Senin, 29 September 2008

MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I - LXXIV

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=225


Bisikan hujan malam mengajakmu menari-nari membasahi seluruh tubuh,
mengguyur jiwamu bersayap beku, lantas nyalakan tungku dalam kalbu (V: I).

Bayu meniup api melambai, bara bergolak ke uluh hati, dan prasangka
tumpah merajah prahara, menelusup ke dada, meruh ke dalam sukma (V: II).

Sekian kali, awan berkendara bayu, berbondong ke pusaran langitan,
menumbuhkan cahaya kilat berkelebat beserta bayangan kematian (V: III).

Di atas ketinggian dahan, ruh para malaikat penunggu bukit datang berseru,
bergelombang siur bayu berkilau, membusa liar di pantai, pada kulit luka menerawan,
ia menghisap arus keringat perjuangan, haus akan madu kapujanggaan (V: IV).

Berdegupan tetembangan memusari ombak empedu dan pahit di lidah
serasa madu kala bercinta, jika berkisah terhenti oleh hukum waktu keluh (V: V).

Kebekuan kembali mengalir sedari palung semedi,
hadirlah selagi usia memberi, menjangkau hari-harimu,
memudahkan sederet kengerian di akhir perjamuan (V: VI).

Ia bawakan anggur saat kau menulis suluk perayaan mendatang
selaksa matahari melampiaskan dendam menyepyurkan serbuk kaca,
mengekalkan nafas-nafas para pencari jalan kesejatian (V: VII).

Endapan di angkasa biru melayang-layang mencipta corak gerimis,
sebening ingatan suci melihat awan jelalatan mengamati penentu (V: VIII).

Sesobek-sobek kenangan ganjil dalam puisi,
kau pegang bagi teori atas hukum-hukummu (V: IX).

Itukah patung di ubun-ubun kota memahami kaki langit memudar,
seawan senja berserak di wajah-wajah pejalan kaki dalam kesuraman (V: X).

Bara revolusi berasal rindu tekumpul gagasan sebelum bertemu,
dan akhirnya, bentuklah yang menciptakan melodi ruangan takdirmu (V: XI).

Anak-anak menarik tali pedati seberat beban hidupnya,
ia terlunta mengamati beling-hening-cermin berserak duka (V: XII).

Sederas hujan menembangkan ricuh-balau-kacau akan berakhir,
ia memuntahkan rasa kesal paling muak lantas bergolak
dalam dadanya bergelembung udara hampir pecah (V: XIII).

Lelangkah mengeringkan leluka beserta rontok daun-daun,
namun pada goyangan dedahan masih ada hutang bertanya (V: XIV).

Sejengkal maksud menebah ladang-pesawahan retak kemarau,
hawamu gerah mengucurkan butiran garam keringat tubuh (V: XV).

Jangan terpenjara tanpa hasrat ke sana, cinta mengembalikan
tumbuh berkeindahan, telaga samudra kalbu, langit danaunya rindu (V: XVI).

Debaran jantung bersimpan degup seluruh maksud, ia mengisi sedenyut
aliran darah di bekas luka, berkaca duka bila tak menuju ke sendang jiwa (V: XVII).

Bersulang cara perpisahan, atau membunuh membuka kubur ajal (V: XVIII).

Jasad siapa pun ditundukkan kesemestaan, ia kumpulkan lelah berlebih
dari dendam pemuda yang terpendam, atas abad-abad purbasangka (V: XIX).

Kenapa memohon balasan secepatnya, berkejarlah ke puncak gunung,
seiring lambaian dahan kering mengeras patah, atau nalar tidak sampai (V: XX).

Kembalilah angin waktu dalam gerimis cahaya bulan,
doa di belantara padang gurun duka nenek moyang (V: XXI).

Lengkingan langit menggugurkan bintang-gemintang,
debu berhamburan ke sorot mata berkedip duka (V: XXII)

; seberkas sobekan perjuangan, selarik sajak di hadapan nalar impian,
seakan menghirupi jantung penyair berkali-kali dalam air rawa-rawa (V: XXIII).

Berlarilah dalam hujan bila tak ingin kaku terpenjara atau kunyah kebiasaan,
merangkai harum bunga, kekupu mengepak berserah di kuncup perindu (V: XXIV).

Halus sayap-sayapmu tak sepadan tarianmu
yang blingsatan sebab cemburu (V: XXV).

Jangan was-was di sepanjang jalan,
temukanlah kunci rumah kekasih dalam kubangan tersayang (V: XXVI).

Ia mengintai geraian rambutmu diguyur mataair jelajah (V: XXVII).

Bibirmu rekahan senja berfatwa kembang kemboja, batu-batu nisan,
lelampu remang dihinggapi kabut wangi menyentuh kening hati (V: XXVIII).

Menimbang tidak lebih berat,
bayangkan ia awan, kau pelajar di matanya (V: XXIX).

Sesingkat apa pun cahaya meresapi, bekasnya terasa,
sudah tentu tetangkai bunga mawar berduri-duri? (V: XXX).

Jangan menunggu selain pada tetangkai bebunga, sebab suatu hari nanti
akan menghibur pandanganmu, sejumlah kelopak-kelopak mengada (V: XXXI).

Setiap meludahi unggun, kobarannya menjilat jenggot sampai kepalamu,
ialah api keabadian, di atas ketinggian gunung merapi kayu meranti (V: XXXII).

Kesalahanmu karena pengamatan, terimalah renungan tempaan pelaku,
ia aktor awal kehendak, dan kau mendaki yang pernah ditempuh (V: XXXIII).

Kenapa melupakan pegunungan paling ranum, terlalu rawan di hati?
Panjat dan dakilah, kau akan bertemu eidelwis sesungguhnya (V: XXXIV).

Sekawanan bangau menggedor gerbang barat mewujudkan badai,
bergulung memusar-pukul merontokkan keyakinan demi kebaharuan (V: XXXV).

Siapa kira jalannya laba-laba menciptakan laluan setatap hening,
berulasan lebih tampak, ia menunjuk di balik dadamu (V: XXXVI).

Sukma berbisik dalam diam, dengarkan degupan mendesah
merajai angin legenda, mengunjungi debaran sejarah (V: XXXVII).

Suwong tatapan matamu mengawasi duri-duri tengah jalan
seperti baling hening menyiratkan darah, nikmatilah kegamangan,
untuk mereka mau mencium amis luka perjuangan (V: XXXVIII).

Menggedor kaca cermin pecahnya serpihan akan berakhir,
tajamnya menusuk-nusuk keberadaan manunggaling (V: XXXIX).

Marilah baca kesengajaan demi menitih buih berkah di setiap masa,
dawai gerimis membasuh kaki teka-teki kembara, memandikan dahaga sukma
atas hujan derasnya kata-kata, yang ditumpahkan ruh kenangan rahasia (V: XL).

Gemuruh ombak membawa ikan-ikan menepi mengikuti nurani
melenggang tiada was-was seluput debaran menanti ayunan tangan pejala
menghentakkan dataran air telaga jiwa (V: XLI).

Hilang kepemudaan atas kehendak berkepompong, benang-benang
sutramu balutan penari ulat, akan menjelma kekupu di panggung bayangan,
nantinya bakal berkabarkan cahaya kepenuhan (V: XLII).

Ia gelisahi kelembutan pada lengkungan sebrang,
menyelesaikan senjakala di akhir tak terkira menemui kisah (V: XLIII).

Awal tiada mudah merahasiakan pertimbangan, tentramkan kalbumu,
sedurung mencintai altar pengaduan (V: XLIV)

; kematangan ditempa himpitan keadaan, menjemput niatan kembara,
inilah pergulatan kabut punggung bukit, kepada awan bergulung (V: XLV).

Gerakkan takdir burung Srigunting menguraikan sayap-sayapnya
di saat gerimis bersalaman, kepada jiwamu yang manunggal (V: XLVI).

Alam kesetiaan terkumpul berirama memberi jalan benderang,
sedang tusukan ke sukma, terasa lelah merayumu berserah (V: XLVII).

Ada saatnya wewarna bentuk membentur sapa mengajak akrab,
lewat bertarung terlebih dulu dengan prasangka (V: XLVIII).

Tidakkah potongan rambut dan kuku memaknai usia,
bernafas dalam buku-buku sejarah, batu-batu waktu (V: XLIX).

Sesingkat apapun persekutuan, kesuntukanmu menggelinjak
bertumpuk di kebiruan pundak nafsu, mabuk badan tersungkur (V: L).

Adakah kehausan ringan pandangan di sana? Datanglah kemari,
ia hadiahkan sekuntum dendam manis, minuman anggur menebalkan lidah
kepada bibir pecah merekah (V: LI).

Sesekali tersenyum, melihat keningnya bertanda pemberontak,
apakah ikhwal kesucian lembut, dengan berpasrah satu-satunya (V: LII).

Setelah baca kelopaknya, kaki-kaki meninggalkan taman bunga,
sejauh sejarah menandaskan wewarna dihafalkan keharumannya (V: LIII).

Usah menyebut di masa kapan ialah sudut menjangkau kepenuhan,
mengkristal embun daun jati di hutan pelajaran, ambil perekat mahabbah itu
demi untaian rambutmu menghitam panjang sepenantian ganjil abadi (V: LIV).

Ibarat gelegak tuak ke puncak urat syaraf kekacauan, bertumpangan waktu
menderaikan ruh kedalaman kata, tubuh sendiri memasuki rongga terpencil (V: LV).

Di dasar kesunyian, temukan tangisan tinta hitam di waktu lambat membisu,
berharum kembang khusyuk sesalan kalbu (V: LVI)

Apa pun yang ia bisikkan menjelma seribu kecupan kupu-kupu,
di setiap kelopakan kembang, kau mendapati perumpamaan (V: LVII)

; laksana fajar senja selalu diulang, terus berlabu siang-malam,
menyelimutimu pada selubung lindap tiada penghabisan (V: LVIII).

Masa gairah memberkati langkahmu bertambah, rawatlah nyala apimu,
ia tak kurang dari itu, tak lebih di saat pencarian keutamaan waktu (V: LIX).

Bertekad menghadapi tapakan keyakinan, ini bumi kelahirannya
ketika kesadaran menyapa ladang-ladang pesawahan lembah (LX).

Tangkaplah gejolak sebelum kesungguhan lepas kurungan,
sesak kepulan asap duka mimpi, memberi pemahaman baru (V: LXI).

Biarkanlah bersabung ayam ada cedera,
demi temukan makna gelanggang (V: LXII).

Kapan pun menggelinjak naik-turun menemui,
tidak sekadar di batas kalimah janji, kau masuki kesetiaan selendang hangat cahaya,
kesegaran karena menari-nari, dalam kesempatan panjang usia mencari (V: LXIII).

Tanpa bobot perawakan mengikuti siul-lambaian menuju akhir,
di mana letak bimbang terawat, tiada pantas dikisahkan kembali (V: LXIV).

Jangan persoalkan kantuk teramat berat saat melancong jauh (V: LXV).

Yang berharap waktu lapar dahaga, jangan ringankan sakitmu atas beban,
sebelum tembangkan hikayat perang gerilya menemukan kemenangan (V: LXVI).

Semenjak bersaudara, tempat memeras anggur,
bukankah salahmu rasa malu? Guci-guci kosong sedari dulu oleh takut sambillalu,
tidak pernah kau sangka, ternyata kehausan sanggup mencekik lehermu (V: LXVII).

Kau pena tergolek tidak menghiraukan lelembaran kertas,
membiarkan diri terlelap, sampai hilang rasa berkata (V: LXVIII).

Inikah anak-anak jaman terpenjara?
Berkicau di sangkar mewah, berkisah bentuk-warna lain di dekatnya,
malang nian nasibnya, segaris bulu hitam di jenjang lehernya (V: LXIX).

Kau direstui meminjam ucapan yang terpendam,
dalam jeruji menulis di tembok lembab, udara bebas penantianmu (V: LXX).

Ada memperhatikan seumpama masuk hutan kuburan keluar lelah,
setegas keris pengertian berhenti, kepada pusaran bayu petilasan (V: LXXI)

; khusyuk mengejawantah diwarnai aneka cahaya rasa mengagumkan,
sekali hilang tersadarkan nanti, panutannya tidaklah membahaya (V: LXXII).

Jangan sekali-kali mengulangi kepayahan menyepakati mimpi-mimpi,
angan-angan bentukan nafasmu, dalam hembusan besar alam (V: LXXIII).

Terkuaklah kerahasiaan sedari menampar kekangan,
rindu lebur lenyap sudah, kematian membangkitkan rasa
dan perasaan menjelma pengetahuan pertama (V: LXXIV).
---

*) Pengelana asli Lamongan, JaTim, yang menyukai dunia sastra.

Minggu, 28 September 2008

Jenius Lokal Berperahu Cadik

Jurnal Nasional, 28 Sep 2008
Grathia Pitaloka

Kampung halaman sangat mewarnai sastra Indonesia; bahkan jadi paradigma berpikir yang tak terpisahkan.

Pada era 1970-an, perkembangan sastra Indonesia pernah menggeliat kembali ke akar. Karya sastra yang dianggap ideal, harus memiliki muatan atau warna lokal, di mana secara simbolik dan geografik merujuk ke kampung halaman.

Tak banyak orang yang mampu mengeksplorasi tanah kelahirannya, untuk kemudian dirajut dalam bait-bait puisi. Dari segelintir itu, nama D Zawawi Imron layak disebut sebagai salah satu yang sempurna. "Ia menyerap simbol-simbol yang ada di Pulau Madura untuk kemudian diangkat jadi sebuah warna lokal yang unik," kata penyair Acep Zamzam Noor kepada Jurnal Nasional, Selasa (23/9).

Eka Budianta menyebut Zawawi sebagai seorang jenius lokal, yang dengan pendidikan formal minim, berhasil melakukan penghayatan mendalam atas kebudayaan dan masyarakat Madura. "Berbicara mengenai Zawawi, sama artinya dengan mengulas kepribumian Indonesia," ujar Eka.

Kedekatannya dengan idiom-idiom lokal membuat Zawawi dapat memaknainya secara intens dalam sajak. Tak heran, sejak awal karier kepenyairannya, ia tidak ragu untuk memasukkan lenguhan sapi, pohon siwalan, hingga saronen.

Realitas alam Madura ia olah secara simbolik, hingga memiliki makna luas dan universal. Rantau dan pelayaran pun tak hanya bermakna harfiah, tapi memiliki dimensi spiritual. Begitu pula daun siwalan, clurit, sapi karapan, pondok garam dan perahu cadik membentuk dimensi makna yang lebih luas bahkan kaya raya.

Zawawi memiliki bahasa ungkap sederhana, simetris dengan kesederhanaan kampung halamannya. Dan yang paling menarik adalah terciptanya sajak-sajak surealis, di tengah realitas alam sehari-hari, sebagai antipoda terhadap kemapanan yang ada.

Kebanggaan Zawawi terhadap khasanah budaya Madura, terlihat jelas pada sajak-sajaknya. Salah satu yang paling mencolok adalah puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu. "Sikapnya yang tak kenal lelah menyuarakan Madura membuatnya menjadi ‘mahal'," kata Eka.

Bila musim labuh hujan tak turun
Kubasuhi kau dengan denyutku
Bila dadamu kerontang
Kubajak kau dengan tanduk logamku
Di atas bukit garam
Kunyalakan otakku
Lantaran aku adalah sapi kerapan
Yang menetas dari senyum dan airmatamu
Aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
Dan memetik bintang-gemintang
Di ranting-ranting roh nenekmoyangku
Di ubun langit kuucapkan sumpah:
- Madura, akulah darahmu.

Selain tanah kelahiran, Zawawi juga menjamah beragam tema seperti ketuhanan, sosial serta politik. "Ia menyampaikan puisi religius tidak secara formal, melainkan melalui ungkapan-ungkapan alam yang sangat murni sehingga tampak hidup," kata Acep.

Zawawi juga kerap menulis tentang keterpesonaannya terhadap sebuah daerah yang dikunjunginya. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan kebudayaan setempat. "Dalam setiap perjalanan, Zawawi selalu membuat puisi dan puisinya selalu berusaha menyampaikan nilai-nilai lokal," ujar Afrizal Malna.

Menurut Afrizal, sajak-sajak Zawawi yang sarat muatan lokal bukan semata-mata untuk kepentingan estetika, terkadang di balik itu ada motivasi untuk diterima oleh masyarakat setempat. "Zawawi mengemas puisi sebagai sarana komunikasi," tutur Afrizal.

Ketika banyak penyair yang lebih mengedepankan masalah teknis dalam membuat sebuah puisi, maka penyair berdarah Madura ini lebih mementingkan jalinan emosi yang ia bangun kata demi kata.

Hal itu dapat ditangkap jelas oleh Afrizal, di mana kata-kata dalam sajak Zawawi menunjukkan sebuah keterikatan emosi yang kuat. Ia berhasil meniupkan ruh kehidupan pada kata-kata sehingga tampak bernyawa. "Ia tak sekadar menulis puisi, tetapi juga mampu membangun hubungan intim dengan kata-kata," kata penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 ini.

Rumah Terpencil
Di tengah derasnya arus globalisasi, harus diakui kehadiran warna lokal dalam karya sastra terasa tersisih atau hanya sekadar sebagai tempelan. Penyair-penyair lebih senang memperbincangkan obrolan seputar tema-tema masyarakat urban-global. Tapi hal itu tak membuat Zawawi berpaling. Ia tetap betah tinggal dalam "rumahnya". Rumah yang dalam imajinasinya diletakkan dalam latar belakang kebudayaan, peda laman, rumah yang asing dengan hiruk pikuk kota.

Zawawi nyaman memencilkan diri (alienasi) dalam ruang kecil (rumah) dalam ruang yang besar (hutan). Peta ini bisa dijawab dengan situasi-situasi yang berbeda atau berlawanan. Seperti dalam puisinya yang berjudul Rumah Terpencil (1987). Sebuah rumah terpencil di hutan Camba / tak punya tetangga / Tapi kurasa / ada daun-daun bersenyuman setiap hari // Di sini / seperti tak ada yang berangkat tua / dan sia-sia mengasah cakar atau gigi / yang mekar hanya sanubari.

Bila penyair lain mahir menulis puisi karena banyak membaca dan mempelajari litelatur dari luar negeri, tidak untuk Zawawi. Puisi buah tangan lelaki yang akrab disapa Pak Haji ini murni lahir dari proses pengamatan dan pengalamannya. "Berbeda dengan Sapardi atau Goenawan Mohammad yang banyak menterjemahkan sajak-sajak luar, Zawawi benar-benar seorang jenius lokal," ujar Eka.

Pengamatan serta pengalaman yang matang bukan hanya menciptakan sebuah kealaman tema tetapi juga sebuah keluasan. Sehingga tak hanya pembaca berdarah Madura yang tersentuh ketika membaca puisinya, tapi juga pembaca yang berasal dari suku bangsa berbeda. "Zawawi membuat puisi sebagai alat untuk mencintai kampung halaman, bukan sekadar kesenian merajut kata-kata," kata suami Melanie Budianta ini.

Dalam puisi Zawawi bahasa adalah kekayaan budaya, bukan semata-mata pemuas hasrat manusia pengagum budaya. "Sebagai seorang penyair rakyat ia tak bisa hanya dinilai dari sudut artistik, ada ceruk lebih dalam yang patut digali yaitu kecintaannya terhadap sesama manusia," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Kajian Kesusastraan Asia Timur itu.

Ada geli yang menggelitik penikmat sastra untuk kemudian tergoda membandingkan Zawawi dengan rekan sedaerahnya, Abdul Hadi W.M. Selain berasal dari daerah yang sama, keduanya sama-sama mengangkat Madura dalam karya mereka.

A. Teeuw pernah mengatakan bahwa Zawawi adalah seorang penyair dari Madura dengan mutu sajak yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi (A. Teeuw, 1989: 163).

Namun A.Teeuw tidak menunjukan di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi dan sampai sejauh mana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya. Diperkirakan penilaian A.Teeuw hanya berdasarkan karya Zawawi sampai akhir dekade 1970-an karena banyak puisinya terbit pada dekade berikutnya.

Padahal kepenyairan Zawawi malah berkembang dengan sangat pesat serta mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986).

Mengomentari perbandingan tersebut, Afrizal berpendapat, Abdul Hadi memiliki kekuatan pada komposisi, sementara Zawawi agak keteteran di bagian itu. Tapi, lanjut dia, Zawawi memiliki metafor yang lebih unik dibanding Abdul Hadi. "Metafor Abdul Hadi merupakan warisan nilai-nilai imajisme dunia karena ia mahir berbahasa Inggris dan memiliki intelektualitas yang tinggi. Sementara Zawawi belajar dari pengamatannya sendiri sehingga pergulatan yang dialaminya jauh lebih keras," kata Afrizal.

Dalam menulis puisi Afrizal melihat Zawawi menggunakan tiga formula untuk memperkuat sajak-sajaknya, yaitu: spiritual, nilai budaya lokal, serta sentuhan personal yang unik. "Seiring berjalannya waktu formula yang ia gunakan semakin memperkuat sajak-sajaknya," ujar Afrizal.

Perjalanan budaya yang dilakukan oleh Zawawi memperkaya metafor dan pemahamannya tentang bahasa. "Ia memiliki metafor yang kuat, itu yang membuat sajak-sajaknya lebih kaya dibanding penyair seangkatannya," kata penulis buku Arsitektur Hujan ini.

Pendapat Afrizal seolah mengamini pendapat Subagio Sastrowardoyo yang secara subyektif mengaku menyukai puisi-puisi Zawawi, meski terdapat keganjilan-keganjilan imaji yang mengurangi tenaga ucap. "Apa pun wujud puisi-puisi Zawawi saya tetap mencintainya," kata Subagio (1989).

Penyair Balada
Afrizal memaknai imajinasi Zawawi layaknya sebuah pulau yang berjalan. Ia mengatakan, dalam puisi Zawawi terdapat percampuran berbagai nilai mulai dari agraris hingga budaya lokal. "Nilai lokal yang ia sajikan sudah bertransformasi, sehingga hadir secara terbuka," kata lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.

Menurut Afrizal, Zawawi merupakan seorang penyair forklore yang banyak memasukkan cerita-cerita rakyat dalam puisinya. Selain itu, ia juga memiliki kedekatan dengan dunia pesantren, maka tak heran jika sajak-sajaknya akrab dengan rumor para kyai. "Sebenarnya jika Zawawi tidak berada dalam lingkaran penyair imajis, dia akan menjadi penyair balada yang hebat," kata penyair berdarah Minang ini.

Pria berkepala plontos ini mengatakan, era puisi imajis sudah selesai, sulit untuk mencetak sebuah sejarah baru. Menurut Afrizal, Zawawi akan lebih berkembang jika mau menyisir kembali kemampuannya berbalada.

Penulis sajak Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini melihat, kekuatan balada Zawawi tampak jelas pada puisinya yang berjudul Ibu : bila kasihmu ibarat samudera // sempit lautan teduh // tempatku mandi, mencuci lumut pada diri // tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh // lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku // kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan // namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu // lantaran aku tahu //engkau ibu dan aku anakmu.

Si Celurit Emas dari Batang-Batang

Jurnal Nasional, 28 Sep 2008
Dwi Fitria

Dalam puisi-puisi Zawawi Imron, muatan lokal yang kuat kerap dipadukan dengan nilai-nilai religi dalam pengertian luas.

Ada dua hal yang menjadi kekhasan puisi-puisi Zawawi Imron. Yang pertama adalah hadirnya idiom-idiom lokal Madura yang merupakan daerah asalnya, dan yang kedua adalah muatan Islam yang kerap muncul.

Dalam puisi-puisi semisal Celurit Emas, atau Ibu, Zawawi berhasil mengangkat sebuah kultur Madura yang mematahkan stereotip yang kerap dikenakan kepada masyarakat Madura.

“Dalam puisi-puisinya, Zawawi mengangkat citra budaya Madura yang positif. Selama ini citra Madura bagi sebagian orang mungkin identik dengan baju kaus lurik, sate, atau celurit. Dalam puisi-puisi Zawawi Imron justru menampilkan sosok orang Madura yang berbeda, yang mencintai lingkungan dan laut sebagai bagian dari kehidupannya,” kata kritikus sastra Maman Mahayana.

Puisi-puisi Zawawi juga kerap menggambarkan idiom-idiom budaya Madura dengan cara yang berbeda. “Garam dari laut adalah sebuah representasi harapan orang Madura. Puisinya Celurit Emas menggambarkan celurit sebagai simbol semangat orang Madura, bukan semata senjata untuk membunuh orang, yang hanya akan digunakan untuk melawan ketidakbenaran,” kata Maman.

Latar belakang pesantren membuat Zawawi juga mengangkat muatan Islam dalam puisinya. Tetapi menurut Maman, muatan Islam dalam puisinya bukan muatan artifisial. Muatan Islam dalam puisi-puisi Zawawi adalah Islam dalam pengertian yang amat luas. “Zawawi menampilkan Islam sebagai agama yang bersaudara dengan apa pun. Termasuk juga dengan lingkungan, dengan laut, dengan pohon, dengan batu. Puisi Zawawi Imron adalah representasi dari semangat islami yang bersaudara dengan makhluk apa pun,” kata Maman.

Sementara jika menyoal muatan islami dalam puisi-puisi Zawawi, menurut Ahmadun Yosi Herfanda, lebih cocok menempatkan penyair yang tenar dipanggil Celurit Emas itu ke dalam golongan penyair religius. “Tak banyak yang menyebutnya sebagai penyair sufi Indonesia. Berbeda dengan Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman, Danarto, atau Kuntowijoyo misalnya,” kata Ahmadun.

Puisi-puisi Zawawi memang memiliki muatan religius namun tidak sufistik. “Para penyair sufi lain semisal Abdul Hadi WM memasukkan muatan tasawuf ke dalam puisi-puisinya, ada pengalaman-pengalaman sufistik di sana. Sedangkan puisi-puisi Zawawi lebih bersifat religius yang tak terlalu mendalam membahas muatan Islam jika dibandingkan dengan puisi-puisi sufistik. Puisi religiusnya juga tak sebanyak puisinya yang mengangkat muatan lokal. Paling ada satu dua, misalnya yang berjudul Dzikir,” kata Ahmadun.

Mengusung Muatan Lokal
Dibandingkan dengan para penyair sufi lainnya, muatan lokal masih menjadi kekuatan utama Zawawi, dan membedakannya dengan yang lain. “Pencitraan dan metafor Zawawi amat khas, khas lokal Madura. Sementara para penyair sufistik lain, idiom-idiom dalam puisi mereka jauh lebih universal,” kata Ahmadun.

Ini amat dipengaruhi latar belakang Zawawi. Sementara kebanyakan penyair dan sastrawan lain bergaul luas dengan beragam wacana intelektual, juga karya sastra mancanegara, Zawawi tinggal dan berkarya di desa kelahirannya, Batang-Batang. Yang menakjubkan, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi mampu menghasilkan sajak-sajak yang amat indah.

“Justru di situ letak keunikan puisi-puisi Zawawi, metafor lokalnya kuat, begitu juga dengan citraan-citraan lokalnya. Puisinya menurut hemat saya amatlah eksklusif,” kata Ahmadun Yosi Herfanda.

Penggagas puisi Sufistik Indonesia, Abdul Hadi WM juga berasal dari daerah yang sama dengan Zawawi. Kiprah Abdul Hadi di dunia sastra Indonesia jauh lebih banyak merebut perhatian dibandingkan dengan Zawawi Imron, padahal secara estetika masing-masing memiliki ciri yang amat kuat.

Di awal kepenyairannya, sama dengan Zawawi, Abdul Hadi juga kerap mengangkat idiom-idiom Madura. “Namun semakin lama, Abdul Hadi semakin memfokuskan diri membuat puisi-puisi sufistik. Zawawi di sisi lain mengembangkan tema yang jauh lebih beragam, sosial, kekeluargaan, cinta, juga agama,” kata Ahmadun.

“Kepenyairan seseorang akan makin cepat diakui jika ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam esai-esai. Zawawi tidak memperkuat kepenyairannya dengan menulis esai. Hanya satu dua esai yang ia tulis. Sementara di sisi lain, Abdul Hadi sangat produktif menulis esai. Ia pernah mengasuh rubrik sastra, yang memungkinkannya menuangkan pikiran-pikirannya dan kreativitasnya setiap minggu,” kata Ahmadun.

Hadir tanpa Menggebrak
Zawawi memang kurang produktif menulis esai-esai sastra yang akan membantu orang-orang memahami kepenyairan dan pemikirannya. Melalui rubrik yang ia asuh, Ahmadun pernah meminta Zawawi untuk menulis esai, namun sayangnya esai itu tak terlalu kuat, meskipun kemudian tetap dimuat.

Cara lain untuk menunjukkan jati diri sebagai seorang penyair adalah dengan melakukan aksi panggung yang menarik perhatian. Ahmadun mengambil contoh Sutardji Calzoum Bachri. “Dia dulu menggebrak dunia kepenyairan dengan membaca puisi sambil membawa kampak, minum bir. Penampilannya yang kontroversial ini membuatnya ternama dalam waktu yang tak terlalu lama.”

Zawawi tak melakukan salah satu di antara kedua hal tadi. Ia hanya berbicara melalui estetika puisinya yang, meminjam istilah Ahmadun Yosi Herfanda, eksklusif dan unik. Namun, ini sudah cukup membuat Zawawi menjadi sosok yang istimewa dalam dunia sastra Indonesia.

Sementara Maman Mahayana berpendapat bahwa waktu kemunculan, latar belakang akademis, dan tempat tinggal berpengaruh pada sorotan yang diterima keduanya. “Abdul Hadi menggebrak dunia sastra dengan mengangkat persoalan kembali ke akar yang sudah ia mulai pada tahun 70-an, sementara Zawawi baru muncul sekitar sepuluh tahun kemudian. Di samping itu kebetulan saja Abdul Hadi berada di Jakarta, sehingga ia memiliki ruang yang jauh lebih luas. Selain itu reputasi akademis Abdul Hadi juga amat menonjol,” kata Maman.

Namun itu semua tak bisa dijadikan tolok ukur untuk melihat estetika puisi kedua sastrawan terkemuka dalam jagat sastra Indonesia tersebut. “Ini tak serta-merta berarti bahwa puisi-puisi Zawawi tak sebagus puisi Abdul Hadi. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Selalu ada kelebihan dengan puisi-puisi tertentu dan kekurangan dalam puisi-puisi yang lain,” kata Maman.

Sabtu, 27 September 2008

BAYANG DAN BOYONG

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Mari kita silakan para tamu memasuki baluwarti ini, saudaraku – ketika barisan yang kita nanti-nantikan sudah mulai memperlihatkan langkahnya yang tegap dan tegas. Marilah kita persilahkan para sanak-kadang yang sudah semalaman berkuyup-embun di luar pager-banon sana, dan biarkanlah mereka pagi ini ikut menikmati selamat datang ini.

“Tiada yang lebih membesarkan hati daripada keluwesan yang berbicara, lantaran dorongan jiwa yang sepatutnya. Tiada yang lebih mewakili kelugasan sejati katimbang pertimbangan yang diambil pada awal kelahiran sebuah hari – lantaran itulah titiwanci utama untuk menunjukkan harga kewibawaan,” demikian rantunan kalimat anda, pada kesempatan untuk membeberkan, seberapa jauhnya Anak Manusia berperang dengan Ayahbundanya dari seberang, buat menemukan wujud gairah yang tak – tertebak. Maka, aku mungkin harus menerimanya untuk sementara, sebagai satu bagian dari tiarapku sendiri, sebelum pada saatnya mengepalkan tinju ke hadapan.

Jangan hendaknya kita berpikir, bahwa jikalau salah seorang keluarga dekat kita takut pulang ke rumah, dengan sendirinya dia berusaha untuk menjauhkan diri dari salam-selawat dan rangkul-rungkus. Dan jika ada orang lain yang kepingin menelusurinya, dia siap mengelak. Akan lengkap kiranya kedirian kita yang laif-dhaif seperti ini, seandainya tiada perewang lain yang menganggap ketelodoran adalah warna lain. Dan pada hakikatnya, orang belum pernah menemukan ‘wangkot-celupan’-nya.

“Salawat-salawat kesentausaan,” desismu kala itu. “Karena kehidupan menagih kesan dengan begitu kuat dan kerasnya, sehingga apa yang berlangsung terkemudian adalah suatu gaya-ucap yang kurang lebih sebagai tudingan, sesalan, susulan dan bahkan juga umpatan. Kita belum juga tumbuh sebagai pribadi yang memiliki corak nan gumathok.”

“Walaupun, yang kaumaksudkan itu masih dalam batas gambaran suatu kurun waktu tertentu, dan belum berarti sepanjang masa?” demikian desakanku lebih jauh. Maka dikau mengernyitkan kening, kemudian balik berdetus: “Sahabat, mustahil kita tak menganggapnya sebagai Peristiwa yang selamanya. Bukankah kita sepaham untuk mengatakan, bahwa kebebasan wujud sama harganya dengan kebebasan isi? Dan bahwa tatanan yang digariskan oleh pakem-pakem keluruhan itu diantebi oleh suatu sosok berpengaruh yang diterima secara bulat oleh kelompok besar orang seikhwan? Aku yakin, faham-faham yang kita buat serta kemudian dibingkiskan kepada dunia, adalah juga berasal dari pandangan yang telah purba, bukan sesuatu yang masih dalam babak penyesuaian-diri yang nyamut-nyamut. Dan aku percaya, masyarakat kita masih dapat diajak bertoleransi sebatas meng-ugemi ihwal-ihwal maujudnya Rasa dan Nalarwening – sebelum dua hal yang kita ucapkan tadi mengabur di halimun dingin…”

Sahabatku Dina!
Berpikir adalah suatu arah-tanggon pada poros kreatif yang jelas. Karenanya, dengan berpikir itu, kita menuju kepada pewedaran gagasan yang hendak ditekankan, dan bukan sebagai ancangan semata. Dalam hal-hal yang besar resikonya untuk mewujudkan pikiran yang terpendam, maka seorang filosof mesti bersikap yang lebih demokratik, dalam arti bisa meng-emong situasi, meng-emong lingkungan yang majemuk.

Dina yang setiawan dan senantiasa tanggap.
Hari ini adalah hari kesebelas dari perjalananku ke daerah Orang Badui di Banten Kidul. Suatu upaya untuk meneliti, sejauh mana manusia yakin akan makna kemerdekaan batin, dan bagaimana hal itu bisa dirungkebi sebagai hak milik langgeng. Warga Badui Dalam di Cibeo misalnya punya anggapan, bahwasanya Jagat Ageng (dunia besar, makrokosmos) ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tanpa pasak-pasak yang melekatkannya dengan anasir-anansir semesta lainnya. Perekat-utamanya adalah jagat alit, yang terdiri dari manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, yang kesemuanya berhubungan secara kekeluargaan, dan punya peranan berbeda-beda, namun diemban bersama dalam satu ritme-kerja yang berirama, saling-dorong serta saling-resapkan. Jagat alit bisa terkoyak, bisa retak, manakala salah satu anasirnya meninggalkan kedisiplinan nan luhur, dan memperturutkan “karsane dhewe” (kehendak sendiri), membelot dari irama-hayati yang telah tersusun jelas, selaras dengan firman Pemangku Jagat Akbar ini.

Maka keseimbangan alam tak bisa lain diartikan sebagai keseimbangan agama, yang menggugah setiap jasad dan roh untuk melaksanakan tugas-tugas kebaikan. Bila satu sama lain tidak menempati tugas nan rapi, cermat, berdisiplin tinggi, maka pasak-pasak bakal retak, dan bumi pun terbengkalai. Perekat paling utama adalah wasiat leluhur (karuhun, poyang), yang tertulis dalam lontar-lontar tua yang diguratkan sedari mulakala. Tiap warga setia Badui pada dasarnya adalah pekerja, yang takkan istirah, bila bukan pada saatnya yang telah ditentukan menurut pathokan yang keramat. Pekerja adalah pusat greget-grengseng-nya tindak positif, yang mendorong tubuh, tangan-tangan dan urat-urat ini menggeliat dan berkeringat, lantaran melakukan karya kemanusiaan nan tangguh. Adalah tolol untuk melakukan hambatan, pengangguran ataupun juga kemalasan, bila dalam nuraninya sudah tumbuh kepercayaan: tanpa karya, seseorang adalah si mati, si mayat, yang tanpa faedah apapun. Pekerjaan yang berdayaguna bagi sesama hidup, merupakan sumbangsih nyata dari warga di sana, yang diamanatkan oleh nenek-moyang, dan dipegang teguh.

Sahabatku Dina!
Aku memang bersemangat untuk menekankan hal-hal yang begini berderap. Di kala orang di mana-mana sibuk berseminar tentang tenaga kerja dan peranan angkatan muda, aku menahan nafas. Terasa, teramat banyak orang menghamburkan potensinya untuk berbincang serta berdebat tentang kiblat ketenagakerjaan pada zaman gemuruh dan penuh keluh ini. Siratan gagasan yang berasal dari suasana masa lampau sering luput dari sentuhan. Kita lantas sibuk bikin dalih-dalih dan rumusan selangit tanpa teringat, bahwa rumusan purbawi telah pernah digenggam orang, seraya masa pun pernah menggodok dalih yang bagaimana pun rumitnya, melalui gaung sejarah. Kalau teringat akan hal ini, maka saya berpesan, sebaiknya kita terus menggali karyasastra lokal, yang tertulis dalam pelbagai bahasa daerah di pedalaman Nusantara, untuk mencari rujukan nan tepat. Hanya dengan cara begini, teruji kemampuan kesarjaan menurut kadar semestinya – bukan hanya berdasar fakta kelulusan di atas kertas!

Sahabatku Dina!
Ucapanmu setahun lewat masih kuingat: “Pur, hendaknya gaya hidup dewasa kini bisa lebih kita benahi, agar kita bukan cuma berlenggak-lenggok sebagai boneka berbusana apik. Tapi yang penting, bagaimana orang pun tahu, busana apik itu dipintal dari benang, dan benang dicari bahannya dari tanaman kapas. Dan upaya menanam mengingatkan orang kepada kerja berluluk lumpur, mandi keringat, melambuk tanah. Sama sibuk dan gemuruhnya dengan karya gemilang para pekerja pabrik tekstil yang tak kenal siang dan malam buat memenuhi kecenderungan masyarakat untuk berbusana rapi dan apik. Bila kita hanya terpancang pada boneka berjalan yang memperagakan gaun-gaun mahal semata, niscaya pikiran akan terhenti pada lipatan ketiak. Angan-angan pun terwatasi dambaan cethek, Pur.”

“Lumrah, masyarakat yang tengah berkembang tak menyiasati lingkungan, sebagaimana yang dikehendaki oleh bangsa yang telah mapan. Gelaran yang hadir mungkin hanya terbit karena desakan situasi, Dien.
“Itu bukan penilaian sehat, Pur. Hanya sinyalemen kurang sehat dari dirimu. Karena aku tahu, setiap kita bicara tentang pakem-pakem kebijakan yang diunggulkan oleh sukubangsa di Nusantara, kau selalu terhenti pada sebut-sebutan semata, nama-nama ajektif dan penjudulan karya sastra yang ditinggalkan oleh suku tersebut pada hari lampaunya. Kau tak mengejar tentang betapa gerangan pokal-pokal yang ditampilkan Guru Besar, sosok andalan. Cara begini akan mengatasi pikiran tentang gambaran superlatif mahakarya satu zaman, yang keberadaannya bisa mungkin hanya pajangan. Ia diboyong oleh tahap nan ada, namun tak berperekat maknawi.”

“Dan sastra yang diboyong oleh warganya, diberi tandatangan oleh keturunannya, tapi tanpa bayang ‘tantangan terpendam’ serta ‘tuntutan-tuntutan nan semakin meningkat’, rasanya sulit dilestarikan.”
“Tadi, itulah yang hendak kukatakan, Pur. Seandainya perlawatanmu ke daerah Badui itu membawa juga hasil ekskavasi budaya yang lebih komplit, misalnya buah pikiran Manusia Utamanya, telaah-telaah di berbagai situasi, dan upaya penyelamatan diri suku tersebut dalam melawan campur-tangan pihak luar, … nah, niscaya kau bakal lebih menggenggam makna kerja berjaya yang pada orang-orang modern pun masih diributkan.”

Aku unjal-nafas. Pagi telah merambat kepada siang lembut. Kubuka jendela kecil di ruang tenaga pengajar di Universitas Kotapraja yang telah empat dasawarsa membekaskan jejak-juang tergamblang di negeriku. Angin semilir mengantar kembang melati sedhompol yang tumbuh liar berbanjar di bawah cepuri putih, agak ke dalam. Sebelahnya, rumpun alamanda kemalas-malasan bergoyang, dalam hijau-pupusnya nan nyaris pucat. Seekor burung pipit, yang nampaknya terbang kesasar dari pesawahan di arah seberang-sana, hinggap di ranting kecil kembang srengenge yang agak layu, lantaran jarang disirami oleh tukang kebun. Burung itu menelengkan kepalanya, seperti menatapku, yang iseng melepas kesumukan ini.

Sahabatku Dina!
Pabilakah lagi kita bisa beromong-omong bebas seperti di saat usai mengajar, atau mengambil sela-sela yang makin langka ini? Para mahasiswa sekarang seperti kurang bergairah dalam menempa dan menampi bulir-bulir ilmu yang dilisankan; terlebih-lebih bila bibir kita yang serasa pecah-pecah untuk melisankan kerisauan hari esok nan penuh deru!
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Amuk Tun Teja

Riau Pos, 15 April 2007
Marhalim Zaini

Tanpa mengetuk pintu, tanpa mengucap salam, seorang perempuan renta berkebaya lusuh masuk ke kantorku, dan langsung duduk di kursi tepat di depanku. Dari tatapan matanya yang sipit dan hampir terjepit oleh kulit kelopak-keriputnya, ia tampak sedang memendam sesuatu yang teramat dalam. Dan dari mulutnya yang masih tersisa warna merah sirih, melompatlah peluru kata-kata.

“Air dalam bertambah dalam/hujan di hulu belum lagi teduh/hati dendam bertambah dendam/dendam dahulu belum lagi sembuh! Sampai hati kau, Tuah! Kau renjis -kan minyak wangi guna-guna itu ke ranjangku. Pengecut itu namanya!”

Alahmak, orang tua gila mana pula ini? Pagi-pagi berpantun-pantun menuduh orang sembarangan. Mulutnya bau gambir pula. Kok bisa-bisanya sampai tersesat masuk ke kantorku?

“Begitukah cara seorang pahlawan besar yang diagung-agungkan menaklukkan hati seorang perempuan? Tak adakah cara yang lebih jantan? Aku ini perempuan, Tuah! Perempuan yang sama dengan perempuan lain di dunia ini. Sama-sama punya hati dan perasaan yang kapan saja bisa luluh untuk menerima cinta dari seorang lelaki. Tanpa harus memakai guna-guna! Kau sama sekali tak romantis, Tuah! Tak pernah kau datang dengan jantan kepadaku, dengan bersungguh-sungguh dan menyatakan cintamu padaku. Malah kausuruh si Inang menyampaikannya padaku. Apa kau tak bernyali, Tuah? Padahal konon kau pendekar bukan-main sakti. Aku dengar sejak kau berumur sepuluh tahun, kau bersama empat sahabatmu sudah mengalahkan dua puluh tujuh penyamun. Hebat betul kau, Tuah! Kau juga ‘kan yang mengalahkan Taming Sari, tokoh tersakti di Jawa itu? Tapi masak hanya untuk meluluhkan hatiku, kau harus pakai guna-guna! Malulah, Tuah, malu!”

Wah, kacau. Siapa sebenarnya orang tua ini? Orang gila mustahil bisa bercakap begini. Kenapa pula dia hamburkan sakit hatinya padaku? Bagaimana caranya aku harus menjawab? Ah, pagi yang sial! Sudahlah di rumah biniku tadi pagi marah-marah tak tentu arah, kini datang pula entah siapa, juga marah-marah, lebih tak tentu arah…

“Ya, kau memang panjang akal, Tuah! Apalagi dalam hal mendapatkan perempuan dengan cara yang tak jantan. Kau juga ikut membantu Sultan Melaka mempersunting Raden Mas Ayu, putri Batara Majapahit itu ‘kan? Lalu anehnya, kemudian dengan lugu kauserahkan juga aku pada rajamu sebagai istri yang entah keberapa. Itu demi memulihkan nama baikmu di mata raja ‘kan? Dan juga dengan cara yang tak jantan, kausuruh aku makan sirih guna-guna supaya aku membencimu dan berpindah hati pada rajamu.” Terbatuk-batuk, kembali bercakap, “Ya, betul-betul lelaki aneh kau ini, Tuah! Apa jangan-jangan kau memang tak punya hati ya? Tak punya perasaan cinta terhadap perempuan? Tapi…apa kau sekarang punya bini, Tuah?”

Ini sudah keterlaluan namanya. Banyak betul cakap orang tua peot ini. Aku pula dibilang tak jantan, tak punya hati, tak punya perasaan. Bini aku saja sekarang dua, hampir tiga. Anak aku hampir tujuh, apa tak cukup bukti bahwa aku ini pejantan tangguh. Dan patut diingat bahwa tak pernah sekalipun aku pakai guna-guna untuk dapatkan bini. Ah, mengarut betullah orang tua ini.

“Nah, lagi-lagi kau tak bisa menjawab. Diam macam batu. Tapi kau ahli berdiplomasi. Ayo mana ilmu kau itu, Tuah. Tunjukkan padaku. Amarah Raja Majapahit yang tidak senang putrinya telah dipermadu saja bisa kauredakan, apalagi aku. Kau ‘kan juga pernah diutus ke Cina, mengalahkan tujuh pemain pedang Jepang yang ulung, membawa gajah-gajah di Siam untuk Raja Melaka, lalu kautundukkan juga kesultanan Trengganu dan Indrapura. Mestinya, untuk seorang perempuan macam aku ini, tentu tak sesulit menundukkan raja-raja, Tuah! Kenapa pula kaupakai guna-guna! Betul-betul tak habis pikir aku, Tuah! Lalu kauanggap apa sebenarnya aku ini? Kauanggap perempuan itu apa, Tuah! Barang mainan yang bisa dengan mudah dipindah-tangankan? Egois betul kau ini, Tuah! Aku tidak terima!” Kembali batuknya kambuh.

Nah, baru tahu dia. Siapa pula suruh berceramah, memarah-marahi orang yang tak tahu ujung-pangkal. Rasakanlah batuk rasa lempok tu!
“Hei, sampai hati betul kau ini, Tuah! Orang terbatuk-batuk kau malah tersenyum-senyum. Kau mengejek aku, Tuah! Kau merasa telah menang, dan bangga dengan segala kehebatan kau itu? Aku tidak terima, Tuah! Aku tidak terima! Aku kini datang hendak menuntut pertanggung-jawabanmu sebagai laki-laki yang telah dengan seenaknya menyerahkan aku pada raja. Padahal aku sama sekali tak pernah mencintainya. Dan harus kauketahui, Tuah, bahwa sirih guna-guna yang kauberikan pada aku itu, tak pernah aku makan. Aku masih menyimpannya sampai sekarang. Ini dia!” Mengambil bungkusan kecil dari celah kutangnya. “Ini, Tuah! Inilah sirih yang pernah kauberikan padaku dulu. Aku sengaja tak memakannya, karena aku tahu bahwa sirih ini berisi guna-guna. Dan dengan sengaja pula aku berpura-pura terpikat dengan raja seolah sirih guna-gunamu telah bekerja dengan baik dan meresap ke dalam jantung hatiku. Aku hanya ingin melihat kau bahagia, Tuah! Hanya itu. Hanya hendak melihat senyummu mengambang, dan dengan bangga menyerahkan aku kepada raja. Saat itu, aku memang bodoh, mau saja berkorban untukmu. Karena, dan ini adalah satu hal penting yang harus kauketahui, bahwa aku saat itu sangat mencintaimu, Tuah! Rupanya, cinta memang bisa membuat orang gelap mata, sehingga bersikap yang tidak semestinya!” Matanya mendung.

Alahmak, kasihan juga orang tua ini! Patah hati rupanya. Lama-lama aku tengok-tengok, wajah orang tua ini memang masih menyisakan garis-garis kecantikan. Bibirnya, hidungnya, alisnya, aduhmak, memikat nian. Andai saja dia masih seumur denganku, entahlah apa jadinya. Kalau mau jadi istri keempat, tak apa juga. Wah, menangis pula dia. Bisa gawat ini.

“Aku tahu, kau pasti senang melihat aku menangis ‘kan? Semua lelaki memang begitu, senang kalau melihat perempuan menangis. Karena ia merasa menjadi hero, merasa tangguh, merasa telah menang. Kalau sudah begini, aku betul-betul merasa tak berguna lagi. Aku benci dengan airmata ini, aku benci!”

Apakah menurut Anda, aku harus mendekatinya, dan menenangkannya, supaya dia berhenti menangis? Oh, tidak. Aku tak mau ambil resiko. Aku tak tahu siapa orang tua ini. Yang aku tahu, kalau orang tua seumur dia ini, ya memang suka nyanyok alias pikun. Tapi kenapa dia harus nyanyok di kantor ini? Di depan aku? Dan menganggap aku ini bernama Tuah? Siapa pun si Tuah itu, peduli apa aku. Yang pasti dia adalah lelaki masa lalu yang telah menyakiti hati perempuan tua ini. Lalu apa hubungannya dengan aku? Tak ada. Ya, tak ada sama sekali. Aku bukan Tuah, namaku Dolah. Apa karena aku ini beristri banyak, sama seperti raja yang dia sebut-sebut tadi? Entahlah. Lalu sebaiknya apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengusirnya? Ah, meskipun aku ini agak mata keranjang, aku tak pernah menghardik orang tua. Tak sampai hati rasanya.

“Tuah! Kau bisu ya? Apa kau tak melihat perempuan yang sedang menangis tersedu-sedu. Apa tak ada bahasa-bahasa syair pelipur lara yang bisa kaubisikkan ke telingaku, yang membuat hatiku yang gundah gulana ini sedikit terobati? Kau memang kejam, Tuah! Kau memang tak pandai menjaga perasaan perempuan. Ini, sirih guna-guna ini, aku kembalikan pada kau. Ambil!” melempar bungkusan kecil. “Aku ingin melihat kau yang memakan sirih itu, Tuah! Aku ingin kau membenci raja dan mencintai aku. Ayo, Tuah! Makan sirih itu!”

Mampus aku. Apalagi ini? Macam-macam saja nenek pikun ini, aku pula disuruhnya makan sirih. Betul-betul kacau.
“Kenapa? Kau tak mau memakannya? Kau takut karma terjadi padamu? Kau takut membenci raja dan mencintai aku yang sudah reot ini? Ayo, makan sirih itu, Tuah!”

Bagaimana ini? Apa aku harus turutkan juga keinginan gila perempuan ini? Memakan sirih? Jangan-jangan ada racun pula dalam sirih ini. Matilah aku. Ah, tidak. Aku tak mau diperintah seenaknya oleh seorang perempuan reot yang tak tahu diri ini. Ini kantorku, aku bos di sini, dan dia tak berhak memerintah aku sembarangan. Sudahlah dia memakan waktu kerjaku terlalu banyak untuk mendengarkan dongengannya, kini memaksa aku pula untuk yang tidak-tidak. Ini betul-betul keterlaluan namanya. Tak bisa dikasih hati lagi nampaknya. Apa boleh buat, aku harus tega mengusirnya.

“Apa? Kau marah padaku? Kau tak mau memakan sirih itu? Baik. Baik. Aku akan memaksamu makan sirih itu, Tuah!” Mengeluarkan sebilah keris dari balik baju, berdiri dan berjalan perlahan mendekati Dolah. “Kau masih kenal dengan keris ini, bukan? Ya, keris sakti Taming Sari yang kaurampas dulu, Tuah!”

Ups! Ini kerja gila! Gila! Menodongkan keris pula dia. Apa maunya perempuan ini? Ah, kalau aku tak mau juga makan sirih ini, apa dia berani membunuhku? Tidak. Aku tak mungkin mati di ujung keris itu. Dan aku tak mungkin tinggal diam seandainya dia benar-benar hendak menusukkan keris itu ke perutku. Rasa-rasanya aku masih sanggup kalau cuma sekedar mematahkan lengan si nyanyok ini. Penjara? Aku tak takut penjara. Yang jelas, aku tak salah. Aku hanya membela diri karena sedang berada dalam keadaan terdesak.

“Kenapa, kau takut? Atau kau heran, kenapa keris ini bisa berada di tanganku sekarang? Padahal dulu keris ini telah lesap dari tanganmu, bukan? Juga karena gara-gara kau hendak menyelamatkan mahkota raja yang jatuh dan tenggelam ke dalam laut. Setelah itu, bencana-bencana besar pun datang, Tuah. Kauingat, bagaimana Melaka diserang Portugis? Kau terluka, bukan? Dan sekarang, apakah kau hendak merasakan sakitnya luka itu kembali? Bagaimana sakitnya jika keris menikam tuannya sendiri? Ayo, Tuah, makan sirih itu atau kau harus mati di ujung keris ini?”

Ayolah, aku tak takut nenek renta! Mau menikamku, tikamlah. Kupatahkan lenganmu….
“Bagaimana, Tuah, tak enak bukan jika harus memilih sesuatu yang bukan keinginan kita? Buah simalakama. Dan beginilah agaknya, perasaanmu ketika hendak bertikam dengan Jebat. Tapi kau harus melakukannya karena kauanggap Jebat mendurhaka. Dan bagaimana rasanya, ketika kau berada di posisi Jebat, Tuah? Makan sirih atau harus bertikam? Kalau pedas pada kita, takkan manis pada orang, Tuah!”

Bangsat, orang tua ini, ayo mendekatlah kalau berani. Peduli apa aku dengan Jebat, dengan Tuah, atau dengan siapapun. Yang jelas, kalau kau berani menusukkan keris itu, aku takkan tinggal diam.

“Tuah, betul-betul tak mau kaumakan sirih itu? Tak mau, Tuah! Berarti kau memang tak pernah mencintai aku ‘kan? Atau kau lebih baik mati dari pada berkhianat dan membenci raja, begitu? Lebih baik mengkhianati hatimu sendiri, Tuah! Kau mendurhaka, Tuah! Kau mendurhakai hatimu sendiri. Dan jika memang itu pilihanmu, baiklah, aku akan memilih jalan ini! Kalau menunggu gelombang tidur, sampai kiamat takkan ke laut! Hiyaaap!!!” Menusukkan keris ke perutnya sendiri.

Ya, Tuhan. Apa pula ini! Hei, Nenek! Ya Ampun, kenapa pula kau harus bunuh diri! Aduh, bagaimana ini? Hei, tolong……tolong……tolong……***

Pekanbaru-Riau, 2006

Puisi-Puisi Amien Wangsitalaja

HIATUS
-pesan mai
 
selagi masih ada ruang keberanian
biarkan
kehendak yang tak masuk akal
menaruh kepercayaan, bahwa
takkan ada pengucilan
akibat kebencian, atau
hukum manusia

Jumat, 26 September 2008

Jaring Batu

Cerpen CWI 2006, terangkum dalam antologi Lok Tong.
Marhalim Zaini

“Betul-betul makan sumpah jaring batu ini, Cuih!” Ludahnya bau pahit kesumat. Tiap hari, bahkan tiap saat. Tiap ia teringat kepala kekasihnya tergolek bagai sebongkah kelapa, teregok-egok dalam gelombang laut Selat Melaka, teregok-egok pula dalam pasang air matanya. Entah telah berapa gantang ludah untuk menyumpah-nyumpah yang tumpah dari mulutnya, di sepanjang beting, sepanjang tepian pantai abrasi, sepanjang hari-hari sesenyap mati.

Panggil saja ia Siti. Boleh Siti Lengkong, boleh Siti Ampung, Siti Sianah, Siti Nurhalizah pun boleh. Tak ada yang hirau sangat dengan sebutan nama di belakang nama Siti, sebab semua perempuan di kampung Parit ini merasa tak ada yang berbeda dengan diri mereka. Yang namanya perempuan ya sama saja. Sama-sama tukang toreh getah , sama-sama tukang anyam pandan, sama-sama tak tamat sekolah, sama-sama jadi bini nelayan. Tapi, Siti yang masih gadis ini, yang suka menyumpah-nyumpah ini, tiba-tiba menjadi lain dari perempuan yang lain. Selama ini, tak pernah terdengar dengan sangat lantang seorang perempuan di kampung ini yang berani menyumpah-nyumpah (apalagi sampai meludah-ludah) seperti Siti. Bercakap pun selalu dalam senyap-senyap, dan dalam kelompok perempuan saja. Kalau pun harus menyumpah, paling cuma pada anak-anak mereka yang sudah tak bisa lagi dinasehati, itu pun hanya dalam rumah, hanya sebatas melepas gejolak amarah. Maka, tersebab kelakuan Siti yang aneh itulah, mereka kemudian menganggap Siti sudah senewen , gila kena sampok .

Orang kampung sebenarnya mafhum. Siti jadi aneh setelah kekasihnya, lelaki dari kampung sebelah sungai, yang seminggu lagi hendak melamarnya, dikabarkan mati dengan kepala terpenggal. Hati siapa pula yang tak hancur menerima kenyataan yang segetir ini, menerima kiriman dari gelombang laut sebongkah kepala kekasih yang hanyut. Yang jadi soal kini adalah, orang kampung Parit kian kuatir bahwa kelakuan Siti yang menyumpah-nyumpah ini akan semakin memperkeruh konflik ‘Jaring Batu’ yang telah berlangsung selama dua puluh tiga tahun lebih ini. Saling menyerang, saling membakar perahu, saling menculik, saling menuding, adalah peristiwa yang mereka hadapi sehari-hari. Orang kampung sebelah sungai tetap bersikukuh menggunakan jaring batu sementara orang kampung Parit ini yang sehari-hari melaut dengan jaring rawai menganggap bahwa jaring batu dapat mengganggu habitat dasar laut seperti terumbu, selain itu ikan kurau yang besar dan mahal itu habis semua dijual ke negeri seberang. Konflik ini meruncing setelah tak satu pun jalan keluar dapat ditemukan. Dan puncaknya adalah jatuhnya korban dari salah satu warga kampung sebelah sungai. Setelahnya, tentu dendam mulai berkecambah dalam hati orang kampung sebelah sungai. Sewaktu-waktu mereka bisa mengamuk dan melakukan penyerangan balasan. Nyawa hanya bisa dihargai dengan nyawa.

Dan tengoklah, sejak peristiwa terakhir perkelahian berdarah di tengah laut itu, kampung Parit ini memucat, hari-hari seolah mati-suri. Orang-orang tak berani turun ke laut. Ekonomi seketika lumpuh. Tak bisa berharap hidup pada getah yang murah. Tak juga pada tikar pandan yang kini tak begitu laku di seberang, sebab para toke ‘pendatang haram’ banyak yang kena tangkap. Mau keluar kampung, mencari rezeki tambahan pun jadi ragu, jangan-jangan mereka menculik dari arah darat, dan setelah itu tentu maut siap menjemput. Jadilah mereka kini orang-orang yang bingung dan hidup dalam kecemasan (juga kemiskinan) yang tak berujung.

Apalagi, saat malam menjelang, kampung ini benar-benar terasa sedang ditikam sepi. Sementara para lelakinya tampak berjaga-jaga di sejumlah penjuru jalan masuk ke kampung, para perempuannya berkumpul di salah satu rumah warga yang agak aman letaknya. Kecemasan, seperti lipan berkaki seribu yang diam-diam merayap di sekeliling mereka, mengepung mereka. Suasana semacam ini, hanya dapat dirasakan saat terjadi peperangan, bukan?
***

“Betul-betul makan sumpah jaring batu ini, Cuih!” Suara Siti tiba-tiba seperti melompat ke arah segerombolan lelaki yang sedang berjaga di simpang kampung. Mereka cukup terkejut dan sempat mengacungkan parang ke arah Siti.

“Sial, perempuan gila ini rupanya.” Umpat Atan.
“Apa lagi kerja kau Siti. Pulanglah! Malam-malam begini masih juga menyumpah-nyumpah!” Sambung Ujang.
“Alah, biar sajalah. Orang gila mana bisa diatur.” Kata Udin.
Siti tiba-tiba langsung duduk di bangku panjang di antara para lelaki itu. Matanya menatap tajam ke wajah lelaki di sekelilingnya satu persatu. Aneh juga, biasanya Siti cuma lewat-lewat saja dan tak pernah mau singgah apalagi duduk bersama para lelaki kampung. Tapi malam ini, ia malah memulai percakapan seperti seorang yang tidak gila. “Siapa sebenarnya yang membunuh kekasihku?”

Semua lelaki terperanjat mendengar pertanyaan yang berbahaya ini. Berbahaya karena polisi pun sesungguhnya sedang mencari pelaku pembunuhan itu. Dan lebih berbahaya lagi karena pertanyaan ini tiba-tiba muncul dari mulut seorang perempuan gila yang dulu adalah kekasih lelaki yang terbunuh. Bisa saja setelah ia mendapat jawabannya, ia buka mulut pada polisi, atau malah dia yang balas dendam. Maklumlah, orang gila. Karena berbahaya, maka tak satu pun yang berani menjawab.

“Aku tahu siapa yang membunuhnya!” Mata Siti menatap kosong.
Semua lelaki kembali terperanjat, meski sebenarnya mereka tak begitu cemas, sebab mereka menganggap orang gila memang suka meracau.
“Sudahlah, Siti. Pulang sana. Nanti Abah kau mencari pula.” Kata Atan.
“Aku tahu siapa yang membunuhnya!” Mata Siti masih menatap kosong.

Semua lelaki tampak serba salah tingkah setelah mendengar pernyataan Siti untuk kedua kalinya ini. Atan malah tampak tak jenak duduk, ia kembali memasang sebatang kretek di mulutnya. Yang lain tampak saling pandang. Sesekali memandang ke Atan. Mereka semua tahu, bahwa Atan memang sempat jadi saingan si terbunuh untuk mendapatkan Siti. Tapi, apa boleh buat, Siti akhirnya harus memilih lelaki dari kampung sebelah sungai. Apakah Atan memang sakit hati? Entahlah, hati orang siapa yang tahu.

“Ayo, Siti, biar kuantar kau pulang.” Atan tiba-tiba bergerak menarik lengan Siti. Tapi Siti memberontak. Tangan Atan ditepis agak keras. Lantas setengah berteriak, “Aku tahu siapa yang membunuhnya!”

Atan jadi agak emosi, “lalu kalau kau tahu, mau apa kau? Mau balas dendam? Mentang-mentang dia kekasihmu, terus kau hendak membela orang kampung sebelah, begitu? Yang kau meracau, menyumpah-nyumpah tak tentu arah itu kenapa pula? Kau mestinya tahu, orang kampung sebelah bisa saja memenggal leher kau gara-gara sumpahan kau itu! Ayo, pulang sana!”

Wajah Siti tampak memerah oleh bias keremangan cahaya lampu obor bambu. Matanya menatap mata Atan. Setengah menyeringai Siti bicara, “Kau takut ya? Takut mati ya? Atau takut dicekik hantu kekasih aku?” Lalu Siti meracau ke semua lelaki, “Kalian juga takut mati kan? Kenapa harus takut? Selama ini kalian begitu berani, bukan? Berani membunuh berarti ya berani dibunuh! Kenapa pula kalian tak berani turun ke laut, kalau kalian memang merasa benar! Apa mentang-mentang merasa benar terus boleh membunuh?”

“Siti, diam kau! Muak aku mendengar ceramah kau! Bicara kau macam bicara orang waras saja! Pulang sana!” Atan kian emosi.
“Siapa cakap aku ini gila? Apa kalau orang menyumpah-nyumpah berarti dia gila, ha? Orang menyumpah itu karena dia marah, bukan karena dia gila! Aku ini waras, bodoh!” Siti tersenyum sinis.

Semua lelaki tampak bingung mendengar pengakuan Siti. Meski tetap masih lekat dalam anggapan mereka bahwa Siti memang gila. Atau paling tidak setengah gila. Siti masih terus saja meracau. “Kita semua ini memang sudah gila, sudah tak waras. Penyebabnya ini! Perut yang kosong ini! Semua gara-gara ini! Kalian bunuh-membunuh juga gara-gara ini kan? Makanya jangan jadi orang miskin, jangan jadi nelayan, jadi pejabat saja! Pukimak! Betul-betul makan sumpah-lah nasib kita ini! makan sumpah-lah kemiskinan ini, Cuih!” Sehabis meludah, Siti langsung pergi, dengan mulutnya yang masih meracau.

Semua lelaki, apalagi Atan, tercengang-cengang melihat tingkah Siti yang aneh, meski apa yang mereka dengar terasa ada benarnya. Ah, kebenaran itu aneh, pikir mereka.
***

Itulah malam terakhir orang kampung melihat sosok Siti. Sibuk juga dibuatnya. Meski dianggap gila, tapi jika tiba-tiba hilang lenyap tak ada kabar, tentu akan jadi problem baru. Masalahnya, dalam suasana konflik seperti sekarang ini, tak mustahil orang kampung sebelah sungai akan menculik lalu membunuh siapa saja yang mereka dapatkan.

Yang paling sibuk tentunya Abah Siti, juga Atan. Orang-orang kampung pun turut memberi sikap simpatik dengan bersama-sama mencari Siti ke sekeliling kampung. Tapi sayang, hingga petang mengambang, Siti tak kunjung ditemukan. Tak salah lagi, orang kampung menduga dan setengah memastikan bahwa Siti telah diculik oleh orang kampung sebelah sungai. Lalu apa sikap yang harus diambil?

“Kita tak bisa berdiam diri saja. Anak gadis saya sudah diculik. Kita harus menyerang kampung sebelah sungai. Aku betul-betul sudah muak!” Kata Abah Siti berapi-api.
“Apa kita sudah siap, bang?” sahut Atan.

“Bukankah kita sudah selalu siap sedia setiap hari, setiap malam? Kalau terus menerus begini, hidup kita tak pernah aman. Lebih baik kita tuntaskan saja sekalian. Siapa yang kuat, dialah yang menang, dialah yang berhak menentukan!”

“Tapi, itu jika benar Siti mereka culik, jika tidak?”
“Jika tidak kita tetap akan menyerang mereka, sebab masalahnya kan bukan semata karena Siti diculik, tapi masalah harga diri, masalah yang puluhan tahun menumpuk dan mengganggu hidup kita. Dan sampai kapan pula kita harus menunggu aman, dan bisa turun ke laut lagi? Apa menunggu kita semua mati karena tak punya mata pencaharian! Menunggu pemerintah yang tak mau tahu itu! Laut itu rumah kita. Hidup kita. Kita harus perjuangkan. Ayo, tunggu apa lagi, kita serang saja mereka! Apa kalian semua setuju?” seru Abah Siti kepada orang-orang kampung.

Karena ikut terbakar emosi, juga karena tak kunjung menemukan jalan terang, orang-orang kampung langsung berteriak setuju. Dan dalam sekejap saja, sudah berkumpul puluhan orang lelaki yang siap membawa senjata tajam di genggaman mereka. Tapi, ketika mereka hendak mulai beranjak, tiba-tiba dari arah belakang seorang lelaki tanggung berlari sambil berteriak memanggil-manggil Abah Siti. Semua orang menghentikan langkah, dan menoleh ke arah suara. Rupanya si Entong yang datang. Dengan sedikit terengah-engah Entong mulai memberi kabar, “Bang, aku nampak Siti di pantai tadi?”

“Siti di pantai? Jangan bengak kau Entong, sehari penuh kami sudah mencarinya!”
“Betul, Bang. Aku nampak Siti baru turun dari pompong , Bang. Dia bawa ikan dalam bakul. Dia cakap, baru pulang dari menjaring ikan di laut!”

Seperti tak percaya, semua lelaki yang mendengarnya seketika terlongong. Seketika seperti ada yang hilang dalam diri kelelakian mereka, kejantanan mereka. Laut itu rumah kita, bukan?***

Pekanbaru-Riau, 2006

Negara Ini Memang Butuh Pemuda...

Bernando J. Sujibto

Benar. Negara ini memang butuh pemuda untuk maju dan sehat dalam setiap mekanisme yang dijalaninya. Saya bukan hendak mengatakan kalau pemimpin masa depan Indonesia harus di tangan generasi muda. Tapi yang jelas spirit muda di tubuh yang muda pula akan cepat dirasakan perubahannya dalam setiap denyut kehidupan ini. Hal itu tidak dapat terhindarkan karena peran pemuda telah menjadi sejarah terpenting sejak awal Indonesia berdiri.

Sejak era Soekarno berakhir kendali pemerintahan Indonesia di bawah penguasa lima presiden sejak rezim Orde Baru hingga Susolo B. Yudhoyono telah dilakoni oleh kaum tua. Soeharto maju menjadi presiden dalam usia 57 tahun, Habibie , Gus Dur , Megawati , SBY . Mekanisme kenegaraan yang dipegang kaum tua selama hampir setengah abad lamanya telah menunjukkan gejala apatis. Arena pemerintahan pun menjadi tempat paling ‘basah’ untuk mempertahankan kekuatan absolutisme kekuasaan yang terselubung d bawah "rezim tua". Sehingga proses regenerasi di negeri ini begitu buruk dalam catatan sejarah karena kenyataannya dalam kurun setengah abad kaum muda memang sengaja dibatasi aksesnya.

Sekarang kita bisa melihat secara kritis apa saja capaian yang ditunjukkan para kaum tua sejak Orba berkuasa hingga Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Kebijakan, citra dan gaya pemerintah, dan segala macam mekanisme birokrasi yang dipraktikkan sejauh ini masih tidak jauh beda. Mereka menganut sistem lama yang berselingkuh di bawah birokrasi yang tidak sehat, apriori, dan jelas apatis terhadap perkembangan yang terjadi. Sehingga saat ini bangsa dan negara Indonesia perlu mereformasi total sistem birokrasi gaya lama dan para birokratnya yang tidak mempunyai proyeksi progresif bagi kemajuan dan kesejahteraan negara ini ke depan.

Satu hal tidak boleh dilupakan sebagai fakta sejarah yang teramat penting pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Bangsa ini dapat terbebas dari kolonialisme karena berkat tekad bulad para pemuda yang mempunyai proyeksi jernih bagi masa depan negara yang sejahtera dan berdaulat. Sehingga Soekarno, Sjahrir, dan Hatta mengambil inisiatif atas kemerdekaan negeri ini. Dan bisa dibuktikan kejeniusan mereka dalam menyusun strategic-goal design bagi nakhoda Indonesia pertama. Semua itu tidak bisa dilepaskan dengan usia mereka yang masih berdarah segar sebagai generasi pemuda yang aktif, prioneer dan strategis.

Dalam sejarah dunia, generasi muda memang telah mencatatkan sejarah tersendiri dan tidak diragukan lagi. Salah satu buktinya adalah sosok Fidel Castro, sang revolusioner Kuba, yang menjadi pemimpin dalam usia 33 tahun setelah menumpaskan rezim otoritarianisme Batista. Castro telah membuktikan bisa menggerakkan semua lapisan masyarakat secara masif dan agresif untuk mengkudeta rezim meliter yang kejam.

Begitulah ciri agresifitas gerakan generasi muda yang tidak bisa dihindarkan—aktif, taktis, dan progresif. Dalam konteks Indonesia, sebuah negara yang terjerat dalam persoalan berlapis dan kronis selama bertahun-tahun, pemimpin yang mempunyai visi taktis dan progserif adalah suatu keniscayaan. Indonesia membutuhkan corak pemimpin seperti di atas demi mengembalikan spirit kesejahteraan dan kedaulatan bagi bangsa dan negana Indonesia tanpa terkecuali.

Kini saatnya kaum muda memimpin demi cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia. Semua kepercayaan harus disandarkan kepada generasi terbaik bangsa ini yang hendak membuktikan diri sebagai founding father kedua bagi Indonesia yang bisa menyelesaikan persoalan bangsa yang pelik dan kompleks. Karena tanpa ada tekad perubahan yang segar dan progresif yang berdasarkan kepada kondisi bangsa dana negara secara universal lapangan, kesejahteraan dan kedaulatan Indonesia tidak akan tercapai.

Mengiringi mereka (generasi muda terbaik) yang hendak mempersembahkan perubahan bagi Indonesia, kami generasi muda bangsa, para mahasiswa, mengucapkan selamat berjuang. Buktikan, bung!

Kopi Senja di Negeri Siti

Suara Merdeka,15 Feb 2004.
Marhalim Zaini

Siak, sungaimu menyulapku. Perempuan itu, kaurendam di dada senjamu. Pekat hitam rambutnya, setiap kali kaubasahi, tumbuh ribuan bunga kenanga. Menyambangi hidung lelakiku. Segera, di taman imajinasiku, segala yang terindah merekah. Entah di mana tiba-tiba lenyapnya gubuk-gubuk yang runduk di sepanjang tepian sungai itu. Sampah-sampah yang terapung di bawahnya pun seolah menjelma bunga seroja yang digoyang ombak kecil dari sampan-sampan yang ditambatkan. Semua tampak serba indah. Rimbunan hijau dedaunan bakau itu, lihatlah, ia tiba-tiba menjelma sebuah lukisan impresif, penuh misteri, penuh imaji. Ah, perempuan itu di mataku seperti bidadari. Bidadari yang kerap disebut dalam cerita fiksi. Bidadari yang setiap senja mandi di sungai Siak dengan rambut basah tergerai. Bidadari, yang kata orang sini, sama dengan putri kahyangan yang turun dari langit setiap bulan purnama. Perempuan selembut embun dengan selendang sutera seputih salju.

Tapi perempuan itu, manusia biasa dan bukan putri kahyangan. Ia begitu sederhana. Tak ada selendang sutera di pundaknya Dan ia juga bukan Jennifer Lopez perempuan yang menggemparkan di tahun 2000 itu, sebab tak ada gaun hijau tosca rancangan Donatella Versace yang mempertontonkan lekuk-liku tubuhnya. Yang ada hanya sepotong kain kemben batik bercorak burung merak yang telah luntur warnanya, melekat bersebati di dadanya. Mandi dengan gaya orang desa seadanya. Sebuah kesederhanaan yang sempurna. Semburat ketenangan dan lekuk keindahan yang mempesona. Meski ada pertanyaan yang terus mengambang berkelindan dalam pikiranku yang terpana, mampukah kesederhanaan dan ketenangan membungkus luka dan derita dalam gubuk kemiskinan?

“Melamun lagi!” Sebuah suara menyentak, dan sebuah pukulan mendarat di pundakku. “Siti itu memang bunga yang tersuruk dalam rimbunan semak.” Atan duduk di sampingku, memandang ke sungai. “Dan akan segera kautemukan ratusan Siti yang lain di negeri ini.” Atan membuang asap rokok seperti menghembuskan beban yang berat.

Di kedai kopi ini, senja merayap mengantar sepi.
“Sayang ya.” Kataku.
“Tak ada yang perlu disayangkan. Air adalah dunia dan hidup mereka. Siti, perempuan yang kaupandangi setiap petang itu, sudah jadi bagian dari habitat mereka. Seperti ikan, air tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Tapi tengoklah, air berwarna coklat kehitaman itu, rasanya tak layak disebut kehidupan! Itulah yang patut disayangkan.”

Dahiku berkerut. Bau air sungai bergetah di hidungku. Atan memang suka meracau. Aku lebih suka menerka-nerka arah pembicaraannya. Sejak pertama kali aku ketemu Atan sewaktu kuliah dulu, aku langsung akrab dengannya. Sampai-sampai bahasa Jakarta-ku terikut-ikut gaya Melayu. Aku kira, Atan adalah representasi sosok orang Melayu. Dia terlihat cerdas dan begitu khas.

“Tak hanya di sungai ini, mereka yang tinggal di daerah muara, kuala, selat, tanjung, dan teluk, merasakan nasib yang sama. Dan aku terlahir di sini, kawan. Aku tahu benar bagaimana rasanya menyelam di sungai keruh, tertelan air kotoran pabrik. Berlinang minyak rasanya, Wak.”

Di seberang, aku lihat anak-anak melompat, terjun ke sungai. Suaranya berdebum seperti batu kali yang jatuh dari bukit. Tawa mereka terngiang-riang. Selintas aku jadi teringat kolam renang di belakang rumahku yang berwarna biru, airnya jernih serupa kaca. Tawa kami, aku dan adik-adikku, tiba-tiba terngiang di telingaku. Hmm, tawa riang yang sama dalam dunia yang berbeda.

“Kalau kayu-kayu penyangga air sudah ditebang dengan serakah, beginilah jadinya.” Atan membuang puntung rokoknya ke sungai. “Air jadi dangkal. Setelah itu, ekosistem perairan pun terganggu. Habitat ikan dan biota habislah. Lenyap entah ke mana. Pukimak!”

Agaknya, aku harus mafhum. Bahwa makian adalah bahasa kekesalan yang buntu. Luapan yang tak menemukan tempat. Ia spontan. Melompat dari ketidaksadaran yang terpendam. Maka tak perlu ada pertanyaan atau jawaban.
Dan aku diam. Ada ratusan Siti membayang di kelopak ingatan.
***

Senja kedua, pada sebuah teluk yang tersuruk.
“Kalau sampai di Bandar ini, tak lengkap rasanya kalau tak singgah di kedai kopi.” Setiap kali kami menginjakkan kaki di ujung pelabuhan, Atan selalu mengucapkan kalimat ini.

Aku tak tahu, sejauhmana kopi telah merasuki hidup Atan. Tapi aku jadi ingat, di Jakarta minum kopi memang sedang jadi trend. Kedai kopi di sana disulap jadi kafe-kafe. Awalnya aku tak suka kopi, tapi suasana remang-remang kafe barangkali membuat kopi terasa lebih nikmat. Kafe, sebagai salah satu simbol kebudayaan baru, membawa tradisi “minum kopi” menjadi gaya hidup masyarakat kontemporer.

Makanya aku tak pernah menolak ajakan Atan untuk minum kopi. Meski bukan di kafe, tapi lama-lama kedai kopi di kampung Atan ini memberi nuansa yang lain. Jika kafe dibangun oleh kepentingan industri, maka kedai kopi di sini terasa seperti dibangun oleh kekuatan sejarah. Ada semacam ketuaan yang eksotis. Lihatlah, dinding-dinding papan coklat tua yang disusun tegak menjulang tinggi, dengan foto-foto keluarga berwarna hitam putih yang terbiar dilumuti sarang labah-labah, memberi kesan tentang masa lalu yang hidup. Ah, pengap asap rokok dan asap masakan yang menggenang ini, memaksa aku terpaku di atas kursi sebagai manusia renta yang abadi. Tapi apakah ada yang abadi di dunia ini, selain Tuhan?

“Bung, jangan macam-macam, Singapura dulu pernah jatuh hati dengan kampung aku ni. Maklumlah, zaman penjajahan dulu, pulau-pulau macam kampung aku ni apalagi yang nak diintip orang selain kekayaan alamnya. Beginilah, sampai sekarang pun pulau ini masih terus dikuras. Bayangkan saja, sekitar 60 persen produksi minyak bumi Indonesia yang mencapai 1,1 juta barel perhari itu disumbangkan oleh pulau ini. Sebenarnya aku tak kisah sangat, selama kehidupan masyarakatnya tetap diperhatikan. Kau tengoklah, macam mana nasib Siti dan masa depan budak-budak yang kemaren mandi di sungai tu!”

Seorang perempuan menghampiri, membawa dua gelas kecil kopi.
Aku memandang wajahnya tajam. Ia tersenyum, dan berlalu.
“Tan, bukankah ini Siti yang kemaren mandi di sungai itu?”
“Jangan mengigau, Wak. Di mata asingmu, perempuan-perempuan di sini memang berwajah serupa.”
Rasanya mataku tak salah lihat. Tapi Atan benar. Tak lama setelah itu, seorang perempuan lain yang muncul dari ruang yang lain pula, kembali membuat mataku terkicuh. Seperti tak percaya, tapi demikianlah kenyataannya. Mereka serupa, tapi tak sama.

“Sudahlah, mata lelaki di mana-mana selalu sama.” Atan menyeruput kopinya. “Tapi, kau tengoklah. Lelaki berpakaian seragam di kedai kopi ini. Banyaknya orang yang berseragam pegawai di negeri ini menunjukkan tingkat hidup masyarakatnya sudah mulai meningkat. Kau harus tahu, Wak, di sini menjadi pegawai negeri adalah obsesi semua orang. Nah, di lain hal, di negeri tempat aku lahir ini, orang sedang berebut duit. Tapi di lain hal lagi, yang tak pandai cari celah dan tetap apatis dengan dunia perpolitikan, ya terus saja terpinggirkan seperti Siti dan budak-budak yang mandi di sungai itu. Ya, begitulah, kapitalisme selalu memperjelas kesenjangan, Wak. Bedebah!”

Sembari mereguk kopi, kupandang sekeliling. Meski telingaku tetap terus mendengarkan ocehan Atan, tapi mataku terus liar mencuri-curi pandang pada Siti-Siti yang lalu-lalang mengantar minuman. Tiba-tiba pandangan terjerembab pada sosok lelaki paruh baya yang duduk di belakang meja kasir. Kulitnya putih. Matanya sipit. Cina?

Ya, aku ingat. Sebelum ke sini, Atan memang selalu bercerita tentang Cina keturunan yang sejak lama menghuni kampung ini. “Cina keturunan adalah sejarah yang lain,” kata Atan. Meski di hari yang lain, kerap juga aku mendengar Atan mengeluh, “Walaupun mereka telah menjadi bagian dari masyarakat di sini, tapi dominasi ekonomi masih di tangan mereka.”

Aku pun diam. Mereguk kopi terakhir. Burung-burung hitam terdengar riuh di ujung senja. Sekelebat bayangan menyelinap di kelopak ingatan; Siti-siti yang dirundung sepi.
***

Senja ketiga. Pada sebuah rumah panggung yang renta.
Memandang barisan pohon kelapa yang menjulang ke langit, waktu terasa berjarak. Aku seperti hidup dalam dunia daun-daun, dunia tumbuhan. Bau lembab rerumputan hijau yang merambati tanah gambut, kuhisap dalam-dalam. Ada kehidupan lain yang tiba-tiba bangkit dalam diriku. Kehidupan orang desa, yang jauh dari kota. Kehidupan yang dibangun dari kesederhanaan-kesederhanaan.

Dan Atan lahir di sini. Tapi di mana dia?
“Oi, jangan melamun, Wak. Nanti kesampok hantu bunian!” Suara Atan melengking dari belakang rumah. “Ke sinilah, kopi dah tersedia ni!”

Hantu Bunian? Atan memang pernah cerita kalau di kampungnya ini banyak hantunya. Tapi, bagi Atan hantu itu dianggap sebagai ikon kebudayaan timur, simbol bagi semangat jahat yang tak terlihat. Dan aku percaya, setiap kebudayaan memang dipenuhi simbol-simbol. Bahkan di Eropa pun, yang tingkat rasionalitasnya tinggi, hantu masih menempati sisi lain dari kehidupan manusianya.

Senja semakin kelam. Sesayup suara orang mengaji bersahutan dari surau-surau. Tak lama kami duduk sambil menikmati kopi di tengah rumah, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari bawah, “Assalamualaikum.”

Serentak kami menjawab, “Waalaikumussalam.”
Dari tengah pintu kulihat seorang perempuan berkebaya dengan kerudung melilit di wajahnya, berjalan menuju tempat kami bersila. Aku benar-benar terkejut. Bukankah perempuan ini juga yang kupandangi di sungai Siak senja yang lalu? Dan rasanya perempuan ini juga yang kujumpai di kedai kopi kemarin.

“Ini adek aku, Wak. Namanya Siti.”
Aku pun terdiam. Menyimpan ribuan pertanyaan dalam senja yang kian padam. Mereguk kopi terakhir dengan mata yang terpejam. “Ah, tiba-tiba kopi ini terasa pahit, tak bergula…”

Yogyakarta, April 2003

Kamis, 25 September 2008

BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I - XCIII

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=229


Istirahlah perempuan agung, sambut mentari esok lewat sedenyar fajar
dan tunjukkan wajah berserimu di hadapan cahaya (III: I).

Bila berjaga, dekaplah kantuk berselimutkan mesra,
akan tetapi lebih terpuji, mengupas berbathin ketenangan (III: II).

Sebab tatapan setia, sepenantian terbangunnya mimpi
selepas pulas mendengkur, atas tegukan anggur kelelahan (III: III).

Penjagaannya tanpa membuatmu serba salah,
dia tidak bodoh menciptakan cermburu,
atau terpenggal pengamatan was-was (III: IV).

Perhatian lembutnya tak sampai merobohkan
yang sedang kau bangun dalam genggaman (III: V).

Jika kekagumannya merepotkanmu, dia rela meninggalkan dirimu
sambil membawa sebuah arti-kata terima kasih (III: VI).

Kalau tentrammu oleh mekarnya payung sekalipun pergi jauh,
tudung itu meneduhkan di kala terik-hujan menimpa (III: VII).

Ia kejadiannya, sedang kau berkas-berkasnya,
ia peniup angin, sementara kau pelukisnya (III: VIII).

Asalnya waktu dari kesadaran usia
dan tidak manusiawi jikalau tak inginkan lebih (III: IX).

Takdir dirinya diperjodohkan, lalu masa berbeban jikalau dikenai denda,
seekor burung mengambili secarik-carik rumput, meringankan masa silam (III: X).

Kau mencari kegunaan sarang ruh selain tempat berteduh,
manakala buih di laut centang-perenang mencapai maknanya,
insan menarik hikmah kendali, belajar kepada alam berkali-kali (III: XI).

Kesempatan itu sepotong pengertian sekilas bayangan,
ulurankan tanganmu ke hadirat kekasih, yang tersampaikan
tak melukai sisi lain, atas segala manfaat nalar bertujuan (III: XII).

Ia tak sekadar bahan perbincangan, telah melewati ondakan penelitian,
kau cendekia menggali siratan, manakala hijab terungkap laksana para utusan
membawa cerlang berbeda, sekiranya mutiara berpahat seribu rupa (III: XIII).

Ia bukan golongan filsuf tulen atau kawanan penyair mapan,
namun sorot matanya jelas berdekatan, tariklah penafsiran darinya,
kau akan kenyang, atas kepribadianmu berdaya magnit (III: XIV).

Jadikan wengi berhias warna berpeluk melodi jiwa dalam percakapan renyah,
semua berlangsung ceria, yang melewati dinding bisu tak sabar menunggu (III: XV).

Jangan menunggu di saat sebagai waktumu,
masa-masa hilang bukan berarti tidak bersamamu, kau berbeban gelisa
membawa ingatan waspada, menjadikan kau sang ratu waktu (III: XVI).

Semenjak itu kau menyambut benderang kedatangannya,
damai tanpa memendam keganjilan, dan petuahnya mengendapkan sikapmu,
jikalau dalam gurauan pesta berangsur, menuju peraduan (III: XVII).

Terimalah kesunyian tak asing, masa menginginkan perhatian serupa,
adillah tersebab kau tahta di kerajaan tidak terhingga, dan kajilah berlahan
sebelum semuanya berlalu sia-sia oleh terlena (III: XVIII).

Ciptakan mimpi-mimpimu berasal kantuk lelah gerilya,
ia bagian terikat, keluar-masuk potongan masa yang terlipat;
lihatlah pekerja di sungai, menimbun pasir mencari bijian emas,
sesekali turunkan bebanmu agar harapan ringan terasa (III: XIX).

Yang sekian waktu berkeringat kepanasan akan baik di kala senja,
meski gerah bersenyumlah di gerbang istirah, ia gandul penunggu pintu (III: XX).

Sengaja berkirim surat tidak sekali itu hilang, berkali-kali insan mengeja
tetembangan ranum menenangkan bayi, yang tampak menderu tangis (III: XXI).

Ia jelajahi kemurnian letih, sekian masa ditinggal demi mencapai makna
persembahan atau pilihan manusia, ditentukan diyakini perjalanannya (III: XXII).

Ia memahami bahasa hempasan gelombang diayun layar bathinmu
membentangi suara kedalaman, berhias bintang berjajar awan (III: XXIII).

Masihkah ingat bintang mana yang kau pilih?
Lantas ia berlalu lenyap dalam gelap malam (III: XXIV).

Anggaplah ia datuk kepercayaanmu
walau dulunya kau membatin di setiap perjamuan (III: XXV).

Belajarlah kepenuhan, agar keraguan terlempar keluar
dari kebencian hukum cincin pernikahan sepenggal (III: XXVI).

Ia menelisik corak cemberutmu lalu memperoleh manisnya, dan merindu
tamparan kedua, ciptakanlah tamparan serupa agar saat bayar hutang tidak
berkeadaan bimbang, ia mencintai harapanmu akan keabadian (III: XXVII).

Telah sampai hasrat bertujuan kepada pipimu kemerahan,
ia membelai rambutmu lalu lekat lembut kulitnya-kulitmu
saat senja berbisik gerimis seusia dedaun bambu,
derai-derainya persembahkan menuju pembaringan (III: XXVIII).

Akrabkan kembali alunan tembang kenangan semilam,
ia meniupkan ruh kehidupan bagi beranjak ke gerbang abad,
bentangan kebiruan berkaki hijau, ditelusurinya jejak gembala (III: XXIX).

Ketersipuanmu menghuni celah-celah kamar beraroma mayang,
kehadiranmu belum cukup dimengerti kekasih jika tak yakin (III: XXX).

Jemari manisnya terlingkar janji menghitung waktu kian misteri,
sudahkah temukan tongkat pencapaian? Timur-barat pecah gelap-terang,
dengan kaki-kaki lincah melangkah meninggalkan firasat salah (III: XXXI).

Siapa menghantuimu? Apakah kau masih bersahabat?
Seiring gamelan terhenti, keheningan menguasai, kau terpejam
antara ganjil nan terus cari penentu dalam goa khalwat (III: XXXII).

Asalnya tanah kita berlangitkan malam benderang gemintang,
beling-bening-hening terjaga kumpulan padat batu, api awan rindu,
lalu gelombang angin mengitari gulungan waktu membeku (III: XXXIII).

Di mana palung karang naik menjebol bibir pasir pesisir,
lantas deraian gerimis memberi lobang ribuan pada logam (III: XXXIV).

Deretan lembut memasuki kodrat alam dari rengkuhan kata
yang rapat berbaris merambat ke pegunungan kelir wayang (III: XXXV).

Terciptanya bentukan mendasar membumi periuk kehidupan,
kelopak-kelopak kembang betebaran, sedang putik-putik petikkan dawai,
tercampur di kanvas semesta jiwa melewati telinga rindumu (III: XXXVI).

Wewarna lempung hati manusia, bergejolak mengikuti irama hujan,
lalu pulung berpindah dari telatahnya semula (III: XXXVII).

Yang mengendap matang menyusuri atmosfer besar,
telaga memantulkan cahaya kasih; kehendak hidup sepoi basah menabur pagi,
bergesek turun menyulami pegunungan purbani (III: XXXVIII).

Rumput ilalang berseri bunga mentari di ketinggian dada segar pemudi
melafalkan serat Centini yang dituliskan pandita sekti (III: XXXIX).

Kenyangkan menghirup perbendaharaan harum kembang
sebab insan tak mampu melukis purnanya keagungan,
menampung lagi mengalirkan anak-anak sungai kehidupan (III: XL).

Bangsa-bangsa asing yang bertambat di kepulauanmu
mendapati semak bakau kesegaran kicauan camar,
bersahutan laguan gelombang, mencipta cikal-bakalnya langgam (III: XLI).

Rindu jiwamu memuncak gemunung berlembaran kabut
merambati sapuan kuas sesayap kekupu mengepak pergi
memikat jemari tangan mata para peri (III: XLII).

Waktu awan menyungkup menjelajahi badan bengawan,
perahu kayu para penjala ikan mengapung kelelahan, sedang para petani
membajak tanah di ketinggian bukit, melihat lembah surga penanti (III: XLIII).

Kawanan bangau berbondong melewati malam kemarau
mencari tanah hujan bagi menetap dan setia (III: XLIV).

Burung-burung pemakan bebiji menaburkan benih
pada belahan semula kosong takdir,
inilah hikayat menundukkan ladang-ladang purbawi (III: XLV).

Perkawinan burung-burung menjaga benang lestari, jikalau sayapnya sakit
terawat kibasan dedaun pagi, dirinya sesekali berlompatan pada bebatuan kerikil,
di saat awan berganti-ganti mengarungi keabadian (III: XLVI).

Melewati jalan kecil, kekuncup mungil berjatuhan seiring dentingan hujan
kepada sulur tubuh rimba kebijakan (III: XLVII).

Merunduk pepadian berisi atas hawa lereng berkisah sejati,
tiada pernah lekang kurun masa dalam percintaan (III: XLVIII).

Segenggam semangat setia pada lengan tembaga pekerja,
mendayung perahu jaman ke matahari di setiap paginya menabur kehangatan,
ia setubuhi bulan setujui bumi dilanda malam (III: XLIX).

Kala musim kelabu tempaan hayat, berulang jiwa meninggikan kenangan
meminum air degan, senyawa perjuangan tidak berhenti bertarian abadi (III: L).

Ia menjejakkan sukma hitam merangsek daya tampan,
kala khotbah dikumandangkan berpuja-puji kekinian (III: LI).

Pada kedalaman gerak, sambaran petir ke pohon membelah gamang,
lalu bintang terjatuh dikecupnya tubuh sungai memanjang di bawah jembatan
yang dilahirkan fajar sedari rimba wengi paling menawan (III: LII).

Jika sepotong roti menyisakan untuk semut sedekahmu
bersinambung putaran terkira ke hulu, serupa mati suri
melewati padang marabahaya dihampiri (III: LIII).

Walau getir ikhlaslah terdampar merestui pengembaraan
atas terdengarnya tetembangan sejauh memikul tandu gerilya,
dan setiamu ditimbangan berkah rindu merdeka (III: LIV).

Di atas tandu ia berseru, apa kalian mencari tubuh-tubuh gentayangan di
bumi sakit? Mereka diam, saling menafaskan angkasa dihempas ke bumi (III: LV).

Menyedot wewarna-keharuman dari altar hening,
bergerak nasib penuh arti, serupa batuan retak di seratnya
oleh air mengalir melewati kelembutan menguatkan jiwa (III: LVI).

Bulan menawan setiap khusuknya mata ke langit terdukung,
inikah nyanyian dijanjikan? Di atas angin bukan melupakan bumi
dan di bawah malam berkeindahan pagi (III: LVII).

Hari siang memberi kematangan, air melepas rantai dahaga,
tanah menyatukan tekad udara bertempat masa, terus melangkah berseri
sedangkan hantu-hantu murung terpenjara ambisi kerdil sendiri (III: LVIII).

Padang tandus dipandangnya menawan, bilamana meraja mengisi jejiwa
sunyi bertembangan, yang terbentuk bernilaikan puji dilestarikan alam (III: LIX).

Sayup-sayup terdiam lenyap memasuki ruang temaram, sukma berbisik;
simaklah kedalaman, jangan perjelas degup jantungmu (III: LX).

Dengarlah nyanyian kalbumu berpukulan genta menenangkan telinga,
sedang pancaran fitroh akan melahirkan jiwamu (III: LXI).

Sapuan kain putih melambai lembut menyiratkan lelaku,
di atas turangga kepakannya menuju gunung kebajikan (III: LXII).

Kepurnaan tekat atas tudingannya, sedang perbedaan drajad
berasal bau keringat kembang perjuangan (III: LXIII).

Tuluslah menyetiai seperti nyawa kembang, tetangkai yang terputus
tampak tersenyum molek kelopak-kelopaknya (III: LXIV).

Perempuan-perempuan itu membawanya ke pasar bukanlah kekejian,
di letakkan karangan bunga itu pada makam raja-raja (III: LXV).

Kembang kering dalam keranjang menanti pembeli sedalam pengabdian,
sekar tercampakkan jemari, merana di kegelapan, pilunya menjelma mulia (III: LXVI).

Seiring panggilan seruling gembala menuntun perindu,
bunyi nyaringnya mengalungkan kalbu bernilaikan merdu,
pertapa merasakan aliran sungai puja-puji matahari
akan meneguhkan bathin berkiblat semesta abadi (III: LXVII).

Kaki-kaki melangkah mata memandang gunung berjajaran batang kabut,
dedaun hijau berperasaan dewasa,
membangunkan rumput menggoyang hening embun (III: LXVIII).

Melewati pepohonan menelusup ke kulit rerimbun,
carang bekas unggun semalam menyisahkan asap membumbung
mengisyaratkan puncak kangen seawan mengembang di ubun-ubun (III: LXIX).

Aroma bunga pada tanah pebukitan diguyur hujan ketinggian,
pekabutan sejuk melampaui kehangatan dan embun mencair
dalam muka senyum menggugurkan keraguan (III: LXX).

Rerumputan masa silam merambati cahaya keyakinan,
kelopakan padma terbuka, kekupu kembara lemas di tangan penanti,
dielus sayap tipisnya dan diciumi tubuh cantiknya (III: LXXI).

Kecupan di bibirnya melahirkan kejernihan fikiran,
sukma meranggeh hening yang didamba bulu lembut perhatian (III: LXXII).

Bau kembang melati wanginya ke sudut-sudut jaman, kuncupnya
sedari kurungan semesta, tatkala dada meledak di pusaran asmara (III: LXXIII).

Angin panggung menarikan dedaunan bambu berjemari lentik
pada lengkungan alis matamu menggayuh purnama (III: LXXIV).

Bila membuktikan gairah, merdekalah jiwa-jiwa terpenjara
sebab sketsa sebatas mata dan ruh tak tertangkap olehnya (III: LXXV).

Obor nurani menjilati uluhhati dan hasrat tumpah,
jikalau mengasah pedang dalam warangka hikmah (III: LXXVI).

Tapak kuda menebah kencang berlari kepada pasir pesisir memutih,
seterbangnya elang diterjang angin pantai menuju gugusan mengagumkan,
mengejawantah bebijian melekat di taman pengertian (III: LXXVII).

Cahaya mahatari memanggang hujan demi kelestarian, memudahkan tali
-temali kendali turangga sembrani, disentak ke tanah keabadian (III: LXXVIII).

Di taman pengetahuan kekasih, kita fahami aroma kembang,
tetangkai belia menyebarkan putik-putik ke pelosok desa sejati rasa
karena hasrat tertumpah digerakkan alam sekitarnya (III: LXXIX).

Taman bunga kata-kata mengikuti angin kalimat memuara,
sedang bebatuan mulia hanyut ke dasarnya (III: LXXX).

Ikan-ikan di telaga berpandangan tanpa hempasan bimbang, andai pun ada
dedahan patah terjatuh, hanya pusaran kecil beda pendapat lemparan (III: LXXXI).

Lihatlah sejauh mana lingkaran ombak saling bertemu,
bercumbu sedalam ikatan setuju putaran waktu (III: LXXXII).

Matahari memperindah bulan sabit menyetiai wewaktu
mengisi rindu melewati perbincangan membisu (III: LXXXIII).

Kelahiran kasih sayang sakit atas perut ketabahan,
berbuncang guyup kesadaran (III: LXXXIV).

Hari-hari atas percikan air dan api, udara juga tanah-hati,
serta yang tak tertangkap indrawi (III: LXXXV).

Gerak di bawah sadar ketaklumrahan terjangkau realita,
inikah senggolan nasib manusia? Kesadaran tak mencapai mutlak! (III: LXXXVI).

Apalah hebat mengundat, mencampur aduk perkara, sebab kau kehausan,
timbalah sumbur berkah, dan gerimis mempercepat nafas doa (III: LXXXVII).

Menuju awan membumbung merayu batinmu kayungyung
segala uap membebaskan bayangan menghilangkan cinta bentuk
pula suara-suara penolakan (III: LXXXVIII).

Awan-gemawan terkikis gerimis, sekilat itu doa-doa ditimbang,
ruh hayat gentayangan menelusuri dedaun waktu ke pucuk-pucuk semesta rindu
abu tertimbun tungku, matilah bara oleh gelembung air nafas bayu (III: LXXXIX).

Tunggulah terhempas di bebatuan rela,
dentingan air ketabahan memadukan nada di tepian jiwa (III: XC).

Alam atas sadar itu tarikan benang layang-layang, sedangkan terlalu memberat
di bawah kesadaran, dan di antara keduanya, kelanggengan irama terjaga (III: XCI).

Kuda tersengat kulitnya bersemangat diarahkan larinya kepada bayu nurani,
dulu terdorong,
namun kini kemuliaan fungsikan tali-temali, demi laju masa depan nanti (III: XCII).

Sedang kecenderungan melamun itu sederet keindahan
yang melahirkan senyum tanpa mengetahui muasal-jawaban (III: XCIII).

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Minggu, 21 September 2008

Balada Bronjong

RPA. Suryanto Sastroatmodjo

(1)
Seakan peta tua lepas dari pigura
begitu para anakmuda singgah dalam ziarah
Adakah sebuah balairung pengadilan
yang memulung ragu jiwa dan menghentaknya?
Asalkan diri bukan tersisih
asalkan bukan sebagai si Pahit Lidah
hanya meludahi pawang seribu
bakal mengantar sesosok pawang berderu



(2)
Bronjong seperti pajangan hayat
dan dari bianglala sana, Gusti
tertangkap oleh lipatan setangan
aduhai, pantai keramakhmanan, paduka
Lalu kabut menghalang lesu
pada kabar kawalan umur
pertanda justa pula yang dilembur!



(3)
Namun sebilik gubuk-gubuk duka
kau menggembalakan dukacita
Terkadang harus ada yang ditembangkan
pabila malam gading hadir sejangkah
Irama apa yang dideru gelisah, buyung
bronjong-bronjong bendungan lantung
niscaya kasih kesaksian satu
pada senda hari nan memuput



(4)
Mari, hidupkan pelitamu lagi
jikalau perjalanan menigas musibah, konon
tertukik dari laras senapang, tinggal sebendul lakon
Bagai kurungan dengan penghuni: serangkum
melagukan ketuk-ketuk duniawi
Barangkali ada yang diacungkan tibatiba
kalau si pungguk merobek bendungan
lantas masuk ke bronjong nan tersamar!

Ombak

Jurnal Nasional, 14 Sep 2008
Arie MP Tamba

Ombak itulah yang membangunkan aku lagi padamu:
rambutmu masih hijau meskipun musim berangkat coklat.
Kujahit lagi robekan-robekan tahun pada gelisahku
dan darahmu kembali mengatakan yang ingin diucapkan jantung.

Dulu angin musim panaslah yang mendudukkan aku di sampingmu
dan atas ranjangmu ia tambatkan desirnya memeluk tidurmu.
Kau pun terima aku seperti pohon menerima benalu
dan aku mengikutimu seperti mata batu mengikuti suara di udara.

Garam adalah garam. Ia bisa lebur dalam air
tapi tak dapat lenyap atau dilenyapkan. Dari jauh
kupinjam mulutmu buat meneguk gelas-gelas kosong waktu
dan memberi jalan pada pagi hari lain yang tak mungkin datang.

(Abdul Hadi WM, Tergantung pada Angin, 1977)


Kritikus sastra asal Belanda, A Teeuw (1980) secara khusus memilih sajak Ombak Itulah untuk menjelaskan "kepenyairan" Abdul Hadi WM di antara para penyair penting Indonesia lainnya. Ia menyebutkan, Abdul Hadi adalah seorang penyair imajis Indonesia, yang terus-menerus melakukan pengayaan makna dengan berbagai bentukan metafora atau kiasan baru dan segar, yang diusakahan lolos dari pemaknaan keseharian.

Pada puisi Ombak Itulah di atas, misalnya, Teeuw mencatat penggunaan kiasan: rambut hijau, musim coklat; robekan-robekan tahun yang dijahit pada gelisahnya: angin musim panaslah, yang menambatkan desirnya memeluk tidurmu, adalah ungkapan-ungkapan personal penyair untuk memperlihatkan suasana kenangan dan peristiwa pertemuan yang terus berlangsung secara khusuk dengan "kau" yang dibayangkan.

Relasi aku-kau begitu dominan pada puisi Abdul Hadi ini. Dari membangunkan aku lagi padamu pada baris pertama sampai kupinjam mulutmu dalam bait terakhir jelaslah bahwa si kau begitu esensial bagi si aku. Dari berbagai pilihan kata simbolik yang digunakan si penyair, relasi aku-kau juga berindikasikan relasi percintaan yang posesif: rambutmu, darahmu, ranjangmu, tidurmu, mulutmu, sampingmu...

Dari keseluruhan bait puisi juga tercermin, bagaimana si aku begitu bergantung pada si kau, seperti dengan begitu jelas disarankan pada bait 7-8: Kau pun terima aku seperti pohon menerima benalu: si aku adalah parasit yang hanya mendapatkan kehidupan dari kebergantungannya pada kehidupan lain. Atau dengan penyampaian penuh saran: aku mengikutimu seperti mata batu mengikuti suara di udara.

Si aku lirik dalam Ombak Itulah, pasti akan esensi kehidupannya yang hanya mendapatkan pemaknaan dari adanya kehidupan lain. Ia seolah tak memiliki arti apa-apa tanpa keberadaan "induk" atau "kekasih" pemaknaan, yang jadi sangkutan maknanya. Meskipun keberadaan si kau, kekasih, atau induk pemaknaan itu, ada kalanya begitu abstrak dan hanya dapat dipahami melalui hubungan simbolik seperti antara batu dan suara di udara di atas.

Tak pelak lagi, puisi Ombak Itulah bukan sekadar karya psikologis-fisis-artistik biasa, melainkan serangkaian diksi yang disusun sebagai penopang keyakinan tertentu atau bahkan rekaman dari pengalaman religius yang sedang merasuki si penyair. Kau, kekasih, dihadirkan sebagai penggambaran keakraban dengan sebuah dunia transendental, atau atas pengalaman metafisis.

Dan mengidentitaskan Tuhan sebagai kekasih, bukanlah sesuatu yang aneh dalam tradisi puisi, terutama puisi sufistik Timur atau Barat. Dalam puisi Abdul Hadi, kesejajaran aku-kau ini juga berada dalam bingkai pemahaman sufistik yang sama. Posisi yang melihat relasi aku-kau, dalam tataran universal, seperti pernah dikiaskan secara cemerlang melalui puisi Jalaluddin Rumi yang terkenal:

Apa yang harus kulakukan Oh Muslim, sebab daku tak kenal diriku?
Aku bukan Nasrani, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan pula Muslim.
Aku tidak dari Timur, tidak dari Barat, tidak dari darat atau lautan
Aku tidak dicipta dari tanah, tidak dari air, udara atau api
Aku tidak berasal dari putaran cakrawala, tidak dari pusaran debu, tidak pula dari keberadaan dan wujud
Aku tidak bersal dari India, Cina, Bulgar ataupun Saqsin
Tidak dari kerajaan Iraq, Qum atau Khurasan
Aku tidak berasal dari dunia ini atau dunia yang akan datang, tidak dari surga atau neraka
Tidak dari Adam atau Hawa, tidak dari taman Firdaus atau kediaman Ridwan
Asalku bukan tubuh dan jiwa, sebab aku sepenuhnya milik jiwa Kekasih (Abdul Hadi WM, 2004)

Sabtu, 20 September 2008

REVOLUSI SUNYI SANG PENYAIR; IQBAL

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=70


Ah, betapa gembira mereka yang hendak memuja apiku!
Tapi aku tak menghendaki telinga zaman sekarang
Akulah suara penyair dari dunia masa depan
Karena zamanku tak pernah memahami maksudku (Iqbal, Rahasia Pribadi).

Di sana, saya melihat betapa malang seorang penyair yang seolah gagal menyuarakan hati nuraninya, dalam kancah usianya mereguk masa melahirkan karya-karya. Sejenis keputusasaan yang menyimpan harapan, entah mimpi bolong atau bergelayutnya awan yang enggan menurunkan hujan. Kala kehidupan membutuhkan seteguk tirta pengusir dahaga di tengah kembaranya.

Tampak jelas penyair itu takkan bisa merangkai kata-kata, memuntahkan isi jiwanya ke dalam lelembaran karya, selain setelah menyetubuhi pengalaman hayatnya. Kesendirianya bukan kedahagaan tanpa guna, serupa pengharapan yang ngambang. Namun sungguh perjuangan itu melahirkannya, meski nampak tidak seberapa, ketika dirinya masih menghirup udara -nyawa.

Sang penyair menuangkan kata-kata, melewati pertimbangan daya simpan, demi masa-masa mendatang –terpenting, sebab takkan sampai hatam waktu memaknai hasratnya. Karena itulah kegagalan masa hidup, kesunyian di saat menjalani kesehariannya, bukanlah tanpa alasan tidak bermakna paripurna. Tetapi ini jalan yang harus ditempuh, kalau menginginkan keabadian kisah hayatnya dikenang sepanjang masa, sejauh kalimah-kalimahnya menyungguhi keyakinan juang.

Sedang yang datang hendak mengenyamnya, mengunyah usianya demi deretan kalimah nilai-nilai kelestarian yang dibangunnya. Seakan embun selalu menghiasi mata fajar, begitu dalam kalbu insan, saat-saat meneguk nuansa nilai yang dihadirkan penyair di setiap malam-malamnya, yang penuh permenungan.

Pada jamannya, melihat sosok penyair laiknya gelandangan tanpa kerjaan, selintas tiada manfaat dirinya, apalagi bagi umat. Namun tidakkah makna jatuh di akhir kalimah, pucuk peristiwa. Dan perasaan itu menghidupkan kalimatnya, hadir lebih nyata, manakala sudah tidak terbebani jasad fana.

Seorang penyair laksana prajurit yang selalu melatih ketangkasan bathin, ketika waktu memanggilnya, ia hadir dengan penuh kesiapaan, mengejawantah jiwanya serupa kalimah tunggal, yang menggerahkan dirinya demi selalu dibahas dikemudian. Ini manfaat, lebih dari sebuah realitas kerja, sebab sudah menjelma energi pergerakan. Ketika kalimah-kalimah yang diutarakan penyair berlesatan, datanglah ruh penunggu kalimah itu seperti bara menyimpan api, sekali tiup menyalakan percik perjuangan.

Siapa yang mampu memahami maksudnya? Sang penyair itu mengutarakan yang terpendam di kala masih bernafas dalam usia ruang-waktu yang sedang dikenyam. Hasratnya sungguh bertubi-tubi melesat tanpa bayangan. Tidakkah kita sadar, mata panah tidak memiliki telinga, tetapi yang mendesing di teling. Matanya melesat ke masa depan, yakni sasaran yang dituju. Dan jarak tempuh yang terlaksana itu dari himpunan nafas-nafas yang disetiai, dirawat melewati nalar merasai. Sehingga dalam lipatan gerak merupakan kesadaran murni, ini lebih jauh dari parade kesadaran, laksana lecutan kilat menghujam, secepat cahaya menembus rambatan udara penciptaan.

Hanya dalam dada penyair
Keindahan dan selubung tabir akan terbuka
(Iqbal, Pesan Bagi Para sastrawan Islam).

Sentakan hebat dari keindahan, berasal dari kelembutan perasaan yang membuka tabir, menyembulkan segala rahasia hayat ke permukaan yang mengagumkan. Kekaguman terbagi dua; yang membawa mati sebuah hasrat sebab tersedot atas apa yang dikagumi. Dan kedua; kekaguman yang semakin meningkatkan suatu kerja, memaknai dengan perasaan wah, yang hadir dengan sendiri sebagaimana kebenaran tanpa suara. Dan saya menempatkan keindahan itu hadir dari sebuah kesunyian pribadi, seperti sapaan dari seorang yang belum kita kenal akrab, dimana tenggang-rasa menempati posisinya sebagi kerahasiaan rasa.

Lewat kelembutan perasaan inilah tabir mulai terbuka, menerobor melewati sela-sela jeruji penjara kesunyian penyair. Iqbal pun berkata dalam lembaran lain, “Gairah penciptaan dia curi dari ruhmu.” Di sini, ia menempati nilai-nilai kehidupannya, semisal makna mendatang. Wajah yang disapa kali ini menemui raut yang sama di lain tempat-waktu perjamuan.

Namun tidakkah perwakilan dari karakter itu lahan di mana penyair mengambil gairah. Bebuah penelitian dari kedekatan yang mengundang ribuan tanya kesunyian. Dan kecurigaan yang tampak itu suatu waktu berbalik menjadi keyakinan, ketika masa-masa ditinggalkan. Sebab manusia takkan mampu berdiam diri tanpa angin sapaan. Maka meski kecurigaan hadir, rindu tetap timbul, kala benar-benar dalam kedamaian, yakni berkah waktu melewati periodenya. Ini kehawatiran yang menghadirkan rindu sebab perasaan ingin diperturutkan. Padahal makna rindu dan hawatir masih remang akan cahaya kepastian, letak masa meminta jatah dimaknai sebagai tempat bekerja.

Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya kantuk maut dari mata
(Iqbal, Pengingkaran Terhadap Pribadi).

Meskipun bagaimana, ketidakpedulian mereka terhadap kesunyian, rumput tetap hidup dan mereka tak bisa membedakan makna rumput yang berdiri tegak dengan yang ambruk sebab langkah sepatu. Yang jelas kita dapat memetiknya, ia terus hidup takkan punah meski banjir ketidak percayaan atau kemarau penguasa menghabiskan, di suatu waktu tentu berbalik penuh dengan kesegaran jiwa merdeka. Sungguh rerumputan menyungguhi hidupnya, telah siap tidak berdaya mengayomi manusia, namun hewan-gembawa sangat membutuhkannya.

Inilah kekayaan jiwa terambil lewat membungkukkan dirinya, demi mengunyah kesunyian dan makhluk penjaga kantuk atau rerumputan sunyi itu senantiasa tegak di malam segar. Dan angin membisikkan kidungan permai pada telinga wengi, sedangkan manusia takkan mendengarkan nyanyian itu, selain yang mampu membuka tabir seperti merunduknya rerumputan menghadiahkan embun. Embun yang hadir di mata kantuk adalah penjaga kalbu yang tiada wasangka lepas dari kesadaran daun-daun, sampai lidah mentari menghisapnya kembali.

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karenggeneng, Lamongan, JaTim.

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar