Judul Buku: Kitab Para Malaikat
Pengarang : Nurel Javissyarqi
Pengantar : Maman S. Mahayana
Epilog : Herry Lamongan
Jenis Buku: Antologi Puisi Tunggal
Penerbit : PUstaka puJAngga
Tebal Buku: x+130hlm;15,5x23,5cm
Peresensi : Imamuddin SA.
Hidup di dunia ini merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang namun sejenak. Dikatakan panjang sebab kehidupan manusia di dalamnya harus melalui beberapa fase. Secara fisikal, dimulai dari fase pembentukan jasad. Kelahiran dalam wujud balita. Kanak-kanak. Dewasa. Tua. Lanjut usia. Lantas tiada. Belum lagi perjalanan secara ruhaniah. Yaitu yang dimulai dari tataran syariat, hakikat, ma’rifat, serta fase penyatuan. Kesemuanya itu merupakan sebuah proses pencarian kesempurnaan dan jati diri kemanusiaanya. Dan rentang waktu antara fase satu ke fase yang lain itu cukuplah lama. Berpuluh-puluh tahun.
Dikatakan sejenak sebab dunia ini fana yang bersifat tidak kekal. Begitu juga dengan manusianya. Secara jasadiah, manusia pasti mengalami kematian di dalam dunia ini. Ia tidak kekal. Suatu saat ia pasti lenyap dari keberadaan kehidupan materi ini. Yang demikian itulah fenomena hidup di dunia yang merupakan sebuah rangkaian perjalanan panjang yang sejenak.
Dalam rangkaian perjalanan panjang yang sejenak ini, seorang manusia pastilah menemukan sesuatu yang lebih dalam hidup dan kehidupanya. Ia sudah barang tentu menemukan hikmah-hikmah tersendiri yang tidak sama dengan penemuan manusia yang lain. Yang lebih dulu hidup daripadanya. Namun jika ada satu kemiripan, itu merupakan suatu kewajaran. Sebab realitas kehidupan manusia sekarang tidak lain adalah hasil pengulangan realitas kehidupan yang silam. Yang menjadi pembedanya adalah cara pengungkapan dan penuangannya dalam realitas sosial. Tentunya dipengaruhi oleh setting suasana dan tempat yang berbeda. Jadi yang sama adalah akar konsep pemahaman idenya. Bukan sama secara realitas fisiknya. Hanya saja konsep ide yang lalu dalam realitas sekarang mungkin terdapat satu pengembangan sesuai dengan prifasi dan lingkungan fisiknya.
Penemuan sesuatu yang lebih dan hikmah-himah oleh seorang manusia itu berpangkal pada tindak pemaknahan terhadap simbol-simbol realitas yang ada. Simbol-simbol yang terdapat di sisi sayap kanan dan kirinya. Dengan adanya pemaknahan itu, maka beroleh manfaatlah dalam pribadi orang tersebut. Tidak menutup kemungkinan, orang lain pun turut merasakannya.
Hal itu tampaknya telah dicapai oleh seorang Nurel dengan menghadirkan karyanya Kitab Para Malaikat. Rangkaian hikmah yang dicakup dalam hidup dan kehidupanya berpangkal dari pemaknahan akan realitas yang melingkupi pribadinya. Perjalanan yang relatif panjang. Kurang lebih hampir sepuluh tahun ia mengumpulkan hikmah-hikmah tersebut hingga kini hadirlah sebuah buku yang berjudul Kitab Para Malaikat. Tempaanya tidak pada satu tempat melainkan di berbagai tempat. Seperti di pesantren Waticongol, Muntilan (Magelang), Tegal Sari, Jetis, (Ponorogo), Yogyakarta, Selat Sunda, Gersik, Lamongan, dan lain-lain. Ia laksana memungut satu demi satu kerikil makna kehidupan yang berserakan sebagai amunisi menelanjangi peradaban zaman.
Falsafah hidup sangat kental dalam Kitab Para Malaikat. Dalam tiap bagianya tersebar luas nilai-nilai falsafahnya. Falsafah tentang wanita misalnya. Siapa yang dapat menghormati dan menjujung martabat rumah tangga, masyarakat, bangsa, dan bahkan leluhur seseorang? Semuanya itu yang berperan adalah seorang wanita. Dialah panutannya. Dialah tulang punggungnya. Jika pribadi seorang wanita itu rusak, maka rusaklah semuanya. Martabat pun akan mengalami degradasi dengan indahnya.
Mengapa wanita sebagai penentu dan tulang punggug semuanya? Ini bukan merujuk pada tindak emansipasi wanita secara mutlak. Tidak mengunggulkan wanita harus memimpin segalanya. Memimpin rumah tangga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Ini melainkan berorientasi pada hakekat dasar wanita. Obsesi wanita sebagai seorang ibu dari anak-anaknya. Cinta kasih harus ditanamkan oleh seorang ibu kepada anaknya secara mendalam. Pendidikan dasar seorang anak tercermin lewat karakter ibunya. Sebab seorang ibu pada dasarnya lebih dekat secara psikologi dengan anak-anaknya. Seorang anak akan mempelajari secara alamiah kebiasaan-kebiasaan ibunya. Jika ibunya sering bersikap kasar, apatis, nakal, kurang sopan, dan sering keluar rumah, sudah barang tentu kelak karakter anak tidak jauh berbeda dari semua itu. Bahkan bisa berbuat lebih. Tidak ingatkah ketika seorang ibu mengalami sakit, maka bayinya pun turut merasakanya jua. Seorang ibu yang sedang guncang jiwa dan perasaanya, maka bayinya pun merengek tak henti-hentinya. Ini sebagai bukti bahwa kedekatan psikologi seorang anak cenderung mengarah pada kepribadian ibunya..
Jadi peranan wanita sebagai penentu kepribadian generasi berikutnya yang menjadi sorotan utamanya. Wanita harus bisa memberdayakan eksistensi pribadinya. Yaitu sebagai seorang ibu yang mencurahkan segenap kasih sayang, cinta, dan pendidikan dasar kepada anak-anaknya. Bukan memberi contoh buruk. Biar kelak tercipta generasi penerus yang lebih unggul. Generasi yang mampu menyemikan harkat dan martabat neneng moyangnya. Wanitalah panutanya. Tampaknya hal itu yang menjadi titik tolak ungkapan seorang Nurel; “Bagi bangsa-bangsa menghormati moyangnya, wanita // menjadi panutan, selendang panjangnya menyeret lelangkah // dan dunia setuju walau berkali-kali terhempas prahara” (Membuka Raga Padmi, I; XI, hal:5).
Pengajaran akan nilai-nilai keikhlasan juga semerbak dalam karya ini. Dalam perjalanan hidupnya, manusia harus senantiasa melangkah dengan penuh keikhlasan. Mengabdi dengan bekal keikhlasan lewat ketetapan hati, perkataan, maupun perilaku. Keikhlasan itu diwujudkan dalam bentuk ikhlas kala memperoleh kenikmatan. Dan ikhlas kala mendapatkan musibah. Hal itu memang terjadi secara bergantian. Ini sebuah kewajaran. Orang tidak akan merasakan kenikmatan sebelum ia pernah merasakan musibah atau sengsara. Begitu juga dengan sebaliknya. Ini merupakan sesuatu yang berkala. “Sakit serta nikmat ia terima sejauh tidak mengurangi kekhusyukan, // kesungguhan hayatmu mengabdi berbekal puja keikhlasan” (Anak Sungai Filsafat, IX; XXI, hal:52).
Nilai vitalitas juga terdapat dalam Kitab Para Malaikat. Ini seolah cermin dari pribadi pengarangnya. “Bara revolusi berasal dari rindu terkumpul gagasan sebelum bertemu, // dan akhirnya bentuklah yang menciptakan melodi ruangan takdirmu” (Musik-Tarian Keabadian, V; XI, Hal:31). Ungkapan ini bermaksud memberi dorongan dan semangat hidup. Bahwa sesungguhnya perubahan besar yang terjadi dalam pribadi seseorang itu bermula dari kerinduan untuk menggapai suatu hal. Di mana pencapaian terhadap suatu tujuan itu belum terwujud. Oleh sebab itu dorongan batin harus segera dituangkan dalam bentuk tindakan dan kesungguhan usaha. Adapun takdir di esok hari akan mengikuti kekuatan tindakan dan kesungguhan usaha dalam proses penggapaian suatu hal yang telah dirindu-impikan. Intinya, seseorang tidak boleh berhenti di tengah jalan saat hendak merengkuh sebuah impian dan cita-cita. Kuatkan tekad sampai muara.
Karya ini merupakan karya yang dituangkan dalam bentuk romantisme perjalanan hidup. Adapun yang menjadi selimutnya adalah romantisme filosofis. Disusun ke dalam beberapa bagian. Lebih tepatnya dua puluh bagian ditambah satu bagian muqaddimah sebagai pembuka awalnya. Bagian-bagianya adalah; Muqaddimah (Waktu Di Sayap Jibril), Membuka Raga Padmi; I, Hukum-Hukum Pecinta; II, Bait-Bait Persembahan; III, Ruang-Ruang Mengabadikan; IV, Musik-Tarian Keabadian; V, Diruapi Malam Harum; VI, Keinginan-Keinginan Mulia; VII, Di Atas Tandu Langitan; VIII, Anak Sungai Filsafat; IX, Sekuntum Bunga Revolusi; X, Penampakan Do’a Semalam; XI, Duka Tangis Busa, XII, Gelombang Merawat Pantai; XIII, Mengembalikan Niat Suci; XIV, Pembangunan Dunia Ganjil; XV, Siang Tubuh Malam Jiwanya; XVI, Secercah Cahaya Kurnia; XVII, Tanah Kelahiran Masa; XVIII, Ruang Waktu Padat; XIX, Muakhir (Kesaksian-Kesaksian); XX.
Dalam setiap bagianya tersusun secara panjang. Namun dibatasi dengan angka-angka romawi sebagai bentuk pemisahan baitnya. Hal itu tampaknya sebagai wujud ekspresi yang menyimbolkan bahwa karya ini digurat dalam rentang waktu yang relatif lama. Dan dalam ruang-waktu yang berbeda-beda.
Tampilan fisik Kitab Para Malaikat cenderung mengelabuhi penikmatnya. Penikmat akan terpancing untuk memaknai dan memahami dalam tiap baitnya secara terpisah. Tiap bait yang dicipta seolah mengusung topik yang baru. Padahal tidak. Itu sebenarnya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam tiap sub bagiannya. Walaupun juga ada sedikit yang meloncat. Namun pada akhir bagianya bisa kembali pada topik pembahasan semula. Jika pola pemahaman penikmat dilakukan secara terpisah-pisah, maka benar apabila karya ini disebutnya sebagai karya yang pengguratanya menggunakan ritme Jurus Dewa Mabuk. Ritme yang tidak beraturan dan tak berarah. Namun mengandung kekuatan yang dahsyat dan mematikan lawan-lawanya.
Bahasa yang dipaki tidak sederhana dan terlalu sublim. Jadi butuh pemahaman ekstra untuk menguak intinya. Dan tiap bagianya pun terlalu panjang. Ini bagi penikmat yang kurang sabar, sering mengalami kejenuhan dan bosan. Serta sedikit mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Yang paling sering akan menganggap ungkapan dalam karya ini minim makna dan pesan. Sekedar keromantisan bahasa yang disajikan. Namun bagi beberapa kalangan penikmat, ini sangat menyenangkan. Sebab ada tantangan yang lebih untuk menguak kesublimannya.
Selanjutnya, selamat menikmati. Selamat menerjemahkan inti. Semoga kesahajaan akan melingkupi jiwa-jiwa sang pencari.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 30 Juli 2008
Puisi-puisi Pringgo HR
Berperahu
simpulsimpul di tiang rindu
engkau urai satusatu kian longgar membebat
renggangi ruas rasa pada camar camar yang resah
benturan debur
luka kain layar mengolengkan perahu
berpusing di pusaran angin yang tak pernah setia
meniti setiap lengkung gelombang
tinggalah tiangtiang telanjang berdiri mengurus
menghitung angkaangka di kalender nasib
berharihari merasai panggang matahari
berayunhayun perahu berpayung ombak
selalu menikung
di setiap bentur.
di setiap tubi cambuk debur
membuat papanpapan setia meretaki
luka
barangkali semisal Nuh
menenggelam sayatan satu demi satu
atau terdampar
menyisahkan tanda
dari pantai ke pantai
dari musim ke musim
saksi aku dan engkau
pernah berperahu
Babat, 16 September 2006
Oktober Ke 20 - 2006
: untuk C.I3
malam ini menyuntingmu masuk dalam dekapan
tanpa rembulan hanya angin dingin yang mengabar
oktober segera menjatuhkan gerimis yang pertama
rerintiknya membasahi lincin antara jalanan maret
sampai tepian rindu
aku terpelanting terjerembab
di semak katakatamu yang mengulur musim
hingga rantingranting kemarau belum juga mau
menggugur daun
mengangan barangkali sampai di musim teduh:
merenungi setiap urai kata di jengkal hari yang terlintasi.
melepuh jalan antara mataku dan matamu
embun serasa tak mampu membasah retak reranting
daundaun luka mengering
menjatuh menyayat kenangan demi kenangan
saat malam memeluk tanpaku
di bilik yang hangat ketika dingin menyergap tibatiba
aku membelukar dalam ngiang tawamu menjelah larik
larik larut menuju pagi
:begitu halus angin yang engkau hembuskan ke tubuh
hingga kerinngat yang membasah begitu senyap
kemudian aku menyujudkan ke wajah
sepimu
memang hanya sepi ternyata yang engkau suguh
di pucuk penantian mengelanai setiap sungging tawa
sesudah engkau pergi
masuk ke dalam dekapan
malam
Sukodadi, 20 Oktober 2006
Kukunjungi Lagi Pantaimu
ke pantaimu hari ini aku berkunjung
sekadar menghitung pasir setia yang setengah musim
kautinggal
oh, itu perahu berayunayun nyisir ombak
semakin jauh ninggalkan pantai
tak terlihat lambaian
samar seperti senja yang tibatiba mengurung
masih juga di butir pasir ini kutulis
:kesetiaan yang siasia
karena malam segera menjemput ke pelukan diamnya
aku tak mampu melihat pada dermaga mana perahu
berlabuh kesetian yang tertelan diam malam dan
pasang membuat rabun di getar waktu yang makin rapuh
jika di dermagaku ingin dilabuhkan,
aku berharap tiangtiang kian mengeropos dipasang ombak
dan membiar saja terjungkal mencair mengisi laut.
bukan karena jengah disinggah namun
setiap buih harus dilarungkan jauh hingga batas pandang
tak minta kembali
dengan kesetian, aku terus saja
menjagai kerangkerang kosong
mimpimu
Sukodadi, 21 Maret 2007
Ketika Juni
hujan telah menipis dari rintiknya
dan angin mulai belajar diam, engkau
masih sanggup menyahut namaku di kerumunan
harubiru rindu
ketika sepenggal juni kutinggal perlahanlahan
sudah tak mungkin lagi menoleh kebelakang
bukan kekecawaan yang terluka tetapi jalanan basah
telah melukis setapaksetapak tak bisa kuhapus
menyusut langkah ke waktu awal singgahan hujan
aku tahu engkau luka
ingin menyambung penggalpenggal juni
di gerimis yang mulai habis tak mungkin menyelesai utuh
sebuah tahun
karena kawatkawat pengikat telah hanyut
bersama ricik air yang diam
siasia bila hari saling berkejaran menuntaskan bulan
sedang engkau hanya menyahutkan potongan
potongan kata setia, tanpa:
harus mematah langkah yang hampir sampai
menghentikan senjaku
atau ninggalkan deraiderai kecewa membasah waktumu
hanya bertubi sesal saling bentur
ketika juni telah habis bersama gerimis
Sukodadi, 30 Juni 2007
simpulsimpul di tiang rindu
engkau urai satusatu kian longgar membebat
renggangi ruas rasa pada camar camar yang resah
benturan debur
luka kain layar mengolengkan perahu
berpusing di pusaran angin yang tak pernah setia
meniti setiap lengkung gelombang
tinggalah tiangtiang telanjang berdiri mengurus
menghitung angkaangka di kalender nasib
berharihari merasai panggang matahari
berayunhayun perahu berpayung ombak
selalu menikung
di setiap bentur.
di setiap tubi cambuk debur
membuat papanpapan setia meretaki
luka
barangkali semisal Nuh
menenggelam sayatan satu demi satu
atau terdampar
menyisahkan tanda
dari pantai ke pantai
dari musim ke musim
saksi aku dan engkau
pernah berperahu
Babat, 16 September 2006
Oktober Ke 20 - 2006
: untuk C.I3
malam ini menyuntingmu masuk dalam dekapan
tanpa rembulan hanya angin dingin yang mengabar
oktober segera menjatuhkan gerimis yang pertama
rerintiknya membasahi lincin antara jalanan maret
sampai tepian rindu
aku terpelanting terjerembab
di semak katakatamu yang mengulur musim
hingga rantingranting kemarau belum juga mau
menggugur daun
mengangan barangkali sampai di musim teduh:
merenungi setiap urai kata di jengkal hari yang terlintasi.
melepuh jalan antara mataku dan matamu
embun serasa tak mampu membasah retak reranting
daundaun luka mengering
menjatuh menyayat kenangan demi kenangan
saat malam memeluk tanpaku
di bilik yang hangat ketika dingin menyergap tibatiba
aku membelukar dalam ngiang tawamu menjelah larik
larik larut menuju pagi
:begitu halus angin yang engkau hembuskan ke tubuh
hingga kerinngat yang membasah begitu senyap
kemudian aku menyujudkan ke wajah
sepimu
memang hanya sepi ternyata yang engkau suguh
di pucuk penantian mengelanai setiap sungging tawa
sesudah engkau pergi
masuk ke dalam dekapan
malam
Sukodadi, 20 Oktober 2006
Kukunjungi Lagi Pantaimu
ke pantaimu hari ini aku berkunjung
sekadar menghitung pasir setia yang setengah musim
kautinggal
oh, itu perahu berayunayun nyisir ombak
semakin jauh ninggalkan pantai
tak terlihat lambaian
samar seperti senja yang tibatiba mengurung
masih juga di butir pasir ini kutulis
:kesetiaan yang siasia
karena malam segera menjemput ke pelukan diamnya
aku tak mampu melihat pada dermaga mana perahu
berlabuh kesetian yang tertelan diam malam dan
pasang membuat rabun di getar waktu yang makin rapuh
jika di dermagaku ingin dilabuhkan,
aku berharap tiangtiang kian mengeropos dipasang ombak
dan membiar saja terjungkal mencair mengisi laut.
bukan karena jengah disinggah namun
setiap buih harus dilarungkan jauh hingga batas pandang
tak minta kembali
dengan kesetian, aku terus saja
menjagai kerangkerang kosong
mimpimu
Sukodadi, 21 Maret 2007
Ketika Juni
hujan telah menipis dari rintiknya
dan angin mulai belajar diam, engkau
masih sanggup menyahut namaku di kerumunan
harubiru rindu
ketika sepenggal juni kutinggal perlahanlahan
sudah tak mungkin lagi menoleh kebelakang
bukan kekecawaan yang terluka tetapi jalanan basah
telah melukis setapaksetapak tak bisa kuhapus
menyusut langkah ke waktu awal singgahan hujan
aku tahu engkau luka
ingin menyambung penggalpenggal juni
di gerimis yang mulai habis tak mungkin menyelesai utuh
sebuah tahun
karena kawatkawat pengikat telah hanyut
bersama ricik air yang diam
siasia bila hari saling berkejaran menuntaskan bulan
sedang engkau hanya menyahutkan potongan
potongan kata setia, tanpa:
harus mematah langkah yang hampir sampai
menghentikan senjaku
atau ninggalkan deraiderai kecewa membasah waktumu
hanya bertubi sesal saling bentur
ketika juni telah habis bersama gerimis
Sukodadi, 30 Juni 2007
Selasa, 29 Juli 2008
Sajak-sajak Heri Kurniawan
Tak Perlu Sesali
Kau yang layu dipucuk pena
Bendunglah segala tangis
Buka kembali kelopak matamu
Mekar menatap kebiruan
Aku yang tertatih-tatih
Memungut air matamu yang embun
Berceceran di jalanan tanpa batas
lemas
Tlah Ku Semat Janji
Melipat pintu sunyi api
Mensaljukan kembali luka-lukamu dan
tak perlu sungkan mengetuk kembali
Lembaran terang telah menanti
Menghadirkan jamuan rembulan di musim semi
Tak perlu lagi sesal
Semua telah tertinggal
Kita songsong dunia baru
Tulislah lembaran cinta
Hapuskan buram kelam
Jombang. 27 mei 2006
Bukan Siapa-Siapa
Aku bukan dia
Aku adalah aku
Dia adalah dia
Telah kulepas kau terbang
Aku takkan bermanja lagi
Jogja. 4 januari 2007
Di Tengah Arakan ayatMU
Dalam pekatnya suasana
Ku kais secerca cahaya malam
Mengugah kesadaran hati
Di tengah arakan ciptaMU
Ku panjatkan sagala rasa
Pada semilir angin
Menerpa hijaunya daun
Jerat dunia tlah usai
Jogja 06’
Aku Merindukan PenerangMu
Aku ingin memecah sunyinya malam ini
Dengan hembusan nafasMu
Menyuluh gelapnya kalbuku
kini remang telah menyelimut cahaya
memutar Tubuhku, membadai di kedangkalan,
Mengusik peraduan keceriyaan
Aku tak mampu
membuka arti simpul perjalanan yang kau ciptakan.
hingga Tapakku mengkaku
Di jalan yang telah rapi
Jogja 06’
Sekilat Waktu Bersamamu
Rasa yang telah terbias oleh perjalanan
kini telah lagi menyuguh kenang
Sayatnya gila meronta
menghantam perih malam
Sekilat waktu bersama pelukanmu itu
Antar aku pada derasnya tinta pedih
Meleleh di sela-sela rupa bayang
Luruh dalam benak
Jogja 06’
Akankah adzab…. ?
Memandang kali kering diantara manusia-manusia
Terciptalah sebutir air mata menitik
Menunjuk-nunjuk musim mengurai
Melampaui batas-batas
Aku terhenyak
Akankah sebuah adzab ini?
Cabeaan, Jogja 2007
Kau yang layu dipucuk pena
Bendunglah segala tangis
Buka kembali kelopak matamu
Mekar menatap kebiruan
Aku yang tertatih-tatih
Memungut air matamu yang embun
Berceceran di jalanan tanpa batas
lemas
Tlah Ku Semat Janji
Melipat pintu sunyi api
Mensaljukan kembali luka-lukamu dan
tak perlu sungkan mengetuk kembali
Lembaran terang telah menanti
Menghadirkan jamuan rembulan di musim semi
Tak perlu lagi sesal
Semua telah tertinggal
Kita songsong dunia baru
Tulislah lembaran cinta
Hapuskan buram kelam
Jombang. 27 mei 2006
Bukan Siapa-Siapa
Aku bukan dia
Aku adalah aku
Dia adalah dia
Telah kulepas kau terbang
Aku takkan bermanja lagi
Jogja. 4 januari 2007
Di Tengah Arakan ayatMU
Dalam pekatnya suasana
Ku kais secerca cahaya malam
Mengugah kesadaran hati
Di tengah arakan ciptaMU
Ku panjatkan sagala rasa
Pada semilir angin
Menerpa hijaunya daun
Jerat dunia tlah usai
Jogja 06’
Aku Merindukan PenerangMu
Aku ingin memecah sunyinya malam ini
Dengan hembusan nafasMu
Menyuluh gelapnya kalbuku
kini remang telah menyelimut cahaya
memutar Tubuhku, membadai di kedangkalan,
Mengusik peraduan keceriyaan
Aku tak mampu
membuka arti simpul perjalanan yang kau ciptakan.
hingga Tapakku mengkaku
Di jalan yang telah rapi
Jogja 06’
Sekilat Waktu Bersamamu
Rasa yang telah terbias oleh perjalanan
kini telah lagi menyuguh kenang
Sayatnya gila meronta
menghantam perih malam
Sekilat waktu bersama pelukanmu itu
Antar aku pada derasnya tinta pedih
Meleleh di sela-sela rupa bayang
Luruh dalam benak
Jogja 06’
Akankah adzab…. ?
Memandang kali kering diantara manusia-manusia
Terciptalah sebutir air mata menitik
Menunjuk-nunjuk musim mengurai
Melampaui batas-batas
Aku terhenyak
Akankah sebuah adzab ini?
Cabeaan, Jogja 2007
Senin, 21 Juli 2008
KEPOMPONG
Mardi Luhung
diambil dari Koran Tempo, 20 Juli 2008
”Sekak! Matilah rajamu. Raja hitam. Hitam yang begitu mencekam. Yang matanya juga hitam. Dan jubahnya berkibar dengan irama saluang. Tepat rembulan bulat penuh. Dan sekian ekor anjing kelabu mengendus-ngenduskan hidungnya,” dan itu kataku. Terus menghisap siasat. Siasat masuk ke paru-paru. Aku tukikkan ke dalam yang paling dalam. Lalu aku hembuskan keluar. Gulungan siasat pun membentuk lingkaran. Lingkaran kecil. Lalu agak membesar. Membesar. Dan buyar. Tapi bau tengiknya tetap bertempat.
“Mati? Kok gampang. Apa kau pikir, raja hitamku seperti cecunguk yang ketinggalan harapannya. Lalu menghunus pedangnya. Dan crap! Menghunjamkan ke lambung sendiri. He, he, he, itu mimpi,” jawabmu. Seakan menjawab teka-teki silang yang sudah ada kuncinya. Dan kau, dengan gesit tapi pelan, melangkahkan bayangan raja hitammu ke petak pojok. Ada kesiur ombak yang menerpa tebing. Dan ada seseorang yang perawakannya kabur melintas. Siapa orang itu. Lelaki ataukah perempuan. Kau cuma ketawa. Dan orang itu pun terus melintas. Dari bekas lintasannya, aku melihat jejak yang begitu dalam. Jejak yang mengingatkan pada langkah si tertuduh. Yang diarak ke setiap kampung. Dengan kepala bermahkota duri. Tapi, mulutnya tak bosan-bosan untuk berteriak: “Ingatlah, jika segalanya telah selesai, hanya ada dua yang terpilih. Mati mendadak atau malah ditelikung!”
Ya, seekor kuda putih muncul dari balik kerahasiaan. Kau pun melirik padaku. Sergahmu: “Kau ingin menunggang kuda putih itukan? Silahkan. Tunggangilah. Dan majukan ke petakku yang penuh jebakan itu!” Akh, sebelum segalanya berlanjut, bentengmu pun menderap ke sisi kiri. Suaranya seperti beton yang menggelundung. Beton yang hanya hadir ketika maut akan menyelinap. “Sekak balik!” sergahmu lagi. Dan kau ketawa. Raja putihku tersekak. Tersekak dengan cara dimuntah-muntahkan. Muntah darah. Muntah nanah. Muntah lendir. Dan muntahan-muntahan itu pun menggenang. Lalu mengalir. Menuju parit. Dan menghilir seperti sungai yang baru lahir. Yang di atasnya, sekian bangkai terapung. Bangkai yang gembung dengan corak warna-warni: amis!
…
“Aku raja putihmu. Kenapa kau tinggalkan aku?” begitu sebuah suara yang aku dengar di malam itu dari luar rumahku. Rumahku yang tak seberapa besar ini tiba-tiba menjadi dingin. Bulu-bulu kuduk di badanku meremang. Suara siapa itu? Apa benar itu suara raja putihku. Raja putih yang tadi sore telah kalah itu. Dan sekaligus muntah-muntah. Akh, gila! Gila! Ini memang gila! Dan memang, aku rasa, setelah kekalahan tadi sore, aku selalu saja memikirkan langkah-langkah buruk yang membuat aku terjebak. Langkah-langkah buruk yang membuat aku mesti terus-terusan menyesali kekalahan caturku.
Lain itu, dalam permainan catur, kekalahan yang tampak, bukanlah kekalahan yang membekas di badan. Melainkan yang memar di kedalaman pikiran. Seperti layang-layang putus, kedalaman pikiran pun tak bertali. Melimbung. Sebelum akhirnya tersuruk ke tanah. Lalu dirubung gerombolan serangga yang berkilah: “Mangkanya jadi sesuatu jangan selalu terbang melulu!” Dan aku pun jadi bergidik. Diam-diam mencoba untuk mencari jalan keluar dari ini semua. Jalan keluar yang seperti diimpikan setiap siapa saja. Yang merasa jika tak ada lagi kesempatan untuk tetap bertempat.
“Kenapa? Aku raja putihmu,” kembali suara itu terdengar. Dan kali ini, jendela rumahku diketuknya. Suara ketukan itu bukan tok-tok-tok. Tapi, irama ngelangut yang sering mengiringi penari klasik. Penari klasik yang sedang membawakan sebuah tari keputus-asaan. Tari yang jika dilihat selalu menampilkan dekor lenggang. Dengan sebuah lampu sorot. Yang akan menyorot kemana pun penari klasik itu bergerak. Melempar tangan. Memutar kaki. Dan sesekali menggelengkan kepala. Seperti ingin memluntir sekaligus mencopotnya. Aduh, apa yang terjadi, jika penari klasik dapat mencopot kepalanya sendiri? Lalu menendang dan menggiringnya. Seperti giringan dalam sepak bola.
Lalu, antara ragu dan tidak, aku pun membuka jendela rumahku. Di balik jendela telah terpacak sosok bocah. Bocah itu kulitnya ungu. Dan seperti balon yang enteng, bocah itu pun meloncati jendela rumahku. Loncatan yang barangkali lebih mirip dengan mengambang. Saat itu, di kerimbunan pohon rambutan di jalan, ada seekor codot menangkup. Rasanya, codot itu bukan codot biasa. Sebab dari tubuhnya, aku melihat bintik-bintik yang berpendaran. Bintik-bintik yang hanya aku lihat pada leher si monster yang ada di ke dalaman lautan. Si monster yang pernah bertarung dengan si pemancing. Petarungan yang telah disadur oleh si penulis yang punya tangan satu. Si penulis yang setiap mulai menulis selalu menenggak arak, Lalu berlarian sambil mengacung-acungkan kapak. Dan meracau seperti tukang ramal yang meracaukan mantranya: “Atasnya jembatan, bawahnya jurang. Atasnya dimakan. Bawahnya digoyang. Puah! Pergi kau dusta. Masuk kau kata!”
“Kenapa kau tinggalkan aku?” kembali si bocah itu berkata. Dan perkataan itu sepertinya bukan lewat mulutnya. Sebab, ketika perkataan itu aku dengar, mulutnya tetap terkatup. “Tapi, siapa kau bocah?” dan tanyaku balik. Si bocah ketawa. Tubuhnya yang berkulit ungu itu terguncang. Dan astaga, aku baru sadar, jika leher si bocah lebih mirip leher ular. Berlipatan. Dan mempunyai gerak naik-turun. Dan di gerak naik-turun itu, ada gilingan yang terus menggiling. Menggiling setiap yang masuk. Setiap yang akan menjadi adonan. Adonan basah, lembek dan gampang untuk dibentuk sesukanya.
“Aku raja putihmu. Raja putihmu yang telah kalah dalam permainan catur tadi sore. Dan kenapa aku seperti ini? Itu karena aku raja. Raja yang tak boleh mati sebelum papan catur terlipat. Pemain bersalaman. Dan tawa kemenangan memenuhi ruangan. Tanpa tahu, bahwa sebenarnya mereka telah mengorbankan seorang bocah. Kenapa kau tinggalkan aku?”
Apa?! Jadi raja dalam permainan catur itu adalah seorang bocah. Akh, aku tercekat. Aku tak tahu lagi, apa yang mesti aku katakan. Cuma aku merasa, jika apa yang aku alami malam ini seperti sebuah mimpi. Tapi apa benar ini mimpi. Aku cubit tanganku. Wau, sakit! Jadinya, ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata. Tapi, kenapa raja putih dalam catur dapat berwujud bocah? Tiba-tiba, entah darimana, ada sebentang tetoron menyergapku. Aku megap-megap. Tak bisa bernafas. Tubuhku pun jadi enteng. Suara-suara yang tak karuan silih-masuk ke kupingku. Kadang jerit. Kadang ketawa. Kadang menangis. Dan kadang tak jelas, apa itu suara seseorang ataukah bukan. Dan yang lebih aneh, aku merasa seluruh bagian tubuhku pun memelar.
Tanganku merengkuh cemara. Leherku menjulur sejangkung gedung. Kakiku menjejak antara patung kota dan pucuk tugu. Dan mataku, pun dengan enak melihat semuanya. Melihat tol yang tergenang. Kampung yang morat-marit. Gedung rakyat yang diluruk. Rumah ibadah yang diseret bandang. Orang-orang yang digusur. Sekumpulan yang dipinggirkan. Penguburan yang ditaburi omelan. Tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun yang digedruk. Dan juga, seekor ikan paus yang berkelebatan di udara. Ikan paus yang menguik. Menguik dengan begitu mengenaskan. Sampai-sampai aku yang mendengarnya turut terharu. Turut merasa apa yang dirasanya. Dan turut juga mencari apa yang dicarinya. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Jerami yang tajam dan gatal. Aku pun terpejam.
“Kenapa? Takut? Bukalah matamu…”
Aku tak berani. Tapi tetap membuka. Tapi gelap.
“Bukalah lagi…”
Aku membuka lagi. Gelap. Kabur. Gelap. Kabur. Meremang. Dan terang. Terang sekali. Lalu seperti cahaya yang terpintal, terang itu pun menyurut. Astaga, aku telah berada di sebuah kebun. Kebun dengan aneka bunga yang elok. Ada yang berwana merah. Putih. Biru. Jingga. Juga yang merambat dan berjuntai. Atau tegak-tegak seperti parang yang terhunus. Dan di kebun itulah seratus, atau mungkin seribu bocah ungu saling kejar. Dan saling canda. Seribu bocah ungu sepertinya tak ada yang beda. Semuanya sama. Dan semuanya pun seperti juga tak berjejak. Tapi mengambang. Mengambang seperti balon. Meloncat ke sana dan ke mari. Tertawa. Dan kadang-kadang saling bergulingan tanpa terluka sedikit pun. “Kau tahu, inilah tempatku. Tempat seribu bocah. Bocah berkulit ungu. Yang jika di papan catur akan menjelma raja. Raja hitam atau putih,” bisik si bocah persis di kupingku.
…
Tuan pembaca yang baik, itulah, itulah kisah hidupku. Hidupku yang saat ini tinggal di kamar ini. Kamar yang bercat putih-hitam. Cat papan catur. Dan kamar yang tak pernah terbuka. Selalu tertutup. Hanya teriakanku yang terdengar dari dalamnya. Teriakanku yang panjang dan melolong: “Aku tak bermaksud mengorbankan pion itu. Pergi! Pergi!” Ya, ya, begitulah teriakanku itu. Dan aku tak tahu, kenapa teriakan itu selalu aku ulang seperti itu. Apa tidak bosan dan capek? Yang pasti, setiap aku berteriak itu, selalu membayangkan sebuah ketakutan yang amat sangat. Lalu merasa, jika aku sedang dirubung oleh teror. Atau hal yang menggiriskan. Yang jelas, mulutku kini jadi bukan mulu lagi. Tapi semacam lubang yang mendengung. Yang dimasuki sekian tawon ganas yang kehilangan ratunya. Tawon ganas yang mengusung penyengat.
Tuan pembaca yang baik, konon aku yang suka menjerit dan melolong ini memang gila catur. Dan untuk hal ini, aku ingin selalu menang. Tak mau kalah. Dan berusaha selalu di atas angin. Bahkan, jika perlu, sebelum bermain catur, aku mengamati lemari kakekku. Lemari yang penuh dengan patung aneh. Atau rajah kuno yang susah ditebak isinya. Rajah ruwet dengan gambar lelaki bersungut atau bertopeng landak. Yang di sebelahnya sebentuk altar sedang diisi sosok korban yang tengkurap. Korban yang wajahnya begitu datar. Hampir tak berlekuk. Dan untuk menuntaskan semuanya, aku pun tak segan-segan mengemut buah kuda. Harapku: “Jika buah kuda ini aku emut, maka ruh kuda pun dapat aku hisap!” He, he, he, aku memang miring. Miring karena permainan catur.
Dan ya, ya, ya, Tuan pembaca yang sekali lagi baik, aku pikir cukup di sinilah pertemuan kita. Kapan-kapan disambung lagi. Aku ngantuk nih. Mau bobok. Kolestrol naik. Darah tinggi naik. Semuanya naik. Apa yang tak naik? He, he, he jawab dong? Masak dari tadi aku yang nyerocos terus. Oh ya, aku besok juga mau latihan menembak dan menjaring. Aku ingin menembak bagi yang suka jahil. Dan aku ingin menjaring ikan-ikan yang berseliweran di kolong ranjangku. Ikan-ikan yang punya kaki dan tangan. Kaki dan tangan yang sering memukuli dan menendangi ranjangku. Dan aku yang tertidur pun terguncang-guncang. Bahkan, malah kadang-kadang terlompat ke atas. Menyundul atap kamar. Menempel di sebelah cicak yang ekornya putus. Apa Tuan pembaca yang baik mau ikut?
He, he, he nanti sajalah. Jika memang aku sudah terlatih. Aku akan mengajari Tuan pembaca. Mau kan? Kini, silahkan pergi dulu. Oh ya, lewat jendela saja. Jangan lewat pintu. Sebab pintu itu telah aku palang. Biar tak ada yang menggangu, jika sewaktu-waktu, bocah ungu yang mengambang, yang merupakan sosok raja di permainan catur itu, datang dan berkata: “Kenapa kau tinggalkan aku. Jangan takut. Bukalah matamu. Ayo, bukalah matamu,” Dan jangan lupa juga, sehari dua kali aku selalu dikunjungi si suster dan si dokter gemuk. Si suster dan si dokter gemuk yang aku benci. Sebab, keduanya tak punya hormat. Masuk ke kamar lewat lubang kunci tanpa salam. Padahal membawa sepiring pil. Pil yang sebesar tai kambing. Yang jika aku minum, selalu menerbangkan apa yang ada di anganku. Sampai-sampai aku tak tahu lagi: “Apakah masih ada atau malah sudah jadi kepompong!”
(Gresik, 2008)
Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik.
diambil dari Koran Tempo, 20 Juli 2008
”Sekak! Matilah rajamu. Raja hitam. Hitam yang begitu mencekam. Yang matanya juga hitam. Dan jubahnya berkibar dengan irama saluang. Tepat rembulan bulat penuh. Dan sekian ekor anjing kelabu mengendus-ngenduskan hidungnya,” dan itu kataku. Terus menghisap siasat. Siasat masuk ke paru-paru. Aku tukikkan ke dalam yang paling dalam. Lalu aku hembuskan keluar. Gulungan siasat pun membentuk lingkaran. Lingkaran kecil. Lalu agak membesar. Membesar. Dan buyar. Tapi bau tengiknya tetap bertempat.
“Mati? Kok gampang. Apa kau pikir, raja hitamku seperti cecunguk yang ketinggalan harapannya. Lalu menghunus pedangnya. Dan crap! Menghunjamkan ke lambung sendiri. He, he, he, itu mimpi,” jawabmu. Seakan menjawab teka-teki silang yang sudah ada kuncinya. Dan kau, dengan gesit tapi pelan, melangkahkan bayangan raja hitammu ke petak pojok. Ada kesiur ombak yang menerpa tebing. Dan ada seseorang yang perawakannya kabur melintas. Siapa orang itu. Lelaki ataukah perempuan. Kau cuma ketawa. Dan orang itu pun terus melintas. Dari bekas lintasannya, aku melihat jejak yang begitu dalam. Jejak yang mengingatkan pada langkah si tertuduh. Yang diarak ke setiap kampung. Dengan kepala bermahkota duri. Tapi, mulutnya tak bosan-bosan untuk berteriak: “Ingatlah, jika segalanya telah selesai, hanya ada dua yang terpilih. Mati mendadak atau malah ditelikung!”
Ya, seekor kuda putih muncul dari balik kerahasiaan. Kau pun melirik padaku. Sergahmu: “Kau ingin menunggang kuda putih itukan? Silahkan. Tunggangilah. Dan majukan ke petakku yang penuh jebakan itu!” Akh, sebelum segalanya berlanjut, bentengmu pun menderap ke sisi kiri. Suaranya seperti beton yang menggelundung. Beton yang hanya hadir ketika maut akan menyelinap. “Sekak balik!” sergahmu lagi. Dan kau ketawa. Raja putihku tersekak. Tersekak dengan cara dimuntah-muntahkan. Muntah darah. Muntah nanah. Muntah lendir. Dan muntahan-muntahan itu pun menggenang. Lalu mengalir. Menuju parit. Dan menghilir seperti sungai yang baru lahir. Yang di atasnya, sekian bangkai terapung. Bangkai yang gembung dengan corak warna-warni: amis!
…
“Aku raja putihmu. Kenapa kau tinggalkan aku?” begitu sebuah suara yang aku dengar di malam itu dari luar rumahku. Rumahku yang tak seberapa besar ini tiba-tiba menjadi dingin. Bulu-bulu kuduk di badanku meremang. Suara siapa itu? Apa benar itu suara raja putihku. Raja putih yang tadi sore telah kalah itu. Dan sekaligus muntah-muntah. Akh, gila! Gila! Ini memang gila! Dan memang, aku rasa, setelah kekalahan tadi sore, aku selalu saja memikirkan langkah-langkah buruk yang membuat aku terjebak. Langkah-langkah buruk yang membuat aku mesti terus-terusan menyesali kekalahan caturku.
Lain itu, dalam permainan catur, kekalahan yang tampak, bukanlah kekalahan yang membekas di badan. Melainkan yang memar di kedalaman pikiran. Seperti layang-layang putus, kedalaman pikiran pun tak bertali. Melimbung. Sebelum akhirnya tersuruk ke tanah. Lalu dirubung gerombolan serangga yang berkilah: “Mangkanya jadi sesuatu jangan selalu terbang melulu!” Dan aku pun jadi bergidik. Diam-diam mencoba untuk mencari jalan keluar dari ini semua. Jalan keluar yang seperti diimpikan setiap siapa saja. Yang merasa jika tak ada lagi kesempatan untuk tetap bertempat.
“Kenapa? Aku raja putihmu,” kembali suara itu terdengar. Dan kali ini, jendela rumahku diketuknya. Suara ketukan itu bukan tok-tok-tok. Tapi, irama ngelangut yang sering mengiringi penari klasik. Penari klasik yang sedang membawakan sebuah tari keputus-asaan. Tari yang jika dilihat selalu menampilkan dekor lenggang. Dengan sebuah lampu sorot. Yang akan menyorot kemana pun penari klasik itu bergerak. Melempar tangan. Memutar kaki. Dan sesekali menggelengkan kepala. Seperti ingin memluntir sekaligus mencopotnya. Aduh, apa yang terjadi, jika penari klasik dapat mencopot kepalanya sendiri? Lalu menendang dan menggiringnya. Seperti giringan dalam sepak bola.
Lalu, antara ragu dan tidak, aku pun membuka jendela rumahku. Di balik jendela telah terpacak sosok bocah. Bocah itu kulitnya ungu. Dan seperti balon yang enteng, bocah itu pun meloncati jendela rumahku. Loncatan yang barangkali lebih mirip dengan mengambang. Saat itu, di kerimbunan pohon rambutan di jalan, ada seekor codot menangkup. Rasanya, codot itu bukan codot biasa. Sebab dari tubuhnya, aku melihat bintik-bintik yang berpendaran. Bintik-bintik yang hanya aku lihat pada leher si monster yang ada di ke dalaman lautan. Si monster yang pernah bertarung dengan si pemancing. Petarungan yang telah disadur oleh si penulis yang punya tangan satu. Si penulis yang setiap mulai menulis selalu menenggak arak, Lalu berlarian sambil mengacung-acungkan kapak. Dan meracau seperti tukang ramal yang meracaukan mantranya: “Atasnya jembatan, bawahnya jurang. Atasnya dimakan. Bawahnya digoyang. Puah! Pergi kau dusta. Masuk kau kata!”
“Kenapa kau tinggalkan aku?” kembali si bocah itu berkata. Dan perkataan itu sepertinya bukan lewat mulutnya. Sebab, ketika perkataan itu aku dengar, mulutnya tetap terkatup. “Tapi, siapa kau bocah?” dan tanyaku balik. Si bocah ketawa. Tubuhnya yang berkulit ungu itu terguncang. Dan astaga, aku baru sadar, jika leher si bocah lebih mirip leher ular. Berlipatan. Dan mempunyai gerak naik-turun. Dan di gerak naik-turun itu, ada gilingan yang terus menggiling. Menggiling setiap yang masuk. Setiap yang akan menjadi adonan. Adonan basah, lembek dan gampang untuk dibentuk sesukanya.
“Aku raja putihmu. Raja putihmu yang telah kalah dalam permainan catur tadi sore. Dan kenapa aku seperti ini? Itu karena aku raja. Raja yang tak boleh mati sebelum papan catur terlipat. Pemain bersalaman. Dan tawa kemenangan memenuhi ruangan. Tanpa tahu, bahwa sebenarnya mereka telah mengorbankan seorang bocah. Kenapa kau tinggalkan aku?”
Apa?! Jadi raja dalam permainan catur itu adalah seorang bocah. Akh, aku tercekat. Aku tak tahu lagi, apa yang mesti aku katakan. Cuma aku merasa, jika apa yang aku alami malam ini seperti sebuah mimpi. Tapi apa benar ini mimpi. Aku cubit tanganku. Wau, sakit! Jadinya, ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata. Tapi, kenapa raja putih dalam catur dapat berwujud bocah? Tiba-tiba, entah darimana, ada sebentang tetoron menyergapku. Aku megap-megap. Tak bisa bernafas. Tubuhku pun jadi enteng. Suara-suara yang tak karuan silih-masuk ke kupingku. Kadang jerit. Kadang ketawa. Kadang menangis. Dan kadang tak jelas, apa itu suara seseorang ataukah bukan. Dan yang lebih aneh, aku merasa seluruh bagian tubuhku pun memelar.
Tanganku merengkuh cemara. Leherku menjulur sejangkung gedung. Kakiku menjejak antara patung kota dan pucuk tugu. Dan mataku, pun dengan enak melihat semuanya. Melihat tol yang tergenang. Kampung yang morat-marit. Gedung rakyat yang diluruk. Rumah ibadah yang diseret bandang. Orang-orang yang digusur. Sekumpulan yang dipinggirkan. Penguburan yang ditaburi omelan. Tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun yang digedruk. Dan juga, seekor ikan paus yang berkelebatan di udara. Ikan paus yang menguik. Menguik dengan begitu mengenaskan. Sampai-sampai aku yang mendengarnya turut terharu. Turut merasa apa yang dirasanya. Dan turut juga mencari apa yang dicarinya. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Jerami yang tajam dan gatal. Aku pun terpejam.
“Kenapa? Takut? Bukalah matamu…”
Aku tak berani. Tapi tetap membuka. Tapi gelap.
“Bukalah lagi…”
Aku membuka lagi. Gelap. Kabur. Gelap. Kabur. Meremang. Dan terang. Terang sekali. Lalu seperti cahaya yang terpintal, terang itu pun menyurut. Astaga, aku telah berada di sebuah kebun. Kebun dengan aneka bunga yang elok. Ada yang berwana merah. Putih. Biru. Jingga. Juga yang merambat dan berjuntai. Atau tegak-tegak seperti parang yang terhunus. Dan di kebun itulah seratus, atau mungkin seribu bocah ungu saling kejar. Dan saling canda. Seribu bocah ungu sepertinya tak ada yang beda. Semuanya sama. Dan semuanya pun seperti juga tak berjejak. Tapi mengambang. Mengambang seperti balon. Meloncat ke sana dan ke mari. Tertawa. Dan kadang-kadang saling bergulingan tanpa terluka sedikit pun. “Kau tahu, inilah tempatku. Tempat seribu bocah. Bocah berkulit ungu. Yang jika di papan catur akan menjelma raja. Raja hitam atau putih,” bisik si bocah persis di kupingku.
…
Tuan pembaca yang baik, itulah, itulah kisah hidupku. Hidupku yang saat ini tinggal di kamar ini. Kamar yang bercat putih-hitam. Cat papan catur. Dan kamar yang tak pernah terbuka. Selalu tertutup. Hanya teriakanku yang terdengar dari dalamnya. Teriakanku yang panjang dan melolong: “Aku tak bermaksud mengorbankan pion itu. Pergi! Pergi!” Ya, ya, begitulah teriakanku itu. Dan aku tak tahu, kenapa teriakan itu selalu aku ulang seperti itu. Apa tidak bosan dan capek? Yang pasti, setiap aku berteriak itu, selalu membayangkan sebuah ketakutan yang amat sangat. Lalu merasa, jika aku sedang dirubung oleh teror. Atau hal yang menggiriskan. Yang jelas, mulutku kini jadi bukan mulu lagi. Tapi semacam lubang yang mendengung. Yang dimasuki sekian tawon ganas yang kehilangan ratunya. Tawon ganas yang mengusung penyengat.
Tuan pembaca yang baik, konon aku yang suka menjerit dan melolong ini memang gila catur. Dan untuk hal ini, aku ingin selalu menang. Tak mau kalah. Dan berusaha selalu di atas angin. Bahkan, jika perlu, sebelum bermain catur, aku mengamati lemari kakekku. Lemari yang penuh dengan patung aneh. Atau rajah kuno yang susah ditebak isinya. Rajah ruwet dengan gambar lelaki bersungut atau bertopeng landak. Yang di sebelahnya sebentuk altar sedang diisi sosok korban yang tengkurap. Korban yang wajahnya begitu datar. Hampir tak berlekuk. Dan untuk menuntaskan semuanya, aku pun tak segan-segan mengemut buah kuda. Harapku: “Jika buah kuda ini aku emut, maka ruh kuda pun dapat aku hisap!” He, he, he, aku memang miring. Miring karena permainan catur.
Dan ya, ya, ya, Tuan pembaca yang sekali lagi baik, aku pikir cukup di sinilah pertemuan kita. Kapan-kapan disambung lagi. Aku ngantuk nih. Mau bobok. Kolestrol naik. Darah tinggi naik. Semuanya naik. Apa yang tak naik? He, he, he jawab dong? Masak dari tadi aku yang nyerocos terus. Oh ya, aku besok juga mau latihan menembak dan menjaring. Aku ingin menembak bagi yang suka jahil. Dan aku ingin menjaring ikan-ikan yang berseliweran di kolong ranjangku. Ikan-ikan yang punya kaki dan tangan. Kaki dan tangan yang sering memukuli dan menendangi ranjangku. Dan aku yang tertidur pun terguncang-guncang. Bahkan, malah kadang-kadang terlompat ke atas. Menyundul atap kamar. Menempel di sebelah cicak yang ekornya putus. Apa Tuan pembaca yang baik mau ikut?
He, he, he nanti sajalah. Jika memang aku sudah terlatih. Aku akan mengajari Tuan pembaca. Mau kan? Kini, silahkan pergi dulu. Oh ya, lewat jendela saja. Jangan lewat pintu. Sebab pintu itu telah aku palang. Biar tak ada yang menggangu, jika sewaktu-waktu, bocah ungu yang mengambang, yang merupakan sosok raja di permainan catur itu, datang dan berkata: “Kenapa kau tinggalkan aku. Jangan takut. Bukalah matamu. Ayo, bukalah matamu,” Dan jangan lupa juga, sehari dua kali aku selalu dikunjungi si suster dan si dokter gemuk. Si suster dan si dokter gemuk yang aku benci. Sebab, keduanya tak punya hormat. Masuk ke kamar lewat lubang kunci tanpa salam. Padahal membawa sepiring pil. Pil yang sebesar tai kambing. Yang jika aku minum, selalu menerbangkan apa yang ada di anganku. Sampai-sampai aku tak tahu lagi: “Apakah masih ada atau malah sudah jadi kepompong!”
(Gresik, 2008)
Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik.
Jumat, 18 Juli 2008
Catatan Perjalanan "DIA-WALI" dari Balam
Pernah dimuat di majalah Gerbang Massa
Cerita ini bermula saat saya habis ngelayap dari Bandar Lampung, kotanya penyair Opera Kebun Lada (judul antologi puisi Y. Wibowo). Sebelum berkisah jauh mengenai judul, sebaiknya saya mencuplik beberapa perolehan dari pelayaran Bakauheni menuju Merak.
Di tengah selat, dalam kantong kapal laut kelas ekonomi, saya melihat burung elang Jawa menyebrani ubun-ubun gulungan ombak samudera, kelepakan sayapnya seimbang perkasa, perutnya terisi tiada lebih, dan tak kurang di tengah lawatan.
Saya jadi berfikir, kenapa saat diri ini sudah berada dalam perut kapal menuju Merak, elang Jawa itu malah hendak menyebrang ke tlatah Sumatra. Jangan-jangan ada yang tertinggal dari perjalanan saya? Telapak kaki, kabut yang kan menjelma awan rindu. Atau ada sesuatu perjanjian dengan pulau sebrang itu?
Diri merasakan, burung itu kan hinggap di badan kapal yang sedang saya tumpangi sebab kelelahan, namun tak. Ia memilih mengapung di atas ketinggian gelombang sejarak sepuluh meter, sambil senantiasa mengimbangi hembusan angin yang membuatnya kesulitan mencapai tujuan bertempo cepat.
Sang burung telah ketahui bagaimana menguasai desakan bayu serta hasrat dirinya demi mencapai pantai, lawatannya kali itu seperti tak yang pertama. Dirinya tiada gentar keraguan meski menyimpan was-was di tengah tenaganya, yang suatu saat bisa habis ketika tiba-tiba angin kencang datang menghantam kelepakan sayapnya.
Atau mungkin sang elang coklat itu mengisyaratkan diri saya, untuk tandang kembali kepada kepulauan cantik di sana.
Baiklah, persoalan ini saya biarkan mengendap bagi referensi demi isyarat-isyarat lebih jelas ketika realitas dilalui bermata cerlang cemerlang.
Sebuah penerimaan kesadaraan akan pengalaman yang mampu menjadi penentu gerak selanjutnya bagi perhitungan. Saya biarkan segalanya mengalir dalam; apa itu keganjilan, misteri hayat serta realitas tampakan yang beredar di perjalanan.
Semuanya diri anggap harmoni, warna-warni kehidupan menyenangkan bagi sejati kembara.
Kapal saya tumpangi terus mendesak melaju ke Merak, sementara kepakan elang menjauhi kapal menuju Bakauheni. Ini riwayat tanda apa yang kan terjadi nanti?
Semuanya melangkah apa adanya, segalanya memuara pada tujuan masing-masing dengan resiko berbeda. Tubuh kapal menyibak kulit lautan, gelombang menari-nari dengan keindahan deru decak ombak.
Ibarat seluruh isi dunia tak perlu dimaknai, semua berjalan sederhana, nilai-nilai terbangun atas kepala anak-anak manusia. Seolah ocehan musim harus diterima, dan kita mengikuti perubahannya semacam wacana, menggelinding menghabisnya bola salju. Atau semakin membesar pada sebuah persoalan revolusi.
Batas dan puncak, besar dan kecil menuju titik-titik yang semuanya bermakna sama, ketika benar-benar mengiyakan kesadaran perjalanan hayat. Mungkin?
Ketika waktu terus berjalan, saya mengikuti keinginannya berkendaraan masa; dunia berjalan, semua melangkah berkeindahan. Carut-marut hanya milik orang-orang tergesa, berburu-memburu mangsa biasa, atau berlari dari kenyataan hutang berlimpah, sedang bias-bias hutang bangsa-negara dipikul anak-anaknya.
Lalu bathin ini berucap; bangsa maju itu seperti elang tak membawa bekal kecuali dalam perutnya saat hendak kembara, menembus cakrawala harapannya. Terpenting ialah tanggung jawab diri, keluarga serta tradisi, agar senantiasa lestari meski di kepulauan lain; inilah dunianya burung-burung elang.
Mata yang tajam, sanggup mengawasi kedalaman lautan, ada gerak ikan menjadi miliknya buat energi pacuan selanjutnya, demi waktu dan masa depan belulang.
Cerita pembuka saya hentikan di sini, saya turun di pelabuhan Merak. Hari itu dalam bulan suci ramadhan menginjak hari yang ke sepuluh.
Seperti biasa dalam tradisi kembara, tiada kewajiban menjalankan ibadah puasa. Apa yang seorang kembara sandang, bukan sebagai manusia dalam tempat yang sama. Dirinya tidak berada dalam satuan letak, ketika beredarnya matahari menunjukkan masa berbuka atau dimulainya puasa.
Atau ini sekadar alasan-alasan saja yang kurang tebal iman, sehingga gugurlah kewajiban untuk ngelayapkan segala persoalan diri yang diemban, demi lebih nikmat saat menyeruput segelas wedang.
Di pelabuhan Merak, saya berhenti di warung kaki lima yng pernah diri singgahi sewaktu akan ke Bakauheni. Saya terbiasa mengakrabi satu tempat, agar tampak rilek ketika akan menjalankan suatu lanjutan rencana.
Sebenarnya di semua tempat, ada wilayah-wilayah akrab ketika kita benar-benar merasa tak jauh dari rumah. Atau di mana pun tempat ialah bumi tuhan, wilayah kekuasaan kesadaran akan amahan, yang tengah dijalankan seorang kembara.
Dalam ruang-ruang terpencil dan asing, kita akan temukan diri yang tidak asing, ketika benar-benar dalam lingkaran kedekatan mata air nurani sebagai pandangan pejalan. Atau kita memang tidak berada di mana-mana, meski sedang ke mana saja dan jauh dari saudara.
Sebenarnya, saya dari Merak ingin mampir ke Tanara Banten. Namun, terkadang rencana juga perlu diubah, seperti cara elang meringankan tubuh agar tak terdesak hembusan angin kencang.
Teman saya sewaktu di Jombang, yang kini bermukim di Tanara, menyuruh mampir sepulang dari Balam (Bandar Lampung). Tetapi teman lain pernah bercerita, bahwa teman yang ada di Tanara itu, setengah bulan yang lalu pernah ke Jawa Timur, tepatnya Bojonegoro, namun ia tak mampir ke Lamongan.
Jadi seolah impaslah bila diri ini tak datang menuruti rencana ke bumi Tanara. Di Merak, saya memilih bus jurusan Bekasi Timur. Sebuah pilihan tak mampir ke Tanara, tetapi langsung ke teman satunya di Bekasi.
Ketika saya berada atau sampai di terminal Serang. Adzan magrib berkumandang atau waktunya berbuka. Seperti biasa di terminal, para penjual keluar-masuk ke bus yang berhenti, untuk menjajakan makanan ringan.
Para penumpang pada beli untuk melepaskan ikatan puasa, sesua-suap berbuka bagi kewajiban pengganjal perut dari seharian tak termasuki bahan kehidupan.
Saat penjual-penjual itu tawarkan dagangannya pada saya, saya hanya geleng-gelengkan kepala. Semua penjual yang menawarkan pada saya, berkata ke teman-temannya; Diawali (Bermakna saya sudah mengawali berbuka, alis tak berpuasa di hari itu. Atau saya awali buka sebelum waktunya, maka mereka menyebut saya “diawali” atau mendahului).
Karena saya sering main-main dengan kata-kata, kata “diawali” itu saya pisah menjadi “dia” dan “wali” atau para penjual itu menyebut saya Wali, he...
Kata yang saya putus itu mampu menghibur diri ini, yang sudah sakit gigi berhari-hari di Bandar Lampung, juga saat berada di senjakala Serang itu. Inilah salah satu kenang-kenangan sewaktu di terminal Serang dalam bulan suci.
Ketika sopir telah selesai menunaikan sholat magrib, lantas bus di jalankan kembali menuju Bekasi. Kala itu saya menulis sms buat kawan-kawan Balam, begini; “Saya menaiki Merak menuju Bekasi (bekas kekasih), & terimakasih perjamuannya saudara-saudaraku, yang bikin aku lupa rumah, ...ala maak.
Saya teringat selalu di Lampung; sakit gigi, sumur putri, pantai pasir putih, senyum mungil dan wajah-wajah pulau Sumatra yang aduhai…., kawan-kawan di Lada (Lembaga Advokasi Anak Jalanan), di SPL (Serikat Petani Lampung) serta SKL (Sekolah Kebudayaan Lampung).
Ya syukurlah, semua kawan-kawan di sana sudah bikin suara jaringan lembaga-lembaga yang mapan, tetapi saya masih suka keluyuran. Banyak orang berusaha ingin mapan, namun saya malah takut kemapanan, he...
Tidakkah kemapanan itu bisa pula bikin sakit udun, alis terkumpulnya darah kotor dibagian tubuh tertentu yang menyakitkan. Kalau resiko jalan-jalan tentu paling-paling masuk angin, sakit gigi juga pegal-pegal. Itulah hayat, semuanya mendapati resiko serta kenikmatan tersendiri.
Salam bagi kenikmatan dan derita. Saya yang kini menjadi burung elang, terbang di antara dua pulau Dwipa.
*) Nurel Javissyarqi, pengelana. November 2005, Lamongan.
Keterangan: perjalanan kali itu adalah awal penyebaran buku-buku stensilan PUstaka puJAngga ke luar Jawa. Selepas dari Balam, saya membentuk Forum Sastra Lamongan bersama kawan-kawan; Rodli TL, Haris del Hakim, A. Syauqi Sumbawi, Imamuddin SA, dan Javed Paul Syatha.
Cerita ini bermula saat saya habis ngelayap dari Bandar Lampung, kotanya penyair Opera Kebun Lada (judul antologi puisi Y. Wibowo). Sebelum berkisah jauh mengenai judul, sebaiknya saya mencuplik beberapa perolehan dari pelayaran Bakauheni menuju Merak.
Di tengah selat, dalam kantong kapal laut kelas ekonomi, saya melihat burung elang Jawa menyebrani ubun-ubun gulungan ombak samudera, kelepakan sayapnya seimbang perkasa, perutnya terisi tiada lebih, dan tak kurang di tengah lawatan.
Saya jadi berfikir, kenapa saat diri ini sudah berada dalam perut kapal menuju Merak, elang Jawa itu malah hendak menyebrang ke tlatah Sumatra. Jangan-jangan ada yang tertinggal dari perjalanan saya? Telapak kaki, kabut yang kan menjelma awan rindu. Atau ada sesuatu perjanjian dengan pulau sebrang itu?
Diri merasakan, burung itu kan hinggap di badan kapal yang sedang saya tumpangi sebab kelelahan, namun tak. Ia memilih mengapung di atas ketinggian gelombang sejarak sepuluh meter, sambil senantiasa mengimbangi hembusan angin yang membuatnya kesulitan mencapai tujuan bertempo cepat.
Sang burung telah ketahui bagaimana menguasai desakan bayu serta hasrat dirinya demi mencapai pantai, lawatannya kali itu seperti tak yang pertama. Dirinya tiada gentar keraguan meski menyimpan was-was di tengah tenaganya, yang suatu saat bisa habis ketika tiba-tiba angin kencang datang menghantam kelepakan sayapnya.
Atau mungkin sang elang coklat itu mengisyaratkan diri saya, untuk tandang kembali kepada kepulauan cantik di sana.
Baiklah, persoalan ini saya biarkan mengendap bagi referensi demi isyarat-isyarat lebih jelas ketika realitas dilalui bermata cerlang cemerlang.
Sebuah penerimaan kesadaraan akan pengalaman yang mampu menjadi penentu gerak selanjutnya bagi perhitungan. Saya biarkan segalanya mengalir dalam; apa itu keganjilan, misteri hayat serta realitas tampakan yang beredar di perjalanan.
Semuanya diri anggap harmoni, warna-warni kehidupan menyenangkan bagi sejati kembara.
Kapal saya tumpangi terus mendesak melaju ke Merak, sementara kepakan elang menjauhi kapal menuju Bakauheni. Ini riwayat tanda apa yang kan terjadi nanti?
Semuanya melangkah apa adanya, segalanya memuara pada tujuan masing-masing dengan resiko berbeda. Tubuh kapal menyibak kulit lautan, gelombang menari-nari dengan keindahan deru decak ombak.
Ibarat seluruh isi dunia tak perlu dimaknai, semua berjalan sederhana, nilai-nilai terbangun atas kepala anak-anak manusia. Seolah ocehan musim harus diterima, dan kita mengikuti perubahannya semacam wacana, menggelinding menghabisnya bola salju. Atau semakin membesar pada sebuah persoalan revolusi.
Batas dan puncak, besar dan kecil menuju titik-titik yang semuanya bermakna sama, ketika benar-benar mengiyakan kesadaran perjalanan hayat. Mungkin?
Ketika waktu terus berjalan, saya mengikuti keinginannya berkendaraan masa; dunia berjalan, semua melangkah berkeindahan. Carut-marut hanya milik orang-orang tergesa, berburu-memburu mangsa biasa, atau berlari dari kenyataan hutang berlimpah, sedang bias-bias hutang bangsa-negara dipikul anak-anaknya.
Lalu bathin ini berucap; bangsa maju itu seperti elang tak membawa bekal kecuali dalam perutnya saat hendak kembara, menembus cakrawala harapannya. Terpenting ialah tanggung jawab diri, keluarga serta tradisi, agar senantiasa lestari meski di kepulauan lain; inilah dunianya burung-burung elang.
Mata yang tajam, sanggup mengawasi kedalaman lautan, ada gerak ikan menjadi miliknya buat energi pacuan selanjutnya, demi waktu dan masa depan belulang.
Cerita pembuka saya hentikan di sini, saya turun di pelabuhan Merak. Hari itu dalam bulan suci ramadhan menginjak hari yang ke sepuluh.
Seperti biasa dalam tradisi kembara, tiada kewajiban menjalankan ibadah puasa. Apa yang seorang kembara sandang, bukan sebagai manusia dalam tempat yang sama. Dirinya tidak berada dalam satuan letak, ketika beredarnya matahari menunjukkan masa berbuka atau dimulainya puasa.
Atau ini sekadar alasan-alasan saja yang kurang tebal iman, sehingga gugurlah kewajiban untuk ngelayapkan segala persoalan diri yang diemban, demi lebih nikmat saat menyeruput segelas wedang.
Di pelabuhan Merak, saya berhenti di warung kaki lima yng pernah diri singgahi sewaktu akan ke Bakauheni. Saya terbiasa mengakrabi satu tempat, agar tampak rilek ketika akan menjalankan suatu lanjutan rencana.
Sebenarnya di semua tempat, ada wilayah-wilayah akrab ketika kita benar-benar merasa tak jauh dari rumah. Atau di mana pun tempat ialah bumi tuhan, wilayah kekuasaan kesadaran akan amahan, yang tengah dijalankan seorang kembara.
Dalam ruang-ruang terpencil dan asing, kita akan temukan diri yang tidak asing, ketika benar-benar dalam lingkaran kedekatan mata air nurani sebagai pandangan pejalan. Atau kita memang tidak berada di mana-mana, meski sedang ke mana saja dan jauh dari saudara.
Sebenarnya, saya dari Merak ingin mampir ke Tanara Banten. Namun, terkadang rencana juga perlu diubah, seperti cara elang meringankan tubuh agar tak terdesak hembusan angin kencang.
Teman saya sewaktu di Jombang, yang kini bermukim di Tanara, menyuruh mampir sepulang dari Balam (Bandar Lampung). Tetapi teman lain pernah bercerita, bahwa teman yang ada di Tanara itu, setengah bulan yang lalu pernah ke Jawa Timur, tepatnya Bojonegoro, namun ia tak mampir ke Lamongan.
Jadi seolah impaslah bila diri ini tak datang menuruti rencana ke bumi Tanara. Di Merak, saya memilih bus jurusan Bekasi Timur. Sebuah pilihan tak mampir ke Tanara, tetapi langsung ke teman satunya di Bekasi.
Ketika saya berada atau sampai di terminal Serang. Adzan magrib berkumandang atau waktunya berbuka. Seperti biasa di terminal, para penjual keluar-masuk ke bus yang berhenti, untuk menjajakan makanan ringan.
Para penumpang pada beli untuk melepaskan ikatan puasa, sesua-suap berbuka bagi kewajiban pengganjal perut dari seharian tak termasuki bahan kehidupan.
Saat penjual-penjual itu tawarkan dagangannya pada saya, saya hanya geleng-gelengkan kepala. Semua penjual yang menawarkan pada saya, berkata ke teman-temannya; Diawali (Bermakna saya sudah mengawali berbuka, alis tak berpuasa di hari itu. Atau saya awali buka sebelum waktunya, maka mereka menyebut saya “diawali” atau mendahului).
Karena saya sering main-main dengan kata-kata, kata “diawali” itu saya pisah menjadi “dia” dan “wali” atau para penjual itu menyebut saya Wali, he...
Kata yang saya putus itu mampu menghibur diri ini, yang sudah sakit gigi berhari-hari di Bandar Lampung, juga saat berada di senjakala Serang itu. Inilah salah satu kenang-kenangan sewaktu di terminal Serang dalam bulan suci.
Ketika sopir telah selesai menunaikan sholat magrib, lantas bus di jalankan kembali menuju Bekasi. Kala itu saya menulis sms buat kawan-kawan Balam, begini; “Saya menaiki Merak menuju Bekasi (bekas kekasih), & terimakasih perjamuannya saudara-saudaraku, yang bikin aku lupa rumah, ...ala maak.
Saya teringat selalu di Lampung; sakit gigi, sumur putri, pantai pasir putih, senyum mungil dan wajah-wajah pulau Sumatra yang aduhai…., kawan-kawan di Lada (Lembaga Advokasi Anak Jalanan), di SPL (Serikat Petani Lampung) serta SKL (Sekolah Kebudayaan Lampung).
Ya syukurlah, semua kawan-kawan di sana sudah bikin suara jaringan lembaga-lembaga yang mapan, tetapi saya masih suka keluyuran. Banyak orang berusaha ingin mapan, namun saya malah takut kemapanan, he...
Tidakkah kemapanan itu bisa pula bikin sakit udun, alis terkumpulnya darah kotor dibagian tubuh tertentu yang menyakitkan. Kalau resiko jalan-jalan tentu paling-paling masuk angin, sakit gigi juga pegal-pegal. Itulah hayat, semuanya mendapati resiko serta kenikmatan tersendiri.
Salam bagi kenikmatan dan derita. Saya yang kini menjadi burung elang, terbang di antara dua pulau Dwipa.
*) Nurel Javissyarqi, pengelana. November 2005, Lamongan.
Keterangan: perjalanan kali itu adalah awal penyebaran buku-buku stensilan PUstaka puJAngga ke luar Jawa. Selepas dari Balam, saya membentuk Forum Sastra Lamongan bersama kawan-kawan; Rodli TL, Haris del Hakim, A. Syauqi Sumbawi, Imamuddin SA, dan Javed Paul Syatha.
Puisi-puisi Kirana Kejora
LELAKIKU DAN KUDANYA
Lautan pasir jiwanya selalu menggunung
Tak tersisir guratan luka tatihnya
Dia terus memacu kendali
Bergulat dengan amarah
Berrebut cairan-cairan darah
Dia tak ingin mati
Cemara yang memucuk
Terus tertejang derap kudanya
Libasnya begitu liar
Tumpahkan semua energinya
Dia selalu diam tak bicara padaku
Namun lembut membisikiku
Menitah tatih langkahku
Dia ingin kemudikan dunia
Melalui pelana bajanya
Trah tak angkuhkan busung dadanya
Dia terus melawan sakitnya
Rerimbunan jiwa yang lapuk
Ditebasnya dengan Atalla
Aku mulai kagum
Lelakiku yang tak pernah turun dari pelananya
Memacu detak hidup dengan kembaranya
Yang masih sulit aku runuti jejaknya
Bumi Samudra, Surabaya, 070507
SURAT KEPADA ILALANGMU
Pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku
Aku hanya pijar
Yang berujar sendiri pada langit
Jadikan tarian lekukku
Menjadi persembahan surga
Yang menjadi
Tetes dahaga hasrat tandus padangmu
Mohonku kepada getaran
Rasuki jiwaku untuk terus bertunas
Menjadi pohon-pohon kembara
Gelinjangkan lelaku rerimbunan sang ruh
Persembahan secawan anggur hati
Tlah menyingkap gaun tidurku
Sungguh tubuhku lunglai tiada nadi daya
Hingga sapa matahari
Menghangatkan sunyi tubuhku
Kelam terrenda temaram kabut masa
Aku masih sabit yang terpenggal
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi
Karena singgahku
Tak pernah termiliki siapapun
Kecuali Kupu-Kupu Saljuku
Aku hanya debu yang ingin menjadi gurun
Entah kapan dan dimana
Kamu tak pernah miliki daya arung
Buat sauhkan sampan roman ini
Sedang waktu mulai tak bersahabat
Dengan ruang hati yang kita miliki
Topannya mengiris kulit
Menidurkan kembali bulu-bulunya
Sudahlah, kelelahanku tlah menuju kematian
Padahal aku ingin terus hidup
Buat penumpang kecil sampanku…
Syairmu setinggi langit ke tujuh
Ku sulit sentuh dan gapai
Cekat pita hati
Katupkan bibirku yang tertoreh pujimu
Kembarakan gemintang rindu cinta
Pada langit yang tak pernah memberi jawab
Walau sedikit
Menunggu sesuatu yang abstrak
Tak berbentuk
Meski bisa berasa jiwa
Namun tak bisa tersentuh raga
Semua yang terpilih
Adalah milik Sang Berkehendak!
Aku ingin kita bertemu dalam ruang
Tanpa sekat-sekat maya
Pergumulan raga yang kuinginkan
Buat buktikan daya arung lelaki sejatimu!
Usah kau jawab
Jika kau tak sedia lakukan itu!
Menara 4, Taman Anggrek,
Jkt, 12:21, 240407
NYANYIAN EIDELWEIS LANGIT
Lembut laut sang pasir
Tirani yang kokoh buat sambut rindumu
Kisaran saat tak bisa pisahkan hasrat
Cinta yang kita hidupkan
Adalah fajar yang terus menyingsing
Tahukah arti pergumulan ini?
Langit bersendawa dengan roman birunya
Berbuih bersama tulus putihnya
Sudi terus payungi pasir yang menggunung
Lalu datang keabadaian
Lewat kelopakku
Yang tak pernah terjamah buliran air mata
Ku sapu tangis embun
Ku redam kalut pagi
Ku peluk geliat siang
Ku cium galau malam
Kekuatan tangkai kehidupan harus jadi milikku
Meski aromaku tak pernah terhirup
Dan indahku tak tersinggahi kilat mata
Ku terlupa
Ku tersisih
Tak apa ku bilang
Karena garisku
Ku hanya lambang keabadian cinta
Itukah perempuan?
Rumah Putih, Surabaya 030507
NIRWANA CINTA SELAMANYA
Perempuan itu menyipukan malunya dengan senyum
Dan berkata kepada kekasihnya
”Lelaki adalah elang, pantang baginya buat mundur!
Inginku, jadilah engkau elang yang bukan pemangsa
Namun elang sang dewa angin
Yang siap meminangku sang dewi bhumi”
Kemudian sang lelaki menjawab
Begini,
”Perempuan adalah eidelweis, pantang baginya menangis
Tegar kelopakmu yang tetap menyimpan kelembutan
adalah lambang keabadian abdimu kepadaku”
Setelah mantra hati mereka termantap
Dalam sebuah kitab
Perempuan dan lelaki itu menikah
Abadilah cinta kita, tersimpan selamanya
Dalam hati DIA Sang Pemilik Abadi
Begitu,
Kalimat surga perempuan dan lelaki itu di atas pelaminannya
Bhumi Menteng Dalam, 200308
KAMU TAK SENTUH AKU
Ku penuhi janjiku padamu
Hanya keterpaguan yang keluar dari bibirku
Ketika kau lontarkan kalimatmu
Itu membuatku terpagut
Makin membuat kalut
Hatiku berkabut
Segera kuhapus bayanganmu yang melekat
Yang memaskeri wajahku begitu pekat
Makin luruh menuruni hatiku yang terpikat
Memita jantungku begitu erat
Ternyata
Keberadaanmu begitu kuat
Sesadarnya aku merasa tak terjerat
Aku merasa tak terikat
Hingga
Tak ada beban berat
Karena
Ternyata
Kau tak sentuh aku
Tepatnya ragaku
Meski jiwaku
Sebenarnya telah kau sentuh
Kuat!
Erat!
Ikat!
Dengan kedinginanmu sebagai elang kutub!
Kamarku, Permata Ex. 210608
Masih denganmu sunya yang kubawa
Kirana Kejora lahir di kota kapur, perbatasan JaTim dan JaTeng, tanggal 2-2-1972. Buku pertamanya; Kepak Elang, buku keduanya; Selingkuh (Almira, 2006), buku ketiganya; Perempuan dan Daun (2007).
Lautan pasir jiwanya selalu menggunung
Tak tersisir guratan luka tatihnya
Dia terus memacu kendali
Bergulat dengan amarah
Berrebut cairan-cairan darah
Dia tak ingin mati
Cemara yang memucuk
Terus tertejang derap kudanya
Libasnya begitu liar
Tumpahkan semua energinya
Dia selalu diam tak bicara padaku
Namun lembut membisikiku
Menitah tatih langkahku
Dia ingin kemudikan dunia
Melalui pelana bajanya
Trah tak angkuhkan busung dadanya
Dia terus melawan sakitnya
Rerimbunan jiwa yang lapuk
Ditebasnya dengan Atalla
Aku mulai kagum
Lelakiku yang tak pernah turun dari pelananya
Memacu detak hidup dengan kembaranya
Yang masih sulit aku runuti jejaknya
Bumi Samudra, Surabaya, 070507
SURAT KEPADA ILALANGMU
Pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku
Aku hanya pijar
Yang berujar sendiri pada langit
Jadikan tarian lekukku
Menjadi persembahan surga
Yang menjadi
Tetes dahaga hasrat tandus padangmu
Mohonku kepada getaran
Rasuki jiwaku untuk terus bertunas
Menjadi pohon-pohon kembara
Gelinjangkan lelaku rerimbunan sang ruh
Persembahan secawan anggur hati
Tlah menyingkap gaun tidurku
Sungguh tubuhku lunglai tiada nadi daya
Hingga sapa matahari
Menghangatkan sunyi tubuhku
Kelam terrenda temaram kabut masa
Aku masih sabit yang terpenggal
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi
Karena singgahku
Tak pernah termiliki siapapun
Kecuali Kupu-Kupu Saljuku
Aku hanya debu yang ingin menjadi gurun
Entah kapan dan dimana
Kamu tak pernah miliki daya arung
Buat sauhkan sampan roman ini
Sedang waktu mulai tak bersahabat
Dengan ruang hati yang kita miliki
Topannya mengiris kulit
Menidurkan kembali bulu-bulunya
Sudahlah, kelelahanku tlah menuju kematian
Padahal aku ingin terus hidup
Buat penumpang kecil sampanku…
Syairmu setinggi langit ke tujuh
Ku sulit sentuh dan gapai
Cekat pita hati
Katupkan bibirku yang tertoreh pujimu
Kembarakan gemintang rindu cinta
Pada langit yang tak pernah memberi jawab
Walau sedikit
Menunggu sesuatu yang abstrak
Tak berbentuk
Meski bisa berasa jiwa
Namun tak bisa tersentuh raga
Semua yang terpilih
Adalah milik Sang Berkehendak!
Aku ingin kita bertemu dalam ruang
Tanpa sekat-sekat maya
Pergumulan raga yang kuinginkan
Buat buktikan daya arung lelaki sejatimu!
Usah kau jawab
Jika kau tak sedia lakukan itu!
Menara 4, Taman Anggrek,
Jkt, 12:21, 240407
NYANYIAN EIDELWEIS LANGIT
Lembut laut sang pasir
Tirani yang kokoh buat sambut rindumu
Kisaran saat tak bisa pisahkan hasrat
Cinta yang kita hidupkan
Adalah fajar yang terus menyingsing
Tahukah arti pergumulan ini?
Langit bersendawa dengan roman birunya
Berbuih bersama tulus putihnya
Sudi terus payungi pasir yang menggunung
Lalu datang keabadaian
Lewat kelopakku
Yang tak pernah terjamah buliran air mata
Ku sapu tangis embun
Ku redam kalut pagi
Ku peluk geliat siang
Ku cium galau malam
Kekuatan tangkai kehidupan harus jadi milikku
Meski aromaku tak pernah terhirup
Dan indahku tak tersinggahi kilat mata
Ku terlupa
Ku tersisih
Tak apa ku bilang
Karena garisku
Ku hanya lambang keabadian cinta
Itukah perempuan?
Rumah Putih, Surabaya 030507
NIRWANA CINTA SELAMANYA
Perempuan itu menyipukan malunya dengan senyum
Dan berkata kepada kekasihnya
”Lelaki adalah elang, pantang baginya buat mundur!
Inginku, jadilah engkau elang yang bukan pemangsa
Namun elang sang dewa angin
Yang siap meminangku sang dewi bhumi”
Kemudian sang lelaki menjawab
Begini,
”Perempuan adalah eidelweis, pantang baginya menangis
Tegar kelopakmu yang tetap menyimpan kelembutan
adalah lambang keabadian abdimu kepadaku”
Setelah mantra hati mereka termantap
Dalam sebuah kitab
Perempuan dan lelaki itu menikah
Abadilah cinta kita, tersimpan selamanya
Dalam hati DIA Sang Pemilik Abadi
Begitu,
Kalimat surga perempuan dan lelaki itu di atas pelaminannya
Bhumi Menteng Dalam, 200308
KAMU TAK SENTUH AKU
Ku penuhi janjiku padamu
Hanya keterpaguan yang keluar dari bibirku
Ketika kau lontarkan kalimatmu
Itu membuatku terpagut
Makin membuat kalut
Hatiku berkabut
Segera kuhapus bayanganmu yang melekat
Yang memaskeri wajahku begitu pekat
Makin luruh menuruni hatiku yang terpikat
Memita jantungku begitu erat
Ternyata
Keberadaanmu begitu kuat
Sesadarnya aku merasa tak terjerat
Aku merasa tak terikat
Hingga
Tak ada beban berat
Karena
Ternyata
Kau tak sentuh aku
Tepatnya ragaku
Meski jiwaku
Sebenarnya telah kau sentuh
Kuat!
Erat!
Ikat!
Dengan kedinginanmu sebagai elang kutub!
Kamarku, Permata Ex. 210608
Masih denganmu sunya yang kubawa
Kirana Kejora lahir di kota kapur, perbatasan JaTim dan JaTeng, tanggal 2-2-1972. Buku pertamanya; Kepak Elang, buku keduanya; Selingkuh (Almira, 2006), buku ketiganya; Perempuan dan Daun (2007).
Menziarahi Karya-karya Sang Maestro
Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
Sri Wintala Achmad
Manakala bertandang ke rumah seorang kawan, perhatian saya terserap habis pada coretan-coretan liar dan naïf di dinding ruang tamu yang membentuk gambar binatang, mobil, kapal terbang, atau orang. Tanpa bertanya pada kawan tersebut, perkiraan saya tidak bakal meleset. Gambar-gambar itu pasti karya anak-anaknya. Manusia-manusia kecil yang mulai membutuhkan penghargaan atas karya-karyanya, serta pengakuan eksistensinya dari lingkup internal (orang tua dan keluarga) atau lingkup eksternal (orang luar).
Tanpa pertimbangan teknis yang menyoal nilai-nilai estetika di dalam dunia seni rupa, saya menangkap kepolosan pribadi, kebebasan bersikap, dan kesederhanaan berfikir anak-anak di balik visual karya tersebut. Masalah inilah yang sering membuat jengkel kawan saya. Maklum, ia selalu menghendaki rumahnya dalam suasana rapi, tertata dan bersih. Sementara bagi pecinta anak-anak, gambar-gambar di dinding ruang tamu itu justru tampak rekreatif, segar, dan komedial untuk disaksikan.
Perihal gambar yang divisualkan di dinding ruang tamu itu tidak dapat diklaim sebagai refleksi kekurang-ajaran seorang bocah. Hal itu hendaklah lebih dimaknai bahwa anak-anak kawan saya mulai membutuhkan keleluasaan sebuah media (baca: bukan sekadar buku gambar) untuk mengekspresikan gagasannya yang berpijak naluri kreatifnya. Bukan berdasarkan teknik atau teori dibakukan dalam dunia kreativitas seni rupa.
Ulah anak-anak kawan saya itu tentu saja tidak dapat diidentikkan dengan ulah sebagian remaja yang suka mencoret-moreti tembok-tembok bangunan, tiang listrik, dinding-dinding gua dll. Mengingat graffiti yang dibuat sebagian remaja tersebut cenderung bertendensi untuk menunjukkan keakuan kelompok (gang)-nya. Tidak musykil kalau graffiti tersebut berpotensi memicu konflik yang mengarah pertikaian antar gang. Persoalan inilah kiranya merupakan salah satu pemicu realisasi Projek Mural Kota Sama-sama Apotik Komik pada beberapa tahun silam. Suatu projek yang salah satunya bertujuan untuk menyalurkan kreativitas remaja pada jalur sebenarnya. Hingga hasil yang diharapkan mampu memberikan kesejukan, kenyamanan, dan keasrian lingkungan kota dan desa.
Lain Apotik Komik yang melakukan aktivitasnya dengan pijakan krisis kreativitas remaja, lain pula sebagian perupa di dalam penciptaan karya-karyanya senantiasa mengacu kreativitas anak-anak. Nama-nama semisal: Heridono, S. Teddy D, dan Ugo Untoro dapat dijadikan contoh perupa yang banyak terinspirasi gambar anak-anak. Alhasil, para kritikus sering menglasifikasikan karya-karya mereka bergaya naïf. Boleh dibilang anti teknik atau teori yang telah dibakukan di dalam penciptaan karya seni lukis.
Bahkan sewaktu membuka file karya seni rupa Indonesia yang tersimpan di dalam personal computer, saya menyaksikan sebagian lukisan Affandi bergaya naïf. Karya-karya naïf dari pelukis maestro tersebut terutama dapat ditilik pada lukisan potret diri. Lukisan yang terbentuk lewat komposisi garis-garis liar dan dominasi warna merah, hitam, dan kuning tersebut tidak hanya mencitrakan kenaifan, melainkan totalitas ekspresi jiwa merdeka seorang kreator.
Dari Karya Ke Sikap Hidup Affandi
Diakui bahwa gambar anak-anak yang divisualkan di dinding ruang tamu kawan saya itu memang tidak sebanding dengan karya-karya naïf Affandi. Namun kalau menilik karya-karya naïf sang maestro tersebut, sontak saya teringat pada karya anak-anak. Karya-karya ekspresif yang merefleksikan ungkapan polos dari dalam hati (perasaan) dan dari dalam tempurung kepalanya (intuisi dan imajinasi).
Sebagaimana anak-anak, Affandi mencoba menemukan jati dirinya melalui karya-karyanya. Hingga bagi Affandi, karya-karyanya yang berupa potret diri dapat dijadikan media refleksi tentang ke-Akuan-nya. Sementara bagi apresian, visualisasi wajah Affandi tua berjenggot, berkepala botak, rambut keriting tidak terisir, dan garis-garis tegas di seputar mata dapat dijadikan wahana untuk mengenal kepribadiannya. Setampang wajah sang maestro yang mencitrakan keugaharian, ketegasan, keperkasaan jiwa dalam meniti jalan kehidupan. Sungguhpun tak dipungkiri, garis-garis tegas di seputar mata pada sebagian karya potret diri tersebut menyiratkan jiwanya yang melankolik.
Menangkap jauh tentang sikap Affandi atas kehidupan dapat ditilik pada karya Aku Mengisap Pipa (oil on canvas, 99 x 125 cm - 1977). Visualisasi dirinya yang tengah mengisap pipa di bawah matahari itu memberikan kesan, bahwa sang maestro tetap nglaras (memaknai) nikmatnya kehidupan di tengah teriknya matahari. Garang menantang nyali setiap manusia yang berhasrat untuk survive. Inilah jiwa Jawi Affandi. Di mana, beliau senantiasa ngeli ning ora keli (mengalir namun tidak terhempas) oleh ganasnya arus kehidupan.
Jiwa Jawi Affandi dapat diteladani setiap orang yang bermimpi hidup damai di tengah kemelut modernisasi. Mengingat modernisasi yang gagal dimaknai sebagai jalan menuju kota kesejahteraan manusia justru menjadi mesin pembunuh jiwa. Banyak orang kelas bawah terhempas sebagai tumbal-tumbal tak berdaya. Senasib sampah terombang-ambingkan arus bah menuju muara keterpurukan.
Karya-karya dengan komposisi garis-garis liar namun terbentuk secara dinamis dan bernuansa ekspresif terdapat pula dalam karya Main Street India dan Ke Roma (oil on canvas, 125 x 99 cm - 1977). Karya-karya naturalis yang diabstraksikan Affandi tersebut bukan sekadar memotret, melainkan mengekspresikan situasi buruk di dua negara yang pernah dikunjunginya. Ini dapat disaksikan melalui pelukisan ketidak-berdayaan becak, bendi-bendi yang ditarik kuda, dan sapi di salah satu jalan raya India, serta matahari biru bak pembunuh berdarah dingin yang mengambang di atas bangunan negeri Roma.
Karya-karya bergaya senafas Potret Diri, Aku Mengisap Pipa, Main Street India, dan Ke Roma tentu masih banyak jumlahnya. Karenanya, pengkajian dari para kritikus atau apresian atas karya-karya senafas lainnya sangat diharapkan. Agar publik dapat mengenal jauh perihal sang maestro yang selama ini sekadar mendengar namanya saja.
Sisi Lain Affandi
Diakui oleh banyak apresian bahwa sebagian karya Affandi bergaya realis dekoratif. Melalui gaya yang ditekuni pada awal proses kreativitasnya, saya dapat mengenal lebih jauh tentang Affandi. Di mana selama meniti proses kreativitasnya, sang maestro tidak terjebak ke dalam lembah stagnasi (kemapanan). Beliau tetap berhelat dengan kerja eksplorasi. Hingga gaya naïf ekspresionisnya mampu menggetarkan dunia seni rupa itu, beliau jadikan pilihan terakhir hingga tutup usia.
Melalui karya-karya realis dekoratifnya, saya menangkap keugaharian, keperkasaan, ketegasan dan kesantunan Affandi di dalam menyikapi kehidupan, serta kecintaan Affandi dengan negara, bangsa, dan keluargaanya. Kecintaannya pada bangsa dan negara direfleksikan melalui karya A Captured Spy. Visualisasi sosok lelaki pribumi yang telah mengkhianti perjuangan bangsanya sendiri itu harus ditindak tegas. Keadilan harus ditegakkan, kalau kemerdekaan yang merupakan embrio kesejahteraan seluruh bangsa bukan sekadar slogan kosong dari calon-calon pemimpin Negara.
Dalam kehidupan, Affandi tak sekadar membanggakan keberadaannya yang divisualkan melalui karya-karya potret dirinya. Beliau juga membanggakan keberadaan keluarganya. Hal ini direfleksikan melalui beberapa karya yang memvisualkan anggota keluarga dan putrinya, seperti: Little Kartika, Kartika Wears Kebaya, Portrait with My Daughter dll.
Karya realis dekoratif Affandi memang tampak ugahari. Namun, pemvisualan simbolis bunga kamboja di kepala Kartika Kecil (Little Kartika) merupakan nilai atau makna yang memberikan bobot karya tersebut. Saya pula menangkap bahwa pemvisualan simbol bunga kamboja dapat dimaknai sebagai wasiat luhur sang maestro yang mengajarkan kepada putrinya untuk berjiwa semekar, seputih, dan sewangi kamboja.
Dari sini, saya semakin paham perihal bagaimana Affandi mengajarkan kepada Kartika putrinya. Tidak melalui kata-kata keras sebagaimana kawan saya saat melarang anak-anaknya untuk tidak mencoret-moreti dinding ruang tamunya, melainkan melalui bahasa simbol. Pesan tersirat dengan mengacu bahwa terealisasinya maksud seseorang tanpa harus melukai atau menyinggung pihak yang dituju. Ibarat: Entuk iwake, nanging ora buthek banyune (mendapatkan ikannya, tetapi tidak memperkeruh airnya).
Dengan demikian kemaestroan Affandi di dalam blantika seni lukis tidak sekadar terletak pada nilai-nilai estetik, melainkan pesan moral yang tersirat di balik visualisasi karyanya. Di samping itu, spirit eksplorasi dan konsistensi Affandi di dalam menekuni bidang seni lukis dicatat sebagai salah satu legitimasi yang memperkokoh gelar kemaestroannya itu.
Catatan Akhir
Apa yang saya uraikan ini tidak dimaksudkan sekadar mengenang Affandi, pelukis yang telah damai di alam kelanggengan. Lebih dari itu, saya bermaksud memperkenalkan kepada generasi zaman, terutama anak-anak yang tidak memiliki kesempatan mengenal sosok Affandi dan belum mengenal karya-karyanya. Maksud yang diarahkan agar anak-anak mampu meneladani spirit kreatif dan mengambil nilai atau makna di balik karya Affandi tersebut adalah penting. Sebagaimana pentingnya sewaktu saya memperkenalkan anak-anak perihal spirit, nilai, atau makna perjuangan dari para pahlawan Indonesia.
Sosialisasi kemaestroan Affandi dan karya-karyanya layak dilakukan pula oleh para pendidik di dunia akademis. Ini dimaksudkan agar anak didik di dalam mengembangkan kepribadiannya tidak semata berorientasi pada spirit, nilai, atau makna perjuangan para pahlawan. Melainkan para seniman yang pula memiliki andil besar di dalam turut membangun citra Indonesia di lingkup internasional. Maka jangan heran, seniman di negara maju mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Affandi sudah meninggalkan kita untuk selamanya. Namun spirit, nilai, atau makna perjuangan kreatifnya senantiasa melekat di tiap karyanya. Abadi sampai detik peniupan sangkala yang mengisyaratkan hari terakhir telah tiba. Semoga arwah sang maestro diterima di sisi Tuhan. Raja semesta raya. Amin!
Sri Wintala Achmad
Manakala bertandang ke rumah seorang kawan, perhatian saya terserap habis pada coretan-coretan liar dan naïf di dinding ruang tamu yang membentuk gambar binatang, mobil, kapal terbang, atau orang. Tanpa bertanya pada kawan tersebut, perkiraan saya tidak bakal meleset. Gambar-gambar itu pasti karya anak-anaknya. Manusia-manusia kecil yang mulai membutuhkan penghargaan atas karya-karyanya, serta pengakuan eksistensinya dari lingkup internal (orang tua dan keluarga) atau lingkup eksternal (orang luar).
Tanpa pertimbangan teknis yang menyoal nilai-nilai estetika di dalam dunia seni rupa, saya menangkap kepolosan pribadi, kebebasan bersikap, dan kesederhanaan berfikir anak-anak di balik visual karya tersebut. Masalah inilah yang sering membuat jengkel kawan saya. Maklum, ia selalu menghendaki rumahnya dalam suasana rapi, tertata dan bersih. Sementara bagi pecinta anak-anak, gambar-gambar di dinding ruang tamu itu justru tampak rekreatif, segar, dan komedial untuk disaksikan.
Perihal gambar yang divisualkan di dinding ruang tamu itu tidak dapat diklaim sebagai refleksi kekurang-ajaran seorang bocah. Hal itu hendaklah lebih dimaknai bahwa anak-anak kawan saya mulai membutuhkan keleluasaan sebuah media (baca: bukan sekadar buku gambar) untuk mengekspresikan gagasannya yang berpijak naluri kreatifnya. Bukan berdasarkan teknik atau teori dibakukan dalam dunia kreativitas seni rupa.
Ulah anak-anak kawan saya itu tentu saja tidak dapat diidentikkan dengan ulah sebagian remaja yang suka mencoret-moreti tembok-tembok bangunan, tiang listrik, dinding-dinding gua dll. Mengingat graffiti yang dibuat sebagian remaja tersebut cenderung bertendensi untuk menunjukkan keakuan kelompok (gang)-nya. Tidak musykil kalau graffiti tersebut berpotensi memicu konflik yang mengarah pertikaian antar gang. Persoalan inilah kiranya merupakan salah satu pemicu realisasi Projek Mural Kota Sama-sama Apotik Komik pada beberapa tahun silam. Suatu projek yang salah satunya bertujuan untuk menyalurkan kreativitas remaja pada jalur sebenarnya. Hingga hasil yang diharapkan mampu memberikan kesejukan, kenyamanan, dan keasrian lingkungan kota dan desa.
Lain Apotik Komik yang melakukan aktivitasnya dengan pijakan krisis kreativitas remaja, lain pula sebagian perupa di dalam penciptaan karya-karyanya senantiasa mengacu kreativitas anak-anak. Nama-nama semisal: Heridono, S. Teddy D, dan Ugo Untoro dapat dijadikan contoh perupa yang banyak terinspirasi gambar anak-anak. Alhasil, para kritikus sering menglasifikasikan karya-karya mereka bergaya naïf. Boleh dibilang anti teknik atau teori yang telah dibakukan di dalam penciptaan karya seni lukis.
Bahkan sewaktu membuka file karya seni rupa Indonesia yang tersimpan di dalam personal computer, saya menyaksikan sebagian lukisan Affandi bergaya naïf. Karya-karya naïf dari pelukis maestro tersebut terutama dapat ditilik pada lukisan potret diri. Lukisan yang terbentuk lewat komposisi garis-garis liar dan dominasi warna merah, hitam, dan kuning tersebut tidak hanya mencitrakan kenaifan, melainkan totalitas ekspresi jiwa merdeka seorang kreator.
Dari Karya Ke Sikap Hidup Affandi
Diakui bahwa gambar anak-anak yang divisualkan di dinding ruang tamu kawan saya itu memang tidak sebanding dengan karya-karya naïf Affandi. Namun kalau menilik karya-karya naïf sang maestro tersebut, sontak saya teringat pada karya anak-anak. Karya-karya ekspresif yang merefleksikan ungkapan polos dari dalam hati (perasaan) dan dari dalam tempurung kepalanya (intuisi dan imajinasi).
Sebagaimana anak-anak, Affandi mencoba menemukan jati dirinya melalui karya-karyanya. Hingga bagi Affandi, karya-karyanya yang berupa potret diri dapat dijadikan media refleksi tentang ke-Akuan-nya. Sementara bagi apresian, visualisasi wajah Affandi tua berjenggot, berkepala botak, rambut keriting tidak terisir, dan garis-garis tegas di seputar mata dapat dijadikan wahana untuk mengenal kepribadiannya. Setampang wajah sang maestro yang mencitrakan keugaharian, ketegasan, keperkasaan jiwa dalam meniti jalan kehidupan. Sungguhpun tak dipungkiri, garis-garis tegas di seputar mata pada sebagian karya potret diri tersebut menyiratkan jiwanya yang melankolik.
Menangkap jauh tentang sikap Affandi atas kehidupan dapat ditilik pada karya Aku Mengisap Pipa (oil on canvas, 99 x 125 cm - 1977). Visualisasi dirinya yang tengah mengisap pipa di bawah matahari itu memberikan kesan, bahwa sang maestro tetap nglaras (memaknai) nikmatnya kehidupan di tengah teriknya matahari. Garang menantang nyali setiap manusia yang berhasrat untuk survive. Inilah jiwa Jawi Affandi. Di mana, beliau senantiasa ngeli ning ora keli (mengalir namun tidak terhempas) oleh ganasnya arus kehidupan.
Jiwa Jawi Affandi dapat diteladani setiap orang yang bermimpi hidup damai di tengah kemelut modernisasi. Mengingat modernisasi yang gagal dimaknai sebagai jalan menuju kota kesejahteraan manusia justru menjadi mesin pembunuh jiwa. Banyak orang kelas bawah terhempas sebagai tumbal-tumbal tak berdaya. Senasib sampah terombang-ambingkan arus bah menuju muara keterpurukan.
Karya-karya dengan komposisi garis-garis liar namun terbentuk secara dinamis dan bernuansa ekspresif terdapat pula dalam karya Main Street India dan Ke Roma (oil on canvas, 125 x 99 cm - 1977). Karya-karya naturalis yang diabstraksikan Affandi tersebut bukan sekadar memotret, melainkan mengekspresikan situasi buruk di dua negara yang pernah dikunjunginya. Ini dapat disaksikan melalui pelukisan ketidak-berdayaan becak, bendi-bendi yang ditarik kuda, dan sapi di salah satu jalan raya India, serta matahari biru bak pembunuh berdarah dingin yang mengambang di atas bangunan negeri Roma.
Karya-karya bergaya senafas Potret Diri, Aku Mengisap Pipa, Main Street India, dan Ke Roma tentu masih banyak jumlahnya. Karenanya, pengkajian dari para kritikus atau apresian atas karya-karya senafas lainnya sangat diharapkan. Agar publik dapat mengenal jauh perihal sang maestro yang selama ini sekadar mendengar namanya saja.
Sisi Lain Affandi
Diakui oleh banyak apresian bahwa sebagian karya Affandi bergaya realis dekoratif. Melalui gaya yang ditekuni pada awal proses kreativitasnya, saya dapat mengenal lebih jauh tentang Affandi. Di mana selama meniti proses kreativitasnya, sang maestro tidak terjebak ke dalam lembah stagnasi (kemapanan). Beliau tetap berhelat dengan kerja eksplorasi. Hingga gaya naïf ekspresionisnya mampu menggetarkan dunia seni rupa itu, beliau jadikan pilihan terakhir hingga tutup usia.
Melalui karya-karya realis dekoratifnya, saya menangkap keugaharian, keperkasaan, ketegasan dan kesantunan Affandi di dalam menyikapi kehidupan, serta kecintaan Affandi dengan negara, bangsa, dan keluargaanya. Kecintaannya pada bangsa dan negara direfleksikan melalui karya A Captured Spy. Visualisasi sosok lelaki pribumi yang telah mengkhianti perjuangan bangsanya sendiri itu harus ditindak tegas. Keadilan harus ditegakkan, kalau kemerdekaan yang merupakan embrio kesejahteraan seluruh bangsa bukan sekadar slogan kosong dari calon-calon pemimpin Negara.
Dalam kehidupan, Affandi tak sekadar membanggakan keberadaannya yang divisualkan melalui karya-karya potret dirinya. Beliau juga membanggakan keberadaan keluarganya. Hal ini direfleksikan melalui beberapa karya yang memvisualkan anggota keluarga dan putrinya, seperti: Little Kartika, Kartika Wears Kebaya, Portrait with My Daughter dll.
Karya realis dekoratif Affandi memang tampak ugahari. Namun, pemvisualan simbolis bunga kamboja di kepala Kartika Kecil (Little Kartika) merupakan nilai atau makna yang memberikan bobot karya tersebut. Saya pula menangkap bahwa pemvisualan simbol bunga kamboja dapat dimaknai sebagai wasiat luhur sang maestro yang mengajarkan kepada putrinya untuk berjiwa semekar, seputih, dan sewangi kamboja.
Dari sini, saya semakin paham perihal bagaimana Affandi mengajarkan kepada Kartika putrinya. Tidak melalui kata-kata keras sebagaimana kawan saya saat melarang anak-anaknya untuk tidak mencoret-moreti dinding ruang tamunya, melainkan melalui bahasa simbol. Pesan tersirat dengan mengacu bahwa terealisasinya maksud seseorang tanpa harus melukai atau menyinggung pihak yang dituju. Ibarat: Entuk iwake, nanging ora buthek banyune (mendapatkan ikannya, tetapi tidak memperkeruh airnya).
Dengan demikian kemaestroan Affandi di dalam blantika seni lukis tidak sekadar terletak pada nilai-nilai estetik, melainkan pesan moral yang tersirat di balik visualisasi karyanya. Di samping itu, spirit eksplorasi dan konsistensi Affandi di dalam menekuni bidang seni lukis dicatat sebagai salah satu legitimasi yang memperkokoh gelar kemaestroannya itu.
Catatan Akhir
Apa yang saya uraikan ini tidak dimaksudkan sekadar mengenang Affandi, pelukis yang telah damai di alam kelanggengan. Lebih dari itu, saya bermaksud memperkenalkan kepada generasi zaman, terutama anak-anak yang tidak memiliki kesempatan mengenal sosok Affandi dan belum mengenal karya-karyanya. Maksud yang diarahkan agar anak-anak mampu meneladani spirit kreatif dan mengambil nilai atau makna di balik karya Affandi tersebut adalah penting. Sebagaimana pentingnya sewaktu saya memperkenalkan anak-anak perihal spirit, nilai, atau makna perjuangan dari para pahlawan Indonesia.
Sosialisasi kemaestroan Affandi dan karya-karyanya layak dilakukan pula oleh para pendidik di dunia akademis. Ini dimaksudkan agar anak didik di dalam mengembangkan kepribadiannya tidak semata berorientasi pada spirit, nilai, atau makna perjuangan para pahlawan. Melainkan para seniman yang pula memiliki andil besar di dalam turut membangun citra Indonesia di lingkup internasional. Maka jangan heran, seniman di negara maju mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Affandi sudah meninggalkan kita untuk selamanya. Namun spirit, nilai, atau makna perjuangan kreatifnya senantiasa melekat di tiap karyanya. Abadi sampai detik peniupan sangkala yang mengisyaratkan hari terakhir telah tiba. Semoga arwah sang maestro diterima di sisi Tuhan. Raja semesta raya. Amin!
Narasi Sastra Religius
Jurnal Kebudayaan The Sandour III 2008
Hamdy Salad
Segala sastra, baik puisi maupun prosa, tak pernah lahir dari ruang hampa. Selalu saja tersirat di dalamnya jejak-jejak kehidupan manusia. Jejak-jejak yang dapat dibaca secara estetis melalui kenyataan psiko-individual, sosio-kultural, dan religio-spiritual. Itu sebabnya dalam dinamika sejarahnya sampai kini, banyak definisi dan istilah sastra yang berkembang di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya apa yang sering disebut dengan – sastra religius.
Sebagai salah satu di antara istilah populer dalam perekembangan sejarahnya, bahasan mengenai sastra relegius telah menjadi perdebatan dari masa ke masa. Bahkan telah dianggap sebagai genre (aliran) tersendiri dalam ranah kesusastraan. Sehingga lahir pula istilah-istilah lain yang berdekatan denganya. Seperti sastra mistik, sastra holistik, sastra transenden, sastra filsafat, sastra pencerahan, sastra terlibat dunia dalam, dan lain sebagainya.
Di tengah laju globalisasi terkini, keberadaan wacana maupun karya sastra relegius terasa penting untuk diaktualisasi. Hal ini diperlukan bukan saja karena dunia sastra membutuhkan keseimbangan, tapi juga disebabkan oleh melubernya praktik-praktik budaya yang semakin jauh dari nilai moral dan keagamaan. Sehingga logika-logika metafisikal yang menjadi bagian utama dari tanda kesempurnaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, kian melenyap dan terlupakan.
Oleh karenanya, apapun bentuk dan jenis karya sastra yang terlahir atau dilahirkan dalam ranah religius, memiliki keniscayaan kultural untuk membebabaskan kawasan jiwa manusia dari kemiskinan spiritual. Dengan begitu, keberadaan sastra religius masih berdaya untuk diberi narasi dan dipetik hikmahnya sebagai pelecut kesadaran iman. Sebagai refleksi estetis bagi manusia untuk membangun kembali aspek-aspek relegius, transendensi dan spiritualitas yang tercecer di sekitar lingkungan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sekaligus mencuatkan makna apresiasi sastra religius yang lebih lengkap, lebih hidup, lebih indah dan mempesona, dari sekadar media untuk menebarkan doktrin-doktrin agama itu sendiri.
Ekspresi dan Kreativitas
Setiap karya sastra yang memiliki kecenderungan simbolik untuk mendekati manifestasi ide-ide ke-Tuhan-an, baik dalam ranah kehidupan individual maupun sosial, dapat dikategori sebagai - sastra religius. Dengan kata lain, bentuk-bentuk sastra relegius mengandungi ekspresi estetis yang merujuk pada pengalaman dan penghayatan terhadap eksitensi Tuhan dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur tematik sastra yang bermuara pada hal-hal yang bersifat metafisik, doa, pujian, permenungan diri, hari kebangkitan, surga dan neraka, atau tema-tema lain yang berkisar pada esensi kepercayaan, merupakan bagian dari dimensi keutamanya. Oleh karena itu, percakapan sastra relegius tidak sepenuhnya dapat dinisbahkan dengan tradisi dan budaya, suku maupun agama tertentu.
Namun demikian, kecenderungan ekspresi sastra relegius secara lebih spesifik dapat dipahami bukan saja sebagai media untuk menghayati eksistensi Tuhan, tapi juga dapat dimaknai sebagai kreativitas estetis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama. Bentuk-bentuk karya sastra relegius yang mengekspresikan ide-ide ke-Tuhan-an, nilai dan ajaran agama tertentu, sering disebut dengan - unsur-unsur relegiusitas dalam karya sastra, sastra bernafaskan agama, atau sastra keagamaan.
Pertumbuhan sastra keagamaan, terutama dalam khazanah budaya Melayu-Indonesia, banyak didominasi teks-teks sastra yang bersumber pada nilai dan ajaran agama Islam. Sehingga munculah ragam istilah yang kemudian dikenal dengan; sastra relegius Islam, sastra bernafaskan Islam, atau sastra bertema ke-Islaman. Dan dalam tulisan ini lebih sepakat untuk menyebutnya sebagai - Sastra Islam.
Penyebutan Sastra Islam, memiliki kecenderungan untuk memasuki wilayah-wilayah estetis maupun teologis yang membias dalam teks sastra maupun proses-proses kreatif yang ditempuh oleh pengarangnya. Secara estetis, sastra Islam memiliki arahan untuk memusatkan maknanya (bentuk dan isinya) yang merujuk pada substansi nilai-nilai keislaman yang bersumber pada al-quran, maupun tradisi dan pengetahuan yang lahir dari penafsiran terhadapnya. Melalui unsur definitif tersebut, kemungkinan Sastra Islam memiliki konsepsi yang lebih mendasar, yang dapat diturunkan dan diuji melalui ruang ekspresi maupun proses-proses kreasi yang membias dalam karya sastra. Sehingga dapat ditemukan gagasan-gagasan utama yang dapat dikembangkan sebagai landasan teoritik dalam proses penciptaan maupun pembacaan. Bahkan dapat juga digunakan untuk mencari dan menemukan perbandingan-perbandinganya dengan wacana kesusastraan di luar dirinya.
Dari Profetik ke Sufistik
Dalam khazanah sastra Indonesia , terutama pada periode klasik, gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh agama ini ke dalam berbagai wilayah tradisi dan budaya Nusantara. Keberadaan Sastra Melayu (syair, pantun, gurindam), Sastra Jawa (babad, serat, suluk), dan Sastra Pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman) setidaknya dapat direpresentasi sebagai awal dari kelahiran gagasan sastra Islam di Nusantara. Dan ketika sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern dengan berbagai polemik yang menyertainya.
Gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern, secara tidak langsung telah muncul ke permukan sejak tahun 60-70 an. Gagasan-gagasan itu lahir bukan saja dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan termaksud tersebar melalui teks-teks sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan muslim dari berbagai periode angkatan sastra Indonesia sampai terkini. Dalam bentuk wacana, gagasan Sastra Islam Indonesia Modern telah memunculkan ragam istilah yang berbeda, namun memiliki arah dan tujuan yang hampir sama. Beberapa di antaranya ialah; sastra Islami, sastra ibadah, sastra dakwah, sastra dzikir, sastra kaffah, sastra sajadah, sastra qurani, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh para pendukungnya sebagai usaha untuk menjelaskan keberadaan dan kemungkinan-kemungkinan Sastra Islam dalam proses kreatif maupun ekspresi estetiknya. Selain itu, ada dua istilah lagi yang sangat berpengaruh, dan dikembangkan secara paragdimatik oleh penggagasnya sebagai wacana utama dalam dinamika sastra Islam Indonesia modern, yaitu Sastra Profetik dan Sastra Sufistik.
Sebagai istilah, terminologi profetik diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Roger Garaudy (filosof Ateis Perancis menjadi muslim) melalui kajian filsafat. Menurutnya, filsafat Barat telah membunuh “Tuhan dan manusia” dalam kebudayaannya, dan karena itu diperlukan adanya pencerahan baru yang mengajak manusia dan komunitas-komunitas agama maupun kebudayaan untuk mengenali kembali filsafat kenabian, serta berusaha mengaktualisasikannya melalui dimensi sosial dan budaya, seni dan kesusastraan. Gagasan-gagasan profetik dalam ranah seni, dikembangkan lebih jauh oleh Al-Faruqi dan Husein Nasr. Sedangkan dalam ranah sastra telah dieksplor secara kreatif dan mendalam oleh Rumi, Iqbal, Nizar Kabbani, Kasim Ahmad, Emha Ainun Najib, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, gagasan budaya profetik dipopulerkan oleh Kuntowijoyo (pada awal 1980-an) ke dalam kajian ilmu sosial, dan kesusastraan. Sehingga di kemudian hari, lahirlah paradigma baru yang disebut – Ilmu Sosial Profetik, dan Sastra Profetik. Gagasan profetik Kunto lebih lanjut dapat dipahami sebagai proses-proses kebudayaan yang mendasarkan aktivitasnya pada tiga dimensi pokok yang merujuk pada wahyu suci al-Islam (Qs. 3: 110), yakni amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tukminu billah (transendensi). Dimensi pertama, memiliki muatan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan peran budaya yang dimiliki. Yang kedua, mengandungi perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan dan perbudakan sistem budaya yang sedang berlangsung. Yang ketiga, mencakupi perlawanan kreatif yang bersifat relegius dan spiritual terhadap ideologi-ideologi budaya sekuler.
Bentuk-bentuk ekspresi sastra profetik dapat diapresiasi melalui unsur-unsur estetik, kode dan simbol, kisah dan peristiwa, tokoh dan karakter, narasi dan dialog, yang tersirat maupun tersurat dalam teks sastra. Apapun bentuk dan jenis karya sastra, yang mengandungi muatan ketiga dimensi tersebut, dapat dikategori ke dalam kecenderungan ekspresi sastra profetik. Sedangkan karya-karya sastra yang hanya mengandungi salah satu di antaranya, atau didominasi oleh satu demensi saja, tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya (pada akhir 1980-an), wacana sastra profetik dielaborasi secara spasial oleh Abdul Hadi WM ke dalam terminologi baru yang disebutnya – Sastra Sufistik. Namun demikian, istilah “sufistik” telah digunakan dalam kajian filsafat klasik oleh E.H. Palmer (1867), R.A. Nicholson (1914) dan Muhammad Abdul Quasem (1976), serta sebutan lain yang berdekatan dan dipakai oleh Braginsky (1993) dengan istilah “tasawuf puitik”. Dari kandungan semua istilah termaksud, dengan aras yang berbeda, kemudian digunakan Abdul Hadi untuk mengidentifikasi berbagai kecenderungan estetik sastra Islam, khususnya di Indonesia . Dan sejak itu, wacana sastra sufistik telah mengada, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sastra Indonesia.
Berbeda dengan sastra profetik yang mensyaratkan adanya dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi, konsepsi sastra sufistik lebih memusatkan penalarannya pada unsur estetik yang bersifat transenden. Nilai-nilai transendensi dapat diidentifikasi melaui ekspresi spiritual (ruhaniyah), baik dalam konteks teologis (hablumminallah) maupun kultural (hablumminnas) yang terkandung dalam teks sastra. Dengan sendirinya, kecenderungan sastra sufistik tidak semata dibatasi oleh masalah -masalah ke-Tuhan-an, tetapi juga memiliki kemungkinan tematik yang digali, dan diangkat dari realitas kehidupan manusia. Makna profetik menekankan pada aspek-aspek perlawanan dan pemberontakan terhadap realitas budaya melalui ruang sosial (peran manusia sebagai khalifah), sedangkan sastra sufistik memiliki kecenderungan untuk menghayati dan merenungkan realitas budaya ke dalam ruang individual (peran manusia sebagai abdillah).
Karena itu pula, konsepsi sastra sufistik memiliki jaringan tekstualitas secara langsung maupun tidak langsung dengan disiplin tasawuf, tarekat, dan ragam ekspresi estetik kaum sufi. Akan tetapi, tidak semua sastrawan yang menghasilkan karya sastra sufistik dapat digolongkan sebagai kaum sufi. Begitupun sebaliknya, tidak semua kaum sufi dapat melahirkan karya sastra, atau disebut sebagai sastrawan.
Dengan demikian, narasi sastra dalam ranah relegiusitas maupun keagamaan, tidaklah bersifat tunggal dan seragam. Tapi memiliki perspektif wacana dan ragam estetika yang berakar pada realitas sosial, tradisi dan kebudayaan di sekitar kehidupan pengarangnya. Sebab ekspresi relegiusitas dalam karya sastra, khususnya Sastra Islam, bukanlah sekadar media untuk menyampaikan, merenungi atau mengkritisi ajaran agama, tetapi juga dapat digeledah sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan, perubahan dan pergeseran wacana dalam dunia sastra itu sendiri. **
Hamdy Salad
Segala sastra, baik puisi maupun prosa, tak pernah lahir dari ruang hampa. Selalu saja tersirat di dalamnya jejak-jejak kehidupan manusia. Jejak-jejak yang dapat dibaca secara estetis melalui kenyataan psiko-individual, sosio-kultural, dan religio-spiritual. Itu sebabnya dalam dinamika sejarahnya sampai kini, banyak definisi dan istilah sastra yang berkembang di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya apa yang sering disebut dengan – sastra religius.
Sebagai salah satu di antara istilah populer dalam perekembangan sejarahnya, bahasan mengenai sastra relegius telah menjadi perdebatan dari masa ke masa. Bahkan telah dianggap sebagai genre (aliran) tersendiri dalam ranah kesusastraan. Sehingga lahir pula istilah-istilah lain yang berdekatan denganya. Seperti sastra mistik, sastra holistik, sastra transenden, sastra filsafat, sastra pencerahan, sastra terlibat dunia dalam, dan lain sebagainya.
Di tengah laju globalisasi terkini, keberadaan wacana maupun karya sastra relegius terasa penting untuk diaktualisasi. Hal ini diperlukan bukan saja karena dunia sastra membutuhkan keseimbangan, tapi juga disebabkan oleh melubernya praktik-praktik budaya yang semakin jauh dari nilai moral dan keagamaan. Sehingga logika-logika metafisikal yang menjadi bagian utama dari tanda kesempurnaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, kian melenyap dan terlupakan.
Oleh karenanya, apapun bentuk dan jenis karya sastra yang terlahir atau dilahirkan dalam ranah religius, memiliki keniscayaan kultural untuk membebabaskan kawasan jiwa manusia dari kemiskinan spiritual. Dengan begitu, keberadaan sastra religius masih berdaya untuk diberi narasi dan dipetik hikmahnya sebagai pelecut kesadaran iman. Sebagai refleksi estetis bagi manusia untuk membangun kembali aspek-aspek relegius, transendensi dan spiritualitas yang tercecer di sekitar lingkungan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sekaligus mencuatkan makna apresiasi sastra religius yang lebih lengkap, lebih hidup, lebih indah dan mempesona, dari sekadar media untuk menebarkan doktrin-doktrin agama itu sendiri.
Ekspresi dan Kreativitas
Setiap karya sastra yang memiliki kecenderungan simbolik untuk mendekati manifestasi ide-ide ke-Tuhan-an, baik dalam ranah kehidupan individual maupun sosial, dapat dikategori sebagai - sastra religius. Dengan kata lain, bentuk-bentuk sastra relegius mengandungi ekspresi estetis yang merujuk pada pengalaman dan penghayatan terhadap eksitensi Tuhan dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur tematik sastra yang bermuara pada hal-hal yang bersifat metafisik, doa, pujian, permenungan diri, hari kebangkitan, surga dan neraka, atau tema-tema lain yang berkisar pada esensi kepercayaan, merupakan bagian dari dimensi keutamanya. Oleh karena itu, percakapan sastra relegius tidak sepenuhnya dapat dinisbahkan dengan tradisi dan budaya, suku maupun agama tertentu.
Namun demikian, kecenderungan ekspresi sastra relegius secara lebih spesifik dapat dipahami bukan saja sebagai media untuk menghayati eksistensi Tuhan, tapi juga dapat dimaknai sebagai kreativitas estetis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama. Bentuk-bentuk karya sastra relegius yang mengekspresikan ide-ide ke-Tuhan-an, nilai dan ajaran agama tertentu, sering disebut dengan - unsur-unsur relegiusitas dalam karya sastra, sastra bernafaskan agama, atau sastra keagamaan.
Pertumbuhan sastra keagamaan, terutama dalam khazanah budaya Melayu-Indonesia, banyak didominasi teks-teks sastra yang bersumber pada nilai dan ajaran agama Islam. Sehingga munculah ragam istilah yang kemudian dikenal dengan; sastra relegius Islam, sastra bernafaskan Islam, atau sastra bertema ke-Islaman. Dan dalam tulisan ini lebih sepakat untuk menyebutnya sebagai - Sastra Islam.
Penyebutan Sastra Islam, memiliki kecenderungan untuk memasuki wilayah-wilayah estetis maupun teologis yang membias dalam teks sastra maupun proses-proses kreatif yang ditempuh oleh pengarangnya. Secara estetis, sastra Islam memiliki arahan untuk memusatkan maknanya (bentuk dan isinya) yang merujuk pada substansi nilai-nilai keislaman yang bersumber pada al-quran, maupun tradisi dan pengetahuan yang lahir dari penafsiran terhadapnya. Melalui unsur definitif tersebut, kemungkinan Sastra Islam memiliki konsepsi yang lebih mendasar, yang dapat diturunkan dan diuji melalui ruang ekspresi maupun proses-proses kreasi yang membias dalam karya sastra. Sehingga dapat ditemukan gagasan-gagasan utama yang dapat dikembangkan sebagai landasan teoritik dalam proses penciptaan maupun pembacaan. Bahkan dapat juga digunakan untuk mencari dan menemukan perbandingan-perbandinganya dengan wacana kesusastraan di luar dirinya.
Dari Profetik ke Sufistik
Dalam khazanah sastra Indonesia , terutama pada periode klasik, gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh agama ini ke dalam berbagai wilayah tradisi dan budaya Nusantara. Keberadaan Sastra Melayu (syair, pantun, gurindam), Sastra Jawa (babad, serat, suluk), dan Sastra Pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman) setidaknya dapat direpresentasi sebagai awal dari kelahiran gagasan sastra Islam di Nusantara. Dan ketika sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern dengan berbagai polemik yang menyertainya.
Gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern, secara tidak langsung telah muncul ke permukan sejak tahun 60-70 an. Gagasan-gagasan itu lahir bukan saja dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan termaksud tersebar melalui teks-teks sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan muslim dari berbagai periode angkatan sastra Indonesia sampai terkini. Dalam bentuk wacana, gagasan Sastra Islam Indonesia Modern telah memunculkan ragam istilah yang berbeda, namun memiliki arah dan tujuan yang hampir sama. Beberapa di antaranya ialah; sastra Islami, sastra ibadah, sastra dakwah, sastra dzikir, sastra kaffah, sastra sajadah, sastra qurani, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh para pendukungnya sebagai usaha untuk menjelaskan keberadaan dan kemungkinan-kemungkinan Sastra Islam dalam proses kreatif maupun ekspresi estetiknya. Selain itu, ada dua istilah lagi yang sangat berpengaruh, dan dikembangkan secara paragdimatik oleh penggagasnya sebagai wacana utama dalam dinamika sastra Islam Indonesia modern, yaitu Sastra Profetik dan Sastra Sufistik.
Sebagai istilah, terminologi profetik diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Roger Garaudy (filosof Ateis Perancis menjadi muslim) melalui kajian filsafat. Menurutnya, filsafat Barat telah membunuh “Tuhan dan manusia” dalam kebudayaannya, dan karena itu diperlukan adanya pencerahan baru yang mengajak manusia dan komunitas-komunitas agama maupun kebudayaan untuk mengenali kembali filsafat kenabian, serta berusaha mengaktualisasikannya melalui dimensi sosial dan budaya, seni dan kesusastraan. Gagasan-gagasan profetik dalam ranah seni, dikembangkan lebih jauh oleh Al-Faruqi dan Husein Nasr. Sedangkan dalam ranah sastra telah dieksplor secara kreatif dan mendalam oleh Rumi, Iqbal, Nizar Kabbani, Kasim Ahmad, Emha Ainun Najib, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, gagasan budaya profetik dipopulerkan oleh Kuntowijoyo (pada awal 1980-an) ke dalam kajian ilmu sosial, dan kesusastraan. Sehingga di kemudian hari, lahirlah paradigma baru yang disebut – Ilmu Sosial Profetik, dan Sastra Profetik. Gagasan profetik Kunto lebih lanjut dapat dipahami sebagai proses-proses kebudayaan yang mendasarkan aktivitasnya pada tiga dimensi pokok yang merujuk pada wahyu suci al-Islam (Qs. 3: 110), yakni amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tukminu billah (transendensi). Dimensi pertama, memiliki muatan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan peran budaya yang dimiliki. Yang kedua, mengandungi perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan dan perbudakan sistem budaya yang sedang berlangsung. Yang ketiga, mencakupi perlawanan kreatif yang bersifat relegius dan spiritual terhadap ideologi-ideologi budaya sekuler.
Bentuk-bentuk ekspresi sastra profetik dapat diapresiasi melalui unsur-unsur estetik, kode dan simbol, kisah dan peristiwa, tokoh dan karakter, narasi dan dialog, yang tersirat maupun tersurat dalam teks sastra. Apapun bentuk dan jenis karya sastra, yang mengandungi muatan ketiga dimensi tersebut, dapat dikategori ke dalam kecenderungan ekspresi sastra profetik. Sedangkan karya-karya sastra yang hanya mengandungi salah satu di antaranya, atau didominasi oleh satu demensi saja, tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya (pada akhir 1980-an), wacana sastra profetik dielaborasi secara spasial oleh Abdul Hadi WM ke dalam terminologi baru yang disebutnya – Sastra Sufistik. Namun demikian, istilah “sufistik” telah digunakan dalam kajian filsafat klasik oleh E.H. Palmer (1867), R.A. Nicholson (1914) dan Muhammad Abdul Quasem (1976), serta sebutan lain yang berdekatan dan dipakai oleh Braginsky (1993) dengan istilah “tasawuf puitik”. Dari kandungan semua istilah termaksud, dengan aras yang berbeda, kemudian digunakan Abdul Hadi untuk mengidentifikasi berbagai kecenderungan estetik sastra Islam, khususnya di Indonesia . Dan sejak itu, wacana sastra sufistik telah mengada, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sastra Indonesia.
Berbeda dengan sastra profetik yang mensyaratkan adanya dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi, konsepsi sastra sufistik lebih memusatkan penalarannya pada unsur estetik yang bersifat transenden. Nilai-nilai transendensi dapat diidentifikasi melaui ekspresi spiritual (ruhaniyah), baik dalam konteks teologis (hablumminallah) maupun kultural (hablumminnas) yang terkandung dalam teks sastra. Dengan sendirinya, kecenderungan sastra sufistik tidak semata dibatasi oleh masalah -masalah ke-Tuhan-an, tetapi juga memiliki kemungkinan tematik yang digali, dan diangkat dari realitas kehidupan manusia. Makna profetik menekankan pada aspek-aspek perlawanan dan pemberontakan terhadap realitas budaya melalui ruang sosial (peran manusia sebagai khalifah), sedangkan sastra sufistik memiliki kecenderungan untuk menghayati dan merenungkan realitas budaya ke dalam ruang individual (peran manusia sebagai abdillah).
Karena itu pula, konsepsi sastra sufistik memiliki jaringan tekstualitas secara langsung maupun tidak langsung dengan disiplin tasawuf, tarekat, dan ragam ekspresi estetik kaum sufi. Akan tetapi, tidak semua sastrawan yang menghasilkan karya sastra sufistik dapat digolongkan sebagai kaum sufi. Begitupun sebaliknya, tidak semua kaum sufi dapat melahirkan karya sastra, atau disebut sebagai sastrawan.
Dengan demikian, narasi sastra dalam ranah relegiusitas maupun keagamaan, tidaklah bersifat tunggal dan seragam. Tapi memiliki perspektif wacana dan ragam estetika yang berakar pada realitas sosial, tradisi dan kebudayaan di sekitar kehidupan pengarangnya. Sebab ekspresi relegiusitas dalam karya sastra, khususnya Sastra Islam, bukanlah sekadar media untuk menyampaikan, merenungi atau mengkritisi ajaran agama, tetapi juga dapat digeledah sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan, perubahan dan pergeseran wacana dalam dunia sastra itu sendiri. **
Selamat Jalan Mas Sur
Jurnal Kebudayaan The Sandour III, 2008
Herry Lamongan
RPA Suryanto Sastroatmodjo dikenal sebagai pengarang sastra Jawa modern. Pernah mengasuh rubrik “Bokor Kencana” Harian Berita Nasional (Bernas), ialah rubrik tanya jawab tentang budaya Jawa. Penjaga gawang rubrik “Sampur Mataram” harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang juga membahas masalah budaya Jawa. Dan mengetuai Paguyuban Macapat Selasa Kliwon di hotel Garuda Yogyakarta.
Bupati anom sifat kapujanggan Keraton Surakarta dengan gelar KRT Suryo Puspo Hadinegoro ini, telah wafat Selasa Kliwon 17 Juli 2007 pukul 10.00. Dimakamkan hari Rabu 18 Juli 2007 di Pesareyan Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kepergian budayawan kondhang ini cukup mengagetkan berbagai kalangan. “Pada malam Selasa Kliwon beliau masih tampak menghadiri acara macapatan di Hotel Garuda,” ungkap Nugroho, salah satu aktifis kegiatan itu. Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Drs.Octo Lampito juga mengaku terkejut mendengar kabar wafatnya Mas Sur. Lebih lanjut Octo menuturkan bahwa ketika jadi wartawan yunior ia banyak belajar pada Mas Sur. Menurut Octo, Mas Sur figur yang ramah dan tidak kikir membagi ilmu, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa. “Karena itu, sejak dulu teman-teman sudah menyebut beliau sebagai kamus berjalan,” papar Octo yang juga Ketua PWI Cabang Yogya ketika memberi kata sambutan pemberangkatan jenazah.
Bersama Pengacara dan penggiat budaya Jawa Heniy Astiyanto SH, Mas Sur aktif dalam Perhimpunan Jawa Gandrung Yogyakarta maupun Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dalam berbagai sarasehan sastra Jawa Mas Sur sering didaulat menjadi nara sumber. Karena memang mumpuni dalam bidang budaya Jawa, beliau pun kerap diundang ke Suriname dan Belanda untuk menjadi pembicara. “Saya kira sulit mencari budayawan seperti Mas Suryanto, ramah, rendah hati dan mudah diajak membikin bermacam kegiatan untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar Heniy Astiyanto tentang Mas Sur.
RPA Suryanto Sastroatmodjo lahir di Bojonegoro, 20 Februari 1951. Beliau putra Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dan Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum, Adipati Bojonegoro (Regent Bojonegoro). Bersaudara 7 orang, tiga putra empat putri. Sejak belia Mas Sur sudah gemar menekuni masalah ngelmu kasepuhan atau kejawen. Setamat SMA beliau kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta sampai sarjana muda. Sempat menjadi guru SMA Katolik Bojonegoro. Kemudian menjadi karyawan LIPI di Jakarta, namun tak kerasan tinggal di ibukota. Beliau memilih kembali dan menetap di Yogyakarta menekuni dunia kepenulisan sastra dan budaya Jawa hingga akhir hayatnya. Karya beliau banyak tersebar di berbagai koran dan majalah, antara lain di Panjebar Semangat, Jayabaya, Kumandhang, Mekarsari, Jaka Lodhang, Parikesit, Pustaka Candra, Dharma Nyata. Puluhan tulisan Mas Sur juga terbit dalam bentuk buku: Pagi Cerah di Awal April, Setetes Embun Pagi, Di Kaki Langit Utara, Tragedi Kartini, Sinuhun Hamardika, Seraut Wajah, Dolorosa Adolosensia, Sahibul Hikayat al Hayat, Balada Layang Pangentasan, dsb. Karya Mas Sur yang dimikrofilmkan oleh Koninklijk Institut Voor de Taaland ed Volkenkunde adalah Sang Bocah, Palgunaning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-sayap Merpati, Jayengbrata Lelana, dsb.
Menerima bintang emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta (1995), Anugerah Seni sebagai Sastrawan Jawa dari Pemda DIY (1996). Satu dari “5000 Personalities of The World” versi American Biographical Institut Stylist (1997). Dianugerahi gelar Bupati Kapujanggan KRT Suryo Puspo Hadinegoro oleh Susuhunan Paku Buwono XII (1997). Tahun 2005 kemarin beliau memperoleh penghargaan Rancage untuk antologi geguritannya Balada Layang Pangentasan.
Penulis dan “gerilyawan” sastra Lamongan, Nurel Javissyarqi pernah akrab dengan Mas Sur semasa di Yogya. Terakhir Nurel ikut mengantar jenazah Mas Sur ketika kebetulan untuk kesekian kali ia dari Lamongan dolan ke Yogya. Rabu Legi itu, mendung memayungi Pemakaman Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, seakan ikut berduka mengiring jasad Mas Sur pergi abadi ke liang lahat. Selamat Jalan Mas Sur! (hela).
SEUTAS GERIMIS
:mas sur
seorang pujangga berkemas
meniti seutas waktu, sendiri
hingga ujung
huyung sempurna dengan jisim tengadah
ada gerimis luruh pagi-pagi
ada cuaca redup beberapa hari
kalendermu tanggal dari dinding kehidupan
setelah layang pangentasan
setelah bertajuk-tajuk sastra
lahir dari garba imaji dari persendian rindu
sendirimu
sendi-sendi yogya yang selalu warna-warna
tak sesunyi rumahmu kini
seorang pujangga telah pulang
meninggalkan waktu
lewat sebuah hari
engkau berangkat abadi ke seberang
langit muram, berkabung
dengan pita hitam di lengan kata-kataku
tinggal jejak senyap
kekal dalam kenangan
Lamongan 21 juni 2007
Herry Lamongan, lahir 8 mei di Bondowoso. Berkarya sejak tahun 1983 dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya berupa puisi, esai, gurit, cerpen, terpublikasikan di berbagai media cetak pusat dan daerah. Antologi tunggalnya, Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008).
Herry Lamongan
RPA Suryanto Sastroatmodjo dikenal sebagai pengarang sastra Jawa modern. Pernah mengasuh rubrik “Bokor Kencana” Harian Berita Nasional (Bernas), ialah rubrik tanya jawab tentang budaya Jawa. Penjaga gawang rubrik “Sampur Mataram” harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang juga membahas masalah budaya Jawa. Dan mengetuai Paguyuban Macapat Selasa Kliwon di hotel Garuda Yogyakarta.
Bupati anom sifat kapujanggan Keraton Surakarta dengan gelar KRT Suryo Puspo Hadinegoro ini, telah wafat Selasa Kliwon 17 Juli 2007 pukul 10.00. Dimakamkan hari Rabu 18 Juli 2007 di Pesareyan Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kepergian budayawan kondhang ini cukup mengagetkan berbagai kalangan. “Pada malam Selasa Kliwon beliau masih tampak menghadiri acara macapatan di Hotel Garuda,” ungkap Nugroho, salah satu aktifis kegiatan itu. Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Drs.Octo Lampito juga mengaku terkejut mendengar kabar wafatnya Mas Sur. Lebih lanjut Octo menuturkan bahwa ketika jadi wartawan yunior ia banyak belajar pada Mas Sur. Menurut Octo, Mas Sur figur yang ramah dan tidak kikir membagi ilmu, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa. “Karena itu, sejak dulu teman-teman sudah menyebut beliau sebagai kamus berjalan,” papar Octo yang juga Ketua PWI Cabang Yogya ketika memberi kata sambutan pemberangkatan jenazah.
Bersama Pengacara dan penggiat budaya Jawa Heniy Astiyanto SH, Mas Sur aktif dalam Perhimpunan Jawa Gandrung Yogyakarta maupun Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dalam berbagai sarasehan sastra Jawa Mas Sur sering didaulat menjadi nara sumber. Karena memang mumpuni dalam bidang budaya Jawa, beliau pun kerap diundang ke Suriname dan Belanda untuk menjadi pembicara. “Saya kira sulit mencari budayawan seperti Mas Suryanto, ramah, rendah hati dan mudah diajak membikin bermacam kegiatan untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar Heniy Astiyanto tentang Mas Sur.
RPA Suryanto Sastroatmodjo lahir di Bojonegoro, 20 Februari 1951. Beliau putra Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dan Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum, Adipati Bojonegoro (Regent Bojonegoro). Bersaudara 7 orang, tiga putra empat putri. Sejak belia Mas Sur sudah gemar menekuni masalah ngelmu kasepuhan atau kejawen. Setamat SMA beliau kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta sampai sarjana muda. Sempat menjadi guru SMA Katolik Bojonegoro. Kemudian menjadi karyawan LIPI di Jakarta, namun tak kerasan tinggal di ibukota. Beliau memilih kembali dan menetap di Yogyakarta menekuni dunia kepenulisan sastra dan budaya Jawa hingga akhir hayatnya. Karya beliau banyak tersebar di berbagai koran dan majalah, antara lain di Panjebar Semangat, Jayabaya, Kumandhang, Mekarsari, Jaka Lodhang, Parikesit, Pustaka Candra, Dharma Nyata. Puluhan tulisan Mas Sur juga terbit dalam bentuk buku: Pagi Cerah di Awal April, Setetes Embun Pagi, Di Kaki Langit Utara, Tragedi Kartini, Sinuhun Hamardika, Seraut Wajah, Dolorosa Adolosensia, Sahibul Hikayat al Hayat, Balada Layang Pangentasan, dsb. Karya Mas Sur yang dimikrofilmkan oleh Koninklijk Institut Voor de Taaland ed Volkenkunde adalah Sang Bocah, Palgunaning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-sayap Merpati, Jayengbrata Lelana, dsb.
Menerima bintang emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta (1995), Anugerah Seni sebagai Sastrawan Jawa dari Pemda DIY (1996). Satu dari “5000 Personalities of The World” versi American Biographical Institut Stylist (1997). Dianugerahi gelar Bupati Kapujanggan KRT Suryo Puspo Hadinegoro oleh Susuhunan Paku Buwono XII (1997). Tahun 2005 kemarin beliau memperoleh penghargaan Rancage untuk antologi geguritannya Balada Layang Pangentasan.
Penulis dan “gerilyawan” sastra Lamongan, Nurel Javissyarqi pernah akrab dengan Mas Sur semasa di Yogya. Terakhir Nurel ikut mengantar jenazah Mas Sur ketika kebetulan untuk kesekian kali ia dari Lamongan dolan ke Yogya. Rabu Legi itu, mendung memayungi Pemakaman Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, seakan ikut berduka mengiring jasad Mas Sur pergi abadi ke liang lahat. Selamat Jalan Mas Sur! (hela).
SEUTAS GERIMIS
:mas sur
seorang pujangga berkemas
meniti seutas waktu, sendiri
hingga ujung
huyung sempurna dengan jisim tengadah
ada gerimis luruh pagi-pagi
ada cuaca redup beberapa hari
kalendermu tanggal dari dinding kehidupan
setelah layang pangentasan
setelah bertajuk-tajuk sastra
lahir dari garba imaji dari persendian rindu
sendirimu
sendi-sendi yogya yang selalu warna-warna
tak sesunyi rumahmu kini
seorang pujangga telah pulang
meninggalkan waktu
lewat sebuah hari
engkau berangkat abadi ke seberang
langit muram, berkabung
dengan pita hitam di lengan kata-kataku
tinggal jejak senyap
kekal dalam kenangan
Lamongan 21 juni 2007
Herry Lamongan, lahir 8 mei di Bondowoso. Berkarya sejak tahun 1983 dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya berupa puisi, esai, gurit, cerpen, terpublikasikan di berbagai media cetak pusat dan daerah. Antologi tunggalnya, Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008).
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar