Maryati
http://www.suarakarya-online.com/
Pada awal abad ke-19 kesenian dan budaya Melayu berkembang pesat di Pulau Penyengat, daratan kaya bauksit seluas 240 hektare yang terletak di seberang di bagian Barat Pulau Bintan, Riau.
Ketika itu kegiatan tulis menulis dipandang sebagai pekerjaan mulia yang bisa dilakukan oleh siapa saja sehingga sastra Melayu berkembang pesat dan buku-buku banyak diterbitkan.
"Semua orang yang tinggal di Penyengat sangat aktif berkarya. Tidak hanya sastrawan saja yang menulis dan menerbitkan karya-karyanya tetapi rakyat jelata, nelayan dan kaum perempuan pun membuat aneka tulisan," kata Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau Pulau Penyengat, Raja Malik Hafrizal.
Dia mencontohkan sebuah buku Perkawinan Penduduk Penyengat dikarang oleh seorang nelayan bernama Encik Abdullah pada tahun 1902 sedangkan buku berjudul Kumpulan Gunawan ditulis oleh seorang perempuan bernama Khatijah Terung. Pesatnya perkembangan sastra Melayu kala itu tidak lepas dari peran kerajaan.
"Dulu kerajaan sepenuhnya menyokong kegiatan penciptaan karya seni dan budaya. Kerajaan menyediakan kertas dan pena bagi siapa saja yang hendak berkarya dan membangun percetakan untuk menerbitkan karya-karya mereka," kata pria berambut ikal itu.
Tahun 1890-an percetakan Mathba'atul Riauwiyah dan Mathba`atul Al Ahmadi dibangun untuk menyebarluaskan karya-karya yang dihasilkan oleh putera-puteri Penyengat. Dari pulau kecil bertanah merah itu kemudian lahir banyak tokoh penulis dan sastrawan produktif yang keberadaannya di kenal luas di Semenanjung Tanah Melayu.
"Sebuah kelompok bernama Rusdiyah Klab yang beranggotakan intelektual dan sastrawan Melayu juga dibentuk sebagai forum bersama untuk mengembangkan sastra Melayu," kata Raja Malik seraya menyayangkan saat ini gedung tempat Rusdiyah Klab beraktifitas sudah tidak bisa lagi dijumpai sisa-sisanya di Penyengat.
Salah satu pengarang produktif yang dikenal pada masa itu adalah Raja Haji Ahmad Engku Tua, putera tertua Raja Haji Fisabillilah. Raja Haji Ahmad Engku Tua menulis banyak syair yang di antaranya adalah Syair Engku Puteri dan Syair Perang Johor serta membuat kerangka tulisan buku Tuhfat An-Nafis yang pembuatanya kemudian dilanjutkan oleh puteranya Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji yang lahir di Penyengat Indera Sakti pada 1808 dan meninggal pada 1873 merupakan tokoh budaya, pujangga, ahli siasat, politikus dan ahli bahasa ketika sastra Melayu berjaya di Penyengat. Dari goresan penanya lahir karya-karya besar seperti Gurindam XII, Bustanu`l-katibin (Kamus Bahasa Melayu), Kitab Pengetahuan Bahasa, Samratu`l-muhimmati (kitab pegangan pejabat pemerintah), Muqaddimah Fi Intizam (undang-undang), Syair Abdul Muluk, Tuhfat An-Nafis, Silsilah Melayu dan Bugis, Syair Suluh Pegawai, Syair Siti Shianah dan Syair Sinar Gemala Mestika Alam.
Keturunan Raja Ali Haji seperti Raja Haji Ahmad, Raja Saliha, Raja Safiah dan Raja Ali Kelana selanjutnya juga memberikan kontribusi penting bagi perkembangan sastra Melayu pada masa itu.
Pesatnya perkembangan dan kemajuan bahasa dan sastra Melayu ketika itu juga mendorong pemerintah Belanda untuk menjadikan Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Indonesia pada 1865.
Namun saat perang melawan Belanda mulai berkecamuk di Penyengat perkembangan sastra Melayu di kawasan itu mulai surut dan mencapai titik terendah ketika Belanda menguasai pulau itu pada 1911.
"Setelah Belanda berkuasa anggota kerajaan dan sebagian penduduknya, termasuk para satrawan dan penulis, meninggalkan Penyengat untuk berhijrah ke Singapura dan Malaysia karena tidak mau berada di bawah kekuasaan Belanda sehingga aktifitas seni pun menurun drastis," kata Raja Malik.
Sejak saat itu aktifitas penciptaan karya sastra dan seni Melayu di kawasan Segantang Lada Kepulauan Riau lantas tidak lagi terdengar gaungnya dan masa dorman itu berlangsung cukup lama.
"Karena beberapa hal perkembangan sastra dan kebudayaan Melayu di kawasan Segantang Lada dan sekitarnya memang mengalami pasang surut, namun saat ini geliatnya sudah mulai terlihat," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau H Robert Iwan Loriaux.
Karya sastra seperti syair dan pantun masih menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat baik dalam pelaksanaan upacara adat maupun dalam kegiatan pemerintahan. "Tokoh-tokoh baru juga mulai muncul. Tahun 2004 budayawan Melayu Tenas Effendi menerbitkan buku Tunjuk Ajar Melayu dan Putra Pulau Penyengat Hasan Yunus menerbitkan buku berjudul Raja Haji Fissabulillah Hanibal dari Riau," katanya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 28 November 2008
Senin, 24 November 2008
Saya
AS Sumbawi
Bus kota yang sesak dengan penumpang ini pun memperlambat lajunya setelah dua orang perempuan berpakaian pramuniaga sebuah toko yang berdiri dekat pintu depan memberi isyarat untuk turun. Perlahan Saya merangsek maju. Dan ketika bus kota berhenti di depan sebuah mall, Saya sudah berada di belakang mereka berdua. Bersiap turun pula.
Sungguh kebetulan sekali. Ada yang hendak turun ketika Saya ingin turun. Ini yang Saya suka. Saya tak usah repot-repot memberi isyarat. Cukup memanfaatkan kesempatan. Dan Saya percaya bahwa hanya orang-orang yang pandai memanfaatkan kesempatan yang beruntung dalam kehidupan ini. Sementara Saya, baru saja menikmati sebagian kecilnya.
Yap, beres sudah, gumam Saya menginjak trotoar jalan. Ternyata, tidak hanya dua orang perempuan berpakaian pramuniaga sebuah toko dan Saya saja yang turun. Ada tiga orang laki-laki turun lewat pintu belakang. Dandanannya seperti mahasiswa. Namun, sebenarnya mereka adalah pencopet. Dan tampaknya, wajah mereka jauh dari gembira.
Ngomong-ngomong, kalau hanya untuk keperluan mengetahui orang lain itu pencopet atau bukan, kita tak harus terjun menjadi pencopet. Cukup dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Dulu, Saya pernah melakukan hal itu. Saya mengawasi salah seorang penumpang bus kota. Ia laki-laki muda. Dan ternyata, ia memang seorang mahasiswa seperti gambaran Saya semula. Suatu kali Saya menemukan buktinya. Sebuah kartu mahasiswa pada dompetnya yang tergeletak di trotoar jalan di depan sebuah kampus.
*
Saya melihat orang-orang bergegas memasuki mall di depan. Sebagian besar di antara mereka adalah karyawan dan pramuniaga. Maklumlah, sebentar lagi jam sembilan. Itu berarti mereka harus segera bersiap dengan barang dagangan. Seperti biasa, tidak lama lagi calon pembeli akan berdatangan dengan antrian kebutuhan untuk dipenuhi.
Saya membalikkan badan. Di sebelah kiri, bus kota yang tadi Saya naiki terjebak lampu merah bersama kendaraan lainnya di perempatan jalan yang tak begitu jauh dari tempat Saya berdiri. Lalu-lintas jalan cukup padat. Maklumlah, di kanan kiri sepanjang ruas jalan banyak berdiri bangunan pertokoan. Apalagi jalan ini termasuk jalan utama kota.
Tak terasa kulit Saya terpanggang sinar matahari yang memanas. Saya kemudian bergegas menuju sebuah warung yang berdiri dekat bagian jalan yang biasa digunakan nge-time bus kota. Di kanan jalan, tidak jauh dari perempatan di sebelah kiri Saya.
*
Arloji di lengan kiri Saya menunjukkan pukul sepuluh kurang empat belas menit. Dan kini, Saya berada di dalam toilet mall. Segera Saya ambil koran yang terselip di balik baju Saya. Kemudian membuka lipatannya.
Ah, ini dia, gumam Saya saat melihat dompet warna pink. Tiba-tiba Saya teringat perempuan di bus kota tadi. Perempuan itu pasti seorang mahasiswi. Tidak salah. Gaya dandanannya modis. Tubuhnya bagus dan terawat. Bau tubuhnya juga harum. Entah, merk apa parfumnya. Sekilas dia terlihat cantik. Saya heran, akhir-akhir ini banyak mahasiswi yang berdandan dan bergaya ala artis. Padahal, siapa mereka yang disebut artis itu. Tak lain tak bukan adalah sekelompok orang yang diuntungkan oleh kebodohan masyarakat. Kini, tanpa sadar, mereka telah menempati kelas sosial tersendiri. Selebritis. Yang tayangan tentang kehidupan mereka mempunyai jam tayang khusus di seluruh acara stasiun televisi. Dan inilah yang selalu memberi mimpi-mimpi. Orang-orang ingin masuk dalam kelompok mereka. Ah, sungguh menyiksa.
Namun, di balik itu semua yang paling beruntung adalah para bos itu. Mereka sangat jeli. Pandai membaca situasi. Memanfaatkan kesempatan. Dan merekalah yang sebenarnya mengendalikan keadaan ini. Bayangkan saja, ketika seorang selebritis memakai baju merk tertentu, itu sudah termasuk iklan, pikir Saya.
Kembali Saya terbayang mahasiswi itu. Ia pasti histeris setelah mengetahui bahwa dompetnya hilang. Kecopetan. Apalagi sekarang tanggal muda. Ah, kasihan dia, harus menunda belanja. Tapi, keadaan mahasiswi itu belum seberapa. Saya yakin masih kalah dengan salah seorang korban Saya yang lain. Ia ibu-ibu. Menangis menjerit-jerit sembari ngesot-ngesot di lantai pasar. Untunglah, Saya tidak merasa bersalah waktu itu. Ya, Saya tak perlu merasa bersalah. Bukankah kehidupan sendiri memang kejam. Sementara copet merupakan pekerjaan profesional. Perlu keberanian dan ketrampilan khusus. Dan Saya masih terlalu muda untuk menjalankan agama.
O, Dewi. Kenapa setiap kali seperti ini, aku selalu teringat padamu. Kau perempuan yang begitu baik. Meskipun hanya buruh pabrik. Ya, tak ada yang melebihi dirimu, pikir Saya.
*
"Bajingan. Hanya dua puluh lima ribu."
Buru-buru Saya memeriksa seluruh dompet. Saya keluarkan beberapa buah kartu. KTP, KTM, ATM, dan kartu lainnya. Tiba-tiba ekor mata Saya menangkap sesuatu. Saya perhatikan foto di KTP.
Ah, tidak. Bukan Dewi. Untunglah. Tapi, mata itu. Seperti mata Dewi yang menatap tajam kepadaku, pikir Saya.
O, Dewi. Kenapa setiap kali teringat padamu, selalu saja aku teringat Tuhan. Entah, seperti apa aku di hadapan-Nya? Atau barangkali juga, Dia tak mengakuiku lagi sebagai hamba-Nya, pikir Saya lagi.
Buru-buru Saya masukkan uang dua puluh lima ribu dan KTP ke dompet. Sementara yang lainnya Saya tempatkan kembali ke tempatnya semula. Inilah kebiasaan Saya. Selalu mengoleksi kartu identitas milik korban Saya. Entah, sudah berapa jumlahnya sekarang. Sementara ATM, Saya tidak memerlukannya. Dulu, Saya pernah mengambil ATM. Namun, kini tidak lagi. Saya capek harus memecahkan satu persatu angka dari jumlah ribuan atau ratusan ribu. Saya selalu gagal. Belum lagi kalau pemiliknya meminta petugas bank untuk memblokir transaksi lewat ATM. Pasti akan sia-sia. Akhirnya, Saya buang ATM itu ke sungai. Hanyut bersama tumpukan sampah lainnya.
Setelah menyimpan dompet Saya dan dompet warna pink yang nanti akan Saya buang seperti biasa, Saya segera keluar dari toilet mall.
*
Suasana mall cukup ramai dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Kini, Saya berada di antara kerumunan para pengunjung mall. Menguntit sebuah keluarga calon korban. Suami-istri beserta dua orang anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Si ayah yang berdiri di depan Saya ini wajahnya tampak bodoh. Di samping itu, kancing saku belakang celananya tidak terpasang. Sementara benjolan dompetnya tampak tebal dari luar. Ah, sungguh mangsa yang sempurna, pikir Saya.
Perlahan jari-jari Saya yang sudah terlatih itu melakukan tugasnya.
Saya tersentak. Anak perempuan keluarga itu berteriak. Kerumunan orang menatap Saya geram. Siap dengan tangan terkepal dan kaki untuk menendang.
O, Dewi…
*
Saya terbangun dengan rasa nyeri di sekujur tubuh. Untunglah, Saya belum mati. Tidak berada di kuburan. Tapi, di sebuah sel. Dengan cahaya lampu yang tidak terlalu terang.
Saya mengedarkan pandangan mata. Ternyata, Saya tak sendirian. Ada dua orang laki-laki satu sel bersama Saya. Wajah mereka babak-belur. Akan tetapi, Saya dapat mengenali mereka. Dua dari tiga orang pencopet yang turun bersama Saya dan dua orang perempuan berpakaian pramuniaga toko di depan mall pagi tadi. Rupanya hari ini benar-benar sial.
“Mana yang pakai rompi,” kata Saya.
“Rumah sakit,” jawab salah seorang di antara mereka. Saya dan mereka diam sejenak. Saling memperhatikan.
“Kena di mana?” katanya lagi.
“Di mall. Kalian?”
“Di kampus.”
*
Malam terus beranjak. Saya duduk di salah satu pojok sel dan masih terjaga. Pandangan mata Saya menerawang menembus dinding sel. Beberapa saat yang lalu seorang petugas datang. Mengkabarkan kepada dua orang teman satu sel dengan Saya yang tidur itu, bahwa temannya yang pakai rompi tewas beberapa waktu yang lalu.
Dewi, maafkan aku. Tak seperti yang tergambar di benakmu. Tapi, aku mencintaimu. Ya, Dewi. Memang mimpi-mimpiku telah lama musnah. Tapi, inilah satu-satunya yang tersisa. Sebuah janin yang kukandung sejak bertemu denganmu. Hidup dalam sebuah keluarga. Bersamamu dan anak-anak kita yang lucu-lucu, pikir Saya. (*).
Bus kota yang sesak dengan penumpang ini pun memperlambat lajunya setelah dua orang perempuan berpakaian pramuniaga sebuah toko yang berdiri dekat pintu depan memberi isyarat untuk turun. Perlahan Saya merangsek maju. Dan ketika bus kota berhenti di depan sebuah mall, Saya sudah berada di belakang mereka berdua. Bersiap turun pula.
Sungguh kebetulan sekali. Ada yang hendak turun ketika Saya ingin turun. Ini yang Saya suka. Saya tak usah repot-repot memberi isyarat. Cukup memanfaatkan kesempatan. Dan Saya percaya bahwa hanya orang-orang yang pandai memanfaatkan kesempatan yang beruntung dalam kehidupan ini. Sementara Saya, baru saja menikmati sebagian kecilnya.
Yap, beres sudah, gumam Saya menginjak trotoar jalan. Ternyata, tidak hanya dua orang perempuan berpakaian pramuniaga sebuah toko dan Saya saja yang turun. Ada tiga orang laki-laki turun lewat pintu belakang. Dandanannya seperti mahasiswa. Namun, sebenarnya mereka adalah pencopet. Dan tampaknya, wajah mereka jauh dari gembira.
Ngomong-ngomong, kalau hanya untuk keperluan mengetahui orang lain itu pencopet atau bukan, kita tak harus terjun menjadi pencopet. Cukup dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Dulu, Saya pernah melakukan hal itu. Saya mengawasi salah seorang penumpang bus kota. Ia laki-laki muda. Dan ternyata, ia memang seorang mahasiswa seperti gambaran Saya semula. Suatu kali Saya menemukan buktinya. Sebuah kartu mahasiswa pada dompetnya yang tergeletak di trotoar jalan di depan sebuah kampus.
*
Saya melihat orang-orang bergegas memasuki mall di depan. Sebagian besar di antara mereka adalah karyawan dan pramuniaga. Maklumlah, sebentar lagi jam sembilan. Itu berarti mereka harus segera bersiap dengan barang dagangan. Seperti biasa, tidak lama lagi calon pembeli akan berdatangan dengan antrian kebutuhan untuk dipenuhi.
Saya membalikkan badan. Di sebelah kiri, bus kota yang tadi Saya naiki terjebak lampu merah bersama kendaraan lainnya di perempatan jalan yang tak begitu jauh dari tempat Saya berdiri. Lalu-lintas jalan cukup padat. Maklumlah, di kanan kiri sepanjang ruas jalan banyak berdiri bangunan pertokoan. Apalagi jalan ini termasuk jalan utama kota.
Tak terasa kulit Saya terpanggang sinar matahari yang memanas. Saya kemudian bergegas menuju sebuah warung yang berdiri dekat bagian jalan yang biasa digunakan nge-time bus kota. Di kanan jalan, tidak jauh dari perempatan di sebelah kiri Saya.
*
Arloji di lengan kiri Saya menunjukkan pukul sepuluh kurang empat belas menit. Dan kini, Saya berada di dalam toilet mall. Segera Saya ambil koran yang terselip di balik baju Saya. Kemudian membuka lipatannya.
Ah, ini dia, gumam Saya saat melihat dompet warna pink. Tiba-tiba Saya teringat perempuan di bus kota tadi. Perempuan itu pasti seorang mahasiswi. Tidak salah. Gaya dandanannya modis. Tubuhnya bagus dan terawat. Bau tubuhnya juga harum. Entah, merk apa parfumnya. Sekilas dia terlihat cantik. Saya heran, akhir-akhir ini banyak mahasiswi yang berdandan dan bergaya ala artis. Padahal, siapa mereka yang disebut artis itu. Tak lain tak bukan adalah sekelompok orang yang diuntungkan oleh kebodohan masyarakat. Kini, tanpa sadar, mereka telah menempati kelas sosial tersendiri. Selebritis. Yang tayangan tentang kehidupan mereka mempunyai jam tayang khusus di seluruh acara stasiun televisi. Dan inilah yang selalu memberi mimpi-mimpi. Orang-orang ingin masuk dalam kelompok mereka. Ah, sungguh menyiksa.
Namun, di balik itu semua yang paling beruntung adalah para bos itu. Mereka sangat jeli. Pandai membaca situasi. Memanfaatkan kesempatan. Dan merekalah yang sebenarnya mengendalikan keadaan ini. Bayangkan saja, ketika seorang selebritis memakai baju merk tertentu, itu sudah termasuk iklan, pikir Saya.
Kembali Saya terbayang mahasiswi itu. Ia pasti histeris setelah mengetahui bahwa dompetnya hilang. Kecopetan. Apalagi sekarang tanggal muda. Ah, kasihan dia, harus menunda belanja. Tapi, keadaan mahasiswi itu belum seberapa. Saya yakin masih kalah dengan salah seorang korban Saya yang lain. Ia ibu-ibu. Menangis menjerit-jerit sembari ngesot-ngesot di lantai pasar. Untunglah, Saya tidak merasa bersalah waktu itu. Ya, Saya tak perlu merasa bersalah. Bukankah kehidupan sendiri memang kejam. Sementara copet merupakan pekerjaan profesional. Perlu keberanian dan ketrampilan khusus. Dan Saya masih terlalu muda untuk menjalankan agama.
O, Dewi. Kenapa setiap kali seperti ini, aku selalu teringat padamu. Kau perempuan yang begitu baik. Meskipun hanya buruh pabrik. Ya, tak ada yang melebihi dirimu, pikir Saya.
*
"Bajingan. Hanya dua puluh lima ribu."
Buru-buru Saya memeriksa seluruh dompet. Saya keluarkan beberapa buah kartu. KTP, KTM, ATM, dan kartu lainnya. Tiba-tiba ekor mata Saya menangkap sesuatu. Saya perhatikan foto di KTP.
Ah, tidak. Bukan Dewi. Untunglah. Tapi, mata itu. Seperti mata Dewi yang menatap tajam kepadaku, pikir Saya.
O, Dewi. Kenapa setiap kali teringat padamu, selalu saja aku teringat Tuhan. Entah, seperti apa aku di hadapan-Nya? Atau barangkali juga, Dia tak mengakuiku lagi sebagai hamba-Nya, pikir Saya lagi.
Buru-buru Saya masukkan uang dua puluh lima ribu dan KTP ke dompet. Sementara yang lainnya Saya tempatkan kembali ke tempatnya semula. Inilah kebiasaan Saya. Selalu mengoleksi kartu identitas milik korban Saya. Entah, sudah berapa jumlahnya sekarang. Sementara ATM, Saya tidak memerlukannya. Dulu, Saya pernah mengambil ATM. Namun, kini tidak lagi. Saya capek harus memecahkan satu persatu angka dari jumlah ribuan atau ratusan ribu. Saya selalu gagal. Belum lagi kalau pemiliknya meminta petugas bank untuk memblokir transaksi lewat ATM. Pasti akan sia-sia. Akhirnya, Saya buang ATM itu ke sungai. Hanyut bersama tumpukan sampah lainnya.
Setelah menyimpan dompet Saya dan dompet warna pink yang nanti akan Saya buang seperti biasa, Saya segera keluar dari toilet mall.
*
Suasana mall cukup ramai dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Kini, Saya berada di antara kerumunan para pengunjung mall. Menguntit sebuah keluarga calon korban. Suami-istri beserta dua orang anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Si ayah yang berdiri di depan Saya ini wajahnya tampak bodoh. Di samping itu, kancing saku belakang celananya tidak terpasang. Sementara benjolan dompetnya tampak tebal dari luar. Ah, sungguh mangsa yang sempurna, pikir Saya.
Perlahan jari-jari Saya yang sudah terlatih itu melakukan tugasnya.
Saya tersentak. Anak perempuan keluarga itu berteriak. Kerumunan orang menatap Saya geram. Siap dengan tangan terkepal dan kaki untuk menendang.
O, Dewi…
*
Saya terbangun dengan rasa nyeri di sekujur tubuh. Untunglah, Saya belum mati. Tidak berada di kuburan. Tapi, di sebuah sel. Dengan cahaya lampu yang tidak terlalu terang.
Saya mengedarkan pandangan mata. Ternyata, Saya tak sendirian. Ada dua orang laki-laki satu sel bersama Saya. Wajah mereka babak-belur. Akan tetapi, Saya dapat mengenali mereka. Dua dari tiga orang pencopet yang turun bersama Saya dan dua orang perempuan berpakaian pramuniaga toko di depan mall pagi tadi. Rupanya hari ini benar-benar sial.
“Mana yang pakai rompi,” kata Saya.
“Rumah sakit,” jawab salah seorang di antara mereka. Saya dan mereka diam sejenak. Saling memperhatikan.
“Kena di mana?” katanya lagi.
“Di mall. Kalian?”
“Di kampus.”
*
Malam terus beranjak. Saya duduk di salah satu pojok sel dan masih terjaga. Pandangan mata Saya menerawang menembus dinding sel. Beberapa saat yang lalu seorang petugas datang. Mengkabarkan kepada dua orang teman satu sel dengan Saya yang tidur itu, bahwa temannya yang pakai rompi tewas beberapa waktu yang lalu.
Dewi, maafkan aku. Tak seperti yang tergambar di benakmu. Tapi, aku mencintaimu. Ya, Dewi. Memang mimpi-mimpiku telah lama musnah. Tapi, inilah satu-satunya yang tersisa. Sebuah janin yang kukandung sejak bertemu denganmu. Hidup dalam sebuah keluarga. Bersamamu dan anak-anak kita yang lucu-lucu, pikir Saya. (*).
Kamis, 20 November 2008
MEMBANGUN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Indonesia adalah lanskap pelangi. Di sana, terhampar panorama warna-warni dengan beragam kultur etnik, bahasa, agama, bahkan juga ideologi. Ia menyimpan kekayaan atas keberagaman dan keberbedaan. Maka, keindonesiaan sejatinya adalah keberagaman dan keberbedaan itu yang dalam ideologi negara dirumuskan dalam satu kata: kebhinekaan. Keindonesiaan yang menyatukan segala keberagaman dan keberbedaan itu. Jadi, yang dimaksud keindonesiaan adalah sebuah lanskap multikultural. Di sana bersemayam berbagai kultur etnik dengan segala keberagaman dan keberbedaannya.
Di atas segenap kultur etnik itu lahirlah klaim kebudayaan Indonesia. Tentu saja peristiwanya tidak sekali jadi. Segalanya wujud melalui proses panjang dan rumit. Kedatangan bangsa asing adalah bagian penting dari perkembangannya itu. India dengan Hinduisme dan Buddhismenya, mula diterima begitu saja. Tetapi kemudian secara kreatif diolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur Indonesia.
Kedatangan Islam juga diterima dengan mempertahankan corak dan semangat lokalitas (tempatan) yang khas. Jadilah Islam—Indonesia memperlihatkan homogenitas pada keimanan dan panduan yang sama, dan sekaligus kekayaan heterogenitasnya yang sarat dengan warna lokal ketika ia diterjemahkan ke dalam berbagai ritual. Islam yang mewarnai keindonesiaan itu menjadi begitu unik, khas, dan beragam.
Selepas itu, masuk pula Portugis, Cina, Jepang, Persia, dan bangsa-bangsa Barat sambil menawarkan Kristen—Katolik dengan segala cabang-rantingnya. Semua itu juga pada gilirannya ikut mewarnai keindonesiaan. Jadilah kebudayaan Indonesia wujud sebagai produk yang merepresentasikan proses terjadinya akulturasi dan sekaligus inkulturasi yang rumit. Kultur lokal dengan segala etnisitasnya terus dipelihara dan dijaga. Tetapi, saat bersamaan, inklusivitasnya telah membiarkan diri dimasuki berbagai pengaruh luar.
***
Sesungguhnya persoalan keindonesiaan ini sudah selesai ketika para pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 mendeklarasikan Sumpah Pemuda: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Sejak itu, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnik masyarakat Semenanjung— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik mendirikan Indonesia.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasanya, dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), persamaan nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda itu dalam konteks kebangsaan yang lebih bersifat politis. Dalam lampiran hasil keputusan kongres itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi kesamaan semangat “kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.” Pertanyaannya: di mana kultur etnik hendak ditempatkan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, lalu mengapa persoalan kebudayaan (etnik) tidak dijadikan landasan semangat persatuan keindonesiaan?
***
Di situlah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” punya makna penting sebagai alat perekat. Jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara. Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal keberagaman kultur etnik. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya, untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah terbuka peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.
Dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Ia tak menyinggung kebudayaan etnik dan terperangkap pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional (Indonesia lama) dan modern (Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru.… dalam zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…” (Pujangga Baru, No. 12, Th. I, Juni 1934).
Beberapa artikel Alisjahbana yang lain dalam Polemik Kebudayaan, di satu pihak memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, di lain pihak memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, menurutnya, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!
Meski awalnya Alisjahbana menyatakan, bahwa “Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak menyinggung signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Bagi Alisjahbana, kebudayaan etnik pun sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan itu menafikan keberadaan kultur etnik, masalahnya berkaitan dengan tuntutan semangat zaman. Boleh jadi pertimbangannya atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Atau, Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Itulah sumber masalah yang menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu terus bergulir mengikuti perjalanan waktu. Kebudayaan Indonesia seolah-olah menjelma begitu saja secara serempak, tanpa keterlibatan –atau perlu melibatkan—kultur etnik.
Pertanyaannya: apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan juga tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan atau yang justru dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Ketidakjelasan rumusan itu pula yang dihadapi para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia? Dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kembali, ketidakjelasan mendudukkan konsep kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah, justru menimbulkan persoalan baru. Bukankah pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa, justru menafikan sebagian kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Tentu saja mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional, tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya punya wilayah dan peranan yang berbeda.
Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional menempati kotaknya sendiri yang tidak gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Lalu, bagaimana dengan para pekerja budaya yang tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa kebudayaan Indonesia tidak dapat lepas dari hubungan antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).
Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim masyarakat etnik, juga muncul dalam semangat yang melandasi mereka yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Sikap berkebudayaan yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tidak mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keindonesiaan. Mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang itu, mesti berangkat dan bersumber dari kebudayaan daerah—kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.
***
Pemaparan tadi menegaskan, betapa rumusan tentang kebudayaan Indonesia selama ini, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia, mesti tidak lagi terpaku dan berkutat pada konsep yang abstrak, tetapi pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.
Pemahaman kebudayaan etnik dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana banyak terdapat dalam buku pelajaran sekolah, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya.
Perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, akan membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan, bahwa kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini merupakan bagian dari diri kita, milik kita sebagai warga Indonesia.
Dalam kerangka itu, pengajaran tentang multikulturalisme di semua jenjang pendidikan menjadi sangat penting. Ia dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami keberagaman dan keberbedaan suku-suku bangsa di Indonesia, juga sebagai usaha mengangkat marwah keindonesiaan dan meneguhkan rasa kebangsaan. Bukankah multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini pula bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan lewat pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain. Oleh karena itu, pengajaran multikulturalisme dapat dimanfaatkan untuk menanamkan sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demokratis.
Pengetahuan kebudayaan lain juga penting dalam rangka pembukaan ruang interaksi antaretnis, antarsuku bangsa, antarbudaya, bahkan juga antar-agama. Dari sanalah pemahaman tentang keberagaman dan keberbedaan dapat ditempatkan dalam posisi setara. Ia dapat diapresiasi etnis mana pun atau umat beragama apa pun, tanpa merasa diri lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya. Secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan perbedaan budaya; mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme sebagai corak kehidupan kemasyarakatan.
Pusat perhatian multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, dan budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu dalam kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas. Di situlah semangat multikulturalisme dapat menumbuhkan toleransi, tenggang rasa, dan sikap saling menghargai perbedaan. Ia pada gilirannya akan menjadi dasar pengajaran demokrasi yang sejalan dengan kultur Indonesia lantaran ia lahir dari rahim budaya sendiri.
Saatnya kini Depdiknas atau institusi terkait mempertimbangkan gagasan ini!
http://mahayana-mahadewa.com/
Indonesia adalah lanskap pelangi. Di sana, terhampar panorama warna-warni dengan beragam kultur etnik, bahasa, agama, bahkan juga ideologi. Ia menyimpan kekayaan atas keberagaman dan keberbedaan. Maka, keindonesiaan sejatinya adalah keberagaman dan keberbedaan itu yang dalam ideologi negara dirumuskan dalam satu kata: kebhinekaan. Keindonesiaan yang menyatukan segala keberagaman dan keberbedaan itu. Jadi, yang dimaksud keindonesiaan adalah sebuah lanskap multikultural. Di sana bersemayam berbagai kultur etnik dengan segala keberagaman dan keberbedaannya.
Di atas segenap kultur etnik itu lahirlah klaim kebudayaan Indonesia. Tentu saja peristiwanya tidak sekali jadi. Segalanya wujud melalui proses panjang dan rumit. Kedatangan bangsa asing adalah bagian penting dari perkembangannya itu. India dengan Hinduisme dan Buddhismenya, mula diterima begitu saja. Tetapi kemudian secara kreatif diolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur Indonesia.
Kedatangan Islam juga diterima dengan mempertahankan corak dan semangat lokalitas (tempatan) yang khas. Jadilah Islam—Indonesia memperlihatkan homogenitas pada keimanan dan panduan yang sama, dan sekaligus kekayaan heterogenitasnya yang sarat dengan warna lokal ketika ia diterjemahkan ke dalam berbagai ritual. Islam yang mewarnai keindonesiaan itu menjadi begitu unik, khas, dan beragam.
Selepas itu, masuk pula Portugis, Cina, Jepang, Persia, dan bangsa-bangsa Barat sambil menawarkan Kristen—Katolik dengan segala cabang-rantingnya. Semua itu juga pada gilirannya ikut mewarnai keindonesiaan. Jadilah kebudayaan Indonesia wujud sebagai produk yang merepresentasikan proses terjadinya akulturasi dan sekaligus inkulturasi yang rumit. Kultur lokal dengan segala etnisitasnya terus dipelihara dan dijaga. Tetapi, saat bersamaan, inklusivitasnya telah membiarkan diri dimasuki berbagai pengaruh luar.
***
Sesungguhnya persoalan keindonesiaan ini sudah selesai ketika para pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 mendeklarasikan Sumpah Pemuda: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Sejak itu, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnik masyarakat Semenanjung— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik mendirikan Indonesia.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasanya, dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), persamaan nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Klaim kesadaran keindonesiaan para pemuda itu dalam konteks kebangsaan yang lebih bersifat politis. Dalam lampiran hasil keputusan kongres itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi kesamaan semangat “kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.” Pertanyaannya: di mana kultur etnik hendak ditempatkan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, lalu mengapa persoalan kebudayaan (etnik) tidak dijadikan landasan semangat persatuan keindonesiaan?
***
Di situlah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” punya makna penting sebagai alat perekat. Jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di wilayah Nusantara. Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal keberagaman kultur etnik. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya, untuk melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Sejak Sumpah Pemuda dicetuskan, sejak itulah terbuka peluang untuk saling memahami berbagai kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.
Dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan Indonesia dengan orientasi ke Barat. Ia tak menyinggung kebudayaan etnik dan terperangkap pemikiran dikotomis mengenai kebudayaan tradisional (Indonesia lama) dan modern (Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru.… dalam zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku, dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas… dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi penonton…” (Pujangga Baru, No. 12, Th. I, Juni 1934).
Beberapa artikel Alisjahbana yang lain dalam Polemik Kebudayaan, di satu pihak memberi penyadaran pentingnya orientasi bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, di lain pihak memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang mesti disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, menurutnya, kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!
Meski awalnya Alisjahbana menyatakan, bahwa “Dalam pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak menyinggung signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari usaha membangun kebudayaan Indonesia. Bagi Alisjahbana, kebudayaan etnik pun sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan itu menafikan keberadaan kultur etnik, masalahnya berkaitan dengan tuntutan semangat zaman. Boleh jadi pertimbangannya atas dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Atau, Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan etnik. Itulah sumber masalah yang menimpa kebudayaan Indonesia. Masalah itu terus bergulir mengikuti perjalanan waktu. Kebudayaan Indonesia seolah-olah menjelma begitu saja secara serempak, tanpa keterlibatan –atau perlu melibatkan—kultur etnik.
Pertanyaannya: apa yang dimaksud dengan kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan juga tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan, bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan atau yang justru dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Ketidakjelasan rumusan itu pula yang dihadapi para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia? Dalam penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Kembali, ketidakjelasan mendudukkan konsep kebudayaan nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah, justru menimbulkan persoalan baru. Bukankah pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa, justru menafikan sebagian kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan bangsa. Tentu saja mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional, tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya punya wilayah dan peranan yang berbeda.
Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional menempati kotaknya sendiri yang tidak gampang dapat dipertukarkan tempatnya. Lalu, bagaimana dengan para pekerja budaya yang tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa kebudayaan Indonesia tidak dapat lepas dari hubungan antara kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).
Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim masyarakat etnik, juga muncul dalam semangat yang melandasi mereka yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Sikap berkebudayaan yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tidak mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keindonesiaan. Mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan, jika mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan penjelasannya tentang itu, mesti berangkat dan bersumber dari kebudayaan daerah—kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.
***
Pemaparan tadi menegaskan, betapa rumusan tentang kebudayaan Indonesia selama ini, telah gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia, mesti tidak lagi terpaku dan berkutat pada konsep yang abstrak, tetapi pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.
Pemahaman kebudayaan etnik dalam bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian, jenis kesenian, dan nama suku bangsa sebagaimana banyak terdapat dalam buku pelajaran sekolah, tanpa penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang berada di sebaliknya.
Perlu dipikirkan langkah-langkah praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain, diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain sebagai bagian dari kekayaan keindonesiaan. Sikap apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, akan membawa kita mengenal, memahami dan memberi penghargaan, bahwa kultur etnik yang tersebar di Nusantara ini merupakan bagian dari diri kita, milik kita sebagai warga Indonesia.
Dalam kerangka itu, pengajaran tentang multikulturalisme di semua jenjang pendidikan menjadi sangat penting. Ia dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami keberagaman dan keberbedaan suku-suku bangsa di Indonesia, juga sebagai usaha mengangkat marwah keindonesiaan dan meneguhkan rasa kebangsaan. Bukankah multikulturalisme didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu, diyakini pula bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif keanekaragaman etnik dan lewat pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain. Oleh karena itu, pengajaran multikulturalisme dapat dimanfaatkan untuk menanamkan sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demokratis.
Pengetahuan kebudayaan lain juga penting dalam rangka pembukaan ruang interaksi antaretnis, antarsuku bangsa, antarbudaya, bahkan juga antar-agama. Dari sanalah pemahaman tentang keberagaman dan keberbedaan dapat ditempatkan dalam posisi setara. Ia dapat diapresiasi etnis mana pun atau umat beragama apa pun, tanpa merasa diri lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya. Secara ideologis, multikulturalisme sangat mengagungkan perbedaan budaya; mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme sebagai corak kehidupan kemasyarakatan.
Pusat perhatian multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan ideologi, agama, suku bangsa, dan budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran itu, setiap individu dalam kelompok sosial dan warga suku bangsa akan dapat menempatkan perbedaan dalam kerangka kesetaraan derajat, dan bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas. Di situlah semangat multikulturalisme dapat menumbuhkan toleransi, tenggang rasa, dan sikap saling menghargai perbedaan. Ia pada gilirannya akan menjadi dasar pengajaran demokrasi yang sejalan dengan kultur Indonesia lantaran ia lahir dari rahim budaya sendiri.
Saatnya kini Depdiknas atau institusi terkait mempertimbangkan gagasan ini!
Kamis, 13 November 2008
Simbol Abadi Pemersatu Negeri
Misbahus Surur*
http://www.jawapos.com/
Di tengah geliat karya terjemahan buku-buku sejarah, misalnya The History of Java karya Thomas Stamford Raffles serta The History of Sumatra-nya William Marsden, muncullah kemudian Nusantara: A History of Indonesia (judul terjemahan: Nusantara: Sejarah Indonesia), karya indolog Bernard H. M. Vlekke, ditulis berkisar 1941-1943. Penyerangan Jepang atas pangkalan militer Amerika di Asia Pasifik (Pearl Harbor), dijadikan penandanya. Barangkali inilah trilogi historiografi terjemahan teranyar yang membincang wacana sejarah negeri ini.
Pemerian sejarah yang dilakukan Vlekke runtut tertata rapi. Menampilkan fragmen-fragmen sejarah masa pra-kolonial hingga sampai kedatangan bangsa kolonialis (Spanyol, Portugis, dan Belanda) di Nusantara. Tepatnya sampai tahun 1945. Porsi pembahasan pra-kolonial disoroti dengan tajam, mendedahkan begitu banyak informasi yang jarang diekpektasikan banyak orang. Mungkin karena itulah buku ini langsung dapat sambutan hangat dari para penggandrung sejarah. Sampai naik cetak ulang dan terpajang di rak buku best seller. Terlebih buku ini terasa berbobot karena penulis melampirkan data sejarah (setumpuk dokumen, buku dan arsip-arsip kuno) yang hampir sepenuhnya berasal dari luar negeri dan diakui otentisitasnya. Dengan dandanan kata dan paragraf yang menarasikan sejarah ilustratif, cantik bak dongeng.
Vlekke membentangkan Bab Pertama dengan deskripsi muasal manusia Indonesia dan pembentukan masyarakat kerajaan. Namun membicarakan ihwal manusia Indonesia ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Saking beragamnya ras manusia yang menyimpul di dalamnya. Menurut dua antropolog bersaudara, P. dan F. Sarasin misalnya, sebelum kedatangan moyang bangsa Indonesia yang tergabung dalam gelombang ''Proto dan Deutero-Melayu'', populasi asli kepulauan Indonesia adalah suatu ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Tetapi lambat laun setelah datangnya penghuni baru yang lebih memilih untuk menghuni daerah-daerah pesisir pantai, sisa-sisa penduduk asli ini akhirnya terdesak ke daerah pedalaman. Hal ini tentu mematahkan asumsi kebanyakan orang yang selama ini mengira moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan di daratan Tiongkok.
Tidak banyak memang sejarawan yang mengulas perihal sejarah Indonesia secara komprehensif. Satu dari yang sedikit itu adalah Vlekke. Untuk mengulas balik sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, penulis tidak begitu saja mengabaikan informasi dari dua kitab sejarah teramat fenomenal yang kerap diperbincangkan dalam taman sari sejarah Nusantara. Kitab tersebut adalah Pararaton dan Negarakertagama. Dan, bisa jadi hanya dua kitab inilah yang dijadikan sumber dari dalam oleh Vlekke. Menurut Vlekke, kedua kitab tersebut bukanlah sebuah narasi sejarah murni. Karena penulisannya didasarkan atas hal-hal baik yang pernah dilakukan raja. Pendek kata, kitab itu dirancang sekadar untuk memperkuat kedudukan sang raja.
Menurut buku ini, Majapahit adalah sebuah model negara kesatuan di masa silam. Sumpah Amukti Palapa yang keluar dari mulut Gadjah Mada menjadi semacam simbol abadinya. Nama ''Nusantara'' adalah istilah yang amat lekat dan merujuk pada periode ketika Hayam Wuruk menyatukan berbagai pulau besar dan kecil di seluruh negeri ini, di bawah naungan imperium Majapahit. Lalu, saat Nusantara tengah dijajah imperealis Belanda, ketika para pemuda dan rakyat negeri ini cukup concern mendiskusikan akar-akar kesatuan Indonesia (1908), muncullah ide bagi model persatuan yang secara historis paling sesuai dengan yang diingini untuk Indonesia hari itu. Gagasan persatuan dan kesatuan yang menandai lahirnya beberapa organisasi pemuda tersebut akhirnya jatuh pada Majapahit. Jadi, sejatinya, bukan momen historis yang bernama kolonialisme yang menyatukan bangsa ini, melainkan karena masa silamnya yang gilang-gemilang. Meskipun sempat tersebar isu panas, sebagaimana dilansir surat kabar Jawa, Bramartani --asumsi serangan Demak ke jantung imperium Majapahit yang membuat kerajaan ini rontok-- (baca selanjutnya: Ricklefs, Polarising Javanese Society).
Datangnya Belanda telah mengkangkangi Nusantara. Dengan tamak mereka mengeruk kekayaan bumi pertiwi. Mereka juga mengacak-acak beberapa wilayah Nusantara. seperti Ternate, Makassar, Mataram, Banten hingga menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam itu menemui nasib yang tak jauh beda dari Majapahit. Bukan sekadar itu, kedatangan kolonialis Belanda telah membentangkan kidung ratap kesengsaraan manusia Indonesia lebih dari tiga abad lamanya. Misi kolonial inilah sesungguhnya yang dilawan penduduk negeri ini. Di mana-mana Belanda sengaja menyulut api peperangan, namun penduduk tak tinggal diam, mereka respons dengan perlawanan yang tak kalah sengit pula. Kesengsaraan penduduk pribumi ini makin terlihat jelas saat Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Sebab, diakui atau tidak telah menumbalkan berjuta-juta manusia Indonesia.
Pada bab-bab terakhir, seperti pada Bab IX, Vlekke mengurai seputar aspek-aspek baru yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Penulis menceritakan dengan teramat detail struktur bangunan, tata kota serta keindahan-keindahannya. Tak ketinggalan, lapisan-lapisan masyarakat Belanda yang tinggal di Batavia serta ihwal kehidupan penduduk Batavia.
Selanjutnya pada Bab XX, XI, XII, sampai Bab XII mengulas arogansi kaum penjajah, iklim politik serta gerakan-gerakan di Nusantara (Batavia) khususnya politik perdagangan dalam negeri, pengajaran, mobilitas sosial serta pertumbuhan penduduk Hindia, dari masa Herman Williem Daendels, Thomas Stamford Raffles, hingga masa gubernur jendral Johannes Van Den Bosch. Dan, pada bab-bab terakhir, baru membicarakan bibit-bibit kebangkitan bangsa dan pergerakan nasional di Nusantara.
Keberanian buku yang tersusun atas enam belas bab ini patut diacungi jempol, karena memasang judul Nusantara. Istilah yang kala itu bermuatan reaksioner bagi pihak Belanda. Keterkaitan periode satu dengan periode seterusnya dipaparkan dengan baik, hingga memunculkan kronik sejarah yang kaya. Membacanya, kita seperti sedang dihidangkan suguhan narasi sejarah sebuah negara besar yang membentang dari barat ke timur. Namun, karena buku ini memburu kekomprehensifan, akibatnya justru membuat pembahasannya tidak pernah tuntas. Misalnya, ketika memaparkan Aru Palakka --raja Bone-- dan Kapitan Jonker --orang Ambon asli-- (hlm. 183-205), yang membantu Kompeni Belanda kala itu, latar belakangnya tidak pernah diungkap secara mendetail.
Sebagai sebuah karya yang membincang sejarah negeri ini, Nusantara karya Vlekke ini laik untuk melengkapi minimnya karya indologi serta miskinnya pengetahuan para penikmat sejarah. Di samping itu, hadirnya buku sejarah ini sebagaimana yang diakui Luthfi Assyaukanie, telah mematahkan tesis tentang ketiadaan kaitan antara peristiwa masa lampau dengan peristiwa sekarang. Dari buku ini justru kita dapat mengetahui bahwa kejadian di masa sekarang ternyata ada kaitan erat dengan peristiwa sosial-politik di masa lampau. (*)
---
Judul Buku : Nusantara: Sejarah Indonesia
Penulis : Bernard H.M. Vlekke
Penerjemah : Samsudin Berlian
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, 2008
Tebal : xxiv + 528 halaman
*) Penyuka sejarah, mahasiswa pasca sarjana UIN Malang
http://www.jawapos.com/
Di tengah geliat karya terjemahan buku-buku sejarah, misalnya The History of Java karya Thomas Stamford Raffles serta The History of Sumatra-nya William Marsden, muncullah kemudian Nusantara: A History of Indonesia (judul terjemahan: Nusantara: Sejarah Indonesia), karya indolog Bernard H. M. Vlekke, ditulis berkisar 1941-1943. Penyerangan Jepang atas pangkalan militer Amerika di Asia Pasifik (Pearl Harbor), dijadikan penandanya. Barangkali inilah trilogi historiografi terjemahan teranyar yang membincang wacana sejarah negeri ini.
Pemerian sejarah yang dilakukan Vlekke runtut tertata rapi. Menampilkan fragmen-fragmen sejarah masa pra-kolonial hingga sampai kedatangan bangsa kolonialis (Spanyol, Portugis, dan Belanda) di Nusantara. Tepatnya sampai tahun 1945. Porsi pembahasan pra-kolonial disoroti dengan tajam, mendedahkan begitu banyak informasi yang jarang diekpektasikan banyak orang. Mungkin karena itulah buku ini langsung dapat sambutan hangat dari para penggandrung sejarah. Sampai naik cetak ulang dan terpajang di rak buku best seller. Terlebih buku ini terasa berbobot karena penulis melampirkan data sejarah (setumpuk dokumen, buku dan arsip-arsip kuno) yang hampir sepenuhnya berasal dari luar negeri dan diakui otentisitasnya. Dengan dandanan kata dan paragraf yang menarasikan sejarah ilustratif, cantik bak dongeng.
Vlekke membentangkan Bab Pertama dengan deskripsi muasal manusia Indonesia dan pembentukan masyarakat kerajaan. Namun membicarakan ihwal manusia Indonesia ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Saking beragamnya ras manusia yang menyimpul di dalamnya. Menurut dua antropolog bersaudara, P. dan F. Sarasin misalnya, sebelum kedatangan moyang bangsa Indonesia yang tergabung dalam gelombang ''Proto dan Deutero-Melayu'', populasi asli kepulauan Indonesia adalah suatu ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Tetapi lambat laun setelah datangnya penghuni baru yang lebih memilih untuk menghuni daerah-daerah pesisir pantai, sisa-sisa penduduk asli ini akhirnya terdesak ke daerah pedalaman. Hal ini tentu mematahkan asumsi kebanyakan orang yang selama ini mengira moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan di daratan Tiongkok.
Tidak banyak memang sejarawan yang mengulas perihal sejarah Indonesia secara komprehensif. Satu dari yang sedikit itu adalah Vlekke. Untuk mengulas balik sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, penulis tidak begitu saja mengabaikan informasi dari dua kitab sejarah teramat fenomenal yang kerap diperbincangkan dalam taman sari sejarah Nusantara. Kitab tersebut adalah Pararaton dan Negarakertagama. Dan, bisa jadi hanya dua kitab inilah yang dijadikan sumber dari dalam oleh Vlekke. Menurut Vlekke, kedua kitab tersebut bukanlah sebuah narasi sejarah murni. Karena penulisannya didasarkan atas hal-hal baik yang pernah dilakukan raja. Pendek kata, kitab itu dirancang sekadar untuk memperkuat kedudukan sang raja.
Menurut buku ini, Majapahit adalah sebuah model negara kesatuan di masa silam. Sumpah Amukti Palapa yang keluar dari mulut Gadjah Mada menjadi semacam simbol abadinya. Nama ''Nusantara'' adalah istilah yang amat lekat dan merujuk pada periode ketika Hayam Wuruk menyatukan berbagai pulau besar dan kecil di seluruh negeri ini, di bawah naungan imperium Majapahit. Lalu, saat Nusantara tengah dijajah imperealis Belanda, ketika para pemuda dan rakyat negeri ini cukup concern mendiskusikan akar-akar kesatuan Indonesia (1908), muncullah ide bagi model persatuan yang secara historis paling sesuai dengan yang diingini untuk Indonesia hari itu. Gagasan persatuan dan kesatuan yang menandai lahirnya beberapa organisasi pemuda tersebut akhirnya jatuh pada Majapahit. Jadi, sejatinya, bukan momen historis yang bernama kolonialisme yang menyatukan bangsa ini, melainkan karena masa silamnya yang gilang-gemilang. Meskipun sempat tersebar isu panas, sebagaimana dilansir surat kabar Jawa, Bramartani --asumsi serangan Demak ke jantung imperium Majapahit yang membuat kerajaan ini rontok-- (baca selanjutnya: Ricklefs, Polarising Javanese Society).
Datangnya Belanda telah mengkangkangi Nusantara. Dengan tamak mereka mengeruk kekayaan bumi pertiwi. Mereka juga mengacak-acak beberapa wilayah Nusantara. seperti Ternate, Makassar, Mataram, Banten hingga menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam itu menemui nasib yang tak jauh beda dari Majapahit. Bukan sekadar itu, kedatangan kolonialis Belanda telah membentangkan kidung ratap kesengsaraan manusia Indonesia lebih dari tiga abad lamanya. Misi kolonial inilah sesungguhnya yang dilawan penduduk negeri ini. Di mana-mana Belanda sengaja menyulut api peperangan, namun penduduk tak tinggal diam, mereka respons dengan perlawanan yang tak kalah sengit pula. Kesengsaraan penduduk pribumi ini makin terlihat jelas saat Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Sebab, diakui atau tidak telah menumbalkan berjuta-juta manusia Indonesia.
Pada bab-bab terakhir, seperti pada Bab IX, Vlekke mengurai seputar aspek-aspek baru yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Penulis menceritakan dengan teramat detail struktur bangunan, tata kota serta keindahan-keindahannya. Tak ketinggalan, lapisan-lapisan masyarakat Belanda yang tinggal di Batavia serta ihwal kehidupan penduduk Batavia.
Selanjutnya pada Bab XX, XI, XII, sampai Bab XII mengulas arogansi kaum penjajah, iklim politik serta gerakan-gerakan di Nusantara (Batavia) khususnya politik perdagangan dalam negeri, pengajaran, mobilitas sosial serta pertumbuhan penduduk Hindia, dari masa Herman Williem Daendels, Thomas Stamford Raffles, hingga masa gubernur jendral Johannes Van Den Bosch. Dan, pada bab-bab terakhir, baru membicarakan bibit-bibit kebangkitan bangsa dan pergerakan nasional di Nusantara.
Keberanian buku yang tersusun atas enam belas bab ini patut diacungi jempol, karena memasang judul Nusantara. Istilah yang kala itu bermuatan reaksioner bagi pihak Belanda. Keterkaitan periode satu dengan periode seterusnya dipaparkan dengan baik, hingga memunculkan kronik sejarah yang kaya. Membacanya, kita seperti sedang dihidangkan suguhan narasi sejarah sebuah negara besar yang membentang dari barat ke timur. Namun, karena buku ini memburu kekomprehensifan, akibatnya justru membuat pembahasannya tidak pernah tuntas. Misalnya, ketika memaparkan Aru Palakka --raja Bone-- dan Kapitan Jonker --orang Ambon asli-- (hlm. 183-205), yang membantu Kompeni Belanda kala itu, latar belakangnya tidak pernah diungkap secara mendetail.
Sebagai sebuah karya yang membincang sejarah negeri ini, Nusantara karya Vlekke ini laik untuk melengkapi minimnya karya indologi serta miskinnya pengetahuan para penikmat sejarah. Di samping itu, hadirnya buku sejarah ini sebagaimana yang diakui Luthfi Assyaukanie, telah mematahkan tesis tentang ketiadaan kaitan antara peristiwa masa lampau dengan peristiwa sekarang. Dari buku ini justru kita dapat mengetahui bahwa kejadian di masa sekarang ternyata ada kaitan erat dengan peristiwa sosial-politik di masa lampau. (*)
---
Judul Buku : Nusantara: Sejarah Indonesia
Penulis : Bernard H.M. Vlekke
Penerjemah : Samsudin Berlian
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, 2008
Tebal : xxiv + 528 halaman
*) Penyuka sejarah, mahasiswa pasca sarjana UIN Malang
Kamis, 06 November 2008
BELAJAR MENULIS DARI OKA RUSMINI*
Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/
Perempuan kasta Brahmana ini ikhlas melepaskan “kebrahmanaan” dengan menikah seorang lelaki bernama Arief B Prasetya, seorang sastrawan muda yang kokoh karena komunitas andal di Utan Kayu bersama Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Sitok Srengenge, dan lain sebagainya. Karya-karya Oka lebih banyak berbicara masalah sosiologis adat Bali yang dikritisinya. Sebuah upaya protes untuk menyuarakan aspirasi perempuan dalam menggugat cultur dan adat masyarakat Bali dengan berbagai hal yang kurang menguntungkan wanita. Di Jurnal Perempuan, bahkan Oka Rumini pernah dikukuhkan sebagai sosok perempuan yang teguh dan (terus) melakukan perlawanan!
Apa yang dapat dipelajari dalam pengalaman sastrawan Ida Ayu Oka ini? Berikut merupakan refleksi menarik yang penting dipertimbangkan untuk mendiskusikan keberlasungan kepenulisan kita di masa depan: (a) realitas sosial (utamanya perempuan Bali) menggerakkan inspirasi para tokohnya, (b) pengalaman kewartawanan mendorong lahirnya ide itu karena bertemu dengan berbagai lapisan sosial, (c) pengalaman keperempuannya yang menjadi muara (penentu) karyanya, dan (d) tidak terikat pada penulis tertentu dalam berkarya.
Meskipun Oka membaca banyak karya sastrawan macam Nh. Dini, Leila S. Chudori, Umar Kayam, Ahmad Tohari, dan Budi Darma; misalnya, dia menemukan sisi rumpang yang tidak dieksplorasikan. Untuk inilah, hal ini barangkali yang dapat dikaitkan dengan penulis-penulis lainnya. Sebuah belajar melalui karya orang lain untuk menemukan “makna lain” sehingga inspiratif untuk penulisan berikutnya. Eksplorasi kerumpangan itu, dia mencontohkannya begini: Ketika membaca Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, muncullah pertanyaan dasar yang menggerakkanya, “Apakah mungkin wanita Bali mengungkapkannya seperti Pariyem?”
Berangkat dari realitas (tema) keperempuannya, yang seksis misalnya, memang sangat diuntungkan oleh era industrialisasi yang praktis menggempur kemutakhiran yang didukung keberpihakan gender ini. Tidak heran, hal demikian menjadi inspirasi penting, karena bagaimana bagaimanapun wanita dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi isu sentral kehidupan mutakhir dengan berbagai sisiknya. Tidak mengherankan jika hal ini menggerakkan para penulis perempuan lain macam Nukila Amal, Dwi Lestari, Djanar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan lain sebagainya. Artinya, ketika hal ini (aspektualitas seks) menguat, maka konsep industrialiasinya tidak dapat terlepaskan.
Karya sastra memang sejatinya dapat menjadi cermin realitas sosial. Tak heran jika Oka Rusmini begitu getol mengungkapkan sisi sisip lain konteks sosial masyarakat dalam keragaman dimensinya. Sebuah upaya mengungkapkan kritik di satu sisi dan pada sisi lain upaya spiritual berbasis multikultural untuk alirkan nilai-nilai universal yang mestinya dijunjung. Di sinilah, maka pandangan sosiologi senantiasa mengritisi pada latar sosiologis pengarang sebagai alat bantu dalam menafsirkan aspek sosial kemasyarakatan dalam karya.
Hal kedua yang menarik, sebagaimana yang dialami oleh Ayu Utami, Seno Gumira Adji Darma, dan Taufik Ikram Jamil yang membantu suksesnya seorang dalam berkarya adalah pengalaman kewartawanannya sebelum menjadi sastrawan (pengarang). Tidak saja itu, tetapi juga pengalaman liputan lapangan memberikan inspirasi banyak sebagai seorang pengarang. Dengan begitu, bagaimanapun memang dalam berkarya pengalaman lapang seseorang akan mendorong eksplorasi dan intensifikasi penulisannya.
Kejurnalistikan memang banyak andil atas produktivitas dan kualitas seorang sastrawan. Dalam perjalanan sastra Indonesia kita kenal Mochtar Lubis sebagai jurnalis ulung sekaligus sastrawan agung. Latar kewartawanan ini mengingatkan akan pentingnya penelusuran informasi sebagai detail bahan di dalam pikiran. Apalagi, dalam rumus kejurnalistikan ada beberapa hal yang bersifat of the record. Di sinilah hal penting yang seringkali menggerakkan karena memang hal itu tidak mungkin diberitakan formal tetapi menjadi refleksi menarik dalam kekaryaan. Di samping memang kewartawanan memberikan pengalaman lintas batas, lintas sosial, lintas kultural, lintas etnis, dan lintas waktu. Sebuah kekayaan batin yang jika dieramkan akan menjadi investasi besar dalam dunia kepenulisan.
Ketiga, realita kewanitaannya menggerakkan kepenulisannya menyaran pada ralita sosial dan religius yang seringkali sangat patriarkhis. Subordinatif! Tidak jarang juga bahkan hegemoni. Lewat jendela karya dimungkinan impresi dan refleksi batin dapat diekspresikan secara estetis. Wilayah etik yang hegemonik menjadi sangkur perjuangan untuk melemparkan pesan terselubung. Ini merupakan keniscayaan karena teks sastra di satu sisi hakikatnya merupakan ekspresi batin sastawannya dan refleksi sosial pengarang pada sisi lainnya.
Terakhir, bagaimana pengalaman Oka Rusmini yang tidak mau terikat pada pengarang tertentu. Artinya, semuanya mungkin memberikan inspirasi dan memberikan ruang-ruang rumpang (lowong) yang tidak tergarap oleh pengarang lainnya. Dengan begitu, kemampuan analitis seorang Oka Rusmini sesungguhnya berperan penting. Menyeliai sesuatu yang rumpang, tentu dibutuhkan kemampuan analitis dan apresiasi yang tinggi pula.
Jika kita mau belajar menulis dari Oka Rusmini ini, maka keterikatan pada seseorang pengarang (epigon) tidaklah disarankan, sebaliknya seluas mungkin kita membaca karya orang lain untuk menemukan kerumpangan lahan garapan. Kedua, bagaimana aspektualitas budaya yang melekat pada kehidupan kita merupakan lahan subur kepengarangan. Dan selanjutnya, sisi peran dan siapa kita akan menentukan pandangan kita dalam menulis dan berkarya. Karena kita bukan wartawan, maka kita dapat meningkatkan pergulatan kebahasaan kita dan petualangan kita dengan berbagai hal yang bermakna. Mudah-mudahan kita dapat memetik makna dari pengalaman Oka Rusmini sebagai sang Ida Ayu yang terus menggugat ketidakadilan adat dan sosial masyarakat melalui berbagai karya dan tulisannya.
***
*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
http://thereogpublishing.blogspot.com/
Perempuan kasta Brahmana ini ikhlas melepaskan “kebrahmanaan” dengan menikah seorang lelaki bernama Arief B Prasetya, seorang sastrawan muda yang kokoh karena komunitas andal di Utan Kayu bersama Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Sitok Srengenge, dan lain sebagainya. Karya-karya Oka lebih banyak berbicara masalah sosiologis adat Bali yang dikritisinya. Sebuah upaya protes untuk menyuarakan aspirasi perempuan dalam menggugat cultur dan adat masyarakat Bali dengan berbagai hal yang kurang menguntungkan wanita. Di Jurnal Perempuan, bahkan Oka Rumini pernah dikukuhkan sebagai sosok perempuan yang teguh dan (terus) melakukan perlawanan!
Apa yang dapat dipelajari dalam pengalaman sastrawan Ida Ayu Oka ini? Berikut merupakan refleksi menarik yang penting dipertimbangkan untuk mendiskusikan keberlasungan kepenulisan kita di masa depan: (a) realitas sosial (utamanya perempuan Bali) menggerakkan inspirasi para tokohnya, (b) pengalaman kewartawanan mendorong lahirnya ide itu karena bertemu dengan berbagai lapisan sosial, (c) pengalaman keperempuannya yang menjadi muara (penentu) karyanya, dan (d) tidak terikat pada penulis tertentu dalam berkarya.
Meskipun Oka membaca banyak karya sastrawan macam Nh. Dini, Leila S. Chudori, Umar Kayam, Ahmad Tohari, dan Budi Darma; misalnya, dia menemukan sisi rumpang yang tidak dieksplorasikan. Untuk inilah, hal ini barangkali yang dapat dikaitkan dengan penulis-penulis lainnya. Sebuah belajar melalui karya orang lain untuk menemukan “makna lain” sehingga inspiratif untuk penulisan berikutnya. Eksplorasi kerumpangan itu, dia mencontohkannya begini: Ketika membaca Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, muncullah pertanyaan dasar yang menggerakkanya, “Apakah mungkin wanita Bali mengungkapkannya seperti Pariyem?”
Berangkat dari realitas (tema) keperempuannya, yang seksis misalnya, memang sangat diuntungkan oleh era industrialisasi yang praktis menggempur kemutakhiran yang didukung keberpihakan gender ini. Tidak heran, hal demikian menjadi inspirasi penting, karena bagaimana bagaimanapun wanita dalam sepuluh tahun terakhir telah menjadi isu sentral kehidupan mutakhir dengan berbagai sisiknya. Tidak mengherankan jika hal ini menggerakkan para penulis perempuan lain macam Nukila Amal, Dwi Lestari, Djanar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan lain sebagainya. Artinya, ketika hal ini (aspektualitas seks) menguat, maka konsep industrialiasinya tidak dapat terlepaskan.
Karya sastra memang sejatinya dapat menjadi cermin realitas sosial. Tak heran jika Oka Rusmini begitu getol mengungkapkan sisi sisip lain konteks sosial masyarakat dalam keragaman dimensinya. Sebuah upaya mengungkapkan kritik di satu sisi dan pada sisi lain upaya spiritual berbasis multikultural untuk alirkan nilai-nilai universal yang mestinya dijunjung. Di sinilah, maka pandangan sosiologi senantiasa mengritisi pada latar sosiologis pengarang sebagai alat bantu dalam menafsirkan aspek sosial kemasyarakatan dalam karya.
Hal kedua yang menarik, sebagaimana yang dialami oleh Ayu Utami, Seno Gumira Adji Darma, dan Taufik Ikram Jamil yang membantu suksesnya seorang dalam berkarya adalah pengalaman kewartawanannya sebelum menjadi sastrawan (pengarang). Tidak saja itu, tetapi juga pengalaman liputan lapangan memberikan inspirasi banyak sebagai seorang pengarang. Dengan begitu, bagaimanapun memang dalam berkarya pengalaman lapang seseorang akan mendorong eksplorasi dan intensifikasi penulisannya.
Kejurnalistikan memang banyak andil atas produktivitas dan kualitas seorang sastrawan. Dalam perjalanan sastra Indonesia kita kenal Mochtar Lubis sebagai jurnalis ulung sekaligus sastrawan agung. Latar kewartawanan ini mengingatkan akan pentingnya penelusuran informasi sebagai detail bahan di dalam pikiran. Apalagi, dalam rumus kejurnalistikan ada beberapa hal yang bersifat of the record. Di sinilah hal penting yang seringkali menggerakkan karena memang hal itu tidak mungkin diberitakan formal tetapi menjadi refleksi menarik dalam kekaryaan. Di samping memang kewartawanan memberikan pengalaman lintas batas, lintas sosial, lintas kultural, lintas etnis, dan lintas waktu. Sebuah kekayaan batin yang jika dieramkan akan menjadi investasi besar dalam dunia kepenulisan.
Ketiga, realita kewanitaannya menggerakkan kepenulisannya menyaran pada ralita sosial dan religius yang seringkali sangat patriarkhis. Subordinatif! Tidak jarang juga bahkan hegemoni. Lewat jendela karya dimungkinan impresi dan refleksi batin dapat diekspresikan secara estetis. Wilayah etik yang hegemonik menjadi sangkur perjuangan untuk melemparkan pesan terselubung. Ini merupakan keniscayaan karena teks sastra di satu sisi hakikatnya merupakan ekspresi batin sastawannya dan refleksi sosial pengarang pada sisi lainnya.
Terakhir, bagaimana pengalaman Oka Rusmini yang tidak mau terikat pada pengarang tertentu. Artinya, semuanya mungkin memberikan inspirasi dan memberikan ruang-ruang rumpang (lowong) yang tidak tergarap oleh pengarang lainnya. Dengan begitu, kemampuan analitis seorang Oka Rusmini sesungguhnya berperan penting. Menyeliai sesuatu yang rumpang, tentu dibutuhkan kemampuan analitis dan apresiasi yang tinggi pula.
Jika kita mau belajar menulis dari Oka Rusmini ini, maka keterikatan pada seseorang pengarang (epigon) tidaklah disarankan, sebaliknya seluas mungkin kita membaca karya orang lain untuk menemukan kerumpangan lahan garapan. Kedua, bagaimana aspektualitas budaya yang melekat pada kehidupan kita merupakan lahan subur kepengarangan. Dan selanjutnya, sisi peran dan siapa kita akan menentukan pandangan kita dalam menulis dan berkarya. Karena kita bukan wartawan, maka kita dapat meningkatkan pergulatan kebahasaan kita dan petualangan kita dengan berbagai hal yang bermakna. Mudah-mudahan kita dapat memetik makna dari pengalaman Oka Rusmini sebagai sang Ida Ayu yang terus menggugat ketidakadilan adat dan sosial masyarakat melalui berbagai karya dan tulisannya.
***
*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
Selasa, 04 November 2008
Sajak-Sajak Nana Riskhi Susanti
http://www.republika.co.id/
MENGAJAKMU PULANG
Tak ada yang beda
pada hujan
dan kemarau
jeda diantaranya menguraikan doa
pada lengan sunyi
aku tak pernah lagi
mengirim rindu padamu
pada hujan
atau kemarau
sebab aku mau menidurkanmu
di atas semak perdu
aku ingin mengajakmu pulang
ke asal mula hatimu
: aku
Tegal,2008
KUTULIS PUISI DI PASIRMU
Hanya doa
sembunyi di batubatu
di mawar sunyi
di pagar rindu
di langit sengit
aku menyebut
membawa benang-benang baru
untuk hidupku
hidupmu
ia tertulis di telapak tangan
lihatlah garis-garisnya!
ia tak bisa diubah
bahkan oleh kenangan
kutulis puisi pada pasirmu
ingatkah kau pada lampu tua itu
bangku rotan coklat penuh rayap kayu
dinding putih penuh kaligrafimu
tirai hijau berderaiderai
mendengar rinduku yang tak sampai padamu
karna kupilih mawar sedang aku berduri
kusembah tiangtiang sedang aku bambu
kubaca zikir sedang aku sihir
kuhiba laut sedang aku lembah takut
kutulis puisi pada pasirmu
betapa sakit doaku yang menunggu sampai
di antara doa karang
ikan
ombak
nelayan
para pemabuk di laut itu
aku ingin mengurai cinta
seperti puisi pasir pejalan sunyi
meski terhapus gelombang
yang dikirimkan doa ikanikan
meski impian
tak cukup untuk dituliskan
anakanak surau
membaca hurufmu
di antara tiangtiang perahu
ketika matahari mulai sembunyi
dan aku masih
menulis puisi di pasirmu
Tegal, 2008
--------
Nana Riskhi Susanti, atau Nana Eres, lahir di Tegal, 02 oktober 1990. Menulis puisi, cerpen, lakon dan esai, sejak SMA. Bergabung dalam sanggar Lare'S Dramatik Tegal. Puisinya dimuat dalam antologi Aku Ingin Mengirim Hujan(Dewan Kesenian Semarang, 2008) dan beberapa koran lokal. Kini tercacat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES.(-)
MENGAJAKMU PULANG
Tak ada yang beda
pada hujan
dan kemarau
jeda diantaranya menguraikan doa
pada lengan sunyi
aku tak pernah lagi
mengirim rindu padamu
pada hujan
atau kemarau
sebab aku mau menidurkanmu
di atas semak perdu
aku ingin mengajakmu pulang
ke asal mula hatimu
: aku
Tegal,2008
KUTULIS PUISI DI PASIRMU
Hanya doa
sembunyi di batubatu
di mawar sunyi
di pagar rindu
di langit sengit
aku menyebut
membawa benang-benang baru
untuk hidupku
hidupmu
ia tertulis di telapak tangan
lihatlah garis-garisnya!
ia tak bisa diubah
bahkan oleh kenangan
kutulis puisi pada pasirmu
ingatkah kau pada lampu tua itu
bangku rotan coklat penuh rayap kayu
dinding putih penuh kaligrafimu
tirai hijau berderaiderai
mendengar rinduku yang tak sampai padamu
karna kupilih mawar sedang aku berduri
kusembah tiangtiang sedang aku bambu
kubaca zikir sedang aku sihir
kuhiba laut sedang aku lembah takut
kutulis puisi pada pasirmu
betapa sakit doaku yang menunggu sampai
di antara doa karang
ikan
ombak
nelayan
para pemabuk di laut itu
aku ingin mengurai cinta
seperti puisi pasir pejalan sunyi
meski terhapus gelombang
yang dikirimkan doa ikanikan
meski impian
tak cukup untuk dituliskan
anakanak surau
membaca hurufmu
di antara tiangtiang perahu
ketika matahari mulai sembunyi
dan aku masih
menulis puisi di pasirmu
Tegal, 2008
--------
Nana Riskhi Susanti, atau Nana Eres, lahir di Tegal, 02 oktober 1990. Menulis puisi, cerpen, lakon dan esai, sejak SMA. Bergabung dalam sanggar Lare'S Dramatik Tegal. Puisinya dimuat dalam antologi Aku Ingin Mengirim Hujan(Dewan Kesenian Semarang, 2008) dan beberapa koran lokal. Kini tercacat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES.(-)
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar