Selasa, 28 Oktober 2008

Balada-Balada, Suryanto Sastroatmodjo

BALADA MARMER TEMBUS

1
Gumpalang bukit Watumalang
terhengger sang penjarah melahap suasana
Dan kelengkapan yang ditunda lama
mendengking laut pasang. Sampai tiada pelita

2
Ambang Batuluhur, seruling kekasih
kujumput legut serengut. Aku tabah juang
Makin panjang seberang-menyeberang
bagai sergapan pancalang

3
Dan tambah miskin menungan dinda
tatkala hutan cemarah jadi kancah
Tolehan tadah hayatmu
toreh-toreh di pohon perca
dalam pahat senggama langgeng

4
Mulailah membilang dari angka terkecil
sementara lamunan mengusir rasa getir
Demikian senjata bakal masuk badong
dan keris taklagi mempunyai hawa panas
Karena wayang-wayang menjarah tlatah
meski dilekati birahi berpijar

5
Adalah semangat perintis tanah
pulang dengan berkat alam raya. Usai cedera
di antara pinus-pinus nan gatal
Sanjakmu bilatung balang
membilang pedusunan paling lanang

6
Inilah kisah marmer tembus, wahai sedulur
perkenalan pada belantara, nyaris tanpa permisi
Begitusaja terpampang meja sakti menggerutu:
kita butuh getah-getah para yang berpeluh
Ah, seakan rajuk pembohong jitu

7
Dan alangkah jauh jelajah arusmu, sedulur
seperti tembusnya marmer yang telentang mengkilap
Dia banyak berbuah, sementara kakinya lumpuh merapat!



BALADA PULAU DRINI

I
Wajah muda Diyan Pari
menggantung ragu di awang-awang
Silap segelebyar belum lajar
panggil dukamu selatar

Maka malam ‘kan menelan gelisah ‘
kala ziarah sekadar lambang
hadirnya dinasti dan rezim
paling angkara dari yang angkara

II
Terkadang lolos juga sanjungan Prabu Lana
mengulang irama yang terhempas
Dalam pelupuk renguh yang gemetar
ada lakoncinta minta dijelentrehkan

Maka bukitgundul dirangkul laut
memaparkan bercak-bercak tualang
Juga brutalnya anak manusia, tak henti
saling menggelut antar pribadi urakan

III
Jaman adalah nalar. Jaman adalah serandal
lantaran sawatan argumen yang telah sedekap
Dibalangkan ujung padi, medanya tertutup
bicaralah atasnama tegal pimpimg musim labuh
Waktu bekalmu habis di pelayaran sebatangkara

Diyan Peri mematuk tangan Prabu Lan
dan sahibulhikayat mengungkai fatwah
tentang rambu-rambu jejantung
Kini tentang mubazir, esok oleh kenikir

IV
Sungkup, sungkupi bumi kecamuk
Dengan langkah nan kaprah, hayat bagai sangkrah
perhitungan seremba pulau dan ombak laknat
gugur bukit,langsor bumi, runtuh si tua serapah

Kalau Diyan Peri menghimbau wangi
serta lamunan diungkai Prabu Lana
Hadapanku segala selonjor bambu
kudaki menuju kepasrahan lagu.



BALADA NUR RASA

1
Sepongah biji kecambah, daku tercenung
o, meregam peran si Pungguk dalam sukma terluka
hampirlah diri ke senyap hampa, tanpa ampun secelah

2
Nyerinya duka syair laguan untung
menggalang pondasi seri diraja
kemudian cengkelak kembali membumi rasa

3
Onggok derung dukacita, berlalu kelu
pada liwatan rel-rel kaki tua
sempana jeruji pujiku bakti, kutumpas lawan-angkara

4
Mesra pada libatan lilitan-lilitan sutera cinta
daku cenderung menggamit lila berjelujur lembayung
basalah tempias diri, basuh kumuhku seligi

5
Pinta surya rembang senja, lelatu pada bunda
tinggal sejajar permainan api dan kembangapi
di tanah lapang bocah-bocah bergumul, tanpa muasal nyata

6
Galau kerinduan ada pada sujud leluhur
kini pun dengan sepicing mata, kupanah purnana
hingga jengkal nan uwal, uwal pula dari rayukan!

7
Begini lompatan makin mendesak gerasak
di kala pendaratan sukma-jati
pada akhirnya tinggal terpuruk kesan dewa bathara

8
Pinang sebatang di perempatan jalan mulia
hampir pada tikungan ke istanah Nur Rasa
sejulung sekarangan, sereguk secawan nyaman

9
Akan halnya biduk alit di telaga warna
aku gelincirkan aduh dan keluh kocar-kacir
campuraduk derapkangen belum terhimpun.



BALADA JUNTRUNG

I
Laik kenang, laik pula dampratan sayang
waktu rumuhun sang bapak menyeret nasib
lampau pengudarasa nan terkikis memori keluntaan

II
Berisik buat tanggung jawab nan pepak
demikian gunjingan hidup yang gelisah
kendati pernah dilekatkan pada sentuh grahita

III
Walaupun tanya adalah sumber kemilikan cerah
dan orang-aring di kebun siap diolah jadi minyak
sementra kami, anak-anak bangsa yang tergereng-hereng

IV
Lagipula, mana lagikah proklamasi itu, buyung?
sewaktu hati makin lugas mengidung salawat
untar-gemuntang diserukan angin malam gemetar

V
Hidup terungkai pada puspa-puspa pesta
dirimu mengatag kawula untuk menggugat
satu kegenggaman yang terus diolak-alik

VI
Lakukan tugas bagai tukang kebun
dengan batinnya nan harum, tapi lugas
dikala pesona jagat coba untuk diampelas

VII
Lalu, biar terlantar pelukcium belum menyenggol
juntrungan pepat direngkuh bagai kelahiran
lamun tiada mengikat batinmu yang benar.

Senin, 27 Oktober 2008

Sajak Ahmad Muchlish Amrin

SENANDUNG LERENG BUKIT RANTANI

-Non torno vibo alcun, s’iodo il vero
senza tema d’infamia it rispondo – Dante

a/
Siapa tahu, di lereng bukit rantani itu ada seribu gubuk menyalakan senja
di antara batu-batu kecil sekeras rinduku dan pintu-pintu terbuka
bagi perempuan-perempuan yang melongok ke luar jendela; menatap
kering setapak meliuk dan mekar kembang jagung bagai awan-awan tipis
digesek angin.

(Konon, perempuan-perempuan itu tinggal di tirai bambu dan memakai
sandal kayu. Kini, memasang antena parabola dan rumah kaca)

Siapa tahu, di lereng bukit rantani itu kudengar suara dari dalam gua
memanggil anak rantau yang hilang dan perempuan-perempuan kencing
di atas lobang dan burung-burung turun ke lembah bertekukur di atas
bunga solang. Aku menumbang ilalang yang menusuk bulan.

(Memang, anak bukan bermimpi pulang ke bulan,
anak matahari pulang ke matahari)

Siapa tahu, di lereng bukit rantani itu ada anak-anak lempung lempang
berjalan menuju puncak. gerak serak beranak pinak di gubuk; anak padi
pada merunduk dan lenggak lenggok angin gili manuk. Siapa tahu o siapa
tahu! siapa tahu o siapa tahu! Anak-anak bermata berlian itu berdiri di
atas tanah kelahirannya menjunjung langit pitam bagai malaikat
bertangan sunyi.

(Lereng menjelang petang, di jambang kumandang
rindu ambang berselang gamang, lir sa’alir alir alirgung!)


b/
Siapa tahu, di bukit rantani itu, terbit matahari,
matahari yang punya bayang-bayang lebih panjang dari batang-batang.

Dan kamu mendekati kakek yang sedang bertani, kakek yang ingin
memanen harapan.

"Ah! tolol! goblok!" umpatmu setelah datang dari seberang
memanggul tas dan tumpukan buku di amben.

(Pahit tembakau,
pahit keringat tak di rantau)

Bila anak-anak menyusuri setapak meliuk dan tembus di jantungku,
ia tengah meluruskan garis garusuk yang membusuk ke jantung ibu,

Bila ia membasuh kakinya dan mencium jejak yang telah tiada
dan memagarinya dengan warna cinta, ia telah membangun surga rahasia.


c/
Akulah anak solang yang meluruskan pandang
dan menoleh pada kakek yang mati
sebelum kamu sulut tubuhku dan kamu susun dan kamu bakar,
jadilah aku arang
kamu menghirupnya di hari kedua yang terasing

Madura-Yogyakarta, 2004/2006

Catatan:

1.Bukit Rantani adalah bukit yang dimitoskan terdiri dari dodol yang dipikul oleh Landaur (bangsa Jin). Bukit ini merupakan bukit gembar yang terkenal dengan bukit pekol, terletak di ujung timur Kabupaten Sumenep Madura
2.Solang daun tembakau setelah panen (Madura)
3.Paesan adalah nisan (Madura)
4.Garusuk adalah daun tembakau yang kering (Madura)

Sumber,http://sastrakarta.multiply.com/

Minggu, 26 Oktober 2008

Sajak-Sajak Tjahjono Widijanto

http://www.lampungpost.com/
DI MEJA MAKAN KELUARGA

Kami senantiasa berhadapan-hadapan di meja makan ini
medan pertarungan yang galak dalam gemuruh denting gelas,
piring, sendok, garpu juga pisau roti yang meringis
saling intai sebelum saatnya tiba

Ibu selalu mengingatkan
"kunyahlah lembut nasi, daging atau kerupuk
sampai hitungan ke empat puluh
ususmu akan aman meremas-remas dan mereka
mendekam lelap sempurna di perutmu"

Di ujung lain, kakakku mengongkel sendok
mencuil daging dan mengiris buah
secepat kilat melempar ke dalam mulutnya
lidah keras mengecap-ngecap; cap, cap, cap

Ibu langsung menyerbu
"suaramu itu mengingatkanku pada lidah serigala
yang kulihat di kebon binatang wonokromo!"

Di seberang lain, adikku perempuan langsung
tersenyum meringis terkikik-kikik, lalu buru-buru
menutupi mulut dengan serbet belacu
"kalau dengar kebon binatang itu
aku jadi ingat pacarku
di bonbin wonokromo kencan pertamaku
sembari menonton kera bersenggama"

Di ujung lain dengan jakun gemetar
bapak bergumam dan mata menyala mengintai
kepala kambing, babat dan usus sapi
sambil mengelus-elus lidah pisau
yang licin menyala
"aku ingat rumah jagal dan ngorok leher sapi yang dijagal"

Ibu tangkas menyerang,
"Bapak harus banyak makan sayur dan lalapan biar kolesterol terjaga
selamat tinggal kepala kambing, babat dan usus sapi
juga rumah jagal dan tukang jagal!"

Di kursi lain, aku berkumur-kumur
dalam gelas sisa air minum
sambil mendelik dan bersendawa

Ibu kembali meyerbu
"Jangan berkumur dengan gelas minummu
gelontor mulut dan perutmu dengan air sumur
karena kuman tak cukup diguyur segelas minum
raung sendawamu itu mengingatkanku
pada sekarat gelandangan di comberan
jangan lupa cuci piring sehabis berpesta!"

Ibu berdiri dari kursinya meninggalkan meja makan
sembari mengibarkan panji-panji kemenangan

Ngawi, 2008



MANGIR

mertua, lewat lancip bayonet dan sangit mesiu, kau mengajari aku memahami sunyi dalam gemuruh cinta ketika senja mulai meratap. tataplah daun semboja di pelataran purimu, ada bayang bocah gagu berteriak bertanya sebaris riwayat bapaknya sedang aku belum lagi sempat mengajari mereka mengahafal nama kakeknya.

kain kemben ibunya pada jemuran itu seperti secarik kitab tua yang tak sanggup menyimpan rahasia peta perjalanan sebuah armada yang makin hari hilang dermaga

di abad-abad yang terlipat cucu-cucumu menggeremang talqin sepanjang malam:
tsuma illa ruhi...--untuk ruh..(yang tak bernama)--
dan kau mengajari menulis kata-kata dalam limbur sajak memburai tak usai-usai
sembari mencucuki kornea mereka dengan peniti yang disimpan pada kutang ibunya
kelak setiap malam mulai terpejam mata tombak di sudut kamar itu akan menikammu memilih mana jeroan paling lunak untuk disantap kau menikmatinya sambil minum wedang sere atau jahe dengan tubuh berkeringat seusai bersenggama
silsilah gemetar menyimpan nama-nama yang dijeritkan di tiap pengkol jalan.
di jagat lain si Penangsang, musuh mudamu tempoh hari mencibir getir

"kau tetap saja arjuna si tukang tenung, don juan dengan bisa setajam sangkelat"
mertua, kapan kau rayakan hari pengantinku...

Ngawi, 2007



SEPERTI SUNGAI
®MDUL¯

belajarlah pada gericik sungai yang setia mengalir
kedung-lubuknya menyimpan kedalaman yang hening
gisiknya mejadi punggung bocah-bocah bermain bola
para nelayan berjejer melempar umpan seperti kesabaran batu kali
belajarlah pada batu-batu sungai
setia mencatat waktu
pergantian musim abadi
menunggui matahari berganti
belajarlah pada pasir-pasir sungai
sabar menunggui bisik-bisik angin
menyerap cahaya demi cahaya
belajarlah pada sungai
yang terus setia mengalir
seperti ketabahan petani
merawat biji menjadi buah

Ngawi, 2008



KETIKA WAKTU MENELAN USIA
®MDUL¯

Rasa-rasanya rumah masih seperti dulu
Jendela dan pintu bercat coklat abu-abu
Tempat dulu mereguk air susu ibu
Hanya jalanan tempat dulu pertama kali
Melangkahkan kaki mengembarai negeri
Dahulu penuh bau humus tanah
Kini bersalin rupa dalam legam aspal
Pekarangan tak lagi penuh bocah-bocah
Main bobak sodor atau jamuran
Di bawah naungan bulan yang lembut
Kini bocah-bocah lebih senang menonton tv
Atau antre main play sation
Pohon mangga dan kedondong di halaman muka
Meski renta masih setia bertahan dalam cuaca
Mengingatkanku pada masa kanak yang gembira
Memanjati lengan-lengannya yang kukuh perkasa
Rasa-rasanya rumah masih seperti dulu
Aku terpaku dalam dendam rindu
Mengenang wajah-wajah lama
Yang sempat terkubur dalam ingatan
Perlahan-lahan bangkit kembali
Bersama pohon-pohon yang baru tumbuh
Menggantikan pohon tua yang makin renta
Bersama musim yang setia berganti

Ngawi, 2008

Kamis, 23 Oktober 2008

MENGUAK TABIR PUJANGGA RABINDRANATH TAGORE KE TANAH JAWA*

Dipersembahkan kepada Rabindranath Tagore, buyut Kasipah dan tanah Jawa.
Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=66


Prolog:

Di usianya yang ke 69 bagus Burhan (nama kecil R. Ng. Ronggowarsito, 1802-1873), pujangga India Rabindranath Tagore dilahirkan dunia. Tepatnya di Joransko, jantung kota Kalkutta pada tanggal 6 Mei 1861. Sebagai putra keempat belas dari lima belas bersaudara, atas pasangan Maharishi Debendranath Tagore dan Sarada Devi. Atau 6 tahun setelah wafatnya Pangeran Diponegoro (1785-1855). Kakek buyut Rabindranath Tagore ialah penggerak Renaissans India, yang bernama Rommohan Roy.

Dengan sahabat karibnya Mahatma Gandhi (1869-1948), Tagore dianggap oleh masyarakat India sebagai perlambang insan setengah dewa. Tahun lahirnya bersamaan dengan seniman ambisius Frederic Remington (1861-1909) yang karyanya berupa lukisan, pahat dan tulis. Di tahun itu pula Abraham Lincoln (1809-1865) terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.

Karya-karya Rabidranath Tagore (1861-1941) di antaranya berupa puisi, novel, cerpen, lukisan serta musik. Di dalam usianya yang ke 52, anak Bengali ini dianurahi Nobel Kesusastraan, tepatnya pada tahun 1913. Dan pada tahun 1915 mendapatkan gelar bangsawan dari pemerintahan Inggris. Namun beberapa tahun kemudian, dia mengembalikan gelar tersebut, sebagai protes kebijakan-kebijakan kerajaan Inggris di tanah tercintanya, India.

Di sini saya akan menguak tabir puisi beliau, yang berjudul Kepada Tanah Jawa, tertanda tahun 1927. Dia berlawatan ke tanah Jawa setelah perjalanan laut ke Eropa (1924-1925). Di usianya yang ke enam puluh enam, masa istirah sebenarnya. Namun seperti parikan yang pernah tersiar berkembang, bahwa bencah tanah Jawa ialah bencah kedua tlatah India.

Di Jawa, memang tidak ada sungai Gangga, tetapi bengawan Solo cukup menjadi legenda baginya. Kalau tembok Cina dapat terlihat dari bulan, kisah-kisah perdagangan tempo dulu yang melalui aliran bengawan Solo, sudah melekat di sanubari masyarakat Jawa hingga kini. Jika pesulap David Copervill sanggup menembus benteng Cina, pencipta lagu bernama Gesang (lahiran 1-10-1917) telah menuturkan alunan bengawan Solo, untuk diperdengarkan ke telinga dunia.

Di bawah ini puisi Rabindranath Tagore, yang saya peroleh dari K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum). Dan kisah yang tergambar itu, getaran rasa atas kalimat-kalimatnya, yang saya suguhkan sebagai bukti Rabindranath Tagore benar-benar berada ke tanah Jawa.

KEPADA TANAH JAWA
Rabindranath Tagore/1927

Dalam zaman yang kalem, yang jauh, yang tidak tertulis
kita bersua, engkau dan aku
dan dalam perkataanku terjalin dalam perkataanmu
dan jiwaku dalam jiwamu.

Rabindranath Tagore seperti menancapkan keyakinan dalam-dalam, bergumul dalam persetubuhan bathin antara dirinya dengan bencah Dwipa. Tangannya yang santun begitu lembut, menggenggam lemah lempung Jawa kuat-kuat. Di pandangnya dengan kesungguhan sangat, ia merasakan keharuan, dijilatnya lempung tersebut sebagai tradisi Jawa, mengampuh. Lalu diusapkan debu-debu tersebut ke keningnya, sebagai tanda hormat syukur dipertemukan raganya dengan siti Dwipa atau tanah Jawa.

Menurut para wisatawan asing, pada tahun 1803-1939, masih melihat ketujuh Candi Singosari (sebagai bukti kebenaran terbentuknya dinasti) peninggalan kerajaan Singosari (Kerajaan Singosari berdiri 1222 M, raja pertamanya Ken Angrok, merupakan cikal bakal kerajaan Majapahit). Tetapi sayang, peninggalan berupa Candi tersebut kini tinggal satu. Inilah bukti keserakan penjajah, juga keteledoran anak bangsa (Jawa) yang tidak mampu merawat peninggalan sejarah. Semua yang beraroma sejarah diganti dengan nuansa Plaza, semisal legenda Jembaran Merah Surabaya. Bajingankah kita?

Kala itu, gunung-gemunung masih segar bugar, memberi kesejukan mata memandang. Bathin menyaksikan mengalir bagaikan mata air nan elok berkumambang di bebatuan hitam, penuh kedalaman renungan. Burung-burung pun tidak enggan berkicau, suaranya nyaring bersiul-siulan di telinga pagi dan petang. Bunga-bunga bermekaran tanpa diusik sebutan yang mematikan, seperti gengsi ditaruh pada pot kemewahan. Andaipun ada, bunga-bunga pada rumah panggung itu masih menyapa bunga-bunga lainnya, yang tidak diperhatikan pemilik rumah.

Alam bersahaja memantul ke dalam jiwa, serupa nyanyian ketentraman, dan para gadis Jawa bersenandung ketika langkah kaki-kakinya yang lincah menuju sendang, membiarkan kulit halusnya dielus aliran tirta pegunungan yang penuh hangat kesejukan. Tagore menatap tanah pertiwi dalam-dalam, lekat hingga tulang sum-sumnya membeku diketidak-berdayaan, sewaktu melahirkan kata-kata. Begitu indah menerima tembang-tembang puja alam kepada Sang Pencipta. Sampai dirinya dapat merasakan limpahan berkah dari lemah Dwipa, seakan terlahir lagi ke dunia, segar seharum tubuh masih muda. Di sama itu, Sultan Hamengku Buwomo IX (1912-1988) baru menginjakkan usianya yang ke 15 tahun. Dengan baju berwarna putih layaknya sang resi, Tagore terus melanjutkan kisah kembaranya…

Angin timur membawa seruanmu yang merdu
melalui jalan angkasa yang tidak terlihat
jauh, ke tempat matahari menyinari pesisir
yang dipayungi daun-daun kelapa.

Tagore duduk di antara bebetuan, dan angin pantai menerpanya, ia teringat awal perjalanan ke bencah Dwipa. Sebelum pelayarannya ke tanah Jawa, dirinya mendapati titah pujangga dari Yang Maha Kuasa, menuruti kalbu untuk menumpangi kapal. Membelah gelombang, membelai cahaya, sambil bercanda dengan decak ombak samudra, di samping membaca alamat kembara, awan jiwa.

Kala siang, kulit mulai keriput itu tersengat mentari, tetapi seakan perjalanan awalkali, ia menikmati seperti pendakian gunung pertama, sungguh menghibur sehingga kulit punggungnya terkelupas tidak terasa. Ibarat sang bocah yang menemukan barang mainannya, yang lama disembunyikan kedua orang tuanya, karena menyebabkan lupa makan juga istirah.

Malamnya, senantiasa berdialog dengan bintang-gemintang, dan sesekali putri bulan datang menghibur kesendiriannya. Diri Rabindranath Tagore seakan tidak pernah lekang dari keramaian percakapan yang paling sunyi dan bening, menimbang merasai dan berfikir di segenap waktu yang disetia. Ia selalu diingatkan pengajaran para pujangga lama, yang membuat dirinya tetap teguh pendirian, melaksanakan perintah meski dikepayahan sangat dalam rasa kantuk memberat, serta menjaga dari kesambillaluan menggoda. Orang pilihan itu mampu memilih, dan melaksanakan pilihannya dengan teguh hati. Di tempat lain, pemuda Soekarno (1901-1970) baru menginjakkan kaki usianya yang ke 26 tahun.

Lalu Tagore beranjak di antara bebatuan. Membuyar ingatannya tentang perjalanan kemarin, terus melangkahkan kakinya di bencah pasir-pesisir, pantai pasir putih, batu-batu mungil. Sesekali melihat tari-tarian janur-janur kelapa yang serasi waktu membiru, dan angin mengibaskan rambut panjangnya yang ikal membentang itu, bagaikan anak-anakan ombak sungai Gangga.

Ia senantiasa tersenyum di setiap kesendiriannya, menyapa alam pertiwi, berharap berbagi teman sepermainan. Sekali waktu kaki-kaki tua itu tergores duri bunga-bunga kaktus yang liar-meliar, ia mengikhlaskan demi salam canda lebih akrabkan ke jiwa. Sementara bunga-bunga kelapa menjadi saksi kecantikan matanya, yang ranum merangkum pengetahuan alam oleh kembaranya. Kerling bola matanya berbinar atas tempaan mutiara hayat yang pernah dinikmati.

Dan kini, ia kembali menemukan mata air itu, sumber falsafah hidup sahaja, serupa alam tropis yang luhur penuh kemewahan wibawa. Keindahan bathin terjemah kelembutan, bola matanya memandang tiada kesudahan, mendapati pancuran bening kesantausaan. Kesungguhan cinta yang dijanjikan, bagi setiap insan yang sudih menebarkan hawa kasih-sayang sebagaimana hakekat kemanusiaan.

Seruan itu bersatu dengan bunyi sangkala
yang ditiup ketika sembahyang
dalam candi di tepi Gangga keramat.

Alunan gending-gending sebentar sayu lalu menggenta. Itulah debaran bathiniah memaknai seruan Sang Kuasa, tergurat kalimat sakti lewat jemari tangan beliau, kian bergetar ketika benar-benar cahaya kapujanggan menimpa diri kembara. Seakan diserang demam mendadak, sebelum ucapan kata-katanya membahana ke relung jiwa alam semesta. Menggoyang pucuk-pucuk cemara, meniup benih-benih kembang, menghadiahkan keindahan seterusnya. Inilah putik-putik bunga yang ditebarkan tangan beliau, di saat memasuki jalan ke perkampungan. Senja mulai menghampiri, Tagore menatap mentari sedemikian peluh-rindu, seakan tak rela berpisah atas perkawanan itu.

Rerumputan padi di pinggiran desa yang mulai menguning, runduk tubuh lengkungnya, sulur daun-daunnya matang mentari, menawarkan bau kedewasaan. Dan setiap penciuman adalah awal sebuah musim, yang diteruskan menjelma pengertian. Sedangkan saling memahami itu, bahasa yang tidak lekang oleh perubahan zaman. Mulanya mengangguk terdiam, sambil menebarkan senyum kegaiban. Senja mulai kemerah, anak-anak tidak lagi diperbolahkan bermain, istilah Jawa-nya sandiolo atau dekat keburukan. Warna mirah itu semakin lama mengungu, menggaris-garis langit senjakala, serupa ada tepian sungai di sana, ia teringat sungai Gangga yang keramat di negerinya.

Dewi Wisnu yang mulia raya bersabda kepadaku
dan Uma, dewi berlengan sepuluh, demikian pula;
“Sediakanlah kapak dan bawalah menyebrangi laut yang asing,
sekalian ucapkan menyembah kami”

Saat memandang gegaris senjakala, seakan lekukan tubuh sungai Gangga. Tagore merasakan dirinya sehawa dalam sebuah candi, denting klenengan kian seru bersusulan, ditabuh angin genderang, begitu pun genta di kalungan leher sapi putih kemerahan, bersahut-sahutan. Dirinya merasakan membumbung ke puncak mega-mega, bersatu dalam kehendak langit masa itu. Kembali, jiwanya digetarkan seruan kemarin silam, semasa di India. Panggilan kedua yang sama, sebagai pelaksanaan tugas setelah menginjakkan kakinya di bencah Dwipa. Sesudah menyebrangi lautan asing, di mana tempat mentari mengumpulkan energi, bintang-gemintang kuat memancarkan tubuhnya di tanah Jawi.

Senja terus merampungkan tugasnya, menenggelamkan surya, membangunkan kunang-kunang menghiasi malam ganjil, lalu jiwanya balik turun ke bumi, selepas mengawang, mengenang seruan sabda Mulia Raya. Kampung persinggahan kala itu, menerimanya sebagai ruang paling bersahabat. Seorang kembara ialah tamu para pemukim. Pengelana itu raja yang tidak punya istana mungil keduniawian, tetapi kastilnya berupa alam semesta, tiang-tiang berdiri ialah niatan, keteguhan hati. Dan perabotannya terdiri dari kepasrahaan, serta keikhlasan, di setingkap hawa goda pancaroba, sedangkan mahkotanya berrupa kesetiaan.

Malam semakin menanjak, ia meminum seteguk air putih demi pengganjal lapar, dan dihisapnya aroma dini hari, sekuat menyetubuhi kesungguhan titah. Seorang mulia, mempersembahkan hidupnya bagi Sang Wenang, seluruh peribadatannya di dalam menjalani kehidupan. Semua datang dan pergi kepadanya, menjelma tetembangan yang terus berkumandang. Jika kesedihan mendentang, disusul sukacita kemesraan, sampai menemukan kesempurnaan, keseimbangan bathin, keselarasan jiwa, kepaduan nada-nada kalbu kepada jantung hidupnya. Dan mengamalkan perintah bukanlah hal memberat, setelah bersatupadu pada tubuh kehendak.

Sungai Gangga mengulurkan tangannya ke lautan timur
dalam gelombang amat dahsyat
dari langit bersabdah dua suara yang kuasa kepadaku- yang satu
yang menyanyikan keindahan sengsara Rama,
yang lain menyanyikan kemenangan Arjun.
Mendesak daku membawa kakawinnya meyebrangi laut
ke pulau-pulau timur.

Fajar pun menyingsing, Tagore kembali diingatkan akan keindahan sungai Gangga atas lahirnya mentari timur. Dua suara datang bertubi-tubi kepadanya, sengsara dan kemenangan. Dirinya seakan diperintah menyeberangi di antara keduanya. Pagi itu ia bersemedi, menuwangkan segenap perhatian bathinnya untuk melangkah, menyusuri anak panah atas tarikan nafas-nafas lama. Dan melesatlah bagaikan kilat, tiada menghirau sakit gembira, tidak merasai sedih pun suka memberat, masuk ke alam hampa. Hilang rasa cinta selama ini, begitu pun kebencian. Jiwanya ampang seampas tebu yang habis dihisap anak-anak gembala. Seolah tidak bermakna dan terus.

Sampailah bathinnya ditarik oleh kedua arah itu semakin kuat. Ada daya grafitasi di antara sengsara Rama juga kemenangan Arjuna, namun ia berusaha teguh tidak bertepuk dalam pesta, juga tidak mengalirkan airmata kesedihan. Ini lawanan nafsu dan nurani. Rabindranath Tagore masih memejamkan mata sambil menghadap mentari. Dirinya telah berada di timur tanah Jawa, tetapi anak panah kalbunya itu tetap mengajaknya melesat, dan akhirnya menghujam kepada matahari. Ia pun merasakan terkena panah, ada titik-titik kebertemuan, jiwanya dengan sang surya, lalu purnalah firasat semedinya. Ia membukakan mata pelahan-lahan, kala mentari setinggi pohon jambu klutuk di samping rumah penduduk setempat, letak di mana semalam ia menginap.

Esoknya, ia melanjutkan perjalanan. Entah berapa bulan berada di tanah Dwipa, tetapi dirinya masih terngiang tanah kelahiran. Atau ia tengah memadukan energi, pulau Jawa dan India, sebab dalam benaknya, Jawa-India adalah satu tumpah darah. Langkah berayun meneruskan niatan, baju yang dikenakannya mulai coklat kekuningan, atas tempaan panas mentari, juga hempasan debu kaki-kaki pedati. Sampailah ia di lempengan kaki Candi Borobudur, dan serentak itu, tubuhnya bersembah sujud pada Yang Asih.

Di masa itu penjajah di tanah Jawa tidak begitu menghiraukan orang-orang asing, apalagi dari dataran tanah India. Kiranya sekadar wisata atau ngelukkru beribadah kalau beragama Hindu atau Budha. Dan agama Islam sudah menjadi momok ancaman penjajah, sebagai jalan tempuh kemerdekaan kedua, di tanah sumpah Palapa. Masa dimana pendiri organisasi Nahdhotul Ulama’ Hasyim Asyari (1875-1947) dalam usianya yang ke 52 tahun.

Kala itu di tempat berbeda, daerah Ponorogo di desa Tegalsari, Jetis. Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari sudah kesohor atas mutiara santrinya yang bernama R. Ng. Ronggowarsito (yang dimakamkan 54 tahun lalu di desa Palar, Klaten, dari hitungan Rabindranath Tagore di tanah Jawa). Rabindranath Tagore terus menaiki tangga tingkatan candi Borobudur, dari tingkatan paling bawah, kamadhatu menuju ke tingkatan rupadhatu, sampai ke tiga tingkatan arupadhatu. Pada stupa paling akhir, atas ketinggian mega-mega juga burung-burung kelana, ia membalik terkenang perjalanannya. Kalaulah Goenawan Mohamad pernah menuliskan; “Di mana masa silam datang pada kita, dan kitalah yang menjadi tamu.”

Pagi hari datang; kapalku menari di gelombang biru tua
layarnya yang putih kembang gagah di tiup angin
ia mencium pesisirmu, langit gemetar dan selubung hijau dewi rimbamu
pun bergerak, kita bersua dalam bayang-bayang senjakala,
ketika malam sunyi-senyap, malam menjadi muram;
siang hari menebarkan emasnya di jalan —tempat kita bersua
jalan jiwa kita berdua menempuh jaman bersama-sama,
dari abad ke abad, antara impian yang gilang-gemilang yang tidak terbilang.

Pada sap candi Borobudur paling tinggi arupadhatu, ia menuliskan sajak bertitel Candi Borobudur, sambil bersandaran pada tubuh stupa terbesarnya. Letak itu, Tagore memandang lepas ke sekeliling candi, pohon-pohon kelapa berdiri tegak, sulur daun-daunnya senantiasa digoyang angin pegunungan. Rumput pepadian hijau perawan, menyiarkan berita kesuburan. Sesekali burung-burung hinggap di atas stupa, seperti mengucapkan salam kedatangannya.

Warna biru langit penuh, membicarakan pelayarannya masa lalu, saat disapa burung-burung pantai, camar-camar berkejaran di muka pesisir menebarkan cerecah. Gunung-gemunung hijau daunnya, pepohonan dikenangnya, selalu menyirap dirinya pada kedalaman bathin keunggulan. Sampai datang senjakala seakan tiba-tiba atas lamunan lembut melembutkan rasa, lentur melenturkan suara. Bayang-bayang senjakala mulai kelihatan, pada tubuh-tubuh stupa, pepohonan pisang tampak kecil di ketinggian jauh.

Waktu mulai temaram, seorang gadis belia penduduk setempat datang ke Candi, letak Tagore tua tengah menikmati pemandangan. Perempuan itu bertubuh semampai berbusana kebaya, senyumnya bagaikan gula-gula Jawa menebarkan pesona, menghaturkan sang pujangga untuk menikmati bebuahan yang ia bawa. Gadis itu memang setiap temaram ke sini, demi mendatangi kalau-kalau ada seorang kembara yang singgah di Candi.

Ritual tersebut dilakukannya sebagai hormat perintah orang tuanya, lalu darah kelelakian Bengali itu teringat wajah-wajah gadis di negerinya, yang juga malu-malu ketimuran. Dan tak berapa lama, gadis manis itu memohon pamit, meninggalkan buah-buahan bagi beliau. Tagore menggangguk tanda menerima syukur. Kembali, ia disergap keheningan malam, tiada kunang-kunang pada ketinggian Borobudur, kicauan burung pun telah sirna bersamaan senja memulangkan mentari.

Bengi senyap membungkus tubuh tersebut dengan angin dingin yang sangat, raga rentah itu seakan tidak kuasa oleh tiupan malam. Tetapi ia tidak mau turun dari ondakan-ondakan pada lereng Candi. Barulah ketika wajah rembulan muncul, kesenyapannya terhibur, sedikit demi sedikit mulai merasakan kehangatan. Lantas ia bersila di ketinggian candi sampai pagi menjemput mentari kembali.

Sinar pepagian keemasan mulai meniup hawa kehangatan, seperti jalan-jalan angkasa, dan fikiran berkendaraan imaji tetap melangkah, menebarkan kemungkinan bertemunya nilai-nilai, sambil membawa setumpuk kisah, untuk diselidik ulang-balik pada perhitungan ganjil penentu hati kepenuhan, yakni kesehatan bathin. Dan spiritualitas itu cahaya yang menempa tubuh berulang-ulang. Memasuki abad-abad lalu tenggelam, diteruskannya sampai kekinian, hingga jaman gilang-gemilang, puncak di mana dirinya sebagai kesatuan saksi pencerah tanah Dwipa.

Zaman pun silam, malam yang gelap menutupi kita
kita tidak kenal mengenal lagi
tempat kita duduk hilang lenyap, tertimbun abu roda kereta.

Tagore seakan melemparkan jala kemungkinan yang teramat mengganjal. Ia melengkingkan kegelisahannya akan masa yang tidak mengenak. Menujum kemungkinan suram tertandakan, dari alam mulai membosan, atas tingkah-pakolah anak-anaknya yang mengenyam berkah dengan penuh keserakahan. Melihat roda penjajah yang semakin mencengkeram lahan-lahan liat, peradaban timpang bertambah beringas, kalbu-nurani tersisikan ke tepian -kesunyian. Akal budhi menjadi asing, semua terhapus, diganti norma-norma kepentingan, jiwa-jiwa tercampak jauh dan terpencil, sulit diketemukan kembali.

Bencah tanah Jawa dan India terasing kembali dari adat istiadatnya, serempak berganti baju modernisasi yang tidak berwatak membumi, wacana-wacana asing menenggelamkan dunia perasaan, mengangkat logika setinggi-tingginya, sehingga tata krama hilang musnah, semua tergadai oleh perhitungan kebutuhan. Pengertai orang kaya terdahulu ialah kurangnya meminta kebutuhan pribadi, tetapi senantiasa memberi pengayoman sesama, atau sedikit sekali kebutuhan dirinya, namun yang memenuhi kebutuhan orang lain dengan ikhlas kasih-sayang. Wajah-wajah lugu diganti muka-muka molek rayuan, senyum rama pun berubah menjadi senyum sungging menginjak sesama.

Di mana para pendahulu telah meramalkan, pun juga beliau. Seorang pujangga itu mengambil jarak atas jamannya, ia tidak terhanyut pula tidak berkendaraan. Ia berada di sebrang kenyataan, tempat lain yang lebih hakiki dari sekadar realitas tampakan. Pujangga adalah seorang penarik dan penabur nilai-nilai luhur dengan kesungguhan bersahaja, demi dipersembahkan kepada tanah tumpah darahnya, ibunda pertiwi, agar tidak kebablasan melupakan sejarah. Tetapi bukan berarti mengambil akar-akaran yang tidak berfaedah, ia menarik akar-akar yang penting sebagai jamu, guna kesehatan sesama, kelangsungan hayat berbudaya, menjunjung tinggi hakikat fitroh bermasyarakat, kemanusiaan yang adil penuh wibawa, dalam istilah R.Ng. Ronggowarsito sebagai Sastra Jendra Ayuningrat.

Dan aku dihanyutkan pasang surut kelupaan
kembali ke pesisirku sendiri yang sunyi
senyap-tanganku hampa dan semangatku kosong
laut di rumahku jadi bisu,
tidak menceritakan pertemuan kita yang disaksikannya itu,
dan sungai Gangga yang gemar bicara itu
tidak memberitahukan kepadaku di mana jalan yang tersembunyi
dan yang jauh, ke tempatnya yang lain, yang keramat.

Kala itu Rabindranath Tagore di ambang keputusasaan kabut, diseret oleh alunan nujumnya kepada alam yang kelam, kosong ingatannya akan kebeningan tekat berbinar-binar kemarin silam, luntur satu persatu benang-benang harapannya, ketika menyaksikan alam menjerit meminta tolong, memohon ampun. Ia tidak kuasa mengembalikan rindu kepada tempat semula, yakni kepada kehendak suci lagi mulia. Semangatnya berangsur menuju hampa, ia bukan tengah istirah atau mengendorkan urat syaraf. Tetapi sedang merasakan tubuhnya tenggelam dalam kepiluan memberat. Andai pun ada dendam, itu pun tidak akan mampu mencuat.

Saat kepiluannya membumbung, tidak kuasa lagi menerima keadaan. Semua terlihat bisu dihadapannya, alam yang dulunya renyai selalu memberi kabar kepadanya, diganti kesenyapan. Bathinnya sunyi seolah tuhan meninggalkan kalbu mungil itu. Tanpa ada kesaksian ketika waktu-waktu pilu terus berlalu. Mendiamkan diri bersama kabut nan pedut, larut ke alam kenangan yang buram. Ia kehilangan jejak kemuliaan atau seperti masa-masa kebosanan, yang menutup seluruh pintu kemungkinan, sampai tidak ada lagi pengajaran yang masuk dan mengena. Segala asing menjadi hal biasa, dan yang biasa semakin lama hilang pengertiannya.

Warna senjakala tiada lagi membicarakan sungai Gangga pada garis-garis keningnya. Seumpama seekor burung lupa arah, mengapung lupa tujuan ke mana, berputar-putar tetapi bukan mencari mangsa, namun mencari alamatnya yang hilang dari peredaran kembara. Hanya kelelahan, kekosongan itu dipapanya ke pembaringan, menuju alam kegelapan. Tagore tertidur dalam kepayahan mencari, ruh alam memberkatinya, memenuhi jiwanya saat ia tidak sadarkan diri.

Saya datang kepadamu, memandang matamu
dan seperti melihat cerlang gaib yang kemilau
ketika kita bersua pertama kalinya dalam hutanmu, cerlang suka cita raya.
ketika kita saling mengikat pergelangan dengan benang merah persaudaraan.

Rabindranath Tagore terbangun dari tidurnya. Memulai kembali ingatan, dari yang mengantarnya lelap dalam kepulasan. Kehampaan nujumnya kepada peradaban, kalau-kalau nanti anak kehidupan, hanya sekadar menuntut kebutuhan bagi roda jamannya semata. Jikalau ditarik dari sejarah, Einsten (1879-1955) berusia 48 tahun di masa itu.

Ia memandangi langit siang terik seperti melihat harapan cemerlang melayang-layang di atas kepala. Awan putih menyebar ke tepian cakrawala. Ia menyaksikan langit biru lepas tanpa mega keraguan. Matahari memberi cahaya kepenuhan saat itu, menyentakkan sedari lamunan panjang kegagalan.

Bayu menyapa kembali, melewati sulur daun-daun pohon rindang raya yang mengantarkan kabar kegembiraan bagi kehampaan jiwa. Lalu kemanusiaannya menari-nari, serasa awalkali menginjakkan kaki di bumi. Dan senandung alam tropis tanpa bersolek pun jadi memikat hati. Ia terhanyut kebersamaan, kepaduan panorama sekitar dengan dirinya sebagai tamu di tanah Jawi. Sekarang Tagore telah menjadi tamu sekaligus tuan rumah. Sebab tanah tumpah darah itu keluhuran budi menterjemah alunan timur ke pelosok sejati rasa, dusun terpencil naluri manusia.

Tagore kembali segar-bugar untuk beberapa kalinya di tanah Jawa. Tetapi dalam benaknya masih bertanya; Apakah ini sekadar halusinasi, sudah merasakan persahabatan intim? Jiwanya diantar balik antara sungguh dan ragu. Diombang-ambingkan semangat dan sambillalu, yang setiap masanya sanggup menjerat langkah. Ia seolah balik dikemuraman batu, namun ada yang tertahan, masih sungguh mendengarkan perintah awal perjalanan, titah Sang Wenang, demi dirinya kembara melayari lautan, untuk menemui kepulauan timur Jawa.

Alam tua itu telah muram,
akan tetapi belum lepas dari tanganmu.

Ia kembali menegaskan dalam dirinya, akan kabar terang dari selipan mera-mega membuyar. Tagore menancapkan janji-janji bagi jiwa-jiwa kesungguhan, mereka yang teguh tekatnya, yang memiliki niat membaja. Ia bukan merayu, namun inilah teguran amat sungguh, bagi bangsa pertiwi, yang tidak ingin lepas dari takdir besarnya.

Tagore tua berseru kepada tanah Jawa juga India, demi anak-anaknya nanti, pewaris terhormat dari tradisi ketimuran mulia. Namun siapakah yang sanggup menterjemah petuahnya, ketika insan saling berlomba mencari kedudukan dunia (waktu itu, 12 tahun sebelum Perang Dunia II, 1939-1945). Bathin bukanlah perkara jasad, dan jasad yang berbusana gemerlap, tidak mampu duduk lama-lama di mana tepat di turunkan berkah mahabbah pujangga. Nafsu menemui nafsu, nurani berjumpa bangsanya, semuanya mengalir mengikuti jalan masing-masing, begitu juga niat bertirakat.

Di jalan yang kita tempuh dahulu
masih tersebar bekas perkataanku,
sehingga aku mendapat jalan lagi ke dalam jantung hatimu,
tempat sinar masih bercahaya, sinar kita nyalakan bersama-sama,
pada malam pertemuan dahulu kala.

Rabindranath Tagore seakan berkata-kata; “Jikalau rindu datanglah ke tempat semula, letak perjumpaan kita sedia kala, setia menjalani keseiramaan bathin atas saling membuka. Dan buanglah segala curiga juga was-was menghantui jiwa. Sebab bangunan yang tertata, berasal dari tumpukan kangen menggebu rasa.”

“Barangsiapa rindu tentunya bertemu, yang kayungyung berjumpa pula. Kebertemuan inilah cahaya terang-benderang, takdir kebersatuan menambah cerlang kilaunya, meski dalam kemalaman. Sebab malam kelam pun menambah memikat sukma. Merambah kepada keheningan penciptaan paling mulia, bathin menjembatani ke alam timur raya.”

“Sukurlah kebertemuan itu, sehingga cerlangnya awet sampai di pembaringan jaman. Persahabatan kita akan abadi, berikrar menyetiai janji sehidup-semati. Perkataanmu menjelma merkataanku, dan perkataanku juga perkataanmu, saat benar-benar diri kita dalam kuluman bibir samudra rindu. Yang jauh tidak lagi jauh, yang dekat semakin erat, dan semuanya berlangsung penuh kenikmatan sungguh.”

“Rasa cinta benderang, menghimpun perasaan, sehingga fajar menjelang. Kita menyatukan senja dan fajar kepada ingatan jaman, atas perjalanan terus terekam dalam bayang-bayang juga cerecah burung terbang.”

“Ruh kita bersama tubuh elang kelana, demi mencari pengalaman, rasa syukur beribadah di segenap tingkah laku hayat menerima takdir nyata, atas kaki-kaki disempurnakan doa moyang, dan ridho Sang Wenang. Dan saat diharuskan berpisah di perempatan jalan, kita masih sejiwa pada kembara ritual doa.”

Ingatlah aku sebagaimana aku mengingat wajahmu
dan lihatlah padaku sekalian yang telah silam
akan tetapi yang harus kita hidupkan kembali nan kita perbaru.

“Perpisahan bukanlah akhir persahabatan, sebab kita hakekatnya bersama. Kini sekadarlah beda tempat, kau di Jawa aku di India. Wajah keelokan pertiwimu senantiasa kuhirup bau kembangnya, dan tak akan kulepas. Bauh warna serta gelombang bathin kita saling menebarkan jala, olehnya tidak merasa hilang sampai akhir masa. Mata dunia pun merekam persahabatan langgeng kita, dalam pembaharuan alam tropis, yang terus berhembus kepada kaki-kaki gunung –kepulauan kita. Dan perkataan kita, adalah bukti kelangsungan persetubuhan jiwa-jiwa mandiri.”

“Sekali lagi, jarak waktu dan tempat bukanlah apa, setelah kesamaan ombak mencipta dayadinaya. Diriku memandangmu dalam, lekat tidak pernah sirna, meski bukan memejamkan mata, dan pada dirimu pun berlaku sama. Kesatuan saksi ini siarkanlah, agar mereka tahu bahwa aku benar-benar pernah melangkahkan kaki di tanahmu. Dan biarkan yang tidak percaya, sebab mereka akan mengerti bagaimana rasanya, kalau kita pergi meninggalkannya.”

“Marilah mengibarkan panji-panji kapujanggan di tanah pertiwi kita masing-masing, kesemangatan menjadi peleburan nilai-nilai atas titah pujangga Sang Asih. Kita mengalirkan sungai-sungai tersebut hingga mereka tersadarkan, di waktu yang tidak terekam selain debur ombak angin dan lautan, yang mengantarkan kebaharuan, bagi yang ikut serta dalam perjuangan.” “Kucium keningmu Tagore, dan salam damai dari Buyutku…”
—-

*) Pada halaman 357, tepatnya dalam sub judul; Hubungan Kita dengan Rabindranath Tagore. Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya, bagian II A: Kebudayaan (diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, tahun 1967), mengatakan bahwa pada tahun 1927, Sang Pujangga Rabindranath Tagore berkunjung ke perguruan Mataram – Jogjakarta.

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karenggeneng, Lamongan, JaTim (4-Desember 2005).

JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILFest) 2008

Sumber, http://www.jilfest.org/

Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, kota internasional, dan berbagai predikat lainnya — yang melekat pada reputasi dan nama baik Jakarta yang merepresentasikan citra Indonesia — memiliki arti penting tidak hanya bagi warga Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Artinya, posisi Jakarta sangat strategis bagi usaha mengangkat keharuman Indonesia serta menjalin kerja sama sosial budaya untuk memperkenalkan Indonesia dalam pentas dunia. Jakarta — yang juga dapat dimaknai sebagai miniatur Indonesia — dapat digunakan sebagai pintu masuk bagi masyarakat dunia untuk mengenal berbagai kebudayaan etnik yang tersebar di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penting artinya mendatangkan masyarakat dunia ke Indonesia melalui Jakarta. Dalam kaitan itu penulis (sastrawan) sesungguhnya alat yang efektif untuk memperkenalkan dan mempublikasikan Jakarta ke masyarakat manca negara. Dalam hal itulah program Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008 dapat berdampak luas tidak hanya untuk kepentingan Jakarta tetapi juga untuk kepentingan Indonesia secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan sebuah program acara yang memungkinkan harapan ideal itu dapat tercapai.

Nama Kegiatan

Kegiatan ini bernama Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008.

Tujuan Kegiatan

* Mengangkat citra Jakarta sebagai kota wisata budaya di mata masyarakat Internasional.
* Memperkenalkan keanekaragaman kultur etnik yang tersebar di wilayah Nusantara, dengan Jakarta sebagai pintu masuknya.
* Mengangkat citra Jakarta dan citra Indonesia secara keseluruhan sebagai salah satu tujuan wisata Internasional.
* Menjalin kerja sama antar penulis Internasional.
* Membuka kemungkinan kerja sama antar-sastrawan Indonesia dan sastrawan Internasional.
* Memperkanalkan sastra Indonesia beserta karya-karyanya ke masyarakat sastra Internasional.
* Memperkenalkan lebih dekat Jakarta sebagai kota budaya dengan berbagai kekayaan hasil cipta budayanya kepada masyarakat dunia melalui peranan penulis dari mancanegara.
* Mempromosikan Jakarta sebagai tempat yang menarik untuk latar penulisan karya-karya sastra dan produksi seni lainnya.

Bentuk Kegiatan

Pertemuan sastrawan internasional, seminar sastra internasional, lomba penulisan cerpen dan puisi berlatar Jakarta, pertunjukan seni, penerbitan buku, bazaar buku sastra, serta wisata budaya.

Pertemuan Sastrawan Internasional

Pertemuan sastrawan internasional ini akan menjadi ajang silaturahmi sekaligus musyawarah untuk mencari bentuk-bentuk kerja sama baru di bidang sastra guna meningkatkan kehidupan sastra serta peran sastrawan dan karyanya di forum-forum sastra internasional.

Seminar Internasional

Tema seminar ini adalah Peran Jakarta dalam Kehidupan Sastra Duni. Menampilkan pembicara dan peserta aktif (undangan) dari dalam dan luar negeri. Nama-nama pembicara yang dijadwalkan tampil adalah DR. Katrin Bandel (Jerman), DR. Ernst Ulrich Kratz (Inggris), DR. Maria Emrl (Portugal), DR. Henry Chamberlouis (Prancis), DR. Evgeniia Sergeevna Kukushkina (Rusia), Prof. DR. Harry Aveling (Amerika Serikat, Australia), Orhan Pamuk (Pememang Nobel Sastra, Turki), Prof. DR. Koh Young Hun (Korea), DR. Mikihiro Moriyama (Jepang), DR. Moh. Saleh Yafaar (Malaysia), Jamal Tukimin, MA (Singapura), dan Prof. DR. Budi Darma (Indonesia). Rincian topik seminar beserta pembicaranya terlampir. Nama-nama peserta aktif yang akan diundang juga terlampir.

Lomba:

* Lomba menulis cerpen berlatar Jakarta.
* Peserta lomba warga negara Indonesia dan warga negara asing, namun ditulis dalam bahasa Indonesia.
* Pemenang lomba akan diundang untuk mengikuti JILFest 2008 di Jakarta.
* Karya-kaya hasil lomba akan diterbitkan dan diluncurkan serta didiskusikan di dalam JILFest 2008 di Jakarta.
* Para pemenang dan buku hasil lomba akan dibawa keliling ke negara-negara pemenang dan nominator untuk didiskudikan dan dipentaskan.

Penerbitan buku:

* Buku yang bersisi makalah Seminar JILFest 2008.
* Buku Antologi Cerpen dan Puisi karya Peserta JILFest 2008.
* Buku Antologi Cerpen karya Pemenang Lomba Menulis Cerpen JILFest 2008.
* Peluncuran buku dilaksanakan pada acara pembukaan JILFest 2008.
* Buku akan dibahas di tengah-tengah seminar JILFest 2008.
* Buku dan pemenangnya akan dibawa keliling ke negara-negara pemenang dan nominator untuk didiskusikan dan dipentaskan.
* Diupayakan, buku-buku tersebut akan diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris.

Bazaar buku sastra:

Bazaar buku dilaksanakan selama acara berlangsung, 11-14 Desember 2008, di kawasan Kota Tua, dengan melibatkan para penerbit buku sastra di Indonesia.

Pementasan:

Pembacaan puisi, pembacaan dan pementasan cerpen, musikalisasi puisi yang melibatkan semua sastrawan internasional, serta pertunjukan seni Betawi. Rincian menu acara pertunjukan terlampir.

Wisata Budaya:

Peserta undangan akan dibawa ke Situ Babakan, Pasar Seni Ancol, dan obyek-obyek wisata budaya lain di Jakarta. Peserta akan diminta untuk menuliskan pengalaman dan kesan masing-masing dalam mengikuti JILFest 2008 dan Wisata Budaya untuk dipublikasikan di media massa di negara masing-masing.

Jumlah Peserta

Acara JILFest 2008 ditargetkan akan diikuti sedikitnya 150 orang peserta (di luar pembicara) – sastrawan, penyair, cerpenis, eseis, novelis, wartawan, penerbit, pengajar, dan aktifis sastra – dari sekitar 30 negara di dunia.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan:

Waktu: Kamis-Minggu, 11-14 Desember 2008.
Tempat: Kawasan Kota Tua, Jakarta.

Susunan Acara:

Susunan acara terlampir.

Panitia Pelaksana:

Kegiatan JILFest 2008 diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI), bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Susunan Panitia Pelaksana:

Susunan Panitia Pelaksana JILFest 2008 adalah wakil-wakil dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Cerpenis Indonesia (KCI), serta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Sekretariat Panitia:

Gedung Nyi Ageng Serang, Lt. 6,
Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan
Phone/fax: (62-21) 5263231.
Web site: www.jilfest.org. Email: jilfest2008@yahoo.com.
Contact Person: 0818992479 (Yusuf), 0818807503 (Ima), 081315382098 (Ahmadun), 081586487530 (Maman)

Jakarta, September 2008
PANITIA PELAKSANA
JILFest 2008

Minggu, 19 Oktober 2008

BELAJAR MENULIS DARI KURNIA EFFENDI*

Sutejo

Dalam laporan gagas utama Mata Baca, edisi September 2005 (hal. 10-11), diungkapkan beberapa pengalaman yang kemudian menjadi tips menarik seorang cerpenis muda Indonesia yang sangat handal. Ia adalah Kurnia Effendi, yang lahir di Tegal Jawa Tengah 20 Oktober 1960. Berikut merupakan tips menarik itu: (a) membuat 10 file sekaligus untuk 10 calon cerpennya, (b) terinspirasi indera visual kemudian menyusur ke audio, (c) kala mood hilang melakukan kegiatan rutin atau mengerjakan sesuatu yang kita suka, (d) disiplin dalam menulis merupakan keharusan tetapi ingat jangan melakukan diri kita seperti robot, dan (e) jika naskah ditolak kita perlu arif menerimanya, anggap cerpen itu tidak cocok untuk media yang bersangkutan.

Bandingkan kemudian hal ini dengan apa yang di-tips-kan Hamsad Rangkuti. Ia menyarankan pada kita begini (a) mulailah meninggalkan beberapa kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan menulis, (b) banyaklah membaca karena semakin banyak yang bisa kita peroleh, (c) dialog dan narasi akan datang susul-menyusul, begitu latar, tokoh dan peristiwa ditemukan. Bedakan kan? Memang menulis itu bersifat personal sebenarnya. Unik.

Nah, sekarang marilah kita berguru pada Kurnia Effendi. Pengalaman menarik yang dapat diambil dari teknik 10 file 10 judul adalah bisa jadi memang ketika menulis sebuah cerpen, sedang alur kreatif terjadi muncul ide baru, dan ketika menulis lagi, muncul ide lagi. Kalau yang ini wajar dan banyak terjadi. Tetapi pengalaman Kurnia ini menarik, buka file 10 nulis judul cerpen 10. Gak masalah! Coba tirukan aja, manakala Anda bisa melakukannya seperti itu berarti memang hal itu cocok buat Anda.

Masalahnya memang ide itu bisa muncul saling berkaitan. Ide yang satu melahirkan ide lainnya. Sebuah keniscayaan yang menarik untuk dicoba. Mungkin Anda terinspirasi tentang Perempuan Bersepatu Laras. Sekaligus, mungkin Anda akan memetik ide tentang Perempuan Berbibir Besi. Muncul lagi, misalnya (a) Perempuan Bertangan Besi, (b) Perempuan Penakluk, (c) Perempuan Bercadar, (d) Perempuan Bersenjata, (e) Perempuan Teroris, (f) Perempuan Bercelurit, dan (g) Perempuan Bertato. Ini hanyalah kemungkinan judul yang akan menjadi file judul Anda ketika berimajinasi tentang sosok perempuan-perempuan penakluk dalam berbagai ragamnya. Bukankah perempuan adalah inspirasi yang tak pernah habis? Dalam segala dimensi mereka seperti generator penggerak segala gerak kehidupan.

Ingat teknik menulis ATM (amati, tirukan, dan modifikasikan)! Hal ini juga berlaku pada proses kreatif bukan pada sekadar karya. Dengan demikian kemungkinan itu memang sangat mungkin terjadi. Sekarang saja, misalnya, saya punya ide tentang wanita yang begitu menggerakkan. Kita coba yang lain, maka secara spontan pula saya bisa buka file 10 dengan judul cerpen 10. Inilah kisahnya (a) file 1: Perempuan Gemini, (b) file 2: Perempuan Bercadar, (c) file 3: Perempuan Penambang, (d) file 4: Perempuan Bersarung Besi, (e) file 5: Perempuan Bertahi Lalat di Dada, (f) file 6: Ikal, (g) file 7: Mata Perempuan Leo, (h) file 8: Perempuan Tusuk Sate, (i) file 9: Perempuan Helder, dan (j) file 10: Perempuanku Tanpa Kelamin. Mudahkah?

Persoalannya, judul-judul itu akan menari-nari dengan sub-ide pengembangan yang bervariasi pula. Mungkin benar awalnya seorang perempuan, tetapi dalam perjalanan ide yang beranak bisa jadi menyuguhkan ragam perempuan, dan itu akan menjadi anak-anak ide yang tentu harus difasilitasi oleh “rahim” yang sama. Bukankah kita lahir dari rahim yang sama bedanya adalah rumah sakitnya? Karena itu, jangan kuatir terhadap pengalaman empirik Kurnia Effendi yang mampu menulis ide dan judul sekali duduk 10 buah. Ini mengingatkan akan pentingnya (a) membuat daftar ide, (b) daftar judul, dan (c) daftar peristiwa.

Kepekaan masing-masing indera seorang penulis memang berbeda, dan kalau kita belajar dari kasus Kurnia Effendi ini yang mencontohkan kasus tsunami di Aceh. “Saya terinspirasi tsunami dari perasaan seorang anak yang ditinggal pergi ayah-putus-asanya.” Kemudian dia spontan teringat lagu Leo Kristi yang berjudul Laut Lepas Kita Pergi. Trans-inderawi ini biasa. Tergantung kecenderungan sensitivitas masing-masing dan itulah akan membukakan pintu ide, yang kemudian memancing pada ide lanjutannya. Bisa jadi, orang hanya mencium bau parfum, misalnya, sudah terinspirasi beraneka ragam imaji yang mendorong untuk penuangan sebuah karya. Entah puisi, entah cerpen. Semuanya tergantung pada ketersediaan “stok” imajinasi yang mengantarkan di pintu ruang cerpen atau karya lainnya.

Belajar dari Kurnia Efendi ini pintu masuk imajinasi adalah indera visual. Karena itu, bukalah lebar-lebar pandangan mata (bertaut mata hati) pada realita. Realita itu kemudian akan alirkan imaji-imaji indera lainnya. Sebuah kemolekan, misalnya, akan mengingatkan indera penciuman. Biasanya sensualitas berbalut dengan keharuman. Sekaligus mengingatkan imaji gerak karena liuk goda dalam langkah adalah daya tarik yang ditebarkan oleh si sensualis. Begitu seterusnya.

Ketiga, perlunya kita tak perlu memaksa ketika mood hilang. Pesan menarik Kurnia Effendi adalah perlunya kita mengisi dengan kegiatan lain, boleh rutin atau hobi kesukaan yang akan menyegarkan. Dalam pengalaman orang lain, disinggung juga, kemungkinan mood hilang karena terbatasnya material. Jika ini yang terjadi, dapat dipecahkan dengan membaca tema-tema yang sama. Tetapi jika ini pun tak mempan maka saran Kurnia ini menarik menjadi pilihannya. Sebab, mood sebagaimana diungkapkan Budi Darma adalah ruh keterbiusan maka ketika keterbiusan hilang mau tidak mau gerak persalinan pun jadi terhambat. Gak usah tegang, gak usah bimbang. Tinggalkan dengan melakukan aktivitas pemancing macam membaca dan berenung.

Keempat, untuk mewujudkan apa pun membutuhkan disiplin tinggi, demikian juga dengan kegiatan menulis. Saran Kurnia tentunya di tips yang ini adalah penting disiplin, baik waktu, masalah, maupun hal lainnya. Untuk apa? Sekali lagi untuk (a) melatih memanaj waktu, (b) bertanggung jawab, (c) membangun etos, dan (d) melatih kesadaran. Bidang apa pun, khusus di bidang bisnis, misalnya, disiplin merupakan penyangga dasar. Jika tidak korporasi bisnis bisa boboh. Jika kita analogkan menulis sebagai bisnis korporet maka kedisiplinan tinggi akan menjadi taruhannya.

Terakhir, tentang penolakan naskah. Betul, tak usah tersinggung karena hal itu merupakan hal wajar. Semua penulis pernah ditolah. Pahami saja bahwa hal itu tidak cocok dengan style yang mereka (redaktur budaya) pegang. Simpan, baca, edit, dan bila perlu lemparkan ke media yang lain. Hal ini sebagai strategi karena --kadang—berkaitan dengan aktualitas. Sebuah godaan fakta yang menjadi imajinasi. Budi Darma, misalnya, pernah menulis Pilot Bejo ketika realita sosial lagi hangat disoroti kasus jatuhnya Adam Air.

Sekarang, lakukanlah sebagian tips boleh, semua juga boleh. Ingat, hal itu bersifat individual, karena itu, jangan dipaksakan! Luwes mengalir seperti alir air adalah resep alami kepenulisan. Bukankah bawah sadar menggerakkan hidup kita sebesar 88 persennya? Demikian tentu dunia kepenulisan ini.***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Selasa, 14 Oktober 2008

MENYISIR KEPENULISAN PROFETIK ABDUL HADI

Sutejo*
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Pada tengah Juni 2008, saya sempat ngobrol bersama Abdul Hadi sebelum menjadi pembicara dalam rangkaian diskusi hantaran pengukuhan guru besarnya. Abdul Hadi sendiri adalah pelopor sastra profetik –yang sampai sekarang—tetap konsisten dengan pilihan pengucapan dan corak kekaryaannya. Pada acara diskusi di Universitas Paramadina Jakarta itu saya menyebutnya nabi, karena secara filosofis kepenyairan di Yunani adalah “proses kenabian”. Penyair adalah nabi kehidupan karena menyuarakan ruh-ruh kenabian. Budi Darma menyebutnya dengan rhapsodist: orang yang bergagasan cemerlang dan berbahasa secara cermerlang pula.

Lelaki profetik itu pernah mengikuti International Writing Iowa tahun 1973-74 dan lulus Ph.D. dari Universiti Sains Malasyia dengan disertasi Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Syaikh Hamzah Fansuri (1995). Pada 1978 dia mendapat hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta; 1979 memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia; 1985 memperoleh Hadiah Sastra ASEAN (Sea Write Award) dari pemerintah Thailand; buku esainya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999) memperoleh Hadiah Buku Terbaik 2000 dari Yayasan Buku Utama; dan 2003 mendapat Hadiah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di Kuala Lumpur.

Beberapa poin berikut adalah hasil refleksi dan pembacaan atas pengalaman kreatifnya, baik itu langsung maupun tidak. Sebuah cermin yang dapat ditatap maknanya dalam menapaki dunia kepenulisan: (a) dia banyak memperoleh ide saat membaca al-Qur’an, (b) dia banyak mengamati realita sosial hingga muncul refleksi profetiknya, (c) aura liris-profetik karya-karya adalah pilihan pengucapan yang konsisten, (d) corak multikulturalisme sebagai ladang kreatif, (e) gerakan profetik dengan mengembalikan makna karya sastra sebagai gerakan kembali ke sumber, dan (f) pengalaman pembacaannya atas teks-teks sastra sufi tampaknya memengaruhinya untuk berkarya.

Menulis bagi Pada awal 1980-an, Abdul Hadi (ingat saya) adalah sastrawan yang memopulerkan sastra profetik. Sekaligus merupakan pilihan pengucapannya sebagai penyair. Sebuah upaya untuk kembali ke akar kehidupan, dan kembali ke sumber dalam bahasa Danarto. Bukankah “kesufian” adalah kodrat umat manusia dalam graduasi yang berbeda? Orang Jawa, menyebutnya agama agemining ati, karena itu, bersastra (yang profetik) tentunya merupakan salah satu “pakaian kehidupan” itu sendiri. Sastra profetik sendiri adalah semacam “genre” atau aliran sastra yang memandang bahwa karya sastra memiliki muara moralitas tersembunyi, yang alir profetiknya semacam oase transendental untuk mengobati kehausan dalam kehidupan. Dalam konteks sastra profetik ini, sebagian orang akan menyebutnya dengan sastra sufistik atau sastra transendental.

Dalam konteks mutakhir muncul gairah sastra Islami dengan puncak Ayat-Ayat Cinta sebagai puncak pentasbihannya, akan menjadi jembatan (transisi apresiasi) menuju pergulatan optimal atas keberadaan sastra profetik yang diusungnya. Sebab, sastra profetik seringkali menggunakan simbol-simbol estetik (bahasa metafora) –yang tentunya— tidak sama manakala kita berhadapan dengan teks Ayat-Ayat Cinta.

Sementara itu, di bangku-bangku sekolah kita temukan nyaris guru-guru sastra tak beranjak dari problem masa lampaunya: jengah di padang estetika sastra dan gundah di tengah sawah pembelajaran yang berubah. Problem guru sastra adalah problem “orang tua” yang tak jelas nasabnya, tak jelas pula pola asuhnya. Guru sastra adalah produk kognifikasi estetika sastra, karena pembelajaran sastra bukanlah pergulatan tetapi verbalisme informasi estetik. Belum lagi, dalam praksisnya, guru seringkali tidak berani beranjak dari dunia lamanya. Sastra terpandang sebagai si anak liar, anak belantara yang tak jelas buminya. Padahal, dalam sejarah negara berbudaya, sastra merupakan pintu masuk bagi warga yang berbudaya. Negara macam Inggris, Jerman, Jepang, Cina, Amerika, Perancis adalah contoh-contoh itu. Belum lagi Yunani sebagai bangsa sumber ilmu adalah muara estetika sastra pula.

Dalam konteks membumikan sastra profetik (paradigma kesenian Abdul Hadi ini), sebagai penulis pemula misalnya, kita penting untuk mengenali, menghayati dan –barangkali—menjadi corak ini sebagai pola diikuti dengan pengucapan yang matang. Makna di balik pilihan demikian adalah makna pesan tersembunyi yang digerakkan teks sastra. Dunia sastra dengan sendirinya adalah jembatan budaya di satu sisi dan di sisi lain merupakan jembatan layang untuk menanamkan berbagai kepentingan. Gagap sosiologis masyarakat kita, dengan demikian, merupakan bagian dari kegagalan pembelajaran sastra secara tidak langsung.

Sebab, realitas sosial dalam pandangan sosiologi sastra merupakan sebab musabab lahirnya sebuah karya sastra (puisi). Ignas Kleden, berpandangan bahwa hubungan kausalitas itu sedemikian kuatnya sehingga teks sastra tidak lain adalah refleksi (superstruktur) dari struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan karyanya. Georg Lukacs dalam Ignas Kleden, mengungkapkan bahwa fungsi refleksi-imaji karya sastra dapat berperanan sebagai pantulan kembali dari situasi masyarakatnya (Wiederspiegelung), baik menjadi semacam salinan atau kopi (Abbild) suatu struktur sosial, maupun menjadi tiruan atau mimesis (Nachahmung) masyarakat. Refleksi ini dengan sendirinya, bukan sekadar reproduksi suatu realitas sosial menurut berbagai kesan yang masuk dari luar ke dalam persepsi tetapi juga mengandung respons dan reaksi aktif terhadap impresi tersebut. Dan, Abdul Hadi dalam berbagai pergulatan sosial dalam menapaki perjalanan ruangnya macam Rotterdam, London, Hamburg, Zurich, Baghdad, Teheran, Istambul, Tokyo, Seoul, Kyoto, Taiwan, Dacca, Bangkok, Manila, New Delhi, Singapura, dan Kuala Lumpur; telah meletakkan bingkai multikultural itu dengan profetik sebagai sumbunya.

Dalam konteks historis sosiologi Melayu, maka keberadaan sastra profetik (sufistik) ini tidak sulit ditemukan. Hamzah Fansuri, misalnya, sebagai simbol sastra Melayu yang paling populer, ternyata memiliki hubungan dalam konteks abad 20-an. Bahkan, tentunya sampai sekarang hal itu dapat ditelusuri dalam berbagai karya, baik puisi maupun fiksi. Akar sosiologis tentang genre ini tentunya sudah mendarah daging. Bagi Abdul Hadi, kegetolannya dalam sastra Melayu memang semacam pilihan untuk (a) mengabadikan histori perjalanan sastra yang sebenarnya sudah tua, dan (b) membumikan cara dan teori sastra yang berbeda dengan kecenderungan sastra Indonesia yang beroreantasi Barat.

Abdul Hadi, seperti apa yang dipesankan Sutardji Calzaum Bahri, “Dul, jadilah dirimu sendiri. Bukan antek Barat.” Dan, memang Abdul Hadi telah merentas karakter teori dan teks sastra dengan pola sendiri. Termasuk pola penafsiran hermeneutik dengan metode ta’wil yang ditawarkannya. Hal itu dilakukan, barangkali karena konteks sosilogis yang mengalirinya adalah muara multikultural yang –sesungguhnya sudah realita yang menarik—untuk ditarik pada makna yang komprehensif. Sebab, baginya kehidupan itu tidak dapat dipilah-pilah sebagaimana realita sekarang.
***

Ketika pengalaman keislaman menguat yang ditandai dengan maraknya buku-buku Islami, pilihan corak sastra profetik (dalam realita multikultural) sangatlah menarik. Sewindu terakhir persoalan spiritualitas menguat seiring dengan rumitnya persoalan hidup yang semakin merebak, baik persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum, psikologi, pendidikan, dan agama. Bahkan, agama seringkali dinilai bukan sebagai sumber kedamaian tetapi muara persoalan. Berbagai bentuk kekerasan di Indonesia, misalnya, seringkali disebabkan oleh persoalan agama ini. Dalam konteks inilah, maka spiritualitas –sungguh—menjadi oase di padang gurun kekeringan jiwa. Spirit yang merujuk pada semangat kebaikan, menggerakkan, dan menemukan. Bukan membedakan. Puisi, misalnya, sebagaimana pilihan tema Abdul Hadi dapat menjadi contoh dalam gerakan sastra profetik itu.

Sejak 2000 bermunculan konsep-konsep spiritualitas bersifat interdisipliner: spiritual quation-nya Ian Marshal dan Ranah Johar, ESQ Ary Ginandjar, SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) Ahmad Faiz Zainuddin, dan masih banyak lagi. Ada buku lain, Spiritual Reading, yang mengisahkan bagaimana secara historis umat Islam sesungguhnya telah membumikan baca tulis sehingga dalam perjalanan peradaban abad 4 sampai awal belasan. Meskipun konsep spiritual beragam maknanya, tetapi yang hakiki spiritual mengarah pada makna spirit kebaikan yang universal. Banyak orang yang tidak beragama tetapi mereka memiliki spiritualitas yang tinggi. Untuk komunitas masyarakat macam Tengger, Baduy, Bisu, dan Samin adalah contoh konkrit yang memancarkan spiritualitas itu. Prinsip perikehidupan Samin (sebenarnya mereka menamakan dirinya Sedulur Sikep) tentang kebaikan, misalnya, mereka memformulasikan secara sederhana: kesamaan antara rembug karo kasunyatan.

Dalam konteks penguatan spiritualitas profetik ini, maka sungguh menarik mendiskusikan sastra profetik itu dalam banyak ragam. Yang pertama-tama, jika kita ingin menulis jenis karya yang profetik maka, penting untuk belajar pada sastrawan macam Danarto, Abdul Hadi WM, Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Kuntowijoyo, dan sebagainya di ruang-ruang kelas. Paling tidak, sastrawan ini, dinilai kuat dan kental nilai sufistiknya dalam kecenderungan karyanya.

Jika kita menjatuhkan pilihan pada pengucapan lirik bertema profetik maka hal berikut menarik untuk dipikirkan: (a) perlunya kita memiliki penguasaan atas simbol bahasa, (b) penguasaan simbol budaya, dan (c) penguasaan simbol estetika sastra. Masalahnya, bahasa, budaya, dan estetika yang bagaimana? Yang bersifat profetik. Artinya, filosofi dan gerak sifat kenabian yang alir di dalamnya.

Secara sosial, Abdul Hadi, sejak kecil memang sudah bergulat dengan teks-teks bersifat sufisme. Abdul Hadi sejak muda sudah bergulat dengan puisi. Subijantoro Atmosuwito, menuliskan Abdul Hadi sebagai born as a poet. Sejak kecil ia sudah bergulat dengan puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lainnya. Dia juga banyak bergulat dengan pemikiran dan karya sastra sufi Timur Tengah dan Melayu menjadikan Abdul Hadi pelopor di garis sastra profetik ini. Dalam bahasa Subijantoro, Abdul Hadi adalah penyair yang sangat prolifik, menjurus pada penemuan pribadi, dan mungkin calon tokoh terkuat dalam sejarah sastra mendatang (ingat, ini dituliskan Subijantoro sekitar 1989).

Tidak heran, jika kemudian kepenulisan Abdul Hadi dipandang memiliki posisi penting. Paling tidak hal itu disebabkan oleh: (a) sebagai salah satu penyair putera Madura yang representatif, (b) dia dipandang mampu mempertahankan perpuisian liris di jejak pendahulunya macam Amir Hamzah, Chairil, dan Sitor Situmorang, dan (c) ada eksperimentasi yang dilakukannya untuk mengrinstalisasi pengertian falsafi (profetik atau sufistik, penulis). Dengan begitu, maka penelusuran falsafi dalam konteks sastra profetik menarik untuk mengaitkannya dalam lingkup religiustias latar dan pergulatannya.

Larik-larik puisi berikut menggambarkan bagaimana pembacaan nilai-nilai kesufian menjadi bingkai kepenyairannya.

Ruh meratap dan bersedih, sayang
menggetar dalam permainan api
maha dahsyat ini
Ruh tiada tidur, mengembara dengan sayapnya
kudus dan putih

Hutan-hutan hangus terbakar
Ruh terbang dan minum arak
Dikoyak-koyak keinginan
Ruh meratap dan bersedih, sayang
Dari puisi Ruh.

Dalam pengakuannya kompleksitas hidup di dunia ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Sehingga, fenomena hidup hakikatnya merupakan kaitan yang bersifat makro dan saling terkait. Dan, pucak penggeraknya adalah ruh profetik itu. Dalam memberikan pengantar terjemahan Matsnawi, Abdul Hadi mengungkapkan bahwa para sufi (termasuk penyair profetik), lebih dan sering tergerak oleh apa yang disebut mahabbah dan ‘isyq (cinta yang berlipat ganda sehingga menimbulkan energi kreatif untuk menjelmakan sesuatu sebagai bukti cinta yang mendalam).

Seorang penyair sufistik, dengan demikian, berkarya merupakan perwujudan dari ‘isyq itu sendiri. Tidak heran, ruh ‘isyq ini alir dalam segala wajah, bentuk, dan wujud. Meminjam pemahaman ini, maka menafsirkan larik-larik: /Ruh meratap dan bersedih, sayang/ menggetar dalam permainan api/ maha dahsyat ini/ Ruh tiada tidur, mengembara dengan sayapnya/ kudus dan putih// Hutan-hutan hangus terbakar/ Ruh terbang dan minum arak/ Dikoyak-koyak keinginan/ Ruh meratap dan bersedih, sayang//

Ruh dalam konteks bait-bait itu, tentunya mengingatkan akan apa yang diungkapkan Abdul Hadi bahwa penyair –karena cintanya pada Tuhan-- (karena Alam misalnya juga ayat dan perwujudan Tuhan itu sendiri) sebagai representasi ruh (idealisme kesucian hati) yang pasti tergerak oleh kepincangan realitas. Frase “permainan api”, “maha dahsyat” dan larik “Hutan-hutan hangus terbakar” dan “Dikoyak-koyak keinginan” menggambarkan keserakahan manusia ketika tidak bersahabat dengan hutan. Frase permainan api tentu misalnya, mengingatkan tentang beragam kemungkinan: (a) hutan yang sengaja dibakar untuk kepentingan perusahaan tertentu, dan (b) kelalaian manusia dalam mengelola hutan karena kemarau sehingga terbakar.

Kesadaran kudus (ruh), kesadaran untuk menahan diri, misalnya, dalam larik-larik itu direpresentasikan dengan diksi “ruh” secara berulang. Beragam makna tentang ruh, tentu, menjadi estetika tersendiri dalam pemahaman atas sebuah puisi. Yang terpenting, misalnya, bagi seorang guru bagaimana menyampaikan pesan religius akan penting perwujudan cinta terhadap alam.

Sebagai perbandingan, Hamid Jabbar yang juga mengalami pergulatan sosiologis Islami tampak demikian menonjol pula nuansa sufisme di dalam karya-karyanya. Secara sosiologis dia diasuh oleh iklim sosial yang kental dengan aroma kultural, kaya dengan khazanah budaya, seni tradisi, dan lingkungan yang relijius. Puisi-puisi Hamid Jabbar dengan sendirinya merupakan refleksi dari kehidupan yang dialaminya. “…Lalu kenangan saya di surau,” begitu ungkap Hamid Jabbar, “di pengajian yang disampaikan ayah saya, mengingatkan kepada kisah Nabi Ibrahim, yaitu ke sesaat sebelum dilemparkannya Nabi Ibrahim ke dalam api unggun.... Ketika itu, saya ingat pula bahwa ada perintah Allah dalam Al-Qur’an, secara tersurat mengingatkan bahwa apa pun yang engkau perlukan, mintalah selalu kepada Allah.”

Dalam pandangan Horace, dulce (indah) dan utile (bermanfaat) , maka puisi-puisi Abdul Hadi, tidak saja sebuah keindahan puisi tetapi juga menawarkan manfaat relijius. Sebab, ragam tema puisi Hamid Jabbar mengimajikan dunia yang oleh Heidegger disebutnya dengan Yang Empat-Lipat (Geviert), yang satu diantaranya adalah “tuhan-tuhan”. Tuhan-tuhan ini hanya dimungkinkan muncul di dalam dimensi (hadirat) ketuhanan, dan hadirat ketuhanan dimungkinkan hanya di dalam dimensi yang Suci (the Holy), dan hanya dari kebenaran Ada-lah esensi dari yang-Suci dapat dipikirkan. Barangkali, sufistikisasi puisi Hamid Jabbar tak kalah dengan sastrawan macam Fariduddin Attar, Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rummi, Rabiah Al-Adawiyah yang oleh Maman S. Mahayana dinilai berhasil mengemas pesan agama (relijius) ini ke dalam estetika sastra.
***

Dalam menulis sastra profetik, karena itu, barangkali penting dipahami penyairnya sendiri mengasah pengalaman profetiknya. Abdul Hadi dalam banyak karyanya, tampaklah bagaimana relijiusitas (sence of religi), dalam wujudnya, mencakup pengakuan kebesaran Tuhan (God’s glory), perasaan dosa (guilt feeling), dan perasaan takut kepada-Nya (fear to God). Rasa takut, pengakuan atas kebesaran Tuhan, dan rasa berdosa demikian, misalnya, dapat dijadikan pintu kepenulisan. Bagaimana dengan Anda? Jangan alergi, sebab religius itu sesungguhnya bukanlah label-label keislaman tetapi lebih dari itu hakikatnya sesuatu yang merupakan entitas dari ruh kesejatian hidup yang tunggal.

Dua puisi Abdul Hadi WM berikut, dapat dijadikan cermin bagaimana inspirasi pengalaman pribadi dan pergulatan atas kemakrifatan hidup menjadi pilar kepenulisannya. Puisi pertama, jelas-jelas terinspirasi oleh kalam Tuhan dalam surah Qaf:6 yang berbunyi: “Tuhan lebih dekat (pada manusia) dibanding urat lehermu sendiri”. Juga pada Al-Baqarah:115: “Ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Tuhan.” Dalam berbagai tema dan setting sastra, dua ayat ini tentunya mengingatkan bahwa tangan-tangan dan mata Tuhan demikian memenuhi. Sebuah ruh gerak religi agar senantiasa ingat, waspada, dan “menyatu” dalam kerlingnya. Puncak dari puisi pertama misalnya, dalam gelap Tuhan sekalipun, nyala (metaforik: makna, petunjuk, hikmah) dapat dipetik. Frase “lampu padammu” barangkali metafora dari hukuman, kebuntuan hidup, kesusahan, dan lain sebagainya.

Tuhan, Kita Begitu Dekat

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padammu

1976
(dalam Rachmad Djoko Pradopo, 1991:27)

Pengalaman multikultural Abdul Hadi memang menggerakkan dalam kepenyairannya. Hal itu, pernah dibincangkan bersama penulis pada sebuah kala di Universitas Paramadina. Baginya, pengalaman kultural adalah sebuah kekayaan yang luar biasa. Dan puisi Meditasi III sesungguhnya merupakan endapan atas pengalaman sosialnya ketika menemukan realita sosial keagamaan yang penuh klaim akan keabsahan Tuhan masing-masing. Hal ini tampak secara filosofis dalam puisi itu. Puncaknya, bahkan Abdul Hadi menyentil di dalam tubuh manusia (sebagai pengalaman sufistik) merupakan rumah semayam Tuhan.

Meditasi III

Akupun sudah letih naik turun candi, keluar masuk gereja
dan mesjid. Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya.
“Musa, Musa!” akulah Tuhan orang Israel!” teriaknya.
Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula:
“Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.”
Aku termenung. Apa kekurangan orang Jawa?
Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan kupulas Budha
jadi seorang dukun Madura.
Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah mati.
Bila hari menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri
di sebuah flat karena aku pun adalah rumah-Nya.
Dikutip dari Bani Sudardi, 2003:147.

Puncak puisi ini, sesungguhnya mengingatkan satu pertanyaan penting: “Mengapa umat sering memperebutkan Tuhan?” Sampai-sampai, suatu kali, penulis temukan semacam “protes kecil” penulis buku yang mengungkapkan oratoris begini: “Tuhan, sebenarnya agamamu apa?” Sebuah oase permenungan, ketika dalam puisi itu, Tuhan seakan diperebutkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Sementara, di ujung puisi itu, penyair mengingatkan “setiap tempat” adalah rumah-Nya. Sebuah puncak kesadaran trasenden yang menarik untuk ditanamkan, terutama di dalam konteks berbangsa yang multikulturalisme.

Dalam kasus puisi-puisi pengalaman sufistik lainnya macam Hamid Jabbar, misalnya, (yang terkumpul dalam Indonesiaku), beberapa puisi profetik tampak pada: Hidup dalam Maut (hal. 218), Pergi ke Hilang Waktu (hal. 219), Sehilang-hilangnya (hal. 220), Berkubur dalam Dengkur? (hal. 221), Ke Puncak Diam (hal. 226), 1 Jam Menjelang Kau Pulang (hal. 227), Mata, Mata Tunggal yang Selalu Memandang (hal. 227), Suluh Padam (hal. 227), Terbiar Belajar Mati (hal. 228), Kakiku Rumah Berjalan (hal. 228), Sampit (hal. 229), Kemerdekaan (hal. 229), Kota & Kampung Hidup-Matimu (hal. 230-231), dan Reguk Hampa Muntahkan Luka (hal. 232).

Puisi-puisi itu ditulisnya dalam keadaan belum usai, karena ditemukan di HP-nya pada saat dia mencapai “puncak profetiknya”. Ia menyatu dengan Tuhannya dalam tamasya baca-batinnya di Dies Natalis Universitas Islam Negeri, 29 Mei 2004 (empat tahun lalu). Diam (suwung), meminjam tradisi Hindu adalah saat relijius yang disebut dalam bahasa Sansekerta-nya sebagai sunyata, yang berarti “kekosongan” –yang dalam pemaknaan Goenawan Mohammad— ia sinonim dengan pengertian ”realitas yang lebih mulia”. Kondisi ini terpancarkan dalam puisinya berjudul Ke Puncak Diam berikut.

Ke Puncak Diam

setiap langkah adalah darah
derap gairah merambah punah

nadi-nadi di bumi tubuh ruh ini
jalan pendakian sunyi tak henti

nuju puncak segala mungkin
yang entahlah tetap mungkin


melagukan segala nyanyi
lagu rindu peneruka abadi

yang bersipongang ngngngngggg
dari lengang ke lengang ngngg

biar muaranya tetaplah punah
tapi alangkah indah alangkah

setiap langkah adalah darah
mengucap kejadian pasrah

yang bersipongang ngngngngggg
dari lengang ke lengang ngngg

ke dalam jeram hati terdalam
alirkan salam ke puncak diam

Bantimurung, 30 Agustus 2003

Sebagai bahan permenungan kita, dapat diilustrasikan sebagai berikut. “Bunda Teresa bersahabat dengan diam”, begitulah tulis Goenawan Mohammad. “Hening” (diam, penulis) memang sebuah pengakuan tentang Tuhan sebagai yang tak terungkapkan dalam bahasa –sebab Ia senantiasa misteri yang kekal--. Secara metaforik, karena itu, judul “Ke Puncak Diam” adalah kematian. Ini sekaligus mengimajikan perjalanan penyair ke puncak kepenyairannya. Larik-larik /setiap langkah adalah darah/ derap gairah merambah punah//. Diksi darah bisa bermakna hidup tetapi dalam konteks itu berarti kematian karena diikuti dengan ungkapan “merambah punah”. Apalagi, bait ke-2, diimajikan penyair dengan gambaran umum kodrat perjalanan hidup manusia sebagai “jalan pendakian sunyi tak henti”. Hidup hanyalah perjalanan menuju mati. Hal itu, semakin magis karena aliterasi /h/ dalam larik itu –secara teoritik—mengimajikan kepedihan dan kedukaan.

Bait ke-3, diimajikan sebagai perjalanan menuju puncak dalam setting waktu berkemungkinan. Bukankah kedatangan (ketibaan) di puncak diam rahasia Tuhan?: /nuju puncak segala mungkin/ yang entahlah tetap mungkin//. Ini dipertegas dengan bait ke-4: /melagukan segala nyanyi/ lagu rindu peneruka abadi//. Idiom “segala sunyi” dan lagu rindu peneruka abadi mengimajikan kematian yang baik adalah kerinduan setiap makhluk. Sedangkan, “segala sunyi” sendiri menyaran pada hakikat segala realita hidup yang tidakberarti. Sebuah kesadaran –yang tidak saja “kesunyian ontologis”, tetapi juga “kesunyian antropologis”-- pinjam istilah Arif B. Prasetyo.

Bait ke-5 menggambarkan kelengangan yang secara semantik sebangun dengan kecenderungan kata yang sering dipakai Hamid Jabbar, semisal sunyi, sepi, pasrah, diam, tidur, dan pergi. Lengang, karena itu, secara metaforis adalah sebuah jalan hening menuju kepasrahan. Tampak bagaimana intensifnya penyair menggambarkan asal kematian (diksi muara) tetap tidak berarti (diksi punah) yang diikuti dengan diksi “alangkah” dua kali, menggambarkan begitu indah langkah “menuju pasrah”. Kutipan bait ke-7 berikut menggambarkannya: /setiap langkah adalah darah/ mengucap kejadian pasrah// yang diikuti penggambaran setting suasana lengang pada bait ke-8. Puncak perjalanan kematian itu seperti tergambar dalam bait terakhir:

ke dalam jeram hati terdalam
alirkan salam ke puncak diam

Ungkapan “jeram hati” menggambarkan telah terjadi personifikasi yang intensif, bahwa hati bergerak deras menuju kedalaman batin yang mengantarkan keselamatan (salam) ke puncak diam (kematian). Sebab, jeram secara leksikal bermakna aliran air yang deras dan menurun. Hati diasosiasikan bak aliran deras menuju kedalaman sebelum merangkak kembali ke puncak diam. Idiomatik “puncak diam”, hakikatnya, metaforis dari segala perjalanan hidup manusia. Demikianlah, memang, dalam perjalanan thariqah, hening (dzikir) dengan diam merupakan puncak menyatunya hamba dengan sang Khaliq.

Begitulah, kepenulisan Abdul Hadi tergerakkan oleh kekuatan Makrokosmos yang subtil. Pergulatannya dalam merengkuh ide saat membaca al-Qur’an begitu tampak. Pergumulannya dengan realitas sosial menuntunnya pada bilik refleksi yang profetik. Pengucapan liris-profetik adalah cermin konsistennya kekaryaannya sepanjang sejarah. Dalam banyak kasus puisinya, corak multikulturalisme tampak sebagai ladang kreatif yang membingkai. Puncaknya, kepenulisannya dalam bingkai profetik telah mengembalikan makna berkarya sebagai gerakan kembali ke sumber. Sebuah pengalaman kesufian yang tampaknya memengaruhinya dalam gerak dan pandangan estetiknya.
***

Walhasil, apa yang dapat dipelajari dari kepenyairan Abdul Hadi WM bagi kepenulisan Anda? Pertama, bahwa berkarya hakikatnya adalah belajar membaca totalitas kehidupan yang estetik. Menulis, karena itu, ekspresi totalitas itu sehingga keutuhan diri menjadi mimpi. Hidup bukanlah potongan atau pisahan atas komponen struktur hidup tetapi gelayut kelindan dalam suprastruktur yang tersruktur. Pandangan makrokosmos dalam hukum keterkaitan begitu menggerakkannya dalam karya-karyanya. Kemanunggalan dengan alam misalnya, adalah realitas total yang tidak terpisahkan dari eksistensi manusia itu sendiri. Di sinilah maka substansi mahabah atau ‘isyq yang diistilahkan Abdul Hadi. Sebuah gelora cinta yang meluap hingga rambah dalam gerak dan karya.

Kedua, pergulatan sufisme kepenulisannya alir dari pengalaman hidup dan penyatuan diri dalam bingkai multikulturaisme. Kesejatian sufisme dalam berkarya bukanlah label dan simbol agama tertentu. Tetapi, alir ke ruh puncak yang bersifat transendental tetapi berwujud dalam beraragam realita yang mengemuka. Kepenulisan Abdul Hadi adalah potret wihdatul wujud dalam segala rupa. Kemanunggalan sifat yang menyaran pada hakikat kejadian adalah kodrat tuhan. Dalam bahasa Abu Bakar, dia pernah berpesan bahwa tak pernah Abu Bakar dalam melihat realita kecuali Tuhan ada di sana. Dalam karya penulisan yang kita ciptakan, karena itu, menarik menghadirkan ruh sufisme ini sebagai bentuk penghambaan abadi. Menghati.

Pengalaman kepenulisan Abdul Hadi ini tampaknya berkaitan erat dengan hal pertama. Ajaran kebaikan universal alir dalam segala sisi dan segi kebudayaan. Semacam postmodernisme barangkali. Riak Tuhani mau tidak mau menjadi gerak karya-karya Abdul Hadi. Pada dimensi ini, maka hal terpenting tentunya mengingatkan kita pada penyadaran Hyang Tunggal dalam segala realita. Puisi Meditasi merupakan contoh terpenting di samping Tuhan, Kita Begitu Dekat. Dalam ajaran sufisme dikenal bahwa Tuhan alir dalam urat nadi manusia. Di sisi lain Tuhan juga dimetaforikkan berada pikiran manusia itu sendiri.

Ketiga, estetika karya kepenulisan hakikatnya adalah kesadaran filosofis sebagai fundasinya. Dengan demikian apa pun karya kita akan menajamkan tentang jargon sastra untuk masyarakat, sastra dalam kepentingan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan secara makro. Bukan ajaran klaim-klaim tertutup atas kebenaran estetis tetapi inklusivisme teks yang memberikan ruang kemungkinan dan mengail makna secara tersembunyi.

Keempat, pemahaman atas sumber ilmu, Qur’an dan Hadis, merupakan kemutlakan dalam alur penciptakan teks sufistik-profetik. Bagaimana mungkin alirkan sufisme yang profetik tanpa memahami sumbernya? Sebuah oratoris komunikasi yang menyadarkan kita bahwa kekekalan makna adalah otoritas Hyang Maha Tunggal. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi hening, suwung, sepi, yang bersifat transendental-dialogis.

Kebiasaan membaca Qur’an, karena itu, banyak menginspirasi berbagai karyanya. Bagi Abdul Hadi, Qur’an merupakan sumber segala keilmuan, termasuk karya sastra. Di sinilah, maka menarik menjadikannya bilik renung dalam berkarya. Sebuah sumber yang tentunya tak kan pernah kering. Dalam konteks ini, Abdul Hadi pernah mengungkapkan pentingnya kembali ke akar dan kembali pula pada sumber. Bukankah Qur’an dan Hadis adalah sumber segala sumber? Akar segala akar kehidupan?

Kelima, dalam berkarya Abdul Hadi ternyata banyak diilhami pula dalam perjalanannya. Perjalanannya ke berbagai negara dan pergulatannya dengan berbagai lapisan senantiasa memantikkan inspirasi religius dalam berkarya. Sebuah tamasya kepenulisan yang bersifat ruhani. Sebuah alir perjalanan yang menarik ditiru dan pada titik penting menggerakkan untuk mengabadikannya. Ujungnya, di satu sisi senantiasa akan menjadi cermin merenungkan eksistensi kemanusiaan dan pada sisi lain akan memancarkan cahaya terang bagi penulis muda.

Bagaimana dengan Anda? Menepis sangka atas ketidak membuminya puisi-puisi Abdul Hadi sebagaimana kritik Sukron Kamil adalah kecerobohan pandangan karena tidak mengaitkan filosofi transendental dalam kemajemukan kultur yang ada.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
------------------------------------------------
Tulisan ini diolah dari makalah presentasi penulis dalam acara diksusi Tapak Budaya Paramadina Pengukuhan Guru Besar Abdul Hadi WM di Universitas Paramadina, Jakarta tanggal 9 Juni 2008.
Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esay-Esay Sastra dan Budaya, Jakarta: Freedom Institute dan Grafiti (2004), hal. 9
Ibid.
Lihat, Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus (1999), hal. 4
Subijantoro Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas Sastra, Bandung: Sinar Baru (1989), hal. 42.
Ibid.
Ibid. hal. 42-43.
Abdul Hadi WM , “Pesan Profetik Matsnawi Karya Agung Jalaluddin Rummi” pengantar buku Matsnawi, Yogjakarta: Bentang (2006). Hal. vi.
Taufik Ismail, “Jalan Berliku-liku Tanah Airku, Penuh Rambu-rambu Indonesiaku” sebagai “Kata Pengantar” dalam Indonesiaku. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Menengah Depdiknas (2005), hal. x
Hamid Jabbar, “Proses Kreatif Saya” dalam Horison edisi Maret, XXXVIII/3/2004, Kakilangit, hal. 13.
Budi Darma, “Esai adalah Sebuah Jendela Terbuka” dalam Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional-Rosda (2005), hal.xi
Haidar Bagir, “Sekumpulan Tulisan dengan Banyak Sekali ‘Barangkali’”, pengantar dalam Catatan Pinggir 6, Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO (2006), hal.xxi (bagian catatan kaki).
Ibid.
Maman S. Mahayana, “Dakwah Agama dalam Sastra” dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Oreantasi Kritik Jakarta: Bening Publising, (2005), hal. 170
Y.B.Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Yogjakarta: Kanisius (1988). hal. 11
Lihat Goenawan Mohammad, “Diam” dalam Catatan Pinggir 5, Jakarta: Grafiti (2002), hal. 405
Goenawan Mohammad, Ibid.
Arief B. Prasetyo, “Semalam di Malaya: Tentang Anatomi Sunyi dalam Simfoni Perjalanan Suhaimi Haji Muhammad” dalam Dendy Sugono dan Budi Darma (Ed), Jendela Terbuka: Antologi Esri Mastera, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Rosdakarya Bandung (2005). Hal. 32. Esay ini memperbincangkan fenomena “sunyi” yang demikian dominan dipergunakan penyair Malasyia. Semacam “alam sunyi” yang menyaran pada kesenantiasaan hidup yang terbelah dalam konflik antara apa yang wujud di luar batin dan yang mewujud di dalam batin.

Rabu, 08 Oktober 2008

Puisi-Puisi Dian Hartati

Kamar Beraroma Apel 2

inilah garis singgung yang kucipta
sebuah dunia yang mendedahkan segala rasa
ketika tawa dan cerita hanya milikku
tak terdengar oleh sesiapa

di sinilah sudutbumi kuhamparkan
petapeta rahasia kubentangkan
penuh kepak kupukupu
kesegaran aroma apel
kecerahan matahari yang selalu bersinar
juga lelembah yang antarkan aku pada sebuah cahaya

di hampar permadani yang sejuk
kusebutsebut sebuah nama
juga kutuliskan banyak puisi
untuk mengenangkan seluruh kisahku
mengabadikan tangis yang diantar sebagian rasa gundah

jika kau masuki tempatku berada
lihatlah sketsa hidupku
seseorang telah melukiskannya untukku
di beranda sebuah mall
ketika angin memenjarakan aku di senja kota bandung

telusurilah angan yang kucipta
langkahlangkah sepasti sejarah
lekuk gairah yang lebur di tubuhku
semua menghadirkan senyuman yang banal

SudutBumi, 07 Maret 2008



Sketsa Hati

hatiku bukan hijau
ia ungu seperti yang tumbuh di mataku
ia dalam menutupi sumur kenangan
ada luka di hatiku
yang selalu gerimis
jika seseorang melihat di kedalamannya

SudutBumi, 17 Maret 2008



Wajah Pagi

kuterkaterka sebuah wajah,
wajah pagi yang dingin

lalu kuhantarkan matahari,
tempat luka dikeringkan

tempat segala rasa dirangkumkan
dalam sebuah cawan,
bernama kenangan

SudutBumi, 20 Maret 2008



Metawaktu

apakah kau bersiap
untuk sesuatu yang tak pernah terduga?
serupa aku yang menjelma di lelahmu
serupa aku yang berkelindan di ingatanmu

serupa kupukupu
aku siap
bermetamorfosis

SudutBumi, Maret 2008

Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin

De Javu

Kasih;
Dalam tidur malamku, kamu datang dengan sebilah tanda tanya, tanda
tanya mirip gumpalan titik koma, kurasakan lembab tanda seru
bersembunyi pada batang takdir yang kucipta dalam rahim ibu.

Seperti garis peta yang menghunjam jantungku, ingin kutafsir jalan nasib
lewat petualangan tiada akhir.

Aku menangkap wajahmu serupa wajah dalam mimpi-mimpi, wajah yang
datang tiba-tiba di keheningan batinku.

Aku merindukan kurung buka untuk merapal nama-nama bintang
sesuai angka kelahiran dan
kutemui wajah-wajah yang sama meski beda nama, mereka pergi bila
kutanya.

Aih, rupanya aku sudah mulai gila padahal belum kutulis kurung tutup
lewat tangan yang gemetar jika mendengar namamu disebutkan

Ibu;
Meski semakin jauh aku berjalan, semakin terjal jarak kampung halaman:
itulah kepulangan. meski nasib tak menentu dan kenangan-kenangan
gugur di jalanan; aku masih bertualang.

Selalu aku menyusu pada matahari yang terbit dari do’amu meski cahaya
kisut dan usiaku makin keriput
lihatlah, Ibu! lihatlah gambarku dalam buku-buku anak sekolahan, gambar
yang sedang melambai kepadamu
dan entah kenapa, suatu waktu dalam tidur malamku, kamu minta
disetubuhi, aku melakukannya berkali-kali
tanpa sesal, aku ingin tinggal di neraka sendirian
agar aroma tubuhmu bisa kuingat dari rantau

Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007



Kurasakan Tubuh Hujan
-untuk zizi

Mata;
Aku mendalami sepi di matamu dan kurasakan runcing dingin yang gigil,
garis nasibku melintang serupa jalan pulang, di manakan tepian?

--hujan ini tak membuat kita celaka – katamu.

Tatapmu yang kesekian menidurkan mimpi musafir di gubukku
dan aku ingin bertualang lebih jauh lagi, mengenal hitam putih matamu.

Cerita yang belum selesai di pagi hari menenun kata yang tak mampu
kamu tulis di atas daun bakau, impian berkali-kali usang walau cerita
lama belum kamu tamatkan. Ah, ingin kulihat lagi mata sunyi hujan agar
gigil kembali kurasakan.

Rambut;
Tak bisa kulihat rambutmu sore ini, Zi, tak dapat kupantau awan legam di
atas keriting yang menyala – adakah uban di rambutmu? Hari ini kepalaku
menjadi rotasi bola-bola cinta yang mirip matahari. Ingin kumainkan di
depan gawang yang licin.

Biarkan rambut hujan terus memanjang, memanjang dan merumbai ke
punggung senja agar seluruh pertapa tahu, dingin menggigil itu hanya di
tubuhku. Entah mengapa, bila tatap berkalikali kamu luncurkan, aku
berharap selalu hujan.

Yogyakarta/Tang Lebun, Februari-Maret 2007

Seni(man) yang Terbelenggu

Marhalim Zaini
http://esai-marhalimzaini.blogspot.com/

Untuk memulai tulisan ini, saya hendak mengutip satu paragraf penting dalam salah satu esai Putu Wijaya. Begini bunyinya, “Tidak mudah menjadi seniman, kalau seniman bukan diartikan sebagai sekadar label dan status, tetapi fungsi. Sebagai fungsional ia dituntut untuk bekerja. Bekerja tidak hanya kalau ia sedang bernafsu, ketika tanpa nafsu pun ia mesti berekspresi. Karena kalau tidak berkarya ia berarti tidak berfungsi. Seni bukan lagi kesenangan, meskipun bisa menyenangkan sekali. Seni adalah pencarian yang tak pernah selesai. Sebuah tugas yang tak bisa ditolak. Bahkan sebuah kutukan bagi dia yang tak bisa memilih lain kecuali jadi seniman.” (Bor, 1999).

Itu kata Putu Wijaya. Seorang pengkarya yang sangat produktif. Sosok seniman yang sejak SMP sudah menulis cerpen dan main teater. Dan sampai kini, ketika rambutnya sudah ditumbuhi uban dan kulit wajah mulai berkeriput pun masih dengan semangat berkarya. Terakhir ia sms saya, yang mengkhabarkan bahwa ia bersama Teater Mandiri-nya itu akan pentas monolog berjudul “Seratus Menit” di UNPAR, selasa, 29 mei 2007. Dan saya cuma bisa membalas sms, “Selamat Mas Putu. Masih tetap terus bergelora…” Sungguh, saya iri. Orang sebaya Putu Wijaya, yang telah kokoh menancapkan namanya di dunia seni, meraih berbagai penghargaan, menciptakan ratusan karya tulis yang telah diterjemahkan ke lebih dari lima bahasa, masih terus bergelora dengan semangat tinggi melahirkan karya-karya. Dia hidup dalam dunia seni, dan dunia seni hidup dalam dirinya.

Dan Putu Wijaya, saya kira, adalah salah satu saja dari sejumlah seniman (di) Indonesia (dari yang tak banyak ini) yang terus-menerus bergulat dan merasa selalu kembali ke titik nol saat mulai masuk ke dalam proses kreatif penciptaan seni. Artinya, ada yang belum selesai dalam upaya menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dalam ranah seni kita. Ada ruang-ruang atau celah-celah yang menunggu direspon oleh seniman sebagai sosok manusia yang tidak dengan mudah menerima realitas (kenyataan) begitu saja, sebelum ia menemukan harapan-harapan lain di sebaliknya. Harapan-harapan lain itu adalah pencerahan. Adalah sebuah kondisi di mana kenyatan-kenyataan lain dapat tumbuh sebagai benih-benih imajinasi.

Benih-benih inilah kemudian yang berkeliaran ke rahim-rahim kreatif. Ia bersetubuh. Dan selalu, persetubuhan adalah sebuah kenikmatan yang kerap tak dapat kita maknai dengan terang dan jelas bentuknya. Ia terasa ada, meski tampak tiada. Maka kelahiran agaknya bukanlah sesuatu yang luar biasa dalam proses berkesenian. Sebab ia, dengan segera, dan secepatnya, akan “menolak” dan melihat sesuatu yang lahir itu berjalan pergi, menjauh, meninggalkan sang rahim. Ia berkelana ke mana pun, sampai ia menemui ajalnya sendiri. Penolakan ini, adalah semacam posisi yang sengaja diambil oleh seniman. Sebab, kata Van Gogh, “kita tidak boleh menilai Tuhan berdasar dunia ini. Dunia ini adalah hasil lukisan Tuhan yang gagal.”

Konsepsi filosofis perjalanan kreatif seorang seniman semacam itu boleh jadi hanya dimiliki oleh mereka yang bersepakat dengan Albert Camus, bahwa “……” Perjuangan dalam konteks tulisan ini merujuk pada sebuah fenomena “kekacauan paradigma” kita terhadap sosok seniman yang kerap hadir dalam wilayah yang (seolah) sangat sulit diidentifikasi. Kekacauan ini kelak menimbulkan ekses yang bias dalam persepsi publik. Hingga bermuara pada labilnya eksistensi seniman di mata publik dan negara. Menyebut ‘negara’ dalam konteks ini, adalah mengacu kepada posisi ‘kekuasaan” yang sempat merecoki ingatan kita tentang wacana represif dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Ada trauma yang membekas bagai barut luka di tubuh kesenian kita, mulai dari pelarangan pentas seni dan penerbitan buku sastra, sampai pada penangkapan dan penculikan para aktivis kesenian.

Akan tetapi, catatlah. Bahwa seniman-seniman yang ‘terbelenggu” oleh kekuasaan di zaman itu, justru dengan tegas dan jelas menggaungkan karya-karya mereka ke tengah publik. Pramudya Ananta Toer (terlepas dari soal politis yang membabitkan namanya) sejak masa penjajahan sampai rezim Orde Baru yang membuang dan memenjarakannya, justru tak henti-hentinya melahirkan karya sampai akhir hayatnya. Rendra dan Nano Riantiarno bersama Teater Koma-nya, termasuklah juga Putu Wijaya, berulangkali dicekal dalam pembacaan sajak-sajak juga pementasan teaternya. Wiji Thukul, sang penyair buruh itu, tiba-tiba lenyap seperti ditelan pantai laut selatan, gara-gara sajak-sajaknya yang kritis terhadap pemerintah. Dan tentu banyak lagi contoh, yang menceritakan bagaimana sesungguhnya kondisi represif itu justru dapat mencuatkan sejumlah nama dalam dunia seni kita. Meski, satu problem lain juga muncul, bahwa tak sedikit juga “seniman” yang berteriak dan meratap tentang kebebasan dan kemerdekaan. Mereka merasa terpasung kreativitasnya, merasa terpenjara, terbelenggu, dan merasa tak berdaya untuk berkarya.

Lalu, datanglah sebuah masa di mana kemerdekaan dan kebebasan yang diratapi dulu itu tersaji di hadapan mata para seniman. Dunia seolah kini tampak telanjang tanpa pakaian. Sebuah dunia yang bebas-lepas, simpang siur dalam lintasan peristiwa yang mengejutkan. Di zaman serupa ini, tentu saja bagai bentangan surga bagi dunia kreativitas yang identik dengan “ketidak-terbatasan.” Namun, apa kenyataannya? Apakah dengan demikian maka para seniman melahirkan karya-karya bermutu, menonjol, keluar dari batas-batas konvensi seni dan melompat ke dunia eksploratif yang lebih liar? Apakah dengan demikian, komunitas-komunitas seni kian tumbuh dan berdialektika menggagas berbagai wacana seni, dan menghadirkan gerakan-gerakan kebudayaan yang lebih luas? Hemat saya, setakat ini, tidak.

Malah yang tampak seperti ada belenggu-belenggu baru yang mengungkung proses berkesenian kita. Belenggu-belenggu itu menjelma dalam wujudnya yang lain, berupa “kebebasan” itu sendiri. Sebab rupanya, kita memang belum siap untuk dengan kritis dan kreatif memaknai kebebasan yang mengglobal ini. Kegamangan pun masuk dalam bentuk-bentuk kesenian yang kita produksi. Dunia kapitalisme yang sejak lama mengambil porsi teramat besar dalam konstelasi berkehidupan kita kini bahkan seolah menemukan signifikansinya yang lebih terbuka dan konkret. Hingga ia pun kemudian ikut masuk dalam rumah-rumah kecil individu-individu para seniman. Tersebab ia selalu dan terlalu menggoda, maka sungguh sulit untuk sesiapa pun dapat menepisnya. Godaan-godaan ini kemudian menjelma jadi salah satu bentuk keterbelengguan yang lain pula.

Negara, pada situasi kini, memang sangat terbuka dan tak secara gamblang mencengkeramkan tangan-tangan kuasanya pada kreativitas seniman. Negara, tampak lebih arif dan seolah hendak bergandengan tangan degan seniman, termasuk support material yang disuguhkan. Namun agaknya harus dilihat juga, bahwa ‘kebaikan’ negara ini pada titik tertentu, rupanya membangkitkan satu ‘keterbelengguan’ yang baru pula bagi seniman. Dapatlah kita tengok dan dengar, bahwa masih saja ada yang mengeluhkan tentang ketiadaan dana untuk memulai sebuah kreativitas seni.

Persepsi semacam ini seolah menggiring sebuah sikap berkesenian yang manja dan menyederhanakan proses kreatif penciptaan seni hanya pada ketersediaan dana. Anehnya, begitu dana tersedia demikian layak bahkan lebih dari layak, seniman malah masuk kembali dalam belenggu pragmatisme, memosisikan diri sebagai sekedar aktivisme, bahkan kemudian ikut ‘menyederhanakan’ ke(seni)an dalam kamuflase-kamuflase. Dan ketika perahu kesenian telah merapat dekat dengan pelabuhan negara, maka pada saat yang bersamaan, sebuah proses intervensi sedang bekerja di balik layar. Ketika proses intervensi ini kemudian diam-diam menemukan signal yang kuat, seniman lagi-lagi akan masuk ke dalam belenggu-belenggu baru pula.

Dapatkah seniman keluar dari belenggu-belenggu ini? Hemat saya, jawabannya adalah “pemberontakan.” Meski saya cukup kuatir menyebut kata ‘pemberontakan’ ini, sebab ia telah demikian negatif dalam minda kita, karena ia memang pernah dikambing-hitamkan oleh dunia politik sebagai yang subversif, sebagai “penjahat’. Padahal, dunia seniman, dunia kreativitas, rasa-rasanya tak mungkin untuk dipisahkan dengan kata pemberontakan. Sebab setiap karya yang lahir adalah hasil dari proses pemberontakan seniman terhadap realitas, terhadap ‘kemapanan’, terhadap tatanan status quo yang dianggap usang. Bukankah sebuah hipotesis pernah bilang bahwa “kreativitas dan pemberontakan tidak lain adalah gerak alam raya itu sendiri, keduanya adalah esensi dari kehidupan.”

Dan entah apa jadinya, kalau sikap dan tindak pemberontakan tak ada dalam diri mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang seniman. Mungkin saja kita hanya akan menyaksikan ke(seni)an kita terus menerus berada dalam belenggu jiwa-jiwa konvensional, dalam belenggu elitisme budaya. Maka izinkanlah saya, untuk menutup tulisan ini dengan mengutip paragraf penting lainnya dari esai Putu Wijaya, “seniman yang malas, yang tidak kreatif, mungkin benar akan menjadi mati rasa dalam pembebasannya. Ia menjadi mandul. Tetapi seniman yang kreatif tidak akan mau masuk lubang kubur macam itu, bahkan ketika ia mati pun, karya-karyanya masih bersuara lantang. Ia akan senantiasa berjuang. Karena kesenian adalah perjuangan, bukan kesenangan.”***

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar