Minggu, 28 September 2008

Jenius Lokal Berperahu Cadik

Jurnal Nasional, 28 Sep 2008
Grathia Pitaloka

Kampung halaman sangat mewarnai sastra Indonesia; bahkan jadi paradigma berpikir yang tak terpisahkan.

Pada era 1970-an, perkembangan sastra Indonesia pernah menggeliat kembali ke akar. Karya sastra yang dianggap ideal, harus memiliki muatan atau warna lokal, di mana secara simbolik dan geografik merujuk ke kampung halaman.

Tak banyak orang yang mampu mengeksplorasi tanah kelahirannya, untuk kemudian dirajut dalam bait-bait puisi. Dari segelintir itu, nama D Zawawi Imron layak disebut sebagai salah satu yang sempurna. "Ia menyerap simbol-simbol yang ada di Pulau Madura untuk kemudian diangkat jadi sebuah warna lokal yang unik," kata penyair Acep Zamzam Noor kepada Jurnal Nasional, Selasa (23/9).

Eka Budianta menyebut Zawawi sebagai seorang jenius lokal, yang dengan pendidikan formal minim, berhasil melakukan penghayatan mendalam atas kebudayaan dan masyarakat Madura. "Berbicara mengenai Zawawi, sama artinya dengan mengulas kepribumian Indonesia," ujar Eka.

Kedekatannya dengan idiom-idiom lokal membuat Zawawi dapat memaknainya secara intens dalam sajak. Tak heran, sejak awal karier kepenyairannya, ia tidak ragu untuk memasukkan lenguhan sapi, pohon siwalan, hingga saronen.

Realitas alam Madura ia olah secara simbolik, hingga memiliki makna luas dan universal. Rantau dan pelayaran pun tak hanya bermakna harfiah, tapi memiliki dimensi spiritual. Begitu pula daun siwalan, clurit, sapi karapan, pondok garam dan perahu cadik membentuk dimensi makna yang lebih luas bahkan kaya raya.

Zawawi memiliki bahasa ungkap sederhana, simetris dengan kesederhanaan kampung halamannya. Dan yang paling menarik adalah terciptanya sajak-sajak surealis, di tengah realitas alam sehari-hari, sebagai antipoda terhadap kemapanan yang ada.

Kebanggaan Zawawi terhadap khasanah budaya Madura, terlihat jelas pada sajak-sajaknya. Salah satu yang paling mencolok adalah puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu. "Sikapnya yang tak kenal lelah menyuarakan Madura membuatnya menjadi ‘mahal'," kata Eka.

Bila musim labuh hujan tak turun
Kubasuhi kau dengan denyutku
Bila dadamu kerontang
Kubajak kau dengan tanduk logamku
Di atas bukit garam
Kunyalakan otakku
Lantaran aku adalah sapi kerapan
Yang menetas dari senyum dan airmatamu
Aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
Dan memetik bintang-gemintang
Di ranting-ranting roh nenekmoyangku
Di ubun langit kuucapkan sumpah:
- Madura, akulah darahmu.

Selain tanah kelahiran, Zawawi juga menjamah beragam tema seperti ketuhanan, sosial serta politik. "Ia menyampaikan puisi religius tidak secara formal, melainkan melalui ungkapan-ungkapan alam yang sangat murni sehingga tampak hidup," kata Acep.

Zawawi juga kerap menulis tentang keterpesonaannya terhadap sebuah daerah yang dikunjunginya. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan kebudayaan setempat. "Dalam setiap perjalanan, Zawawi selalu membuat puisi dan puisinya selalu berusaha menyampaikan nilai-nilai lokal," ujar Afrizal Malna.

Menurut Afrizal, sajak-sajak Zawawi yang sarat muatan lokal bukan semata-mata untuk kepentingan estetika, terkadang di balik itu ada motivasi untuk diterima oleh masyarakat setempat. "Zawawi mengemas puisi sebagai sarana komunikasi," tutur Afrizal.

Ketika banyak penyair yang lebih mengedepankan masalah teknis dalam membuat sebuah puisi, maka penyair berdarah Madura ini lebih mementingkan jalinan emosi yang ia bangun kata demi kata.

Hal itu dapat ditangkap jelas oleh Afrizal, di mana kata-kata dalam sajak Zawawi menunjukkan sebuah keterikatan emosi yang kuat. Ia berhasil meniupkan ruh kehidupan pada kata-kata sehingga tampak bernyawa. "Ia tak sekadar menulis puisi, tetapi juga mampu membangun hubungan intim dengan kata-kata," kata penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 ini.

Rumah Terpencil
Di tengah derasnya arus globalisasi, harus diakui kehadiran warna lokal dalam karya sastra terasa tersisih atau hanya sekadar sebagai tempelan. Penyair-penyair lebih senang memperbincangkan obrolan seputar tema-tema masyarakat urban-global. Tapi hal itu tak membuat Zawawi berpaling. Ia tetap betah tinggal dalam "rumahnya". Rumah yang dalam imajinasinya diletakkan dalam latar belakang kebudayaan, peda laman, rumah yang asing dengan hiruk pikuk kota.

Zawawi nyaman memencilkan diri (alienasi) dalam ruang kecil (rumah) dalam ruang yang besar (hutan). Peta ini bisa dijawab dengan situasi-situasi yang berbeda atau berlawanan. Seperti dalam puisinya yang berjudul Rumah Terpencil (1987). Sebuah rumah terpencil di hutan Camba / tak punya tetangga / Tapi kurasa / ada daun-daun bersenyuman setiap hari // Di sini / seperti tak ada yang berangkat tua / dan sia-sia mengasah cakar atau gigi / yang mekar hanya sanubari.

Bila penyair lain mahir menulis puisi karena banyak membaca dan mempelajari litelatur dari luar negeri, tidak untuk Zawawi. Puisi buah tangan lelaki yang akrab disapa Pak Haji ini murni lahir dari proses pengamatan dan pengalamannya. "Berbeda dengan Sapardi atau Goenawan Mohammad yang banyak menterjemahkan sajak-sajak luar, Zawawi benar-benar seorang jenius lokal," ujar Eka.

Pengamatan serta pengalaman yang matang bukan hanya menciptakan sebuah kealaman tema tetapi juga sebuah keluasan. Sehingga tak hanya pembaca berdarah Madura yang tersentuh ketika membaca puisinya, tapi juga pembaca yang berasal dari suku bangsa berbeda. "Zawawi membuat puisi sebagai alat untuk mencintai kampung halaman, bukan sekadar kesenian merajut kata-kata," kata suami Melanie Budianta ini.

Dalam puisi Zawawi bahasa adalah kekayaan budaya, bukan semata-mata pemuas hasrat manusia pengagum budaya. "Sebagai seorang penyair rakyat ia tak bisa hanya dinilai dari sudut artistik, ada ceruk lebih dalam yang patut digali yaitu kecintaannya terhadap sesama manusia," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Kajian Kesusastraan Asia Timur itu.

Ada geli yang menggelitik penikmat sastra untuk kemudian tergoda membandingkan Zawawi dengan rekan sedaerahnya, Abdul Hadi W.M. Selain berasal dari daerah yang sama, keduanya sama-sama mengangkat Madura dalam karya mereka.

A. Teeuw pernah mengatakan bahwa Zawawi adalah seorang penyair dari Madura dengan mutu sajak yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi (A. Teeuw, 1989: 163).

Namun A.Teeuw tidak menunjukan di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi dan sampai sejauh mana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya. Diperkirakan penilaian A.Teeuw hanya berdasarkan karya Zawawi sampai akhir dekade 1970-an karena banyak puisinya terbit pada dekade berikutnya.

Padahal kepenyairan Zawawi malah berkembang dengan sangat pesat serta mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986).

Mengomentari perbandingan tersebut, Afrizal berpendapat, Abdul Hadi memiliki kekuatan pada komposisi, sementara Zawawi agak keteteran di bagian itu. Tapi, lanjut dia, Zawawi memiliki metafor yang lebih unik dibanding Abdul Hadi. "Metafor Abdul Hadi merupakan warisan nilai-nilai imajisme dunia karena ia mahir berbahasa Inggris dan memiliki intelektualitas yang tinggi. Sementara Zawawi belajar dari pengamatannya sendiri sehingga pergulatan yang dialaminya jauh lebih keras," kata Afrizal.

Dalam menulis puisi Afrizal melihat Zawawi menggunakan tiga formula untuk memperkuat sajak-sajaknya, yaitu: spiritual, nilai budaya lokal, serta sentuhan personal yang unik. "Seiring berjalannya waktu formula yang ia gunakan semakin memperkuat sajak-sajaknya," ujar Afrizal.

Perjalanan budaya yang dilakukan oleh Zawawi memperkaya metafor dan pemahamannya tentang bahasa. "Ia memiliki metafor yang kuat, itu yang membuat sajak-sajaknya lebih kaya dibanding penyair seangkatannya," kata penulis buku Arsitektur Hujan ini.

Pendapat Afrizal seolah mengamini pendapat Subagio Sastrowardoyo yang secara subyektif mengaku menyukai puisi-puisi Zawawi, meski terdapat keganjilan-keganjilan imaji yang mengurangi tenaga ucap. "Apa pun wujud puisi-puisi Zawawi saya tetap mencintainya," kata Subagio (1989).

Penyair Balada
Afrizal memaknai imajinasi Zawawi layaknya sebuah pulau yang berjalan. Ia mengatakan, dalam puisi Zawawi terdapat percampuran berbagai nilai mulai dari agraris hingga budaya lokal. "Nilai lokal yang ia sajikan sudah bertransformasi, sehingga hadir secara terbuka," kata lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.

Menurut Afrizal, Zawawi merupakan seorang penyair forklore yang banyak memasukkan cerita-cerita rakyat dalam puisinya. Selain itu, ia juga memiliki kedekatan dengan dunia pesantren, maka tak heran jika sajak-sajaknya akrab dengan rumor para kyai. "Sebenarnya jika Zawawi tidak berada dalam lingkaran penyair imajis, dia akan menjadi penyair balada yang hebat," kata penyair berdarah Minang ini.

Pria berkepala plontos ini mengatakan, era puisi imajis sudah selesai, sulit untuk mencetak sebuah sejarah baru. Menurut Afrizal, Zawawi akan lebih berkembang jika mau menyisir kembali kemampuannya berbalada.

Penulis sajak Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini melihat, kekuatan balada Zawawi tampak jelas pada puisinya yang berjudul Ibu : bila kasihmu ibarat samudera // sempit lautan teduh // tempatku mandi, mencuci lumut pada diri // tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh // lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku // kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan // namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu // lantaran aku tahu //engkau ibu dan aku anakmu.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar