pun dipertemukan dengan neneknya, Catherine, oleh si pembantu.

Sungguh bahagia ketika Catherine dipertemukan dengan Aura yang telah sekian lama tidak dipeluk oleh sang nenek. Tidak hanya menikmati keindahan bougenville yang ada, Aura juga dijamu dengan jajanan khas desa serta dipersilahkan melihat-lihat koleksi almarhum kakeknya, Nugroho Sastrodarsono. Sastrodarsono adalah seorang sastrawan yang lumayan terkenal di masanya. Anehnya, diantara barang-barang kenangan yang ada, hanya naskah sastra yang berjudul Bougenville karya kakeknya yang menjadikan Aura terpesona. Mengingat bahwa kedatangannya bersama rekan yang lain, Aura segera menghubungi salah satu rekannya dan mengajak mereka untuk mampir ke rumah nenek Catherine.

Sayang, setelah bertemu dengan rekan-rekannya, Aura menjadi berubah pikiran. Ia hendak menunda keberangkatanya ke Bali bersama rekannya. Aura lebih memilih untuk bertempat di rumah Catherine dan menikmati kerinduan sekaligus peninggalan-peninggalan Sastrodarsono. Meski dengan berat hati, akhirnya rekan-rekan Aura mengabulkan permintaannya.

Aura semakin terpukau dengan cerita Catherine bahwa naskah itulah yang mempertemukan cinta antara Catherine dengan Sastrodarsono. Dikisahkan, sewaktu membuat naskah Bougenville, Sastrodarsono bertabrakan dengan Catherine yang kebetulan sama-sama membuat cerita yang judulnya sama. Sejak peristiwa itulah yang kemudian menjadikan keduanya berkenalan hingga menjalin hubungan cinta. Uniknya, sejak itu juga keduanya sepakat sama-sama tidak melanjutkan cerita yang diangkat dalam naskah itu.

Sembari memegang dua naskah Bougenville karya Sastrodarsono dan Catherine, Aura mengungkapkan rasa tertarik pada naskah yang belum selesai itu. Ketika ditawari Catherine untuk melanjutkan perjalanan kisah Bougenville, ia pun dengan cepat menyetujuinya. Dengan rasa gembira, Aura segera memilih salah satu Bougenville itu. Akhirnya, pilihan Aura jatuh pada Bougenville karya kakeknya.

Dengan imajinasi yang cukup tajam dan berliku, Aura menulis Bougenville yang diadaptasi dari Bougenville Sastrodarsono. Untuk menambah keleluasaannya dalam mengumbar emajinasi, Aura menulis disetiap tempat yang menurutnya mendukung kepenulisan, termasuk dipuncak bukit yang tidak jauh dari rumah kakek neneknya itu.

Selama empat hari berturut-turut, Aura selalu mendatangi tempat duduk diatas bukit yang tidak jauh dari rumah neneknya. Namun, pada hari keempat, disaat asyik menulis, tiba-tiba Aura teringat dengan keluarga di Yogyakarta. Ia pun memutuskan untuk turun bukit dan segera pamitan kepada neneknya untuk diberi izin pulang ke Yogyakarta untuk sementara. Dengan jalan tergesa-gesa, disaat mendekati jalan yang dilalui kendaraan umum, tiba-tiba selembar tulisan terakhir yang dipegangnya terlepas dan terbang menghampiri seorang pemuda, Briant. Tanpa tahu bahwa secarik kertas itu dikejar-kejar oleh Aura, pemuda yang sedang kehabisan ongkos untuk pulang ke Yogyakarta itu memungutnya. Melihat hal itu, dengan basa-basi dan memberanikan diri, akhirnya Aura meminta kertas itu.

Sejak saat itulah Aura mulai kenal dan tahu tentang masalah yang sedang menimpa Briant. Akhirnya, Aura mengajak Briant untuk mampir ke rumah Catherine dan berharap ada bantuan untuknya. Sesampai dirumah, tiba-tiba rekan-rekan Aura berdatangan untuk mengajak Aura pulang. Selain itu, Briant juga diajak Aura dan rekan-rekan untuk pulang bersama-sama.

Setelah berpisah dan sampai dirumah masing-masing, Aura kebingungan mencari naskah bougenville-nya yang berada dalam map merah. Setelah beberapa hari, Aura menemukan naskah Bougenville yang ditulis Briant dalam map merah sama dengan milik Aura. Naskah yang juga belum selesai itu ternyata hasil tulisan Briant sewaktu masih melanjutkan studi di Australia. Aura pun tersadar bahwa sewaktu bertemu dengan Briant, Aura melihat map merah yang sama dengan map naskah Bougenville-nya Aura. Map itu tertukar sewaktu Briant pindah dari mobil yang ditumpangi Aura dan Mike menuju mobil yang lain.

Cerita dalam novel ini belum selesai, bahkan ending dari cerita Wulandari ini seakan diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Tentang akhir dari naskah Bougenville itulah yang kemudian menyiksa pembaca dalam indahnya penasaran. Meski begitu novel ini cukup asyik untuk dinikmati sembari mengumbar imajinasi yang romantis.***

BELAJAR MENULIS DARI EKA KURNIAWAN*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Dalam gagas utama MataBaca, edisi September 2005 (hal. 10-11), salah satu penulis muda produktif dan banyak mengolah cerpen yang berangkat dari obsesi tertentu, rajin membuat catatan perjalanan atau penelitian sederhana. Pengarang ini adalah Eka Kurniawan. Di samping itu dia berpesan kepada kita begini (a) menulislah tentang hal apa saja yang kau ketahui dan (b) naskah yang ditolak dapat kita otak atik lagi, diedit lagi, kemudian dikirimkan ke media yang lain.

Sebagaimana Ucu Agustin, pesan tertolaknya tulisan merupakan peringatan agar kita dapat memperbaikinya kembali. Kalau Ucu berpesan ketika tulisan ditolak nggak usah gelisah maka Eka Kurniawan bilang lebih dari itu untuk kiranya dapat diperbaiki kembali, diotak-atik lagi. Dengan begitu, kita akan dapat melihat kekurangannya. Apalagi biasanya, koreksi dan saran dari redaktur diiringkan dalam penolakan itu.

Ibarat penjual kue seorang penulis perlu rajin untuk menawarkan dan terus meningkatkan kualitas kue yang diproduksinya. Hal ini mengingatkan filosofi kapitalisme yang memang memberikan ruang demikian. Tulisan yang ditolak media bukanlah kiamat bagi penulis. Bisa jadi hal itu disebabkan (a) kekurangcocokkan gaya dengan media yang kita tuju, (b) kadang masih dikaitkan dengan aktualitas tema, (c) kadang disebabkan alokasi karakter yang disediakan media tidak ditepati, (d) menyinggung pihak tertentu sehingga pertimbangan security menjadi pilihan penolakan, dan (e) perimbangan nama penulis (ini tentunya tidak semua media).

Untuk itu, jika salah satu alasan ini yang kita terima maka tinggal bagaiamna kita menyesuaikan dengan masukan dan selera itu. “Perngorbanan” estetik kadang-kadang harus diambil untuk pemuatan. Bukankah otoritas memang berada di tangan redaktur? Soal kualitas bagaimanapun dan kapan pun akan terus dapat diperdebatkan. Di sinilah, saya teringat akan pesan Maman S. Mahayana, untuk tetap berpegang pada “kualitas estetis” dalam kenisbian yang selalu dapat didialogkan.

Hal kedua yang dipesankan Eka adalah menulis dapat tentang apa saja. Hal ini berkaitan dengan tema atau masalah. Artinya, karena kehidupan terdiri dari aneka bidang kehidupan, dan begitu banyak persoalan yang melingkari kehidupan ini; maka sedemikian luas dan terbataslah bahan kepenulisan itu. Kuncinya, empati dan kemampuan berlibat kita dalam menggali, mengidentifikasi, dan mengeksplorasinya menjadi bahan cerpen yang menarik. Seno Gumira Adjidarma pernah menulis persoalan yang sederhana, telinga. Telinga dalam imajinasi Seno, dituangkan dalam dramatisasi percintaan seorang tentara yang di medan perang kemudian menemukan mata-mata yang diperung telinganya untuk dikirimkan pada kekasihnya. Absurd, memang. Tetapi itulah, jika imajinasi liar, dan hal itu sangat mungkin terjadi.

Demikian juga, Agus Noor pernah menulis cerpen judulnya mulut. Metafora mulut tentu sedemikian luas dan bias. Untuk ini, maka seorang penulis dapat mengembangkan sesuai dengan keliarannya masing-masing. Semakin liar, barangkali semakin baik. Tergantung bagaimana kita mengolahnya menjadi cerita yang nalar, logis, dan kaya-kaya nyata terjadi. Meskipun kecil kemungkinan, tetapi cerita sendiri sering berangkat dari keganjilan-keganjilan yang teralami (sebagaimana akuan Budi Darma) maka hal ini pun menjadi mungkin dan mudah untuk dikembangkan.

Sebagaimana Seno Gumira Adjidarma dan Budi Darma yang memanfaatkan perjalanan sebagai upaya research, penelitian sederhana, maka dapatlah kita melakukan pencatatan atas kejadian yang kita alami itu. Buku harian saran Danarto dapat sebagai alat utamanya. Mungkin merupakan rekaman peristiwa aneh, kejadian biasa, atau apa saja. Karena itu, jika Anda sedang melakukan perjalanan menarik kiranya jika Anda mau untuk melakukan teknik ini karena ke depan ia akan menjadi bahan penulisan yang menarik pula. Semakin avontour perjalanan itu maka akan semakin menarik pula. Arswendo Atmowiloto pernah melakukan perjalanan dengan kelompok sirkus kemudian melahirkan novelnya yang berjudul Cirkus. Demikian juga Ernest Hemingway yang menulis Lelaki Tua dan Laut setelah melakukan perjalanan panjang ke Afrika. Mengapa kita tidak memanfaatkan perjalanan untuk hal yang produktif, untuk bahan kepenulisan?

Hal lain yang tak kalah menarik dari pengalaman Eka Kurniawan adalah pentingnya obsesi. Sebuah obsesi memang dalam praktik kehidupan ini seringkali menggerakkan. Apalagi dalam kepenulisan tentu tidak jauh berbeda. Obsesi merupakan keinginan yang tersembunyi, terselubung di balik hati; yang menarik untuk diwujudkan. Jika kita memiliki obsesi tertentu maka menarik kiranya untuk dituangkan ke dalam tulisan. Entah, apa dan kapan. Entah berguna atau tidak, yang pasti jika kita mau mengawali dalam bentuk kepenulisan bukan hal aneh jika kemudian akan berbuah hasil yang menggembirakan di belakang hari.

Obsesi ini selanjutnya juga bersifat lampu penggerak. Obsesi akan mengingatkan pada (a) mimpi tentang teks cerpen yang bagaimanakah yang kita impikan, (b) mimpi idola seperti apakah penulis yang kita idamkan, (c) mimpi pemaknaan yang bagaimanakah yang ingin kita lesapkan, dan (d) puncak obsesi akhir dari semua rangkaian dunia kepenulisan yang kita impikan. Obsesi menjadi sebuah cita. Cita menjadi daya. Daya akan alirkan kreativitas. Kreativitas memberikan keunikan. Keunikan akan melahirkan kekhasan kita sebagai seorang penulis yang berbeda dari yang lainnya. Inilah, ruh kepenulisan yang menarik untuk diobsesikan. Sebuah dunia lepas dari keterpengaruhan orang lain! Tetapi dalam prosesnya tidak ditabukan mengekor atau memodeli dari sastrawan lain.

Hem, bagaimana dengan Anda? Kalau melihat perjalanan Eka Kurniawan menulis demikian mudah dan sederhana mengapa kita tidak memasuki pintu pengalaman yang sudah terbuka? Sambil menyalakan lampu harapan, barangkali obsesi tersembunyi dapat diwujudkan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar