Riau Pos, 15 April 2007
Marhalim Zaini
Tanpa mengetuk pintu, tanpa mengucap salam, seorang perempuan renta berkebaya lusuh masuk ke kantorku, dan langsung duduk di kursi tepat di depanku. Dari tatapan matanya yang sipit dan hampir terjepit oleh kulit kelopak-keriputnya, ia tampak sedang memendam sesuatu yang teramat dalam. Dan dari mulutnya yang masih tersisa warna merah sirih, melompatlah peluru kata-kata.
“Air dalam bertambah dalam/hujan di hulu belum lagi teduh/hati dendam bertambah dendam/dendam dahulu belum lagi sembuh! Sampai hati kau, Tuah! Kau renjis -kan minyak wangi guna-guna itu ke ranjangku. Pengecut itu namanya!”
Alahmak, orang tua gila mana pula ini? Pagi-pagi berpantun-pantun menuduh orang sembarangan. Mulutnya bau gambir pula. Kok bisa-bisanya sampai tersesat masuk ke kantorku?
“Begitukah cara seorang pahlawan besar yang diagung-agungkan menaklukkan hati seorang perempuan? Tak adakah cara yang lebih jantan? Aku ini perempuan, Tuah! Perempuan yang sama dengan perempuan lain di dunia ini. Sama-sama punya hati dan perasaan yang kapan saja bisa luluh untuk menerima cinta dari seorang lelaki. Tanpa harus memakai guna-guna! Kau sama sekali tak romantis, Tuah! Tak pernah kau datang dengan jantan kepadaku, dengan bersungguh-sungguh dan menyatakan cintamu padaku. Malah kausuruh si Inang menyampaikannya padaku. Apa kau tak bernyali, Tuah? Padahal konon kau pendekar bukan-main sakti. Aku dengar sejak kau berumur sepuluh tahun, kau bersama empat sahabatmu sudah mengalahkan dua puluh tujuh penyamun. Hebat betul kau, Tuah! Kau juga ‘kan yang mengalahkan Taming Sari, tokoh tersakti di Jawa itu? Tapi masak hanya untuk meluluhkan hatiku, kau harus pakai guna-guna! Malulah, Tuah, malu!”
Wah, kacau. Siapa sebenarnya orang tua ini? Orang gila mustahil bisa bercakap begini. Kenapa pula dia hamburkan sakit hatinya padaku? Bagaimana caranya aku harus menjawab? Ah, pagi yang sial! Sudahlah di rumah biniku tadi pagi marah-marah tak tentu arah, kini datang pula entah siapa, juga marah-marah, lebih tak tentu arah…
“Ya, kau memang panjang akal, Tuah! Apalagi dalam hal mendapatkan perempuan dengan cara yang tak jantan. Kau juga ikut membantu Sultan Melaka mempersunting Raden Mas Ayu, putri Batara Majapahit itu ‘kan? Lalu anehnya, kemudian dengan lugu kauserahkan juga aku pada rajamu sebagai istri yang entah keberapa. Itu demi memulihkan nama baikmu di mata raja ‘kan? Dan juga dengan cara yang tak jantan, kausuruh aku makan sirih guna-guna supaya aku membencimu dan berpindah hati pada rajamu.” Terbatuk-batuk, kembali bercakap, “Ya, betul-betul lelaki aneh kau ini, Tuah! Apa jangan-jangan kau memang tak punya hati ya? Tak punya perasaan cinta terhadap perempuan? Tapi…apa kau sekarang punya bini, Tuah?”
Ini sudah keterlaluan namanya. Banyak betul cakap orang tua peot ini. Aku pula dibilang tak jantan, tak punya hati, tak punya perasaan. Bini aku saja sekarang dua, hampir tiga. Anak aku hampir tujuh, apa tak cukup bukti bahwa aku ini pejantan tangguh. Dan patut diingat bahwa tak pernah sekalipun aku pakai guna-guna untuk dapatkan bini. Ah, mengarut betullah orang tua ini.
“Nah, lagi-lagi kau tak bisa menjawab. Diam macam batu. Tapi kau ahli berdiplomasi. Ayo mana ilmu kau itu, Tuah. Tunjukkan padaku. Amarah Raja Majapahit yang tidak senang putrinya telah dipermadu saja bisa kauredakan, apalagi aku. Kau ‘kan juga pernah diutus ke Cina, mengalahkan tujuh pemain pedang Jepang yang ulung, membawa gajah-gajah di Siam untuk Raja Melaka, lalu kautundukkan juga kesultanan Trengganu dan Indrapura. Mestinya, untuk seorang perempuan macam aku ini, tentu tak sesulit menundukkan raja-raja, Tuah! Kenapa pula kaupakai guna-guna! Betul-betul tak habis pikir aku, Tuah! Lalu kauanggap apa sebenarnya aku ini? Kauanggap perempuan itu apa, Tuah! Barang mainan yang bisa dengan mudah dipindah-tangankan? Egois betul kau ini, Tuah! Aku tidak terima!” Kembali batuknya kambuh.
Nah, baru tahu dia. Siapa pula suruh berceramah, memarah-marahi orang yang tak tahu ujung-pangkal. Rasakanlah batuk rasa lempok tu!
“Hei, sampai hati betul kau ini, Tuah! Orang terbatuk-batuk kau malah tersenyum-senyum. Kau mengejek aku, Tuah! Kau merasa telah menang, dan bangga dengan segala kehebatan kau itu? Aku tidak terima, Tuah! Aku tidak terima! Aku kini datang hendak menuntut pertanggung-jawabanmu sebagai laki-laki yang telah dengan seenaknya menyerahkan aku pada raja. Padahal aku sama sekali tak pernah mencintainya. Dan harus kauketahui, Tuah, bahwa sirih guna-guna yang kauberikan pada aku itu, tak pernah aku makan. Aku masih menyimpannya sampai sekarang. Ini dia!” Mengambil bungkusan kecil dari celah kutangnya. “Ini, Tuah! Inilah sirih yang pernah kauberikan padaku dulu. Aku sengaja tak memakannya, karena aku tahu bahwa sirih ini berisi guna-guna. Dan dengan sengaja pula aku berpura-pura terpikat dengan raja seolah sirih guna-gunamu telah bekerja dengan baik dan meresap ke dalam jantung hatiku. Aku hanya ingin melihat kau bahagia, Tuah! Hanya itu. Hanya hendak melihat senyummu mengambang, dan dengan bangga menyerahkan aku kepada raja. Saat itu, aku memang bodoh, mau saja berkorban untukmu. Karena, dan ini adalah satu hal penting yang harus kauketahui, bahwa aku saat itu sangat mencintaimu, Tuah! Rupanya, cinta memang bisa membuat orang gelap mata, sehingga bersikap yang tidak semestinya!” Matanya mendung.
Alahmak, kasihan juga orang tua ini! Patah hati rupanya. Lama-lama aku tengok-tengok, wajah orang tua ini memang masih menyisakan garis-garis kecantikan. Bibirnya, hidungnya, alisnya, aduhmak, memikat nian. Andai saja dia masih seumur denganku, entahlah apa jadinya. Kalau mau jadi istri keempat, tak apa juga. Wah, menangis pula dia. Bisa gawat ini.
“Aku tahu, kau pasti senang melihat aku menangis ‘kan? Semua lelaki memang begitu, senang kalau melihat perempuan menangis. Karena ia merasa menjadi hero, merasa tangguh, merasa telah menang. Kalau sudah begini, aku betul-betul merasa tak berguna lagi. Aku benci dengan airmata ini, aku benci!”
Apakah menurut Anda, aku harus mendekatinya, dan menenangkannya, supaya dia berhenti menangis? Oh, tidak. Aku tak mau ambil resiko. Aku tak tahu siapa orang tua ini. Yang aku tahu, kalau orang tua seumur dia ini, ya memang suka nyanyok alias pikun. Tapi kenapa dia harus nyanyok di kantor ini? Di depan aku? Dan menganggap aku ini bernama Tuah? Siapa pun si Tuah itu, peduli apa aku. Yang pasti dia adalah lelaki masa lalu yang telah menyakiti hati perempuan tua ini. Lalu apa hubungannya dengan aku? Tak ada. Ya, tak ada sama sekali. Aku bukan Tuah, namaku Dolah. Apa karena aku ini beristri banyak, sama seperti raja yang dia sebut-sebut tadi? Entahlah. Lalu sebaiknya apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengusirnya? Ah, meskipun aku ini agak mata keranjang, aku tak pernah menghardik orang tua. Tak sampai hati rasanya.
“Tuah! Kau bisu ya? Apa kau tak melihat perempuan yang sedang menangis tersedu-sedu. Apa tak ada bahasa-bahasa syair pelipur lara yang bisa kaubisikkan ke telingaku, yang membuat hatiku yang gundah gulana ini sedikit terobati? Kau memang kejam, Tuah! Kau memang tak pandai menjaga perasaan perempuan. Ini, sirih guna-guna ini, aku kembalikan pada kau. Ambil!” melempar bungkusan kecil. “Aku ingin melihat kau yang memakan sirih itu, Tuah! Aku ingin kau membenci raja dan mencintai aku. Ayo, Tuah! Makan sirih itu!”
Mampus aku. Apalagi ini? Macam-macam saja nenek pikun ini, aku pula disuruhnya makan sirih. Betul-betul kacau.
“Kenapa? Kau tak mau memakannya? Kau takut karma terjadi padamu? Kau takut membenci raja dan mencintai aku yang sudah reot ini? Ayo, makan sirih itu, Tuah!”
Bagaimana ini? Apa aku harus turutkan juga keinginan gila perempuan ini? Memakan sirih? Jangan-jangan ada racun pula dalam sirih ini. Matilah aku. Ah, tidak. Aku tak mau diperintah seenaknya oleh seorang perempuan reot yang tak tahu diri ini. Ini kantorku, aku bos di sini, dan dia tak berhak memerintah aku sembarangan. Sudahlah dia memakan waktu kerjaku terlalu banyak untuk mendengarkan dongengannya, kini memaksa aku pula untuk yang tidak-tidak. Ini betul-betul keterlaluan namanya. Tak bisa dikasih hati lagi nampaknya. Apa boleh buat, aku harus tega mengusirnya.
“Apa? Kau marah padaku? Kau tak mau memakan sirih itu? Baik. Baik. Aku akan memaksamu makan sirih itu, Tuah!” Mengeluarkan sebilah keris dari balik baju, berdiri dan berjalan perlahan mendekati Dolah. “Kau masih kenal dengan keris ini, bukan? Ya, keris sakti Taming Sari yang kaurampas dulu, Tuah!”
Ups! Ini kerja gila! Gila! Menodongkan keris pula dia. Apa maunya perempuan ini? Ah, kalau aku tak mau juga makan sirih ini, apa dia berani membunuhku? Tidak. Aku tak mungkin mati di ujung keris itu. Dan aku tak mungkin tinggal diam seandainya dia benar-benar hendak menusukkan keris itu ke perutku. Rasa-rasanya aku masih sanggup kalau cuma sekedar mematahkan lengan si nyanyok ini. Penjara? Aku tak takut penjara. Yang jelas, aku tak salah. Aku hanya membela diri karena sedang berada dalam keadaan terdesak.
“Kenapa, kau takut? Atau kau heran, kenapa keris ini bisa berada di tanganku sekarang? Padahal dulu keris ini telah lesap dari tanganmu, bukan? Juga karena gara-gara kau hendak menyelamatkan mahkota raja yang jatuh dan tenggelam ke dalam laut. Setelah itu, bencana-bencana besar pun datang, Tuah. Kauingat, bagaimana Melaka diserang Portugis? Kau terluka, bukan? Dan sekarang, apakah kau hendak merasakan sakitnya luka itu kembali? Bagaimana sakitnya jika keris menikam tuannya sendiri? Ayo, Tuah, makan sirih itu atau kau harus mati di ujung keris ini?”
Ayolah, aku tak takut nenek renta! Mau menikamku, tikamlah. Kupatahkan lenganmu….
“Bagaimana, Tuah, tak enak bukan jika harus memilih sesuatu yang bukan keinginan kita? Buah simalakama. Dan beginilah agaknya, perasaanmu ketika hendak bertikam dengan Jebat. Tapi kau harus melakukannya karena kauanggap Jebat mendurhaka. Dan bagaimana rasanya, ketika kau berada di posisi Jebat, Tuah? Makan sirih atau harus bertikam? Kalau pedas pada kita, takkan manis pada orang, Tuah!”
Bangsat, orang tua ini, ayo mendekatlah kalau berani. Peduli apa aku dengan Jebat, dengan Tuah, atau dengan siapapun. Yang jelas, kalau kau berani menusukkan keris itu, aku takkan tinggal diam.
“Tuah, betul-betul tak mau kaumakan sirih itu? Tak mau, Tuah! Berarti kau memang tak pernah mencintai aku ‘kan? Atau kau lebih baik mati dari pada berkhianat dan membenci raja, begitu? Lebih baik mengkhianati hatimu sendiri, Tuah! Kau mendurhaka, Tuah! Kau mendurhakai hatimu sendiri. Dan jika memang itu pilihanmu, baiklah, aku akan memilih jalan ini! Kalau menunggu gelombang tidur, sampai kiamat takkan ke laut! Hiyaaap!!!” Menusukkan keris ke perutnya sendiri.
Ya, Tuhan. Apa pula ini! Hei, Nenek! Ya Ampun, kenapa pula kau harus bunuh diri! Aduh, bagaimana ini? Hei, tolong……tolong……tolong……***
Pekanbaru-Riau, 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 27 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar