Teguh Winarsho A.S.
RAMADAN selalu membuat kampung kami bergairah. Orang-orang seperti berlomba memperbanyak ibadah. Bahkan, banyak di antara mereka yang sebelumnya tak pernah datang ke masjid, tiba-tiba di Bulan Ramadan ini rajin ke masjid. Tapi sayang, Ayah, laki-laki tua yang suka mendengus dan meludah, tetap tidak berubah. Setiap malam Ayah masih suka begadang di gardu ronda dekat pasar, sibuk memelototi kartu ceki dan sedikit minum alkohol; mabuk. Pulang jam lima pagi dengan langkah gontai dan mata merah, berpapasan dengan orang-orang yang baru pulang dari masjid.
Kami, anak-anaknya, sebenarnya malu melihat tingkah laku Ayah. Tapi kami tak berani memperingatkannya. Kecuali kami siap mendapat tamparan di pipi atau tendangan di pantat. Dan begitulah, kami, aku dan kedua adikku, tumbuh sebagai anak-anak yang terkesan pendiam dan patuh pada orang tua. Meski kepatuhan kami terutama pada Ayah karena terpaksa. Tapi, itu tidak masalah. Karena bagi kami, yang terpenting adalah menghindari tamparan dan caci maki Ayah yang sering mengundang perhatian tetangga kanan kiri. Dan itu artinya kami tidak menyakiti perasaan Ibu. Sebab, di antara kami, Ibulah yang paling banyak menanggung malu jika Ayah marah-marah sampai mengeluarkan kata-kata kasar dan jorok.
Ibu adalah kesejukan embun di pagi hari. Tatapan matanya menentramkan hati kami. Menyegarkan kekeringan jiwa kami. Ibu laksana batu karang yang berdiri kokoh di tengah empasan gelombang. Ibu tak pernah marah meski perlakuan Ayah demikian menyakitkan. Ibu tertunduk diam, dan paling-paling hanya menangis sesenggukan ketika Ayah memarahi, membentak-bentak, bahkan menamparnya. Mungkin bagi Ibu, kepatuhan pada suami merupakan nilai ibadah tersendiri. Entahlah.
Sayang, orang yang sangat kami sayangi itu lebih cepat pulang ke pangkuan-Nya. Ramadan tahun lalu, Ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya ketika sesungguhnya kami masih sangat membutuhkan kehadirannya. Dan mungkin itulah awal petaka yang menimpa keluarga kami. Ayah semakin jarang berada di rumah. Selain menghambur-hamburkan uang di meja judi, Ayah juga mulai berani main perempuan. Bahkan, beberapa kali Ayah sempat membawa perempuan menginap di rumah. Kami sangat tersiksa melihat kelakuan Ayah. Tetangga kanan kiri sepertinya juga jijik melihat keluarga kami.
Sedikit demi sedikit perabotan rumah tangga dijual Ayah. Kami tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menatap hampa ketika Ayah dan beberapa temannya datang dengan membawa truk lalu mengangkut meja, kursi, almari, dan barang-barang berharga lain. Seorang teman Ayah bilang pada saya, bahwa Ayah kalah judi jutaan rupiah sehingga barang-barang tersebut harus disita.
Dulu saya mengira Ayah akan berubah menjadi baik sepeninggalnya Ibu. Saya masih ingat bagaimana pesan terakhir Ibu pada Ayah, hanya beberapa menit sebelum ajal menjemput. Ketika itu, kami anak-anaknya dan juga Ayah ada di samping Ibu yang terbaring lemah di atas ranjang. Dengan terputus-putus Ibu bilang pada Ayah, agar mau menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Ayah diam tak berkutik. Dan baru kali itu saya lihat Ayah yang biasanya garang dan angker mendadak berubah lembut. Sorot matanya redup seperti menyiratkan kesedihan dan penyesalan.
Ternyata kesedihan Ayah tak berlangsung lama. Hanya tiga minggu setelah Lebaran, Ayah mulai pada kebiasaan lamanya. Bahkan semakin bertambah parah.**
TAK tahan mendengar gunjingan tetangga kanan kiri, saya memberanikan diri mengingatkan Ayah agar mau melaksanakan pesan terakhir Ibu, setidaknya bersikap baik di Bulan Ramadan ini. Tapi Ayah justru tertawa, katanya, "Kamu pikir kalau aku puasa lantas kita akan jadi kaya, heh? Kamu rajin puasa, bahkan puasa Senin-Kamis, tapi apa Tuhan terus ngasih duit sama kamu? Kamu masih tetap miskin. Sudahlah, aku nggak mau ngomong lagi soal itu. Aku mau puasa atau tidak, itu urusanku sendiri. Kamu tidak perlu ikut campur!"
Lain kali pernah juga saya bilang pada Ayah bahwa puasa itu tujuannya bukan untuk mencari rezeki, bukan agar bisa kaya raya, tapi semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah karena dengan begitu akan terhindar dari perbuatan tidak terpuji. Tapi Ayah justru marah-marah. Sambil menggebrak meja, Ayah bilang, "Anak kemarin sore, tahu apa kamu tentang hidup! Hidup itu makan. Dan makan itu perlu duit!"
Sejak itu saya tak pernah bercakap-cakap dengan Ayah. Saya benar-benar muak melihat kelakuannya. Apalagi kalau dia membawa perempuan yang entah dari mana asalnya menginap beberapa hari di rumah. Meski kami masih sering bertatap muka, tapi kami sudah seperti orang asing saja. Dan saya juga tahu ada sorot kebencian di mata Ayah ketika sedang menatap saya. Tapi saya tak acuh, cuek.
Berbeda dengan saya, kepada dua orang adik saya, Ayah bersikap biasa-biasa saja. Apalagi kepada Fiz adik bungsu. Saya sering melihat mereka bertiga asyik ngobrol di teras rumah. Saya tidak tahu dan memang tidak ingin mencari tahu apa yang sedang mereka obrolkan. Karena tiba-tiba saya juga benci pada dua orang adik saya itu. Di mata saya, Fiz dan Burhan yang lugu, polos, dan masih bersih itu, telah berkomplot dengan Ayah. Berkomplot dengan segala kebejatan moral Ayah. Saya benci mereka!
Jadilah saya tak punya orang dekat lagi di rumah.**
SUATU pagi, saat pulang kerja lembur, saya terkejut mendapati suasana rumah yang lain dari biasanya. Dari pintu depan tiba-tiba Faiz berlari menyongsong saya dan sambil terisak-isak ia bilang bahwa Ayah meninggal dunia. Saya tidak tahu apa yang sesungguhnya ada dalam benak saya, sebab sedikit pun saya tidak terkejut mendengar kabar itu. Saya juga tidak merasa sedih kehilangan Ayah. Biasa-biasa saja seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Saya kemudian masuk ke dalam rumah. Tapi sepi. Tidak seperti layaknya kalau ada kematian. Hanya ada beberapa tetangga dan teman-teman dekat Ayah yang sering mangkal di gardu ronda. Saya maklum, orang-orang tentu banyak yang tidak menyukai Ayah. Karenanya wajar jika ketika meninggal pun mereka enggan datang ke rumah kami.
Jenazah Ayah sudah dimasukkan ke dalam peti. Sedikit pun saya tak ingin melihatnya. "Untuk apa?" jawab saya enteng, sekenanya, yang langsung disambut tatapan aneh beberapa orang di sekitar saya.
Dan entah, tiba-tiba saya merasakan ada seseorang merenggut lengan saya, kuat, ditarik masuk ke dalam kamar.
"Huss! Jangan bikin malu! Ayahmu tertabrak truk ketika sedang menyeberang jalan, mau salat Subuh! Dua hari sebelumnya Ayahmu bilang padaku kalau dirinya sudah tobat!" ucap Haji Biran sampai di dalam kamar.
Salat Subuh? tanya saya dalam hati, kaget, tak percaya. Sementara Haji Biran keluar meninggalkan saya, saya masih terpaku di tempat. Saya bingung, gelisah, sedih, kecewa, dan entah apalagi perasaan yang menyesak dalam benak saya.
Sampai tiba upacara pemberangkatan jenazah, rumah saya masih sepi. Yang hadir hanya itu-itu saja, tidak lebih enam belas orang. Itu pun lebih banyak bekas teman-teman main judi Ayah. Wajah mereka tampak sedih. Entah kesedihan yang bagaimana. Tapi, saya masih sempat mendengar bisik-bisik di antara mereka, "Untuk menghormati Wongso, si mati, tak ada salahnya nanti malam ketika orang-orang tarawih di masjid, kita main kartu di sini!" "Ide bagus!"
Yang lain mengangguk-angguk.
Sumber : Pikiran Rakyat Online
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 31 Agustus 2008
Sabtu, 30 Agustus 2008
Puputan Walanda Tack
Fahrudin Nasrulloh
diambil dari Suara Merdeka 24, 08, 2008
TAK disangkal cerita ini terus berseliweran bergeliut sawang tak terkuburkan. Menjelma roh cenayang pencilakan berkabut sengir yang menyelimuti para penggila kronik Kompeni-Keraton Jawa. Ya, pada siang jahanam 8 Februari 1686 di Carta Seora, Kapten Tack dibantai Surapati dan gerombolannya, sehingga Kompeni me-marabi mereka, ”Bandit-bandit berlidah anjing pengumbar darah”. Ini menjadi semacam pagebluk yang menguar nyasar ke mana-mana, melesat deras melebihi dencingan anak panah. Terus bergentayangan dalam sekian wiracarita dan perbantahan para tukang cerita VOC.
Sandiwara Amuk Tergila
Seratan Zan Marstel dalam Puputan Walanda Tack akan menuntun jalan cerita ini: Di gang-gang sekisar kraton; berpusing-pusinganlah Kapten Letnan Greving, Letnan Vonck, dan Letnan Eygel. Bersiaga ketat pun tetaplah liwung batin dan pikiran bule-bule itu. Sebelumnya, Greving terus dibayang-bayangi mimpi terkutuknya. ”Laknat culas orang-orang Jawa ini!” semburnya sambil mengelus-elus gagang pistolnya.
Saat sepagi tadi, tatkala menjemput Tack di jembatan Banyudana, mimpi itu masih saja mengulik benaknya, terasa begitu terang menyergap mripatnya yang cerlang diterpa pijar angkasa. Dengan serak lirih ia melapor, ”Maaf, Surapati lolos, Kapten.”
”Memang Sunan dungu itu tak becus mengatasi anjing gendeng itu. Huch, cuhz!!”
Dan Sindureja utusan Amangkurat II yang menyertai Tack itu, tiada siapa tahu menyelinap pergi dari tempat itu bak ditelan bumi.
Cerita terus merayap menggeremat. O, Roh Kudus, selamatkan kami dari ingatan linglung di kesiur senyap. Juga cakap nglantur melayap-layap. Tack berbisik pada Van Vliet dan Van der Meer, ”Ada hubungan rahasia apa antara Surapati dengan Sri Sunan? Orang-orang licin, pembuat onar, dan aneh. Ah, aku rasa aku mencium bau darahku sendiri. Ganjil ini!”
Van Vliet menoleh. Diam. Menatap sayu jarannya Tack. ”Yang satu serigala alas. Satunya katak kembung yang dikelilingi ular blantotan macan. Kita harus berhati-hati, Kapten! Soal darah, tiap hari kita ini mimpi diguyur darah, bukan!” tukas Van der Meer.
Ahualah, lukisan apa pula yang terboreh di sekujur para prajurit bayaran yang dipasok dari Makassar, Sumenep, dan Bali di bawah perintah Wangsanata, Mangkuyuda, dan Singabarong. Siapa pun mereka, menus-menus berjubah putih dan hitam, berudeng mlipir lancip dengan wajah kecut campur cengar-cengir tapi sekilas memancarkan aroma beku-tawar. Pesona raut yang tak mencerminkan berpihak pada siapa-siapa. Apalah yang dapat disangkakan, mereka ini berpihak pada siapa? Siapa membayar siapa? Siapa dibayar siapa? Hawa hasutan di sana-sini terasa mencangkul pikiran dan hati. Sungguh lacur dibayangkan. Hanya orang yang nyawanya terkucuri getih Kristus yang bisa melihat selubung keberpihakan mereka. Namun riwayat tersebar mencacat mereka-mereka ini berada di pihak Sri Sunan. Tapi apa yang terjadi kemudian, teracunilah si penyimak yang tak pernah terjerumus dalam muslihat riwayat bernanah ini.
Pantaslah ditimbang-timbang. Ditelusur-teliti ulang. Diluruskan kembali dengan cermat-seksama perkara laporan-laporan yang amat membingungkan dari Letnan Anthonie Eygel. Orang ini serdadu payah, kerap mabuk, ingatannya diragukan. Memang ia satu-satunya perwira Belanda yang melarikan diri dari pembantaian di alun-alun itu, setelah disergap keterkejutan akan serdadu-serdadunya yang morat-marit meninggalkan senjata-senjata dan panji-panji. Kita tak ingin wiracarita ini kelak jadi reremah cermin pecah, bukan? Lihat pula rincian korban versi Eygel; serdadu Kompeni tewas: 79. Luka-luka ringan: 29. Luka-luka berat: 41. Prajurit Sri Sunan: 95 (cukuplah semerawut kebenaran angka ini. Sebagian dari mereka adalah orang-orang Bali, Mataram, dan Pasuruan yang bersekongkol dengan Surapati. Juga pendekar bayaran Kompeni, dan sisanya prajurit Sri Sunan sendiri. Siapa satu per satu memihak siapa tiada tahu). Keterangan ini rancu? Eygel tak kunjung memecahkan misteri siapa saja yang berkomplot dengan siapa. Tapi Eygel cuma penulis laporan ecek-ecek. Malangnya, seluruh laporannya dijadikan dokumen penting bagi VOC. Konyol dan amburadul.
Situasi berkabut kekalapan itu alangkah pelik diblejeti. Eygel juga tak memberitakan kekejaman begundal-begundal Surapati seperti Suradenta, Suragenta, Cakrapati dan Barongpati. Tak jeli bahwa empat segawon rimba tersohor ini bengisnya minta ampun. Pengalaman mereka bersabung-tarung dalam laga rampokan macan tak diragukan lagi. Ia luput mencatat peristiwa ini, saat kebiadaban mereka mengoyak-ngoyak mayat Tack yang ditemukan tersungkur tragis dengan 21 luka mengerikan: 5 bacokan parang (2 di pelipis kiri-kanan, 1 di tengkuk, 1 di punggung, dan 1 di tempurung kepala). 1 hujaman kapak di lengan kanan, nyaris putus. 2 tusukan keris di jantung dan lambung. 7 tancapan anak panah yang bersarang di jidat dan hampir di sekujur tubuh. 3 sabetan celurit di paha kiri, dada, dan mulut. 1 sabetan golok di pantat, kotorannya berceceran. 1 tetakan trisula di tangkurnya. 2 gempuran rantai besi di wajah dan pundak kiri. 1 cocoran tombak di mata kanan. Barangkali bukan hanya mereka yang melakukan penistaan ini. Orang-orang Kompeni selalu tergelincir dibayang-bayangi aib mereka sendiri. Betapa tidak, kehormatan pasukan Kompeni harus dijaga, lebih-lebih semisal demi seorang jendral, sebagaimana Jendral Coen atau Si Pitekun atau Si Mur Jangkung yang tewas (atau mati karena sakit?) hanya oleh seorang tamtama Mataram pada 1629 di palagan Batavia.
Dua Kelana Kisah Bertabir Mala
Tampaknya siapa pun yang binasa di Carta Seora kala itu, arwahnya akan senantiasa menyusup dalam puspa wiracarita pada masa mendatang, dari yang terterang sampai yang tersamar. Menjelma jejanin cerita yang berlayapan mengerubung ingatan dan membangkitkan syakwasangka. Dan Ki Brajandalagati memborehkan riwayat tersendiri dalam anggitannya yang berjuluk Sesuluk Surapati. Serat ini, sebelum berkisah dengan pejal dan alot, dibabah dengan sepenggal kidungan:
Sura lelana ing segarani pati
Ageming aji moncering lati
La ilaha byar pet sirna jagat
Illallah byar lhap nggulung wahdat
Getih mili nyurup ing Gusti
Wa ma almautu illa bissyaifi au bighairihi
Bebulu di tengkuk sesengkringan, aliran dedarah bergelegakan. Urat-urat tenggorokan sendut-sendutan. Wajah terpanggang hawa merah, kayak disembur-semburkan geni. Yang menerjang, menyepak, menjegal, menggilas, membacok, meletuskan senapan dan bedil, menikam, menggigit dan menghujami dengan tombak, menusuk, menggejrot kepala yang berkelejat-kelejat sekaratul maut: siapa bercampuh lawan siapa, tak penting lagi serdadu siapa. Lebih cepat darah tersimbah lebih baik. Disebabkan serdadu brengsek macam ini, lama dipasti setamsil kecoa digilas ratusan sepatu besi. Kongkalikong! Asu-lah mereka berbuntut buntung. Mati pun, tak sesiapa menangguk untung.
Apa yang mengawang-awang, yang berliuk-liukan di masjid keraton. Menyala-nyalalah lebat api bebakaran. Mampus ditebus mampus. Ajal dibayar ajal. Popor dipatahkan. Panji-panji disuwek diludahi. Pedang dibengkungkan. Tumbak dicuklekkan. Lihat pula bebangkai serdadu Tack: Letnan Greving dan Sersan Samuel Maurits: rubuh diinjak-injak ternistakan. Arwah mereka berjengkelitan menjerit-jerit diperebutkan malaikat buta dan iblis pincang. Juga 25 pengawal mereka bermandi darah di undakan teras kraton. Menyaksikan itu; gemuruh tubuh Eygel, Vonck, dan Van der Meer bak dikencingi demit gundul dan gendruwo, gatal-panas audzubillah, sebelum Tack nongol dan mripatnya bak tercomplong carang lantas memancarkan cahaya beringas kesumat. Munclak-munclaklah ia. Tapi pancen ia serdadu sejati, tak mlungker nyali. Ia sebar perintah dan taktik rapi-apik sehingga gerombolan Surapati keteter terdesak menghambur ke dalem keraton. Kala itulah, siapa menusuk siapa: jadi kisah indah-nyeri demi dibabar-wartakan ke anak-cucu di tlatah Jawa ini....
Tack ini orangnya waspada benar, tapi kesombongannya bikin gatal hidung. Terasalah ia merogoh diri bakal binasa. Betapa terbaca, ketika ia menggerakkan perwira Herfts bersama 57 prajurit dan 11 pucuk meriam untuk berjaga-jaga di gerbang keraton. ”Awasi juga gerak-gerik Sri Sunan! Penipu licik dan penakut itu bisa-bisa menghasut siapa saja. Dasar munyuk gundhul! Cepatlah kau disambar gledek!” pekik cerca Tack di hadapan serdadu-serdadunya.
Lalu 150 serdadu dijejerkan Tack di loji di bawah komando Kapten Leeman.
”Surapati dan gudel-gudel Bali itu tak bakal bertahan lama. Begitu melihat aku datang, mereka pasti lari kecirit-cirit,” desis Tack, serentak disambut bahak terpingkal-pingkal para prajuritnya.
Demi mata maut tersangit, kesombongan niscaya tergelincir.
Sekonyong-konyong Tack disentakkan oleh laporan Adipati Urawan dan Adipati Jepara soal berandal-berandal Surapati lain yang berhuru-hara membakari rerumah di sebelah timur keraton. Lantaran terlalu berapi-api menumpas para pengacau itu — dan sebab itu perhitungannya tercecer — Tack memerintahkan Letnan Eygel dengan 6 prajurit meluncur ke tempat kejadian. Terkecoh ia. Di sana, alah acuih, tak ada siapa-siapa. Hanya kobaran geni jejilatan menerbangkan lelatu kayu yang mulai bergedebrukan ambruk.
Pasukan Surapati yang terkepung di keraton terpaksa merapat berlindung di belakang tembok istana dan rumah-rumah yang sebagian telah kobong. Mangkuyuda, Singabarong, Surenglelana, dan Suradenta menyusup ke kandang macan. Entah merancang kelicikan apa. Sementara di alun-alun, asap tebal mengabut, menggeliut-geliut, kian merusakkan segala mata yang kalap dan kalut. Lamat-lamat terdengar ada yang menggeremat di kuping, tak tahu dari mana: gendingan Banyu Getih mengalun menggebah wewulu kuduk dan mendidihkan air kencing. Surapati yang tiba-tiba didampingi Singabarong dan Mangkuyuda bersungut-sungut bersiaga dengan senjata terhunus.
Ujug-ujug terdengarlah pekik tempik orang-orang Surapati ”Babat, amuk, babat!”
Serupa macan-macan kesurupan mereka merangsek pasukan Tack. Cacah mereka memang tak begitu banyak. Lantaran teriakan itu bak dihantui geram kesumat, welahwelah, seolah mereka disorong ribuan arwah pencucup ubun-ubun yang ngedan menceleng-buta. Pertarungan bengispun tak terelakkan. Dentingan pedang dan bayonet beradu berpercikan. Bedil dan senapan dibuang. Siapa yang terbrutal itulah yang selamat. Saat kudus seperti ini, nyawa tak lebih sedebrus kentut. Dan musuh harus ditebas-babat bagai anjing pesakitan.
Melihat 12 prajuritnya bergelimpangan, Tack mundur. Menoleh-noleh kanan-kiri-belakang. Berkali-kali. Sedikit gentar. Tapi pijar sorotnya tetap mencorong menantang maut. Bedilnya di tangan kirinya masih mengepulkan asap. Sempat terhirup olehnya dan terasa menyesakkan dada. Seolah ia ingin menyesap kekuatan nyawa-nyawa yang bertumbangan di hadapannya. Pikirannya menembus kekelaman terjahat dan berkejar-kejaran dengan seabrek musuh yang pernah ditumpasnya. Tak jauh darinya, Surapati melesat gesit. Jarak antara keduanya hanya lima tombak. Dua serdadu Tack yang tersisa coba menghalanginya, menghunus dengan sangkur siap tujes. Seketika batang leher mereka ditebang dalam dua gebrakan mahakilat. Surapati mendesis bak ular weling, matanya mecicil ke arah Tack sambil misuh-misuh ia menjilati darah dua korbannya yang menciprati pipi dan mulutnya.
”Kapiten, apakah sira masih bertakabur diri bahwa kami cuma anjing-anjing kumuh yang ciut nyali melabrak bedil, senapan, dan meriam Kompeni? Billahi ingsun bersumpah, riwayat sira kelak akan dicibir menjelma aib lantaran sira mampus di tangan si bandit Surapati. Ya, bajingan kroco kayak ingsun ini. Terbangkanlah jiwa piatu sira, Kapiten!! Sebelum jadi mayat, apa kalimat terakhir sira untuk dikenang di alam baka?”
”Demi tetesan darah Kristus yang tiada surut memancarkan belas kasih di Bukit Golgota, kita akan berlaga lagi di neraka, Surapati!!”
Dengan sigap Tack mencelat menunggang jaran setonya. Menerjang Surapati dengan beringas. Pedang panjangnya dikibas-kibaskannya ke jantung Surapati. Surapati berguling-gulingan di antara mayat-mayat yang berserakan. Ia terkekeh-kekeh berteriak, ”Pertarungan macam apa ini, Tack? Babi kepet pengecut!! Ayo turun! Serdadu sejati lawan begundal kelas teri!!”
Tack tak menggubris. Sekali lagi dengan kecepatan tinggi ia mengentak-entak turangganya sembari memutar-mutar pedangnya di atas kepalanya. Kali ini Tack menghimpun kekuatan penuh. Bersijurus membabatnya bersama gebrakan si jaran. Dalam jarak dua puluhan tombak, Surapati tetap saja berdiri tegap. Ia melolos keris dari warangkanya. Sedang tangan kanannya masih tetap menggenggam pedang. Ia pun menghambur berlari bak digebuk hantu. Membungkukkan tubuhnya lalu menggelesor ke tanah hendak menyambar Tack dari arah kiri. Brass, cress, tang ting tang!! Campuh timpuk bersabetan. Serangan Tack luput. Tapi pedang Surapati sempat menggeres dengkul kanannya. Ia terjatuh tak jauh dari jarannya. Tack meringis getir melihat dengkulnya mengucur darah. Segera ia bangun dan memungut pedangnya yang terpental. Namun sebelum Tack menapakkan kakinya pada sanggurdi jarannya, Surapati yang lebih dulu bangkit melihat peluang ini dan tanpa cas-cis-cus secepat kera gila menyerang Tack dalam jarak tiga tombak.
Andai Tack sempat melihat gerak ngedan Surapati itu, ia mungkin bisa menangkis serangannya. Namun gerakan Surapati melebihi sengal napas Tack. Ia menyogrok leher Tack dengan kerisnya hingga tembus. Mencabutnya kembali. Getih pun bermancuran. Tenggorokannya seperti dihajar bara baja. Tack menyumbat muncratan di lehernya dengan tangan kirinya yang tergetar hebat. Mripatnya berkerjap-kerjap melotot-lotot memercikkan serapah keji yang tak kuasa dibalasnya. Ia terhuyung-huyung limbung. Pedang di tangan kanannya masih disabet-sabetkan ke arah Surapati sebelum ia tersungkur. Saat ajalnya meregang sekarat, ia memandang aroma bangsat raut Surapati yang menjilat-jilati kerisnya yang berleleran darah itu.
Lalu segerombol orang berbaju putih, hitam keklawu-klawuan, dumadakan bermuntahan datang berteriak-teriak bengis dan secara sadis mencocori Tack hingga ia lepas ajal dengan 27 luka mengerikan di sekujur tubuhnya.
Pertempuran brutal dan bersawang teka-teki itu (atau tepatnya mungkin kerusuhan terbejat?) mengakibatkan 68 prajurit Kompeni tumpas. 1 raib. Dan 12 lainnya terluka tapi sempat terselamatkan ke tempat lebih aman. Sementara 40 prajurit Surapati tewas. 20 sekarat. 15 kabur lalu mati dan dikubur di bengawan Sala.
Hanya kematian bersimbah lukalah berbanjir getihlah yang diganjar takzim nan kutukan sekaligus pepletikan api yang dikuduskan Ilahi di palagan alun-alun Carta Seora itu. Jangan nyana lelara dua kelana ini tak bersawan nelangsa sepanjang masa. Tapi aduhai ngilu-pukau bergayut dahsyat cecabang kisah mereka hingga kuasa menerbangkan bebunga khayalan siapa saja. (35)
---
*)Padepokan Lembah Pring Jombang, 2006-2008
diambil dari Suara Merdeka 24, 08, 2008
TAK disangkal cerita ini terus berseliweran bergeliut sawang tak terkuburkan. Menjelma roh cenayang pencilakan berkabut sengir yang menyelimuti para penggila kronik Kompeni-Keraton Jawa. Ya, pada siang jahanam 8 Februari 1686 di Carta Seora, Kapten Tack dibantai Surapati dan gerombolannya, sehingga Kompeni me-marabi mereka, ”Bandit-bandit berlidah anjing pengumbar darah”. Ini menjadi semacam pagebluk yang menguar nyasar ke mana-mana, melesat deras melebihi dencingan anak panah. Terus bergentayangan dalam sekian wiracarita dan perbantahan para tukang cerita VOC.
Sandiwara Amuk Tergila
Seratan Zan Marstel dalam Puputan Walanda Tack akan menuntun jalan cerita ini: Di gang-gang sekisar kraton; berpusing-pusinganlah Kapten Letnan Greving, Letnan Vonck, dan Letnan Eygel. Bersiaga ketat pun tetaplah liwung batin dan pikiran bule-bule itu. Sebelumnya, Greving terus dibayang-bayangi mimpi terkutuknya. ”Laknat culas orang-orang Jawa ini!” semburnya sambil mengelus-elus gagang pistolnya.
Saat sepagi tadi, tatkala menjemput Tack di jembatan Banyudana, mimpi itu masih saja mengulik benaknya, terasa begitu terang menyergap mripatnya yang cerlang diterpa pijar angkasa. Dengan serak lirih ia melapor, ”Maaf, Surapati lolos, Kapten.”
”Memang Sunan dungu itu tak becus mengatasi anjing gendeng itu. Huch, cuhz!!”
Dan Sindureja utusan Amangkurat II yang menyertai Tack itu, tiada siapa tahu menyelinap pergi dari tempat itu bak ditelan bumi.
Cerita terus merayap menggeremat. O, Roh Kudus, selamatkan kami dari ingatan linglung di kesiur senyap. Juga cakap nglantur melayap-layap. Tack berbisik pada Van Vliet dan Van der Meer, ”Ada hubungan rahasia apa antara Surapati dengan Sri Sunan? Orang-orang licin, pembuat onar, dan aneh. Ah, aku rasa aku mencium bau darahku sendiri. Ganjil ini!”
Van Vliet menoleh. Diam. Menatap sayu jarannya Tack. ”Yang satu serigala alas. Satunya katak kembung yang dikelilingi ular blantotan macan. Kita harus berhati-hati, Kapten! Soal darah, tiap hari kita ini mimpi diguyur darah, bukan!” tukas Van der Meer.
Ahualah, lukisan apa pula yang terboreh di sekujur para prajurit bayaran yang dipasok dari Makassar, Sumenep, dan Bali di bawah perintah Wangsanata, Mangkuyuda, dan Singabarong. Siapa pun mereka, menus-menus berjubah putih dan hitam, berudeng mlipir lancip dengan wajah kecut campur cengar-cengir tapi sekilas memancarkan aroma beku-tawar. Pesona raut yang tak mencerminkan berpihak pada siapa-siapa. Apalah yang dapat disangkakan, mereka ini berpihak pada siapa? Siapa membayar siapa? Siapa dibayar siapa? Hawa hasutan di sana-sini terasa mencangkul pikiran dan hati. Sungguh lacur dibayangkan. Hanya orang yang nyawanya terkucuri getih Kristus yang bisa melihat selubung keberpihakan mereka. Namun riwayat tersebar mencacat mereka-mereka ini berada di pihak Sri Sunan. Tapi apa yang terjadi kemudian, teracunilah si penyimak yang tak pernah terjerumus dalam muslihat riwayat bernanah ini.
Pantaslah ditimbang-timbang. Ditelusur-teliti ulang. Diluruskan kembali dengan cermat-seksama perkara laporan-laporan yang amat membingungkan dari Letnan Anthonie Eygel. Orang ini serdadu payah, kerap mabuk, ingatannya diragukan. Memang ia satu-satunya perwira Belanda yang melarikan diri dari pembantaian di alun-alun itu, setelah disergap keterkejutan akan serdadu-serdadunya yang morat-marit meninggalkan senjata-senjata dan panji-panji. Kita tak ingin wiracarita ini kelak jadi reremah cermin pecah, bukan? Lihat pula rincian korban versi Eygel; serdadu Kompeni tewas: 79. Luka-luka ringan: 29. Luka-luka berat: 41. Prajurit Sri Sunan: 95 (cukuplah semerawut kebenaran angka ini. Sebagian dari mereka adalah orang-orang Bali, Mataram, dan Pasuruan yang bersekongkol dengan Surapati. Juga pendekar bayaran Kompeni, dan sisanya prajurit Sri Sunan sendiri. Siapa satu per satu memihak siapa tiada tahu). Keterangan ini rancu? Eygel tak kunjung memecahkan misteri siapa saja yang berkomplot dengan siapa. Tapi Eygel cuma penulis laporan ecek-ecek. Malangnya, seluruh laporannya dijadikan dokumen penting bagi VOC. Konyol dan amburadul.
Situasi berkabut kekalapan itu alangkah pelik diblejeti. Eygel juga tak memberitakan kekejaman begundal-begundal Surapati seperti Suradenta, Suragenta, Cakrapati dan Barongpati. Tak jeli bahwa empat segawon rimba tersohor ini bengisnya minta ampun. Pengalaman mereka bersabung-tarung dalam laga rampokan macan tak diragukan lagi. Ia luput mencatat peristiwa ini, saat kebiadaban mereka mengoyak-ngoyak mayat Tack yang ditemukan tersungkur tragis dengan 21 luka mengerikan: 5 bacokan parang (2 di pelipis kiri-kanan, 1 di tengkuk, 1 di punggung, dan 1 di tempurung kepala). 1 hujaman kapak di lengan kanan, nyaris putus. 2 tusukan keris di jantung dan lambung. 7 tancapan anak panah yang bersarang di jidat dan hampir di sekujur tubuh. 3 sabetan celurit di paha kiri, dada, dan mulut. 1 sabetan golok di pantat, kotorannya berceceran. 1 tetakan trisula di tangkurnya. 2 gempuran rantai besi di wajah dan pundak kiri. 1 cocoran tombak di mata kanan. Barangkali bukan hanya mereka yang melakukan penistaan ini. Orang-orang Kompeni selalu tergelincir dibayang-bayangi aib mereka sendiri. Betapa tidak, kehormatan pasukan Kompeni harus dijaga, lebih-lebih semisal demi seorang jendral, sebagaimana Jendral Coen atau Si Pitekun atau Si Mur Jangkung yang tewas (atau mati karena sakit?) hanya oleh seorang tamtama Mataram pada 1629 di palagan Batavia.
Dua Kelana Kisah Bertabir Mala
Tampaknya siapa pun yang binasa di Carta Seora kala itu, arwahnya akan senantiasa menyusup dalam puspa wiracarita pada masa mendatang, dari yang terterang sampai yang tersamar. Menjelma jejanin cerita yang berlayapan mengerubung ingatan dan membangkitkan syakwasangka. Dan Ki Brajandalagati memborehkan riwayat tersendiri dalam anggitannya yang berjuluk Sesuluk Surapati. Serat ini, sebelum berkisah dengan pejal dan alot, dibabah dengan sepenggal kidungan:
Sura lelana ing segarani pati
Ageming aji moncering lati
La ilaha byar pet sirna jagat
Illallah byar lhap nggulung wahdat
Getih mili nyurup ing Gusti
Wa ma almautu illa bissyaifi au bighairihi
Bebulu di tengkuk sesengkringan, aliran dedarah bergelegakan. Urat-urat tenggorokan sendut-sendutan. Wajah terpanggang hawa merah, kayak disembur-semburkan geni. Yang menerjang, menyepak, menjegal, menggilas, membacok, meletuskan senapan dan bedil, menikam, menggigit dan menghujami dengan tombak, menusuk, menggejrot kepala yang berkelejat-kelejat sekaratul maut: siapa bercampuh lawan siapa, tak penting lagi serdadu siapa. Lebih cepat darah tersimbah lebih baik. Disebabkan serdadu brengsek macam ini, lama dipasti setamsil kecoa digilas ratusan sepatu besi. Kongkalikong! Asu-lah mereka berbuntut buntung. Mati pun, tak sesiapa menangguk untung.
Apa yang mengawang-awang, yang berliuk-liukan di masjid keraton. Menyala-nyalalah lebat api bebakaran. Mampus ditebus mampus. Ajal dibayar ajal. Popor dipatahkan. Panji-panji disuwek diludahi. Pedang dibengkungkan. Tumbak dicuklekkan. Lihat pula bebangkai serdadu Tack: Letnan Greving dan Sersan Samuel Maurits: rubuh diinjak-injak ternistakan. Arwah mereka berjengkelitan menjerit-jerit diperebutkan malaikat buta dan iblis pincang. Juga 25 pengawal mereka bermandi darah di undakan teras kraton. Menyaksikan itu; gemuruh tubuh Eygel, Vonck, dan Van der Meer bak dikencingi demit gundul dan gendruwo, gatal-panas audzubillah, sebelum Tack nongol dan mripatnya bak tercomplong carang lantas memancarkan cahaya beringas kesumat. Munclak-munclaklah ia. Tapi pancen ia serdadu sejati, tak mlungker nyali. Ia sebar perintah dan taktik rapi-apik sehingga gerombolan Surapati keteter terdesak menghambur ke dalem keraton. Kala itulah, siapa menusuk siapa: jadi kisah indah-nyeri demi dibabar-wartakan ke anak-cucu di tlatah Jawa ini....
Tack ini orangnya waspada benar, tapi kesombongannya bikin gatal hidung. Terasalah ia merogoh diri bakal binasa. Betapa terbaca, ketika ia menggerakkan perwira Herfts bersama 57 prajurit dan 11 pucuk meriam untuk berjaga-jaga di gerbang keraton. ”Awasi juga gerak-gerik Sri Sunan! Penipu licik dan penakut itu bisa-bisa menghasut siapa saja. Dasar munyuk gundhul! Cepatlah kau disambar gledek!” pekik cerca Tack di hadapan serdadu-serdadunya.
Lalu 150 serdadu dijejerkan Tack di loji di bawah komando Kapten Leeman.
”Surapati dan gudel-gudel Bali itu tak bakal bertahan lama. Begitu melihat aku datang, mereka pasti lari kecirit-cirit,” desis Tack, serentak disambut bahak terpingkal-pingkal para prajuritnya.
Demi mata maut tersangit, kesombongan niscaya tergelincir.
Sekonyong-konyong Tack disentakkan oleh laporan Adipati Urawan dan Adipati Jepara soal berandal-berandal Surapati lain yang berhuru-hara membakari rerumah di sebelah timur keraton. Lantaran terlalu berapi-api menumpas para pengacau itu — dan sebab itu perhitungannya tercecer — Tack memerintahkan Letnan Eygel dengan 6 prajurit meluncur ke tempat kejadian. Terkecoh ia. Di sana, alah acuih, tak ada siapa-siapa. Hanya kobaran geni jejilatan menerbangkan lelatu kayu yang mulai bergedebrukan ambruk.
Pasukan Surapati yang terkepung di keraton terpaksa merapat berlindung di belakang tembok istana dan rumah-rumah yang sebagian telah kobong. Mangkuyuda, Singabarong, Surenglelana, dan Suradenta menyusup ke kandang macan. Entah merancang kelicikan apa. Sementara di alun-alun, asap tebal mengabut, menggeliut-geliut, kian merusakkan segala mata yang kalap dan kalut. Lamat-lamat terdengar ada yang menggeremat di kuping, tak tahu dari mana: gendingan Banyu Getih mengalun menggebah wewulu kuduk dan mendidihkan air kencing. Surapati yang tiba-tiba didampingi Singabarong dan Mangkuyuda bersungut-sungut bersiaga dengan senjata terhunus.
Ujug-ujug terdengarlah pekik tempik orang-orang Surapati ”Babat, amuk, babat!”
Serupa macan-macan kesurupan mereka merangsek pasukan Tack. Cacah mereka memang tak begitu banyak. Lantaran teriakan itu bak dihantui geram kesumat, welahwelah, seolah mereka disorong ribuan arwah pencucup ubun-ubun yang ngedan menceleng-buta. Pertarungan bengispun tak terelakkan. Dentingan pedang dan bayonet beradu berpercikan. Bedil dan senapan dibuang. Siapa yang terbrutal itulah yang selamat. Saat kudus seperti ini, nyawa tak lebih sedebrus kentut. Dan musuh harus ditebas-babat bagai anjing pesakitan.
Melihat 12 prajuritnya bergelimpangan, Tack mundur. Menoleh-noleh kanan-kiri-belakang. Berkali-kali. Sedikit gentar. Tapi pijar sorotnya tetap mencorong menantang maut. Bedilnya di tangan kirinya masih mengepulkan asap. Sempat terhirup olehnya dan terasa menyesakkan dada. Seolah ia ingin menyesap kekuatan nyawa-nyawa yang bertumbangan di hadapannya. Pikirannya menembus kekelaman terjahat dan berkejar-kejaran dengan seabrek musuh yang pernah ditumpasnya. Tak jauh darinya, Surapati melesat gesit. Jarak antara keduanya hanya lima tombak. Dua serdadu Tack yang tersisa coba menghalanginya, menghunus dengan sangkur siap tujes. Seketika batang leher mereka ditebang dalam dua gebrakan mahakilat. Surapati mendesis bak ular weling, matanya mecicil ke arah Tack sambil misuh-misuh ia menjilati darah dua korbannya yang menciprati pipi dan mulutnya.
”Kapiten, apakah sira masih bertakabur diri bahwa kami cuma anjing-anjing kumuh yang ciut nyali melabrak bedil, senapan, dan meriam Kompeni? Billahi ingsun bersumpah, riwayat sira kelak akan dicibir menjelma aib lantaran sira mampus di tangan si bandit Surapati. Ya, bajingan kroco kayak ingsun ini. Terbangkanlah jiwa piatu sira, Kapiten!! Sebelum jadi mayat, apa kalimat terakhir sira untuk dikenang di alam baka?”
”Demi tetesan darah Kristus yang tiada surut memancarkan belas kasih di Bukit Golgota, kita akan berlaga lagi di neraka, Surapati!!”
Dengan sigap Tack mencelat menunggang jaran setonya. Menerjang Surapati dengan beringas. Pedang panjangnya dikibas-kibaskannya ke jantung Surapati. Surapati berguling-gulingan di antara mayat-mayat yang berserakan. Ia terkekeh-kekeh berteriak, ”Pertarungan macam apa ini, Tack? Babi kepet pengecut!! Ayo turun! Serdadu sejati lawan begundal kelas teri!!”
Tack tak menggubris. Sekali lagi dengan kecepatan tinggi ia mengentak-entak turangganya sembari memutar-mutar pedangnya di atas kepalanya. Kali ini Tack menghimpun kekuatan penuh. Bersijurus membabatnya bersama gebrakan si jaran. Dalam jarak dua puluhan tombak, Surapati tetap saja berdiri tegap. Ia melolos keris dari warangkanya. Sedang tangan kanannya masih tetap menggenggam pedang. Ia pun menghambur berlari bak digebuk hantu. Membungkukkan tubuhnya lalu menggelesor ke tanah hendak menyambar Tack dari arah kiri. Brass, cress, tang ting tang!! Campuh timpuk bersabetan. Serangan Tack luput. Tapi pedang Surapati sempat menggeres dengkul kanannya. Ia terjatuh tak jauh dari jarannya. Tack meringis getir melihat dengkulnya mengucur darah. Segera ia bangun dan memungut pedangnya yang terpental. Namun sebelum Tack menapakkan kakinya pada sanggurdi jarannya, Surapati yang lebih dulu bangkit melihat peluang ini dan tanpa cas-cis-cus secepat kera gila menyerang Tack dalam jarak tiga tombak.
Andai Tack sempat melihat gerak ngedan Surapati itu, ia mungkin bisa menangkis serangannya. Namun gerakan Surapati melebihi sengal napas Tack. Ia menyogrok leher Tack dengan kerisnya hingga tembus. Mencabutnya kembali. Getih pun bermancuran. Tenggorokannya seperti dihajar bara baja. Tack menyumbat muncratan di lehernya dengan tangan kirinya yang tergetar hebat. Mripatnya berkerjap-kerjap melotot-lotot memercikkan serapah keji yang tak kuasa dibalasnya. Ia terhuyung-huyung limbung. Pedang di tangan kanannya masih disabet-sabetkan ke arah Surapati sebelum ia tersungkur. Saat ajalnya meregang sekarat, ia memandang aroma bangsat raut Surapati yang menjilat-jilati kerisnya yang berleleran darah itu.
Lalu segerombol orang berbaju putih, hitam keklawu-klawuan, dumadakan bermuntahan datang berteriak-teriak bengis dan secara sadis mencocori Tack hingga ia lepas ajal dengan 27 luka mengerikan di sekujur tubuhnya.
Pertempuran brutal dan bersawang teka-teki itu (atau tepatnya mungkin kerusuhan terbejat?) mengakibatkan 68 prajurit Kompeni tumpas. 1 raib. Dan 12 lainnya terluka tapi sempat terselamatkan ke tempat lebih aman. Sementara 40 prajurit Surapati tewas. 20 sekarat. 15 kabur lalu mati dan dikubur di bengawan Sala.
Hanya kematian bersimbah lukalah berbanjir getihlah yang diganjar takzim nan kutukan sekaligus pepletikan api yang dikuduskan Ilahi di palagan alun-alun Carta Seora itu. Jangan nyana lelara dua kelana ini tak bersawan nelangsa sepanjang masa. Tapi aduhai ngilu-pukau bergayut dahsyat cecabang kisah mereka hingga kuasa menerbangkan bebunga khayalan siapa saja. (35)
---
*)Padepokan Lembah Pring Jombang, 2006-2008
Jumat, 29 Agustus 2008
Membela Kaum Miskin Tabah Bencana
Judul Buku : Kagum Pada Orang Indonesia
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 56 Halaman
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*
Meski banyak orang pesemis pada bangsa Indonesia, Emha Ainun Nadjib (akrab di panggil “Cak Nun”) malah merayakan optimisme bergelimang harap. Tahun 1998, penyair Taufik Ismail menggarit puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, sedang Cak Nun pada 2008 menggubah buku “Kagum Pada Orang Indonesia”. Wujud filantropi budayawan, Cak Nun, mengipasi bara ketegaran rakyat saat centang perenang dan banjir problem tiba.
Cak Nun, --budayawan kelahiran Jombang Jatim itu--, terlihat sangat gigih meninggikan anten kepekaannya akan penderitaan masyarakat miskin tabah bencana. Ia menghayati betul tamsil yang diukir Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”
Buku ini, Kagum Pada Orang Indonesia, merupakan kumpulan sembilan esai panjang Cak Nun yang sebelumnya sempat nangkring di beberapa koran. Lewat buku ini pulalah, Cak Nun, membesarkan hati rakyat Indonesia yang kini temukan rona kemurungannya. Betapa rakyat saat ini sukar memiliki zona untuk tentram, damai, serta makmur sejahtera. Rakyat kerap ketiban sial, kiriman bencana atau musibah tak henti-henti menghantam kehidupan rakyat Indonesia baru-baru ini.
Renungan Bencana
Bangsa Indonesia memanglah bangsa yang hidup dinegeri kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo tak usai-usai. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung, tak lepas disatroni lindu. Hingga kawasan Tapal Kuda (pantai utara Jawa), Situbondo dan Bondowoso pun diterjang banjir bandang pekan silam.
Ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketakpastian yang harus dijalani para masyarakat korban, tugas manusia antar sesama, bagaimana ia mampu menarasikan penderitaan yang ditempa oleh masyarakat korban. Memberi wujud narasi penyelesaian sehingga mengurangi kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir. Mengakhiri kesedihan rakyat korban bencana dengan ketegaran dan kebahagiaan.
Alam sendiri bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Tersirat dalam al-Qur’an bahwa, kerusakan alam juga tak lepas sebab ulah tangan jahil manusia. Dengan begitu, manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak ekologi tak semakin parah.
Disinilah pemantik kesadaran Cak Nun, dia langsung terjun mengadvokasi masyarakat korban di lapangan. Lewat mengisi acara pengajian yang diadakan di wilayah-wilayah korban, iapun berseru kepada masyarakat agar tegar hadapi bencana. Cak Nun siap bersama rakyat melawan bila ada pihak-pihak yang mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.
Wujud optimisme Cak Nun: “Kendati Indonesia terus-menerus dihantam bencana (kaya bencana), bangsa inipun memiliki berkah turah kekayaan alam melimpah ruah. Semuanya ada di bumi pertiwi ini. Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia.” Hal itu tentu tak lepas, sebab rahmat, kasih sayang, perhatian, dan berkah Tuhanlah yang menganugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia. Tapi untuk saat ini, kekayaan Indonesia dihabisi oleh persekongkolan elite politik dan birokrasi bangsa untuk kepentingan pribadi.
Ironi, bangsa (Indonesia) bergelimang kekayaan, namun rakyat masih didera kemiskinan kritis. Manusia Indonesia sudah miskin, ditambah lagi tak henti-henti digilas oleh bencana dahsyat. Sungguh kompleks derita rakyat Indonesia bila hingga kini masih belum mampu melepaskan kerangkeng tragika hidup miskin yang padat bencana. Ditengarai kesigapan pemerintah dalam penanganan bencana, bila status bencana dinaikkan menjadi bencana nasional. Bukankah meski satu korban pun, perlu kita bantu selekas mungkin?
Peluang harap datang, saat kita dapat memaknai aforisma ‘Jasagen’ Nietzsche --filsuf yang membuka pintu gerbang posmodernisme itu--, “Meski hidup bisa menjadi sangat sulit, mengecewakan dan bikin gila, satu-satunya jalan adalah terus mengatakan “ya” kepada apa yang menggerakkan jiwa”. Nietzsche hendak menampik sejarah kegagalan yang membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.
Guna mendapat empati masyarakat luas atas kondisi masyarakat miskin tabah bencana, Cak Nun lewat bukunya ini berseru mirip Rabindranat Tagore: “Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di mana petani meluku tanah yang keras. Di mana pembuat jalan memecah batu. Disitulah Tuhan. Tuhan bersama petani dan kuli berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Beranjaklah dari samadi dan hentikan nyala setanggi. Meski pakaian tuan usang dan kotor. Cari dan tolonglah dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan”.
Buku ini berbasis menggugah ruh filantropi (filos ‘cinta’, antropos ‘kemanusiaan’), berwujud cinta kasih akan kemanusian. Membacanya, membikin nurani terketuk hendak lekas berbuat sesuatu terhadap kaum miskin tabah bencana. Tak cukup hanya meratap sedih bila mendapati kaum miskin tabah tuna daya digempur bencana.
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 56 Halaman
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*
Meski banyak orang pesemis pada bangsa Indonesia, Emha Ainun Nadjib (akrab di panggil “Cak Nun”) malah merayakan optimisme bergelimang harap. Tahun 1998, penyair Taufik Ismail menggarit puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, sedang Cak Nun pada 2008 menggubah buku “Kagum Pada Orang Indonesia”. Wujud filantropi budayawan, Cak Nun, mengipasi bara ketegaran rakyat saat centang perenang dan banjir problem tiba.
Cak Nun, --budayawan kelahiran Jombang Jatim itu--, terlihat sangat gigih meninggikan anten kepekaannya akan penderitaan masyarakat miskin tabah bencana. Ia menghayati betul tamsil yang diukir Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”
Buku ini, Kagum Pada Orang Indonesia, merupakan kumpulan sembilan esai panjang Cak Nun yang sebelumnya sempat nangkring di beberapa koran. Lewat buku ini pulalah, Cak Nun, membesarkan hati rakyat Indonesia yang kini temukan rona kemurungannya. Betapa rakyat saat ini sukar memiliki zona untuk tentram, damai, serta makmur sejahtera. Rakyat kerap ketiban sial, kiriman bencana atau musibah tak henti-henti menghantam kehidupan rakyat Indonesia baru-baru ini.
Renungan Bencana
Bangsa Indonesia memanglah bangsa yang hidup dinegeri kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo tak usai-usai. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung, tak lepas disatroni lindu. Hingga kawasan Tapal Kuda (pantai utara Jawa), Situbondo dan Bondowoso pun diterjang banjir bandang pekan silam.
Ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketakpastian yang harus dijalani para masyarakat korban, tugas manusia antar sesama, bagaimana ia mampu menarasikan penderitaan yang ditempa oleh masyarakat korban. Memberi wujud narasi penyelesaian sehingga mengurangi kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir. Mengakhiri kesedihan rakyat korban bencana dengan ketegaran dan kebahagiaan.
Alam sendiri bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Tersirat dalam al-Qur’an bahwa, kerusakan alam juga tak lepas sebab ulah tangan jahil manusia. Dengan begitu, manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak ekologi tak semakin parah.
Disinilah pemantik kesadaran Cak Nun, dia langsung terjun mengadvokasi masyarakat korban di lapangan. Lewat mengisi acara pengajian yang diadakan di wilayah-wilayah korban, iapun berseru kepada masyarakat agar tegar hadapi bencana. Cak Nun siap bersama rakyat melawan bila ada pihak-pihak yang mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.
Wujud optimisme Cak Nun: “Kendati Indonesia terus-menerus dihantam bencana (kaya bencana), bangsa inipun memiliki berkah turah kekayaan alam melimpah ruah. Semuanya ada di bumi pertiwi ini. Tak ada bangsa di dunia yang kewajiban rasa syukurnya kepada Tuhan melebihi bangsa Indonesia.” Hal itu tentu tak lepas, sebab rahmat, kasih sayang, perhatian, dan berkah Tuhanlah yang menganugerahkan kepada bangsa Indonesia jauh melebihi bangsa-bangsa manapun di dunia. Tapi untuk saat ini, kekayaan Indonesia dihabisi oleh persekongkolan elite politik dan birokrasi bangsa untuk kepentingan pribadi.
Ironi, bangsa (Indonesia) bergelimang kekayaan, namun rakyat masih didera kemiskinan kritis. Manusia Indonesia sudah miskin, ditambah lagi tak henti-henti digilas oleh bencana dahsyat. Sungguh kompleks derita rakyat Indonesia bila hingga kini masih belum mampu melepaskan kerangkeng tragika hidup miskin yang padat bencana. Ditengarai kesigapan pemerintah dalam penanganan bencana, bila status bencana dinaikkan menjadi bencana nasional. Bukankah meski satu korban pun, perlu kita bantu selekas mungkin?
Peluang harap datang, saat kita dapat memaknai aforisma ‘Jasagen’ Nietzsche --filsuf yang membuka pintu gerbang posmodernisme itu--, “Meski hidup bisa menjadi sangat sulit, mengecewakan dan bikin gila, satu-satunya jalan adalah terus mengatakan “ya” kepada apa yang menggerakkan jiwa”. Nietzsche hendak menampik sejarah kegagalan yang membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.
Guna mendapat empati masyarakat luas atas kondisi masyarakat miskin tabah bencana, Cak Nun lewat bukunya ini berseru mirip Rabindranat Tagore: “Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di mana petani meluku tanah yang keras. Di mana pembuat jalan memecah batu. Disitulah Tuhan. Tuhan bersama petani dan kuli berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Beranjaklah dari samadi dan hentikan nyala setanggi. Meski pakaian tuan usang dan kotor. Cari dan tolonglah dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan”.
Buku ini berbasis menggugah ruh filantropi (filos ‘cinta’, antropos ‘kemanusiaan’), berwujud cinta kasih akan kemanusian. Membacanya, membikin nurani terketuk hendak lekas berbuat sesuatu terhadap kaum miskin tabah bencana. Tak cukup hanya meratap sedih bila mendapati kaum miskin tabah tuna daya digempur bencana.
Rabu, 27 Agustus 2008
Tak Ada Kata Terlambat Untuk Menulis
Liza Wahyuninto
Kampanye menulis sedang gencar-gencarnya digalakkan akhir-akhir ini, baik dari individu penulis (ternama maupun pemula) sampai pada pengadaan pelatihan jurnalistik dan penulisan bertarap nasional. Endingnya tentu saja mengharapkan output dari pelatihan tersebut berhasil melahirkan penulis-penulis baru.
Kelahiran penulis-penulis baru ini memang selalu dinanti oleh masyarakat, terutama dari lingkungan akademisi yang dalam hal ini adalah siswa dan mahasiswa. Karena dari kaum akademisilah biasanya penulis-penulis sekaligus pemikir masa depan bangsa. Selama ini di Indonesia sudah banyak ditemukan penulis, namun tulisan yang berkualitas masih jarang ditemui.
Ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam mengawal kelahiran penulis-penulis baru yang nantinya akan kita nanti buah pikiran yang brilian dari mereka.
Menjadi Penulis Adalah Pilihan
Penulis tidak dilahirkan, itulah mottonya. Bahwa menulis bukanlah bakat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, tetapi menjadi penulis adalah proses dari terus berlatih untuk menulis. Penulis sama halnya dengan raja, ia tidak dilahirkan tapi dibentuk. Seorang raja harus melewati beberapa hal untuk kemudian dapat dinobatkan menjadi raja, pun demikian dengan penulis butuh proses yang tidak seperti membuat mie instan.
Namun penting untuk disadari bersama bahwa menjadi penulis adalah suatu pilihan hidup. Jadi tidak ada paksaan untuk menjadi atau tidak menjadi penulis. Menjadi penulis adalah tugas, jadi harus ditekuni dengan serius.
Tidak Ada Tokoh Dunia Yang Tak Menulis
Ya, tidak ada tokoh/pemikir dunia saat ini yang tidak menuliskan pemikirannya. Dari itu dapat disadari pentingnya menulis, yaitu selain sebagai cara menuangkan pemikiran juga ajang untuk berlatih menjadi tokoh besar.
Pentingnya menuliskan pemikiran karena kata yang terucap hanya akan selalu di simpan di dalam hati, akan tetapi tulisan akan tetap dibaca sepanjang zaman dan akan terus dituliskan ulang oleh generasi selanjutnya.
Memulai menulis, kiranya inilah kesulitan terbesar penulis-penulis pemula. Ada ketakutan yang luar biasa, ada rasa malas yang tak bisa dilawan, ada perasaan minder yang terus menghantui dan beribu perasaan yang dapat mengundur bahkan membatalkan kita untuk menjadi penulis.
Perlu disadari bahwa kita semua adalah penulis, hanya saja ada yang mengawali dan sebagian yang belum memulai. Penulis yang telah mengawali mereka bukan berarti lebih hebat dari kita melainkan lebih beruntung dari kita, mereka telah menemukan cara untuk menghindar dari catatan-catatan kecil yang menghambat mereka untuk menjadi penulis.
Yang belum menulis hingga saat ini adalah penulis yang tertunda. Untuk melepaskan diri dari sebutan itu adalah dengan memulai menulis. Dengan memulai menulis berarti kita telah mendeklarasikan diri sebagai penulis baru yang siap menyalip penulis-penulis sebelumnya. Ingat kendaraan untuk menuju kota tujuan telah beragam dan super canggih, tinggal bagaimana kita memilih kendaraan yang cepat dan tepat guna.
Beberapa hal perlu untuk diperhatikan dalam menjaga diri untuk tetap menulis, di antaranya;
Mulailah Menulis, Menulislah dan Teruslah Menulis
Kalimat ini perlu untuk ditanamkan di dalam hati dan kalau perlu penting untuk ditulis serta ditempel di tempat yang sering kita lihat agar sellau ingat dan menjadi alarm atau cambuk tersendiri bagi kita untuk tetap menjaga spirit menulis.
Menulis itu gampang, yang tidak gampang adalah menjaga agar diri tetap menulis. Malas adalah musuh utama dalam menulis. Musuh yang kedua adalah punya ide untuk menulis tapi tidak punya waktu dan keberanian untuk menuangkannya ke dalam tulisan.
Ciptakan Lingkungan Menulis
Cara yang paling tepat untuk menjaga spirit menulis adalah dengan menciptakan lingkungan menulis. Lingkungan penting bahkan harus diciptakan agar ada persaingan di dalamnya. Seseorang yang tak bisa menulis dan membaca sekalipun jika diletakkan di lingkungan penulis, maka ia pun akan menjadi penulis.
Kenapa mesti menciptakan lingkungan penulis, karena di dalamnya ada proses pembelajaran, diskusi, iri hati terhadap satu sama lain dan rasa diakui serta rasa tidak mudah puas. Kesemua hal itu harus ada dalam diri penulis, dan harus tetap dijaga keseimbangannya. Penulis yang baik adalah yang bisa mempengaruhi orang lain untuk ikut menjadi penulis.
Baca Artikel di Media Cetak, Pahami Karakter Tulisannya, Tanggapi Tulisannya, Menulislah untuk Media Cetak Tersebut
Kewajiban lain yang harus ada pada diri penulis yaitu membaca artikel/opini pada media cetak (koran, jurnal, majalah, buletin, dsb.), hal ini dinilai penting untuk menciptakan rasa iri hati dan menumbuhkan perasaan bahwa SAYA PUN BISA!
Membaca media cetak terutama koran berarti kita telah menemukan ide untuk menulis di koran tersebut, tinggal bagaimana memformat tulisan yang bagus untuk koran tersebut. Dan akan tiba saatnya kamu membaca tulisan kamu sendiri di dalamnya. Saat itu ucapkanlah kata SELAMAT dan rayakanlah!
Tulislah Tulisan Terbaikmu
Meskipun media cetak akan tetap menerima tulisan kita (baik/buruk), tetapi usahakanlah menulis dengan sebaik mungkin. Sebaik-baik tulisan adalah yang mempunyai data, dapat mempengaruhi orang lain, dapat melahirkan gagasan-gagasan baru dan memebrikan solusi yang tepat bagi permasalahan yang diangkat.
Penutup
Selamat, kamu telah mempunyai keberanian untuk menulis. Jangan ditunggu keberanian tersebut surut, tuliskanlah mulai sekarang apa yang hendak kamu sampaikan pada dunia. Pramoedya Ananta Toer telah memberi nasihat kepada kita, “Jika kamu bukan putra bangsawan, keturunan orang besar maka menulislah...”. Menulislah, terus menulis, dan tulislah!!!
Kampanye menulis sedang gencar-gencarnya digalakkan akhir-akhir ini, baik dari individu penulis (ternama maupun pemula) sampai pada pengadaan pelatihan jurnalistik dan penulisan bertarap nasional. Endingnya tentu saja mengharapkan output dari pelatihan tersebut berhasil melahirkan penulis-penulis baru.
Kelahiran penulis-penulis baru ini memang selalu dinanti oleh masyarakat, terutama dari lingkungan akademisi yang dalam hal ini adalah siswa dan mahasiswa. Karena dari kaum akademisilah biasanya penulis-penulis sekaligus pemikir masa depan bangsa. Selama ini di Indonesia sudah banyak ditemukan penulis, namun tulisan yang berkualitas masih jarang ditemui.
Ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam mengawal kelahiran penulis-penulis baru yang nantinya akan kita nanti buah pikiran yang brilian dari mereka.
Menjadi Penulis Adalah Pilihan
Penulis tidak dilahirkan, itulah mottonya. Bahwa menulis bukanlah bakat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, tetapi menjadi penulis adalah proses dari terus berlatih untuk menulis. Penulis sama halnya dengan raja, ia tidak dilahirkan tapi dibentuk. Seorang raja harus melewati beberapa hal untuk kemudian dapat dinobatkan menjadi raja, pun demikian dengan penulis butuh proses yang tidak seperti membuat mie instan.
Namun penting untuk disadari bersama bahwa menjadi penulis adalah suatu pilihan hidup. Jadi tidak ada paksaan untuk menjadi atau tidak menjadi penulis. Menjadi penulis adalah tugas, jadi harus ditekuni dengan serius.
Tidak Ada Tokoh Dunia Yang Tak Menulis
Ya, tidak ada tokoh/pemikir dunia saat ini yang tidak menuliskan pemikirannya. Dari itu dapat disadari pentingnya menulis, yaitu selain sebagai cara menuangkan pemikiran juga ajang untuk berlatih menjadi tokoh besar.
Pentingnya menuliskan pemikiran karena kata yang terucap hanya akan selalu di simpan di dalam hati, akan tetapi tulisan akan tetap dibaca sepanjang zaman dan akan terus dituliskan ulang oleh generasi selanjutnya.
Memulai menulis, kiranya inilah kesulitan terbesar penulis-penulis pemula. Ada ketakutan yang luar biasa, ada rasa malas yang tak bisa dilawan, ada perasaan minder yang terus menghantui dan beribu perasaan yang dapat mengundur bahkan membatalkan kita untuk menjadi penulis.
Perlu disadari bahwa kita semua adalah penulis, hanya saja ada yang mengawali dan sebagian yang belum memulai. Penulis yang telah mengawali mereka bukan berarti lebih hebat dari kita melainkan lebih beruntung dari kita, mereka telah menemukan cara untuk menghindar dari catatan-catatan kecil yang menghambat mereka untuk menjadi penulis.
Yang belum menulis hingga saat ini adalah penulis yang tertunda. Untuk melepaskan diri dari sebutan itu adalah dengan memulai menulis. Dengan memulai menulis berarti kita telah mendeklarasikan diri sebagai penulis baru yang siap menyalip penulis-penulis sebelumnya. Ingat kendaraan untuk menuju kota tujuan telah beragam dan super canggih, tinggal bagaimana kita memilih kendaraan yang cepat dan tepat guna.
Beberapa hal perlu untuk diperhatikan dalam menjaga diri untuk tetap menulis, di antaranya;
Mulailah Menulis, Menulislah dan Teruslah Menulis
Kalimat ini perlu untuk ditanamkan di dalam hati dan kalau perlu penting untuk ditulis serta ditempel di tempat yang sering kita lihat agar sellau ingat dan menjadi alarm atau cambuk tersendiri bagi kita untuk tetap menjaga spirit menulis.
Menulis itu gampang, yang tidak gampang adalah menjaga agar diri tetap menulis. Malas adalah musuh utama dalam menulis. Musuh yang kedua adalah punya ide untuk menulis tapi tidak punya waktu dan keberanian untuk menuangkannya ke dalam tulisan.
Ciptakan Lingkungan Menulis
Cara yang paling tepat untuk menjaga spirit menulis adalah dengan menciptakan lingkungan menulis. Lingkungan penting bahkan harus diciptakan agar ada persaingan di dalamnya. Seseorang yang tak bisa menulis dan membaca sekalipun jika diletakkan di lingkungan penulis, maka ia pun akan menjadi penulis.
Kenapa mesti menciptakan lingkungan penulis, karena di dalamnya ada proses pembelajaran, diskusi, iri hati terhadap satu sama lain dan rasa diakui serta rasa tidak mudah puas. Kesemua hal itu harus ada dalam diri penulis, dan harus tetap dijaga keseimbangannya. Penulis yang baik adalah yang bisa mempengaruhi orang lain untuk ikut menjadi penulis.
Baca Artikel di Media Cetak, Pahami Karakter Tulisannya, Tanggapi Tulisannya, Menulislah untuk Media Cetak Tersebut
Kewajiban lain yang harus ada pada diri penulis yaitu membaca artikel/opini pada media cetak (koran, jurnal, majalah, buletin, dsb.), hal ini dinilai penting untuk menciptakan rasa iri hati dan menumbuhkan perasaan bahwa SAYA PUN BISA!
Membaca media cetak terutama koran berarti kita telah menemukan ide untuk menulis di koran tersebut, tinggal bagaimana memformat tulisan yang bagus untuk koran tersebut. Dan akan tiba saatnya kamu membaca tulisan kamu sendiri di dalamnya. Saat itu ucapkanlah kata SELAMAT dan rayakanlah!
Tulislah Tulisan Terbaikmu
Meskipun media cetak akan tetap menerima tulisan kita (baik/buruk), tetapi usahakanlah menulis dengan sebaik mungkin. Sebaik-baik tulisan adalah yang mempunyai data, dapat mempengaruhi orang lain, dapat melahirkan gagasan-gagasan baru dan memebrikan solusi yang tepat bagi permasalahan yang diangkat.
Penutup
Selamat, kamu telah mempunyai keberanian untuk menulis. Jangan ditunggu keberanian tersebut surut, tuliskanlah mulai sekarang apa yang hendak kamu sampaikan pada dunia. Pramoedya Ananta Toer telah memberi nasihat kepada kita, “Jika kamu bukan putra bangsawan, keturunan orang besar maka menulislah...”. Menulislah, terus menulis, dan tulislah!!!
Selasa, 26 Agustus 2008
Berenergi Sedih
A Qorib Hidayatullah
Sehabis membaca cerpen (cerita pendek) Mein Dina Oktaviani di Jawa Pos, 29 Juni 2008 membuatku kembali berenergi positif dalam hidup. Hari-hari terakhir ini, aku sangat malas dan dihantui kesuntukan pesimis menjalani hidup. Hidup seakan sangat menjenuhkan sekali dan hanya menambah-nambah masalah saja. Dalam keadaan seperti itu, di mana kondisi psikis sangat tak bisa diajak kompromi, aku sonder seluruh rutinitas kegiatan, semisal membaca dan menulis. Jujur, hal lain yang membuat aku tertarik pada cerpen itu adalah ilustrasi apik (gambar gadis beraut sedih seakan berharap sesuatu) yang akrab dengan warna jiwaku.
Dalam kerinduan selalu ingin hidup stabil, aku berpikir dan merenung, meminjam istilah Pak Guru J. Sumardianta, mengaudit kesibukan-kesibukan guna antisipasi kesadaran palsu. Lazimnya orang sedih, kesedihanku tak jauh beda. Jika orang tatkala sedih beraura murung, aku pun menjalani kesedihan secara sama. Yang membedakannya (pengalaman kesedihan) hanyalah suasana transenden tiap-tiap orang. Aku misalnya, lebih menghadapi kesedihan dengan meninjau masa silam, pertanyaan dalam benak yang senantiasa keluar adalah “Apa yang telah aku lakukan, kok kesedihan sangat mendominasi pada diriku.”
Tak disangka, lambat laun tampil pertanyaan yang dikemukakan telah lama oleh J. Sumardianta, “Kesedihan macam apa yang Qorib rasakan? Anak muda saat ini senantiasa merelikui semangat Bung Karno, mendengus-dengus di kamar kos.” Kesedihan yang merundungku belum ada apa-apanya dibanding kesedihan yang dialami orang lain termasuk J. Sumardianta. Pak Guru, selain memikirkan dirinya, dituntut sibuk memberi nafkah lahir-batin kepada keluarga. Tiap aku tanyakan, kenapa Pak Guru ndak pensiun-pensiun dalam nulis di media. Jawabnya, selain memagari semangat literasi, Pak Guru juga mengais dari honor yang diberikan koran untuk menghidupi keluarga, dan buat biaya anak-anaknya yang sekolah.
Kembali pada permembincangan cerpen Dina Oktaviana, Mein. Mein, tokoh rekaan Oktaviana representatif menggambarkan kesedihan yang dialami olehku. Mein cukup lihai agar kesedihan yang merundungnya tak lekas tampil diwajahnya. Seperti kalimat yang tertera di cerpen tersebut, Mein telah terlatih menghadapi energi kesedihan agar tak langsung diapresiasi oleh raut wajahnya.
Inilah risalah energi kesedihan. Kesedihan hanyalah milik kaum yang spiritualitasnya tinggi. Merayakan hidup sedih dengan rendah hati, tidak sombong kendati berpotensi melakukannya karena memiliki segudang hal, namun tak dilakukannya. Sedih tak harus tampak pada fisik yang nestapa, aku lebih memaknai sedih dengan cukup dialami batin dan jiwa yang paling dalam untuk senantiasa patuh-tunduk pada kekuatan di luar kita.
Sehabis membaca cerpen (cerita pendek) Mein Dina Oktaviani di Jawa Pos, 29 Juni 2008 membuatku kembali berenergi positif dalam hidup. Hari-hari terakhir ini, aku sangat malas dan dihantui kesuntukan pesimis menjalani hidup. Hidup seakan sangat menjenuhkan sekali dan hanya menambah-nambah masalah saja. Dalam keadaan seperti itu, di mana kondisi psikis sangat tak bisa diajak kompromi, aku sonder seluruh rutinitas kegiatan, semisal membaca dan menulis. Jujur, hal lain yang membuat aku tertarik pada cerpen itu adalah ilustrasi apik (gambar gadis beraut sedih seakan berharap sesuatu) yang akrab dengan warna jiwaku.
Dalam kerinduan selalu ingin hidup stabil, aku berpikir dan merenung, meminjam istilah Pak Guru J. Sumardianta, mengaudit kesibukan-kesibukan guna antisipasi kesadaran palsu. Lazimnya orang sedih, kesedihanku tak jauh beda. Jika orang tatkala sedih beraura murung, aku pun menjalani kesedihan secara sama. Yang membedakannya (pengalaman kesedihan) hanyalah suasana transenden tiap-tiap orang. Aku misalnya, lebih menghadapi kesedihan dengan meninjau masa silam, pertanyaan dalam benak yang senantiasa keluar adalah “Apa yang telah aku lakukan, kok kesedihan sangat mendominasi pada diriku.”
Tak disangka, lambat laun tampil pertanyaan yang dikemukakan telah lama oleh J. Sumardianta, “Kesedihan macam apa yang Qorib rasakan? Anak muda saat ini senantiasa merelikui semangat Bung Karno, mendengus-dengus di kamar kos.” Kesedihan yang merundungku belum ada apa-apanya dibanding kesedihan yang dialami orang lain termasuk J. Sumardianta. Pak Guru, selain memikirkan dirinya, dituntut sibuk memberi nafkah lahir-batin kepada keluarga. Tiap aku tanyakan, kenapa Pak Guru ndak pensiun-pensiun dalam nulis di media. Jawabnya, selain memagari semangat literasi, Pak Guru juga mengais dari honor yang diberikan koran untuk menghidupi keluarga, dan buat biaya anak-anaknya yang sekolah.
Kembali pada permembincangan cerpen Dina Oktaviana, Mein. Mein, tokoh rekaan Oktaviana representatif menggambarkan kesedihan yang dialami olehku. Mein cukup lihai agar kesedihan yang merundungnya tak lekas tampil diwajahnya. Seperti kalimat yang tertera di cerpen tersebut, Mein telah terlatih menghadapi energi kesedihan agar tak langsung diapresiasi oleh raut wajahnya.
Inilah risalah energi kesedihan. Kesedihan hanyalah milik kaum yang spiritualitasnya tinggi. Merayakan hidup sedih dengan rendah hati, tidak sombong kendati berpotensi melakukannya karena memiliki segudang hal, namun tak dilakukannya. Sedih tak harus tampak pada fisik yang nestapa, aku lebih memaknai sedih dengan cukup dialami batin dan jiwa yang paling dalam untuk senantiasa patuh-tunduk pada kekuatan di luar kita.
Senin, 25 Agustus 2008
Perjuangan Mengangkat Sastra Pinggiran
Musfi Efrizal*
Puisiku bukan batu Rubi ataupun Zamrud, Puisiku adalah debu, namun debu Karbala (Fuzuli, 1556)
Sastra jurnal memang jarang diperbincangkan oleh masyarakat pengkaji dan penikmat sastra. Hal ini dikarenakan sastra lebih populer lewat media koran atau buku (baca : sastra koran dan sastra buku). Tidak mengherankan jika muncul pernyataan “jangan sebagai seorang pengarang/pujangga/penyair apabila karyanya belum dimuat di koran”. Hal ini jelas sangat mendeskreditkan sekaligus melecehkan beberapa penulis yang berada di daerah pedalaman atau pinggiran.
Polemik sastra kota dan sastra pinggiran memang sempat didengungungkan, namun yang penting untuk disoroti adalah kualitas karya yang dihasilkan. Sastra pinggiran dengan segala kekurangannya bukan berarti kualitasnya rendahan, pun demikian meskipun sastra kota dengan segala hal yang dapat dijangkaunya dan didukung oleh upaya saling mengangkat nama di antara para penulis belum tentu karya mereka berkualitas.
Jurnal Kebudayaan The Sandour yang sudah menerbitkan edisi III merupakan salah satu upaya untuk mengangkat sastra pinggiran tersbut. Sarat lelah letih kadang memang harus dirasakan untuk mengais remah-remah karya para penulis kecil yang tidak pernah bermimpi karyanya akan dipublikasikan apalagi sampai dibukukan meskipun lewat jurnal.
Secara garis besar Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini dipilah menjadi lima bagian. Bagian pertama memuat puisi, puisi-puisi yang ditampilkan yaitu karya dari Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Kirana Kejora, Alfiyan Harfi, Jibna Sudiryo, Dadang Ari Murtono, Saiful Bakri, Suyitno Ethexs, Jr Dasamuka, Dody Kristianto, Ach. Muchtar Ansyori, dan A. Ginanjar Wilujeng.
Bagian kedua memuat esai dari Hamdi Salad, Gugun El-Guyanie, Y. Wibowo, Fahruddin Nasrullah, Liza Wahyuninto, Achmad Muchlish Amrin, dan Sri Wintala Achmad. Bagian ketiga berisikan cerpen dari naskah Hardjono WS, Azizah Hefni, A. Rodhi Murtadho, dan Salman Rusydie Ar.
Bagian keempat adalah halaman khusus yang dipersembahkan untuk mengenang KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972-16 Maret 2007) dan KRT. Suryanto Sastroatmodjo (22 Februari 1957-17 Juli 2007) yang diberi topik In Memoriam Suryanto Sastroatmodjo yang ditulis oleh Herry Lamongan. Dan bagian terakhir pada jurnal ini memuat novelet dari Suryanto Sastroatmodjo.
Memang sengaja ada penulis-penulis kenamaan yang diambil naskahnya untuk disejajarkan dengan beberapa penulis lokal. Selain sebagai motivasi juga untuk menghapuskan senioritas dalam sastra. Tidak ada istilah sastrawan junior, tidak ada sastrawan senior, bahwa semuanya ditentukan oleh kualitas karyanya.
Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini juga bercerita perihal miskinnnya kritikus sastra di Indonesia. Di tengah karya sastra yang terus membludak, tidak ada kawalan dari para kritikus sastra yang akan menilai dan membuatkan genre-genre terhadap karya-karya yang dihasilkan. Akibatnya, Indonesia kaya akan sastrawan, kaya kaya sastra tapi minim kualitas. Hal ini dituturkan oleh Liza Wahyuninto dalam esainya yang bertajuk “Kritik “Sakit” Sastra Indonesia”.
Jurnal Kebudayaan The Sandour ini cocok dibaca bagi kalangan manapun, dan dikhususkan bagi pengkaji sastra (baik komunitas sastra maupun akademisi sastra), pegiat budaya dan pelajar yang menginginkan literatur baru mengenai sastra, terutama berkenaan dengan sastra pinggiran.
Judul: Jurnal Kebudayaan The Sandour
Dewan Redaksi: Nurel Javissyarqi, dkk.
Edisi: III, 2008
Halaman: 155 Halaman
Penerbit: PUstaka PuJAngga & Forum Sastra Lamongan
Peresensi: Musfi Efrizal*)
dijumput dari http://koranpendidikan.com
*) Mahasiswa Fak. Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Bergiat dalam Komunitas Sastra Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang dan peneliti sastra pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Malang.
Puisiku bukan batu Rubi ataupun Zamrud, Puisiku adalah debu, namun debu Karbala (Fuzuli, 1556)
Sastra jurnal memang jarang diperbincangkan oleh masyarakat pengkaji dan penikmat sastra. Hal ini dikarenakan sastra lebih populer lewat media koran atau buku (baca : sastra koran dan sastra buku). Tidak mengherankan jika muncul pernyataan “jangan sebagai seorang pengarang/pujangga/penyair apabila karyanya belum dimuat di koran”. Hal ini jelas sangat mendeskreditkan sekaligus melecehkan beberapa penulis yang berada di daerah pedalaman atau pinggiran.
Polemik sastra kota dan sastra pinggiran memang sempat didengungungkan, namun yang penting untuk disoroti adalah kualitas karya yang dihasilkan. Sastra pinggiran dengan segala kekurangannya bukan berarti kualitasnya rendahan, pun demikian meskipun sastra kota dengan segala hal yang dapat dijangkaunya dan didukung oleh upaya saling mengangkat nama di antara para penulis belum tentu karya mereka berkualitas.
Jurnal Kebudayaan The Sandour yang sudah menerbitkan edisi III merupakan salah satu upaya untuk mengangkat sastra pinggiran tersbut. Sarat lelah letih kadang memang harus dirasakan untuk mengais remah-remah karya para penulis kecil yang tidak pernah bermimpi karyanya akan dipublikasikan apalagi sampai dibukukan meskipun lewat jurnal.
Secara garis besar Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini dipilah menjadi lima bagian. Bagian pertama memuat puisi, puisi-puisi yang ditampilkan yaitu karya dari Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Kirana Kejora, Alfiyan Harfi, Jibna Sudiryo, Dadang Ari Murtono, Saiful Bakri, Suyitno Ethexs, Jr Dasamuka, Dody Kristianto, Ach. Muchtar Ansyori, dan A. Ginanjar Wilujeng.
Bagian kedua memuat esai dari Hamdi Salad, Gugun El-Guyanie, Y. Wibowo, Fahruddin Nasrullah, Liza Wahyuninto, Achmad Muchlish Amrin, dan Sri Wintala Achmad. Bagian ketiga berisikan cerpen dari naskah Hardjono WS, Azizah Hefni, A. Rodhi Murtadho, dan Salman Rusydie Ar.
Bagian keempat adalah halaman khusus yang dipersembahkan untuk mengenang KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972-16 Maret 2007) dan KRT. Suryanto Sastroatmodjo (22 Februari 1957-17 Juli 2007) yang diberi topik In Memoriam Suryanto Sastroatmodjo yang ditulis oleh Herry Lamongan. Dan bagian terakhir pada jurnal ini memuat novelet dari Suryanto Sastroatmodjo.
Memang sengaja ada penulis-penulis kenamaan yang diambil naskahnya untuk disejajarkan dengan beberapa penulis lokal. Selain sebagai motivasi juga untuk menghapuskan senioritas dalam sastra. Tidak ada istilah sastrawan junior, tidak ada sastrawan senior, bahwa semuanya ditentukan oleh kualitas karyanya.
Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini juga bercerita perihal miskinnnya kritikus sastra di Indonesia. Di tengah karya sastra yang terus membludak, tidak ada kawalan dari para kritikus sastra yang akan menilai dan membuatkan genre-genre terhadap karya-karya yang dihasilkan. Akibatnya, Indonesia kaya akan sastrawan, kaya kaya sastra tapi minim kualitas. Hal ini dituturkan oleh Liza Wahyuninto dalam esainya yang bertajuk “Kritik “Sakit” Sastra Indonesia”.
Jurnal Kebudayaan The Sandour ini cocok dibaca bagi kalangan manapun, dan dikhususkan bagi pengkaji sastra (baik komunitas sastra maupun akademisi sastra), pegiat budaya dan pelajar yang menginginkan literatur baru mengenai sastra, terutama berkenaan dengan sastra pinggiran.
Judul: Jurnal Kebudayaan The Sandour
Dewan Redaksi: Nurel Javissyarqi, dkk.
Edisi: III, 2008
Halaman: 155 Halaman
Penerbit: PUstaka PuJAngga & Forum Sastra Lamongan
Peresensi: Musfi Efrizal*)
dijumput dari http://koranpendidikan.com
*) Mahasiswa Fak. Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Bergiat dalam Komunitas Sastra Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang dan peneliti sastra pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Malang.
Minggu, 24 Agustus 2008
Sajak Mardi Luhung
PENGANTEN PESISIR
Aku datang dalam seragam penganten pesisir
seperti arak-arakan masa silam
jidor, kenong, terbang, lampu karbit mengiring
di depan para pesilat bertopeng monyet
celeng, macan, dan juga kancil berjumplitan
mercon sreng sesekali mewarnai langit
aku datang dalam muasal bercinta
seperti dulu ketika kita sama-sama punya pagi
sama-sama mengumpulkan telur-telur sembilang
lalu dikeringkan kemudian digoreng
ketika senja menyelinap di jajaran
macapat-macapatmu yang kini tinggal bisik
dan tahukah kau yang paling aku benci?
adalah ketika kita sama-sama ke sekolah
dan sama-sama disebut : “Orang Laut,”
orang yang dianggap kosro
kurang adat dan keringatnya pun seamis
lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai
aku datang dalam itikad berumah tangga
melengkungkan janur, membikin primbon bahagia
dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu
tapi, seperti juga mercusuar yang kini tinggal letak
dan para nelayan kehilangan jaring dan perahu
adakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak
sementara itu, kertas-kertas kwitansi
telah mengubah sperma-sperma kita menjadi
lumut-lumut yang entah siapa panggilannya…..
Gresik, 1993
Aku datang dalam seragam penganten pesisir
seperti arak-arakan masa silam
jidor, kenong, terbang, lampu karbit mengiring
di depan para pesilat bertopeng monyet
celeng, macan, dan juga kancil berjumplitan
mercon sreng sesekali mewarnai langit
aku datang dalam muasal bercinta
seperti dulu ketika kita sama-sama punya pagi
sama-sama mengumpulkan telur-telur sembilang
lalu dikeringkan kemudian digoreng
ketika senja menyelinap di jajaran
macapat-macapatmu yang kini tinggal bisik
dan tahukah kau yang paling aku benci?
adalah ketika kita sama-sama ke sekolah
dan sama-sama disebut : “Orang Laut,”
orang yang dianggap kosro
kurang adat dan keringatnya pun seamis
lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai
aku datang dalam itikad berumah tangga
melengkungkan janur, membikin primbon bahagia
dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu
tapi, seperti juga mercusuar yang kini tinggal letak
dan para nelayan kehilangan jaring dan perahu
adakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak
sementara itu, kertas-kertas kwitansi
telah mengubah sperma-sperma kita menjadi
lumut-lumut yang entah siapa panggilannya…..
Gresik, 1993
Sabtu, 23 Agustus 2008
KIDUNG CINTA AMOY
Kirana Kejora
Ku berhenti di depan toko Orion. Suasana Kembang Jepun masih seperti dulu. Malam makin marak dengan aroma masakan China dan Suroboyoan. Kidung Kya-Kya, begitu ramai dengan polah arek-arek Suroboyo di kampung pecinan itu. Larutnya malam, tak membuat mereka beranjak dari tempatnya. Tetap santai menyenangkan perut, melegakan tenggorokan, dan menyamankan hati dengan berbagai hiburan di jalan itu. Kya-kya Kembang Jepun memang tiada duanya ketika kawasan itu semarak dengan malam budaya. The spirit of place, sajian arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Kaya dengan apresiasi budaya. Dari musik keroncong, tarian dan musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Belum lagi pagelaran acara bertema special, macam Shanghai Night, Dancing on the Street, dan Festival Bulan Purnama. Ah, aku jadi begitu rindu dengan kemeriahan kota lamaku. Tempat yang sarat dengan cerita suka sekaligus bersayat luka.
”Kamu china? Tinggal di Kembang Jepun?!”
”Iya Bunda. Ada masalah?” sahut Elang, sambil memegang tangan kanan bundanya senja itu di teras rumah mereka. Saat itu aku benar-benar bingung, sedih, kecewa, dan mati saja rasanya hati ini. Sudah kuduga, pasti bundanya tak bisa menerimaku. Perbedaan kami begitu banyak, etnis, agama, dan materi.
Bunda Elang hanya melirikku, lalu melengos meninggalkan kami berdua. Segera kubangkit dari kursi, dan aku secepatnya melangkah keluar teras. Meninggalkan rumah besar itu. Ku terjang derasnya hujan. Tak kugubris teriakan Elang.
Batinku menjerit, ”Kamu tak pernah punya daya arung sebagai lelaki Elang, namun kupaham. Karena trah, penerus dan pewaris tunggal Raden Priyo Kusumo membelenggumu akan sebuah pilihan. I know hon, ic. Never mind…”
Aku terus berjalan menyusuri jalan, memunguti puing-puing kehancuran hati dan cintaku senja itu. Aku harus kembali kuat seperti saat sebelum bertemu Elang. Seperti saat aku hidup sendiri, sebatang kara, karena mama meninggal tertabrak mobil angkut, ketika mau menggelar barang dagangannya di trotoar depan toko koko Hendra. Sedang papaku, sampai sekarang tak tahu rimbanya. Kata mama, sejak aku berusia 3 tahun, papa pergi sementara waktu sampai tak ada yang mencurigainya sebagai orang PKI. Dendamku pada sebuah Orde yang begitu bengis dan begitu mudah memvonis. Tak pernah berpikir begitu banyak memakan korban anak-anak yang psikologisnya menjadi tragis.
Terus kutelusuri riak-riak kecil air yang terkadang membanjiri jalan, dari jl. Sumatra hingga tak terasa aku telah sampai jl. Rajawali. Aku lelah sekali, tubuh semampaiku mulai kedinginan, menggigil. Dan tak terasa aku telah sampai di kamar kostku, di kawasan Kembang Jepun.
Semenjak itu, aku menghilang dari kehidupan Elang. Padahal di dalam rahimku telah ada benih cinta kami. Hanya untuk membuktikan bahwa aku tak sehina tuduhan bundanya, bahwa anak Kembang Jepun identik dengan keturunan geshia. Sebuah hal yang mustahil, ketika anak gadisnya masih perawan. Dan kami lakukan persetubuhan itu atas nama cinta. Kubuktikan kegadisanku pada Elang, sekaligus dia berharap dengan kehamilanku, bundanya mau merestui hubungan kami. Namun sebelum semuanya ini kami sampaikan kepada bundanya, aku memilih pergi setelah peristiwa senja itu, daripada sakitku makin tak bisa membuatku menikmati pernikahanku dengan Elang.
”Kamu perempuan bodoh me! Ndak cengli.”
Tak kuhiraukan kalimat seru cece Lani. Aku terus mengemasi semua pakaianku dari lemari kamar kostku.
”Kamu baru saja berkarir di dunia model karena Elang. Lalu kamu membiarkan dirimu hamil dan pergi darinya.”
Kulirik sejenak cece Lani, sahabat, teman satu kamarku, seorang waitress café di Kembang Jepun. Lalu kuhela nafas panjang, kuusap perutku yang mulai membuncit.
”Ada beberapa pilihan yang bisa kamu ambil. Minta pertanggungjawaban Elang, kawin lari, atau kamu gugurkan kandunganmu. Biar karirmu tak terganggu. Jangan bodohlah me.”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Setelah selesai berkemas, kucium pipi cece Lani. ”Ndak tahulah ce. Kamsiya. Aku harus pergi.”
Cece Lani menghalangi langkahku, ditatapnya aku, mata sipit kami beradu, kubuang pandangku ke lantai ubin kamar. Lalu jemari tangan kanannya memegang daguku, dan diarahkan padanya.
”Me, terus ndik mana kamu ntik tinggal? Mau pergi kemana? Ntik yok apa dengan…”
Segera kupegang tangan kanannya, kupeluk tubuh mungilnya. Dia menangisi kepergianku. Tujuh tahun kami selalu bersama dalam keceriaan dan kesedihan, sebuah persahabatan yang terjalin karena sakit yang kami rasakan sama. Di jalan kami bertemu dan di jalan kami hidup bersama.
”Sudahlah ce, biarkan meme pilih jalan hidup yang sebenarnya.”
Semenjak itu kami hanya berhubungan lewat surat. Dan satu tahun kemudian dia menikah dengan koko Johan, sales marketing salah satu produk minuman di café tempatnya bekerja.
Keterpurukan masa laluku tak menjadikan aku mati jiwa. Dengan tabungan yang ku miliki, kuberanikan diri pijaki bumi Jakarta. Beruntung kontrakku dengan beberapa iklan masih menghasilkan royalti. Hingga aku bisa merawat kandunganku dengan baik, selain bisa mengontrak rumah mungil di pinggiran Jakarta, dan sanggup menggaji ning Ginah, pembantu yang kubawa dari Surabaya. Dia yang selama ini membantuku berjualan baju di kaki lima Kembang Jepun, sebelum Elang, seorang fotografer ternama di Surabaya menemukanku, mengajakku menjadi modelnya, lalu memacariku dan mengajakku menikah.
”Sungguh, kusisakan cinta itu buatmu, bukan berarti kau tersia dan terbuang hon. Namun ku memang tak bisa mengikisnya habis. Aku terluka karenamu, bukan karena kau telah menyakitiku, namun karena kau pernah datang dengan keseluruhan cintamu…buat Kemilau….buah cinta kita, aku panggil dia Key…kunci cinta kita hon…”
Kukirim email kepada Elang, terus mengalir saja tak henti satu tahun ini, namun tak pernah ada jawaban darinya. Akupun tak mau mencari dimana dia. Bagiku kehadiran Key sudah sangat berarti. Aku hanya ingin, dia tahu aku punya bukti cinta itu tetap untuknya.
Meski karirku sebagai model cemerlang, namun ku tetap tak bisa memberi keluarga yang sempurna bagi seorang Key. Hingga ku terima pinangan Erick, seorang manajer hotel tempatku menginap, ketika aku ada show di Paris. Dia lelaki romantis yang bisa membuatku melupakan Elang meski hanya sejenak.
Aku memang wanita pemuja suasana, yang begitu merindukan sebuah kelembutan hati dan belaian kasih yang bisa menjadikanku wanita seutuhnya.
”I wanna married with you.”
Aku begitu larut dengan Erick yang meminangku di kala sunrise di bawah ”Gadis Besi” menara karya Alexandre Gustave Eiffel itu.
Tiga bulan kemudian, kami mengikat janji suci, menikah di Champ de Mars, di bawah la tour Eiffel, semua mengalir begitu saja, bak aliran sungai Seine yang terus setia menyejukkan besi menara itu, ketika panas menyengatnya. Sebuah surga dunia yang tak pernah ada dalam impianku. Bulan madu yang indah dengan mengunjungi istana Versailles, aku merasa menjadi permaisuri Louis XVIII. Mungkin ini sebuah kemenanganku atas pertapaan batinku selama ini. Meskipun sejujurnya aku belum sepenuhnya punya cinta buat Erick, namun aku ingat pesan ning Ginah, menikahkah dengan orang yang mencintaimu, kelak kamu akan bahagia. Dan Erick bisa menerimaku apa adanya. Bagiku saat itu, aku ingin membina sebuah mahligai indah berumah tangga.
Setelah menikah dan tinggal di Paris, Tuhan belum juga menitipkan buah hati kami di dalam rahimku. Mungkin karena di sudut hatiku, masih begitu lekat bayang seorang Elang. Hingga tak ada keikhlasan rahim ini buat mengandung benih Erick, entahlah. Padahal, Erick begitu tulus mencintaiku dan Key.
Ternyata Tuhan hanya sembilan bulan menjodohkan kami, Erick meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hatiku hancur karena aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku kembali hidup hanya bertiga dengan Key dan ning Ginah. Lalu kuputuskan untuk kembali ke Indonesia. Aku memilih Surabaya karena bagiku, kota ini adalah ibuku. Aku selalu home sick dimanapun aku tinggal. Aku mulai membuka sebuah usaha, yang tak jauh dari keahlianku. Membuka butik di Pasar Atum.
Butikku makin maju. Hingga aku bertemu dengan Prima Laksana, seorang designer kondang Surabaya. Meskipun pekerjaannya akrab dengan dunia perempuan, namun Prima adalah lelaki macho dan begitu sempurna di mataku. Kami sering mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah, setelah tujuh bulan berpacaran. Meski usianya lima tahun di bawahku. Aku sudah merasa mantap menyandarkan kelelahan hatiku padanya. Bagiku ini pernikahanku yang terakhir. Dia begitu bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayangi Key.
”Benar kan kataku. Kamu bisa temukan lelaki yang lebih baik dari semua lelaki yang pernah ada dalam hatimu…”
Aku hanya manggut-manggut mendengar kalimat cece Lani, sambil memegang cincin berlian yang telah melingkari jari manis kananku lima bulan ini. Lalu kami masuk ke dalam Rembulan café di Tunjungan Plaza III. Kami rehat sebentar, capek banget setelah shoping seharian sekalian nostalgia, karena kami lama ndak jalan bareng.
”Belum ada tanda-tanda junior Prima di perutmu me?”
Aku mengelus perutku yang masih ramping, sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan mengikuti cece Lani duduk di sudut kanan belakang cafe. Namun setelah duduk, pandanganku serasa tak nyaman dengan yang kulihat di samping kiri meja kami.
Aku kenal sekali dengan performance lelaki, dengan hem lengan panjang biru laut, yang hanya terlihat punggungnya itu. Aku terdiam, tak menggubris kalimat-kalimat cece Lani. Lalu cece Lani ikut terdiam, melihat ke meja samping kami.
Kedua tangan itu saling erat menggenggam, meremas, dan pasangan lelaki berhem biru itu menangis sesenggukan. Lamat-lamat kudengar kalimat-kalimat yang meluncur dari lelaki berhem biru itu, ketika nada musik cafe berhenti.
”Yakinlah, aku masih sayang kamu. Aku menikah karena buat status saja. Berapa kali harus kubilang? Toh kita masih bisa ketemu tiap hari…sudahlah…ragaku miliknya, tapi hatiku tetap milikmu…”
Rasanya saat itu aku ingin segera membubarkan pemandangan menjijikkan itu. Namun ragaku tak kuat, karena gemuruh detak sang jantung yang benar-benar tak bersahabat lagi dengan tubuhku. Prima Laksana ternyata seorang gay! Aku pingsan!
”Saudari Lilian dan saudara Prima Laksana …silakan masuk ke ruang sidang tiga…”
Tiba-tiba aku dikejutkan suara petugas Pengadilan Agama yang memanggilku ke ruang sidang. Aku memasuki ruang sidang ditemani cece Lani. Nampak di ruang sidang hanya ada pengacara suamiku.
”Sabar me..semoga gugatanmu menang…”
Kalimat cece Lani datar, dia turut merasa sangat bersalah, karena selama ini dialah yang mendorongku untuk menerima lamaran Prima. Maka dia terus setia menemaniku hingga putusan sidang berakhir.
Ketukan palu hakim, memenangkan gugatanku. Namun terasa hampa hatiku dan kosong pikiranku. Kalut tak bermakna rasanya hidup ini, sebuah kelelahan yang tak berkesudahan. Cece Lani lalu membimbingku keluar dari ruang sidang.
”Ijinkan aku datang dengan keseluruhan cintaku…”
Sebuah suara yang datar dan berat, yang pernah kukenal. Aku dan cece Lani menghentikan langkah di pelataran mobil. Kami mencari arah suara itu, di belakang kami. Kami menoleh. Lelaki dengan tampilan macho, celana dan jaket blue jeans, rambut terkuncir rapi ke belakang. Aku merasa, tiba-tiba menjadi arca tua yang siap roboh.
”Elang…!” Sempat kudengar kalimat cece Lani sebelum mataku berkunang-kunang dan dibopong Elang, dibawa masuk ke dalam mobil…batinku menjerit…honey!
”Cik, tolong mobile minggir…”
Suara tukang parkir dan ketukan tangannya di kaca mobilku, membuyarkan lamunanku malam itu. Segera aku menjalankan mobilku. Kulajukan pelan-pelan menyusuri sepanjang jalan Kembang Jepun, sambil kuhapus air mataku yang tiba-tiba begitu saja mengaliri tirus pipiku.
Batinku malam itu. ”Dimana kamu Elang? Rumahmupun telah sunyi tak berpenghuni..maafkan aku hon…”
Rumah Hijau, 230907, energi kepak elang
Ku berhenti di depan toko Orion. Suasana Kembang Jepun masih seperti dulu. Malam makin marak dengan aroma masakan China dan Suroboyoan. Kidung Kya-Kya, begitu ramai dengan polah arek-arek Suroboyo di kampung pecinan itu. Larutnya malam, tak membuat mereka beranjak dari tempatnya. Tetap santai menyenangkan perut, melegakan tenggorokan, dan menyamankan hati dengan berbagai hiburan di jalan itu. Kya-kya Kembang Jepun memang tiada duanya ketika kawasan itu semarak dengan malam budaya. The spirit of place, sajian arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Kaya dengan apresiasi budaya. Dari musik keroncong, tarian dan musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Belum lagi pagelaran acara bertema special, macam Shanghai Night, Dancing on the Street, dan Festival Bulan Purnama. Ah, aku jadi begitu rindu dengan kemeriahan kota lamaku. Tempat yang sarat dengan cerita suka sekaligus bersayat luka.
”Kamu china? Tinggal di Kembang Jepun?!”
”Iya Bunda. Ada masalah?” sahut Elang, sambil memegang tangan kanan bundanya senja itu di teras rumah mereka. Saat itu aku benar-benar bingung, sedih, kecewa, dan mati saja rasanya hati ini. Sudah kuduga, pasti bundanya tak bisa menerimaku. Perbedaan kami begitu banyak, etnis, agama, dan materi.
Bunda Elang hanya melirikku, lalu melengos meninggalkan kami berdua. Segera kubangkit dari kursi, dan aku secepatnya melangkah keluar teras. Meninggalkan rumah besar itu. Ku terjang derasnya hujan. Tak kugubris teriakan Elang.
Batinku menjerit, ”Kamu tak pernah punya daya arung sebagai lelaki Elang, namun kupaham. Karena trah, penerus dan pewaris tunggal Raden Priyo Kusumo membelenggumu akan sebuah pilihan. I know hon, ic. Never mind…”
Aku terus berjalan menyusuri jalan, memunguti puing-puing kehancuran hati dan cintaku senja itu. Aku harus kembali kuat seperti saat sebelum bertemu Elang. Seperti saat aku hidup sendiri, sebatang kara, karena mama meninggal tertabrak mobil angkut, ketika mau menggelar barang dagangannya di trotoar depan toko koko Hendra. Sedang papaku, sampai sekarang tak tahu rimbanya. Kata mama, sejak aku berusia 3 tahun, papa pergi sementara waktu sampai tak ada yang mencurigainya sebagai orang PKI. Dendamku pada sebuah Orde yang begitu bengis dan begitu mudah memvonis. Tak pernah berpikir begitu banyak memakan korban anak-anak yang psikologisnya menjadi tragis.
Terus kutelusuri riak-riak kecil air yang terkadang membanjiri jalan, dari jl. Sumatra hingga tak terasa aku telah sampai jl. Rajawali. Aku lelah sekali, tubuh semampaiku mulai kedinginan, menggigil. Dan tak terasa aku telah sampai di kamar kostku, di kawasan Kembang Jepun.
Semenjak itu, aku menghilang dari kehidupan Elang. Padahal di dalam rahimku telah ada benih cinta kami. Hanya untuk membuktikan bahwa aku tak sehina tuduhan bundanya, bahwa anak Kembang Jepun identik dengan keturunan geshia. Sebuah hal yang mustahil, ketika anak gadisnya masih perawan. Dan kami lakukan persetubuhan itu atas nama cinta. Kubuktikan kegadisanku pada Elang, sekaligus dia berharap dengan kehamilanku, bundanya mau merestui hubungan kami. Namun sebelum semuanya ini kami sampaikan kepada bundanya, aku memilih pergi setelah peristiwa senja itu, daripada sakitku makin tak bisa membuatku menikmati pernikahanku dengan Elang.
”Kamu perempuan bodoh me! Ndak cengli.”
Tak kuhiraukan kalimat seru cece Lani. Aku terus mengemasi semua pakaianku dari lemari kamar kostku.
”Kamu baru saja berkarir di dunia model karena Elang. Lalu kamu membiarkan dirimu hamil dan pergi darinya.”
Kulirik sejenak cece Lani, sahabat, teman satu kamarku, seorang waitress café di Kembang Jepun. Lalu kuhela nafas panjang, kuusap perutku yang mulai membuncit.
”Ada beberapa pilihan yang bisa kamu ambil. Minta pertanggungjawaban Elang, kawin lari, atau kamu gugurkan kandunganmu. Biar karirmu tak terganggu. Jangan bodohlah me.”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Setelah selesai berkemas, kucium pipi cece Lani. ”Ndak tahulah ce. Kamsiya. Aku harus pergi.”
Cece Lani menghalangi langkahku, ditatapnya aku, mata sipit kami beradu, kubuang pandangku ke lantai ubin kamar. Lalu jemari tangan kanannya memegang daguku, dan diarahkan padanya.
”Me, terus ndik mana kamu ntik tinggal? Mau pergi kemana? Ntik yok apa dengan…”
Segera kupegang tangan kanannya, kupeluk tubuh mungilnya. Dia menangisi kepergianku. Tujuh tahun kami selalu bersama dalam keceriaan dan kesedihan, sebuah persahabatan yang terjalin karena sakit yang kami rasakan sama. Di jalan kami bertemu dan di jalan kami hidup bersama.
”Sudahlah ce, biarkan meme pilih jalan hidup yang sebenarnya.”
Semenjak itu kami hanya berhubungan lewat surat. Dan satu tahun kemudian dia menikah dengan koko Johan, sales marketing salah satu produk minuman di café tempatnya bekerja.
Keterpurukan masa laluku tak menjadikan aku mati jiwa. Dengan tabungan yang ku miliki, kuberanikan diri pijaki bumi Jakarta. Beruntung kontrakku dengan beberapa iklan masih menghasilkan royalti. Hingga aku bisa merawat kandunganku dengan baik, selain bisa mengontrak rumah mungil di pinggiran Jakarta, dan sanggup menggaji ning Ginah, pembantu yang kubawa dari Surabaya. Dia yang selama ini membantuku berjualan baju di kaki lima Kembang Jepun, sebelum Elang, seorang fotografer ternama di Surabaya menemukanku, mengajakku menjadi modelnya, lalu memacariku dan mengajakku menikah.
”Sungguh, kusisakan cinta itu buatmu, bukan berarti kau tersia dan terbuang hon. Namun ku memang tak bisa mengikisnya habis. Aku terluka karenamu, bukan karena kau telah menyakitiku, namun karena kau pernah datang dengan keseluruhan cintamu…buat Kemilau….buah cinta kita, aku panggil dia Key…kunci cinta kita hon…”
Kukirim email kepada Elang, terus mengalir saja tak henti satu tahun ini, namun tak pernah ada jawaban darinya. Akupun tak mau mencari dimana dia. Bagiku kehadiran Key sudah sangat berarti. Aku hanya ingin, dia tahu aku punya bukti cinta itu tetap untuknya.
Meski karirku sebagai model cemerlang, namun ku tetap tak bisa memberi keluarga yang sempurna bagi seorang Key. Hingga ku terima pinangan Erick, seorang manajer hotel tempatku menginap, ketika aku ada show di Paris. Dia lelaki romantis yang bisa membuatku melupakan Elang meski hanya sejenak.
Aku memang wanita pemuja suasana, yang begitu merindukan sebuah kelembutan hati dan belaian kasih yang bisa menjadikanku wanita seutuhnya.
”I wanna married with you.”
Aku begitu larut dengan Erick yang meminangku di kala sunrise di bawah ”Gadis Besi” menara karya Alexandre Gustave Eiffel itu.
Tiga bulan kemudian, kami mengikat janji suci, menikah di Champ de Mars, di bawah la tour Eiffel, semua mengalir begitu saja, bak aliran sungai Seine yang terus setia menyejukkan besi menara itu, ketika panas menyengatnya. Sebuah surga dunia yang tak pernah ada dalam impianku. Bulan madu yang indah dengan mengunjungi istana Versailles, aku merasa menjadi permaisuri Louis XVIII. Mungkin ini sebuah kemenanganku atas pertapaan batinku selama ini. Meskipun sejujurnya aku belum sepenuhnya punya cinta buat Erick, namun aku ingat pesan ning Ginah, menikahkah dengan orang yang mencintaimu, kelak kamu akan bahagia. Dan Erick bisa menerimaku apa adanya. Bagiku saat itu, aku ingin membina sebuah mahligai indah berumah tangga.
Setelah menikah dan tinggal di Paris, Tuhan belum juga menitipkan buah hati kami di dalam rahimku. Mungkin karena di sudut hatiku, masih begitu lekat bayang seorang Elang. Hingga tak ada keikhlasan rahim ini buat mengandung benih Erick, entahlah. Padahal, Erick begitu tulus mencintaiku dan Key.
Ternyata Tuhan hanya sembilan bulan menjodohkan kami, Erick meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hatiku hancur karena aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku kembali hidup hanya bertiga dengan Key dan ning Ginah. Lalu kuputuskan untuk kembali ke Indonesia. Aku memilih Surabaya karena bagiku, kota ini adalah ibuku. Aku selalu home sick dimanapun aku tinggal. Aku mulai membuka sebuah usaha, yang tak jauh dari keahlianku. Membuka butik di Pasar Atum.
Butikku makin maju. Hingga aku bertemu dengan Prima Laksana, seorang designer kondang Surabaya. Meskipun pekerjaannya akrab dengan dunia perempuan, namun Prima adalah lelaki macho dan begitu sempurna di mataku. Kami sering mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah, setelah tujuh bulan berpacaran. Meski usianya lima tahun di bawahku. Aku sudah merasa mantap menyandarkan kelelahan hatiku padanya. Bagiku ini pernikahanku yang terakhir. Dia begitu bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayangi Key.
”Benar kan kataku. Kamu bisa temukan lelaki yang lebih baik dari semua lelaki yang pernah ada dalam hatimu…”
Aku hanya manggut-manggut mendengar kalimat cece Lani, sambil memegang cincin berlian yang telah melingkari jari manis kananku lima bulan ini. Lalu kami masuk ke dalam Rembulan café di Tunjungan Plaza III. Kami rehat sebentar, capek banget setelah shoping seharian sekalian nostalgia, karena kami lama ndak jalan bareng.
”Belum ada tanda-tanda junior Prima di perutmu me?”
Aku mengelus perutku yang masih ramping, sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan mengikuti cece Lani duduk di sudut kanan belakang cafe. Namun setelah duduk, pandanganku serasa tak nyaman dengan yang kulihat di samping kiri meja kami.
Aku kenal sekali dengan performance lelaki, dengan hem lengan panjang biru laut, yang hanya terlihat punggungnya itu. Aku terdiam, tak menggubris kalimat-kalimat cece Lani. Lalu cece Lani ikut terdiam, melihat ke meja samping kami.
Kedua tangan itu saling erat menggenggam, meremas, dan pasangan lelaki berhem biru itu menangis sesenggukan. Lamat-lamat kudengar kalimat-kalimat yang meluncur dari lelaki berhem biru itu, ketika nada musik cafe berhenti.
”Yakinlah, aku masih sayang kamu. Aku menikah karena buat status saja. Berapa kali harus kubilang? Toh kita masih bisa ketemu tiap hari…sudahlah…ragaku miliknya, tapi hatiku tetap milikmu…”
Rasanya saat itu aku ingin segera membubarkan pemandangan menjijikkan itu. Namun ragaku tak kuat, karena gemuruh detak sang jantung yang benar-benar tak bersahabat lagi dengan tubuhku. Prima Laksana ternyata seorang gay! Aku pingsan!
”Saudari Lilian dan saudara Prima Laksana …silakan masuk ke ruang sidang tiga…”
Tiba-tiba aku dikejutkan suara petugas Pengadilan Agama yang memanggilku ke ruang sidang. Aku memasuki ruang sidang ditemani cece Lani. Nampak di ruang sidang hanya ada pengacara suamiku.
”Sabar me..semoga gugatanmu menang…”
Kalimat cece Lani datar, dia turut merasa sangat bersalah, karena selama ini dialah yang mendorongku untuk menerima lamaran Prima. Maka dia terus setia menemaniku hingga putusan sidang berakhir.
Ketukan palu hakim, memenangkan gugatanku. Namun terasa hampa hatiku dan kosong pikiranku. Kalut tak bermakna rasanya hidup ini, sebuah kelelahan yang tak berkesudahan. Cece Lani lalu membimbingku keluar dari ruang sidang.
”Ijinkan aku datang dengan keseluruhan cintaku…”
Sebuah suara yang datar dan berat, yang pernah kukenal. Aku dan cece Lani menghentikan langkah di pelataran mobil. Kami mencari arah suara itu, di belakang kami. Kami menoleh. Lelaki dengan tampilan macho, celana dan jaket blue jeans, rambut terkuncir rapi ke belakang. Aku merasa, tiba-tiba menjadi arca tua yang siap roboh.
”Elang…!” Sempat kudengar kalimat cece Lani sebelum mataku berkunang-kunang dan dibopong Elang, dibawa masuk ke dalam mobil…batinku menjerit…honey!
”Cik, tolong mobile minggir…”
Suara tukang parkir dan ketukan tangannya di kaca mobilku, membuyarkan lamunanku malam itu. Segera aku menjalankan mobilku. Kulajukan pelan-pelan menyusuri sepanjang jalan Kembang Jepun, sambil kuhapus air mataku yang tiba-tiba begitu saja mengaliri tirus pipiku.
Batinku malam itu. ”Dimana kamu Elang? Rumahmupun telah sunyi tak berpenghuni..maafkan aku hon…”
Rumah Hijau, 230907, energi kepak elang
Puisi-Puisi Javed Paul Syatha
Nelayan
Ia
nahkoda bagi jiwaku
tuan atas nasibnya sendiri.
Tuan
kitalah nelayan
engkau perompaknya.
Lamongan, 2001
Candra Kirana
kita akan pergi ke negeri malam negeri tak berjejak
dari sebuah mimpi yang jauh
menyadarkan atas rembulan
dengan secerca purnama
selalu kita menajamkan gerimis
jiwa yang tak tertangkap
dalam percik senyawa;
sebagai tarian etnis
mematangkan pijakan peradaban
kebudayaan
dan kita masih mendengar gerimis
di luar jendela semakin menderas
mandikan tubuh yang rindu,
maka merdekalah jiwa
yang dirangkum dalam kekhusukan
kenaifan
"entah, dapatkah kita tangkap
rembulan bersayap dengan liarnya"
sementara
senyum yang kita simpan
tengah merampungkan hujan di pelataran
sekaligus gelak tawa anakanak dalam
bingkai kanvas musim ini
berlukiskan
segugus peristiwa dan kenangan
dan kita membicarakannya dalam dialog
penuh warna dengan kearifan.
Lamongan, 2005
The Lamongan Soul
lamongan lagilagi bersandar
pada pilarpilar rongsok
pada seonggok batu akik tak bertuah
:sekian namanama dijual dan diludahkan
menjadi kotoran keranjang sampah.
lamongan adalah kedok bagi
kebebasan jiwa
kaum banci
homo
dan lesbian
maka matahari menjadi teror bagi waktu
meletakkan permainan dalam celana kolor
dan kita memainkannya tanpa aturan
permainan yang tak seorangpun menang
permainan tanpa kata tanpa batas ujungnya
(dan tak seorangpun berani membuka topeng
di hadapan wajah mereka sendirisendiri)
adalah batubatu waktu
mengucapkan kata pembuka
namun tak sanggup menembus ruang hampa
sketsa langitlangit hitam putih.
o, semua hilang dalam keheningan
katakata tanpa bayang
bahasa
kebenaran telah luluh lantak
kejujuran hancur lebur pada nisan
ya, lamongan adalah perkabungan bagi jiwa
bagi anaknya.
Lamongan, 2006
Ia
nahkoda bagi jiwaku
tuan atas nasibnya sendiri.
Tuan
kitalah nelayan
engkau perompaknya.
Lamongan, 2001
Candra Kirana
kita akan pergi ke negeri malam negeri tak berjejak
dari sebuah mimpi yang jauh
menyadarkan atas rembulan
dengan secerca purnama
selalu kita menajamkan gerimis
jiwa yang tak tertangkap
dalam percik senyawa;
sebagai tarian etnis
mematangkan pijakan peradaban
kebudayaan
dan kita masih mendengar gerimis
di luar jendela semakin menderas
mandikan tubuh yang rindu,
maka merdekalah jiwa
yang dirangkum dalam kekhusukan
kenaifan
"entah, dapatkah kita tangkap
rembulan bersayap dengan liarnya"
sementara
senyum yang kita simpan
tengah merampungkan hujan di pelataran
sekaligus gelak tawa anakanak dalam
bingkai kanvas musim ini
berlukiskan
segugus peristiwa dan kenangan
dan kita membicarakannya dalam dialog
penuh warna dengan kearifan.
Lamongan, 2005
The Lamongan Soul
lamongan lagilagi bersandar
pada pilarpilar rongsok
pada seonggok batu akik tak bertuah
:sekian namanama dijual dan diludahkan
menjadi kotoran keranjang sampah.
lamongan adalah kedok bagi
kebebasan jiwa
kaum banci
homo
dan lesbian
maka matahari menjadi teror bagi waktu
meletakkan permainan dalam celana kolor
dan kita memainkannya tanpa aturan
permainan yang tak seorangpun menang
permainan tanpa kata tanpa batas ujungnya
(dan tak seorangpun berani membuka topeng
di hadapan wajah mereka sendirisendiri)
adalah batubatu waktu
mengucapkan kata pembuka
namun tak sanggup menembus ruang hampa
sketsa langitlangit hitam putih.
o, semua hilang dalam keheningan
katakata tanpa bayang
bahasa
kebenaran telah luluh lantak
kejujuran hancur lebur pada nisan
ya, lamongan adalah perkabungan bagi jiwa
bagi anaknya.
Lamongan, 2006
Jumat, 22 Agustus 2008
BALADA DI BUKIT PASIR PRAHARA
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=108
(I) Yang menapaki bencah pasir pesisir,
mendaki bukit-bukit rindu,
dan angin selalu menyapu kakiku;
seperti seorang putri mengusap keningku,
kala keringat mulai bercukulan
lantas cepat menguap bersamanya.
(II) Ia bagaikan pengembara
berteduh di bawah trembesi tua,
cahaya surya beranjak sore,
melagukan kidung jingga kemesraan;
dan di manakah asal,
tempat tinggal dunia semestinya?
(III) Aku hawa kering, menuliskan lirik laut selatan,
menggerakkan kertas surat-surat ini
yang miliki ruh sebentuk makhluk,
lalu mereka terbuai angin pantai.
(IV) Kala mega kelam merunduk panjang,
ditarik serombongan taupan,
derap kereta kencana menghampiri singgahsana;
petilasan aku melamun sebuah dunia!
(V) Pagi pun sayup, ada yang berbisik di belakang,
sekerumun gadis membicarakan aku, kala di bukit pasirmu.
(VI) Ribuan pasang mata mengintai nasib dan nyawaku,
kegelisahanku bercampur senang,
karena alunan seruling langit setia memberi kabar,
laksana berita yang tak akan usai.
(VII) Di segugus bukit pasir, kudengar gemuruh ombak
terus menggelepar, menggelegar di balik hatimu;
suara genta semakin lama bertambah kencang,
denting klenengan meninggi, membukit gemitar;
aku diburu bayangan kematian.
(VIII) Pengembara tua bergegas melangkah,
menyisir rumput selamatkan satwa;
aku melintasi bayang mentari,
disapu lembut angin lembah senantiasa.
(IX) Kepala di bawa hati, nikmati hidupku,
terkoyak momok rindu waktumu;
walau pandanganmu jauh menerawang,
tetapi sayapku yang tunggal, tak pernah engkau perhatikan.
(X) Daun-daun akasia dihempas angin sekutu,
muntahan gelombang kikis ketegaran,
dan tak terasa; pasir yang biasa engkau tiup
semakin mengubur renunganku.
(XI) Begini saja, ucapkan salam buat kukenang; lalu
lihatlah burung-burung kecil melintas sekali terhempas di udara,
suaranya yang riuh lenyap, bersama mantra puja pernah lewat.
(XII) Di depanku, seekor kuda jantan mangais nasibnya,
kesepian, karena kaki-kakinya tak serupa tenaga muda;
akankah ia sanggup menjilat langit
sekobaran tungku kawah candradimuka.
(XIII) Pelanlah kasih, jangan dikejar ketakutanmu ngilu sepi,
sebab di ketiak sayap-sayap itu terselip sepasang pisau berkilatan,
menarik nyawa yang terlena.
(XIV) Boleh engkau melakukannya,
sebab dalam dadamu nasib cepat berubah,
namun berbuatlah bijak, serupa kasih angin geladak,
yang selalu mengipasi perjalananmu.
(XV) Rambutmu yang panjang, biarkanlah tergerai, usah
kau perhatikan bolamata-bolamata menguntit keberadaanmu,
sebab engkau telah aku selimuti dengan keganjilan agung
yang tak pernah aku lakukan pada mereka.
(XVI) Yang engkau jalankan sesuci kehendak mulia;
para cendekia di dalam sangkar,
atau burung timur bebas berkelana.
Dalam dirimu, ada kebimbangan penuh
yang sanggup menyatukan timur-barat,
dan selamanya engkau begitu.
(XVII) Seirama bayu,
awan kesedihan ini mengikuti masa-masa harus mereka lewati,
sedang engkau, pralambang yang mengasyikkan.
(XVIII) Dari jauh, angin menderu kencang; berpuluh-puluh
gelombang siap menerjang kemah-kemah berteratak tegar,
juga ia bakal genggam bulir-bulir pasir kemanusiaan.
(XIX) Di sini kau jauhi dunia keramaian,
sedang mereka hanya merekam prahara,
sementara badai tengah engkau bangun
sejumlah angin mengajarkan kepadamu;
dari tepian jauh dikau rasakan itu,
lalu terkenang oleh cinta akan kejujuran.
(XX) Lolongan anjing menyita kehusyukanku,
aku tahu energi suaranya dibantu angin kelestarianmu;
gending-gending sebentar sayu lalu menggenta,
aku pun pula tenaga prahara engkau setubuhi,
dan tak terasa angin pantai menjadi Maha Guru
di waktu hatimu sedingin salju.
(XXI) Sesekali sisirlah rambutmu walau sejenak,
searah angin mengajakmu pergi jauh,
meski nantinya kembali kusut;
yang engkau jalankan,
serupa ikan-ikan hidup di dasar samudra,
perlu bernafas, sesuci manusia menghirup denyutan semesta.
(XXII) Halus butiran pasir itu
semakin tinggi, lembut selendang diterbangkan,
mendorong menyapa lewat surat-surat tertakdirkan
bagi persembahan nyawamu-nyawaku,
dan nafasmu itu nafasku di alam panggung.
(XXIII) Di ubun-ubun kepalaku,
awan menjelma jala-jala angkasa
semakin cepat menyebar,
keinginannya aku sebagai tangkapannya,
demi persembahan di altar candi para dewa;
namun ada kekuatan lain yang mencegah,
sehingga daku luput dari jeruji,
karena Sang Waktu belum berkenan.
(XXIV) Yang mencipta waktu
menjadi bebunga penghuni pantai;
ia sosok penjaga taman,
duduk sendirian menikmati harum kembang,
dari musim satu ke musim lainnya;
lantas kulit ruh terpesona dan mempesona.
(XXV) Kembali memandangmu,
tarian janur-janur serasi waktu membiru,
mengikuti ritme riak gelombang yang terdengar
dari balik pebukitan dunia;
dirinya yang lembut bertirai,
sedang engkau, sudah melewati tirai ke berapa?
(XXVI) Tatkala mutut membisu, kubaca bola matanya,
tangannya yang santun begitu lembut, ada penantian tak jenuh
menunggu sang ayu menghampirimu;
daun hijau bercahaya, embun murni mengkristal.
(XXVII) Saudaraku,
geserlah tempat dudukmu walau sebentar,
sebenarnya di belakang punggung bukit,
pohon-pohon subur sulur-menjulur,
berdiri tegas atas hembusan angin nuranimu;
tapi tahukah engkau? Dan terfikirkah mereka?
Ia melakukan itu, menanti kehadiranmu,
dekapanmu yang bersahabat,
sebelum perpisahan takdir melepas.
(XXVIII) Seharusnya jangan hentikan sampai di situ,
sebab ruh dalam dadamu siap membantu;
seakan waktu selalu baru menuju kepemudaan cahaya.
(XXIX) Jika engkau mengambili benang-benang tercurah
dari kasih sayang hujan kepadamu, itu masih ada.
(XXX) Yang biasa di dunia terpencil, kenapa masih ada gelisah?
Lalu ingin mengakhiri nikmatnya vibrasi mahabbah?
Padahal sudah banyak tenaga kau petik dari gairahnya;
bukankah hanya tak enak atas sahabat karibmu
yang menunggu dengan murung sepertimu juga.
(XXXI) Yang ia kerjakan mengasah pucuk karang
menjadikan bebijian pasir bermakna;
tidak hanya bagimu, untuk mereka pula,
walau waktu itu mereka melupakan dirimu,
padahal terngiang setuju
atas angin-gelombang pernah ia singgahi,
sebagai tempat menimba sumur keabadian itu.
(XXXII) Santai saja,
cukup engkau kenang, lalu mereka merasakan pula;
biarkan ia berjalan dengan pilihannya,
dan engkau melangkah pada keyakinanmu.
Terus atau sudah cukup,
sampai kembali sebagai manusia asing di hadapan mereka.
(XXXIII) Yang telah menggerakkan
grafitasi nasib dunia walau sekejap,
partikel auraku berpijar terang,
dan parfum atmosfirnya tetap melekap pada mereka;
ini mawar hitam, racun cair racikan jaman, kata mereka.
(XXXIV) Ia tanggalkan pebekalan
kala tinta hitamnya berlayar tanpa rencana;
kau telah melakukan juga,
merasakan bagaimana bumi ini digedor dari dalam,
dan tubuhmu berlapis kekuatan.
(XXXV) Meninggikan unsur sukma sejati
pada dataran mulia,
teratai semakin tinggi tangkainya;
kelebihanmu dari mereka,
yang hanya menanti antrian waktu.
(XXXVI) Tidak cukup merentang,
sudah lama menghabiskan atom nyawa
demi pengembaraan tanpa telatah,
bagaikan tertikam belati malam menggigil putus asa.
Engkau memeluk bintang-gemintang setelah saling pandang,
demi mengembalikan dinaya;
yang dicuri akan kembali, yang memberi segera menerima,
bagi persembahkan senyum, mendapat kecupan mesra.
(XXXVII) Kini danau matanya keruh,
pasir berhamburan, bergolak di arus deras,
melemparkan jasad melobangi angkasa;
hanya mata dekatlah, mengerti rindu dari pedihnya ujung pena.
(XXXVIII) Pentas mulai digelar,
para pelukis sedikit menorehkan keberanian warna,
dan para penyair baru menggores beberapa aksara,
seakan merangkum dunia dengan kesombongan;
mereka rasa telah unggul dari Sang Pencipta.
Separuh dari mereka berucap;
“bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!”
(XXXIX) Sementara itu,
aku tetap duduk di rerumputan hijau perawan,
sambil memahat waktu di atas batu,
menujum takdirku untuk mereka.
(XXL) Sesekali untaian rambut mengenai mukaku,
aku biarkan, dan terkadang kuseka lembut
dengan jemari tangan yang ada cincin setia darinya.
(XXLI) Lalu ia berjalan, sambil mengunyah makna batu nisan;
berkali-kali senja menyeret matahari,
jam-jam kembali terhenti di embun daun kalbumu.
Serupa malam-malam sebelumnya,
kesepian tanpa seorang teman,
juga tiada lagi, kata mereka;
“raut yang patut dibayangkan!”
21 September 2000, Parang Tritis Yogyakarta.
http://pustakapujangga.com/?p=108
(I) Yang menapaki bencah pasir pesisir,
mendaki bukit-bukit rindu,
dan angin selalu menyapu kakiku;
seperti seorang putri mengusap keningku,
kala keringat mulai bercukulan
lantas cepat menguap bersamanya.
(II) Ia bagaikan pengembara
berteduh di bawah trembesi tua,
cahaya surya beranjak sore,
melagukan kidung jingga kemesraan;
dan di manakah asal,
tempat tinggal dunia semestinya?
(III) Aku hawa kering, menuliskan lirik laut selatan,
menggerakkan kertas surat-surat ini
yang miliki ruh sebentuk makhluk,
lalu mereka terbuai angin pantai.
(IV) Kala mega kelam merunduk panjang,
ditarik serombongan taupan,
derap kereta kencana menghampiri singgahsana;
petilasan aku melamun sebuah dunia!
(V) Pagi pun sayup, ada yang berbisik di belakang,
sekerumun gadis membicarakan aku, kala di bukit pasirmu.
(VI) Ribuan pasang mata mengintai nasib dan nyawaku,
kegelisahanku bercampur senang,
karena alunan seruling langit setia memberi kabar,
laksana berita yang tak akan usai.
(VII) Di segugus bukit pasir, kudengar gemuruh ombak
terus menggelepar, menggelegar di balik hatimu;
suara genta semakin lama bertambah kencang,
denting klenengan meninggi, membukit gemitar;
aku diburu bayangan kematian.
(VIII) Pengembara tua bergegas melangkah,
menyisir rumput selamatkan satwa;
aku melintasi bayang mentari,
disapu lembut angin lembah senantiasa.
(IX) Kepala di bawa hati, nikmati hidupku,
terkoyak momok rindu waktumu;
walau pandanganmu jauh menerawang,
tetapi sayapku yang tunggal, tak pernah engkau perhatikan.
(X) Daun-daun akasia dihempas angin sekutu,
muntahan gelombang kikis ketegaran,
dan tak terasa; pasir yang biasa engkau tiup
semakin mengubur renunganku.
(XI) Begini saja, ucapkan salam buat kukenang; lalu
lihatlah burung-burung kecil melintas sekali terhempas di udara,
suaranya yang riuh lenyap, bersama mantra puja pernah lewat.
(XII) Di depanku, seekor kuda jantan mangais nasibnya,
kesepian, karena kaki-kakinya tak serupa tenaga muda;
akankah ia sanggup menjilat langit
sekobaran tungku kawah candradimuka.
(XIII) Pelanlah kasih, jangan dikejar ketakutanmu ngilu sepi,
sebab di ketiak sayap-sayap itu terselip sepasang pisau berkilatan,
menarik nyawa yang terlena.
(XIV) Boleh engkau melakukannya,
sebab dalam dadamu nasib cepat berubah,
namun berbuatlah bijak, serupa kasih angin geladak,
yang selalu mengipasi perjalananmu.
(XV) Rambutmu yang panjang, biarkanlah tergerai, usah
kau perhatikan bolamata-bolamata menguntit keberadaanmu,
sebab engkau telah aku selimuti dengan keganjilan agung
yang tak pernah aku lakukan pada mereka.
(XVI) Yang engkau jalankan sesuci kehendak mulia;
para cendekia di dalam sangkar,
atau burung timur bebas berkelana.
Dalam dirimu, ada kebimbangan penuh
yang sanggup menyatukan timur-barat,
dan selamanya engkau begitu.
(XVII) Seirama bayu,
awan kesedihan ini mengikuti masa-masa harus mereka lewati,
sedang engkau, pralambang yang mengasyikkan.
(XVIII) Dari jauh, angin menderu kencang; berpuluh-puluh
gelombang siap menerjang kemah-kemah berteratak tegar,
juga ia bakal genggam bulir-bulir pasir kemanusiaan.
(XIX) Di sini kau jauhi dunia keramaian,
sedang mereka hanya merekam prahara,
sementara badai tengah engkau bangun
sejumlah angin mengajarkan kepadamu;
dari tepian jauh dikau rasakan itu,
lalu terkenang oleh cinta akan kejujuran.
(XX) Lolongan anjing menyita kehusyukanku,
aku tahu energi suaranya dibantu angin kelestarianmu;
gending-gending sebentar sayu lalu menggenta,
aku pun pula tenaga prahara engkau setubuhi,
dan tak terasa angin pantai menjadi Maha Guru
di waktu hatimu sedingin salju.
(XXI) Sesekali sisirlah rambutmu walau sejenak,
searah angin mengajakmu pergi jauh,
meski nantinya kembali kusut;
yang engkau jalankan,
serupa ikan-ikan hidup di dasar samudra,
perlu bernafas, sesuci manusia menghirup denyutan semesta.
(XXII) Halus butiran pasir itu
semakin tinggi, lembut selendang diterbangkan,
mendorong menyapa lewat surat-surat tertakdirkan
bagi persembahan nyawamu-nyawaku,
dan nafasmu itu nafasku di alam panggung.
(XXIII) Di ubun-ubun kepalaku,
awan menjelma jala-jala angkasa
semakin cepat menyebar,
keinginannya aku sebagai tangkapannya,
demi persembahan di altar candi para dewa;
namun ada kekuatan lain yang mencegah,
sehingga daku luput dari jeruji,
karena Sang Waktu belum berkenan.
(XXIV) Yang mencipta waktu
menjadi bebunga penghuni pantai;
ia sosok penjaga taman,
duduk sendirian menikmati harum kembang,
dari musim satu ke musim lainnya;
lantas kulit ruh terpesona dan mempesona.
(XXV) Kembali memandangmu,
tarian janur-janur serasi waktu membiru,
mengikuti ritme riak gelombang yang terdengar
dari balik pebukitan dunia;
dirinya yang lembut bertirai,
sedang engkau, sudah melewati tirai ke berapa?
(XXVI) Tatkala mutut membisu, kubaca bola matanya,
tangannya yang santun begitu lembut, ada penantian tak jenuh
menunggu sang ayu menghampirimu;
daun hijau bercahaya, embun murni mengkristal.
(XXVII) Saudaraku,
geserlah tempat dudukmu walau sebentar,
sebenarnya di belakang punggung bukit,
pohon-pohon subur sulur-menjulur,
berdiri tegas atas hembusan angin nuranimu;
tapi tahukah engkau? Dan terfikirkah mereka?
Ia melakukan itu, menanti kehadiranmu,
dekapanmu yang bersahabat,
sebelum perpisahan takdir melepas.
(XXVIII) Seharusnya jangan hentikan sampai di situ,
sebab ruh dalam dadamu siap membantu;
seakan waktu selalu baru menuju kepemudaan cahaya.
(XXIX) Jika engkau mengambili benang-benang tercurah
dari kasih sayang hujan kepadamu, itu masih ada.
(XXX) Yang biasa di dunia terpencil, kenapa masih ada gelisah?
Lalu ingin mengakhiri nikmatnya vibrasi mahabbah?
Padahal sudah banyak tenaga kau petik dari gairahnya;
bukankah hanya tak enak atas sahabat karibmu
yang menunggu dengan murung sepertimu juga.
(XXXI) Yang ia kerjakan mengasah pucuk karang
menjadikan bebijian pasir bermakna;
tidak hanya bagimu, untuk mereka pula,
walau waktu itu mereka melupakan dirimu,
padahal terngiang setuju
atas angin-gelombang pernah ia singgahi,
sebagai tempat menimba sumur keabadian itu.
(XXXII) Santai saja,
cukup engkau kenang, lalu mereka merasakan pula;
biarkan ia berjalan dengan pilihannya,
dan engkau melangkah pada keyakinanmu.
Terus atau sudah cukup,
sampai kembali sebagai manusia asing di hadapan mereka.
(XXXIII) Yang telah menggerakkan
grafitasi nasib dunia walau sekejap,
partikel auraku berpijar terang,
dan parfum atmosfirnya tetap melekap pada mereka;
ini mawar hitam, racun cair racikan jaman, kata mereka.
(XXXIV) Ia tanggalkan pebekalan
kala tinta hitamnya berlayar tanpa rencana;
kau telah melakukan juga,
merasakan bagaimana bumi ini digedor dari dalam,
dan tubuhmu berlapis kekuatan.
(XXXV) Meninggikan unsur sukma sejati
pada dataran mulia,
teratai semakin tinggi tangkainya;
kelebihanmu dari mereka,
yang hanya menanti antrian waktu.
(XXXVI) Tidak cukup merentang,
sudah lama menghabiskan atom nyawa
demi pengembaraan tanpa telatah,
bagaikan tertikam belati malam menggigil putus asa.
Engkau memeluk bintang-gemintang setelah saling pandang,
demi mengembalikan dinaya;
yang dicuri akan kembali, yang memberi segera menerima,
bagi persembahkan senyum, mendapat kecupan mesra.
(XXXVII) Kini danau matanya keruh,
pasir berhamburan, bergolak di arus deras,
melemparkan jasad melobangi angkasa;
hanya mata dekatlah, mengerti rindu dari pedihnya ujung pena.
(XXXVIII) Pentas mulai digelar,
para pelukis sedikit menorehkan keberanian warna,
dan para penyair baru menggores beberapa aksara,
seakan merangkum dunia dengan kesombongan;
mereka rasa telah unggul dari Sang Pencipta.
Separuh dari mereka berucap;
“bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!”
(XXXIX) Sementara itu,
aku tetap duduk di rerumputan hijau perawan,
sambil memahat waktu di atas batu,
menujum takdirku untuk mereka.
(XXL) Sesekali untaian rambut mengenai mukaku,
aku biarkan, dan terkadang kuseka lembut
dengan jemari tangan yang ada cincin setia darinya.
(XXLI) Lalu ia berjalan, sambil mengunyah makna batu nisan;
berkali-kali senja menyeret matahari,
jam-jam kembali terhenti di embun daun kalbumu.
Serupa malam-malam sebelumnya,
kesepian tanpa seorang teman,
juga tiada lagi, kata mereka;
“raut yang patut dibayangkan!”
21 September 2000, Parang Tritis Yogyakarta.
Permintaan Terakhir
Liza Wahyuninto
“Aku masih seperti yang dulu Nin! Masih senang mendengar adzan untuk kemudian aku mendoakan keberhasilanku di esok hari. Aku memang belum merasakan doa itu mempengaruhi pekerjaanku, tapi aku yakin doa setelah adzan itu memang terkabul. Mungkin saja Tuhan belum mendengar doaku, mungkin pula Malaikat rahmat salah alamat dalam mengirimkan rizki, atau aku yang berdoa tidak terlalu khusyu’. Nin, aku tidak mau memaksa Tuhan untuk mengabulkan doaku! Aku tidak ingin menyalahkan malaikat yang begitu patuh kepada sang pencipta-Nya. Aku hanya menyalahkan takdir yang kadang berbalik arah. Aku ini Yuyun, seorang bocah yang mengaku anak rembulan karena mengerti perangai rembulan. Ya Nin, aku begitu paham pergerakan bulan, ini malam ke berapa dan kapan padang bulan akan tiba, kapan gerhana bulan akan tiba, semuanya aku tahu. Semuanya aku tahu, Nin! Nina, kadang aku ingin sekali bunuh diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang kerapkali kudengar pada berita di televisi. Tapi aku takut, aku takut dosa. aku takut jasadku tak diterima bumi, ulatpun enggan memakan tubuhku. Aku takut ruhku melayang, tidak diterima neraka, surgapun enggan. Aku tegaskan padamu Nin, aku tidak ingin seperti Chairil Anwar yang begitu yakin bahwa ia ingin hidup lebih dari seribu tahun lagi. Bagiku hidup satu hari lagi bagaikan mengiris urat nadi sendiri. Bukankah kemarin kau menanyakan kepadaku apa perbedaan aku dan Chairil Anwar karena sajakku mirip dengan sajak-sajaknya. Itulah bedanya Nin! Chairil Anwar senang dan ingin hidup lebih lama meskipun ternyata takdir tidak menghendaki demikian, sementara aku tidak menyenangi hidup dan berusaha untuk memperpendek usiaku dan ternyata takdir masih mengijinkanku untuk menapaki hidup yang bagiku teramat berat”.
Sampai di ucapan tersebut, aku ingin sekali menitikkan air mata. Tapi aku tidak ingin Nina masuk ke dalam ceritaku, biarlah aku yang merasakan, cukuplah Nina sekedar pendengar cerita-ceritaku saja. Nina bagiku adalah obat, obat penenang di kala aku sedang gundah. Ketika aku patah semangat, saat payung duka selimuti hati, aku selalu bercerita pada Nina. Aku tidak peduli apakah Nina akan mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirku, aku juga tidak peduli jika kemudian Nina tidak memberikan saran atau masukan tentang kisahku. Bagiku aku adalah pencerita, tugasku adalah bercerita. Sementara Nina, Nina adalah pendengar. Itulah hubungan antara aku dan Nina.
Aku tahu bahwa Nina mendengar dengan cermat setiap kata yang kulontarkan, aku juga paham bahwa Nina berusaha untuk memahami bahasa mataku yang katanya bahasa mata lebih jujur daripada bahasa lidah. Pernah suatu ketika, saking asyiknya Nina menatap mataku, ternyata aku telah selesai bercerita. Tapi itu tidak mengapa, tohaku puas dapat menyelesaikan ceritaku. Dan aku tidak begitu peduli jika Nina dapat merasakan kepuasan dan dapat memahami ceritaku dengan menatap mataku lebih lekat. Tidak mengapa jika Nina mengibaratkan dirinya sebagai Rumi sementara aku adalah Tabriznya. Rumi dapat melihat Tuhan dari mata Tabriz, dan Tabriz dapat melihat Tuhan karena Rumi baginya adalah cermin. Namun aku perlu membatasi diri, aku tidak semulia Syamsi at-Tabriz yang mampu membuat sang Rumi lupa akan segalanya, bahkan anak istri dan murid-muridnya.
“Yun, kau ingin tahu kenapa kau menyenangi adzan? Bukan karena kau dapat berdoa setelahnya. Kau ingin tahu kenapa, doa-doamu belum terkabul? Bukan karena Allah tidak mendengar, bukan karena Malaikat Rahmat salah alamat, bukan karena suratan takdirmu jelek, bukan karena itu. Kau ingin tahu kenapa kau begitu bangga dengan gelar anak rembulan pada dirimu? Bukan karena kau paham betul perangai, perilaku dan apapun mengenai rembulan, bukan itu! Kau tentu paham dogma, apapun yang kau lakukan dalam hidup tidak dapat lepas dari dogma yang selama ini kau terima. Kau menyenangi adzan karena selama ini kau diajari bahwa doa setelah adzan adalah doa paling makbul, berdoalah di sana dan tentu doamu akan diterima. Itu dogma Yun! Malaikat kau salah-salahkan karena doamu kau rasa belum tersampaikan. Bukan tidak disampaikan oleh malaikat, bukan tidak diterima oleh Tuhan. Bukankah ada adab dalam berdoa? Bagaimana sikap dalam berdoa? Tidak sembarangan! Tidak semudah yang kau bayangkan! Kau begitu senang dengan sebutan anak rembulan, bukan karena kau paham betul tingkah laku rembulan. Bukankah itu ada ilmunya, setiap orang dapat memahaminya. Kalau begitu, setiap orang yang paham tingkah laku rembulan dapat disebut anak rembulan donk? Kau senang dipanggil anak rembulan karena kau ingin disebut demikian. Kau ingin agar ada yang berbeda antara dirimu dengan yang lain. Bukankah itu pandanganmu mengenai perbedaan antara kau dan Chairil Anwar?”
“Cukup…Cukup Nin!”.
Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin sekali membantah kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir Nina. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku, ada kalimat-kalimat yang tidak ingin kudengar. Aku juga heran kenapa tiba-tiba Nina menanggapi cerita-ceritaku. Kenapa tidak dari dulu, kenapa tidak sejak awal dia demikian. Bagaimana aku tak heran, ternyata gadis yang selama ini begitu pendiam tiba-tiba berbicara begitu lurus dan tiada henti. Apakah ia telah memendam ini sejak awal dan seolah bom waktu sedang menunggu waktu yang tepat untuk meledakkannya? Apakah ada kalimat yang tidak ingin ia dengar? Atau adakah kata-kata yang tanpa kusadari menyakiti hatinya, dan membuatnya ingin menyatakan kalimat-kalimat tersebut?
“Nina, Aku sedang tidak ingin berdebat filsafat di sini. Aku juga tidak ingin berdebat mengenai teori kebenaran. Bukan karena aku tak paham dengan istilah-istilah yang kau sebutkan. Aku tak ingin menanggapi pernyataanmu,. Itu saja. Tapi aku hanya ingin bercerita. Sebagaimana berita dan cerita-cerita di televisi yang tidak dapat kita sanggah meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Aku ingi bercerita saja, tidak ada sanggahan tidak ada pertanyaan. Aku memang egois, tapi bukankah itu sudah lama kau ketahui. Jadi izinkan aku melanjutkan dan menyelesaikan ceritaku. Aku sudah cukup terhibur jika kau mau mendengarnya. Toh, selama ini kau tidak pernah memberikan masukan bukan?”
Nina terdiam, kulihat matanya menyala. Mungkin aku telah menyinggungnya. Tapi aku tidak peduli. Yang aku tahu Nina menunggu kelanjutan ceritaku. Ia masih terdiam, dan melihat suasana hening itu aku beranikan untuk meneruskan ceritaku.
“Nin, kau percaya takdir kan? Aku ditakdirkan hidup lama, tapi aku ingin mati secepatnya. Bagiku segala yang ada di dunia ini, di hadapanku dan segala apa yang kulihat adalah beban. Beban karena terlampau indah untuk kusentuh, untuk kutemani, dan untuk kumiliki. Jadi cukuplah bagiku untuk melihatnya saja tanpa harus menyentuhnya, cukuplah mendengarnya saja tanpa harus merabanya, dan cukuplah bagiku merasakan saja tanpa harus memiliki. Maaf Nin, aku memaksamu untuk mendengarkan ini. Tapi ini mungkin adalah cerita terakhirku. Setelah itu aku takkan mendatangimu lagi untuk bercerita. Sudah berapa ribu kisah kuceritakan padamu, meski kau tak pernah tertidur walau ini seperti dongeng. Nina, semalam aku melihat cahaya biru kemerahan. Awalnya, cahaya itu kecil seperti bintang lalu membesar laksana bulan. Iya ada dua bulan tadi malam kulihat, tapi itu hanya dalam mimpiku. Kemudian membesar dan menimpaku hingga aku terbangun. Kau tahu Nin, kulihat sekujur tubuhku membiru.”
Kuhentikan ceritaku sejenak dan menunjukkan kulitku yang masih membiru.
“Ini Nin, lihatlah! Tubuhku membiru”
Nina mengamatiku, mulutnya setengah terbuka menandakan ia terperangah.
“Yun..!”
Aku tersenyum.
“Iya Nin, aku bahagia. Mungkin dengan ini aku akan segera mati. Jadi selamat tinggal Nina, kau adalah pendengar terbaik yang pernah kutemui. Esok, jika kau merindukan ceritaku lagi kau boleh menuliskan kisah-kisah yang pernah kuceritakan padamu. Dan aku akan sangat bahagia jika kau mau menuliskan itu untukku. Satu hal Nina, aku masih seperti yang dulu. Takkan berganti seperti mawar kekeringan, aku takkan berubah seperti kepompong yang tiba-tiba menjadi kupu-kupu. Aku masih Anak Rembulan, dari kumpulannya terbuang, begitu kata Chairil Anwar.”
Nina menunduk, perlahan kulihat ada bening menetes dari matanya kemudian meleleh perlahan menelusuri pipinya dan bermuara ke bumi.
“Nina, malam ini aku ingin tidur tanpa mimpi. Jangan coba bangunkan aku esok hari, segeralah mandikan aku, kafani aku, dan bila tak keberatan sholatilah aku, dan kuburlah aku!”
“Aku masih seperti yang dulu Nin! Masih senang mendengar adzan untuk kemudian aku mendoakan keberhasilanku di esok hari. Aku memang belum merasakan doa itu mempengaruhi pekerjaanku, tapi aku yakin doa setelah adzan itu memang terkabul. Mungkin saja Tuhan belum mendengar doaku, mungkin pula Malaikat rahmat salah alamat dalam mengirimkan rizki, atau aku yang berdoa tidak terlalu khusyu’. Nin, aku tidak mau memaksa Tuhan untuk mengabulkan doaku! Aku tidak ingin menyalahkan malaikat yang begitu patuh kepada sang pencipta-Nya. Aku hanya menyalahkan takdir yang kadang berbalik arah. Aku ini Yuyun, seorang bocah yang mengaku anak rembulan karena mengerti perangai rembulan. Ya Nin, aku begitu paham pergerakan bulan, ini malam ke berapa dan kapan padang bulan akan tiba, kapan gerhana bulan akan tiba, semuanya aku tahu. Semuanya aku tahu, Nin! Nina, kadang aku ingin sekali bunuh diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang kerapkali kudengar pada berita di televisi. Tapi aku takut, aku takut dosa. aku takut jasadku tak diterima bumi, ulatpun enggan memakan tubuhku. Aku takut ruhku melayang, tidak diterima neraka, surgapun enggan. Aku tegaskan padamu Nin, aku tidak ingin seperti Chairil Anwar yang begitu yakin bahwa ia ingin hidup lebih dari seribu tahun lagi. Bagiku hidup satu hari lagi bagaikan mengiris urat nadi sendiri. Bukankah kemarin kau menanyakan kepadaku apa perbedaan aku dan Chairil Anwar karena sajakku mirip dengan sajak-sajaknya. Itulah bedanya Nin! Chairil Anwar senang dan ingin hidup lebih lama meskipun ternyata takdir tidak menghendaki demikian, sementara aku tidak menyenangi hidup dan berusaha untuk memperpendek usiaku dan ternyata takdir masih mengijinkanku untuk menapaki hidup yang bagiku teramat berat”.
Sampai di ucapan tersebut, aku ingin sekali menitikkan air mata. Tapi aku tidak ingin Nina masuk ke dalam ceritaku, biarlah aku yang merasakan, cukuplah Nina sekedar pendengar cerita-ceritaku saja. Nina bagiku adalah obat, obat penenang di kala aku sedang gundah. Ketika aku patah semangat, saat payung duka selimuti hati, aku selalu bercerita pada Nina. Aku tidak peduli apakah Nina akan mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirku, aku juga tidak peduli jika kemudian Nina tidak memberikan saran atau masukan tentang kisahku. Bagiku aku adalah pencerita, tugasku adalah bercerita. Sementara Nina, Nina adalah pendengar. Itulah hubungan antara aku dan Nina.
Aku tahu bahwa Nina mendengar dengan cermat setiap kata yang kulontarkan, aku juga paham bahwa Nina berusaha untuk memahami bahasa mataku yang katanya bahasa mata lebih jujur daripada bahasa lidah. Pernah suatu ketika, saking asyiknya Nina menatap mataku, ternyata aku telah selesai bercerita. Tapi itu tidak mengapa, tohaku puas dapat menyelesaikan ceritaku. Dan aku tidak begitu peduli jika Nina dapat merasakan kepuasan dan dapat memahami ceritaku dengan menatap mataku lebih lekat. Tidak mengapa jika Nina mengibaratkan dirinya sebagai Rumi sementara aku adalah Tabriznya. Rumi dapat melihat Tuhan dari mata Tabriz, dan Tabriz dapat melihat Tuhan karena Rumi baginya adalah cermin. Namun aku perlu membatasi diri, aku tidak semulia Syamsi at-Tabriz yang mampu membuat sang Rumi lupa akan segalanya, bahkan anak istri dan murid-muridnya.
“Yun, kau ingin tahu kenapa kau menyenangi adzan? Bukan karena kau dapat berdoa setelahnya. Kau ingin tahu kenapa, doa-doamu belum terkabul? Bukan karena Allah tidak mendengar, bukan karena Malaikat Rahmat salah alamat, bukan karena suratan takdirmu jelek, bukan karena itu. Kau ingin tahu kenapa kau begitu bangga dengan gelar anak rembulan pada dirimu? Bukan karena kau paham betul perangai, perilaku dan apapun mengenai rembulan, bukan itu! Kau tentu paham dogma, apapun yang kau lakukan dalam hidup tidak dapat lepas dari dogma yang selama ini kau terima. Kau menyenangi adzan karena selama ini kau diajari bahwa doa setelah adzan adalah doa paling makbul, berdoalah di sana dan tentu doamu akan diterima. Itu dogma Yun! Malaikat kau salah-salahkan karena doamu kau rasa belum tersampaikan. Bukan tidak disampaikan oleh malaikat, bukan tidak diterima oleh Tuhan. Bukankah ada adab dalam berdoa? Bagaimana sikap dalam berdoa? Tidak sembarangan! Tidak semudah yang kau bayangkan! Kau begitu senang dengan sebutan anak rembulan, bukan karena kau paham betul tingkah laku rembulan. Bukankah itu ada ilmunya, setiap orang dapat memahaminya. Kalau begitu, setiap orang yang paham tingkah laku rembulan dapat disebut anak rembulan donk? Kau senang dipanggil anak rembulan karena kau ingin disebut demikian. Kau ingin agar ada yang berbeda antara dirimu dengan yang lain. Bukankah itu pandanganmu mengenai perbedaan antara kau dan Chairil Anwar?”
“Cukup…Cukup Nin!”.
Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin sekali membantah kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir Nina. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku, ada kalimat-kalimat yang tidak ingin kudengar. Aku juga heran kenapa tiba-tiba Nina menanggapi cerita-ceritaku. Kenapa tidak dari dulu, kenapa tidak sejak awal dia demikian. Bagaimana aku tak heran, ternyata gadis yang selama ini begitu pendiam tiba-tiba berbicara begitu lurus dan tiada henti. Apakah ia telah memendam ini sejak awal dan seolah bom waktu sedang menunggu waktu yang tepat untuk meledakkannya? Apakah ada kalimat yang tidak ingin ia dengar? Atau adakah kata-kata yang tanpa kusadari menyakiti hatinya, dan membuatnya ingin menyatakan kalimat-kalimat tersebut?
“Nina, Aku sedang tidak ingin berdebat filsafat di sini. Aku juga tidak ingin berdebat mengenai teori kebenaran. Bukan karena aku tak paham dengan istilah-istilah yang kau sebutkan. Aku tak ingin menanggapi pernyataanmu,. Itu saja. Tapi aku hanya ingin bercerita. Sebagaimana berita dan cerita-cerita di televisi yang tidak dapat kita sanggah meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Aku ingi bercerita saja, tidak ada sanggahan tidak ada pertanyaan. Aku memang egois, tapi bukankah itu sudah lama kau ketahui. Jadi izinkan aku melanjutkan dan menyelesaikan ceritaku. Aku sudah cukup terhibur jika kau mau mendengarnya. Toh, selama ini kau tidak pernah memberikan masukan bukan?”
Nina terdiam, kulihat matanya menyala. Mungkin aku telah menyinggungnya. Tapi aku tidak peduli. Yang aku tahu Nina menunggu kelanjutan ceritaku. Ia masih terdiam, dan melihat suasana hening itu aku beranikan untuk meneruskan ceritaku.
“Nin, kau percaya takdir kan? Aku ditakdirkan hidup lama, tapi aku ingin mati secepatnya. Bagiku segala yang ada di dunia ini, di hadapanku dan segala apa yang kulihat adalah beban. Beban karena terlampau indah untuk kusentuh, untuk kutemani, dan untuk kumiliki. Jadi cukuplah bagiku untuk melihatnya saja tanpa harus menyentuhnya, cukuplah mendengarnya saja tanpa harus merabanya, dan cukuplah bagiku merasakan saja tanpa harus memiliki. Maaf Nin, aku memaksamu untuk mendengarkan ini. Tapi ini mungkin adalah cerita terakhirku. Setelah itu aku takkan mendatangimu lagi untuk bercerita. Sudah berapa ribu kisah kuceritakan padamu, meski kau tak pernah tertidur walau ini seperti dongeng. Nina, semalam aku melihat cahaya biru kemerahan. Awalnya, cahaya itu kecil seperti bintang lalu membesar laksana bulan. Iya ada dua bulan tadi malam kulihat, tapi itu hanya dalam mimpiku. Kemudian membesar dan menimpaku hingga aku terbangun. Kau tahu Nin, kulihat sekujur tubuhku membiru.”
Kuhentikan ceritaku sejenak dan menunjukkan kulitku yang masih membiru.
“Ini Nin, lihatlah! Tubuhku membiru”
Nina mengamatiku, mulutnya setengah terbuka menandakan ia terperangah.
“Yun..!”
Aku tersenyum.
“Iya Nin, aku bahagia. Mungkin dengan ini aku akan segera mati. Jadi selamat tinggal Nina, kau adalah pendengar terbaik yang pernah kutemui. Esok, jika kau merindukan ceritaku lagi kau boleh menuliskan kisah-kisah yang pernah kuceritakan padamu. Dan aku akan sangat bahagia jika kau mau menuliskan itu untukku. Satu hal Nina, aku masih seperti yang dulu. Takkan berganti seperti mawar kekeringan, aku takkan berubah seperti kepompong yang tiba-tiba menjadi kupu-kupu. Aku masih Anak Rembulan, dari kumpulannya terbuang, begitu kata Chairil Anwar.”
Nina menunduk, perlahan kulihat ada bening menetes dari matanya kemudian meleleh perlahan menelusuri pipinya dan bermuara ke bumi.
“Nina, malam ini aku ingin tidur tanpa mimpi. Jangan coba bangunkan aku esok hari, segeralah mandikan aku, kafani aku, dan bila tak keberatan sholatilah aku, dan kuburlah aku!”
Nekromansi
A Rodhi Murtadho
Nekromansi menggejala. Banyak orang percaya akan perkataan Ilyas. Masa depan. Ketertarikan pengetahuan membuat pasien mendatanginya. Terutama mengenai jodoh, rezeki, bahkan kematian. Ihwal yang seharusnya hanya diketahui Tuhan. Keberanian Ilyas sudah melebihi batas. Mendahului Tuhan. Banyak Kyai, pendeta, biksu, dan banyak tokoh agama bersatu mengenyahkannya. Memusnahkan perbuatan Ilyas bahkan bisa jadi Ilyas sendiri yang akan dipancung.
Orang-orang terus berbondong-bondong mendatangi Ilyas. Ingin mengatahui nasibnya. Pemberitaan miring mengenai Ilyas seakan menjadi ajang promosi bagi Ilyas untuk menjadi terkenal. Lantaran tak ada tindakan tokoh agama untuk menghakiminya. Cuma omong kosong, gembar-gembor Ilyas pada setiap pasiennnya.
Banyak paranormal lain yang merasa tersaingi. Segala macam teluh dikirim. Bahkan berebutan untuk mencengkeram Ilyas. Namun semua juga berebut cepat-cepat ingin pulang kembali pada majikannya. Teluh-teluh kalah dengan aura pengaruh dari tubuh Ilyas. Berbagai macam teror dilakukan namun hasilnya juga nihil. Ilyas tetap hidup dan makin kokoh.
Ketentraman sudah hilang. Mencekam. Banyak teluh yang nyasar. Memang datang kepada Ilyas namun kembalinya banyak yang nyasar. Akibatnya banyak yang terkena teluh. Malah pasiennya bertambah. Banyak yang datang juga minta diusirkan teluh yang menempel pada diri mereka. Tentu saja hal ini makin membuat gemas para paranormal yang lain. Orderan mereka sepi. Mereka yang menggantungkan hidup pada profesi paranormal harus mencari peluang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ijasah yang mereka punyai, yang sempat dianggurkan lama, dipergunakan lagi. Ada yang menjadi kuli bangunan, kernet bus, pemulung, tukang servis, tukang becak, atau menjadi karyawan pabrik. Banyak yang kembali lagi pada profesi mereka sebelum menjadi paranormal.
Seloroh Ilyas semakin membumi. Ia layaknya artis atau pejabat negara yang terkenal dalam waktu singkat. Ukiran-ukiran perkataannya menancap begitu dalam. Seperti dewa yang mengeluarkan petuah. Semua menurut. Tak ada protes. Tarifnya makin mahal. Hanya kalangan menengah ke atas saja yang bisa menjangkaunya. Terutama artis yang banyak datang untuk menanyakan kepopulerannya. Atau pejabat yang ingin menanyakan kesuksesannya. Bahkan hartawan yang terlau sibuk mencari uang hingga lupa jodohnya, datang dan menanyakan calon pasangannya. Yang lebih tidak dimengerti, presiden-presiden dari berbagai negara menanyakan mengenai negaranya dan akhir karir mereka. Menjadi pecundang, menjadi penjahat, atau menjadi semakin populer.
“Mbah Ilyas, bagaimana saya bisa mewujudkan kemakmuran negeri kami? Juga kemakmuran saya pribadi seusai menjabat. Tolong carikan jalan hingga saya bisa menjadi seorang pahlawan bagi negeri. Bukan sebagai pecundang di masa pensiun dalam usia tua,” ungkap penerjemah bapak presiden manca negara.
Ilyas tertunduk sebentar. Memang ia hanya mengerti bahasa negerinya. Komat-kamit mulutnya disertai gerakan yang tak teratur. Matanya seperti hilang kesadaran. Wajah terlihat memucat. Tak ada degup jantung sepertinya atau pun nafas yang menyertai kehidupannya. Ilyas seperti mati. Badan tampak kaku. Namun masih duduk bersila dengan tangan tergeletak di paha.
Ilyas ingat istrinya yang pergi meninggalkannya. Sebelum menjadi sepopuler saat ini, Ilyas adalah seorang penganggur. Sumini, istrinya, tak betah hidup melarat tercekik hutang. Ia pergi dengan laki-laki lain. Wajah Sumini terus saja melekat pada ritualnya kali ini. Di hadapan presiden manca negara Ilyas tiba-tiba menangis. Bisikan-bisikan halus yang hanya didengarnya sendiri membuatnya semakin tak bisa menahan air matanya.
“Sumini meninggal,” lamat-lamat Ilyas mendengarnya.
Tak seperti biasannya. Ilyas menanyakan masalah pasien dan akan ada jawban untuk si pasien. Namun jawaban yang didapat mengenai Sumini, masalahnya sendiri.
***
Sumini yang sumringah dengan senyumnya terus saja membangkitkan gairah. Tak ada yang mampu menolaknya. Laki-laki yang berbirahi normal tentu tak akan melewatkannya. Lesung pipi seakan mengundang Ilyas untuk segera menggumulinya. Dada yang mendongkol membuat Ilyas enggan melepaskan gairah. Melepaskan kepenatan bekerja sebagai buruh pabrik. Penghasilan yang jelas tak cukup memenuhi segalanya dalam gemerlap kehidupan.
Ilyas bertambah panas. Dalam matanya hanya ada Sumini. Segala kekuatan tertuju pada istrinya. Menancapkan gairah yang kian membara. Mengumpat segala kenikmatan. Jerit ranjang menerbangkan segala peluh yang mengucur. Mulus dan licin kulit makin mengencangkan lingkar tangan. Lidah yang halus saling mereguk kesegaran. Menyatu. Tangan tak pernah sekali pun berhenti mengendus setiap lekuk. Memainkannya. Degup jantung mengencang tak terkontrol makin mempercepat deru nafas. Mata yang terpejam tak juga membuat tidur. Saling lunglai dalam kepasrahan. Ilyas dan Sumini kemudian bersatu dengan malam.
Keadaan terus saja berubah. Ilyas tiba-tiba dipecat dari pabrik. Pengurangan karyawan. Ilyas mulai menganggur. Tak ada penghasilan. Hutang makin menumpuk. Kegelisahan makin menjadi. Tak ada modal untuk buka usaha sendiri. Atau tak ada tempat untuk menerimanya hanya sekadar menggaji seharga enam piring makanan sehari. Jalan buntu di depan. Segala malu membebani dalam setiap kerdipan mata.
Kegelisahan dalam kesendirian ditinggal Sumini terus melayangkan pikiran. Perut yang makin berdendang dengan nada saling menggesek perih tak juga membuat Ilyas sekejab bisa memejamkan mata. Pikirannya memancar ke segala arah. Mencuat tak henti. Berlompatan. Ada yang datang dan ada yang segera pergi. Sumini pergi dengan laki-laki lain.
Awalnya Ilyas selalu menepis segala bisikan yang menyertainya. Tak mau menjadi gila dengan kesedihannya. Tak mau menuruti ajakan suara. Namun perihnya perut menjadikannya penurut. Ilyas selalu menang taruhan. Seakan tahu masa depan. Berceramah layaknya dai. Beraksi menemukan segala kemegahan dengan pembacaan peluang yang tepat. Hutangnya terbayar. Hidupnya serba kecukupan. Hasil ramalannya membuat orang-orang tak segan membayarnya mahal ketika mereka menang togel.
Bisikan itu terus saja mengajak Ilyas untuk melakukan upacara malam hari. Ritual dengan kemenyan. Memperkuat naluri. Menambah ilmu kadikjayaan. Ilyas tak bisa melepaskan cengkraman suara. Sebenarnya pun Ilyas enggan untuk membuangnya. Satu-satunya sumber penghasilan. Orang membayarnya ketika dirinya menjadi gila dengan menuruti perkataan suara itu.
Mantra-mantra terus berdatangan tak diundang. Lekat dalam otak tanpa menghafal. Tak tahu kini Ilyas menyembah siapa. Asalkan bisa melanjutkan hidup dengan gelimang harta. Tak peduli sebutan orang-orang. Paranormal. Namun seolah menjadi bangga dengan sebutan itu. Semua orang menjadi takut. Tak berani menyentuh atau mendekat. Semakin sakti. Yang tak kasat mata mulai menampakkan diri dalam ritualnya. Mengkomunikasikan apa yang ditanya atau memberitahu yang terjadi atau yang akan terjadi.
Sakit hati kepada laki-laki pembawa Sumini membuat Ilyas kalap. Meminta mantra yang mujarab. Ajaib. Tak bisa disembuhkan. Teluh. Segera mengirimnya. Rambut dan pakaian Sumini yang tertinggal dijadikan alat. Meminang beberapa penyakit dan menjatuhkannya tepat pada laki-laki yang membuatnya kehilangan istri.
***
Kucuran deras air matanya membuat ngeri presiden manca negara dan penerjemahnya. Tak mengetahui atau berani menanyakannya pada Ilyas. Hanya menunggu apa yang akan diucapkannya. Perasaan was-was terus menggelayut di setiap aliran darah. Membuat mereka terus berpikir tak karuan.
Ilyas tak pernah menyangka. Teluh yang dikirimkan pada laki-laki pembawa Sumini sangat manjur hingga membuatnya meninggal. Namun kesetian macam apa yang dilakukan Sumini. Mengapa ia ikut mati bersama laki-laki itu. Padahal ia tak pernah menunjukkan kesetiaan semacam itu kepadanya. Mungkin kalau ia mau kembali pada Ilyas, akan menjadi perempuan dengan gelimang harta. Tak seperti dulu. Ia semakin tak mengerti akan apa yang diinginkan Sumini. Air matanya terus mengucur. Apa mungkin suara yang didengarnya mulai bohong kepadanya. Namun Ilyas tahu, suara itu tak sekalipun pernah berbohong.
“Pak presiden, maafkan saya! Istri saya meninggal dunia di sana bersama laki-laki yang membawanya kabur. Saya baru saja diberitahu.”
“Oleh siapa Mbah?” suara penerjemah menyambung lidah majikannya menyahuti pernyataan Ilyas.
“Suara yang selau mengikuti saya. Suara yang selau memberi tahu masa depan. Suara yang menjadikan saya paranormal. Suara yang menjadikan saya sukses dan terkenal sampai saat ini.”
“Jadi, suara itu yang menjadikan Mbah seorang paranormal. Karena Mbah percaya dengan suara itu?”
“Bagaimana saya harus menghindar. Kalau ada tempat yang bisa membebaskan saya dari suara itu tentu saya akan ke sana dan akan hidup di sana. Saya tahu hanya kematian pintunya. Itu pun saya diberitahu suara itu.”
Rasa tak percaya semakin membingungkan presiden dan penerjemahnya. Tak tahu apa yang sebenarnnya yang terjadi. Tak tahu pula mengapa parnormal seterkenal Ilyas membuka rahasianya. Sekilas tebersit dalam benak yang mulai ragu. Mungkinkah paranormal, dukun, yang terkenal sampai manca negara merupakan orang gila. Namun bagaimana orang-orang bisa yakin dan mempercayainya. Bagaimana mungkin setiap perkataannya menjadi kenyataan?
“Bagaimana dengan pertanyaan kami tadi Mbah? Apa sudah ada jawaban? Berapa lama lagi kami harus menunggu?”
Ilyas hanya diam. Seakan ditepisnya perkataan orang nomor satu di negerinya. Hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya tak bisa berhenti. Mulutnya terus berkomat-kamit. Tangannya terus saja membakar kemenyan. Menjaga wangi yang memang sudah tercipta. Diambilnya setangkup kembang yang sudah tersedia. Dimasukkan dalam bara kemenyan yang mengepul. Seakan meleleh dan menghilang.
“Semoga kau menerimanya, Dik!” ucap Ilyas dengan nada pilu bercampur haru.
Ditatapnya dua orang yang berada tepat di depannya. Belum juga berkutik. Bertahan meminta jawaban. Tak dilepaskan tikaman matanya pada dua orang itu. Mereka terdiam. Saling memandang. Tak juga bergerak. Kecuali degup jantung dan hembusan nafas pelan. Semakin terbawa penasaran yang makin menjadi-jadi.
“Tolong kau katakan pada majikanmu, kalau pertanyaannya tak bisa kujawab sekarang. Mungkin juga nanti, tidak. Saya tak bisa meramal diri sendiri. Katakan juga kalau saya akan berhenti menjadi paranormal dan hidup sewajarnya. Kalau nanti suara itu terus datang, lebih baik saya akan masuk rumah sakit jiwa. Saya sudah gila.”
Diam menyentak. Tak ada tutur yang lebih berarti selain merenung. Ilyas memejamkan mata. Kedua orang yang ada di hadapannya hanya menyiratkan kebingungan dan penasaran yang dalam. Tak ada senyum. Bahkan pandangan Ilyas tak mengantar mereka keluar dari pintu.
Air mata yang sudah lama tak keluar kembali menetes. Mengucur deras. Retasan penyesalan kembali merangsek dalam jajaran gelap pandang. Bayang-bayang kenangan datang. Mendesak dan meracau. Mengumpat di sela-sela kebimbangan.
Sepi dirasa. Tawa sudah sirna. Harapan takkan pernah membuka kesempatan lagi. Hidup takkan ada sinar dengan kemewahan yang didapat. Tambatan hati untuk berbagi takkan pernah kembali. Salah diri. Ilyas hanya memaki.
“Tenanglah Ilyas. Relakan Sumini pergi. Kau bisa mendapatkan banyak perempuan yang kau mau dengan kemewahanmu,” suara tiba-tiba memunculkan diri tanpa ada panggilan dari Ilyas.
“Tak usah kau menghiburku. Aku bukan anak kecil yang mudah kau rayu. Aku tak menginginkan perempuan lain lagi selain Sumini. Itu mengapa aku kirimkan teluh kepada suaminya yang baru. Aku berharap Sumini akan kembali lagi padaku. Bukan seperti ini. Kau tak pernah mengatakan kalau akibat teluh yang kukirimkan bisa menyebabkan Sumini bunuh diri,” Ilyas menampakkan kemarahan.
“Jangan kau salahkan aku! Kau sendiri tak bertanya padaku. Aku takkan memberi tahu. Sesuai perjanjian. Kau bertanya, aku menjawab.”
“Bangsat kau! Pergi saja dariku. Aku sudah muak mendengar ocehanmu.”
Ilyas kembali meratap. Tak menemukan diri lagi ketika kuasa suara terus saja membuntuti. Sumini telah berpulang. Kesetiaan yang sungguh luar biasa. Ilyas ingin melakukan kesetiaan yang sama kepada Sumini. Ilyas ingin berpulang.
Lamongan, 11 Juli 2006
Nekromansi menggejala. Banyak orang percaya akan perkataan Ilyas. Masa depan. Ketertarikan pengetahuan membuat pasien mendatanginya. Terutama mengenai jodoh, rezeki, bahkan kematian. Ihwal yang seharusnya hanya diketahui Tuhan. Keberanian Ilyas sudah melebihi batas. Mendahului Tuhan. Banyak Kyai, pendeta, biksu, dan banyak tokoh agama bersatu mengenyahkannya. Memusnahkan perbuatan Ilyas bahkan bisa jadi Ilyas sendiri yang akan dipancung.
Orang-orang terus berbondong-bondong mendatangi Ilyas. Ingin mengatahui nasibnya. Pemberitaan miring mengenai Ilyas seakan menjadi ajang promosi bagi Ilyas untuk menjadi terkenal. Lantaran tak ada tindakan tokoh agama untuk menghakiminya. Cuma omong kosong, gembar-gembor Ilyas pada setiap pasiennnya.
Banyak paranormal lain yang merasa tersaingi. Segala macam teluh dikirim. Bahkan berebutan untuk mencengkeram Ilyas. Namun semua juga berebut cepat-cepat ingin pulang kembali pada majikannya. Teluh-teluh kalah dengan aura pengaruh dari tubuh Ilyas. Berbagai macam teror dilakukan namun hasilnya juga nihil. Ilyas tetap hidup dan makin kokoh.
Ketentraman sudah hilang. Mencekam. Banyak teluh yang nyasar. Memang datang kepada Ilyas namun kembalinya banyak yang nyasar. Akibatnya banyak yang terkena teluh. Malah pasiennya bertambah. Banyak yang datang juga minta diusirkan teluh yang menempel pada diri mereka. Tentu saja hal ini makin membuat gemas para paranormal yang lain. Orderan mereka sepi. Mereka yang menggantungkan hidup pada profesi paranormal harus mencari peluang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ijasah yang mereka punyai, yang sempat dianggurkan lama, dipergunakan lagi. Ada yang menjadi kuli bangunan, kernet bus, pemulung, tukang servis, tukang becak, atau menjadi karyawan pabrik. Banyak yang kembali lagi pada profesi mereka sebelum menjadi paranormal.
Seloroh Ilyas semakin membumi. Ia layaknya artis atau pejabat negara yang terkenal dalam waktu singkat. Ukiran-ukiran perkataannya menancap begitu dalam. Seperti dewa yang mengeluarkan petuah. Semua menurut. Tak ada protes. Tarifnya makin mahal. Hanya kalangan menengah ke atas saja yang bisa menjangkaunya. Terutama artis yang banyak datang untuk menanyakan kepopulerannya. Atau pejabat yang ingin menanyakan kesuksesannya. Bahkan hartawan yang terlau sibuk mencari uang hingga lupa jodohnya, datang dan menanyakan calon pasangannya. Yang lebih tidak dimengerti, presiden-presiden dari berbagai negara menanyakan mengenai negaranya dan akhir karir mereka. Menjadi pecundang, menjadi penjahat, atau menjadi semakin populer.
“Mbah Ilyas, bagaimana saya bisa mewujudkan kemakmuran negeri kami? Juga kemakmuran saya pribadi seusai menjabat. Tolong carikan jalan hingga saya bisa menjadi seorang pahlawan bagi negeri. Bukan sebagai pecundang di masa pensiun dalam usia tua,” ungkap penerjemah bapak presiden manca negara.
Ilyas tertunduk sebentar. Memang ia hanya mengerti bahasa negerinya. Komat-kamit mulutnya disertai gerakan yang tak teratur. Matanya seperti hilang kesadaran. Wajah terlihat memucat. Tak ada degup jantung sepertinya atau pun nafas yang menyertai kehidupannya. Ilyas seperti mati. Badan tampak kaku. Namun masih duduk bersila dengan tangan tergeletak di paha.
Ilyas ingat istrinya yang pergi meninggalkannya. Sebelum menjadi sepopuler saat ini, Ilyas adalah seorang penganggur. Sumini, istrinya, tak betah hidup melarat tercekik hutang. Ia pergi dengan laki-laki lain. Wajah Sumini terus saja melekat pada ritualnya kali ini. Di hadapan presiden manca negara Ilyas tiba-tiba menangis. Bisikan-bisikan halus yang hanya didengarnya sendiri membuatnya semakin tak bisa menahan air matanya.
“Sumini meninggal,” lamat-lamat Ilyas mendengarnya.
Tak seperti biasannya. Ilyas menanyakan masalah pasien dan akan ada jawban untuk si pasien. Namun jawaban yang didapat mengenai Sumini, masalahnya sendiri.
***
Sumini yang sumringah dengan senyumnya terus saja membangkitkan gairah. Tak ada yang mampu menolaknya. Laki-laki yang berbirahi normal tentu tak akan melewatkannya. Lesung pipi seakan mengundang Ilyas untuk segera menggumulinya. Dada yang mendongkol membuat Ilyas enggan melepaskan gairah. Melepaskan kepenatan bekerja sebagai buruh pabrik. Penghasilan yang jelas tak cukup memenuhi segalanya dalam gemerlap kehidupan.
Ilyas bertambah panas. Dalam matanya hanya ada Sumini. Segala kekuatan tertuju pada istrinya. Menancapkan gairah yang kian membara. Mengumpat segala kenikmatan. Jerit ranjang menerbangkan segala peluh yang mengucur. Mulus dan licin kulit makin mengencangkan lingkar tangan. Lidah yang halus saling mereguk kesegaran. Menyatu. Tangan tak pernah sekali pun berhenti mengendus setiap lekuk. Memainkannya. Degup jantung mengencang tak terkontrol makin mempercepat deru nafas. Mata yang terpejam tak juga membuat tidur. Saling lunglai dalam kepasrahan. Ilyas dan Sumini kemudian bersatu dengan malam.
Keadaan terus saja berubah. Ilyas tiba-tiba dipecat dari pabrik. Pengurangan karyawan. Ilyas mulai menganggur. Tak ada penghasilan. Hutang makin menumpuk. Kegelisahan makin menjadi. Tak ada modal untuk buka usaha sendiri. Atau tak ada tempat untuk menerimanya hanya sekadar menggaji seharga enam piring makanan sehari. Jalan buntu di depan. Segala malu membebani dalam setiap kerdipan mata.
Kegelisahan dalam kesendirian ditinggal Sumini terus melayangkan pikiran. Perut yang makin berdendang dengan nada saling menggesek perih tak juga membuat Ilyas sekejab bisa memejamkan mata. Pikirannya memancar ke segala arah. Mencuat tak henti. Berlompatan. Ada yang datang dan ada yang segera pergi. Sumini pergi dengan laki-laki lain.
Awalnya Ilyas selalu menepis segala bisikan yang menyertainya. Tak mau menjadi gila dengan kesedihannya. Tak mau menuruti ajakan suara. Namun perihnya perut menjadikannya penurut. Ilyas selalu menang taruhan. Seakan tahu masa depan. Berceramah layaknya dai. Beraksi menemukan segala kemegahan dengan pembacaan peluang yang tepat. Hutangnya terbayar. Hidupnya serba kecukupan. Hasil ramalannya membuat orang-orang tak segan membayarnya mahal ketika mereka menang togel.
Bisikan itu terus saja mengajak Ilyas untuk melakukan upacara malam hari. Ritual dengan kemenyan. Memperkuat naluri. Menambah ilmu kadikjayaan. Ilyas tak bisa melepaskan cengkraman suara. Sebenarnya pun Ilyas enggan untuk membuangnya. Satu-satunya sumber penghasilan. Orang membayarnya ketika dirinya menjadi gila dengan menuruti perkataan suara itu.
Mantra-mantra terus berdatangan tak diundang. Lekat dalam otak tanpa menghafal. Tak tahu kini Ilyas menyembah siapa. Asalkan bisa melanjutkan hidup dengan gelimang harta. Tak peduli sebutan orang-orang. Paranormal. Namun seolah menjadi bangga dengan sebutan itu. Semua orang menjadi takut. Tak berani menyentuh atau mendekat. Semakin sakti. Yang tak kasat mata mulai menampakkan diri dalam ritualnya. Mengkomunikasikan apa yang ditanya atau memberitahu yang terjadi atau yang akan terjadi.
Sakit hati kepada laki-laki pembawa Sumini membuat Ilyas kalap. Meminta mantra yang mujarab. Ajaib. Tak bisa disembuhkan. Teluh. Segera mengirimnya. Rambut dan pakaian Sumini yang tertinggal dijadikan alat. Meminang beberapa penyakit dan menjatuhkannya tepat pada laki-laki yang membuatnya kehilangan istri.
***
Kucuran deras air matanya membuat ngeri presiden manca negara dan penerjemahnya. Tak mengetahui atau berani menanyakannya pada Ilyas. Hanya menunggu apa yang akan diucapkannya. Perasaan was-was terus menggelayut di setiap aliran darah. Membuat mereka terus berpikir tak karuan.
Ilyas tak pernah menyangka. Teluh yang dikirimkan pada laki-laki pembawa Sumini sangat manjur hingga membuatnya meninggal. Namun kesetian macam apa yang dilakukan Sumini. Mengapa ia ikut mati bersama laki-laki itu. Padahal ia tak pernah menunjukkan kesetiaan semacam itu kepadanya. Mungkin kalau ia mau kembali pada Ilyas, akan menjadi perempuan dengan gelimang harta. Tak seperti dulu. Ia semakin tak mengerti akan apa yang diinginkan Sumini. Air matanya terus mengucur. Apa mungkin suara yang didengarnya mulai bohong kepadanya. Namun Ilyas tahu, suara itu tak sekalipun pernah berbohong.
“Pak presiden, maafkan saya! Istri saya meninggal dunia di sana bersama laki-laki yang membawanya kabur. Saya baru saja diberitahu.”
“Oleh siapa Mbah?” suara penerjemah menyambung lidah majikannya menyahuti pernyataan Ilyas.
“Suara yang selau mengikuti saya. Suara yang selau memberi tahu masa depan. Suara yang menjadikan saya paranormal. Suara yang menjadikan saya sukses dan terkenal sampai saat ini.”
“Jadi, suara itu yang menjadikan Mbah seorang paranormal. Karena Mbah percaya dengan suara itu?”
“Bagaimana saya harus menghindar. Kalau ada tempat yang bisa membebaskan saya dari suara itu tentu saya akan ke sana dan akan hidup di sana. Saya tahu hanya kematian pintunya. Itu pun saya diberitahu suara itu.”
Rasa tak percaya semakin membingungkan presiden dan penerjemahnya. Tak tahu apa yang sebenarnnya yang terjadi. Tak tahu pula mengapa parnormal seterkenal Ilyas membuka rahasianya. Sekilas tebersit dalam benak yang mulai ragu. Mungkinkah paranormal, dukun, yang terkenal sampai manca negara merupakan orang gila. Namun bagaimana orang-orang bisa yakin dan mempercayainya. Bagaimana mungkin setiap perkataannya menjadi kenyataan?
“Bagaimana dengan pertanyaan kami tadi Mbah? Apa sudah ada jawaban? Berapa lama lagi kami harus menunggu?”
Ilyas hanya diam. Seakan ditepisnya perkataan orang nomor satu di negerinya. Hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya tak bisa berhenti. Mulutnya terus berkomat-kamit. Tangannya terus saja membakar kemenyan. Menjaga wangi yang memang sudah tercipta. Diambilnya setangkup kembang yang sudah tersedia. Dimasukkan dalam bara kemenyan yang mengepul. Seakan meleleh dan menghilang.
“Semoga kau menerimanya, Dik!” ucap Ilyas dengan nada pilu bercampur haru.
Ditatapnya dua orang yang berada tepat di depannya. Belum juga berkutik. Bertahan meminta jawaban. Tak dilepaskan tikaman matanya pada dua orang itu. Mereka terdiam. Saling memandang. Tak juga bergerak. Kecuali degup jantung dan hembusan nafas pelan. Semakin terbawa penasaran yang makin menjadi-jadi.
“Tolong kau katakan pada majikanmu, kalau pertanyaannya tak bisa kujawab sekarang. Mungkin juga nanti, tidak. Saya tak bisa meramal diri sendiri. Katakan juga kalau saya akan berhenti menjadi paranormal dan hidup sewajarnya. Kalau nanti suara itu terus datang, lebih baik saya akan masuk rumah sakit jiwa. Saya sudah gila.”
Diam menyentak. Tak ada tutur yang lebih berarti selain merenung. Ilyas memejamkan mata. Kedua orang yang ada di hadapannya hanya menyiratkan kebingungan dan penasaran yang dalam. Tak ada senyum. Bahkan pandangan Ilyas tak mengantar mereka keluar dari pintu.
Air mata yang sudah lama tak keluar kembali menetes. Mengucur deras. Retasan penyesalan kembali merangsek dalam jajaran gelap pandang. Bayang-bayang kenangan datang. Mendesak dan meracau. Mengumpat di sela-sela kebimbangan.
Sepi dirasa. Tawa sudah sirna. Harapan takkan pernah membuka kesempatan lagi. Hidup takkan ada sinar dengan kemewahan yang didapat. Tambatan hati untuk berbagi takkan pernah kembali. Salah diri. Ilyas hanya memaki.
“Tenanglah Ilyas. Relakan Sumini pergi. Kau bisa mendapatkan banyak perempuan yang kau mau dengan kemewahanmu,” suara tiba-tiba memunculkan diri tanpa ada panggilan dari Ilyas.
“Tak usah kau menghiburku. Aku bukan anak kecil yang mudah kau rayu. Aku tak menginginkan perempuan lain lagi selain Sumini. Itu mengapa aku kirimkan teluh kepada suaminya yang baru. Aku berharap Sumini akan kembali lagi padaku. Bukan seperti ini. Kau tak pernah mengatakan kalau akibat teluh yang kukirimkan bisa menyebabkan Sumini bunuh diri,” Ilyas menampakkan kemarahan.
“Jangan kau salahkan aku! Kau sendiri tak bertanya padaku. Aku takkan memberi tahu. Sesuai perjanjian. Kau bertanya, aku menjawab.”
“Bangsat kau! Pergi saja dariku. Aku sudah muak mendengar ocehanmu.”
Ilyas kembali meratap. Tak menemukan diri lagi ketika kuasa suara terus saja membuntuti. Sumini telah berpulang. Kesetiaan yang sungguh luar biasa. Ilyas ingin melakukan kesetiaan yang sama kepada Sumini. Ilyas ingin berpulang.
Lamongan, 11 Juli 2006
PERJALANAN PENUH MAKNA
Nadhi Kiara Zifen
"Broak!!!"
Pintu kamar ditutup Nadin dengan sekeras-kerasnya. Entah mengapa Nadin juga heran perasaannya hari ini sangat acak kadut tak beraturan.
Pulang dari sekolah, Nadin langsung menelentangkan tubuhnya di atas ranjang yang biasa dibuatnya melepas lelah. Ini adalah hari ulang tahunnya. Tapi, kayaknya tak ada yang peduli dengan hari ulang tahun Nadin. Dunia remaja telah digenggamnya, umurnya telah menginjak 17 tahun, masa paling manis-manisnya dalam hitungan remaja.
Suasana di rumah Nadin bagai di kuburan yang penuh dengan misteri. Sunyi senyap. Tanpa pikir panjang, Nadin dengan scuter matic putihnya bergerak menuju tempat biasa dia nongkrong.
Pukul 15.00 ditunjukkan oleh jarum jam tangan Nadin. Sesampai di Mall Citra tempat ia nongkrong. Di hadapannya berdiri sosok yang gagah nan angkuh yang ia kenal. Dia adalah pacar Nadin yang bernama Melvin. Nadin terkejut saat Melvin mengulurkan tangannya dan menggenggam sebuah kotak lucu nan unik berwarna pink.
"Ini Din, buat lo. Terima yah, happy birthday."
"Duh… Melvin, lo baik banget sih." Ujar Nadin membuka riang hatinya.
"Bibuka dong!"
Kemudian dibukanya kotak itu perlahan. Terlihat sebuah boneka warna pink yang lucu. Sejak dulu, memang Nadin sangat menginginkan boneka itu. Sungguh sangat girang nan bahagianya perasaan Nadin. Ini adalah pengalaman Nadin yang sangat indah.
Mentari mulai turun ke ufuk barat, hari menjelang sore. Mega merah mengundang malam datang. Melvin mengantar Nadin pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan Melvin mengisinya dengan percakapan ringan untuk mengusir sepi.
"Din, nggak terasa ya, kita sudah 5 bulan jadian."
"Iya, selama ini kita fine aja yach."
Melvin memandang Nadin lekat-lekat
"Din, lo masih sayang kan, ma aku?"
"Vin, selamanya, gue bakal sayang ama lo."
"Gue juga selamanya akan sayang ama lo dan selalu ada di dekat lo."
"Ahrgh… gombal."
***
Hari-hari pun dijalani Melvin dan Nadin mengalir begitu saja. Tapi entah apa sebabnya Nadin dan Melvin semakin jarang berkomunikasi. Jangankan bertemu, sekedar sms pun tak lagi ajeg terkirim seperti hari-hari biasanya. Nadin ahir-ahir ini sering melamun lantaran ia merasa rindu yang amat sangat dalam kepada Melvin. Tapi Nadin tak ingin mengganggu aktivitas Melvin hanya sekedar rindu. Nadin yakin bahwa Melvin juga rindu kepadanya tapi biarlah semuanya berjalan sebagaimana hari menuntun waktu.
Mentari kini telah terbit. Tapi, kini mentari terbit di balik awan hitam bersama jalannya pagi. Saat itu, Nadin menerima surat bersampul merah jambu. Tertulis di atas sampul itu, nama Melvin. Sungguh, saat itu Nadin merasa bahagia sekali ketika mendapat surat dari Melvin. Dibukanya surat itu perlahan dengan dada bergetar.
Untuk Nadin,
Din, jujur gue masih sayang sama loe. Tapi, gue minta mulai saat loe baca surat ini, kita tak ada ikatan cinta lagi. Kita jalani hidup kita masing-masing. Gue terpaksa melakukan ini. Gue dipaksa ortu gue buat menikah dengan gadis pilihan mereka.
Maafin gue Din. Loe jangan sedih dan putus harapan. Kalau perlu, loe boleh membenci gue. Tapi, yang penting loe jangan sedih. Sebenernya, gue berat memutuskan ini tapi gue nggak bisa ngelak dari keputusan ortu gue.
Terima kasih untuk semuanya.
Yang selalu menyayangimu…
Melvin
Tiba-tiba hati Nadin terasa membeku bagai batu. Rantaian air mata kesedihan tak sanggup lagi terbendung. Pipi halus itupun terbasahi oleh air mata yang keruh. Bayangan indah merajut masa depan bersama Melvin hanya sekedar kenangan yang pahit, seperti bayang-bayang gelap dalam mimpi yang selalu menyelimuti malam.
***
Keesokan hari, bersama terangnya sinar mentari. Nadin yang sekarang bukanlah Nadin anak kemarin sore yang lantas menangisi kesedihan yang tak berarti. Sekarang Nadin mengisi hari-harinya dengan sesuatu yang lebih baik dari hari-hari biasanya, lebih bersemangat dalam menjalani hidup dan membuang jauh-jauh angan yang tak pasti, membuang jauh-jauh pikiran yang lena akan hayalan-hayalan semu.
Nadin yang sekarang adalah Nadin yang mulai menata kehidupan hari-harinya dengan sebuah perjalanan yang penuh dengan makna, karena kegagalan bukanlah kekalahan atau bahkan kekalahan sekalipun tidak berhak melemahkan semangat untuk bangkit.**
Lamongan, 2008
"Broak!!!"
Pintu kamar ditutup Nadin dengan sekeras-kerasnya. Entah mengapa Nadin juga heran perasaannya hari ini sangat acak kadut tak beraturan.
Pulang dari sekolah, Nadin langsung menelentangkan tubuhnya di atas ranjang yang biasa dibuatnya melepas lelah. Ini adalah hari ulang tahunnya. Tapi, kayaknya tak ada yang peduli dengan hari ulang tahun Nadin. Dunia remaja telah digenggamnya, umurnya telah menginjak 17 tahun, masa paling manis-manisnya dalam hitungan remaja.
Suasana di rumah Nadin bagai di kuburan yang penuh dengan misteri. Sunyi senyap. Tanpa pikir panjang, Nadin dengan scuter matic putihnya bergerak menuju tempat biasa dia nongkrong.
Pukul 15.00 ditunjukkan oleh jarum jam tangan Nadin. Sesampai di Mall Citra tempat ia nongkrong. Di hadapannya berdiri sosok yang gagah nan angkuh yang ia kenal. Dia adalah pacar Nadin yang bernama Melvin. Nadin terkejut saat Melvin mengulurkan tangannya dan menggenggam sebuah kotak lucu nan unik berwarna pink.
"Ini Din, buat lo. Terima yah, happy birthday."
"Duh… Melvin, lo baik banget sih." Ujar Nadin membuka riang hatinya.
"Bibuka dong!"
Kemudian dibukanya kotak itu perlahan. Terlihat sebuah boneka warna pink yang lucu. Sejak dulu, memang Nadin sangat menginginkan boneka itu. Sungguh sangat girang nan bahagianya perasaan Nadin. Ini adalah pengalaman Nadin yang sangat indah.
Mentari mulai turun ke ufuk barat, hari menjelang sore. Mega merah mengundang malam datang. Melvin mengantar Nadin pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan Melvin mengisinya dengan percakapan ringan untuk mengusir sepi.
"Din, nggak terasa ya, kita sudah 5 bulan jadian."
"Iya, selama ini kita fine aja yach."
Melvin memandang Nadin lekat-lekat
"Din, lo masih sayang kan, ma aku?"
"Vin, selamanya, gue bakal sayang ama lo."
"Gue juga selamanya akan sayang ama lo dan selalu ada di dekat lo."
"Ahrgh… gombal."
***
Hari-hari pun dijalani Melvin dan Nadin mengalir begitu saja. Tapi entah apa sebabnya Nadin dan Melvin semakin jarang berkomunikasi. Jangankan bertemu, sekedar sms pun tak lagi ajeg terkirim seperti hari-hari biasanya. Nadin ahir-ahir ini sering melamun lantaran ia merasa rindu yang amat sangat dalam kepada Melvin. Tapi Nadin tak ingin mengganggu aktivitas Melvin hanya sekedar rindu. Nadin yakin bahwa Melvin juga rindu kepadanya tapi biarlah semuanya berjalan sebagaimana hari menuntun waktu.
Mentari kini telah terbit. Tapi, kini mentari terbit di balik awan hitam bersama jalannya pagi. Saat itu, Nadin menerima surat bersampul merah jambu. Tertulis di atas sampul itu, nama Melvin. Sungguh, saat itu Nadin merasa bahagia sekali ketika mendapat surat dari Melvin. Dibukanya surat itu perlahan dengan dada bergetar.
Untuk Nadin,
Din, jujur gue masih sayang sama loe. Tapi, gue minta mulai saat loe baca surat ini, kita tak ada ikatan cinta lagi. Kita jalani hidup kita masing-masing. Gue terpaksa melakukan ini. Gue dipaksa ortu gue buat menikah dengan gadis pilihan mereka.
Maafin gue Din. Loe jangan sedih dan putus harapan. Kalau perlu, loe boleh membenci gue. Tapi, yang penting loe jangan sedih. Sebenernya, gue berat memutuskan ini tapi gue nggak bisa ngelak dari keputusan ortu gue.
Terima kasih untuk semuanya.
Yang selalu menyayangimu…
Melvin
Tiba-tiba hati Nadin terasa membeku bagai batu. Rantaian air mata kesedihan tak sanggup lagi terbendung. Pipi halus itupun terbasahi oleh air mata yang keruh. Bayangan indah merajut masa depan bersama Melvin hanya sekedar kenangan yang pahit, seperti bayang-bayang gelap dalam mimpi yang selalu menyelimuti malam.
***
Keesokan hari, bersama terangnya sinar mentari. Nadin yang sekarang bukanlah Nadin anak kemarin sore yang lantas menangisi kesedihan yang tak berarti. Sekarang Nadin mengisi hari-harinya dengan sesuatu yang lebih baik dari hari-hari biasanya, lebih bersemangat dalam menjalani hidup dan membuang jauh-jauh angan yang tak pasti, membuang jauh-jauh pikiran yang lena akan hayalan-hayalan semu.
Nadin yang sekarang adalah Nadin yang mulai menata kehidupan hari-harinya dengan sebuah perjalanan yang penuh dengan makna, karena kegagalan bukanlah kekalahan atau bahkan kekalahan sekalipun tidak berhak melemahkan semangat untuk bangkit.**
Lamongan, 2008
MAY
Eny Rose*
Prolog:
(Jiwa tersandung kabut raga tak henti merintih, malam terbelenggu cinta nan ayu. mozaikmozaik rindu menggertak sunyi. Namun, bintang thariq masih bernafas di sela cakrawala, sang mega kelana. Rerintik hujan pun turut mengiang di kahyangan percintaan sembari temani liku anggara nan merunduk sayu bagai sang khafadha setia menjaga adam dan hawa.)
Aku sedih. Kadangkala aku juga merasa stress dengan problem-problem yang kuhadapi selama ini. Sesekali aku sempat bertanya pada diriku sendiri. Apakah Allah sungguh benar-benar menyayangiku sehingga selalu memberi cobaan berat seperti ini? Aku harap semua ini dapat menjadikan aku sabar dan dekat dengan-Nya. Namun, kalaupun ini adalah kemarahan-Nya, aku memang pantas mendapatkannya. Karena selama ini mungkin aku memang BANGSAT pada kekasih yang menyayangiku.
* * *
Sejak berusia dua belas tahun, ibu dan bapak cerai, lantaran gaji bapak sebagai pembuat sekaligus penjual sandal dan sepatu relatif kecil. Kadang menerima pesanan dan kadangkala satupun tidak ada pemesan sekaligus pembeli. Bapak bekerja ekstra. Meskipun gajinya pas-pasan, bapak juga salah seorang guru ngaji TPA. Ya, mungkin karena ibu matre, dia tega meninggalkan kami semua.
Ibu meninggalkan kami sejak adikku baru berusia lima tahun. Saat itu adikku masih tinggal di bangku TK. Dan aku masih kelas dua SMP. Sejak kepergian ibu, kehidupan keluargaku sungguh dramatis. Apalagi jika melihat bapak. Bapak menjadi tidak karuan. Kalau boleh dibilang, sejak itu bapak menjadi orang super sibuk. Di samping mengajar TPA, membuat sekaligus menjual sepatu dan sandal, bapak masih juga memasak, mencuci, merawat adik, antar-jemput adik ke sekolah, beres-beres rumah, dan masih banyak lagi yang dikerjakan bapakku saat itu. Tapi, sebagai anak perempuan, aku juga kerap membantunya. Ya, sekedar nyapu lantai sih bisa. Sesudahnya aku terus belajar.
Aku tinggal di rumah kontrakan yang cukup sederhana. Bukan sekedar nyapu lantai saja, aku juga mencuci baju, menyetrika, dan sebagainya. Itung-itung meringankan beban bapakku di rumah. Aku juga sedikit-sedikit bisa masak. Aku bisa masak karena belajar dari tetangga sebelahku, namanya budhe Tum. Budhe Tum sudah aku anggap sebagai saudara sejak dulu. Dia kerap membantu aku dan bapakku setiap kali dibutuhkan.
Di tengah problem keluarga yang cukup komplek, bapakku tidak menyurutkan rasa kasih sayangnya kepada aku dan adikku. Bapak sungguh pria yang sabar. Dan yang paling aku kagumi adalah ketakwaannya. Kadang aku sempat terenyuh melihat bapakku saat dia sedang mengerjakan pesanan, ditemani adik yang bermain-main di dekatnya. Bapak kerap meneteskan air mata saat adik bertanya masalah ibu. Apalagi saat adik bercerita tentang ibu teman-teman sebayanya. Tidak hanya itu, permintaan-permintaannya untuk dibelikan mainan bagus juga sempat merepotkan bapak. Bapak kerap pergi sambil menangis saat dijejali pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Kadangkala bapak hanya menjawabnya dengan lirih dan berat hati. “Sabar, nak. Allah selalu menyayangi dan mengasihi kita semua. Sabar ya…”
Untuk sedikit meringankan beban hidup keluargaku, budhe Tum sempat menasehati bapakku agar segera menikah. Tapi bapak selalu menolaknya. Bapak takut kalau istri barunya tidak menyanyangi aku dan adik. Barangkali bapak juga masih trauma atas pernikahannya dengan ibu. Ia masih takut akan kegagalan dalam berumah tangga.
Pernah suatu ketika ibuku meneleponku di rumah budhe Tum. Dia bermaksud mengajakku dan adikku, Haris untuk tinggal di rumahnya. Katanya sih, ibu sudah hidup enak. Dia hidup serba kecukupan dalam rumah yang mewah. Ibu saat itu sempat memberiku nomor rumah dan juga nomor telepon.
Ibuku tinggal di Yogyakarta. Lantaran aku tidak berminat dengan tawarannya, aku pun eggan pergi ke rumahnya. Aku tidak berminat tinggal bersama ibuku. Semuanya itu lantaran aku tidak sudi tinggal serumah dengan seorang pelacur. Ya, ibu melacurkan diri sejak dia meninggalkan kami. Bahkan menurut sebagian teman-teman bapak yang kerap tugas ke luar kota, ibu malah mendirikan tempat pelacuran di dalam rumahnya itu.
Aku kerap menangis, saat aku merenungkan realitas kehidupan bapak dan ibu. Aku kasihan dengan bapak yang telah lama ikhlas dan sabar mengurusku sendirian. Jika aku ingat ibu, aku merasa benci banget sama dia. Kadangkala aku ingin mendatanginya dan mencaci-makinya biar dia malu atas kebejatannya. Tapi aku selalu ingat nasehat bapak. “Sabar anakku. Jadi orang itu harus sabar ya!” Mungkin kata-kata itu yang selalu mencegahku untuk berbuat brutal kepada ibuku. Ya, kata-kata itulah yang terus memberkas dalam jiwa dan perasaanku.
Suatu pagi bapak dan adik pergi entah kemana. Pamitnya sih mau membelikan adik mobil-mobilan. Aku sempat melarangnya. Alasanku melarangnya karena beberapa hari ini aku mimpi buruk. Dalam mimpiku ibu datang dengan tawanya yang gak karu-karuan. Saat itu terjadi di depan toko sepatu milik bapakku. Tampaknya ibu menertawakan bapak yang hidup dalam kekurangan. Tapi, bapak tidak memperdulikan himbauanku. Bapak dengan bahagia meninggalkan rumah untuk membelikan mobil-mobilan adikku.
Rasanya baru kali ini aku menemukan senyum kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah bapakku. Bapakku sejak kepergian ibu tidak pernah terlihat sebahagia seperti saat itu. Bapak bahagia karena saat itu dapat membelikan adik mobil-mobilan. Ya, kebahagiaan yang jarang aku temukan pada bapak selepas kepergian ibu.
Pernah sih aku melihat bapak tersenyum. Tapi, ya hanya sekedar senyum-senyum biasa. Dalam senyumnya itu bapak kerap berkata lirih sambil memaknai realitas kehidupan yang dijalaninya. “Aku hanya bisa ibadah dengan ini, lantaran aku tak punya harta yang bisa aku sedekahkan. Ibadahku hanyalah memberi kasih sayang kepada sesamaku. Begitu juga kepadamu dan adikmu, nak. Ingatlah nak, biarpun kita miskin harta tapi sungguh jangan sampai miskin iman.”
Begitulah nasehat yang sering aku dengar dari bibir bapakku untuk aku dan juga adikku.
Suatu peristiwa naas terjadi menimpa bapak dan adikku. Peristiwa naas itu terjadi ketika bapak mengantarkan pesanan sepatu kepada pelanggan sepulangnya dari toko mainan. Biasanya pemesan mengambilnya sendiri ke toko. Entah mengapa saat itu bapak sendiri yang mengantarkannya. Mungkin sudah cukup lama pesanan itu tidak diambil orangnya. Memang, bapakku termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang baik hati terhadap sesamanya. Tapi baru setengah perjalanan, bapak dan adik yang saat itu bersepeda kumbang disapa seseorang. Dan bapak menolehnya. Tiba-iba tanpa sadar ada mobil yang dengan kecepatan tinggi memakannya dari depan. “Ya, Allah. Sungguh apa yang kaulakukan pada bapak dan adikku? Kau telah mengambilnya dariku! Sungguh tidak pantaskah kami hidup bahagia? Harus hidup dengan siapakah aku, sementara ibu saja bersikap begitu? Itulah ungkapan keluhku saat mendengar kabar bahwa ayah dan adikku meninggal dunia dalam kecelakaan itu.
Tapi berulangkali aku teringat dengan ucapan bapak yang sempat terngiang-ngiang di telingaku. “Sabar, nak! Jika Allah menciptakan makhluknya, maka sudah pasti Dia selalu menyayangi, menjaga, dan juga memberinya rezeki.”
Setelah tujuh hari dari kematian bapak, budhe Tum mengajakku tinggal bersamanya. Budhe Tum juga menyekolahkanku sampai lulus SMA. Ia merawat dan membiayaiku sekolah dikarenakan sejak dulu dia telah menganggapku sebagai keluarga sendiri. Selain itu, anak-anaknya juga sudah besar dan bekerja. Bahkan ada juga yang telah berkeluarga serta hidup enak.
Dalam kehidupanku yang baru, tiba-tiba ibuku kembali datang padaku. Entah, angin apa yang membawanya hinggap dalam kehidupanku saat itu. Ibu tiba-tiba menelepon aku. Saat itu, aku ceritakan semua kepahitan hidup yang telah terjadi. Setelah kuberitahukan semuanya, ibu menangis dan esok harinya aku langsung dijemputnya dengan mobil mewahnya.
Sebenarnya aku menolak untuk ikut. Tapi ibu memohon-mohon kepada budhe Tum layaknya pengemis jalanan yang meminta sepeser uang kepada seorang majikan. Budhe Tum pun tak bisa berbuat apa-apa lagi lantaran dia tidak punya hak atas diriku. Dia akhirnya merelakan aku pergi bersama ibuku. Walaupun dengan berat hati ia harus melepasku. Dengan berat hati pula aku meninggalkan budhe Tum. Dan aku pun hidup bersama ibuku di rumahnya. Meskipun demikian, budhe Tum masih kerap meneleponku. Dan tidak jarang juga dia menasehatiku.
Sebulan sudah aku berada di rumah ibu. Tapi sekali pun, aku tak boleh keluar rumah. Ibu begitu senang keluar rumah. Dalam kepergiannya itulah ia membelikan segala keperluan yang aku butuhkan. Dan saat dia di rumah, telepon tak henti-hentinya berdering memanggil ibu. Anehnya, saat ibu tak ada, tak ada satu pun telepon untuknya. Aku juga heran. Di rumah itu aku tak pernah melihat satu pun alat kontrasepsi atau sejenisnya, minuman-minuman keras atau barang-barang yang mencurigakan seperti apa yang terlukis dalam benakku selama ini. Dan saat aku tanya kenapa aku tak boleh keluar rumah, dengan tegas ibu menjawab: ia takut kalau aku terpengaruh pergaulan di sekitar yang begitu bebas.
Bullshit!!! Dasar orang-orang semuanya pada brengsek! Ternyata berita yang aku dengar tentang ibuku semuanya cuma fitnah. Mereka bilang ibu pelacur-lah, mendirikan germo-lah, ujung-ujungnya cuma apa?! Nol banget! Aku menyesal sudah mengata-ngatai, mencurigai, bahkan dalam hati pun aku menyumpahinya. “Ibu, maafkan aku!” Rasanya aku tak pantas jika disebut sebagai putrinya. “Ya, Allah. Sungguh ampuni aku yang telah lama mendurhakai ibuku!”
Ibu sempat mencarikan aku jodoh dengan seorang pria tampan, gagah, dan pengusaha besar. Dia berusia kira-kira tiga puluhan tahun. Tapi itu hanya sekedar perasaan dan sepintas penglihatanku saja. Aku pun dengan senang hati menerimanya. Aku percaya seratus persen pada ibu. “Terima kasih, ibu. Terima kasih atas ketulusanmu!”
Suatu malam aku diajak tunanganku kencan. Tapi tiba-tiba hujan menggagalkan rencana kami. Bahkan tunanganku, mas Fadhli, tak dapat pulang. Ia akhirnya terpaksa tidur di sofa di ruangan keluarga dekat kamar ibuku. Sementara aku masih seperti biasa, tidur di kamarku di lantai atas.
Sudah hampir dua bulan aku tinggal bersama ibu. Dan sepertinya aku mulai melupakan kenangan-kenangan bersama bapak, adik, dan budhe Tum. Tapi, aku masih senantiasa mendoakannya. Aku juga tak lupa menelepon budhe Tum. Kadang-kadang ia sendiri yang menelepon aku. Tapi, tiba-tiba saja malam itu aku bermimpi tentang bapak, seperti peristiwa delapan tahun lalu. Ya, waktu itu bapak berkata pada ibu:
“Bu, kalau kamu mau pergi, silahkan! Tapi jangan bawa anak-anak. Karena ibu hanya akan menyakiti mereka.”
Begitulah ujar bapakku kapada ibu waktu itu. Sungguh kata-kata itu kembali menyelinap dalam mimpiku. Kata-kata itu sama persis dan bahkan dalam situasi yang sama. Lantas aku terbangun dengan irama jantung terengah-engah. Melodi pikiran morat-marit. “Ya, Allah. Ternyata cuma mimpi!” sebutku.
Tak tau kenapa, tiba-tiba pikiranku gak enak banget. Pikiranku selalu diburu kecemasan. Padahal aku juga sudah mendoakan bapak sehabis bangun dari mimpiku. Sebentar kupandangi langit-langit kamarku. Dan sesekali kuarahkan kelopak mataku yang masih sayu ke sudut-sudut ruangan. Pun kudapati jam dinding yang tergantung di sisi kiri tempat tidurku. Ternyata waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Akupun keluar kamar dengan maksud mengambil segelas air minum.
Aku berjalan mengendap-endap layaknya seorang maling. Aku takut suara langkah kakiku terdengar dan membangunkan ibu, pembantu, dan juga mas Fadhli. Tapi baru dapat setengah tangga langkahku terhenti.
“Apa yang terjadi di mataku? Ya, Allah. Apa ini?” kataku dalam hati.
Hatiku tersentak dan tercabik-cabik saat melihat kejadian itu. Kudapati ibu dan mas Fadhli berciuman di sofa. Lantas mereka berdua masuk ke kamar ibu.
“Apa yang mereka lakukan, ya Allah?” begitu sebutku.
Ibu memang masih muda. Kira-kira tiga puluh lima sampai tiga puluh delapan tahun. Ia juga suka berdandan. Bahkan jika disandingkan denganku, aku sudah pasti kalah cantik denganya. Maklum, aku jarang sekali berdandan. Boleh dikatakan tidak pernah sama sekali. Tidak hanya itu, mungkin saja karena aku yang selalu diselimuti derita dan airmata serta kesusahan hidup yang membuatku kalah cantik dengannya. Ya, mungkin karena kecantikan ibu melebihi kecantikanku sehingga malam itu mas Fadhil tergoda dengannya. Tapi aku sungguh tak menyangka, kalau ibu tega menyakiti putrinya sendiri.
Kuteruskan saja langkah kakiku yang beriring kehancuran hati yang begitu pilu. Aku berdiri tepat di depan kamar ibu. Kuteteskan pula linangan air mata kesedihan dan juga hati yang terbanting atas peristiwa malam itu. Lirih kudengarkan suara ibu.
“Sayang, sudah lama kita tidak…”
Suara itu kemudian hilang, berganti canda-gurau mereka. Sungguh aku tak tahan lagi. Akhirnya terselip dalam anganku untuk segera membuka pintu kamar itu. Aku benar-benar muak dengan mereka.
“Ups!!! Tidak. Aku mesti mikir ribuan kali untuk membuka pintu kamar itu. Ya, bagaimana jika aku benar-bemar membukanya?! Apa aku tidak malu melihat mereka?”
Saat pikiranku terhempas gelombang tanya seperti itu, tiba-tiba tubuhku lemas. Aku terduduk di bawah pintu. Pikiranku pun kosong. Aku hanya diam terpaku.
Beberapa waktu kemudian, mas Fadhli membuka pintu. Dia langsung duduk sembari memegang kedua pundakku. Dia pun diam sambil menatap kedua mataku yang basah dengan linangan air mata. Entah dia kaget, merasa bersalah, malu?! Atau bahkan dia malah menertawakanku?! Entahlah?!
“Wahai anakku, sabarlah! Ingatlah Tuhanmu! Kembalilah kepada-Nya karena kemarin dan hari ini kau telah lupa.”
Tiba-tiba suara itu terbesit di telingaku. Suara itu berasal dari arah tangga. Ya, aku ingat suara itu. Itu suara bapakku. Akupun menolehkan kepalaku dan kutemukan bapak duduk tersenyum di sana.
Aku tersentak. Aku melepas genggaman tangan mas Fadhli yang merekat erat di pundakku. Aku berlari menghampiri bapak. Tapi baru setengah langkah, bayangan itu hilang. Aku kembali roboh. Sedang ibu dengan sehelai selimut penutup tubuh, datang menghampiriku.
“May, anakku, maafkan ibu! Fadhil memang pelangganku. Dan aku merindukannya. Maafkan ibu, nak!” begitu tutur keluhnya padaku.
“Bu, kalau aku marah pada kalian, berarti aku sama jahatnya dengan kalian. Aku tak mau menjadi pemisah sepasang kekasih. Ibu tidak salah. Hanya saja akulah yang bodoh. Yang terlalu percaya kepada kalian berdua,” lirih ucapku.
Ya, setelah semuanya kupikir-pikir, ternyata aku lupa pada-Nya. Mengapa aku waktu itu langsung bersedia menerimanya? Aku memang bodoh dan lalai akan diri-Mu, ya Allah. Mengapa aku tak beristikharah dulu, sebelum memutuskan segala sesuatu? Ya Allah, ampunilah aku! Ampuni segala kekhilafanku!
Setelah seribu sesal bersemayam dalam diriku, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke budhe Tum. Kurasa dialah satu-satunya orang yang menyayangiku dengan sepenuh hati. Sungguh, kasih sayangnya melebihi kasih sayang ibu kandungku.
Lamongan, 2007
* Penulis adalah Pelajar MA. Matholi’ul Anwar
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Prolog:
(Jiwa tersandung kabut raga tak henti merintih, malam terbelenggu cinta nan ayu. mozaikmozaik rindu menggertak sunyi. Namun, bintang thariq masih bernafas di sela cakrawala, sang mega kelana. Rerintik hujan pun turut mengiang di kahyangan percintaan sembari temani liku anggara nan merunduk sayu bagai sang khafadha setia menjaga adam dan hawa.)
Aku sedih. Kadangkala aku juga merasa stress dengan problem-problem yang kuhadapi selama ini. Sesekali aku sempat bertanya pada diriku sendiri. Apakah Allah sungguh benar-benar menyayangiku sehingga selalu memberi cobaan berat seperti ini? Aku harap semua ini dapat menjadikan aku sabar dan dekat dengan-Nya. Namun, kalaupun ini adalah kemarahan-Nya, aku memang pantas mendapatkannya. Karena selama ini mungkin aku memang BANGSAT pada kekasih yang menyayangiku.
* * *
Sejak berusia dua belas tahun, ibu dan bapak cerai, lantaran gaji bapak sebagai pembuat sekaligus penjual sandal dan sepatu relatif kecil. Kadang menerima pesanan dan kadangkala satupun tidak ada pemesan sekaligus pembeli. Bapak bekerja ekstra. Meskipun gajinya pas-pasan, bapak juga salah seorang guru ngaji TPA. Ya, mungkin karena ibu matre, dia tega meninggalkan kami semua.
Ibu meninggalkan kami sejak adikku baru berusia lima tahun. Saat itu adikku masih tinggal di bangku TK. Dan aku masih kelas dua SMP. Sejak kepergian ibu, kehidupan keluargaku sungguh dramatis. Apalagi jika melihat bapak. Bapak menjadi tidak karuan. Kalau boleh dibilang, sejak itu bapak menjadi orang super sibuk. Di samping mengajar TPA, membuat sekaligus menjual sepatu dan sandal, bapak masih juga memasak, mencuci, merawat adik, antar-jemput adik ke sekolah, beres-beres rumah, dan masih banyak lagi yang dikerjakan bapakku saat itu. Tapi, sebagai anak perempuan, aku juga kerap membantunya. Ya, sekedar nyapu lantai sih bisa. Sesudahnya aku terus belajar.
Aku tinggal di rumah kontrakan yang cukup sederhana. Bukan sekedar nyapu lantai saja, aku juga mencuci baju, menyetrika, dan sebagainya. Itung-itung meringankan beban bapakku di rumah. Aku juga sedikit-sedikit bisa masak. Aku bisa masak karena belajar dari tetangga sebelahku, namanya budhe Tum. Budhe Tum sudah aku anggap sebagai saudara sejak dulu. Dia kerap membantu aku dan bapakku setiap kali dibutuhkan.
Di tengah problem keluarga yang cukup komplek, bapakku tidak menyurutkan rasa kasih sayangnya kepada aku dan adikku. Bapak sungguh pria yang sabar. Dan yang paling aku kagumi adalah ketakwaannya. Kadang aku sempat terenyuh melihat bapakku saat dia sedang mengerjakan pesanan, ditemani adik yang bermain-main di dekatnya. Bapak kerap meneteskan air mata saat adik bertanya masalah ibu. Apalagi saat adik bercerita tentang ibu teman-teman sebayanya. Tidak hanya itu, permintaan-permintaannya untuk dibelikan mainan bagus juga sempat merepotkan bapak. Bapak kerap pergi sambil menangis saat dijejali pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Kadangkala bapak hanya menjawabnya dengan lirih dan berat hati. “Sabar, nak. Allah selalu menyayangi dan mengasihi kita semua. Sabar ya…”
Untuk sedikit meringankan beban hidup keluargaku, budhe Tum sempat menasehati bapakku agar segera menikah. Tapi bapak selalu menolaknya. Bapak takut kalau istri barunya tidak menyanyangi aku dan adik. Barangkali bapak juga masih trauma atas pernikahannya dengan ibu. Ia masih takut akan kegagalan dalam berumah tangga.
Pernah suatu ketika ibuku meneleponku di rumah budhe Tum. Dia bermaksud mengajakku dan adikku, Haris untuk tinggal di rumahnya. Katanya sih, ibu sudah hidup enak. Dia hidup serba kecukupan dalam rumah yang mewah. Ibu saat itu sempat memberiku nomor rumah dan juga nomor telepon.
Ibuku tinggal di Yogyakarta. Lantaran aku tidak berminat dengan tawarannya, aku pun eggan pergi ke rumahnya. Aku tidak berminat tinggal bersama ibuku. Semuanya itu lantaran aku tidak sudi tinggal serumah dengan seorang pelacur. Ya, ibu melacurkan diri sejak dia meninggalkan kami. Bahkan menurut sebagian teman-teman bapak yang kerap tugas ke luar kota, ibu malah mendirikan tempat pelacuran di dalam rumahnya itu.
Aku kerap menangis, saat aku merenungkan realitas kehidupan bapak dan ibu. Aku kasihan dengan bapak yang telah lama ikhlas dan sabar mengurusku sendirian. Jika aku ingat ibu, aku merasa benci banget sama dia. Kadangkala aku ingin mendatanginya dan mencaci-makinya biar dia malu atas kebejatannya. Tapi aku selalu ingat nasehat bapak. “Sabar anakku. Jadi orang itu harus sabar ya!” Mungkin kata-kata itu yang selalu mencegahku untuk berbuat brutal kepada ibuku. Ya, kata-kata itulah yang terus memberkas dalam jiwa dan perasaanku.
Suatu pagi bapak dan adik pergi entah kemana. Pamitnya sih mau membelikan adik mobil-mobilan. Aku sempat melarangnya. Alasanku melarangnya karena beberapa hari ini aku mimpi buruk. Dalam mimpiku ibu datang dengan tawanya yang gak karu-karuan. Saat itu terjadi di depan toko sepatu milik bapakku. Tampaknya ibu menertawakan bapak yang hidup dalam kekurangan. Tapi, bapak tidak memperdulikan himbauanku. Bapak dengan bahagia meninggalkan rumah untuk membelikan mobil-mobilan adikku.
Rasanya baru kali ini aku menemukan senyum kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah bapakku. Bapakku sejak kepergian ibu tidak pernah terlihat sebahagia seperti saat itu. Bapak bahagia karena saat itu dapat membelikan adik mobil-mobilan. Ya, kebahagiaan yang jarang aku temukan pada bapak selepas kepergian ibu.
Pernah sih aku melihat bapak tersenyum. Tapi, ya hanya sekedar senyum-senyum biasa. Dalam senyumnya itu bapak kerap berkata lirih sambil memaknai realitas kehidupan yang dijalaninya. “Aku hanya bisa ibadah dengan ini, lantaran aku tak punya harta yang bisa aku sedekahkan. Ibadahku hanyalah memberi kasih sayang kepada sesamaku. Begitu juga kepadamu dan adikmu, nak. Ingatlah nak, biarpun kita miskin harta tapi sungguh jangan sampai miskin iman.”
Begitulah nasehat yang sering aku dengar dari bibir bapakku untuk aku dan juga adikku.
Suatu peristiwa naas terjadi menimpa bapak dan adikku. Peristiwa naas itu terjadi ketika bapak mengantarkan pesanan sepatu kepada pelanggan sepulangnya dari toko mainan. Biasanya pemesan mengambilnya sendiri ke toko. Entah mengapa saat itu bapak sendiri yang mengantarkannya. Mungkin sudah cukup lama pesanan itu tidak diambil orangnya. Memang, bapakku termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang baik hati terhadap sesamanya. Tapi baru setengah perjalanan, bapak dan adik yang saat itu bersepeda kumbang disapa seseorang. Dan bapak menolehnya. Tiba-iba tanpa sadar ada mobil yang dengan kecepatan tinggi memakannya dari depan. “Ya, Allah. Sungguh apa yang kaulakukan pada bapak dan adikku? Kau telah mengambilnya dariku! Sungguh tidak pantaskah kami hidup bahagia? Harus hidup dengan siapakah aku, sementara ibu saja bersikap begitu? Itulah ungkapan keluhku saat mendengar kabar bahwa ayah dan adikku meninggal dunia dalam kecelakaan itu.
Tapi berulangkali aku teringat dengan ucapan bapak yang sempat terngiang-ngiang di telingaku. “Sabar, nak! Jika Allah menciptakan makhluknya, maka sudah pasti Dia selalu menyayangi, menjaga, dan juga memberinya rezeki.”
Setelah tujuh hari dari kematian bapak, budhe Tum mengajakku tinggal bersamanya. Budhe Tum juga menyekolahkanku sampai lulus SMA. Ia merawat dan membiayaiku sekolah dikarenakan sejak dulu dia telah menganggapku sebagai keluarga sendiri. Selain itu, anak-anaknya juga sudah besar dan bekerja. Bahkan ada juga yang telah berkeluarga serta hidup enak.
Dalam kehidupanku yang baru, tiba-tiba ibuku kembali datang padaku. Entah, angin apa yang membawanya hinggap dalam kehidupanku saat itu. Ibu tiba-tiba menelepon aku. Saat itu, aku ceritakan semua kepahitan hidup yang telah terjadi. Setelah kuberitahukan semuanya, ibu menangis dan esok harinya aku langsung dijemputnya dengan mobil mewahnya.
Sebenarnya aku menolak untuk ikut. Tapi ibu memohon-mohon kepada budhe Tum layaknya pengemis jalanan yang meminta sepeser uang kepada seorang majikan. Budhe Tum pun tak bisa berbuat apa-apa lagi lantaran dia tidak punya hak atas diriku. Dia akhirnya merelakan aku pergi bersama ibuku. Walaupun dengan berat hati ia harus melepasku. Dengan berat hati pula aku meninggalkan budhe Tum. Dan aku pun hidup bersama ibuku di rumahnya. Meskipun demikian, budhe Tum masih kerap meneleponku. Dan tidak jarang juga dia menasehatiku.
Sebulan sudah aku berada di rumah ibu. Tapi sekali pun, aku tak boleh keluar rumah. Ibu begitu senang keluar rumah. Dalam kepergiannya itulah ia membelikan segala keperluan yang aku butuhkan. Dan saat dia di rumah, telepon tak henti-hentinya berdering memanggil ibu. Anehnya, saat ibu tak ada, tak ada satu pun telepon untuknya. Aku juga heran. Di rumah itu aku tak pernah melihat satu pun alat kontrasepsi atau sejenisnya, minuman-minuman keras atau barang-barang yang mencurigakan seperti apa yang terlukis dalam benakku selama ini. Dan saat aku tanya kenapa aku tak boleh keluar rumah, dengan tegas ibu menjawab: ia takut kalau aku terpengaruh pergaulan di sekitar yang begitu bebas.
Bullshit!!! Dasar orang-orang semuanya pada brengsek! Ternyata berita yang aku dengar tentang ibuku semuanya cuma fitnah. Mereka bilang ibu pelacur-lah, mendirikan germo-lah, ujung-ujungnya cuma apa?! Nol banget! Aku menyesal sudah mengata-ngatai, mencurigai, bahkan dalam hati pun aku menyumpahinya. “Ibu, maafkan aku!” Rasanya aku tak pantas jika disebut sebagai putrinya. “Ya, Allah. Sungguh ampuni aku yang telah lama mendurhakai ibuku!”
Ibu sempat mencarikan aku jodoh dengan seorang pria tampan, gagah, dan pengusaha besar. Dia berusia kira-kira tiga puluhan tahun. Tapi itu hanya sekedar perasaan dan sepintas penglihatanku saja. Aku pun dengan senang hati menerimanya. Aku percaya seratus persen pada ibu. “Terima kasih, ibu. Terima kasih atas ketulusanmu!”
Suatu malam aku diajak tunanganku kencan. Tapi tiba-tiba hujan menggagalkan rencana kami. Bahkan tunanganku, mas Fadhli, tak dapat pulang. Ia akhirnya terpaksa tidur di sofa di ruangan keluarga dekat kamar ibuku. Sementara aku masih seperti biasa, tidur di kamarku di lantai atas.
Sudah hampir dua bulan aku tinggal bersama ibu. Dan sepertinya aku mulai melupakan kenangan-kenangan bersama bapak, adik, dan budhe Tum. Tapi, aku masih senantiasa mendoakannya. Aku juga tak lupa menelepon budhe Tum. Kadang-kadang ia sendiri yang menelepon aku. Tapi, tiba-tiba saja malam itu aku bermimpi tentang bapak, seperti peristiwa delapan tahun lalu. Ya, waktu itu bapak berkata pada ibu:
“Bu, kalau kamu mau pergi, silahkan! Tapi jangan bawa anak-anak. Karena ibu hanya akan menyakiti mereka.”
Begitulah ujar bapakku kapada ibu waktu itu. Sungguh kata-kata itu kembali menyelinap dalam mimpiku. Kata-kata itu sama persis dan bahkan dalam situasi yang sama. Lantas aku terbangun dengan irama jantung terengah-engah. Melodi pikiran morat-marit. “Ya, Allah. Ternyata cuma mimpi!” sebutku.
Tak tau kenapa, tiba-tiba pikiranku gak enak banget. Pikiranku selalu diburu kecemasan. Padahal aku juga sudah mendoakan bapak sehabis bangun dari mimpiku. Sebentar kupandangi langit-langit kamarku. Dan sesekali kuarahkan kelopak mataku yang masih sayu ke sudut-sudut ruangan. Pun kudapati jam dinding yang tergantung di sisi kiri tempat tidurku. Ternyata waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Akupun keluar kamar dengan maksud mengambil segelas air minum.
Aku berjalan mengendap-endap layaknya seorang maling. Aku takut suara langkah kakiku terdengar dan membangunkan ibu, pembantu, dan juga mas Fadhli. Tapi baru dapat setengah tangga langkahku terhenti.
“Apa yang terjadi di mataku? Ya, Allah. Apa ini?” kataku dalam hati.
Hatiku tersentak dan tercabik-cabik saat melihat kejadian itu. Kudapati ibu dan mas Fadhli berciuman di sofa. Lantas mereka berdua masuk ke kamar ibu.
“Apa yang mereka lakukan, ya Allah?” begitu sebutku.
Ibu memang masih muda. Kira-kira tiga puluh lima sampai tiga puluh delapan tahun. Ia juga suka berdandan. Bahkan jika disandingkan denganku, aku sudah pasti kalah cantik denganya. Maklum, aku jarang sekali berdandan. Boleh dikatakan tidak pernah sama sekali. Tidak hanya itu, mungkin saja karena aku yang selalu diselimuti derita dan airmata serta kesusahan hidup yang membuatku kalah cantik dengannya. Ya, mungkin karena kecantikan ibu melebihi kecantikanku sehingga malam itu mas Fadhil tergoda dengannya. Tapi aku sungguh tak menyangka, kalau ibu tega menyakiti putrinya sendiri.
Kuteruskan saja langkah kakiku yang beriring kehancuran hati yang begitu pilu. Aku berdiri tepat di depan kamar ibu. Kuteteskan pula linangan air mata kesedihan dan juga hati yang terbanting atas peristiwa malam itu. Lirih kudengarkan suara ibu.
“Sayang, sudah lama kita tidak…”
Suara itu kemudian hilang, berganti canda-gurau mereka. Sungguh aku tak tahan lagi. Akhirnya terselip dalam anganku untuk segera membuka pintu kamar itu. Aku benar-benar muak dengan mereka.
“Ups!!! Tidak. Aku mesti mikir ribuan kali untuk membuka pintu kamar itu. Ya, bagaimana jika aku benar-bemar membukanya?! Apa aku tidak malu melihat mereka?”
Saat pikiranku terhempas gelombang tanya seperti itu, tiba-tiba tubuhku lemas. Aku terduduk di bawah pintu. Pikiranku pun kosong. Aku hanya diam terpaku.
Beberapa waktu kemudian, mas Fadhli membuka pintu. Dia langsung duduk sembari memegang kedua pundakku. Dia pun diam sambil menatap kedua mataku yang basah dengan linangan air mata. Entah dia kaget, merasa bersalah, malu?! Atau bahkan dia malah menertawakanku?! Entahlah?!
“Wahai anakku, sabarlah! Ingatlah Tuhanmu! Kembalilah kepada-Nya karena kemarin dan hari ini kau telah lupa.”
Tiba-tiba suara itu terbesit di telingaku. Suara itu berasal dari arah tangga. Ya, aku ingat suara itu. Itu suara bapakku. Akupun menolehkan kepalaku dan kutemukan bapak duduk tersenyum di sana.
Aku tersentak. Aku melepas genggaman tangan mas Fadhli yang merekat erat di pundakku. Aku berlari menghampiri bapak. Tapi baru setengah langkah, bayangan itu hilang. Aku kembali roboh. Sedang ibu dengan sehelai selimut penutup tubuh, datang menghampiriku.
“May, anakku, maafkan ibu! Fadhil memang pelangganku. Dan aku merindukannya. Maafkan ibu, nak!” begitu tutur keluhnya padaku.
“Bu, kalau aku marah pada kalian, berarti aku sama jahatnya dengan kalian. Aku tak mau menjadi pemisah sepasang kekasih. Ibu tidak salah. Hanya saja akulah yang bodoh. Yang terlalu percaya kepada kalian berdua,” lirih ucapku.
Ya, setelah semuanya kupikir-pikir, ternyata aku lupa pada-Nya. Mengapa aku waktu itu langsung bersedia menerimanya? Aku memang bodoh dan lalai akan diri-Mu, ya Allah. Mengapa aku tak beristikharah dulu, sebelum memutuskan segala sesuatu? Ya Allah, ampunilah aku! Ampuni segala kekhilafanku!
Setelah seribu sesal bersemayam dalam diriku, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke budhe Tum. Kurasa dialah satu-satunya orang yang menyayangiku dengan sepenuh hati. Sungguh, kasih sayangnya melebihi kasih sayang ibu kandungku.
Lamongan, 2007
* Penulis adalah Pelajar MA. Matholi’ul Anwar
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar