Cerpen CWI 2006, terangkum dalam antologi Lok Tong.
Marhalim Zaini
“Betul-betul makan sumpah jaring batu ini, Cuih!” Ludahnya bau pahit kesumat. Tiap hari, bahkan tiap saat. Tiap ia teringat kepala kekasihnya tergolek bagai sebongkah kelapa, teregok-egok dalam gelombang laut Selat Melaka, teregok-egok pula dalam pasang air matanya. Entah telah berapa gantang ludah untuk menyumpah-nyumpah yang tumpah dari mulutnya, di sepanjang beting, sepanjang tepian pantai abrasi, sepanjang hari-hari sesenyap mati.
Panggil saja ia Siti. Boleh Siti Lengkong, boleh Siti Ampung, Siti Sianah, Siti Nurhalizah pun boleh. Tak ada yang hirau sangat dengan sebutan nama di belakang nama Siti, sebab semua perempuan di kampung Parit ini merasa tak ada yang berbeda dengan diri mereka. Yang namanya perempuan ya sama saja. Sama-sama tukang toreh getah , sama-sama tukang anyam pandan, sama-sama tak tamat sekolah, sama-sama jadi bini nelayan. Tapi, Siti yang masih gadis ini, yang suka menyumpah-nyumpah ini, tiba-tiba menjadi lain dari perempuan yang lain. Selama ini, tak pernah terdengar dengan sangat lantang seorang perempuan di kampung ini yang berani menyumpah-nyumpah (apalagi sampai meludah-ludah) seperti Siti. Bercakap pun selalu dalam senyap-senyap, dan dalam kelompok perempuan saja. Kalau pun harus menyumpah, paling cuma pada anak-anak mereka yang sudah tak bisa lagi dinasehati, itu pun hanya dalam rumah, hanya sebatas melepas gejolak amarah. Maka, tersebab kelakuan Siti yang aneh itulah, mereka kemudian menganggap Siti sudah senewen , gila kena sampok .
Orang kampung sebenarnya mafhum. Siti jadi aneh setelah kekasihnya, lelaki dari kampung sebelah sungai, yang seminggu lagi hendak melamarnya, dikabarkan mati dengan kepala terpenggal. Hati siapa pula yang tak hancur menerima kenyataan yang segetir ini, menerima kiriman dari gelombang laut sebongkah kepala kekasih yang hanyut. Yang jadi soal kini adalah, orang kampung Parit kian kuatir bahwa kelakuan Siti yang menyumpah-nyumpah ini akan semakin memperkeruh konflik ‘Jaring Batu’ yang telah berlangsung selama dua puluh tiga tahun lebih ini. Saling menyerang, saling membakar perahu, saling menculik, saling menuding, adalah peristiwa yang mereka hadapi sehari-hari. Orang kampung sebelah sungai tetap bersikukuh menggunakan jaring batu sementara orang kampung Parit ini yang sehari-hari melaut dengan jaring rawai menganggap bahwa jaring batu dapat mengganggu habitat dasar laut seperti terumbu, selain itu ikan kurau yang besar dan mahal itu habis semua dijual ke negeri seberang. Konflik ini meruncing setelah tak satu pun jalan keluar dapat ditemukan. Dan puncaknya adalah jatuhnya korban dari salah satu warga kampung sebelah sungai. Setelahnya, tentu dendam mulai berkecambah dalam hati orang kampung sebelah sungai. Sewaktu-waktu mereka bisa mengamuk dan melakukan penyerangan balasan. Nyawa hanya bisa dihargai dengan nyawa.
Dan tengoklah, sejak peristiwa terakhir perkelahian berdarah di tengah laut itu, kampung Parit ini memucat, hari-hari seolah mati-suri. Orang-orang tak berani turun ke laut. Ekonomi seketika lumpuh. Tak bisa berharap hidup pada getah yang murah. Tak juga pada tikar pandan yang kini tak begitu laku di seberang, sebab para toke ‘pendatang haram’ banyak yang kena tangkap. Mau keluar kampung, mencari rezeki tambahan pun jadi ragu, jangan-jangan mereka menculik dari arah darat, dan setelah itu tentu maut siap menjemput. Jadilah mereka kini orang-orang yang bingung dan hidup dalam kecemasan (juga kemiskinan) yang tak berujung.
Apalagi, saat malam menjelang, kampung ini benar-benar terasa sedang ditikam sepi. Sementara para lelakinya tampak berjaga-jaga di sejumlah penjuru jalan masuk ke kampung, para perempuannya berkumpul di salah satu rumah warga yang agak aman letaknya. Kecemasan, seperti lipan berkaki seribu yang diam-diam merayap di sekeliling mereka, mengepung mereka. Suasana semacam ini, hanya dapat dirasakan saat terjadi peperangan, bukan?
***
“Betul-betul makan sumpah jaring batu ini, Cuih!” Suara Siti tiba-tiba seperti melompat ke arah segerombolan lelaki yang sedang berjaga di simpang kampung. Mereka cukup terkejut dan sempat mengacungkan parang ke arah Siti.
“Sial, perempuan gila ini rupanya.” Umpat Atan.
“Apa lagi kerja kau Siti. Pulanglah! Malam-malam begini masih juga menyumpah-nyumpah!” Sambung Ujang.
“Alah, biar sajalah. Orang gila mana bisa diatur.” Kata Udin.
Siti tiba-tiba langsung duduk di bangku panjang di antara para lelaki itu. Matanya menatap tajam ke wajah lelaki di sekelilingnya satu persatu. Aneh juga, biasanya Siti cuma lewat-lewat saja dan tak pernah mau singgah apalagi duduk bersama para lelaki kampung. Tapi malam ini, ia malah memulai percakapan seperti seorang yang tidak gila. “Siapa sebenarnya yang membunuh kekasihku?”
Semua lelaki terperanjat mendengar pertanyaan yang berbahaya ini. Berbahaya karena polisi pun sesungguhnya sedang mencari pelaku pembunuhan itu. Dan lebih berbahaya lagi karena pertanyaan ini tiba-tiba muncul dari mulut seorang perempuan gila yang dulu adalah kekasih lelaki yang terbunuh. Bisa saja setelah ia mendapat jawabannya, ia buka mulut pada polisi, atau malah dia yang balas dendam. Maklumlah, orang gila. Karena berbahaya, maka tak satu pun yang berani menjawab.
“Aku tahu siapa yang membunuhnya!” Mata Siti menatap kosong.
Semua lelaki kembali terperanjat, meski sebenarnya mereka tak begitu cemas, sebab mereka menganggap orang gila memang suka meracau.
“Sudahlah, Siti. Pulang sana. Nanti Abah kau mencari pula.” Kata Atan.
“Aku tahu siapa yang membunuhnya!” Mata Siti masih menatap kosong.
Semua lelaki tampak serba salah tingkah setelah mendengar pernyataan Siti untuk kedua kalinya ini. Atan malah tampak tak jenak duduk, ia kembali memasang sebatang kretek di mulutnya. Yang lain tampak saling pandang. Sesekali memandang ke Atan. Mereka semua tahu, bahwa Atan memang sempat jadi saingan si terbunuh untuk mendapatkan Siti. Tapi, apa boleh buat, Siti akhirnya harus memilih lelaki dari kampung sebelah sungai. Apakah Atan memang sakit hati? Entahlah, hati orang siapa yang tahu.
“Ayo, Siti, biar kuantar kau pulang.” Atan tiba-tiba bergerak menarik lengan Siti. Tapi Siti memberontak. Tangan Atan ditepis agak keras. Lantas setengah berteriak, “Aku tahu siapa yang membunuhnya!”
Atan jadi agak emosi, “lalu kalau kau tahu, mau apa kau? Mau balas dendam? Mentang-mentang dia kekasihmu, terus kau hendak membela orang kampung sebelah, begitu? Yang kau meracau, menyumpah-nyumpah tak tentu arah itu kenapa pula? Kau mestinya tahu, orang kampung sebelah bisa saja memenggal leher kau gara-gara sumpahan kau itu! Ayo, pulang sana!”
Wajah Siti tampak memerah oleh bias keremangan cahaya lampu obor bambu. Matanya menatap mata Atan. Setengah menyeringai Siti bicara, “Kau takut ya? Takut mati ya? Atau takut dicekik hantu kekasih aku?” Lalu Siti meracau ke semua lelaki, “Kalian juga takut mati kan? Kenapa harus takut? Selama ini kalian begitu berani, bukan? Berani membunuh berarti ya berani dibunuh! Kenapa pula kalian tak berani turun ke laut, kalau kalian memang merasa benar! Apa mentang-mentang merasa benar terus boleh membunuh?”
“Siti, diam kau! Muak aku mendengar ceramah kau! Bicara kau macam bicara orang waras saja! Pulang sana!” Atan kian emosi.
“Siapa cakap aku ini gila? Apa kalau orang menyumpah-nyumpah berarti dia gila, ha? Orang menyumpah itu karena dia marah, bukan karena dia gila! Aku ini waras, bodoh!” Siti tersenyum sinis.
Semua lelaki tampak bingung mendengar pengakuan Siti. Meski tetap masih lekat dalam anggapan mereka bahwa Siti memang gila. Atau paling tidak setengah gila. Siti masih terus saja meracau. “Kita semua ini memang sudah gila, sudah tak waras. Penyebabnya ini! Perut yang kosong ini! Semua gara-gara ini! Kalian bunuh-membunuh juga gara-gara ini kan? Makanya jangan jadi orang miskin, jangan jadi nelayan, jadi pejabat saja! Pukimak! Betul-betul makan sumpah-lah nasib kita ini! makan sumpah-lah kemiskinan ini, Cuih!” Sehabis meludah, Siti langsung pergi, dengan mulutnya yang masih meracau.
Semua lelaki, apalagi Atan, tercengang-cengang melihat tingkah Siti yang aneh, meski apa yang mereka dengar terasa ada benarnya. Ah, kebenaran itu aneh, pikir mereka.
***
Itulah malam terakhir orang kampung melihat sosok Siti. Sibuk juga dibuatnya. Meski dianggap gila, tapi jika tiba-tiba hilang lenyap tak ada kabar, tentu akan jadi problem baru. Masalahnya, dalam suasana konflik seperti sekarang ini, tak mustahil orang kampung sebelah sungai akan menculik lalu membunuh siapa saja yang mereka dapatkan.
Yang paling sibuk tentunya Abah Siti, juga Atan. Orang-orang kampung pun turut memberi sikap simpatik dengan bersama-sama mencari Siti ke sekeliling kampung. Tapi sayang, hingga petang mengambang, Siti tak kunjung ditemukan. Tak salah lagi, orang kampung menduga dan setengah memastikan bahwa Siti telah diculik oleh orang kampung sebelah sungai. Lalu apa sikap yang harus diambil?
“Kita tak bisa berdiam diri saja. Anak gadis saya sudah diculik. Kita harus menyerang kampung sebelah sungai. Aku betul-betul sudah muak!” Kata Abah Siti berapi-api.
“Apa kita sudah siap, bang?” sahut Atan.
“Bukankah kita sudah selalu siap sedia setiap hari, setiap malam? Kalau terus menerus begini, hidup kita tak pernah aman. Lebih baik kita tuntaskan saja sekalian. Siapa yang kuat, dialah yang menang, dialah yang berhak menentukan!”
“Tapi, itu jika benar Siti mereka culik, jika tidak?”
“Jika tidak kita tetap akan menyerang mereka, sebab masalahnya kan bukan semata karena Siti diculik, tapi masalah harga diri, masalah yang puluhan tahun menumpuk dan mengganggu hidup kita. Dan sampai kapan pula kita harus menunggu aman, dan bisa turun ke laut lagi? Apa menunggu kita semua mati karena tak punya mata pencaharian! Menunggu pemerintah yang tak mau tahu itu! Laut itu rumah kita. Hidup kita. Kita harus perjuangkan. Ayo, tunggu apa lagi, kita serang saja mereka! Apa kalian semua setuju?” seru Abah Siti kepada orang-orang kampung.
Karena ikut terbakar emosi, juga karena tak kunjung menemukan jalan terang, orang-orang kampung langsung berteriak setuju. Dan dalam sekejap saja, sudah berkumpul puluhan orang lelaki yang siap membawa senjata tajam di genggaman mereka. Tapi, ketika mereka hendak mulai beranjak, tiba-tiba dari arah belakang seorang lelaki tanggung berlari sambil berteriak memanggil-manggil Abah Siti. Semua orang menghentikan langkah, dan menoleh ke arah suara. Rupanya si Entong yang datang. Dengan sedikit terengah-engah Entong mulai memberi kabar, “Bang, aku nampak Siti di pantai tadi?”
“Siti di pantai? Jangan bengak kau Entong, sehari penuh kami sudah mencarinya!”
“Betul, Bang. Aku nampak Siti baru turun dari pompong , Bang. Dia bawa ikan dalam bakul. Dia cakap, baru pulang dari menjaring ikan di laut!”
Seperti tak percaya, semua lelaki yang mendengarnya seketika terlongong. Seketika seperti ada yang hilang dalam diri kelelakian mereka, kejantanan mereka. Laut itu rumah kita, bukan?***
Pekanbaru-Riau, 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar