Jumat, 26 September 2008

Jaring Batu

Cerpen CWI 2006, terangkum dalam antologi Lok Tong.
Marhalim Zaini

“Betul-betul makan sumpah jaring batu ini, Cuih!” Ludahnya bau pahit kesumat. Tiap hari, bahkan tiap saat. Tiap ia teringat kepala kekasihnya tergolek bagai sebongkah kelapa, teregok-egok dalam gelombang laut Selat Melaka, teregok-egok pula dalam pasang air matanya. Entah telah berapa gantang ludah untuk menyumpah-nyumpah yang tumpah dari mulutnya, di sepanjang beting, sepanjang tepian pantai abrasi, sepanjang hari-hari sesenyap mati.

Panggil saja ia Siti. Boleh Siti Lengkong, boleh Siti Ampung, Siti Sianah, Siti Nurhalizah pun boleh. Tak ada yang hirau sangat dengan sebutan nama di belakang nama Siti, sebab semua perempuan di kampung Parit ini merasa tak ada yang berbeda dengan diri mereka. Yang namanya perempuan ya sama saja. Sama-sama tukang toreh getah , sama-sama tukang anyam pandan, sama-sama tak tamat sekolah, sama-sama jadi bini nelayan. Tapi, Siti yang masih gadis ini, yang suka menyumpah-nyumpah ini, tiba-tiba menjadi lain dari perempuan yang lain. Selama ini, tak pernah terdengar dengan sangat lantang seorang perempuan di kampung ini yang berani menyumpah-nyumpah (apalagi sampai meludah-ludah) seperti Siti. Bercakap pun selalu dalam senyap-senyap, dan dalam kelompok perempuan saja. Kalau pun harus menyumpah, paling cuma pada anak-anak mereka yang sudah tak bisa lagi dinasehati, itu pun hanya dalam rumah, hanya sebatas melepas gejolak amarah. Maka, tersebab kelakuan Siti yang aneh itulah, mereka kemudian menganggap Siti sudah senewen , gila kena sampok .

Orang kampung sebenarnya mafhum. Siti jadi aneh setelah kekasihnya, lelaki dari kampung sebelah sungai, yang seminggu lagi hendak melamarnya, dikabarkan mati dengan kepala terpenggal. Hati siapa pula yang tak hancur menerima kenyataan yang segetir ini, menerima kiriman dari gelombang laut sebongkah kepala kekasih yang hanyut. Yang jadi soal kini adalah, orang kampung Parit kian kuatir bahwa kelakuan Siti yang menyumpah-nyumpah ini akan semakin memperkeruh konflik ‘Jaring Batu’ yang telah berlangsung selama dua puluh tiga tahun lebih ini. Saling menyerang, saling membakar perahu, saling menculik, saling menuding, adalah peristiwa yang mereka hadapi sehari-hari. Orang kampung sebelah sungai tetap bersikukuh menggunakan jaring batu sementara orang kampung Parit ini yang sehari-hari melaut dengan jaring rawai menganggap bahwa jaring batu dapat mengganggu habitat dasar laut seperti terumbu, selain itu ikan kurau yang besar dan mahal itu habis semua dijual ke negeri seberang. Konflik ini meruncing setelah tak satu pun jalan keluar dapat ditemukan. Dan puncaknya adalah jatuhnya korban dari salah satu warga kampung sebelah sungai. Setelahnya, tentu dendam mulai berkecambah dalam hati orang kampung sebelah sungai. Sewaktu-waktu mereka bisa mengamuk dan melakukan penyerangan balasan. Nyawa hanya bisa dihargai dengan nyawa.

Dan tengoklah, sejak peristiwa terakhir perkelahian berdarah di tengah laut itu, kampung Parit ini memucat, hari-hari seolah mati-suri. Orang-orang tak berani turun ke laut. Ekonomi seketika lumpuh. Tak bisa berharap hidup pada getah yang murah. Tak juga pada tikar pandan yang kini tak begitu laku di seberang, sebab para toke ‘pendatang haram’ banyak yang kena tangkap. Mau keluar kampung, mencari rezeki tambahan pun jadi ragu, jangan-jangan mereka menculik dari arah darat, dan setelah itu tentu maut siap menjemput. Jadilah mereka kini orang-orang yang bingung dan hidup dalam kecemasan (juga kemiskinan) yang tak berujung.

Apalagi, saat malam menjelang, kampung ini benar-benar terasa sedang ditikam sepi. Sementara para lelakinya tampak berjaga-jaga di sejumlah penjuru jalan masuk ke kampung, para perempuannya berkumpul di salah satu rumah warga yang agak aman letaknya. Kecemasan, seperti lipan berkaki seribu yang diam-diam merayap di sekeliling mereka, mengepung mereka. Suasana semacam ini, hanya dapat dirasakan saat terjadi peperangan, bukan?
***

“Betul-betul makan sumpah jaring batu ini, Cuih!” Suara Siti tiba-tiba seperti melompat ke arah segerombolan lelaki yang sedang berjaga di simpang kampung. Mereka cukup terkejut dan sempat mengacungkan parang ke arah Siti.

“Sial, perempuan gila ini rupanya.” Umpat Atan.
“Apa lagi kerja kau Siti. Pulanglah! Malam-malam begini masih juga menyumpah-nyumpah!” Sambung Ujang.
“Alah, biar sajalah. Orang gila mana bisa diatur.” Kata Udin.
Siti tiba-tiba langsung duduk di bangku panjang di antara para lelaki itu. Matanya menatap tajam ke wajah lelaki di sekelilingnya satu persatu. Aneh juga, biasanya Siti cuma lewat-lewat saja dan tak pernah mau singgah apalagi duduk bersama para lelaki kampung. Tapi malam ini, ia malah memulai percakapan seperti seorang yang tidak gila. “Siapa sebenarnya yang membunuh kekasihku?”

Semua lelaki terperanjat mendengar pertanyaan yang berbahaya ini. Berbahaya karena polisi pun sesungguhnya sedang mencari pelaku pembunuhan itu. Dan lebih berbahaya lagi karena pertanyaan ini tiba-tiba muncul dari mulut seorang perempuan gila yang dulu adalah kekasih lelaki yang terbunuh. Bisa saja setelah ia mendapat jawabannya, ia buka mulut pada polisi, atau malah dia yang balas dendam. Maklumlah, orang gila. Karena berbahaya, maka tak satu pun yang berani menjawab.

“Aku tahu siapa yang membunuhnya!” Mata Siti menatap kosong.
Semua lelaki kembali terperanjat, meski sebenarnya mereka tak begitu cemas, sebab mereka menganggap orang gila memang suka meracau.
“Sudahlah, Siti. Pulang sana. Nanti Abah kau mencari pula.” Kata Atan.
“Aku tahu siapa yang membunuhnya!” Mata Siti masih menatap kosong.

Semua lelaki tampak serba salah tingkah setelah mendengar pernyataan Siti untuk kedua kalinya ini. Atan malah tampak tak jenak duduk, ia kembali memasang sebatang kretek di mulutnya. Yang lain tampak saling pandang. Sesekali memandang ke Atan. Mereka semua tahu, bahwa Atan memang sempat jadi saingan si terbunuh untuk mendapatkan Siti. Tapi, apa boleh buat, Siti akhirnya harus memilih lelaki dari kampung sebelah sungai. Apakah Atan memang sakit hati? Entahlah, hati orang siapa yang tahu.

“Ayo, Siti, biar kuantar kau pulang.” Atan tiba-tiba bergerak menarik lengan Siti. Tapi Siti memberontak. Tangan Atan ditepis agak keras. Lantas setengah berteriak, “Aku tahu siapa yang membunuhnya!”

Atan jadi agak emosi, “lalu kalau kau tahu, mau apa kau? Mau balas dendam? Mentang-mentang dia kekasihmu, terus kau hendak membela orang kampung sebelah, begitu? Yang kau meracau, menyumpah-nyumpah tak tentu arah itu kenapa pula? Kau mestinya tahu, orang kampung sebelah bisa saja memenggal leher kau gara-gara sumpahan kau itu! Ayo, pulang sana!”

Wajah Siti tampak memerah oleh bias keremangan cahaya lampu obor bambu. Matanya menatap mata Atan. Setengah menyeringai Siti bicara, “Kau takut ya? Takut mati ya? Atau takut dicekik hantu kekasih aku?” Lalu Siti meracau ke semua lelaki, “Kalian juga takut mati kan? Kenapa harus takut? Selama ini kalian begitu berani, bukan? Berani membunuh berarti ya berani dibunuh! Kenapa pula kalian tak berani turun ke laut, kalau kalian memang merasa benar! Apa mentang-mentang merasa benar terus boleh membunuh?”

“Siti, diam kau! Muak aku mendengar ceramah kau! Bicara kau macam bicara orang waras saja! Pulang sana!” Atan kian emosi.
“Siapa cakap aku ini gila? Apa kalau orang menyumpah-nyumpah berarti dia gila, ha? Orang menyumpah itu karena dia marah, bukan karena dia gila! Aku ini waras, bodoh!” Siti tersenyum sinis.

Semua lelaki tampak bingung mendengar pengakuan Siti. Meski tetap masih lekat dalam anggapan mereka bahwa Siti memang gila. Atau paling tidak setengah gila. Siti masih terus saja meracau. “Kita semua ini memang sudah gila, sudah tak waras. Penyebabnya ini! Perut yang kosong ini! Semua gara-gara ini! Kalian bunuh-membunuh juga gara-gara ini kan? Makanya jangan jadi orang miskin, jangan jadi nelayan, jadi pejabat saja! Pukimak! Betul-betul makan sumpah-lah nasib kita ini! makan sumpah-lah kemiskinan ini, Cuih!” Sehabis meludah, Siti langsung pergi, dengan mulutnya yang masih meracau.

Semua lelaki, apalagi Atan, tercengang-cengang melihat tingkah Siti yang aneh, meski apa yang mereka dengar terasa ada benarnya. Ah, kebenaran itu aneh, pikir mereka.
***

Itulah malam terakhir orang kampung melihat sosok Siti. Sibuk juga dibuatnya. Meski dianggap gila, tapi jika tiba-tiba hilang lenyap tak ada kabar, tentu akan jadi problem baru. Masalahnya, dalam suasana konflik seperti sekarang ini, tak mustahil orang kampung sebelah sungai akan menculik lalu membunuh siapa saja yang mereka dapatkan.

Yang paling sibuk tentunya Abah Siti, juga Atan. Orang-orang kampung pun turut memberi sikap simpatik dengan bersama-sama mencari Siti ke sekeliling kampung. Tapi sayang, hingga petang mengambang, Siti tak kunjung ditemukan. Tak salah lagi, orang kampung menduga dan setengah memastikan bahwa Siti telah diculik oleh orang kampung sebelah sungai. Lalu apa sikap yang harus diambil?

“Kita tak bisa berdiam diri saja. Anak gadis saya sudah diculik. Kita harus menyerang kampung sebelah sungai. Aku betul-betul sudah muak!” Kata Abah Siti berapi-api.
“Apa kita sudah siap, bang?” sahut Atan.

“Bukankah kita sudah selalu siap sedia setiap hari, setiap malam? Kalau terus menerus begini, hidup kita tak pernah aman. Lebih baik kita tuntaskan saja sekalian. Siapa yang kuat, dialah yang menang, dialah yang berhak menentukan!”

“Tapi, itu jika benar Siti mereka culik, jika tidak?”
“Jika tidak kita tetap akan menyerang mereka, sebab masalahnya kan bukan semata karena Siti diculik, tapi masalah harga diri, masalah yang puluhan tahun menumpuk dan mengganggu hidup kita. Dan sampai kapan pula kita harus menunggu aman, dan bisa turun ke laut lagi? Apa menunggu kita semua mati karena tak punya mata pencaharian! Menunggu pemerintah yang tak mau tahu itu! Laut itu rumah kita. Hidup kita. Kita harus perjuangkan. Ayo, tunggu apa lagi, kita serang saja mereka! Apa kalian semua setuju?” seru Abah Siti kepada orang-orang kampung.

Karena ikut terbakar emosi, juga karena tak kunjung menemukan jalan terang, orang-orang kampung langsung berteriak setuju. Dan dalam sekejap saja, sudah berkumpul puluhan orang lelaki yang siap membawa senjata tajam di genggaman mereka. Tapi, ketika mereka hendak mulai beranjak, tiba-tiba dari arah belakang seorang lelaki tanggung berlari sambil berteriak memanggil-manggil Abah Siti. Semua orang menghentikan langkah, dan menoleh ke arah suara. Rupanya si Entong yang datang. Dengan sedikit terengah-engah Entong mulai memberi kabar, “Bang, aku nampak Siti di pantai tadi?”

“Siti di pantai? Jangan bengak kau Entong, sehari penuh kami sudah mencarinya!”
“Betul, Bang. Aku nampak Siti baru turun dari pompong , Bang. Dia bawa ikan dalam bakul. Dia cakap, baru pulang dari menjaring ikan di laut!”

Seperti tak percaya, semua lelaki yang mendengarnya seketika terlongong. Seketika seperti ada yang hilang dalam diri kelelakian mereka, kejantanan mereka. Laut itu rumah kita, bukan?***

Pekanbaru-Riau, 2006

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar